Dosen Pembimbing :
Aristina Halawa,S.Kep.Ns.,M.Kes.
Nama :
SURABAYA
2020
Human Trafficking
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan
secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya
teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan
manusia semakin canggih. “Perdagangan orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra
ordinary), terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat
dikategorikan sebagai transnational organized crime (TOC)”.
Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan perangkat
hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrument hukum secara khusus yang
meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan reintegrasi sosial.
Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan, dengan
demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal yang harus
diimplementasikan.
Kasus perdagangan orang yang terjadi, hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam
perdagangan manusia korbannya adalah perempuan dan anak. Diperkirakan setiap tahunnya
600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi
perbatasan-perbatasan internasional. Di Indonesia jumlah anak yang tereksploitasi seksual
sebagai dampak perdagangan anak diperkirakan mencapai 40.000-70.000 anak. Disamping
itu, dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah
sumber dalam perdagangan orang, disamping juga sebagai transit dan penerima perdagangan
orang.
Dari berbagai macam kejahatan yang ada, masalah perdagangan orang sangat kompleks,
sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan harus dilakukan
secara terpadu. Adapun beberapa factor pendorong terjadinya perdagangan orang antara lain
meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik, ketidakmampuan
system pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak
putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta petugas Kelurahan dan
Kecamatan yang membantu pemalsuan KTP.
Secara umum korban perdagangan orang terutama perempuan yang dilacurkan dan
pekerja anak adalah korban kriminal dan bukan pelaku kriminal. Elemen perdagangan orang
meliputi pelacuran paksa, eksploitasi seksual, kerja paksa mirip perbudakan, dan transplantasi
organ tubuh. Korban perdagangan orang memerlukan perlindungan, direhabilitasi, dan
dikembalikan kepada keluarganya.
Salah satu faktor tingginya kasus perdagangan orang yang pada umumnya perempuan,
disebabkan oleh dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di luar daerah, dengan korban adalah
kalangan perempuan usia remaja yang ingin mencari kerja. Dimana, kasus perdagangan orang
khususnya perempuan yang sangat tidak manusiawi tersebut, merupakan praktik penjualan
perempuan dari satu agen ke agen berikutnya. Semakin banyak agen yang terlibat, maka
semakin banyak pos yang akan dibayar oleh perempuan tersebut, sehingga gaji mereka
terkuras oleh para agen tersebut.
Fenomena tersebut perlu diantisipasi agar jaringan seperti rantai tersebut dapat diberantas
dan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan terlebih dahulu disosialisasikan agar masyarakat
memahami khususnya kaum perempuan. Tingginya angka migrasi penduduk serta
kemiskinan. Diduga ada peningkatan kualitas dan kuantitas kasus perdagangan anak dan
perempuan (trafficking). Kemunculan kasus perdagangan tenaga kerja perempuan merupakan
dampak langsung dari tidak sejahteranya masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung
mencari jalan pintas untuk bangkit dari kemiskinan. Fenomena ini memunculkan
keprihatinan, sehingga perlu adanya langkah proaktif. Cara pintas yang diambil masyarakat
kerap mengorbankan masa depan generasi muda. Pengiriman tenaga kerja ke luar daerah,
seringkali tanpa mempertimbangkan legalitas dari jalur pengiriman. Ada kecenderungan jalur
perdagangan orang diawali dengan berkedok penyaluran pembantu rumah tangga.
1.2 Rumusan Masalah Adapun Rumusan Masalah pada Makalah ini yaitu:
1.3 Tujuan Penulisan Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu:
TINJAUAN TEORI
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan
dalam sub line (a).
Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi terhadap
anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di Indonisia diantaranya
ialah sebagai berikut:
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama terjadinya
Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan ancaman yang
sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa
rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang
pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan berbagai cara. Selain itu budaya
konsumvitisme, juga ikut andil menambah iming-iming masyarakat untuk mencari biaya
penghidupan. Semua ini menjadikan mereka dapat terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak
asusila lainnya.
Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk Indonisia
penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan sebagian
besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak. Indonisia adalah suatu
masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komonitas dimana kaum laki-laki yang lebih
memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi perempuan baik dalam
kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat. Misalnya perumusan tentang
kdudukan istri dalam hokum perkawinan, kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di
bawah upah buruh laki-laki, atau kecenderungan lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada
anak perempuan dalam bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan
dalam posisi subordinat dibandingkan dengan laki-laki.
Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan eksploitasi
terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah, sehingga mereka tidak
mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan hidup. Implikasinya, mereka rentan
terlibat kriminalitas. Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2000 lalu melaporkan bahwa 34,0%
penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum atau tidak tamat pendidikan dasar (SD) dan
hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPJS Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12
tahun dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena
alasan ketidak mampuan dalam hal biaya.
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang lalu
memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum mempunyai akta
kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus
didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan.
Ada bermacammacam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar kelahirannyaa. Orang tua
yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal atau mereka tidak menyadari
pentingtnya akata kelahiran.
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa waktu terakhir ini
di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual, baik dalam lingkup domistik maupun
yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang paling menonjol terjadi
khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, ini baru mulai
menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun terakhir ini.
Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisir dengan
sangat rapi. Merupakan sebagian dari alasan-alasan yang membuat berita-berita perdagangan ini
belum menarik media massa paa masa lalu. Adapun pengaruh dari akibat globalisasi dunia,
Indonesia juga tidak dapat luput dari pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek
teknologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek tersebut membawa
perubahan pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang diacu oleh berbagai
kemudahan informasi.
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin komplek,
banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi trafficking berhasil.
Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai
belahan dunia termasuk Indonisia. Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba.
Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah
penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa. karena secara materi
hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis dibanding dengan pekerjaan atau
bisnis apapun. Inilah salah satu yang menyebabkan orang-orang terjun
kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat menggiurkan dan disisi lain
ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan penghasilan besar walaupun
resikonya juga sangat besar.
Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah penawaran
kerja ke luar pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku biasanya mendatangi
rumah calon korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat
keterangan dari pemerintah desa setempat. Cara tersebut dilakukan untuk
menghilangkan kecurigaan sejumlah pihak, termasuk memberi kemudahan kepada
keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah surat
kelengkapan kerja di luar daerah atau negeri. Dari pihak orang tua korban sudah tidak
memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja karena sudah termakan oleh
bujukan pelaku.
2.4.2 Bius
Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang paling sering
dilakukan dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bisa menjadi korban
perdagangan manusia dengan kekerasan seperti dibius. Modus ini menggunakan
kekerasan, cara modus ini berawal dari penculikan terhadap korban, kemudian pelaku
membiusnya dengan suntikan ataupun dengan alat yang lain yang digunakan untuk
membius. Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan sang bos. Setelah itu
korban diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa ke negara lain tanpa membawa paspor
untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks.
2.5. Undang- Undang Tentang Trafficking
2.5.1 Undang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut,baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi. Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana
perdagangan orang ada tiga yaitu: unsurproses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya
terpenuhi maka bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang.
2.5.1.3. Eksploitasi: tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik
materiil maupun immateriil.
2.5.1.4. Lokus: Tempat kejadian tindak pidana perdagangan orang bisa terjadi di
dalam negara ataupun antar negara.
2.5.2 Sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang Kurungan Penjara dan atau Denda.
Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi
pelaku perorangan Rp 150-600 juta, sementara untuk perusahaan sanksi penjaranya
minimal 9 tahun dan maksimal 45 tahun, atau denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan
maksimal Rp 1,8 miliar.
2.5.3 Korban Human Trafficking Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
psikis, mental. fisik, seksual, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana
perdagangan orang (Pasal 1 ayat 3 UU No 21 Tahun 2007).
2.5.4.7 Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin dari
Menteri Tenaga Kerja.
2.5.4.9 Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak sesuai
dengan peraturan Indonesia.
Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab human
trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking dalam situasi
yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu kehidupan sosial
perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan Course Instruction sebagai
berikut.
2.6.1.2 Kecemasan
2.6.1.3 Ketidakberdayaan
2.6.2 Dampak Sosial Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak
awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah disekap,
diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba
ditempat tujuan. Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan
membatasi mereka untuk bertemu dengan orang lain (Course Instructions, 2011: 3, 4),
kecuali harus melayani nafsu bejat para tamu (lelaki hidung belang). Para korban
semestinya memandang dunia dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman
tentram bersama perlindungan dan kasih sayang keluarganya, tibatiba harus tercabut
masuk ke dalam situasi yang eksploitatif dan kejam, menjadi korban sindikat
trafficking. Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak dialami
oleh perempuan. Korban trafficking. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi
sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak, para
korban terutama anak-anak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi
dengan teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan
tampaknya mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial
merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan
kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan.
2.6.3 Dampak Kesehatan Fisik Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking
terjadi, karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali
terpaksa harus tinggal di lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam kondisi
berbahaya. Mereka tidak memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara
brutal pada fisik dan psikis, apabila mereka tidakmemberikan pelayanan seksual yang
diinginkan pelanggan (“lelaki hidung belang”) atau karena penolakan para korban
terhadap eksploitasi seksual. Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis
yang memadai dan tinggal dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey,
2009: 10). Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit seksual menular terhadap
para korban hampir tidak ada, dan kesehatan biasanya diabaikan sampai mereka
semakin terpuruk menderita penyakit HIV / AIDS, sipilis, gonorea dan penyakit seksual
menular lainnya.
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang
kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak
hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga pengumpulan dan
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame apparat penegak hokum seperti
kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak- pihak lain yang terkait yaitu lembaga
pemerintah (Kementrian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik local maupun
internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai
dengankewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan,
namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran
bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan peremuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan ha katas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan
jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hokum lainnya didalam suatu wilayah
negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan
apparat penegak hokum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau
bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan
perempuan lintas negara. Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan
meminta dukungan ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang
melakukan Program Prevention ofChild Trafficking for Labor and Sexual Exploitation.
Tujuan dari program ini adalah: 2. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah
Dasar sampai Sekolah Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan
anak perempuan. 3. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan
setelah lulus sekolah dasar 4. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk
memfasilitasi kenaikan penghasilan 5. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke
kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri. 6. Merubah sikap dan pola pikir keluarga
dan masyarakat terhadap trafficking anak.
BAB 3
TINJAUAN KASUS
Suara Ibu Sulis terdengar geram ketika bercerita mengenai apa yang terjadi pada salah
satu putrinya, yang menjadi korban – dan pada akhirnya penyintas – perdagangan orang pada
akhir 2013. “Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk
rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali
mendengar suaranya (melalui telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,” kata Ibu Sulis
berapi-api. “Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin
itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari Palopo,
Sulawesi Selatan. “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga kami,” tegas
ibu Sulis, 45 tahun. Bella yang lahir pada tahun 1995, menurut ibunya, tergoda dengan
imingiming gaji Rp 10 juta per bulan sebagai SPG. Dia mendapat tawaran dari teman masa
kecilnya yang memang sudah lebih dulu bekerja di Dobo, kota kecil di Kepulauan Aru di
Maluku. Bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diam-diam meninggalkan
desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban akan kegalauannya. Dari
kampung mereka, Rawamangun di Palopo, gadis-gadis sebaya ini berangkat ke Makassar.,
Menginap satu malam di sebuah hotel dan bertemu dengan calon pemberi pekerjaan, yang
ternyata adalah pemilik kelab malam. Lalu berangkat dengan pesawat menuju Ambon pada
keesokan harinya. Para pelaku praktek perdagangan orang ini diduga menggunakan sistem sel
yang terputus-putus di satu daerah ke daerah lain., Hampir serupa dengan cara sindikat
narkoba beroperasi. Sehingga dari Ambon, gadis-gadis Palopo ini bertemu dengan orang yang
berbeda yang membawa mereka ke Pulau Aru. Dan cerita sedih berkepanjangan dimulai
ketika mereka menginjakkan kaki di tempat kerja mereka. “Dia magang untuk 3 bulan baru
boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia
disuruh memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan
separuh telanjang,” kata Ibu Sulis menceritakan apa yang dia dengar dari anaknya. Bella dan
teman-temannya melihat perlakuan buruk kepada perempuan yang bekerja di sana.; Bukan
hanya dari para pelanggan tetapi juga pekerja laki-laki serta pemilik tempat hiburan itu.
“Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas
tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang sama sekali tidak bisa meninggalkan
tempat itu karena hutang banyak, anak banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.” “Bella
juga melihat teman-temannya yang sakit atau hamil dibawa pergi dari pulau dan tidak pernah
kembali.” Cerita Bella hanyalah satu dari ribuan kisah pilu perdagangan orang. Tersamarkan
dengan berbagai modus yang terus diperbaharui seiring dengan perkembangan jaman untuk
menjerat korbannya. Iming-iming gaji bulanan dengan jumlah fantastis masih sering
digunakan, tetapi para pemangsa mulai menggunakan media sosial untuk menjerat targetnya.
Dan sudah ada pula kasus-kasus dimana korban dijerat melalui perjalanan umrah.
3.3 Identitas :
3.3.6 Penanggung Jawab & Hubungan dengan Klien : Ny. S (45 Tahun) sebagai Ibunya
3.4 POLA PERSEPSI KESEHATAN ATAU PENANGANAN KESEHATAN
Menurut Ny. S “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga kami,”
Menurut Ny. S “Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak
akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,”
Menurut Ny. S bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diam-
diam meninggalkan desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan
jawaban akan kegalauannya.
Tingkat Ansietas: Menurut Ny. S “Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh
dari rumah, bekerja untuk rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang
lain ketika saya pertama kali mendengar suaranya (melalui telepon) setelah sekian lama tidak
berhubungan,”.
Menurut Ny. S “Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu
dia kerja melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian
seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,”
3.10.2 Identity/ Identitas Diri : Merasa Terkekang dan Kurang Mampu menentukan Pilihan.
Menurut Ny. S “Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan
hutang yang jelas-jelas tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang sama
sekali tidak bisa meninggalkan tempat itu karena hutang banyak, anak banyak dan
tidak jelas siapa saja bapaknya.” Masalah Keperawatan : Resiko Harga Diri Rendah.
3.11 POLA PERAN DAN HUBUNGAN :
Pekerjaan : SPG
3.17 TERAPI :
Ruangan/ Kamar :
No. RM :
5. Aktivitas Kolaboratif
a. Pelopori konferensi
multidisiplin perawatan pasien,
dengan melibatkan pasien/
keluarga dalam menyelesaikan
masalah dan fasilitasi
komunikasi.
b. Berikan perawatan
berkelanjutan dengan
mempertahankan komunikasi
yang efektif antara anggota staf
mrlalui catatan keperawatan dan
rencana perawatan.
c. Promosi Integrasi keluarga
(NIC), rujuk untuk terapi
keluarga sesuai indikasi.
2 Gangguan Pasien mampu: Setelah pertemuan SP.1 (Tgl…………………….)
konsep diri: 1. klien mampu: 1. Identifikasi kemampuan
N DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA INTERVENSI
O HASIL
harga diri Mengidentifikasi 1.Mengidentifikasi positif yang dimiliki :
rendah kemampuan dan kemampuan aspek a.Diskusikan bahwa pasien
aspek posiif positif yang masih memiliki sejumlah
yang dimiliki. dimiliki. kemampuan dari aspek positif
2. Menilai 2. Memiliki seperti kegiatan pasien di rumah
kemampuan kemampuan yang adanya keluarga dan lingkungan
yang dapat dapat digunakan. terdekat pasien.
digunakan. Memilih kegiatan b. Beri pujian yang realistis dan
3. Menetapkan/ sesuai hindarkan setiap kali bertemu
memilih kemampuan. dengan pasien penilaian yang
kegiatan yang 3.Melakukan negative.
sesuai dengan kegiatan yang 2. Nilai kemampuan yang dapat
kemampuan. sudah dipilih. dilakukan saat ini : a.Diskusikan
4.Merencanakan dengan pasien kemampuan yang
kegiatan yang masih digunakan saat ini.
sudah dilatih. b.Bantu pasien menyebutkannya
dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri yang
diungkapkan pasien.
3. Pilih kemampuan yang akan
dilatih :
a. Diskusikan dengan pasien
beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai
kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari.
b. Bantu pasien menetapkan
aktivitas mana yang dapat
pasien lakukan secara mandiri.
N DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA INTERVENSI
O HASIL
SP.2
(Tgl……………………………)
1.Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP1).
2.Pilih kemampuan kedua yang
dapat dilakukan.
3.Latih kemampuan yang
dipilih.
4.Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien.
SP.3
(Tgl………………………….)
1.Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP.1 dan 2).
2.Memilih kemampuan ketiga
yang dapat dilakukan.
3.Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan dan
anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan cara
mengendalikan korban dalam bentuk paksaan, penggunaan kekerasan, penculikan, tipu daya,
penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan. Jenis-jenis trafficking ini meliputi
perkawinan transinternasional, eksploitasi seksual phedopilia, pembantu rumah tangga dalam
kondisi buruk, dan penari erotis. Faktor penyebab utama terjadinya tindakan trafficking ini
adalah karena kemiskinan dan beberapa diantaranya adalah, karena tingkat pendidikan yang
rendah, penganiyaan terhadap perempuan, perkawinan usia muda, dan kondisi sosial budaya
masyarakat yang patriarkhis. Dampak yang bisa ditimbulkan dari trafficking ini adalah
kecemasan, stress, dan ketidakberdayaan.
4.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di
Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.