Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN HUMAN TRAFFICKING

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3
1.

PROGRAM STUDI S1 - KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA KESEHATAN

YAYASAN KARYA KESEHATAN KENDARI

2024
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara
modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya
teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan
manusia semakin canggih. “Perdagangan orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra
ordinary), terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat
dikategorikan sebagai transnational organized crime (TOC)”.
Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan
perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrument hukum secara
khusus yang meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan
reintegrasi sosial. Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama
terhadap perempuan, dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak
merupakan hal yang harus diimplementasikan.
Kasus perdagangan orang yang terjadi, hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam
perdagangan manusia korbannya adalah perempuan dan anak. Diperkirakan setiap
tahunnya 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan
menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional. Di Indonesia jumlah anak yang
tereksploitasi seksual sebagai dampak perdagangan anak diperkirakan mencapai 40.000-
70.000 anak. Disamping itu, dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa
Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan orang, disamping juga sebagai
transit dan penerima perdagangan orang.
Dari berbagai macam kejahatan yang ada, masalah perdagangan orang sangat
kompleks, sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan
harus dilakukan secara terpadu. Adapun beberapa factor pendorong terjadinya
perdagangan orang antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup
materialistik, ketidakmampuan system pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk
mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi serta petugas Kelurahan dan Kecamatan yang membantu pemalsuan KTP.
Secara umum korban perdagangan orang terutama perempuan yang dilacurkan dan
pekerja anak adalah korban kriminal dan bukan pelaku kriminal. Elemen perdagangan
orang meliputi pelacuran paksa, eksploitasi seksual, kerja paksa mirip perbudakan, dan
transplantasi organ tubuh. Korban perdagangan orang memerlukan perlindungan,
direhabilitasi, dan dikembalikan kepada keluarganya.
Salah satu faktor tingginya kasus perdagangan orang yang pada umumnya
perempuan, disebabkan oleh dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di luar daerah,
dengan korban adalah kalangan perempuan usia remaja yang ingin mencari kerja.
Dimana, kasus perdagangan orang khususnya perempuan yang sangat tidak manusiawi
tersebut, merupakan praktik penjualan perempuan dari satu agen ke agen berikutnya.
Semakin banyak agen yang terlibat, maka semakin banyak pos yang akan dibayar oleh
perempuan tersebut, sehingga gaji mereka terkuras oleh para agen tersebut.
Fenomena tersebut perlu diantisipasi agar jaringan seperti rantai tersebut dapat
diberantas dan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan terlebih dahulu
disosialisasikan agar masyarakat memahami khususnya kaum perempuan. Tingginya
angka migrasi penduduk serta kemiskinan. Diduga ada peningkatan kualitas dan kuantitas
kasus perdagangan anak dan perempuan (trafficking).
Kemunculan kasus perdagangan tenaga kerja perempuan merupakan dampak
langsung dari tidak sejahteranya masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung mencari
jalan pintas untuk bangkit dari kemiskinan. Fenomena ini memunculkan keprihatinan,
sehingga perlu adanya langkah proaktif. Cara pintas yang diambil masyarakat kerap
mengorbankan masa depan generasi muda. Pengiriman tenaga kerja ke luar daerah,
seringkali tanpa mempertimbangkan legalitas dari jalur pengiriman. Ada kecenderungan
jalur perdagangan orang diawali dengan berkedok penyaluran pembantu rumah tangga.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun Rumusan Masalah pada Makalah ini yaitu:
a. Jelaskan Definisi Trafficking Human !
b. Jelaskan Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking!
c. Jelaskan Bentuk dan Modus Human Trafficking !
d. Jelaskan Undang- undang tentang Human Trafficking !
e. Jelaskan Dampak atau Pengaruh Human Trafficking !
f. Jelaskan Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking !
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu:
a. Untuk Mengetahui dan Memahami Definisi Human Traffickin
b. Untuk Mengetahui dan Memahami Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking
c. Untuk Mengetahui dan Memahami Bentuk dan Modus Human Trafficking
d. Untuk Mengetahui dan Memahami Undang- undang tentang Human Trafficking
e. Untuk Mengetahui dan Memahami Dampak/ Pengaruh Human Trafficking
f. Untuk Mengetahui dan Memahami Pencegahan dan Penanggulangan Human
Trafficking
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Traficking Human


Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu
kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada
definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan
dan respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks
yang disebut trafficking ini.
Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan
penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan
internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang
ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan
dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun ekonomi
terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan
sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan
perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu,
pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.
Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 1999, trafficking adalah salah satu atau
lebih bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa atau
praktek-praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia.
Trafficking memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses rekruitmen atau
pemindahan orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan penipuan, paksaan atau
dengan tujuan menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau eksploitasi
seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di pabrik dengan
kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi.

Human trafficking aau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsa- bangsa


(PBB) mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan
atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan,
pemaksaan, pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya
dengan tujuan eksploitasi (Course Instruction, 2011:2).
Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri
(memperdagangkan), tawar-menawar, membuat kesepakatan, melakukan transaksi
dan hubungan seksual (Taiwan Medicare, 2012). Perdagangan manusia melakukan
pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak yang lainnya dengan
menggunakan ancaman, penipuan dan penguasaan. Perdagangan manusia
mengandung elemen pengalihan yang tujuannya bisa untuk apa saja baik eksploitasi
tenaga kerja, pembantu rumah tangga, pengambilan organ tubuh dan sampai kepada
eksploitasi seks komersil (Wagner, 2004).
Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu
perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati
perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban dirayu,
ditipu, diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, peyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana
perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah protokol
PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking adalah :
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau
penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima
pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan
dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau
bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktek-praktek serupa perbudakan, pengahambaa atau pengambilan organ
tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud
yang dikemukakan dalam sub line.
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang
anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan
jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub
bab line.
d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.
Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang
menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang,
tetapi juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.
Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan
satu sama lainnya, yaitu :
1. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.
2. Cara : menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-
bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau
penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh
persetujuan dari orangorang.
3. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup
setidaktidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-
bentuk eksplotasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan,
pengahambaan atau pengambilan organ tubuh.

Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari
beberapa pengertian trafficking yaitu :

1. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan,


penampungan atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah
maupun negara.
2. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan
memanfaatkan perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah
pekerjaan (dibayar atau tidak), sebagai hubungan kerja yang eksploitatif
(secara ekonomi atau seksusal), baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau
industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan lainnya.
3. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena
keperempuanan dan kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi
baik secara ekonomi maupun seksual, guna kepentingan pihak-pihak
tertentu dengan cara paksa, disertai ancaman, maupun tipuan ataupun
penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan atau penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa korban
yang menyatakan persetujuan yang mana dipahami bahwa situasi-
situai tertentu yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya
karena kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain
sebagainya.

Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang


pengertian trafficking di atas dapat diambil benang merahnya bahwa
kategori trafficking akan terpenuhi apabila memenuhi tiga unsur yaitu:
proses, jalan atau cara dan tujuan. Proses disni meliputi perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan dan penjualan, sedangkan cara
atau jalannya ialah dengan kekerasan, pemaksaan, penipuan, kebohongan
dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untukeksploitasi, baik seksual
atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan menjadikan pelayan.

2.2 Faktor - Faktor Penyebab Trafficking Human


Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi
terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di
Indonisia diantaranya ialah sebagai berikut :
a. Faktor Ekonomi
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi faktor penyebab
utama terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan
manusia merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin.
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa rendahnya ekonomi
membawa dampak bagi prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang
pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan berbagai cara. Selain
itu budaya konsumvitisme, juga ikut andil menambah iming-iming masyarakat
untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini menjadikan mereka dapat
terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak asusila lainnya.
Di sisi yang lain kurangnya lahan pekerjaan atau masih banyaknya angka
pengangguran melengkapi rendahnya pendapatan atau ekonomi masyarakat.
Keterbatasannya lahan pekerjaan yang dapat menampung perempuan dengan
tingkat keterampilan yang minim menyebabkan banyak perempuan-
perempuan menganggur sehingga kondisi inilah yang dipergunakan dengn
baik oleh para perantara yang menyarankan perempuan-perempuan untuk
bekerja. Mereka dijanjikan untuk bekerja di dalam kota, atau di luar negeri.
Dalam bujukan tersebut, tidak dijelaskan secara detail pekerjaan apa yang
akan didapatkan. Biasanya para perantara hanya memberikan iming-iming gaji
atau upah yang besar. Tanpa disadari, korban telah terjebak penipuan dalam
hal ini sebagai pelayan seks. Biasanya mereka bersedia bekerja di manapun
ditempatkan. Oleh karena itu ketika ada perantara yang menawarkan sebuah
pekerjaan dengan iming-iming upah atau gaji yang besar maka mereka akan
menyambut dengan senang hati tawaran tersebut. Tawaran ini selalu menjadi
dewa penyelamat untuk meneyelesaikan kondisi ekonomi. Namun pada
hakikatnya hal tersebut adalah sasaran empuk bagi para calo untuk dijadikan
korban trafficking.
Pada wilayah anak-anak, putus sekolah menyebabkan mereka untuk
memaksakan diri mereka sendiri untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa
kerja untuk bisa meringankan beban keluarga. Tidak jarang anakanak menjadi
korban eksploitasi seksual komersial dan trafficking terhadap anak karena
orang tua mereka sudah tidak sanggup lagi membiayai. Keluarga yang miskin
mungkin tidak sanggup untuk mengirim anak mereka ke sekolah dan biasanya
akan mendahulukan pendidikan bagi anak laki-laki jika mereka hanya mampu
mengirim sebagian anak-anak mereka ke sekolah. Jika orang tua tidak mampu
mencari pekerjaan, maka anak akan mereka suruh bekerja diladang atau di
pabrekatau di dalam situasi yang lebih berbahaya serta jauh dari rumah seperti
diluar kota atau di luar negeri.
Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat anak dan perempuan
semakin rentan terhadap trafficking. Pemaknaan ekonomi rendah juga bisa
diaplikasikan pada orang yang terjerat banyak hutang. Jeratan hutang tersebut
yang pada akhirnya berujung fenomina yang disebut “Buruh Ijon”, yaitu suatu
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap sebagai pembayaran
hutang. Adapun kasus jeratan hutang bisa terjadi pada siapapun. Pada kasus
trafficking mudus yang biasa terjadi dengan cara penipuan. Buruh migrah
telah menempatkan diri mereka dalam jeratan hutang. Di mana mereka setuju
untuk membuat pinjaman uang untuk membayar biaya perjalanan mereka.
Korban hutang tersebut kemudian harus bekerja sampai hutangnya lunas,
biasanya trafficker meminta melunasi sesuai permintaannya. Ada yang sebagai
pekerja seks, pembantu rumah tangga dan masih banyak yang lain. Kekerasan
dan eksploitasi yang terperangkap dalam buruh ijon bekerja pada rumah
tangga sebagai pembantu atau penjaga anak, direstauran, toko-toko kecil, di
pabrek- pabrek atau pada industri seks. Tapi menjadi rahasia umum apabila
masih gadis maka melunasi dengan bekerja sebagai pekerja seks.
Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa. Sedangkan
kerja paksa membuka besarnya kemungkinan untuk kekerasan dan eksploitasi
terhadap pekerja. Pada kondisi seperti di atas, pekerja kehilangan
kebebasannya untuk bergerak karena orang yang menguasai hutang ingin
memastikan bahwa pekerja tidak berusah melarikan diri dari hutangnya.
Bahkan para korban disembunyikan dari penegak hukum, polisi dan
masyarakat luas. Pada akhirnya rendahnya ekonomi berujung pada
penerimaan pinjaman para calo agar mereka dapat bekerja akan tetapi mereka
tidak memahami bahaya yang akan menimpanya.
b. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya
Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk
Indonisia penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM
menunjukkan sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan
dan anak-anak. Indonisia adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu
struktur komonitas dimana kaum laki-laki yang lebih memegang kekuasaan,
dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi perempuan baik dalam
kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat. Misalnya
perumusan tentang kdudukan istri dalam hokum perkawinan, kecenderungan
untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh laki-laki, atau
kecenderungan lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan
dalam bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan
dalam posisi subordinat dibandingkan dengan laki-laki.
Kondisi perekonomian yang lemah serta kontrusksi masyarakat yang ada
menempatkan hakperempuan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan.
Meskipun dalam pasal 3 perjanjian tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
tahun 1966 menyatakan bahwa adanya persamaan bagi laki- laki dan
perempuan untuk memperoleh hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun
kenyataannya HAM di Indonesia masih belum menyentuh masyarakat karena
masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan.
c. Faktor Pendidikan

Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan


eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus
sekolah, sehingga mereka tidak mempunyai skill yang memadai untuk
mempertahankan hidup. Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas.
Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2000 lalu melaporkan bahwa 34,0%
penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum atau tidak tamat
pendidikan dasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPJS
Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-15
tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak
mampuan dalam hal biaya.
Melihat data di atas tampak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih
banyak yang bertaraf rendah tingkatannya dalam hal pendidikan. Rendahnya
tingkat pendidikan serta minimnya keterampilan atau skill menyebabkan
sebagian besar dari permpuan menganggur serta menghabiskan sebagian besar
hidup dan waktunya di rumah. Dan pada akhirnya tidak menghasilkan
keuangan bahkan mengurani pemasukan. Sebenarnya tidak hanya kaum
perempuan yang menganggur akan tetapi laki-laki juga mengalami hal yang
serupa. Tampak bahwa setip tahun ribuan orang meninggalkan kampung
halamannya dan snak keluarganya demi mencari keja atau penghidupan yan
lebih layak di daerah lain Indonesia atau bahkan keluar negeri.
Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan yang
paling banyak menganggur. Kedaan inilah yangmenyebabkan mereka
menerima tawaran pekerjaan oleh para perantara yang yang mereka tidak
menyadarinya sebagai trafficker meskipun belum menegtahui seberapa besar
upah atau gaji yang akan diterimanya.
d. Tidak Ada Akta Kelahiran
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang
lalu memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia
belum mempunyai akta kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak
menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya
dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Ada bermacam-
macam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar kelahirannyaa. Orang tua
yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal atau mereka
tidak menyadari pentingtnya akata kelahiran.
Banyak yang tidak tahu bagaimana mendaftarkan seorang bayi yang baru
lahir. Rendahnya registrasi. Kelahiran, khususnya di masyarakat desa menjadi
fasilistas perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan
ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar
mereka dapat bekerja di luar negeri. karena mereka tidak mempunyai dokumin
yang disyaratkan, maka mereka dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan.
e. Kebijakan Yang Bias Gender
Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender di mana
hukum Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk laki- laki
dan perempuan. Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang
menjamin kesetaraan hak bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi
untuk penghpusan deskriminasi untuk perempuan (CEDAW) pada tahun 1984.
Namun kenyataannya hukum perlindungan hanya di atas kertas sedangkan
prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan. Kesetaraan gender belum
sepenuhnya terwujud, perempuan masih tertinggal secara sosial, politik, dan
ekonomi dari kaum laki-laki.
Adapun dalam hal pendidikan misalnya, ditemukan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan, maka semakin lebar kesenjangan antara partisipasi
perempuan dan laki-laki. UU perkawinan tahun 1974 menaikkan usia
minimum bagi seorang gadis untuk meniah menjadi 16 tahun. Namun
pernikahan diusia lebih muda dimungkinkan dengan izin dari peradilan. UU
perkawinan secara hukum mengannggap mereka sebagai orang dewasa
sekalipun mereka masih di bawah 18 tahun. Undang-undang tersebut
menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdikari (pasal 45)
sekalipun tidak ada larangan bagi anak yang sudah menikah untuki
bersekolah, anak perempuan yang sudah menikah sangat jarang meneruskan
pendidikan mereka. Kenyataannya sekolah-sekolah formal untuk tingkat SMP
atau SMA tidak menerima siswa yang sudah menikah, walaupun ada itu hanya
disekolah kesetaraan yang kejar paket B atau C.
Dalam bidang ketenagakerjaaan, hukum Indonisia memberikan
perlindungan de jure bagi perempuan di tempat kerja. Menurut hukum,
perempuan dilindungi dari diskriminasi berdasarkan gender atau Karena
menerima bayaran yang setara untuk pekerjaan yang sama, tidak dapat
diberhentikan jika menikahh atau melahirkan, tidak boleh mengerjakan
pekerjaan yang berbahaya dan harus diberikan cuti hamil.
Selain itu, kerentanan perempuan semakin tinggi setelah berserai,
khususnya bagi mereka yang memmiliki anak. Undang-undang perkawinan
dan peraturan-peratuan yang terkait mengizinkan laki-laki dan perempuan
bercerai untuk alasan yang sama. Namun peraturan tersebut menempatkan
perempuan yang bercerai dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hal
tunjangan dari suami setelah perceraian terjadi.
f. Pengaruh Globalisasi
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa
waktu terakhir ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual,
baik dalam lingkup domistik maupun yang telah bersifat lintas batas negara.
Perdagangan manusia yang paling menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan
dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, ini baru mulai menjadi
perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun terakhir ini.
Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang
terorganisir dengan sangat rapi. Merupakan sebagian dari alasan-alasan yang
membuat berita-berita perdagangan ini belum menarik media massa paa masa
lalu. Adapun pengaruh dari akibat globalisasi dunia, Indonesia juga tidak
dapat luput dari pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek
teknologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek
tersebut membawa perubahan pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan
budaya yang diacu oleh berbagai kemudahan informasi.
Dampak negatif dari perrubahan dan kemudahan tersebut menjadi
konsekuensi bagi munculnya permasalahan-permasalahan sosial termasuk
pada perempuan dan anak, salah satunya adalah berkembangannya
perdagangan seks pada anak.

2.3 Bentuk dan Modus Trafficking Human


a. Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin
komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi
trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena
yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia. Adapun bentuk-
bentuk tarfficking diantaranya adalah :
1. Eksploitasi Sosial
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Eksploitasi Seksual Komersial Untuk Prostitusi
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau
mengalami perceraian karena akibat kawin muda atau putus sekolah
kemudian diajak bekerja ditempat hiburan kemudian dijadikan pekerja
seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk mucikari atau disebut juga
germo yang punya peratutan yang eksploitatif, misalnya jam kerja
yang tak terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya tidak
ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak melayani laki-laki
hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika ia menolak maka
sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya karena biasanya
mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi mereka.
Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali,
sehingga korban bagaikan buah si malakama. Jika korban protes maka
mereka diharuskan membayar sejumlah uang sebagai ganti dari biaya
hidup yang digunakan oleh korban. Dalam prakteknya korban dalam
posisi yang lemah dan diskenariokan untuk selalu tergantung atau
merasa membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun
kebutuhan secara ekonomis.
2) Eksploitasi Non Komersial
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan
seksual. Banyak pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan
bebas menghirup udara kebebasan dengan tanpa dijerat hukum.
Sementara perempuan sebagai korban harus menderita secara lahir dan
batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa dan mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak sanggup
menghadapi semuanya terganggu jiwanya.
Di Indonesia keberadaan perempuan yang dijerumuskan ke
dalam prostitusi yang diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan
yang digunakan untuk memproduksi bahan-bahan pornugrafi
merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Dalam banyak kasus,
perempuan semula dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu untuk bekerja
sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja restoran,
pelayan toko, dan lain sebagainya. Tetapi kemudian dipaksa pada
industri seks pada saat mereka tida pada daerah tujuan.
Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non
komersial kedua-duanya sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV
dan AIDS, sebuah virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh
sehingga jika seseorang sudah tertular maka kekebalan tubuhnya sudah
tidaki ada lagi. Dari tahun ke tahun penularan penyakit ini
perkembangannya semakin pesat, yang tertular tidak hanya di kalangan
masyarakat kota tapi juga sampai ke pelosok desa seperti papua. Ini
adalah masalah yang sangat besar, satu sisi agama dan negara
mencegah dengan peraturan- peraturannya namun disisi lain kejahatan
semakin merajalela dan semakin canggih.
2. Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di dalam
wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah
paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja. mereka
bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang tidak dibayar. Selama
ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu tidaklah
dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal
antara pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan
keterampilan. upah yang diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak
sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan, dimana jam kerja yang
sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak yang tidak ada waku untuk
istirahat.
Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan layaknya
budak, baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau dalam hal makan, di
mana mereka diberi makan yang sedikit dan tidak memenuhi standar gizi
yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang menjalankan ibadah
sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri seringkali majikan dan agen
menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur jika mereka diperlakukan oleh
semua majikan karena ada juga majikan yang baik dalam memperlakukan
pembantu rumah tangganya bahkan menganggapnya sebagai keluarga.
3. Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern
menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga
modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan
menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengadopsi
anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para
penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.
Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin
dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian
anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Misalnya
hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian dilarikan oleh
LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke Amerika.
Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak
Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak hanya
mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja janinpun
bisa mereka tampung.
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di
perbatasan Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit putih
dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk orok
bermata bundar dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000 Ringgit
Malaysia.
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa buruh
migran Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu saat di
luar negeri, dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara
illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh
pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan bayi majikannya
kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.
4. Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional, di
mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya
bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada para TKW, di
mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai oleh PJTKI dan
mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat bulanan yang padahal
jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak
gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW harus tetap bekerja apapun
kondisi yang dihadapi di lapangan sampai habis masa kontrak. Karena
itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa dan membuka
kemungkinan terjadinya kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja.
Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang yang
menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari dari
hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat
dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan terus
ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.
5. Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba.
Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah
penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa. karena secara
materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis dibanding dengan
pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang menyebabkan orang-
orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat
menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak
dengan penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar.

Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk


mengedarkan pil setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak
kasus dalam tayangan berita di mana muda mudi tertangkap
menyeludupkan narkoba termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi.
Mereka sangat sulit sekali untuk membuka siapa yang ada dibalik mereka,
karena biasanya mereka sudah diikat dengan perjanjian untuk tidak
membuka dan kadangkala mereka sendiri tidak tau siapa pihak pertama
atau pemilik barang haram tersebut. Akhirnya merekalah yang harus
menerima resikonya sementara bandar narkobanya bebas melenggang.
Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat bagi
para pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang
bahkan menggendong anak kecil dengan penampilan yang amat sangat
tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba modern berburu kepingan
rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata banyak diantara
mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang sudah
ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras dari
semua pihak dengan sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang
hanya bersifat formalitas belaka. Memang sudah ada upaya dari Dinas
Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena buktinya semakin hari
perempuan yang mengemis di jalanan makin banyak.
6. Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)
Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya mahar
yang diminta oleh pihak perempuan, sementara laki-laknya tidak mampu
secara ekonomi untuk memenuhinya sedangkan usia mereka lebih dari
cukup untuk menikah. Maka salah satu caranya adalah dengan membeli
perempuan dari luar negeri untuk dinikahinya karena tidak perlu
memberikan mahar yang besar dan lebih mau menuruti apa maunya si
laki- laki. Ini dialami oleh seorang TKW dimana ia menceritakan bahawa
ia telah menikah dengan laki-laki asal timur tengah, namun ironinya ketika
perempuan tersebut hamil ia dipulangkan ke Indonesia dengan tanpa
sepersenpun diberi nafkah dan biaya persalinan.
Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat perkawinan
sebagai salah satu penipuan, antara lain :
1) Perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil
perempuan tersebut dan membawa ke wilayah lain yang sangat
asing, namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebut
disalurkan dalam industri seks atau prostitusi. Ini sangat ironi
sekali dan sangat bias gender, dimana seorang suami yang
harusnya berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga justru
sebaliknya ia menghambur- hamburkan uang yang dikumpulkan
istri. Mungkin ini karena pihak laki-laki merasa ia sudah membeli
si perempuan sehingga ia menganggap bahwa perempuan itu
adalah budaknya yang bisa bebas ia perlakukan.
2) Perkawinan untuk memasukkan perempuan ke dalam rumah tangga
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domistik yang sangat
eksploitatif bentuknya. Fenomina pengantin pesanan ini banyak
terjadi dalam masyarakat keturunan cina di Kalimantan Barat
dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari Jawa Timur
diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa.
Data dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjung Pura, setiap
tahun kira-kira 50 perempuan kembali ke Singkawang dari Taiwan
telah mengalami kekerasan dan penipuan. Kekerasan dan penipuan
yang dilaporkan bermacam-macam yaitu dinikahkan dengan laki-
laki yang lebih tua, berlainan dengan apa yang diberitahukan
sebelumnya atau dengan laki-laki yang cacat mental atau fisik atau
dinikahkan secara sah sebagai perempuan simpanan atau menjadi
pelayan tanpa bayaran atau bekerja di pabrek dan dipaksa bekerja
di prostitusi.
7. Donor Paksa Organ Tubuh
Perdagangan organ tubuh manusia kini semakin merajalela seiring
dengan kemajuan teknologi dibidang kedokteran, misalnya saja teknologi
cangkok jantung, ini biasanya dipesan untuk mereka para penderita
jantung yang berkantong tebal dan “turis cangkok” sebutan untuk para
pasien yang datang ke negara-negara miskin untuk membeli organ tubuh
orang-orang miskin. Di Indonesia, modus penjualan organ tubuh ini
beranika ragam, ada yang menjual karena terdesak kebutuhan ekonomi,
misalnya yang dilakukan seorang ibu demi memenuhi biaya hidup,
pendidikan bahkan untuk pengobatan penyakit anaknya ia rela menjual
organ ginjalnya atau juga yang dilakukan dengan cara menipu sang donor.
Bahkan ditengarai ada kasus pembubuhan dengan tujuan mengambil organ
tubuh korban kemudian dijual.
Modus lain adalah memanfaatkan organ tubuh para TKW yang
meninggal di luar negeri. Untuk kasus ini seringkali ketika jenazah sampai
di dalam negeri biasanya pihak keluarga tidak diperkenankan meliahat
atau membuka peti jenazah. Sebenarnya ini sering terjadi tapi karena
ketidak tahuan pihak keluarga akhirnya pihak keluarga hanya menuruti
saja, padahal mungkin saja jenazah yang cukup lama tapi juga karena
organ tubuh mayat sudah diambil untuk dijual yang mingkin saja
dilakukan oleh pihak majikan ataupun pihak rumah sakit yang sudah
bekerjasama dengan sindikat penjualan organ tubuh manusia.
b. Modus Trafficking
Dalam menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan mudus
berupa iming-iming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu :
1. Tawaran Kerja
Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah
penawaran kerja ke luar pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku
biasanya mendatangi rumah calon korbannya dan saat pemberangkatan
juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat.
Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan sejumlah
pihak, termasuk memberi kemudahan kepada keluarga korban untuk dapat
diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di
luar daerah atau negeri. Dari pihak orang tua korban sudah tidak
memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja karena sudah
termakan oleh bujukan pelaku.
Modusnya adalah para calo atau perantara memberi iming-iming bagi
para korban dengan menawarkan bekerja di mall dan salon dengan gaji
besar. Selanjutnya korban diserahkan pada germo yang kemudian
dipekerjakan secara paksa sebagai wanita penghibur di tempat-tempat
hiburan malam.
Selain aspek pemaksaan yang menyalahi aturan, aspek upah juga
sangat merugikan para korban. Mereka hanya mendapatkan sedikit upah
dari transaksi. pdahal sekali kencan korban diberi uang oleh hidung belang
sekitar kurang lebih 500 ribu sekali kencan. Hal ini biasanya dijadikan
dalih oleh para germo sebagai pembiayaan fasilitas antar jemput, baju, dan
rias bagus serta modis agar lebih menarik
2. Bius
Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang
paling sering dilakukan dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bisa
menjadi korban perdagangan manusia dengan kekerasan seperti dibius.
Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini berawal dari
penculikan terhadap korban, kemudian pelaku membiusnya dengan
suntikan ataupun dengan alat yang lain yang digunakan untuk membius.
Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan sang bos. Setelah itu
korban diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa ke negara lain tanpa
membawa paspor untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks.
2.4 Undang- Undang Tentang Trafficking
Undang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut,baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu
: unsurproses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan
sebagai perdagangan orang.
a. Proses
Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut.
b. Cara
Ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
c. Eksploitasi
Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil.
d. Lokus
Tempat kejadian tindak pidana perdagangan orang bisa terjadi di dalam negara
ataupun antar negara.

Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang


Kurungan Penjara dan atau Denda. Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun
maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku perorangan Rp 150-600 juta,
sementara untuk perusahaan sanksi penjaranya minimal 9 tahun dan maksimal
45 tahun, atau denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar.

Korban Human Trafficking

Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik,


seksual, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang
(Pasal 1 ayat 3 UU No 21 Tahun 2007).

Ciri-Ciri Perdagangan Orang Dalam Konteks Migrasi Ketenagakerjaan

1. Perekrutan tanpa perjanjian penempatan


2. Ditempatkan tanpa perjanjian kerja
3. Perekrutan dibawah umur (-18 thn) dokumen dipalsukan
4. Perekrutan tanpa izin suami atau orang tua atau wali
5. Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih)
6. Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan
7. Ditempatkan oleh perorangan, bukan perusahaan yang memiliki izin dari
Menteri Tenaga Kerja
8. Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian kerja
9. Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak
sesuai dengan peraturan Indonesia
10. Beban biaya diatas ketentuan yang ditetapkan pemerintah (over

charging) Hak Korban dan/ atau Saksi

Hak Korban dan/ atau Saksi juga diberikan kepada keluarganya dengan
rincian sebagai berikut :
1. Memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44) Hak ini diberikan juga
kepada keluarga korban dan/ atau saksi sampai derajat kedua.
2. Hak untuk mendapat jaminan perlindungan dari ancaman yang
membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47).
3. Restitusi (Pasal 48). Restitusi ini adalah pembayaran ganti kerugian
yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immateriil
yang diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 1 angka 13 Undang –
Undang Nomor 21 Tahun 2007). Pengaturan restitusi berupa ganti
kerugian atas garis besarnya adalah sebagai berikut :
1) Kehilangan kekayaan atau penghasilan
2) Penderitaan
3) Biaya untuk tindakan perawatan medis dan atau psikologis
4) Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan
orang
Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar
putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan
orang. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan
pengadilan tingkat pertama. Restitusi tersebut dapat dititipkan
terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. Pemberian
restitusi dilakukan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal
pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi,
maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi
yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua
pengadilan yang memutus perkara dan ditandai tanda bukti
pelaksanaannya.
4. Rehabilitasi (Pasal 51)
Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik,
psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara
wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Penjelasannya
adalah sebagai berikut :
1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila
yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun
psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
2) Rehabilitasi diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman
korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial,
setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain
melaporkannya kepada Polri.
3) Permohonan diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau
instansi yang menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial
di daerah. Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (3) menegaskan yang
dimaksud dengan pemerintah adalah “instansi” yang bertanggung
jawab dalam bidang kesehatan, dan/ atau penanggulangan masalah
– masalah sosial serta dapat dilaksanakan secara bersama – sama
antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat
tinggal.
4) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib
memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan
dan integrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
diajukan permohonan.
5) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, ppemulangan dan reintegrasi sosial pemerintah
serta pemerintah daerah wajib membentuk rumah perlindungan
sosial atau pusat trauma.
6) Di samping perlindungan seperti yang telah diutarakan, sesuai
Pasal 53 dan Pasal 54 bagi korban juga mendapat hak perlindungan
antara lain :
a) Apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang
membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan
orang, maka menteri atau instansi yang menangani masalah –
masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan
pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
permohonan diajukan.
b) Apabila korban di luar negeri memerlukan perlindungan, maka
pemerintah RI melalui perwakilannya di luar negeri wajib
melindungi pribadi dan kepentingan korban dan mengusahakan
memulangkan ke Indonesia atas biaya negara.
c) Apabila korban warga negara asing, berada di Indonesia, maka
pemerintah RI mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke
negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di
Indonesia.

2.5 Dampak atau Pengaruh Trafficking Human


Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab
human trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking
dalam situasi yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu
kehidupan sosial perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan
Course Instruction (2011: 13, 14) sebagai berikut :
a. Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental
Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban trafficking sering
mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau
kejadian yang melibatkan cedera aktual atau terancam kematian yang serius,
atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain" dan
tanggapan mereka terhadap peristiwa ini sering melibatkan "rasa takut yang
sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi umum dari post traumatic stress
disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami perempuan
korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara paksa, mengalami
penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan untuk dijual
dan di eksploitasi (American Association, 2005: 467).
Setelah kedatangan ke tempat tujuan, perempuan korban trafficking
perempuan korban trafficking terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan
dalam kurungan, dan kekurangan makanan. Semua milik pribadi dilucuti dari
mereka, surat identitas, paspor, visa, dan dokumen lainnya (Course
Instruction, 2011:1). Korban mengalami banyak gejala psikologis yang
dihasilkan dari kekerasan mental sehari-hari dan penyiksaan. Ini termasuk
depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan,
fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami penolakan, ketidakpercayaan,
tentang situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya dan malu (Stotts &
Ramey, 2009:10). Rasa takut yang terus-menerus untuk keamanan pribadi
mereka dan keselamatan keluarga mereka, ancaman deportasi akhirnya
berkembang menjadi rasa kehilangan dan tidak berdaya. Hal ini tidak
mengherankan bahwa depresi, kecemasan, dan post traumatic stress disorder
(PTSD) adalah gejala yang umum dialami oleh para korban yang
diperdagangkan.
Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang
kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Kegelisahan,
insomnia, depresi dan post traumatic stress disorder menggambarkan standar
evaluasi atau penilaian yang mengecewakan nilai diri dengan memandang
rendah diri sendiri (Taylor, 2012:1). Para perempuan korban trafficking
seringkali kehilangan kesempatan penting untuk mengalami perkembangan
sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan tanpa tujuan hidup yang jelas,
suram dan gelap masa depan.
1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) PTSD
PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami
peristiwa traumatik yang menyebabkan gangguan pada integritas diri
individu dan sehingga individu mengalami ketakutan,
ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend M.C., 2009).

Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering


menyebabkan peningkatan keadaan siaga yang berlebihan, deperti
insomnia, waspada berlebihan dan iritabilitas terhadap lingkungan
yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat menyebabkan perilaku
agresif atau perilaku menciderai (Fontaine, 2009).
Berdasarkan penelitian Rose (2002) ada 3 tipe gejala yang sering
terjadi pada PTSD, yaitu :
1) Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu
teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami
itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan
terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa
yang menyedihkan.
2) Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau
percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga
kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari
orang lain, dan emosi yang dangkal.
3) Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur,
mudah marah / tidak dapat mengendalikan marah, susah
konsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan
atas segala sesuatu.
2. Kecemasan
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu
yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan
dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Videbeck, 2008).
Satu studi melaporkan bahwa orang yang selamat dari trafficker
mengalami kecemasan dengan gejala kegugupan (95%), panik (61%),
merasa tertekan (95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%).
(Bradley, 2005)
3. Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan
perilaku seseorang yang tidak akan berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil, suatu keadaan dimana individu kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan.
Secara kognitif korban umumnya kurang konsentrasi,
ambivalensi, kebingungan, fokus menyempit atau preokupasi,
misinterpretasi, bloking, berkurangnya kreatifitas, pandangan suram,
pesimis, sulit untuk membuat keputusan, mimpi buruk, produktivitas
menurun, pelupa. Afek korban terkadang tampak sedih, bingung,
gelisah, apatis atau pasif, kesepian, rasa tidak berharga, penyangkalan
perasaan, kesal, khawatir, perasaan gagal.
Korban sering semakin sering mengeluh kelemahan, pusing,
kelelahan, keletihan, sakit kepala, perubahan siklus haid. Keluarga
mungkin melaporkan perubahantingkat aktivitas pada korban, mudah
tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, mudah menangis.
Kecenderungan untuk isolasi, partisipasi sosial berkurang pada tingkat
lanjut mungkin akan tampak pada korban (Rahmalia, 2010)
b. Dampak Sosial
Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak
awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah
disekap, diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun
sampai mereka tiba ditempat tujuan. Eksploitasi seksual yang di alami para
korban ditempat pekerjaan membatasi mereka untuk bertemu dengan orang
lain (Course Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus melayani nafsu bejat para
tamu (lelaki hidung belang). Para korban semestinya memandang dunia dan
masa depan dengan mata bersinar, hidup aman tentram bersama perlindungan
dan kasih sayang keluarganya, tiba-tiba harus tercabut masuk ke dalam situasi
yang eksploitatif dan kejam, menjadi korban sindikat trafficking.
Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak
dialami oleh perempuan. Korban trafficking mengalami isolasi sosial, yang
berfungsi sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual.
Sementara diperbudak, para korban terutama anak-anak biasanya kehilangan
kesempatan pendidikan dan sosialisasi dengan teman sebayanya (Stotts &
Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan tampaknya mengorbankan
seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial merupakan upaya untuk
mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kerentanan
masa depan mereka untuk diperdagangkan.
Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13), persoalan sosial yang
sangat tragis dan semakin meningkatkan stress dan depresi para korban adalah
ketika keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali.
Selain itu, para pria sering melihat perempuan korban trafficking sebagai
orang yang kotor, telah ternodai dan karena itu menolak untuk menikahi
mereka. Diskriminasi terhadap para perempuan korban trafficking terjadi
dalam berbagai sector dan berbagai bentuk. Kenyataan ini telah menggugah
rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus berjuang agar nilai-nilai
kemanusiaan seperti keadilan, kesederajatan, bisa diwujudkan. Jadi dampak
sosial yang dimaksud adalah isolasi sosial, penolakan dari keluarga &
masyarakat mengakibatkan perempuan korban trafficking kehilangan makna
dan tujuan hidup serta penghargaan atas dirinya.

c. Dampak Kesehatan Fisik


Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi,
karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali
terpaksa harus tinggal di lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam
kondisi berbahaya. Mereka tidak memiliki gizi yang cukup dan dikenakan
penyiksaan secara brutal pada fisik dan psikis, apabila mereka
tidakmemberikan pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki
hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap eksploitasi
seksual. Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang
memadai dan tinggal dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts &
Ramey, 2009: 10). Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit seksual
menular terhadap para korban hampir tidak ada, dan kesehatan biasanya
diabaikan sampai mereka semakin terpuruk menderita penyakit HIV / AIDS,
sipilis, gonorea dan penyakit seksual menular lainnya.
Para perempuan korban trafficking dirugikan dengan berbagai metode
yang digunakan traffickers untuk "kondisi" mereka, termasuk pemerkosaan,
pemerkosaan geng, ancaman untuk menyakiti korban atau keluarga korban,
kronis pada pendengaran, dan kardiovaskular atau masalah pernapasan yang
disebabkan oleh penyiksaan, trans-seksual dan memaksa penggunaan narkoba.
Luka fisik termasuk hal-hal seperti patah tulang, gegar otak, luka bakar, dan
vagina atau dubur robek. Kehamilan korban yang tidak diinginkan akibat
pemerkosaan atau prostitusi. Infertility sebagai akibat infeksi kronis menular
seksual yang tidak diobati atau gagal atau melakukan aborsi tradisional bukan
oleh para medis dan tanpa perawatan medis. Belum lagi penyakit yang tidak
terdeteksi atau tidak diobati, seperti diabetes atau kanker, sebagai ancaman
masa depan para korban (Stotts & Ramey, 2009: 11). Penyalahgunaan zat
(obat- obatan terlarang) sebagai sarana untuk mengatasi situasi depresi korban
sekaligus sebagai strategi traffickers menundukkan korban untuk melakukan
eksploitasi seksual.
Jadi dampak kesehatan fisik yang dimaksud adalah cedera aktual &
ancaman terhadap integritas diri para korban yang mengalami kekerasan fisik
dan seksual. Penderitaan secara fisik yang dialami para perempuan korban
trafficking, menciptakan citra diri negatif, konsep diri para korban semakin
terpuruk, kehilangan makna hidup, harkat dan martabat para korban menjadi
hancur.

2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking


Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan
yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan
terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga
pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame
apparat penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-
pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (Kementrian terkait) dan lembaga
non pemerintah (LSM) baik local maupun internasional.
Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan
kewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan,
namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan
pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan peremuan
secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan ha
katas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat
memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hokum lainnya
didalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi
bersama. Kerjasama dengan apparat penegak hokum di negara tujuan bisa dilakukan
melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta
dukungan ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan
Program Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan
dari program ini adalah :
a. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak
perempuan.
b. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah
lulus sekolah dasar
c. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan
penghasilan
d. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri.
e. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking
anak.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Korban Traficking

Resiko mencederai
diri sendiri, orang lain
atau lingkungan Gangguan Pola Tidur

Hilang Selera Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi


Menurunnya motivasi
Makan (Anoreksia) dalam perawatan diri
Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri : Harga


Diri Rendah

Koping Individu Tidak Efektif


Respon Trauma
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA …..
DENGAN KORBAN HUMAN
TRAFFICKING DI RUANG ...........

Nama Klp : Tgl/Jam MRS :


Tgl/Jam Pengkajian : No. RM :
Sumber Data : Ruangan/Kelas :
Metode : No. Kamar :
Alat/Bahan :
Diagnosa Medis :

I. IDENTITAS
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Pekerjaan :
5. Alamat dan No. Tlp :
6. Penanggungjawab & :
Hubungan dengan klien
II. POLA PERSEPSI KESEHATAN ATAU PENANGANAN KESEHATAN
1. Keluhan Utama
2. Riwayat Penyakit Sekarang
3. Lamanya Keluhan
4. Fokus Yang Memperberat
5. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi Keluhan
6. Riwayat Penyakit Dahulu
7. Persepsi Klien Tentang Status Kesehatan dan Kesejahteraan
8. Riwayat Kesehatan Keluarga
9. Susunan Keluarga (Genogram)
10. Riwayat Alergi
III. POLA NUTRISI DAN METABOLIK
IV. POLA ELIMINASI
V. POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN
VI. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR
VII. POLA KOGNITIF DAN PERSEPTUAL
VIII. POLA PERSEPSI DIRI/ KONSEP DIRI
1. Role Peran : Konflik peran
2. Identity atau Identitas Diri : Merasa terkekang dan kurang mampu
menentukan pilihan
IX. POLA PERAN DAN HUBUNGAN
X. POLA SEKSUALITAS/ REPRODUKSI
XI. POLA KOPING/TOLERANSI STRESS
XII. POLA NILAI / KEPERCAYAAN
XIII. PENGKAJIAN PERSISTEM (Review of System)
XIV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
XV. TERAPI
XVI. ANALISA DATA
Diagnosa Data Fokus Etiologi
Keperawatan
Gangguan DS : a. Gangguan peran
Identitas Diri a. Persepsi terhadap diri berubah sosial
(D.0084) b. Bingung dengan nilai-nilai b. Tidak terpenuhinya
budaya, tujuan hidup, jenis tugas
kelamin perkembangan
DO : c. Gangguan
a. Perilaku tidak konsisten neurologis
b. Hubungan yang tidak efektif d. Ketidakadekuatan
c. Strategi koping yang tidak stimulasi sensori
efektif
d. Penampilan peran tidak efektif
Isolasi Sosial DS : a. Keterlabatan
(D.0121) a. Merasa ingin sendirian perkembangan
b. Merasa tidak aman di tempat b. Ketidakmampuan
umum menjalin hubungan
c. Merasa berbeda dengan orang yang memuaskan
lain c. Ketidaksesuaian
d. Merasa asyik dengan pikiran minat dengan
sendiri tahap
e. Merasa tidak mempunyai perkembangan
tujuan yang jelas d. Ketidaksesuaian
DO : nilai-nilai dengan
a. Menarik diri norma
b. Tidak berminat / menolak e. Ketidaksesuaian
berinteraksi dengan orang perilaku sosial
dengan norma
lain atau lingkungan f. Perubahan
c. Afek datar penampilan
d. Afek sedih fisik
e. Riwayat ditolak g. Perubahan status
f. Menunjukkan permusuhan mental
g. Tidak mampu memenuhi h. Ketidakadekuatan
harapan orang lain sumber daya
h. Kondisi difabel personal (mis.
i. Tindakan tidak berarti disfungsi
j. Tidak ada kontak mata berduka,
k. Perkembangan lambat pengendalian diri
l. Tidak bergairah / lesu buruk)

XVII. DIAGNOSA KEPERAWATAN (PRIORITAS MASALAH)


1. Gangguan Identitas Diri (D.0084)
2. Isolasi Sosial (D.0121)
XVIII. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ORIENTASI REALITA (I.09297)
Identitas Diri … x 24 jam diharapkan identitas diri (L.09070)1. Monitor perubahan orientasi
(D.0084) membaik dengan kriteria hasil : 2. Monitor perubahan kognitif dan perilaku
a. Perilaku konsisten 5 3. Perkenalkan nama saat memulai interaksi
b. Hubungan yang efektif 5 4. Orientasikan orang, tempat, dan waktu
c. Strategi koping efektif 5 5. Hadirkan realita (mis: beri penjelasan alternatif, hindari perdebatan)
d. Penampilan peran efektif 5 6. Sediakan lingkungan dan rutinitas secara konsisten
e. Perasaan fluktuatif terhadap diri 5 7. Atur stimulus sensorik dan lingkungan (mis: kunjungan,
f. Kebingungan dengan nilai-nilai budaya 5 pemandangan, suara, pencahayaan, bau, dan sentuhan)
g. Kebingungan dengan tujuan hidup 5 8. Gunakan simbol dalam mengorientasikan lingkungan (mis:
h. Kebingungan dengan jenis kelamin 5 tanda, gambar, warna)
i. Kebingungan dengan nilai-nilai ideal 5 9. Libatkan dalam terapi kelompok orientasi
j. Persepsi terhadap diri 5 10. Berikan waktu istirahat dan tidur yang cukup, sesuai kebutuhan
11. Fasilitasi akses informasi (mis: televisi, surat kabad, radio), jika perlu
12. Anjurkan perawatan diri secara mandiri
13. Anjurkan penggunaan alat bantu (mis: kacamata, alat bantu dengar,
gigi palsu)
14. Ajarkan keluarga dalam perawatan orientasi lansia
Isolasi Sosial Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama PROMOSI SOSIALISASI (I.13498)
(D.0121) … x 24 jam diharapkan keterlibatan sosial 1. Identifikasi kemampuan melakukan transaksi dengan orang lain
(L.13116) meningkat dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi hambatan melakukan interaksi dengan orang lain
a. Minat interaksi 5 3. Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam suatu hubungan
b. Verbalisasi tujuan yang jelas 5 4. Motivasi kesabaran dalam mengembangkan suatu hubungan
c. Minat terhadap aktivitas 5 5. Motivasi berpartisipasi dalam aktivitas baru dan kegiatan kelompok
d. Verbalisasi isolasi 5 6. Motivasi berinteraksi di luar lingkungan (mis: jalan-jalan, ke toko buku)
e. Verbalisasi ketidakamanan di tempat 7. Diskusikan kekuatan dan keterbatasan dalam berkomunikasi
umum 5 dengan orang lain
f. Perilaku menarik diri 5 8. Diskusikan perencanaan kegiatan di masa depan
g. Verbalisasi perasaan berbeda dengan orang 9. Berikan umpan balik positif dalam perawatan diri
lain 5 10. Berikan umpan balik positif pada setiap peningkatan kemampuan
h. Verbalisasi preokupasi dengan 11. Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
pikiran sendiri 5 12. Anjurkan ikut serta kegiatan sosial dan kemasyarakatan
i. Afek murung / sedih 13. Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
j. Perilaku bermusuhan 5 14. Anjurkan meningkatkan kejujuran diri dan menghormati hak orang lain
k. Perilaku sesuai dengan harapan orang lain 5 15. Anjurkan penggunaan alat bantu (mis: kacamata dan alat bantu dengar)
l. Perilaku bertujuan 5 16. Anjurkan membuat perencanaan kelompok kecil untuk kegiatan khusus
m. Kontak mata 5 17. Latih bermain peran untuk meningkatkan keterampilan komunikasi
n. Tugas perkembangan sesuai usia 5 18. Latih mengekspresikan marah dengan tepat
XIX. INTERVENSI DALAM BENTUK STRATEGI PELAKSANAAN (SP)
a. SP (HARGA DIRI RENDAH)
No. Pasien Keluarga
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
klien. klien di rumah.
2. Membantu klien menilai kemampuan klien yang masih dapat Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang
digunakan. dialami klien beserta proses terjadinya.
3. Membantu klien memilih atau menetapkan kegiatan yang akan Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan harga diri rendah.
dilatih sesuai dengan kemapuan klien.
4. Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Mendemonstrasikan cara merawat klien dengan harga diri rendah.
5. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien. Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikkan cara
6. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. merawat klien dengan harga diri rendah.
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung kepada klien
2. Melatih klien melakukan kegiatan lain. harga diri rendah.
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP3K
Membantu perencanaan pulang bersama keluarga dan membuat
jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planning).
Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

b. SP (ISOLASI SOSIAL)
No. Pasien Keluarga
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial klien. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
klien.
2. Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami
orang lain. klien beserta proses terjadinya.
3. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian berinteraksi dengan Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan isolasi sosial.
orang lain.
4. Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.
5. Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan isolasi
sosial.
2. Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung kepada klien
berkenalan dengan satu orang. isolasi sosial.
3. Membantu klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning).
2. Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
berkenalan dengan dua orang atau lebih.
3. Menganjurkan klien memasukkan jadwal dala kegiatan harian.
BAB III
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan
perempuan dan anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia
‘trafficker’ dengan cara mengendalikan korban dalam bentuk paksaan, penggunaan
kekerasan, penculikan, tipu daya, penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau
kedudukan. Jenis-jenis trafficking ini meliputi perkawinan transinternasional,
eksploitasi seksual phedopilia, pembantu rumah tangga dalam kondisi buruk, dan
penari erotis.
Faktor penyebab utama terjadinya tindakan trafficking ini adalah karena
kemiskinan dan beberapa diantaranya adalah, karena tingkat pendidikan yang rendah,
penganiyaan terhadap perempuan, perkawinan usia muda, dan kondisi sosial budaya
masyarakat yang patriarkhis. Dampak yang bisa ditimbulkan dari trafficking ini
adalah kecemasan, stress, dan ketidakberdayaan.
2.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
2. Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika
3. Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Graha Ilmu
4. Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan
dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
5. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.
6. Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.
7. Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai