Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH DAN ASUHAN KEPERAWATAN HUMAN TRAFFICIKING

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh:
Lasma Sri Rejeki Panjaitan
Novi Nurullita
Puspo Gayatri
Raka Marfian Maulana
Rini Dwi Lestari
Siti Fatimah
Tuminingsih Nur Anggraeni
Zuli Asih

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES

PERTAMEDIKA JAKARTA

TAHUN 2023

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern,

terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya teknologi

informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan manusia

semakin canggih. “Perdagangan orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary),

terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan

sebagai transnational organized crime (TOC)”.

Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan

perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrument hukum secara

khusus yang meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan

reintegrasi sosial. Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap

perempuan, dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak

merupakan hal yang harus diimplementasikan.

Kasus perdagangan orang yang terjadi, hampir seluruh kasus yang ditemukan

dalam perdagangan manusia korbannya adalah perempuan dan anak. Diperkirakan setiap

tahunnya 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan

menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional. Di Indonesia jumlah anak yang

tereksploitasi seksual sebagai dampak perdagangan anak diperkirakan mencapai 40.000-

70.000 anak. Disamping itu, dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa

Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan orang, disamping juga sebagai

transit dan penerima perdagangan orang.

Dari berbagai macam kejahatan yang ada, masalah perdagangan orang sangat

kompleks, sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan

harus dilakukan secara terpadu. Adapun beberapa factor pendorong terjadinya


2
perdagangan orang antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup

materialistik, ketidakmampuan system pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk

mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih

tinggi serta petugas Kelurahan dan Kecamatan yang membantu pemalsuan KTP.

Secara umum korban perdagangan orang terutama perempuan yang dilacurkan dan

pekerja anak adalah korban kriminal dan bukan pelaku kriminal. Elemen perdagangan

orang meliputi pelacuran paksa, eksploitasi seksual, kerja paksa mirip perbudakan, dan

transplantasi organ tubuh. Korban perdagangan orang memerlukan perlindungan,

direhabilitasi, dan dikembalikan kepada keluarganya.

Salah satu faktor tingginya kasus perdagangan orang yang pada umumnya

perempuan, disebabkan oleh dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di luar daerah,

dengan korban adalah kalangan perempuan usia remaja yang ingin mencari kerja.

Dimana, kasus perdagangan orang khususnya perempuan yang sangat tidak manusiawi

tersebut, merupakan praktik penjualan perempuan dari satu agen ke agen berikutnya.

Semakin banyak agen yang terlibat, maka semakin banyak pos yang akan dibayar oleh

perempuan tersebut, sehingga gaji mereka terkuras oleh para agen tersebut.

Fenomena tersebut perlu diantisipasi agar jaringan seperti rantai tersebut dapat

diberantas dan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan terlebih dahulu

disosialisasikan agar masyarakat memahami khususnya kaum perempuan. Tingginya

angka migrasi penduduk serta kemiskinan. Diduga ada peningkatan kualitas dan kuantitas

kasus perdagangan anak dan perempuan (trafficking). Kemunculan kasus perdagangan

tenaga kerja perempuan merupakan dampak langsung dari tidak sejahteranya masyarakat.

Sebagian masyarakat cenderung mencari jalan pintas untuk bangkit dari kemiskinan.

Fenomena ini memunculkan keprihatinan, sehingga perlu adanya langkah proaktif. Cara

pintas yang diambil masyarakat kerap mengorbankan masa depan generasi muda.
3
Pengiriman tenaga kerja ke luar daerah, seringkali tanpa mempertimbangkan legalitas dari

jalur pengiriman. Ada kecenderungan jalur perdagangan orang diawali dengan berkedok

penyaluran pembantu rumah tangga.

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan Definisi Trafficking Human?

2. Jelaskan Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking?

3. Jelaskan Bentuk dan Modus Human Trafficking?

4. Jelaskan Undang- undang tentang Human Trafficking 5

5. Jelaskan Dampak/ Pengaruh Human Trafficking?

6. Jelaskan Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking

1.3 Tujuan

Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu:

1. Untuk Mengetahui dan Memahami Definisi Human Trafficking

2. Untuk Mengetahui dan Memahami Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking.

3. Untuk Mengetahui dan Memahami Bentuk dan Modus Human Trafficking

4. Untuk Mengetahui dan Memahami Undang- undang tentang Human Trafficking

5. Untuk Mengetahui dan Memahami Dampak/ Pengaruh Human Trafficking

6. Untuk Mengetahui dan Memahami Pencegahan dan Penanggulangan Human

Trafficking

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trafficking Human


Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu
kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak
ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak
perdebatan dan respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang
fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.
Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan
penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan
internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang
ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan
dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun ekonomi
terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan
sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan
perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu,
pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.
Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu atau lebih
bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa atau praktek-
praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia. Trafficking
memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses rekruitmen atau pemindahan
orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan penipuan, paksaan atau dengan
tujuan menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau eksploitasi seperti
prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di pabrik dengan
kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi.
Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsabangsa
(PBB) mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan
atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan,
pemaksaan, pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya
dengan tujuan eksploitasi (Course Instruction, 2011:2).
Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri
(memperdagangkan), tawar-menawar, membuat kesepakatan, melakukan transaksi
dan hubungan seksual (Taiwan Medicare, 2012).
Perdagangan manusia melakukan pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke
pihak yang lainnya dengan menggunakan ancaman, penipuan dan penguasaan.
Perdagangan manusia mengandung elemen pengalihan yang tujuannya bisa untuk
apa saja baik eksploitasi tenaga kerja, pembantu rumah tangga, pengambilan organ
tubuh dan sampai kepada eksploitasi seks komersil (Wagner, 2004).
Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu
perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati
perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban
dirayu, ditipu, diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, peyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain

5
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana
perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah
protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking
adalah:
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain
dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyaalah gunaan
kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau
memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang
berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling
tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari
eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek
serupa perbudakan, pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang
dikemukakan dalam sub line (a).
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang
anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika
kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub babline
(a).
d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.
Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang
menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang,
tetapi juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan. Dari
pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama
lainnya, yaitu:
a. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.
b. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk paksaan
lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orangorang.
c. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup
setidaktidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksplotasi
seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau pengambilan organ
tubuh.
Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari beberapa
pengertian trafficking yaitu:
a. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan, penampungan
atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara.
b. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan
perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau tidak),
sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau seksusal), baik itu
TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan
lainnya.
c. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan
kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun
seksual, guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai
ancaman, maupun tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan
atau penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa
korban yang menyatakan persetujuan yang mana dipahami bahwa situasi-situai
tertentu yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya karena kebutuhan
ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain sebagainya.
6
Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian trafficking
di atas dapat diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan terpenuhi
apabila memenuhi tiga unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan. Proses disni
meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penjualan,
sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan, pemaksaan, penipuan,
kebohongan dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untukeksploitasi, baik
seksual atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan menjadikan pelayan.

2.2 Faktor - faktor penyebab human trafficiking


Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi
terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di
Indonisia diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama
terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia
merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan
menjadi rahasia umum lagi bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi
prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka
untuk mencari uang dengan berbagai cara. Selain itu budaya konsumvitisme, juga
ikut andil menambah iming-iming masyarakat untuk mencari biaya penghidupan.
Semua ini menjadikan mereka dapat terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak
asusila lainnya.
Di sisi yang lain kurangnya lahan pekerjaan atau masih banyaknya angka
pengangguran melengkapi rendahnya pendapatan atau ekonomi masyarakat.
Keterbatasannya lahan pekerjaan yang dapat menampung perempuan dengan
tingkat keterampilan yang minim menyebabkan banyak perempuan-perempuan
menganggur sehingga kondisi inilah yang dipergunakan dengn baik oleh para
perantara yang menyarankan perempuan-perempuan untuk bekerja. Mereka
dijanjikan untuk bekerja di dalam kota, atau di luar negeri. Dalam bujukan tersebut,
tidak dijelaskan secara detail pekerjaan apa yang akan didapatkan. Biasanya para
perantara hanya memberikan iming-iming gaji atau upah yang besar. Tanpa
disadari, korban telah terjebak penipuan dalam hal ini sebagai pelayan seks.
Biasanya mereka bersedia bekerja di manapun ditempatkan. Oleh karena itu ketika
ada perantara yang menawarkan sebuah pekerjaan dengan iming-iming upah atau
gaji yang besar maka mereka akan menyambut dengan senang hati tawaran tersebut.
Tawaran ini selalu menjadi dewa penyelamat untuk meneyelesaikan kondisi
ekonomi. Namun pada hakikatnya hal tersebut adalah sasaran empuk bagi para calo
untuk dijadikan korban trafficking.
Pada wilayah anak-anak, putus sekolah menyebabkan mereka untuk memaksakan
diri mereka sendiri untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa kerja untuk bisa
meringankan beban keluarga. Tidak jarang anakanak menjadi korban eksploitasi
seksual komersial dan trafficking terhadap anak karena orang tua mereka sudah
tidak sanggup lagi membiayai. Keluarga yang miskin mungkin tidak sanggup untuk
mengirim anak mereka ke sekolah dan biasanya akan mendahulukan pendidikan
bagi anak laki-laki jika mereka hanya mampu mengirim sebagian anak-anak mereka
ke sekolah. Jika orang tua tidak mampu mencari pekerjaan, maka anak akan mereka
suruh bekerja diladang atau di pabrekatau di dalam situasi yang lebih berbahaya
serta jauh dari rumah seperti diluar kota atau di luar negeri.
Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat anak dan perempuan semakin
rentan terhadap trafficking. Pemaknaan ekonomi rendah juga bisa diaplikasikan
pada orang yang terjerat banyak hutang. Jeratan hutang tersebut yang pada akhirnya
berujung fenomina yang disebut “Buruh Ijon”, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan
7
oleh seseorang yang dianggap sebagai pembayaran hutang. Adapun kasus jeratan
hutang bisa terjadi pada siapapun. Pada kasus trafficking mudus yang biasa terjadi
dengan cara penipuan. Buruh migrah telah menempatkan diri mereka dalam jeratan
hutang. Di mana mereka setuju untuk membuat pinjaman uang untuk membayar
biaya perjalanan mereka. Korban hutang tersebut kemudian harus bekerja sampai
hutangnya lunas, biasanya trafficker meminta melunasi sesuai permintaannya. Ada
yang sebagai pekerja seks, pembantu rumah tangga dan masih banyak yang lain.
Kekerasan dan eksploitasi yang terperangkap dalam buruh ijon bekerja pada rumah
tangga sebagai pembantu atau penjaga anak, direstauran, toko-toko kecil, di
pabrekpabrek atau pada industri seks. Tapi menjadi rahasia umum apabila masih
gadis maka melunasi dengan bekerja sebagai pekerja seks.
Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa. Sedangkan kerja
paksa membuka besarnya kemungkinan untuk kekerasan dan eksploitasi terhadap
pekerja. Pada kondisi seperti di atas, pekerja kehilangan kebebasannya untuk
bergerak karena orang yang menguasai hutang ingin memastikan bahwa pekerja
tidak berusah melarikan diri dari hutangnya. Bahkan para korban disembunyikan
dari penegak hukum, polisi dan masyarakat luas. Pada akhirnya rendahnya ekonomi
berujung pada penerimaan pinjaman para calo agar mereka dapat bekerja akan
tetapi mereka tidak memahami bahaya yang akan menimpanya.

2. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya


Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk Indonisia
penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan
sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak.
Indonisia adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komonitas dimana
kaum laki-laki yang lebih memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang
mendegorasi perempuan baik dalam kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku
masyarakat. Misalnya perumusan tentang kedudukan istri dalam hokum perkawinan,
kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh laki-laki, atau
kecenderungan lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan dalam
bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan dalam posisi
subordinat dibandingkan dengan laki-laki.
Kondisi perekonomian yang lemah serta kontrusksi masyarakat yang ada menempatkan
hakperempuan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan. Meskipun dalam pasal 3
perjanjian tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966 menyatakan bahwa
adanya persamaan bagi lakilaki dan perempuan untuk memperoleh hak ekonomi, sosial
dan budaya. Namun kenyataannya HAM di Indonesia masih belum menyentuh
masyarakat karena masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan.
3. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan eksploitasi
terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah, sehingga mereka
tidak mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan hidup. Implikasinya,
8
mereka rentan terlibat kriminalitas. Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2000 lalu
melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum atau tidak
tamat pendidikan dasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPJS Tahun
2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak
melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak mampuan dalam hal
biaya.
Melihat data di atas tampak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih banyak yang
bertaraf rendah tingkatannya dalam hal pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan serta
minimnya keterampilan atau skill menyebabkan sebagian besar dari permpuan
menganggur serta menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di rumah. Dan
pada akhirnya tidak menghasilkan keuangan bahkan mengurani pemasukan. Sebenarnya
tidak hanya kaum perempuan yang menganggur akan tetapi laki-laki juga mengalami hal
yang serupa. Tampak bahwa setip tahun ribuan orang meninggalkan kampung
halamannya dan snak keluarganya demi mencari keja atau penghidupan yan lebih layak
di daerah lain Indonesia atau bahkan keluar negeri.
Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan yang paling banyak
menganggur. Kedaan inilah yangmenyebabkan mereka menerima tawaran pekerjaan
oleh para perantara yang yang mereka tidak menyadarinya sebagai trafficker meskipun
belum menegtahui seberapa besar uapah atau gaji yang akan diterimanya.
4. Tidak Ada Akta Kelahiran
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang lalu
memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum mempunyai
akta kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak
harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta
kewarganegaraan. Ada bermacammacam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar
kelahirannyaa. Orang tua yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal
atau mereka tidak menyadari pentingtnya akata kelahiran.
Banyak yang tidak tahu bagaimana mendaftarkan seorang bayi yang baru lahir.
Rendahnya registrasi. Kelahiran, khususnya di masyarakat desa menjadi fasilistas
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta
kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja di
luar negeri. karena mereka tidak mempunyai dokumin yang disyaratkan, maka mereka
dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan.
5. Kebijakan yang Bias Gender
Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender di mana hukum

9
Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk lakilaki dan perempuan.
Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak
bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi untuk
perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum perlindungan
hanya di atas kertas sedangkan prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan.
Kesetaraan gender belum sepenuhnya terwujud, perempuan masih tertinggal secara
sosial, politik, dan ekonomi dari kaum laki-laki.
Adapun dalam hal pendidikan misalnya, ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan, maka semakin lebar kesenjangan antara partisipasi perempuan dan laki-laki.
UU perkawinan tahun 1974 menaikkan usia minimum bagi seorang gadis untuk meniah
menjadi 16 tahun. Namun pernikahan diusia lebih muda dimungkinkan dengan izin dari
peradilan. UU perkawinan secara hukum mengannggap mereka sebagai orang dewasa
sekalipun mereka masih di bawah 18 tahun. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya sampai
anak itu kawin atau dapat berdikari (pasal 45) sekalipun tidak ada larangan bagi anak
yang sudah menikah untuki bersekolah, anak perempuan yang sudah menikah sangat
jarang meneruskan pendidikan mereka. Kenyataannya sekolah-sekolah formal untuk
tingkat SMP atau SMA tidak menerima siswa yang sudah menikah, walaupun ada itu
hanya disekolah kesetaraan yang kejar paket B atau C.
Dalam bidang ketenagakerjaaan, hukum Indonisia memberikan perlindungan de jure
bagi perempuan di tempat kerja. Menurut hukum, perempuan dilindungi dari
diskriminasi berdasarkan gender atau Karena menerima bayaran yang setara untuk
pekerjaan yang sama, tidak dapat diberhentikan jika menikahh atau melahirkan, tidak
boleh mengerjakan pekerjaan yang berbahaya dan harus diberikan cuti hamil.
Selain itu, kerentanan perempuan semakin tinggi setelah berserai, khususnya bagi
mereka yang memmiliki anak. Undang-undang perkawinan dan peraturan-peratuan yang
terkait mengizinkan laki-laki dan perempuan bercerai untuk alasan yang sama. Namun
peraturan tersebut menempatkan perempuan yang bercerai dalam posisi yang tidak
menguntungkan dalam hal tunjangan dari suami setelah perceraian terjadi.
6. Pengaruh Globalisasi
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa waktu terakhir
ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual, baik dalam lingkup
domistik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang
paling menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan
industri seksual, ini baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada

10
beberapa tahun terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam
suatu kegiatan yang terorganisir dengan sangat rapi. Merupakan sebagian dari alasan-
alasan yang membuat berita-berita perdagangan ini belum menarik media massa paa
masa lalu. Adapun pengaruh dari akibat globalisasi dunia, Indonesia juga tidak dapat
luput dari pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek teknologi, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek tersebut membawa perubahan
pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang diacu oleh berbagai kemudahan
informasi.
Dampak negatif dari perrubahan dan kemudahan tersebut menjadi konsekuensi bagi
munculnya permasalahan-permasalahan sosial termasuk pada perempuan dan anak,
salah satunya adalah berkembangannya perdagangan seks pada anak.
2.3 Bentuk dan Modus Trafficking Human
2.3.1 Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin komplek, banyak
model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi trafficking berhasil. Ini
tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai
belahan dunia termasuk Indonisia. Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya
adalah:
1. Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena
akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan
kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk mucikari atau
disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak
terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan. Korban tidak berdaya
untuk menolak melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika
ia menolak maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya karena biasanya
mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi mereka.
Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali, sehingga korban bagaikan
buah si malakama. Jika korban protes maka mereka diharuskan membayar sejumlah
uang sebagai ganti dari biaya hidup yang digunakan oleh korban. Dalam prakteknya
korban dalam posisi yang lemah dan diskenariokan untuk selalu tergantung atau merasa
membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun kebutuhan secara
ekonomis.

11
2) Eksploitasi non komersial,
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak
pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan
dengan tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban harus menderita
secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa dan mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak sanggup menghadapi semuanya
terganggu jiwanya.
Di Indonesia keberadaan perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi yang
diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan yang digunakan untuk memproduksi
bahan-bahan pornugrafi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Dalam banyak kasus,
perempuan semula dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu untuk bekerja sebagai buruh
migran, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, pelayan toko, dan lain sebagainya.
Tetapi kemudian dipaksa pada industri seks pada saat mereka tida pada daerah tujuan.
Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non komersial kedua-duanya
sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV dan AIDS, sebuah virus yang menggerogoti
sistem kekebalan tubuh sehingga jika seseorang sudah tertular maka kekebalan tubuhnya
sudah tidaki ada lagi. Dari tahun ke tahun penularan penyakit ini perkembangannya
semakin pesat, yang tertular tidak hanya di kalangan masyarakat kota tapi juga sampai
ke pelosok desa seperti papua. Ini adalah masalah yang sangat besar, satu sisi agama dan
negara mencegah dengan peraturanperaturannya namun disisi lain kejahatan semakin
merajalela dan semakin canggih.
2. Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di dalam wilayah Indonesia
dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah paksaan, pengekangan dan tidak
diperbolehkan menolak bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah
yang tidak dibayar. Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu
tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal antara
pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan. upah
yang diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan
yang dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak
yang tidak ada waku untuk istirahat.
Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan layaknya budak, baik
ketika menyuruh suatu pekerjaan atau dalam hal makan, di mana mereka diberi makan
yang sedikit dan tidak memenuhi standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga,
dilarang menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri seringkali

12
majikan dan agen menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur jika mereka diperlakukan
oleh semua majikan karena ada juga majikan yang baik dalam memperlakukan
pembantu rumah tangganya bahkan menganggapnya sebagai keluarga.
3. Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern menjadi salah satu
penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga modern yang enggan mendapatkan
keturunan dari hasil pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya
para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.
Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala
persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi
melalui proses perdagangan. Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang
kemudian dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke
Amerika.
Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak Indonesia yang diperdagangkan
ke Swedia. Para trafficker tidak hanya mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah
dan remaja saja janinpun bisa mereka tampung.
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di perbatasan
Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai sekitar 18.000 -
25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk orok bermata bundar dan berkulit hitam
dihargai 10.000-15.000 Ringgit Malaysia.
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa buruh migran
Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu saat di luar negeri, dipaksa
untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah
tangga Indonesia ditipu oleh pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan
bayi majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.
4. Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional, di mana korban
tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas.
Ini terjadi mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan
dibiayai oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat bulanan
yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak
gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW harus tetap bekerja apapun kondisi yang
dihadapi di lapangan sampai habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat

13
mengarah pada kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan
eksploitasi terhadap pekerja.
Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang yang menghutangkan
ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari dari hutangnya. Meskipun secara teori
mereka hutang tersebut dapat dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang
tersebut akan terus ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.
5. Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba. Narkoba sudah
mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah penyebarannya mulai dari kota
besar sampai kepelosok desa. karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat
fantastis dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang
menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat
menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan
penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar.
Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk mengedarkan pil
setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak kasus dalam tayangan berita di
mana muda mudi tertangkap menyeludupkan narkoba termasuk heroin atau ganja
tertangkap polisi. Mereka sangat sulit sekali untuk membuka siapa yang ada dibalik
mereka, karena biasanya mereka sudah diikat dengan perjanjian untuk tidak membuka
dan kadangkala mereka sendiri tidak tau siapa pihak pertama atau pemilik barang haram
tersebut. Akhirnya merekalah yang harus menerima resikonya sementara bandar
narkobanya bebas melenggang.
Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat bagi para pengemis.
Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang bahkan menggendong anak kecil
dengan penampilan yang amat sangat tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba
modern berburu kepingan rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata
banyak diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang sudah
ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak
dengan sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang hanya bersifat formalitas belaka.
Memang sudah ada upaya dari Dinas Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena
buktinya semakin hari perempuan yang mengemis di jalanan makin banyak.
6. Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)
Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya mahar yang diminta oleh
pihak perempuan, sementara laki-laknya tidak mampu secara ekonomi untuk
memenuhinya sedangkan usia mereka lebih dari cukup untuk menikah. Maka salah satu

14
caranya adalah dengan membeli perempuan dari luar negeri untuk dinikahinya karena
tidak perlu memberikan mahar yang besar dan lebih mau menuruti apa maunya si
lakilaki. Ini dialami oleh seorang TKW dimana ia menceritakan bahawa ia telah
menikah dengan laki-laki asal timur tengah, namun ironinya ketika perempuan tersebut
hamil ia dipulangkan ke Indonesia dengan tanpa sepersenpun diberi nafkah dan biaya
persalinan.
Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat perkawinan sebagai salah satu
penipuan. 1) Perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil
perempuan tersebut dan membawa ke wilayah lain yang sangat asing, namun sesampai
di wilayah tujuan perempuan tersebut disalurkan dalam industri seks atau prostitusi. Ini
sangat ironi sekali dan sangat bias gender, dimana seorang suami yang harusnya
berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga justru sebaliknya ia
menghamburhamburkan uang yang dikumpulkan istri. Mungkin ini karena pihak laki-
laki merasa ia sudah membeli si perempuan sehingga ia menganggap bahwa perempuan
itu adalah budaknya yang bisa bebas ia perlakukan.
2) Perkawinan untuk memasukkan perempuan ke dalam rumah tangga untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domistik yang sangat eksploitatif bentuknya.
Fenomina pengantin pesanan ini banyak terjadi dalam masyarakat keturunan cina di
Kalimantan Barat dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari Jawa Timur
diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa.
Data dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjung Pura, setiap tahun kira-kira 50
perempuan kembali ke Singkawang dari Taiwan telah mengalami kekerasan dan
penipuan. Kekerasan dan penipuan yang dilaporkan bermacam-macam yaitu dinikahkan
dengan laki-laki yang lebih tua, berlainan dengan apa yang diberitahukan sebelumnya
atau dengan laki-laki yang cacat mental atau fisik atau dinikahkan secara sah sebagai
perempuan simpanan atau menjadi pelayan tanpa bayaran atau bekerja di pabrek dan
dipaksa bekerja di prostitusi.
7. Donor Paksa Organ Tubuh
Perdagangan organ tubuh manusia kini semakin merajalela seiring dengan kemajuan
teknologi dibidang kedokteran, misalnya saja teknologi cangkok jantung, ini biasanya
dipesan untuk mereka para penderita jantung yang berkantong tebal dan “turis cangkok”
sebutan untuk para pasien yang datang ke negara-negara miskin untuk membeli organ
tubuh orang-orang miskin. Di Indonesia, modus penjualan organ tubuh ini beranika
ragam, ada yang menjual karena terdesak kebutuhan ekonomi, misalnya yang dilakukan
seorang ibu demi memenuhi biaya hidup, pendidikan bahkan untuk pengobatan penyakit

15
anaknya ia rela menjual organ ginjalnya atau juga yang dilakukan dengan cara menipu
sang donor. Bahkan ditengarai ada kasus pembubuhan dengan tujuan mengambil organ
tubuh korban kemudian dijual.
Modus lain adalah memanfaatkan organ tubuh para TKW yang meninggal di luar negeri.
Untuk kasus ini seringkali ketika jenazah sampai di dalam negeri biasanya pihak
keluarga tidak diperkenankan meliahat atau membuka peti jenazah. Sebenarnya ini
sering terjadi tapi karena ketidak tahuan pihak keluarga akhirnya pihak keluarga hanya
menuruti saja, padahal mungkin saja jenazah yang cukup lama tapi juga karena organ
tubuh mayat sudah diambil untuk dijual yang mingkin saja dilakukan oleh pihak majikan
ataupun pihak rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan sindikat penjualan organ
tubuh manusia.
2.3.2 Modus Trafficking
Dalam menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan mudus berupa
iming-iming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu:
1. Tawaran Kerja Salah
satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah penawaran kerja ke luar
pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku biasanya mendatangi rumah calon
korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari
pemerintah desa setempat.
Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan sejumlah pihak, termasuk
memberi kemudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus
mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah atau negeri. Dari pihak orang
tua korban sudah tidak memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja karena
sudah termakan oleh bujukan pelaku.
Modusnya adalah para calo atau perantara memberi iming-iming bagi para korban
dengan menawarkan bekerja di mall dan salon dengan gaji besar. Selanjutnya korban
diserahkan pada germo yang kemudian dipekerjakan secara paksa sebagai wanita
penghibur di tempat-tempat hiburan malam.
Selain aspek pemaksaan yang menyalahi aturan, aspek upah juga sangat merugikan para
korban. Mereka hanya mendapatkan sedikit upah dari transaksi. padahal sekali kencan
korban diberi uang oleh hidung belang sekitar kurang lebih 500 ribu sekali kencan. Hal
ini biasanya dijadikan dalih oleh para germo sebagai pembiayaan fasilitas antar jemput,
baju, dan rias bagus serta modis agar lebih menarik.
2. Bius
Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang paling sering

16
dilakukan dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bisa menjadi korban
perdagangan manusia dengan kekerasan seperti dibius.
Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini berawal dari penculikan terhadap
korban, kemudian pelaku membiusnya dengan suntikan ataupun dengan alat yang lain
yang digunakan untuk membius. Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan
sang bos. Setelah itu korban diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa ke negara lain
tanpa membawa paspor untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks.
2.4 Undang- Undang Tentang Trafficking U
ndang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut,baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu:
unsurproses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan
sebagai perdagangan orang.
1. Proses: tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut
2. Cara: ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut.
3. Eksploitasi: tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau
secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

17
4. Lokus: Tempat kejadian tindak pidana perdagangan orang bisa terjadi di dalam
negara ataupun antar negara.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang
Kurungan Penjara dan atau Denda. Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun maksimal
15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku perorangan Rp 150-600 juta, sementara untuk
perusahaan sanksi penjaranya minimal 9 tahun dan maksimal 45 tahun, atau denda
minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar.
Korban Human Trafficking
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental. fisik, seksual, dan
atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 ayat 3 UU No 21
Tahun 2007). Ciri-ciri perdagangan orang dalam konteks migrasi ketenagakerjaan?
1. Perekrutan tanpa Perjanjian Penempatan;
2. Ditempatkan tanpa perjanjian Kerja;
3. Perekrutan dibawah umur (-18 thn) dokumen dipalsukan;
4. Perekrutan tanpa izin suami/orang tua/wali;
5. Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih);
6. Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan;
7. Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin dari Menteri
Tenaga Kerja;
8. Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian Kerja;
9. Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak sesuai dengan
peraturan Indonesia.
10. Beban biaya diatas ketentuan yang ditetapkan pemerintah (over charging).
Hak Korban dan/ atau Saksi
1. Hak Korban dan/ atau Saksi juga diberikan kepada keluarganya dengan rincian
sebagai berikut: 1) Memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44) Hak ini diberikan juga
kepada keluarga korban dan/ atau saksi sampai derajat kedua.
2) Hak untuk mendapat jaminan perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri,
jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47).
3) Restitusi (Pasal 48). Restitusi ini adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas
kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 1
angka 13 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007).
Pengaturan restitusi berupa ganti kerugian atas garis besarnya adalah sebagai berikut:
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan,

18
b. penderitaan,
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis, dan/atau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang
perkara tindak pidana perdagangan orang. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Restitusi tersebut dapat dititipkan
terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. Pemberian restitusi dilakukan
dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding
atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang
dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Pelaksanaan pemberian restitusi
dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutus perkara dan ditandai tanda bukti
pelaksanaannya.
Rehabilitasi (Pasal 51).
Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial
agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan,
dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan
baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
2. Rehabilitasi diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian,
relawan pendamping, atau pekerja sosial, setelah korban melaporkan kasus yang
dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Polri.
3. Permohonan diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang
menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah. Dalam penjelasan Pasal
53 ayat (3) menegaskan yang dimaksud dengan pemerintah adalah “instansi” yang
bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/ atau penanggulangan masalah –
masalah sosial serta dapat dilaksanakan secara bersama – sama antara penyelenggara
kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban
berasal atau bertempat tinggal.
4. Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan integrasi sosial paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak diajukan permohonan.
5. Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
ppemulangan dan reintegrasi sosial pemerintah serta pemerintah daerah wajib

19
membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
6. Di samping perlindungan seperti yang telah diutarakan, sesuai Pasal 53 dan Pasal 54
bagi korban juga mendapat hak perlindungan antara lain;
1) apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat
tindak pidana perdagangan orang, maka menteri atau instansi yang menangani masalah –
masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan;
2) apabila korban di luar negeri memerlukan perlindungan, maka pemerintah RI melalui
perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban dan
mengusahakan memulangkan ke Indonesia atas biaya negara;
3) apabila korban warga negara asing, berada di Indonesia, maka pemerintah RI
mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi
dengan perwakilannya di Indonesia
2.5 Dampak/ Pengaruh Trafficking Human
Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab human
trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking dalam situasi
yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu kehidupan sosial
perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan Course Instruction (2011:
13, 14) sebagai berikut.
1. Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental
Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban trafficking sering mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan
cedera aktual atau terancam kematian yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik
diri sendiri atau orang lain" dan tanggapan mereka terhadap peristiwa ini sering
melibatkan "rasa takut yang sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi umum dari
post traumatic stress disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami
perempuan korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara paksa, mengalami
penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan untuk dijual dan di
eksploitasi (American Association, 2005: 467).
Setelah kedatangan ke tempat tujuan, perempuan korban trafficking perempuan korban
trafficking terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan dalam kurungan, dan
kekurangan makanan. Semua milik pribadi dilucuti dari mereka, surat identitas, paspor,
visa, dan dokumen lainnya (Course Instruction, 2011:1). Korban mengalami banyak
gejala psikologis yang dihasilkan dari kekerasan mental sehari-hari dan penyiksaan. Ini
termasuk depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan,

20
fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami penolakan, ketidakpercayaan, tentang
situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya dan malu (Stotts & Ramey, 2009:10).
Rasa takut yang terus-menerus untuk keamanan pribadi mereka dan keselamatan
keluarga mereka, ancaman deportasi akhirnya berkembang menjadi rasa kehilangan dan
tidak berdaya. Hal ini tidak mengherankan bahwa depresi, kecemasan, dan post
traumatic stress disorder (PTSD) adalah gejala yang umum dialami oleh para korban
yang diperdagangkan.
Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang kejam yang
mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Kegelisahan, insomnia, depresi dan
post traumatic stress disorder menggambarkan standar evaluasi atau penilaian yang
mengecewakan nilai diri dengan memandang rendah diri sendiri (Taylor, 2012:1).
Para perempuan korban trafficking seringkali kehilangan kesempatan penting untuk
mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan tanpa tujuan
hidup yang jelas, suram dan gelap masa depan.
1) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami peristiwa traumatik yang
menyebabkan gangguan pada integritas diri individu dan sehingga individu mengalami
ketakutan, ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend M.C., 2009). Individu
dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering menyebabkan peningkatan
keadaan siaga yang berlebihan, deperti insomnia, waspada berlebihan dan iritabilitas
terhadap lingkungan yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat menyebabkan perilaku
agresif atau perilaku menciderai (Fontaine, 2009).
Berdasarkan penelitian Rose (2002) ada 3 tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD,
yaitu:
a. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa
yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang
menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian
yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh
kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
b. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari
aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari
orang lain, dan emosi yang dangkal.
c. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah / tidak
dapat mengendalikan marah, susah konsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon

21
yang berlebihan atas segala sesuatu.
2) Kecemasan
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak
berdaya (Videbeck, 2008). Satu studi melaporkan bahwa orang yang selamat dari
trafficker mengalami kecemasan dengan gejala kegugupan (95%), panik (61%), merasa
tertekan (95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%) (Bradley, 2005).
3) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan perilaku seseorang yang tidak
akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil, suatu keadaan dimana individu
kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan.
Secara kognitif korban umumnya kurang konsentrasi, ambivalensi, kebingungan, fokus
menyempit / preokupasi, misinterpretasi, bloking, berkurangnya kreatifitas, pandangan
suram, pesimis, sulit untuk membuat keputusan, mimpi buruk, produktivitas menurun,
pelupa. Afek korban terkadang tampak sedih, bingung, gelisah, apatis / pasif, kesepian,
rasa tidak berharga, penyangkalan perasaan, kesal, khawatir, perasaan gagal. Korban
sering semakin sering mengeluh kelemahan, pusing, kelelahan, keletihan, sakit kepala,
perubahan siklus haid. Keluarga mungkin melaporkan perubahantingkat aktivitas pada
korban, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, mudah menangis.
Kecenderungan untuk isolasi, partisipasi sosial berkurang pada tingkat lanjut mungkin
akan tampak pada korban (Rahmalia, 2010)
2. Dampak Sosial
Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak awal direkrut,
diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah disekap, diisolir agar
tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan.
Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan membatasi mereka
untuk bertemu dengan orang lain (Course Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus
melayani nafsu bejat para tamu (lelaki hidung belang). Para korban semestinya
memandang dunia dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman tentram bersama
perlindungan dan kasih sayang keluarganya, tibatiba harus tercabut masuk ke dalam
situasi yang eksploitatif dan kejam, menjadi korban sindikat trafficking.
Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak dialami oleh
perempuan. Korban trafficking. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi
sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak, para
korban terutama anak-anak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi

22
dengan teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan
tampaknya mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial
merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan
kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan.
Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13), persoalan sosial yang sangat tragis
dan semakin meningkatkan stress dan depresi para korban adalah ketika keluarga dan
masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali. Selain itu, para pria sering
melihat perempuan korban trafficking sebagai orang yang kotor, telah ternodai dan
karena itu menolak untuk menikahi mereka. Diskriminasi terhadap para perempuan
korban trafficking terjadi dalam berbagai sector dan berbagai bentuk. Kenyataan ini
telah menggugah rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus berjuang agar nilai-
nilai kemanusiaan seperti keadilan, kesederajatan, bisa diwujudkan. Jadi dampak sosial
yang dimaksud adalah isolasi sosial, penolakan dari keluarga & masyarakat
mengakibatkan perempuan korban trafficking kehilangan makna dan tujuan hidup serta
penghargaan atas dirinya.
3. Dampak Kesehatan Fisik
Secara fisik, cedera aktual para perempuan korban trafficking terjadi, karena mereka
mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali terpaksa harus tinggal di
lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam kondisi berbahaya. Mereka tidak
memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara brutal pada fisik dan psikis,
apabila mereka tidak memberikan pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki
hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap eksploitasi seksual. Korban
sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai dan tinggal dilingkungan
yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey, 2009: 10). Perawatan kesehatan dan
pencegahan penyakit seksual menular terhadap para korban hampir tidak ada, dan
kesehatan biasanya diabaikan sampai mereka semakin terpuruk menderita penyakit
HIV / AIDS, sipilis, gonorea dan penyakit seksual menular lainnya.
Para perempuan korban trafficking dirugikan dengan berbagai metode yang digunakan
traffickers untuk "kondisi" mereka, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan geng, ancaman
untuk menyakiti korban atau keluarga korban, kronis pada pendengaran, dan
kardiovaskular atau masalah pernapasan yang disebabkan oleh penyiksaan, trans-seksual
dan memaksa penggunaan narkoba. Luka fisik termasuk hal-hal seperti patah tulang,
gegar otak, luka bakar, dan vagina atau dubur robek. Kehamilan korban yang tidak
diinginkan akibat pemerkosaan atau prostitusi. Infertility sebagai akibat infeksi kronis
menular seksual yang tidak diobati atau gagal atau melakukan aborsi tradisional bukan

23
oleh para medis dan tanpa perawatan medis. Belum lagi penyakit yang tidak terdeteksi
atau tidak diobati, seperti diabetes atau kanker, sebagai ancaman masa depan para
korban (Stotts & Ramey, 2009: 11). Penyalahgunaan zat (obat obatan terlarang) sebagai
sarana untuk mengatasi situasi depresi korban sekaligus sebagai strategi traffickers
menundukkan korban untuk melakukan eksploitasi seksual.
Jadi dampak kesehatan fisik yang dimaksud adalah cedera aktual & ancaman terhadap
integritas diri para korban yang mengalami kekerasan fisik dan seksual. Penderitaan
secara fisik yang dialami para perempuan korban trafficking, menciptakan citra diri
negatif, konsep diri para korban semakin terpuruk, kehilangan makna hidup, harkat dan
martabat para korban menjadi hancur.
2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang
kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu.
Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga
pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame apparat
penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak- pihak lain
yang terkait yaitu lembaga pemerintah (Kementrian terkait) dan lembaga non
pemerintah (LSM) baik local maupun internasional.
Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai
dengankewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal
pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin
memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan
peremuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan
ha katas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat
memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hokum lainnya
didalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi
bersama. Kerjasama dengan apparat penegak hokum di negara tujuan bisa dilakukan
melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara. Upaya
Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO dan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention
ofChild Trafficking for Labor and Sexual Exploitation.
Tujuan dari program ini adalah:
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah

24
Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak
perempuan.
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus
sekolah dasar
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri.
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak
.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Kasus Human Trafficking
Artikel
Perdagangan Manusia (Masih) Marak, Berbungkus Berbagai Modus
Suara Ibu Sulis terdengar geram ketika bercerita mengenai apa yang terjadi pada salah satu putrinya,
yang menjadi korban – dan pada akhirnya penyintas – perdagangan orang pada akhir 2013.
“Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk rumah biadab itu.
Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali mendengar suaranya
(melalui telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,” kata Ibu Sulis berapi-api.
“Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang
menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan.
“Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga kami,” tegas ibu Sulis, 45 tahun.
Bella yang lahir pada tahun 2005, menurut ibunya, tergoda dengan iming iming gaji Rp 10 juta per
bulan sebagai SPG. Dia mendapat tawaran dari teman masa kecilnya yang memang sudah lebih dulu
bekerja di Dobo, kota kecil di Kepulauan Aru di Maluku.
Bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diam-diam meninggalkan desa dan merasa
bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban akan kegalauannya. Dari kampung mereka,
Rawamangun di Palopo, gadis-gadis sebaya ini berangkat ke Makassar., Menginap satu malam di
sebuah hotel dan bertemu dengan calon pemberi pekerjaan, yang ternyata adalah pemilik kelab
malam. Lalu berangkat dengan pesawat menuju Ambon pada keesokan harinya.
Para pelaku praktek perdagangan orang ini diduga menggunakan sistem sel yang terputus-putus di
satu daerah ke daerah lain., Hampir serupa dengan cara sindikat narkoba beroperasi. Sehingga dari
Ambon, gadis-gadis Palopo ini bertemu dengan orang yang berbeda yang membawa mereka ke
Pulau Aru. Dan cerita sedih berkepanjangan dimulai ketika mereka menginjakkan kaki di tempat
kerja mereka.

25
“Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja melayani tamu,
menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di
ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,” kata Ibu Sulis menceritakan apa yang dia dengar
dari anaknya.
Bella dan teman-temannya melihat perlakuan buruk kepada perempuan yang bekerja di sana.;
Bukan hanya dari para pelanggan tetapi juga pekerja laki-laki serta pemilik tempat hiburan itu.
“Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas tidak
akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang sama sekali tidak bisa meninggalkan tempat itu
karena hutang banyak, anak banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.”
“Bella juga melihat teman-temannya yang sakit atau hamil dibawa pergi dari pulau dan tidak pernah
kembali.”
Cerita Bella hanyalah satu dari ribuan kisah pilu perdagangan orang. Tersamarkan dengan berbagai
modus yang terus diperbaharui seiring dengan perkembangan jaman untuk menjerat korbannya.
Iming-iming gaji bulanan dengan jumlah fantastis masih sering digunakan, tetapi para pemangsa
mulai menggunakan media sosial untuk menjerat targetnya. Dan sudah ada pula kasus-kasus dimana
korban dijerat melalui perjalanan umrah.

BAB IV Intervensi
4.1 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Nn. B DENGAN KORBAN HUMAN
TRAFFICKING
Nama Klp
Tgl/ Jam Pengkajian Sumber Data
Metode Alat/ Bahan Diagnosa Medis

I. IDENTITAS
1. Nama
2. Umur
3. Jenis Kelamin
4. Pekerjaan :

II. POLA PERSEPSI KESEHATAN ATAU PENANGANAN KESEHATAN


1. Keluhan Utama: Menurut Ny. S “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga
kami,”
2. Riwayat Penyakit Sekarang (Tidak terdapat dalam Kasus)

26
3. Lamanya Keluhan (Tidak terdapat dalam Kasus)
4. Faktor yang Memperberat Menurut Ny. S “Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat
orangtua tidak akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,”
5. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi Keluhan Menurut Ny. S bersama dengan teman lama dan
sahabatnya, Bella pergi diam-diam meninggalkan desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri
merupakan jawaban akan kegalauannya.
6. Riwayat Penyakit Dahulu (Tidak terdapat dalam Kasus)
7. Persepsi Klien tentang status kesehatan dan kesejahteraan (Tidak terdapat dalam Kasus)
8. Riwayat Kesehatan Keluarga (Tidak terdapat dalam Kasus) 9. Susunan Keluarga (Genogram)
(Tidak terdapat dalam Kasus)
10. Riwayat Alergi (Tidak terdapat dalam Kasus)
III. POLA NUTRISI DAN METABOLIK
(Tidak terdapat dalam Kasus)
IV. POLA ELIMINASI
(Tidak terdapat dalam Kasus)
V. POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN
(Tidak terdapat dalam Kasus)
VI. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR
(Tidak terdapat dalam Kasus)
VII. POLA KOGNITIF DAN PERSEPTUAL
Tingkat Ansietas:
Menurut Ny. S “Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk
rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali
mendengar suaranya (melalui telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,”
VIII POLA PERSEPSI DIRI/ KONSEP DIRI
1. Role Peran : Konflik Peran Menurut Ny. S “Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa
keluar. Selama itu dia kerja melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai
pakaian seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,”
2. Identity/ Identitas Diri : Merasa Terkekang dan Kurang Mampu menentukan Pilihan. Menurut
Ny. S “Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas
tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang sama sekali tidak bisa meninggalkan tempat itu
karena hutang banyak, anak banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.”
Masalah Keperawatan : Resiko Harga Diri Rendah
IX POLA PERAN DAN HUBUNGAN
Pekerjaan : SPG

27
X POLA SEKSUALITAS/ REPRODUKSI
(Tidak Terdapat dalam Kasus)
XI. POLA KOPING/TOLERANSI STRESS
(Tidak Terdapat dalam Kasus)
XII. POLA NILAI / KEPERCAYAAN
(Tidak Terdapat dalam Kasus)
XIII. PENGKAJIAN PERSISTEM (Review of System)
(Tidak Terdapat dalam Kasus)
XIV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Tidak Terdapat dalam Kasus)
XV. TERAPI
(Tidak Terdapat dalam Kasus)

ANALISA DATA
Nama Klien
Umur
Ruangan/ Kamar
No. RM

No Data ( Symptom) Penyebab (Etiologi) Masalah (problome)

1 Objektif Gangguan Proses Keluarga


1. Menurut Ny. S “Anak D.0120. Gangguan
saya mungkin frustasi dan Frustasi Proses Keluarga
tidak tahan kondisi
keluarga kami,” Tidak Tahan Kondisi

2. Menurut Ny.S “Keluarga Keluarga Broken Home


kami broken home.
Anakanak melihat Orang Tua Tidak Akur
orangtua tidak akur.
Mungkin itu yang
menyebabkan dia
memutuskan pergi,”

2 Objektif Resiko Harga Diri Situasional


D.0102. Risiko Harga
1. Menurut Ny. S “Dia Kerja melayani tamu pria Diri Rendah
magang untuk 3 bulan Situasional
baru boleh dibawa keluar. Memakai pakaian minim
Selama itu dia kerja
melayani tamu, menemani Pekerjaan SPG
minum. Setiap hari dia

28
disuruh memakai pakaian
seminim mungkin dan
dipajang di ruang kaca.
Bisa saya katakan separuh
telanjang,”

2. Menurut Ny. S “Mereka


membuat perempuan
menjadi binatang.
Menjerat dengan hutang
yang jelas-jelas tidak akan
sanggup mereka bayar

PRIORITAS MASALAH
Nama Klien
Umur
Ruangan/ Kamar
No. RM
1. Gangguan Proses Keluarga (D.0120)
2. Risiko Harga Diri Rendah Situasional (D.0102)

PERENCANAAN

Diagnosa Perencenaan Keperawatan


Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan
Proses
Keluarga
(D.0120)

Risiko Harga
Diri Rendah
Situasional
(D.0102)

BAB V
Pembahasan

29
BAB IV
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan dan anak-anak yang
dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan cara mengendalikan korban dalam bentuk
paksaan, penggunaan kekerasan, penculikan, tipu daya, penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau
kedudukan. Jenis-jenis trafficking ini meliputi perkawinan transinternasional, eksploitasi seksual phedopilia,
pembantu rumah tangga dalam kondisi buruk, dan penari erotis. Faktor penyebab utama terjadinya tindakan
trafficking ini adalah karena kemiskinan dan beberapa diantaranya adalah, karena tingkat pendidikan yang
rendah, penganiyaan terhadap perempuan, perkawinan usia muda, dan kondisi sosial budaya masyarakat
yang patriarkhis. Dampak yang bisa ditimbulkan dari trafficking ini adalah kecemasan, stress, dan
ketidakberdayaan.
6.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para
pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Syafaat,
Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur.
Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

30

Anda mungkin juga menyukai