Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

DENGAN HUMAN TRAFFICKING

Disusun Oleh:

1. Ervina
2. Giantini
3. Kasyanti
4. Maya Silvana Wijayanti
5. Nurhayati Tanzi
6. Perpelitama Mangunsong
7. Ratna Puspita Sari
8. Sri Handrianti
9. Wahyu Kurniawan

PROGRAM S1 KEPERAAWATAN NON REGULER

STIKES PERTAMEDIKA JAKARTA

2022
Kata Pengantar

Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas Rahmat-Nya
yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Trafficking Human” yang merupakan salah satu tugas Mata
Kuliah Keperawatan Jiwa II. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih
terdapat beberapa kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan
wawasan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran yang konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan datang, karena manusia
yang mau maju adalah orang yang mau menerima kritikan dan belajar dari suatu kesalahan.
Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Trafficking Human” mendapat ridho dari Allah SWT, dan dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amiin....

pangkal pinang,. 2022

Tim Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3

BAB II Tinjaun Teori 4


2.1 Definisi Human Trafficking 4

2.2 Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking 8

2.3 Bentuk dan Modus Human Trafficking 15

2.4 Undang- undang tentang Human Trafficking 23

2.5 Dampak/ Pengaruh Human Trafficking 28

2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking 34

BAB III Tinjauan Kasus 36

3.1Kasus 36
3.2Asuhan Keperawatan Pada Isolasi Sosial berdasarkan Kasus 39

BAB IV Penutup 59

4.1 Kesimpulan 59

4.2 Saran 59

Daftar Pustaka 60

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara
modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya
teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan manusia
semakin canggih. “Perdagangan orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary),
terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan
sebagai transnational organized crime (TOC)”.
Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan
perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrument hukum secara khusus
yang meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan reintegrasi sosial.
Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan, dengan
demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal yang harus
diimplementasikan.
Kasus perdagangan orang yang terjadi, hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam
perdagangan manusia korbannya adalah perempuan dan anak. Diperkirakan setiap tahunnya
600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi
perbatasan-perbatasan internasional. Di Indonesia jumlah anak yang tereksploitasi seksual
sebagai dampak perdagangan anak diperkirakan mencapai 40.000-70.000 anak. Disamping itu,
dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber
dalam perdagangan orang, disamping juga sebagai transit dan penerima perdagangan orang.
Dari berbagai macam kejahatan yang ada, masalah perdagangan orang sangat kompleks,
sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan harus dilakukan
secara terpadu. Adapun beberapa factor pendorong terjadinya perdagangan orang antara
lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik, ketidakmampuan
system pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak
putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta petugas Kelurahan dan
Kecamatan yang membantu pemalsuan KTP.
Secara umum korban perdagangan orang terutama perempuan yang dilacurkan dan
pekerja anak adalah korban kriminal dan bukan pelaku kriminal. Elemen perdagangan orang
meliputi pelacuran paksa, eksploitasi seksual, kerja paksa mirip perbudakan, dan transplantasi
organ tubuh. Korban perdagangan orang memerlukan perlindungan, direhabilitasi, dan
dikembalikan kepada keluarganya.
Salah satu faktor tingginya kasus perdagangan orang yang pada umumnya perempuan,
disebabkan oleh dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di luar daerah, dengan korban
adalah kalangan perempuan usia remaja yang ingin mencari kerja. Dimana, kasus
perdagangan orang khususnya perempuan yang sangat tidak manusiawi tersebut, merupakan
praktik penjualan perempuan dari satu agen ke agen berikutnya. Semakin banyak agen yang
terlibat, maka semakin banyak pos yang akan dibayar oleh perempuan tersebut, sehingga gaji
mereka terkuras oleh para agen tersebut.
Fenomena tersebut perlu diantisipasi agar jaringan seperti rantai tersebut dapat diberantas
dan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang dengan terlebih dahulu disosialisasikan agar masyarakat
memahami khususnya kaum perempuan. Tingginya angka migrasi penduduk serta
kemiskinan. Diduga ada peningkatan kualitas dan kuantitas kasus perdagangan anak dan
perempuan (trafficking).
Kemunculan kasus perdagangan tenaga kerja perempuan merupakan dampak
langsung dari tidak sejahteranya masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung mencari jalan
pintas untuk bangkit dari kemiskinan. Fenomena ini memunculkan keprihatinan, sehingga perlu
adanya langkah proaktif. Cara pintas yang diambil masyarakat kerap mengorbankan masa depan
generasi muda. Pengiriman tenaga kerja ke luar daerah, seringkali tanpa mempertimbangkan
legalitas dari jalur pengiriman. Ada kecenderungan jalur perdagangan orang diawali
dengan berkedok penyaluran pembantu rumah tangga.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun Rumusan Masalah pada Makalah ini yaitu:
1. Jelaskan Definisi Trafficking Human
2. Jelaskan Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking!
3. Jelaskan Bentuk dan Modus Human Trafficking
4. Jelaskan Undang- undang tentang Human Trafficking
5. Jelaskan Dampak / Pengaruh Human Trafficking!
6. Jelaskan Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu:
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Definisi Human Trafficking
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking.
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Bentuk dan Modus Human Trafficking
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Undang- undang tentang Human Trafficking
5. Untuk Mengetahui dan Memahami Dampak/ Pengaruh Human Trafficking
6. Untuk Mengetahui dan Memahami Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Trafficking Human


Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu kewaktu,
sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada definisi trafficking
yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan dan respon tentang
definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.
Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan penyelundupan
orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan internasional, kebanyakan
berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang ekonominya berada dalam masa
transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan dan anak-anak masuk ke dalam sebuah
situasi secara seksual maupun ekonomi terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan
perekrut, penyelundup, dan sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang
terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan
palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.
Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu atau lebih
bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa atau praktek-praktek
seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia. Trafficking memuat segala tindakan
yang termasuk dalam proses rekruitmen atau pemindahan orang di dalam ataupun antar negara,
melibutkan penipuan, paksaan atau dengan tujuan menempatkan orang-orang pada situasi
penyiksaan atau eksploitasi seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh
dipabrik dengan kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi
Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan
seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan, pemaksaan, pemerangkapan
utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya dengan tujuan eksploitasi (Course
Instruction, 2011:2).
Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri (memperdagangkan),
tawar-menawar, membuat kesepakatan, melakukan transaksi dan hubungan seksual (Taiwan
Medicare, 2012).
Perdagangan manusia melakukan pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak
yang lainnya dengan menggunakan ancaman, penipuan dan penguasaan. Perdagangan
manusia mengandung elemen pengalihan yang tujuannya bisa untuk apa saja baik
eksploitasi tenaga kerja, pembantu rumah tangga, pengambilan organ tubuh dan sampai
kepada eksploitasi seks komersil (Wagner, 2004). Misalnya Caouette memberi batasan tentang
perdagangan sebagai suatu perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam
dan melawati perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban
dirayu, ditipu, diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh peretujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana perdagangan
orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah protokol PBB. Adapun
menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking adalah:
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari
pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi
rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi.
Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-
bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-
praktek serupa perbudakan, pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang
dikemukakan dalam sub line (a).
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk
tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak
melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub babline (a).
d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.

Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang menentukan suatu
perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi juga kondisi eksploitatif
terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.
Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lainnya,
yaitu :
a. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan atau penerimaan seseorang.
b. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk paksaan lain,
penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan
untuk memperoleh persetujuan dari orang orang.
c. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup setidak tidaknya
eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksplotasi seksual lainnya,
kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau pengambilan organ tubuh.

Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari beberapa pengertian
trafficking yaitu:
a. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan, penampungan atau
penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara.
b. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan perempuan
maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau tidak), sebagai
hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau seksusal), baik itu TKW,
prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan lainnya.
c. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan
kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual,
guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai ancaman, maupun
tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan atau penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa korban yang menyatakan
persetujuan yang mana dipahami bahwa situasi-situai tertentu yang mengakibatkan para
korban setuju, misalnya karena kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain
sebagainya.

Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian trafficking di atas dapat
diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan terpenuhi apabila memenuhi tiga
unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan.
Proses disni meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penjualan,
sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan, pemaksaan, penipuan, kebohongan dan
penculikan. Adapun tujuannya adalah untukeksploitasi, baik seksual atupun ekslpoitasi yang
lain seperti perbudakan dan menjadikan pelayan.

2.2 Faktor- Faktor Penyebab Trafficking Human


Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi terhadap anak-anak
dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di Indonisia diantaranya ialah
sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama
terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan
ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia
umum lagi bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar
masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan
berbagai cara.
Selain itu budaya konsumtife, juga ikut andil menambah iming-iming masyarakat
untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini menjadikan mereka dapat terjerumus ke dalam
prostitusi dan tindak asusila lainnya. Di sisi yang lain kurangnya lahan pekerjaan atau masih
banyaknya angka pengangguran melengkapi rendahnya pendapatan atau ekonomi
masyarakat. Keterbatasannya lahan pekerjaan yang dapat menampung perempuan
dengan tingkat keterampilan yang minim menyebabkan banyak perempuan-perempuan
menganggur sehingga kondisi inilah yang dipergunakan dengn baik oleh para perantara
yang menyarankan perempuan-perempuan untuk bekerja. Mereka dijanjikan untuk bekerja
di dalam kota, atau di luar negeri. Dalam bujukan tersebut, tidak dijelaskan secara detail
pekerjaan apa yang akan didapatkan. Biasanya para perantara hanya memberikan
iming-iming gaji atau upah yang besar. Tanpa disadari, korban telah terjebak penipuan
dalam hal ini sebagai pelayan seks. Biasanya mereka bersedia bekerja di manapun
ditempatkan. Oleh karena itu ketika ada perantara yang menawarkan sebuah pekerjaan
dengan iming-iming upah atau gaji yang besar maka mereka akan menyambut dengan
senang hati tawaran tersebut. Tawaran ini selalu menjadi dewa penyelamat untuk
meneyelesaikan kondisi ekonomi. Namun pada hakikatnya hal tersebut adalah sasaran
empuk bagi para calo untuk dijadikan korban trafficking.
Pada wilayah anak-anak, putus sekolah menyebabkan mereka untuk memaksakan diri
mereka sendiri untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa kerja untuk bisa meringankan
beban keluarga. Tidak jarang anakanak menjadi korban eksploitasi seksual komersial dan
trafficking terhadap anak karena orang tua mereka sudah tidak sanggup lagi membiayai.
Keluarga yang miskin mungkin tidak sanggup untuk mengirim anak mereka ke sekolah dan
biasanya akan mendahulukan pendidikan bagi anak laki-laki jika mereka hanya mampu
mengirim sebagian anak-anak mereka ke sekolah. Jika orang tua tidak mampu mencari
pekerjaan, maka anak akan mereka suruh bekerja diladang atau di pabrik atau di dalam
situasi yang lebih berbahaya serta jauh dari rumah seperti diluar kota atau di luar negeri.
Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat anak dan perempuan semakin rentan
terhadap trafficking. Pemaknaan ekonomi rendah juga bias diaplikasikan pada orang
yang terjerat banyak hutang. Jeratan hutang tersebut yang pada akhirnya berujung
fenomina yang disebut “Buruh Ijon”, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang
yang dianggap sebagai pembayaran hutang. Adapun kasus jeratan hutang bisa terjadi
pada siapapun. Pada kasus trafficking mudus yang biasa terjadi dengan cara penipuan.
Buruh migrah telah menempatkan diri mereka dalam jeratan hutang. Di mana mereka setuju
untuk membuat pinjaman uang untuk membayar biaya perjalanan mereka. Korban hutang
tersebut kemudian harus bekerja sampai hutangnya lunas, biasanya trafficker meminta
melunasi sesuai permintaannya. Ada yang sebagai pekerja seks, pembantu rumah tangga
dan masih banyak yang lain. Kekerasan dan eksploitasi yang terperangkap dalam buruh
ijon bekerja pada rumah tangga sebagai pembantu atau penjaga anak, direstauran, toko-toko
kecil, di pabrik-pabrik atau pada industri seks. Tapi menjadi rahasia umum apabila
masih gadis maka melunasi dengan bekerja sebagai pekerja seks.
Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa. Sedangkan kerja
paksa membuka besarnya kemungkinan untuk kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja.
Pada kondisi seperti di atas, pekerja kehilangan kebebasannya untuk bergerak karena
orang yang menguasai hutang ingin memastikan bahwa pekerja tidak berusah
melarikan diri dari hutangnya. Bahkan para korban disembunyikan dari penegak
hukum, polisi dan masyarakat luas. Pada akhirnya rendahnya ekonomi berujung pada
penerimaan pinjaman para calo agar mereka dapat bekerja akan tetapi mereka tidak
memahami bahaya yang akan menimpanya.

2. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya


Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk Indonisia
penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan sebagian
besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak. Indonisia adalah
suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komunitas dimana kaum laki-laki yang
lebih memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi perempuan
baik dalam kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat. Misalnya
perumusan tentang kdudukan istri dalam hukum perkawinan, kecenderungan untuk
membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh laki-laki, atau kecenderungan lebih
mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan dalam bidang pendidikan,
merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan dalam posisi subordinat dibandingkan
dengan laki-laki.
Kondisi perekonomian yang lemah serta kontrusksi masyarakat yang ada menempatkan
hakperempuan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan. Meskipun dalam pasal 3
perjanjian tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966 menyatakan bahwa
adanya persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh hak ekonomi, sosial
dan budaya. Namun kenyataannya HAM di Indonesia masih belum menyentuh masyarakat
karena masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan.
3. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan
eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah,
sehingga mereka tidak mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan hidup.
Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas. Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun
2000 lalu melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum atau
tidak tamat pendidikan dasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPJS
Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak
melanjutkan kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak mampuan dalam hal biaya.
Melihat data di atas tampak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih banyak yang
bertaraf rendah tingkatannya dalam hal pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan serta
minimnya keterampilan atau skill menyebabkan sebagian besar dari permpuan menganggur
serta menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di rumah. Dan pada akhirnya tidak
menghasilkan keuangan bahkan mengurangi pemasukan. Sebenarnya tidak hanya kaum
perempuan yang menganggur akan tetapi laki-laki juga mengalami hal yang serupa.
Tampak bahwa setiap tahun ribuan orang meninggalkan kampung halamannya dan
sanak keluarganya demi mencari keja atau penghidupan yan lebih layak di daerah lain
Indonesia atau bahkan keluar negeri.
Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan yang paling banyak
menganggur. Keadaan inilah yang menyebabkan mereka menerima tawaran pekerjaan
oleh para perantara yang yang mereka tidak menyadarinya sebagai trafficker meskipun
belum mengetahui seberapa besar upah atau gaji yang akan diterimanya.

4. Tidak Ada Akta Kelahiran


Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA Mei 2002 yang lalu
memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum mempunyai akta
kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus
didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta
kewarganegaraan. Ada bermacam-macam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar
kelahirannyaa. Orang tua yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal
atau mereka tidak menyadari pentingnya akta kelahiran. Banyak yang tidak tahu bagaimana
mendaftarkan seorang bayi yang baru lahir. Rendahnya registrasi. Kelahiran, khususnya di
masyarakat desa menjadi fasilistas perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan
memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda
agar mereka dapat bekerja di luar negeri. karena mereka tidak mempunyai dokumin
yang disyaratkan, maka mereka dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan.
5. Kebijakan yang Bias Gender
Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender dimana hukum
Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk laki-laki dan perempuan.
Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak
bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi untuk
perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum perlindungan hanya
di atas kertas sedangkan prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan. Kesetaraan gender
belum sepenuhnya terwujud, perempuan masih tertinggal secara sosial, politik, dan ekonomi
dari kaum laki-laki.
Adapun dalam hal pendidikan misalnya, ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan, maka semakin lebar kesenjangan antara partisipasi perempuan dan laki-laki.
UU perkawinan tahun 1974 menaikkan usia minimum bagi seorang gadis untuk
meniah menjadi 16 tahun. Namun pernikahan diusia lebih muda dimungkinkan dengan
izin dari peradilan. UU perkawinan secara hukum mengannggap mereka sebagai orang
dewasa sekalipun mereka masih di bawah 18 tahun. Undang-undang tersebut
menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka
sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdikari (pasal 45) sekalipun tidak ada
larangan bagi anak yang sudah menikah untuk bersekolah, anak perempuan yang sudah
menikah sangat jarang meneruskan pendidikan mereka. Kenyataannya sekolah-sekolah
formal untuk tingkat SMP atau SMA tidak menerima siswa yang sudah menikah, walaupun
ada itu hanya disekolah kesetaraan yang kejar paket B atau C.
Dalam bidang ketenagakerjaaan, hukum Indonisia memberikan perlindungan de jure
bagi perempuan di tempat kerja. Menurut hukum, perempuan dilindungi dari
diskriminasi berdasarkan gender atau Karena menerima bayaran yang setara untuk
pekerjaan yang sama, tidak dapat diberhentikan jika menikahh atau melahirkan, tidak
boleh mengerjakan pekerjaan yang berbahaya dan harus diberikan cuti hamil.
Selain itu, kerentanan perempuan semakin tinggi setelah berserai, khususnya bagi
mereka yang memmiliki anak. Undang-undang perkawinan dan peraturan-peratuan yang
terkait mengizinkan laki-laki dan perempuan bercerai untuk alasan yang sama. Namun
peraturan tersebut menempatkan perempuan yang bercerai dalam posisi yang tidak
menguntungkan dalam hal tunjangan dari suami setelah perceraian terjadi.
6. Pengaruh Globalisas
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa waktu terakhir ini
di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual, baik dalam lingkup domistik
maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang paling menonjol
terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, ini
baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun
terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang
terorganisir dengan sangat rapi. Merupakan sebagian dari alasan-alasan yang membuat
berita-berita perdagangan ini belum menarik media massa paa masa lalu. Adapun pengaruh
dari akibat globalisasi dunia, Indonesia juga tidak dapat luput dari pengaruh
keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek teknologi, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek tersebut membawa perubahan pula dalam
segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang diacu oleh berbagai kemudahan informasi.
Dampak negatif dari perrubahan dan kemudahan tersebut menjadi konsekuensi bagi
munculnya permasalahan-permasalahan sosial termasuk pada perempuan dan anak, salah
satunya adalah berkembangannya perdagangan seks pada anak.

2.3 Bentuk dan Modus Trafficking Human


2.3.1 Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin komplek, banyak
model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat
dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk
Indonesia. Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:
1. Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena
akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan
kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk mucikari atau
disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak
terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan. Korban tidak berdaya
untuk menolak melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika
ia menolak maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya karena
biasanya mereka punya pengawal yang mengawasi mereka.
Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali, sehingga korban bagaikan
buah si malakama. Jika korban protes maka mereka diharuskan membayar sejumlah
uang sebagai ganti dari biaya hidup yang digunakan oleh korban. Dalam prakteknya
korban dalam posisi yang lemah dan diskenariokan untuk selalu tergantung atau
merasa membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun kebutuhan secara
ekonomis.
b. Eksploitasi non komersial
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak
pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan
dengan tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban harus menderita
secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa dan mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak sanggup menghadapi semuanya
terganggu jiwanya.
Di Indonesia keberadaan perempuan yang dijerumuskan kedalam prostitusi yang
diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan yang digunakan untuk memproduksi
bahan-bahan pornografi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Dalam banyak
kasus, perempuan semula dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu untuk bekerja sebagai
buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, pelayan toko, dan lain
sebagainya. Tetapi kemudian dipaksa pada industri seks pada saat mereka tida pada
daerah tujuan.
Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non komersial kedua-duanya
sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV dan AIDS, sebuah virus yang menggerogoti
sistem kekebalan tubuh sehingga jika seseorang sudah tertular maka kekebalan tubuhnya
sudah tidaki ada lagi. Dari tahun ke tahun penularan penyakit ini perkembangannya
semakin pesat, yang tertular tidak hanya di kalangan masyarakat kota tapi juga sampai
ke pelosok desa seperti papua. Ini adalah masalah yang sangat besar, satu sisi
agama dan negara mencegah dengan peraturan-peraturannya namun disisi lain kejahatan
semakin merajalela dan semakin canggih.
2. Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun didalam wilayah Indonesia
dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah paksaan, pengekangan dan tidak
diperbolehkan menolak bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang
tidak dibayar. Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu tidaklah
dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal antara pekerja
dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan. upah yang
diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang
dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak yang
tidak ada waku untuk istirahat.
Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan layaknya budak, baik
ketika menyuruh suatu pekerjaan atau dalam hal makan, di mana mereka diberi makan yang
sedikit dan tidak memenuhi standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri seringkali majikan dan
agen menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur jika mereka diperlakukan oleh
semua majikan karena ada juga majikan yang baik dalam memperlakukan pembantu
rumah tangganya bahkan menganggapnya sebagai keluarga.
3. Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern menjadi salah satu
penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga modern yang enggan mendapatkan
keturunan dari hasil pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya
para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.
Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala
persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi
melalui proses perdagangan. Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang
kemudian dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke Amerika.
Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
(GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia.
Para trafficker tidak hanya mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja
janinpun bisa mereka tampung. Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun
2003 di perbatasan Indonesia-Malaysia harga bayi bermata sipit dan berkulit putih
dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk bayi bermata bundar
dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000 Ringgit Malaysia.
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa buruh migran Indonesia
yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu saat di luar negeri, dipaksa untuk
menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga
Indonesia ditipu oleh pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan bayi
majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.
4. Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradisional, di mana korban
tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini
terjadi mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai
oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat bulanan yang padahal
jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut.
Ini menjadikan para TKW harus tetap bekerja apapun kondisi yang dihadapi di lapangan
sampai habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa
dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja.
Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang yang menghutangkan
ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari dari hutangnya. Meskipun secara teori
mereka hutang tersebut dapat dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang
tersebut akan terus ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.
5. Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba. Narkoba sudah
mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah penyebarannya mulai dari kota
besar sampai kepelosok desa. karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat
fantastis dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang
menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat
menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan
penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar.
Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk mengedarkan pil setannya
juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak kasus dalam tayangan berita di mana muda
mudi tertangkap menyeludupkan narkoba termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi.
Mereka sangat sulit sekali untuk membuka siapa yang ada dibalik mereka, karena biasanya
mereka sudah diikat dengan perjanjian untuk tidak membuka dan kadangkala mereka
sendiri tidak tau siapa pihak pertama atau pemilik barang haram tersebut. Akhirnya
merekalah yang harus menerima resikonya sementara bandar narkobanya bebas
melenggang. Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat bagi para
pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang bahkan menggendong anak
kecil dengan penampilan yang amat sangat tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba
modern berburu kepingan rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata banyak
diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang sudah
ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak
dengan sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang hanya bersifat formalitas
belaka. Memang sudah ada upaya dari Dinas Sosial tapi ini mungkin baru sedikit
karena buktinya semakin hari perempuan yang mengemis di jalanan makin banyak.
6. Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)
Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya mahar yang diminta oleh
pihak perempuan, sementara laki-laknya tidak mampu secara ekonomi untuk
memenuhinya sedangkan usia mereka lebih dari cukup untuk menikah. Maka salah satu
caranya adalah dengan membeli perempuan dari luar negeri untuk dinikahinya karena tidak
perlu memberikan mahar yang besar dan lebih mau menuruti apa maunya si laki-laki. Ini
dialami oleh seorang TKW dimana ia menceritakan bahawa ia telah menikah dengan laki-
laki asal timur tengah, namun ironinya ketika perempuan tersebut hamil ia
dipulangkan ke Indonesia dengan tanpa sepersenpun diberi nafkah dan biaya persalinan.
Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat perkawinan sebagai salah satu
penipuan.
a. Perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan tersebut
dan membawa ke wilayah lain yang sangat asing, namun sesampai di wilayah tujuan
perempuan tersebut disalurkan dalam industri seks atau prostitusi. Ini sangat ironi sekali
dan sangat bias gender, dimana seorang suami yang harusnya berkewajiban mencari
nafkah untuk keluarga justru sebaliknya ia menghambur-hamburkan uang yang
dikumpulkan istri. Mungkin ini karena pihak laki-laki merasa ia sudah membeli si
perempuan sehingga ia menganggap bahwa perempuan itu adalah budaknya yang bisa
bebas ia perlakukan.
b. Perkawinan untuk memasukkan perempuan ke dalam rumah tangga untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domistik yang sangat eksploitatif bentuknya.
Fenomina pengantin pesanan ini banyak terjadi dalam masyarakat keturunan cina di
Kalimantan Barat dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari Jawa Timur
diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa. Data dari Pusat Studi Wanita
Universitas Tanjung Pura, setiap tahun kira-kira 50 perempuan kembali ke Singkawang
dari Taiwan telah mengalami kekerasan dan penipuan. Kekerasan dan penipuan yang
dilaporkan bermacam-macam yaitu dinikahkan dengan laki-laki yang lebih tua,
berlainan dengan apa yang diberitahukan sebelumnya atau dengan laki-laki yang
cacat mental atau fisik atau dinikahkan secara sah sebagai perempuan simpanan atau
menjadi pelayan tanpa bayaran atau bekerja di pabrek dan dipaksa bekerja di prostitusi.
7. Donor Paksa Organ Tubuh
Perdagangan organ tubuh manusia kini semakin merajalela seiring dengan kemajuan
teknologi dibidang kedokteran, misalnya saja teknologi cangkok jantung, ini biasanya
dipesan untuk mereka para penderita jantung yang berkantong tebal dan “turis cangkok”
sebutan untuk para pasien yang datang ke negara-negara miskin untuk membeli organ tubuh
orang-orang miskin. Di Indonesia, modus penjualan organ tubuh ini beranika ragam, ada
yang menjual karena terdesak kebutuhan ekonomi, misalnya yang dilakukan seorang ibu
demi memenuhi biaya hidup, pendidikan bahkan untuk pengobatan penyakit anaknya ia rela
menjual organ ginjalnya atau juga yang dilakukan dengan cara menipu sang donor. Bahkan
ditengarai ada kasus pembubuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh korban
kemudian dijual.
Modus lain adalah memanfaatkan organ tubuh para TKW yang meninggal di luar
negeri. Untuk kasus ini seringkali ketika jenazah sampai didalam negeri biasanya pihak
keluarga tidak diperkenankan meliahat atau membuka peti jenazah. Sebenarnya ini
sering terjadi tapi karena ketidak tahuan pihak keluarga akhirnya pihak keluarga hanya
menuruti saja, padahal mungkin saja jenazah yang cukup lama tapi juga karena organ tubuh
mayat sudah diambil untuk dijual yang mingkin saja dilakukan oleh pihak majikan ataupun
pihak rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan sindikat penjualan organ tubuh manusia.

2.3.2 Modus Trafficking


Dalam menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan mudus berupa iming-
iming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu:
1. Tawaran Kerja
Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah penawaran kerja ke luar
pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku biasanya mendatangi rumah calon
korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah
desa setempat. Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan sejumlah pihak,
termasuk memberi kemudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa
harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah atau negeri. Dari pihak
orang tua korban sudah tidak memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja
karena sudah termakan oleh bujukan pelaku. Modusnya adalah para calo atau perantara
memberi iming-iming bagi para korban dengan menawarkan bekerja di mall dan salon
dengan gaji besar. Selanjutnya korban diserahkan pada germo yang kemudian
dipekerjakan secara paksa sebagai wanita penghibur di tempat-tempat hiburan malam.
Selain aspek pemaksaan yang menyalahi aturan, aspek upah juga sangat merugikan para
korban. Mereka hanya mendapatkan sedikit upah dari transaksi. pdahal sekali kencan
korban diberi uang oleh hidung belang sekitar kurang lebih 500 ribu sekali kencan.
Hal ini biasanya dijadikan dalih oleh para germo sebagai pembiayaan fasilitas antar
jemput, baju, dan rias bagus serta modis agar lebih menarik.
2. Bius
Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang paling sering dilakukan
dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bias menjadi korban perdagangan manusia
dengan kekerasan seperti dibius. Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini
berawal dari penculikan terhadap korban, kemudian pelaku membiusnya dengan
suntikan ataupun dengan alat yang lain yang digunakan untuk membius.
Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan sang bos. Setelah itu korban
diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa ke negara lain tanpa membawa paspor untuk
dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks.

2.4 Undang- Undang Tentang Trafficking


Undang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain tersebut,baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu: unsur
proses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan sebagai
perdagangan orang.
1. Proses : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau member bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut
2. Cara : ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut.
3. Eksploitasi : tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau
secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
4. Lokasi: Tempat kejadian tindak pidana perdagangan orang bisa terjadi di dalam negara
ataupun antar negara.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang Kurungan Penjara dan atau Denda.
Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku
perorangan Rp 150-600 juta, sementara untuk perusahaan sanksi penjaranya minimal 9 tahun dan
maksimal 45 tahun, atau denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar.

Korban Human Trafficking


Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental. fisik, seksual,
dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 ayat 3 UU No 21
Tahun 2007).
Ciri-ciri perdagangan orang dalam konteks migrasi ketenagakerjaan?
1. Perekrutan tanpa Perjanjian Penempatan;
2. Ditempatkan tanpa perjanjian Kerja;
3. Perekrutan dibawah umur (-18 thn) dokumen dipalsukan;
4. Perekrutan tanpa izin suami/orang tua/wali;
5. Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih);
6. Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan;
7. Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin dari Menteri Tenaga
Kerja;
8. Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian Kerja;
9. Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak sesuai dengan
peraturan Indonesia.
10. Beban biaya diatas ketentuan yang ditetapkan pemerintah (over charging).
Hak Korban dan atau Saksi
1. Hak Korban dan atau Saksi juga diberikan kepada keluarganya dengan rincian sebagai
berikut:
a. Memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44) Hak ini diberikan juga kepada keluarga
korban dan/ atau saksi sampai derajat kedua.
b. Hak untuk mendapat jaminan perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa
dan/atau hartanya (Pasal 47).
c. Restitusi (Pasal 48). Restitusi ini adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas
kerugian materiil dan atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 1
angka 13 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007). Pengaturan restitusi berupa ganti
kerugian atas garis besarnya adalah sebagai berikut:
 kehilangan kekayaan atau penghasilan,
 penderitaan,
 biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis, dan/atau
 kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan
tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Restitusi tersebut dapat dititipkan
terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. Pemberian restitusi dilakukan
dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding
atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang
dititipkan dikembalikan kepada yangbersangkutan. Pelaksanaan pemberian restitusi
dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutus perkara dan ditandai tanda bukti
pelaksanaannya.
d. Rehabilitasi (Pasal 51). Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi
fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
 Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan
mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan
orang.
 Rehabilitasi diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial, setelah korban melaporkan
kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada pihak berwajib.
 Permohonan diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang
menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah. Dalam
penjelasan Pasal 53 ayat (3) menegaskan yang dimaksud dengan pemerintah adalah
“instansi” yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan atau
penanggulangan masalah – masalah sosial serta dapat dilaksanakan secara
bersama – sama antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten / kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.
 Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan integrasi social paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.
 Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan dan reintegrasi sosial pemerintah serta pemerintah daerah wajib
membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
 Di samping perlindungan seperti yang telah diutarakan, sesuai Pasal 53 dan Pasal 54
bagi korban juga mendapat hak perlindungan antara lain;
1) Apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan
dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang, maka menteri atau instansi
yang menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib
memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
permohonan diajukan;
2) Apabila korban di luar negeri memerlukan perlindungan, maka pemerintah RI
melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan
kepentingan korban dan mengusahakan memulangkan ke Indonesia atas biaya
negara;
3) Apabila korban warga negara asing, berada di Indonesia, maka pemerintah RI
mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui
koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia

2.5 Dampak Pengaruh Trafficking Human


Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab human
trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking dalam situasi yang
beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu kehidupan sosial perempuan
korban trafficking sebagaimana yang digambarkan Course Instruction (2011: 13, 14) sebagai
berikut.
1. Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental
Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban trafficking sering mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan
cedera aktual atau terancam kematian yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik
diri sendiri atau orang lain" dan tanggapan mereka terhadap peristiwa ini sering
melibatkan "rasa takut yang sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi umum dari post
traumatic stress disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami
perempuan korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara paksa, mengalami
penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan untuk dijual dan di
eksploitasi (American Association, 2005: 467).
Setelah kedatangan ke tempat tujuan, perempuan korban trafficking perempuan korban
trafficking terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan dalam kurungan, dan kekurangan
makanan. Semua milik pribadi dilucuti dari mereka, surat identitas, paspor, visa, dan
dokumen lainnya (Course Instruction, 2011:1). Korban mengalami banyak gejala
psikologis yang dihasilkan dari kekerasan mental sehari-hari dan penyiksaan. Ini
termasuk depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan,
fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami penolakan, ketidakpercayaan, tentang
situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya dan malu (Stotts & Ramey, 2009:10).
Rasa takut yang terus-menerus untuk keamanan pribadi mereka dan keselamatan
keluarga mereka, ancaman deportasi akhirnya berkembang menjadi rasa kehilangan dan
tidak berdaya. Hal ini tidak mengherankan bahwa depresi, kecemasan, dan post traumatic
stress disorder (PTSD) adalah gejala yang umum dialami oleh para korban yang
diperdagangkan.
Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang kejam yang
mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Kegelisahan, insomnia, depresi
dan post traumatic stress disorder menggambarkan standar evaluasi atau penilaian yang
mengecewakan nilai diri dengan memandang rendah diri sendiri (Taylor, 2012:1). Para
perempuan korban trafficking seringkali kehilangan kesempatan penting untuk mengalami
perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan tanpa tujuan hidup yang jelas,
suram dan gelap masa depan.

1) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami peristiwa traumatik
yang menyebabkan gangguan pada integritas diri individu dan sehingga individu
mengalami ketakutan, ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend M.C.,
2009).
Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering menyebabkan
peningkatan keadaan siaga yang berlebihan, seperti insomnia, waspada berlebihan
dan iritabilitas terhadap lingkungan yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat
menyebabkan perilaku agresif atau perilaku menciderai (Fontaine, 2009).
Berdasarkan penelitian Rose (2002) ada 3 tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD,
yaitu:
a. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-
olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk
tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
b. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari
aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan
dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan
terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
c. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah /
tidak dapat mengendalikan marah, susah konsentrasi, kewaspadaan yang
berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.
2) Kecemasan
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak
berdaya (Videbeck, 2008). Satu studi melaporkan bahwa orang yang selamat dari
trafficker mengalami kecemasan dengan gejala kegugupan (95%), panik (61%),
merasa tertekan (95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%) (Bradley, 2005).
3) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan perilaku seseorang yang
tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil, suatu keadaan dimana
individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan. Secara kognitif korban umumnya kurang konsentrasi, ambivalensi,
kebingungan, fokus menyempit / preokupasi, misinterpretasi, bloking,
berkurangnya kreatifitas, pandangan suram, pesimis, sulit untuk membuat keputusan,
mimpi buruk, produktivitas menurun, pelupa. Afek korban terkadang tampak
sedih, bingung, gelisah, apatis / pasif, kesepian, rasa tidak berharga,
penyangkalan perasaan, kesal, khawatir, perasaan gagal. Korban sering semakin
sering mengeluh kelemahan, pusing, kelelahan, keletihan, sakit kepala, perubahan
siklus haid. Keluarga mungkin melaporkan perubahantingkat aktivitas pada korban,
mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, mudah menangis.
Kecenderungan untuk isolasi, partisipasi sosial berkurang pada tingkat lanjut
mungkin akan tampak pada korban (Rahmalia, 2010)

2. Dampak Sosial
Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak awal direkrut,
diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah disekap, diisolir agar tidak
berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan.
Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan membatasi mereka
untuk bertemu dengan orang lain (Course Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus melayani
nafsu bejat para tamu (lelaki hidung belang). Para korban semestinya memandang dunia
dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman tentram bersama perlindungan dan
kasih sayang keluarganya, tibatiba harus tercabut masuk ke dalam situasi yang eksploitatif
dan kejam, menjadi korban sindikat trafficking.
Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak dialami oleh
perempuan. Korban trafficking. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi sebagai
strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak, para korban
terutama anak-anak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi dengan
teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan tampaknya
mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial merupakan upaya untuk
mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kerentanan masa depan
mereka untuk diperdagangkan.
Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13), persoalan social yang sangat tragis dan
semakin meningkatkan stress dan depresi para korban adalah ketika keluarga dan
masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali. Selain itu, para pria sering
melihat perempuan korban trafficking sebagai orang yang kotor, telah ternodai dan
karena itu menolak untuk menikahi mereka. Diskriminasi terhadap para perempuan
korban trafficking terjadi dalam berbagai sector dan berbagai bentuk. Kenyataan ini
telah menggugah rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus berjuang agar nilai-nilai
kemanusiaan seperti keadilan, kesederajatan, bisa diwujudkan. Jadi dampak sosial yang
dimaksud adalah isolasi sosial, penolakan dari keluarga dan masyarakat mengakibatkan
perempuan korban trafficking kehilangan makna dan tujuan hidup serta penghargaan atas
dirinya.

3. Dampak Kesehatan Fisik


Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi, karena mereka
mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali terpaksa harus tinggal di
lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam kondisi berbahaya. Mereka tidak
memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara brutal pada fisik dan psikis,
apabila mereka tidak memberikan pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki
hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap eksploitasi seksual.
Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai dan tinggal
dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey, 2009: 10). Perawatan
kesehatan dan pencegahan penyakit seksual menular terhadap para korban hampir
tidak ada, dan kesehatan biasanya diabaikan sampai mereka semakin terpuruk menderita
penyakit HIV / AIDS, sipilis, gonorea dan penyakit seksual menular lainnya. Para
perempuan korban trafficking dirugikan dengan berbagai metode yang digunakan
traffickers untuk "kondisi" mereka, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan geng, ancaman
untuk menyakiti korban atau keluarga korban, kronis pada pendengaran, dan kardiovaskular
atau masalah pernapasan yang disebabkan oleh penyiksaan, trans-seksual dan memaksa
penggunaan narkoba. Luka fisik termasuk hal-hal seperti patah tulang, gegar otak, luka
bakar, dan vagina atau dubur robek. Kehamilan korban yang tidak diinginkan akibat
pemerkosaan atau prostitusi. Infertility sebagai akibat infeksi kronis menular seksual
yang tidak diobati atau gagal atau melakukan aborsi tradisional bukan oleh para medis dan
tanpa perawatan medis. Belum lagi penyakit yang tidak terdeteksi atau tidak diobati,
seperti diabetes atau kanker, sebagai ancaman masa depan para korban (Stotts & Ramey,
2009: 11). Penyalahgunaan zat (obat-obatan terlarang) sebagai sarana untuk mengatasi
situasi depresi korban sekaligus sebagai strategi traffickers menundukkan korban untuk
melakukan eksploitasi seksual.
Jadi dampak kesehatan fisik yang dimaksud adalah cedera aktual & ancaman terhadap
integritas diri para korban yang mengalami kekerasan fisik dan seksual. Penderitaan secara
fisik yang dialami para perempuan korban trafficking, menciptakan citra diri negatif,
konsep diri para korban semakin terpuruk, kehilangan makna hidup, harkat dan martabat
para korban menjadi hancur.

2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking


Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang
kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak
hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga pengumpulan dan
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame apparat penegak hokum seperti
kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak- pihak lain yang terkait yaitu lembaga
pemerintah (Kementrian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik local maupun
internasional.
Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan
kewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun
juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi
upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan peremuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan ha katas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan
jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hukum lainnya didalam suatu wilayah
negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan apparat
penegak hokum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan
melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan
lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan
ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention
ofChild Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah:
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas
untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan.
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah
dasar
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi
usaha sendiri.
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.

2.7 Diagnosa Keperawatan yang Muncul


a. Isolasi sosial
b. Harga diri rendah
c. Resiko gangguang persepsi sensori : Halusinasi
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan dan
anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan cara
mengendalikan korban dalam bentuk paksaan,penggunaan kekerasan, penculikan, tipu daya,
penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan. Jenis-jenis trafficking ini
meliputi perkawinan transinternasional, eksploitasi seksual phedopilia, pembantu rumah tangga
dalam kondisi buruk, dan penari erotis. Faktor penyebab utama terjadinya tindakan trafficking ini
adalah karena kemiskinan dan beberapa diantaranya adalah, karena tingkat pendidikan yang
rendah, penganiyaan terhadap perempuan, perkawinan usia muda, dan kondisi sosial
budaya masyarakat yang patriarkhis. Dampak yang bisa ditimbulkan dari trafficking ini
adalah kecemasan, stress, dan ketidakberdayaan.

4.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC

Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu

Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di
Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai