Anda di halaman 1dari 21

Asuhan Keperawatan pada Anak Korban Trafficking

Kelompok 5
SYIARUDDIN (R011221031)
SURYA RAHMAN (R011221014)
DEWI ANGGRAINI (R011221053)
ZULKIFLI (R011221094)
ANDI FARA FADHILLA (R011221083)

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEPERAWATAN
KELAS KERJASAMA
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhana wata ‘ala, atas rahmat dan
hidayahnya sehingga penulisan makalah hasil diskusi yang berjudul “Asuhan Keperawatan
pada Anak Korban Trafficking” dapat terselesaikan. Dan terima kasih kepada seluruh
anggota tim yang terlibat dalam pembuatan makalah ini sehingga dapat terselesaikan.

Makalah hasil diskusi “Asuhan Keperawatan pada Anak Korban Trafficking” ini
ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan Psikiatri. Penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dan banyak
kekurangan baik dalam cara penulisan dan isi dari makalah ini.

Dengan adanya makalah ini, penulis berharap dapat lebih memahami mengenai
Asuhan Keperawatan pada Anak Korban Trafficking

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.

Makassar, 16 Oktober 2022

Penulis

DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Tujuan makalah...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................6

1. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak..............................................................6

2. Perdagangan Anak (Child Trafficking)...............................................................7

3. Perbudakan Kontemporer (Contemporary Forms Of Slavery).........................10

SARAN.....................................................................................................................35

Daftar Pustaka...........................................................................................................36

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak beberapa bulan
terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Media massa tidak hanya sekedar
menyoroti kasus-kasus tersebut saja, akan tetapi juga lika- liku tindakan penyelamatan yang
dilakukan aparat penegak hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam
mengatasi permasalahan tersebut. Kasus- kasus perdagangan manusia yang cukup mendapat
sorotan media beberapa waktu yang lalu misalnya kasus penjualan tujuh orang perempuan Cianjur
yang diperdagangkan sebagai pekerja seks komersial (PSK) ke Pekanbaru, Riau yang berhasil
diselamatkan oleh Polres Cianjur beberapa waktu yang lalu. Upaya lainnya adalah upaya
penyelamatan terhadap dua orang perempuan korban perdagangan perempuan yang dibebaskan
oleh reporter SCTV dari Tekongnya di Malaysia. Dari kasus-kasus tersebut telah menguatkan
bahwa trafficking merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan salah satu masalah yang perlu
penanganan mendesak bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Karena hal ini mempengaruhi
citra bangsa Indonesia itu sendiri dimata dunia internasional. Apalagi, data Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ketiga sebagai
pemasok perdagangan perempuan dan anak.

Tindak pidana perdagangan orang adalah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam menimbang huruf b, bahwa perdagangan
orang khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan
martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas. Lebih lanjut dalam
huruf c menyebutkan bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang
terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri sehingga
menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan
yang dilandasi atas penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kondisi tersebut menjadi perhatian karena akan berdampak pada masalah psikologi pada
korban Trafficking dan anak jalanan berkaitan dengan uraian tersebut saya mengambil judul “
Asuhan Keperawatan pada Korban Human Trafficking ”

3
B. Tujuan makalah

Makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Perdagangan Manusia (Human Trafficking)

2. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak

3. Perdagangan Anak (Child Trafficking)

4. Pemberantasan Tindak Pidana Human Trafficking

5. Perbudakan Kontemporer (Contemporary Forms Of Slavery).

6. Asuhan Keperawatan pada Human Trafficking

Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam
hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada ruang
lingkup HAM. Mencakup Human Trafficking.

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Perdagangan manusia (Human Trafficking)

Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah
terjadinya praktek perdagangan manusia. Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna
mencegah dan mengatasi perdagangan manusia. Akan tetapi perdagangan manusia masih tetap
berlangsung khususnya yang berkaitan dengan anak-anak. Permasalahan yang berkaitan dengan
anak tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isu-isu seperti tenaga kerja anak,
perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai
eksploitasi.

2. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak

Convention on the Rights of the Child (CRC) adalah merupakan salah satu konvensi yang
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak.

a. Perlindungan hak-hak anak

Child is every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to
the child, majority is attained earlier. Berdasarkan ketentuan ini selanjutnya ditentukan bahwa
adanya keharusan bagi negara untuk memperhatikan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
b. Perhatian terhadap hak-hak anak

States parties shall take all appropriate national, bilateral and multilateral measures to prevent the
abduction of the sale of or traffic in children for any aspects of the child’s welfare. Anak
memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Pemberitaan tentang perdagangan
manusia khususnya anak, di Indonesia kian marak baik dalam lingkup domestik

5
maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejahatan yang
dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara
maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat. Kejahatan
tersebut juga termasuk antara lain berupa penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran,
perdagangan budak, wanita dan anak. Salah satu persoalan serius dan sangat meresahkan adalah
dampak yang ditimbulkan dan berhubungan langsung terhadap nasib anak, yaitu berkaitan
dengan perdagangan anak (child trafficking).

3. Perdagangan Anak (Child Trafficking).

Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia telah mengancam eksistensi dan martabat
kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak.

Sisi global, perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-
batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan
sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk
tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia. Komitmen penghapusan perdagangan anak ini
dikenal sebagai Kesepakatan Palermo Italia tahun 2001.

Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup
kesepakatan menghapus terorisme, penyeludupan senjata (arm smugling), peredaran gelap
narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyeludupan orang (people
smugling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking). Indonesia telah meratifikasi
dan mengundangkan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan kejahatan
transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak. Penguatan
komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002, tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) dan adanya Undang- Undang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Program Legislasi Nasional
2005-2009 menegaskan RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada diurutan 22

6
dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas pada tahun 2005. Penindakan hukum kepada pelaku
(trafficker) digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama
dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga
Kepolisian Republik Indonesia berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap.
Pada tahun 2004-2005 (Maret), sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan
putusan: bebas, dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-
rata hukuman 3 tahun 3 bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat
penegak hukum telah membuahkan dijatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada
trafficker.

Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang dilaksanakan dengan meningkatkan


aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum
milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan
Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh
Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian
Daerah (Propinsi) dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan Kepolisian
Resort (Kabupaten/Kota) seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak Lembaga
Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat yang mendirikan Women’s Crisis Centre, Drop
In Center, atau Shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Di samping itu,
untuk pengungsi didirikan sedikitnya 20 unit Children Center bekerjasama dengan UNICEF dan
Departemen Sosial. Beberapa pihak berpendapat bahwa para TKI tersebut banyak di antaranya
yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan orang. Mereka dikirim ke Malaysia
menggunakan paspor dan visa kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana.

4. Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Human Trafficking)


Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Adanya peningkatan jumlah korban perdagangan anak di Indonesia, telah menempatkan
Indonesia ke dalam kelompok negara yang dikategorikan tidak berbuat maksimal.

7
Menyadari hal ini, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah
menetapkan suatu kebijakan yang bersifat akseleratif tentang penghapusan perdagangan anak.
Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, maka penghapusan perdagangan anak dilakukan
secara terorganisir, komprehensif, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan prinsip
utama, anak adalah korban.

Untuk menterjemahkan formulasi tersebut dalam bentuk implementasi, maka dikembangkan


jejaring kelembagaan peduli anak. Demikian pula secara yuridis dimunculkan norma hukuman
berat terhadap pelaku perdagangan anak. Adapun materi Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 88 Tahun 2002 antara lain, berisi:

1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya
disebut dengan RAN-P3A sebagai aspek konseptual atau formulasi.

2) Pembentukan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang


selanjutnya disebut dengan GT-P3A pada lingkup nasional, propinsi, dan kabupaten/kota,
sebagai aspek operasional atau implementasi.

RAN-P3A bertujuan untuk menghapus segala bentuk perdagangan anak melalui pencapaian 4
(empat) tujuan khusus yaitu:

a. Penetapan norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan anak.
b. Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan anak.
c. Terlaksananya pencegahan perdagangan anak di keluarga dan masyarakat.
d. Terciptanya kerjasama dan koordinasi penghapusan perdagangan anak lingkup internasional,
regional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Office of The High Commisioner of Human
Rights telah mengeluarkan Fact Sheet No. 14 dengan judul Contemporary Forms of Slavery.

8
5. Perbudakan Kontemporer (Contemporary Forms Of Slavery)

Perilaku yang termasuk dalam kategori bentuk-bentuk perbudakan kontemporer


(contemporary forms of slavery), adalah:

1. Perdagangan anak.

2. Prostitusi anak.

3. Pornografi anak.

4. Eksploitasi pekerja anak.

5. Mutilasi seksual terhadap anak perempuan.

6. Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.

7. Penghambaan.

8. Perdagangan manusia.

9. Perdagangan organ tubuh manusia.

10. Eksploitasi untuk pelacuran, dan

11. Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.

Berdasarkan informasi yang diterbitkan oleh United States Departement Of Justice, diperoleh data
yang berkenaan dengan perdagangan manusia, antara lain:
a) 700 ribu (tujuh ratus ribu) sampai dengan 4.000.000 (empat juta) orang setiap tahun
diperjualbelikan (dijual, dikirim, dipaksa, dan bekerja di luar kemauan) di seluruh dunia.
b) Sebagian besar manusia yang diperdagangkan berasal dari negara-negara berkembang yang
rendah tingkat ekonominya, untuk dibawa ke negara-negara maju
c) Sebagian besar dari korban tersebut adalah perempuan dan anak-anak
d) Para korban pada umumnya dijanjikan kehidupan yang lebih baik, pekerjaan dengan imbalan
yang menarik, oleh sang pedagang
e) Umumnya mereka dipaksa bekerja sebagai pelacur, pekerja paksa, pembantu rumah tangga,
bahkan pengemis
f) Untuk mengendalikan mereka biasanya dipakai upaya kekerasan atau ancaman kekerasan

9
Lebih dari dua juta perempuan bekerja di industri seks di luar keinginan mereka, dan
diperkirakan sekitar 40% (empat puluh persen) adalah anak di bawah umur.
Akan tetapi dalam banyak hal, kerap kali terdapat perbedaan dalam menentukan batasan,
pengertian, dan sumber dapat mengakibatkan perbedaan hasil yang menimbulkan tafsiran
serta implikasi yang berbeda. Dalam situasi yang demikian, maka isu undocument migrant
workers (pekerja pembantu rumah tangga anak) apabila ditafsirkan dengan tanpa batasan
dapat mengakibatkan perbedaan persepsi tentang perdagangan anak. Untuk
memberikan batasan yang pasti, maka dapat mengacu kepada Protocol to Prevent, Suppres
and Punish Trafficking in Person Especially Women and Children. Protokol ini telah
ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. Di luar dari batasan dari protokol itu, pengertian
perdagangan anak masih beragam. Hingga saat ini belum ada kesatuan yang bisa
menggambarkan kejahatan perdagangan anak. Hal ini disebabkan semakin meluasnya
dimensi kriminal dari perdagangan manusia sehingga batasan tradisional perdagangan
manusia menjadi usang.

6. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perdagangan Anak


Karena mereka jarang diidentifikasi sebagai korban, layanan dukungan dan perlindungan
yang sangat mereka butuhkan jarang diberikan (UNDAW, 2002). Akhirnya, beberapa
anak meninggal akibat pelecehan dan eksploitasi, dan yang lainnya menghilang, keluarga
mereka melaporkan bahwa mereka tidak mendengar kabar dari mereka sejak mereka
meninggalkan rumah. 411 Meskipun sejumlah faktor telah dikaitkan dengan perdagangan
anak, mereka seringkali hanya dicantumkan tanpa kerangka teoretis untuk memandu
pengembangan penelitian di bidang ini. Perspektif ekologis yang dikembangkan oleh
Bronfenbrenner (1986) ditawarkan di sini sebagai kerangka kerja yang memungkinkan
untuk mengkonseptualisasikan faktor-faktor yang terkait dengan perdagangan anak.
Perspektif ekologi menekankan hubungan antara manusia dan lingkungannya, daripada
memeriksa karakteristik keduanya secara terpisah. Ketika diterapkan pada perdagangan
anak sebagai masalah sosial, perspektif ekologi Bronfenbrenner berfokus pada
karakteristik latar (misalnya, kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi), faktor risiko
anak dan keluarga (misalnya, jenis kelamin, usia, ras/etnis, fungsi keluarga, pendidikan).
10
 Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi
Kemiskinan dan peningkatan ketimpangan ekonomi merupakan faktor risiko
penting yang terkait dengan perdagangan anak dan CSE (Omeraniuk, 2005;
Shifman, 2003). Memang, sebagian besar korban perdagangan manusia berasal
dari keluarga di komunitas miskin yang kekurangan kesempatan ekonomi dan
pekerjaan (ECPAT, 2002; Farr, 2005; UNICEF, 2005). Anak perempuan di Laos,
misalnya, menjadi semakin rentan terhadap perdagangan karena Laos terletak di
kawasan ekonomi yang berkembang pesat, indikator sosial ekonominya sendiri
tetap rendah dan kesempatan kerja terbatas (Laos dan UNICEF, 2003). Kamboja
juga menghadapi sejumlah besar masalah yang terkait dengan kemiskinan ekstrem
dan perkiraan penutupan pabrik garmen, membuat anak-anak menjadi sasaran
empuk lingkaran eksploitasi dan perdagangan manusia (ECPAT, 2006b). Dalam
lingkungan kemiskinan yang parah, khususnya, daerah pedesaan yang miskin dan
kota-kota kumuh, para pedagang memangsa, memikat korban yang tidak menaruh
curiga dengan janji-janji palsu (ECPAT, 2002).
 Faktor Risiko Anak dan Keluarga
Faktor risiko pada tingkat anak dan keluarga cenderung hidup berdampingan.
Misalnya, selain menjadi kelompok yang paling mungkin menjadi miskin, etnis
minoritas juga lebih cenderung tinggal di daerah pedesaan dan berpendidikan
rendah (ECPAT, 2002; Laos dan UNICEF, 2003; Omeraniuk, 2005; UNICEF,
2005) . Menurut ECPAT (2006a), anakanak dari suku pegunungan di Thailand
dan Myanmar sangat rentan terhadap eksploitasi karena kurangnya perlindungan
hukum, stigma yang mereka hadapi, dan fakta bahwa mereka secara politis lemah
serta menjadi kelompok yang paling mungkin menjadi miskin dan tidak
berpendidikan
Faktor risiko yang terkait dengan perdagangan anak di tingkat anak diperparah
untuk anak-anak tanpa perlindungan keluarga yang memadai. Misalnya, anak
perempuan dari keluarga miskin, dan keluarga disfungsional khususnya, paling
berisiko menjadi korban perdagangan manusia (Omeraniuk, 2005; UNDAW,
2002). Menurut LSCW (2005)
 Ketidaksetaraan dan Diskriminasi Gender
Kerentanan anak perempuan yang hidup dalam kemiskinan semakin meningkat
11
melalui tradisi budaya dan norma sosial yang melanggengkan sikap stereotip dan
diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan (Asian Development Bank
(ADB), 2006; ECPAT, 2002; IPU dan UNICEF, 2005; Mahler , 1997). Sikap
diskriminatif yang sedang berlangsung terhadap perempuan dan anak perempuan
di Asia Tenggara berakar pada sejarah dan budayanya, termasuk perdagangan
seks kolonial, prostitusi, dan pergundikan (Bertone, 2000) yang sebagian dipupuk
melalui hubungan ekonomi yang kompleks dan struktur yang terorganisir (Lim,
1998). Penggunaan Thailand untuk istirahat dan relaksasi militer selama Perang
Vietnam semakin memperkuat sikap seksis dan eksploitatif terhadap perempuan
muda (Bertone, 2000; Muecke, 1991). Di Asia Tenggara, diskriminasi gender
(sejak lahir, dalam keluarga, di sekolah) terus meluas (IPU dan UNICEF, 2005).
Status perempuan yang lebih terpinggirkan dibandingkan laki-laki, sebagai akibat
dari stereotip gender yang berlaku dan peran sosial yang kurang dihargai, terus
menempatkan gadis-gadis muda pada risiko perdagangan dan CSE (D'Cunha,
2002).
 Faktor Permintaan
Permintaan akan tenaga kerja murah dan wanita yang dilacurkan, anak perempuan
dan anak laki-laki baru-baru ini diidentifikasi sebagai faktor 'tarik' utama yang
terkait dengan perdagangan manusia oleh Departemen Luar Negeri AS (2007).
Seperti disebutkan sebelumnya, para pelaku perdagangan manusia yang tidak
bermoral sering kali memanfaatkan keluarga di desa-desa terpencil dengan
menipu orang tua untuk berpisah dengan anak-anak mereka dengan imbalan
bayaran dan janji pekerjaan yang layak. Pemain kunci lainnya termasuk pemilik
rumah bordil, pejabat korup dalam penegakan hukum, imigrasi dan sistem
peradilan yang lemah dalam menegakkan hukum karena keuntungan mereka
sendiri dari perdagangan seks ilegal (Beyrer, 2001; Kapstein, 2006). Dan
akhirnya, orang-orang dari negara-negara industri dan berkembang yang menjaga
para pedagang dalam bisnis, dan menambah pundipundi pejabat korup melalui
pembelian, eksploitasi dan pelecehan anak-anak mereka tidak dapat diabaikan.
Menurut Kampanye Not for Sale, satu juta anak setiap hari dipaksa untuk menjual
tubuh mereka di industri seks industri global karena pariwisata seks adalah
industri yang berkembang pesat di Asia Tenggara dengan turis laki-laki membayar
12
premi tinggi untuk seks dengan anak-anak dan kurangnya upaya pemerintah untuk
mengadili dan menghukum pejabat yang mengambil keuntungan dari atau terlibat
dalam perdagangan manusia (http://notforsalecampaign.org). Perdagangan seks
tidak akan ada tanpa pembeli seks dan permintaan global akan korban murah
untuk dieksploitasi (Departemen Luar Negeri AS, 2007). (Buckley 2007)

perdagangan orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang.

RENTANG RESPON
a. Respon adaptif
Menurut Eko (2014), respon adaptif adalah kemampuan individu
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya

1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang


positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan
dapat diterima.

2. Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman


yang positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif
maupun yang negatif dari dirinya.

b. Respon Maladaptif
1) Menurut Eko (2014), respon maladaptif adalah respon yang
diberikan individu ketika dia tidakmampu lagi menyelesaikan
masalah yang dihadapi.
2) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai
dirinya yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
3) Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas
sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
4) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu
mempunyaib kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu

berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa percaya

13
diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan orang lain.

RENTANG POHON MASALAH

Resiko
mencederai Ganggu
diri sendiri, an
orang lain atau Pola
Tidur
lingkungan
Hilang selera Perubahan Persepsi
Menurunnya
makan Sensori :
motivasi
Halusinasi
(Anoreksia) dalam
Isolasi Sosial : perawatan diri
Menarik Diri
Gangguan Konsep
Diri :
Harga Diri Rendah
Koping individu
inefektif

Respon Trauma

DIAGNOSA KEPERAWATAN
b. Harga Diri Rendah (HDR)
c. Isolasi Sosial
d. Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

14
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

15
2.1 Klien mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki:
a. Kemampuan yang dimiliki klien
b. Aspek positif keluarga
c. Aspek positif
lingkungan yang dimiliki klien

2.1.1 Diskusikan
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
2.1.2 Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi nilai negatif
2.1.3 Utamakan memberi pujian yang realistik

Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego sebagai dasar asuhan keperawatan.
Reinforcement positif akan meningkatkan harga
diri
Pujian yang realistis
tidak menyebabkan melakukan kegiatan hanya karna ingin mendapat pujian.

16
BAB III
JURNAL

 Perdagangan Anak dan Eksploitasi Seksual Komersial: Tinjauan Kebijakan Pencegahan yang Menjanjikan dan Program
Perdagangan anak, termasuk eksploitasi seksual komersial (CSE), adalah salah satu kegiatan kriminal yang paling cepat berkembang dan
paling menguntungkan di dunia. Perbudakan global anak-anak mempengaruhi tak terhitung banyaknya korban yang diperdagangkan di
negara asal mereka Manusia saat ini sedang dipaksa ke dalam kondisi perbudakan yang mirip dengan perbudakan, dengan sedikit atau tanpa
kesempatan untuk melepaskan ikatan mereka. Perbudakan anak mempengaruhi tak terhitung banyaknya korban yang diperdagangkan di
dalam rumah mereka Meskipun Palermo adalah salah satu yang paling banyak didukung, itu belum diadopsi secara rutin di seluruh dunia,
memperumit upaya untuk memperkirakan jumlah anak yang diperdagangkan. Di Amerika Serikat, misalnya, Trafficking mencoba atau
diangkut jauh dari rumah mereka dan diperlakukan sebagai komoditas untuk dibeli, dijual, dan dijual kembali untuk tenaga kerja atau
eksploitasi seksual. Di seluruh dunia, anak perempuan sangat mungkin untuk diperdagangkan ke dalam perdagangan seks: Anak perempuan
dan perempuan merupakan 98% dari mereka yang diperdagangkan untuk CSE. Standar kesehatan dan keselamatan di lingkungan
eksploitatif umumnya sangat rendah, dan tingkat kekerasan yang dialami telah dikaitkan dengan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial-
emosional yang merugikan. Pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk perdagangan anak memberikan kerangka konseptual yang
komprehensif di mana tanggapan yang berfokus pada korban dan penegakan hukum dapat dikembangkan, diterapkan, dan dievaluasi.
negara atau diangkut jauh dari rumah mereka melintasi perbatasan dan diperlakukan sebagai komoditas untuk dibeli, dijual, dan dijual
kembali untuk tenaga kerja atau eksploitasi seksual. Di seluruh dunia, anak perempuan sangat rentan untuk diperdagangkan ke dalam
perdagangan seks. Artikel ini menyoroti kebijakan dan program yang menjanjikan yang dirancang untuk mencegah perdagangan anak dan
CSE dengan memerangi permintaan seks dengan anak-anak, mengurangi pasokan, dan memperkuat komunitas. Literatur yang ditinjau
meliputi publikasi akademik serta laporan internasional dan pemerintah dan non-pemerintah. Implikasi untuk kebijakan sosial dan
penelitian masa depan disajikan. (Rafferty 2013)

 Perbudakan modern anak, perdagangan dan kesehatan: tinjauan praktis tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
kerentanan anak-anak dan potensi dampak eksploitasi parah terhadap kesehatan
Perdagangan anak adalah suatu bentuk perbudakan modern, suatu sistem yang berkembang pesat, bermutasi dan multifaset dari eksploitasi
manusia yang parah, kekerasan terhadap anak, pelecehan anak dan pelanggaran hak-hak anak. Perbudakan modern dan perdagangan
manusia (MSHT) mewakili masalah kesehatan masyarakat global yang utama dengan para korban yang terpapar risiko fisik, mental,
psikologis, perkembangan, dan bahkan generasi jangka pendek dan jangka panjang yang mendalam terhadap kesehatan. Anak-anak dengan
kerentanan yang meningkat terhadap MSHT, korban (dalam eksploitasi aktif) dan penyintas (pasca eksploitasi MSHT) menghadiri
pengaturan perawatan kesehatan, menghadirkan jendela peluang penting untuk perlindungan dan intervensi kesehatan. Pengakuan anak
korban perbudakan modern bisa sangat menantang. Penyedia layanan kesehatan mendapat manfaat dari pemahaman keragaman potensi

17
presentasi kesehatan fisik, mental, perilaku dan perkembangan, dan kompleksitas tanggapan anak-anak terhadap ancaman, ketakutan,
manipulasi, penipuan dan pelecehan.
Profesional perawatan kesehatan juga didorong untuk memiliki pengaruh, jika memungkinkan, di luar perawatan pasien individu.
Penelitian, wawasan kesehatan, advokasi dan promosi masukan penyintas MSHT meningkatkan pengembangan kolaboratif pendekatan
berbasis bukti untuk pencegahan, intervensi dan perawatan setelah anak dan keluarga yang terkena dampak. (Buckley 2007)

 FENOMENA TRAFFICKING IN PERSON DI WILAYAH PERBATASAN KALIMANTAN BARAT


Fenomena perdagangan manusia di wilayah perbatasan Kalimantan Barat merupakan salah satu dari sekian banyak narasi permasalahan di
beranda negara. Selain kemiskinan, keterbatasan akses sumber daya dan ketidaktahuan masyarakat terhadap bahaya efek dari fenomena
ini. Masih banyak kasus demi kasus yang tidak terungkap, korban-korban mendapatkan perlakuan tidak adil (di masyarakat maupun
hukum). Pemerintah sebagai pemangku kebijakan wajib memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak asasi manusia, termasuk
hak-hak perempuan yang selalu diidentikkan sebagai pekerja rumah tangga. Perlindungan bagi perempuan yang menjadi tenaga kerja di
luar negeri, tanpa terkecuali mereka yang terjerumus sebagai korban human trafficking. Di wilayah perbatasan, security masyarakat
semestinya menjadi prioritas utama negara. Jangan sampai ada kecolongan warga negara menjadi korban perdagangan orang. Peran dan
fungsi lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga adat, semestinya dapat menjadi alat kontrol negara dalam memberantas kejahatan
perdagangan manusia di wilayah perbatasan. (Niko 2016)

BAB VI
KESIMPULAN

18
1. HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2015).
2. Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun
internasional.
3. Convention on the Rights of the Child (CRC) adalah merupakan salah satu konvensi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
perlindungan hak-hak anak.
4. Indonesia melalui Keputusan Presiden RI. Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan suatu kebijakan yang bersifat akseleratif tentang
penghapusan perdagangan anak.
5. Perilaku yang termasuk dalam kategori bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary forms of slavery), meliputi:
 Perdagangan anak.
 Prostitusi anak.
 Pornografi anak.
 Eksploitasi pekerja anak.
 Mutilasi seksual terhadap anak perempuan.
 Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
 Penghambaan.
 Perdagangan manusia.
 Perdagangan organ tubuh manusia.
 Eksploitasi untuk pelacuran, dan
 Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.

Faktor lainnya berupa lingkup wilayah Indonesia yang amat luas dan terbuka yang memungkinkan perdagangan manusia terjadi di beberapa
tempat namun sulit dipantau

19
Daftar Pustaka

Metode deskritif, Atherton dan Klemmac, (2016).


Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) dan adanya Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UU PTPPO), KEPRES RI Nomor 88 Tahun 2002

Contemporary Forms of Slavery Fact Sheet No. 14, PBB melalui Office of The High Commisioner of Human Rights

Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC

Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu

Buckley, Helen. 2007. “Children for Sale: Child Trafficking in Southeast Asia.” 16(September): 296–310.
Niko, Nikodemus. 2016. “FENOMENA TRAFFICKING IN PERSON DI WILAYAH PERBATASAN KALIMANTAN BARAT.” : 32–37.
Rafferty, Yvonne. 2013. “Child Trafficking and Commercial Sexual Exploitation: A Review of Promising Prevention Policies and Programs.” American
Journal of Orthopsychiatry 83(4): 559–75.

20

Anda mungkin juga menyukai