Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 3

HUKUM DAN HAM

sedikitnya 29 perempuan yang berasal dari Kalimantan Barat dan Jawa Barat menjadi
korban perdagangan orang ke China dengan modus perjodohan, menurut organisasi
buruh migran. Mereka diincar para perekrut yang disebut "mak comblang" dengan iming-
iming uang.
Salah satu contoh kasus menimpa Monika, seorang WNI asal Kalimantan yang dijodohkan
dengan seorang WNA Tiongkok oleh seorang temannya dengan iming-iming sejumlah
uang. Awalnya mereka bertunangan. Namun tiba tiba yang bersangkutan menerima buku
nikah dan surat catatan sipil dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Mempawah pada 12 September 2018.
Tak lama setelah itu Monika dibawa ke China, sesampainya di China Monika dipekerjakan
dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam dan diperlakukan semena-mena oleh suaminya.
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48737921
Berdasarkan kasus di atas:

1. Analisislah apakah kasus yang menimpa Monika dapat dikategorikan perdagangan


manusia? Jelaskan apa yang dimaksud perdagangan manusia.
Jawab :
Menurut saya sanagat jelas bahwa kasus yang menimpa Monika adalah
perdagangan manusia, dimana di imingi bahwa akan dijodohkan dengan WNA namun
kenyataannya adalah dipekerjakan dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam dan
diperlakukan semena-mena.
Perdagangan manusia adalah segala bentuk jual beli terhadap manusia, dan juga
ekploitasi terhadap manusia itu sendiri seperti pelacuran (bekerja atau layanan
paksa),perbudakan atau praktek yang menyerupainya, dan juga perdagangan atau
pengambilan organ tubuh manusia.
Menurut Protokol Palermo pada ayat tiga definisi aktivitas transaksi meliputi:
 perikritan
 perekrutan
 pengiriman
 pemindah-tanganan
 penampungan atau penerimaan orang
Yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk
pemaksaan lainya, seperti:
 penculikan
 muslihat atau tipu daya
 penyalahgunaan kekuasaan
 penyalahgunaan posisi rawan
 menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga
diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol
atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya; pelacuran (eksploitasi prostitusi) orang lain
atau lainnya seperti kerja atau layanan paksa, pebudakan atau praktik-praktik serupa
perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Hal ini sudah sangat menyedihkan bagi orang – orang yang mengalami Human
Trafficking atau Perdagangan Manusia, mereka sering di imiimingi dengan gaji yang
besar jika bekerja di luar negri, sedangkan pada kenyataannya jangankan
mendapatkan gaji yang besar,mereka bahkan di siksa dan juga dianiyaya disana.
Biasanya orang terlibat dalam Human Trafficking ini adalah orang yang sudah
sangat dekat dengan sang korban, seperti teman, saudara, atau bahkan orang tua
sendiri. Hal yang lebih mengerikan lagi adalah terkadang mereka sama sekali tidak
mengetahui dan menyadari bahwa mereka terlibat dalam Human Trafficking atau
Perdagangan Manusia ini.
Pada tahun 2000 lewat Majelis Umum PBB telah menetapkan sebuah protocol :
“Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya
Perempuan dan Anak”. Protokol ini merupakan Annex dari United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) yang juga ditetapkan tahun
2000. Dalam protokol ini dimuat definisi perdagangan manusia sebagai berikut :
a) “Perdagangan manusia” adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan
kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan,
kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi
atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atau orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak, eksploitasi untuk
melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan,
perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
b) Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud
yang kemukakan dalam sub alinea (a) artikel ini tidak akan relevan jika salah
satu dari cara-cara yang dimuat dalam sub alinia (a) digunakan;
c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang
anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai “perdagangan manusia”
bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satupun cara yang dikemukakan dalam
sub alinea (a) pasal ini;
d) “ anak” adalah setiap orang berumur di bawah delapan belas tahun

2. Berikan argumentasi saudara apa penyebab maraknya perdagangan perempuan


khususnya pada daerah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal).
Jawab :
1. Kurangnya kesadaran, baik mereka yang menjalankan atau terlibat dalam
Perdagangan Manusia ataupun mereka yang menjadi korban perdagangan
manusi. Hal ini disebabkan kurang hati-hatinya dan kurangnya informasi serta
pengetahuan yang mereka dapat tentang motif-motif dari Perdagangan Manusia.
2. Faktor ekonomi atau kemiskinan. Permasalahan ini sering sekali menjadi masalah
utama dalam kasus Human Trafficking. Tanggung jawab yang besar untuk
menopang hidup keluarga, membayar semua pengeluaran dan pendidikan anak,
saudara, dan lainnya sering menjadi pemicu mencari pekerjaan diluar negeri yang
tidak jelas kepastian pekerjaannya.
3. Keinginan untuk menjadi kaya dalam waktu yang singkat.
4. Faktor budaya seperti: Peran perempuan untuk mencari nafkah, memang sudah
kodratnya perempuan mengurus rumah dan hanya membantu untu mencari
nafkah tambahan, namun tanggung jawab atas keberlangsungan hidup
keluarganya menjadi alasan untuk berimigrasi. Lalu Peran anak dalam sebuah
keluarga, kepatuhan anak terhadap orang tua serta rasa tanggung jawab untuk
membayar hutang yang keluarganya miliki, memberikan motivasi tersendiri bagi
mereka untuk berimigrasi. Next is Perkawinan dini mempunyai implikasi yang
serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah,
kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan
seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai
secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking
disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka, dan lain-lain.
5. Pengetahuan yang terbatas yang dimiliki, orang dengan pendidikan yang terbatas
memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah
ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan
keahlian, dan lain sebagainya.
Daerah-daerah yang memasok terbesar kasus trafficking (perdagangan orang)
tersebar di tanah air. Suatu data menyebutkan bahwa sedikitnya 80 persen dari 8000
kasus trafficking sejak tahun 2004 melibatkan korban asal warga Subang, Karawang,
Cianjur, dan Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Akibat dari besarnya kasus tersebut,
kemungkinan besar Indonesia terancam dicoret dalam daftar Negara yang berhak
mendapatkan jatah bantuan kemanusiaan dari PBB.
Trafficking (perdagangan orang) umumnya terjadi pada kasus-kasus
pengiriman TKI ke luar negeri. Untuk itulah, penanganan terhadap masalah
trafficking juga perlu mengatasi masalah pengiriman tersebut. Sebab, banyak para
calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri tidak memiliki pengetahuan yang
memadai tentang bagaimana prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Kelengahan mereka kemudian dimanfaatkan secara ekonomi namun tidak
bertanggung jawab oleh sejumlah agen, calo, atau jasa pengiriman TKI.

3. Berikan analisis saudara mengapa perdagangan perempuan harus dibasmi. Jelaskan


pula apa saja hak-hak perempuan yang dilanggar dalam perdagangan manusia
jelaskan berdasarkan dasar hukumnya.
Jawab :
Bahwa para korban perdagangan perempuan yang dipaksa dalam perbudakan
seks seringkali dibius dengan obat-obatan dan menderita kekerasan yang luar biasa.
Para korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik
dan emosional akibat kegiatan seksual yang belum waktunya, diperlakukan dengan
kasar, dan menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks
termasuk HIV/AIDS. Beberapa korban menderita cedera permanen pada organ
reproduksi mereka. Selain itu, korban biasanya diperdagangkan di lokasi yang
bahasanya tidak mereka pahami, yang menambah cedera psikologis akibat isolasi
dan dominasi. Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang amat
buruk dan terampasnya hak-hak mereka bahkan membuat banyak korban yang
dijebak terus bekerja sambil berharap akhirnya mendapatkan kebebasan. Mengacu
pada uraian di atas maka hakikatnya, perdagangan perempuan adalah juga
merupakan suatu bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya,
perdagangan manusia, termasuk perdagangan perempuan, melanggar hak asasi
universal manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas dari semua bentuk perbudakan.
Perdagangan anakanak merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dalam
lingkungan yang aman dan merampas hak anak untuk bebas dari kekerasan dan
eksploitasi seksual. Selanjutnya, perlu dipahami pula bahwa perdagangan manusia
meningkatkan kerusakan sosial. Hilangnya jaringan dukungan keluarga dan
masyarakat membuat korban perdagangan sangat rentan terhadap ancaman dan
keinginan para pelaku perdagangan, dan dalam beberapa cara menimbulkan
kerusakan pada struktur-struktur sosial. Perdagangan merenggut anak secara paksa
dari orang tua dan keluarga mereka, menghalangi pengasuhan dan perkembangan
moral mereka. Perdagangan mengganggu jalan pengetahuan dan nilai-nilai budaya
dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi, yang membangun pilar
utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan seringkali membuatnya mengakar
di masyarakat-masyarakat tertentu, yang kemudian dieksploitasi secara berulang-
ulang sebagai sumber yang siap menjadi korban. Bahaya menjadi korban
perdagangan seringkali membuat kelompok yang rentan seperti anak-anak dan
perempuan muda bersembunyi dengan dampak merugikan bagi pendidikan dan
struktur keluarga mereka. Hilangnya pendidikan mengurangi kesempatan meraih
kesuksesan ekonomis di masa depan bagi para korban dan meningkatkan kerentanan
mereka untuk diperdagangkan di masa mendatang. Para korban yang kembali kepada
komunitas mereka seringkali menemui diri mereka ternoda dan terbuang/terasing, dan
membutuhkan pelayanan sosial secara terus menerus. Mereka juga berkemungkinan
besar menjadi terlibat dalam tindak kejahatan.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran
HAM berat terhadap perempuan, karena di dalamnya ada unsur ancaman,
penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual, sebagai komoditi yang dapat diperjual
belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Dalam situasi
perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak-hak mereka terus dilanggar, karena
mereka kemudian ditawan, dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar keinginan
mereka. Mereka ditempatkan dalam kondisi seperti perbudakan, tidak lagi memiliki
hak untuk menemukan nasib sendiri, hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa tidak
aman. Bahkan kadang diperburuk oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas
yang jelas, sehingga mereka takut meminta bantuan kepada pihak yang berwenang
karena takut diusut dan dideportasi. Juga status sosial mereka menyebabkan mereka
dilecehkan oleh majikan. Eksploitasi perempuan dlan anak-anak oleh industri seks
lokal maupun global adalah petanggaran hak asasi manusia karena jelas telah
mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementara itu, perdagangan perempuan
clan anak-anak telah dianggap sebagai "kenikmatan" bagi para pengguna jasa seks
dan sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang bergerak di dalam industri seks,
prostitusi, perdagangan perempuan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan
bisnis.
Pada dasarnya, perdagangan perempuan dan anak-anak ini merupakan bentuk
kekerasan seksual clan menempatkan perempuan dan anak-anak dalam suatu kondisi
fisik clan mental yang sangat merusak dan tergradasi. 17 UNICEF,
Dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia 1948 ditegaskan, bahwa "setiap
orang dilahirkan mempunyai hak akan kehebasan dan martabat yang setara".
Penegasan ini merupakan simbol suatu kehidupan bermasyarakat dengan suatu visi
tentang perlunya menghormati kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan ras,
warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa dan jenis kelamin.
Dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 jo dalam Pasal 71 UU No.39 tentang HAM. Pasal 28I Ayat (4)
menyatakan “...perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah...”. dan Pasal 71 UU
No.39 tentang HAM pada intinya menentukan bahwa kewajiban negara untuk
melindungi, menghormati, menegakkan san memajukan HAM.
Dengan demikian perempuan dan anak berhak memperoleh perlindungan hak
asasi manusia. Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran
terhadap HAM, karena melanggar;
a. Hak atas kehidupan
b. Hak atas persamaan
c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi
d. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum
e. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-
baiknya
f. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik
g. Hak untuk pendidikan lanjut
h. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan
atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang
Jaminan HAM terhadap perempuan dan memberikan perlindungan dengan
meratifikasi Konvensi Segala Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of all form of Discrimination Against
Women) dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Perlindungan hukum terhadap
korban perdagangan manusia disahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan hukuman
penjara. Ketentuan terhadap korban telah ditetapkan dalam Pasal 43 sampai dengan
Pasal 53.
Perlindungan lain yang dapat diwujudkan kepada korban perdagangan anak
adalah dalam bentuk ganti rugi, yang digunakan KUHP dalam pasal 99 ayat (1) dan
(2). Adapun restitusi sebagai tanggung jawab pelaku untuk menanggulangi semua
kerugian korban, dan kompensasi. Dan untuk mengurangi kejahatan perdagangan
manusia yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, khususnya bagi perempuan,
pemerintah diharapkan untuk tidak menyepelekan adanya fenomena kawin kontrak
dan kawin paksa, serta membenahi kebijakan-kebijakan yang mengandung unsur
diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, penghimbauan kepada masyarakat dan
pengawasan untuk tidak mudah jatuh ke dalam tipu daya dan iming-iming janji dan
materi juga perlu dilakukan
Jaminan perlindungan HAM perempuan di Indonesia yang merupakan
perwujudan dari kesepakatan internasional, ditemukan dalam UU No.39 Tahun 1999
UU HAM, yaitu;
a) Hak perempuan di bidang Politik, diatur dalam beberapa Pasal dalam UU
HAM, antara lain; Pasal 46 UU HAM yang pada intinya mengatur bahwa sistem
pemilihan umum, partai politik, dan pemerintahan (eksekutif dan legislatif) harus
menjamin keterbalikan perempuan minimal 30%. Pasal 49 Ayat 1 yang pada intinya
perempuan berhak untuk diangkat dalam jabatan profesi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini membuktikan bahwa Hak perempuan dalam bidang
Politik sudah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan.
b) Hak perempuan di bidang Pendidikan, diatur dalam Pasal 48, yang pada
intinya mengatur bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
c) Hak perempuan dalam bidang ekonomi dan pekerjaan, diatur dalam Pasal 49
ayat 2 dan 3 yang pada intinya mengatur bahwa perempuan berhak mendapatkan
perlindungan dalam melakukan pekerjaan yang mengancam keselamatan dan
kesehatan reproduksi nya, dijamin oleh hukum.
d) Hak perempuan dalam pernikahan dan setelah perkawinan, diatur dalam
beberapa Pasal antara lain Pasal 47, yang pada intinya mengatur bahwa wanita
Indonesia yang menikah dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) mempunyai hak
untuk mempertahankan atau melepas status kewarganegaraan Indonesianya. Selain
itu juga diatur dalam Pasal 50 yang pada intinya mengatur bahwa perempuan yang
telah dewasa berhak melakukan perbuatan hukum sebagai subjek hukum yang cakap,
sepanjang diperbolehkan oleh hukum agamanya masing-masing, termasuk berhak
untuk menikah. Pasal 51 UU HAM juga mengatur mengenai hak perempuan dalam
pernikahan, yang pada intinya mengatur bahwa seorang istri memiliki hak dan
tanggungjawab yang sama dengan suami, baik dalam hal hubungan dengan anak dan
hak pemilikan dan pengelolaan harta bersama. Apabila perkawinan berakhir,
perempuan berhak atas hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan, seperti hak dalam mendapatkan harta gono-gini, dan hak dalam mengasuh
anak

4. Uraikanlah apa saja instrumen hukum HAM internasional yang melarang perdagangan
perempuan.
Jawab :
Pada tahun 1904 masyarakat internasional melalui prakarsa Liga Bangsa-
bangsa (LBB) mencoba untuk menghapus peratek-praktek perdagangan
perempuan. Hal ini di tandai dengan disahkannya instrument-instrumen
internasional terkait dengan larangan perdagangan perempuan, di antaranya
International Agreement for the Supression of White Slave Traffic (Perjanjian
Internasional untuk Memberantas Penjualan Budak Kulit Putih). Namun
demikian, perjanjian tersebut lebih berfokus pada perlindungan korban
daripada menghukum para pelaku, sehingga terbukti tidak efektif. Akibatnya,
pada tahun 1910 disetujui International Agreement for the Suppression of
White Slave Traffic.
Selain ketentuan diatas pada tahun 1921 masih dengan prakarsa LBB
kembali ditandatangani Convention on the Supression of Traffick in Women and
Children (Konvensi Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak).
Pada konvensi ini negara-negara peserta diwajibkan mengambil langkah-
langkah administratif yang dibutuhkan untuk memeriksa perdagangan perempuan
dan anak dalam hubungannya dengan emigrasi dan imigrasi, serta
menyerukan penuntutan orang-orang yang memperdagangkan anak-anak,
memberi lisensi kepada agen-agen tenaga kerja, dan memberikan
perlindungan bagi perempuan dan anak-anak yang berimigrasi. Selanjutnya di
tahun 1933 dikeluarkan pula International Convention of the Supression of the
Traffick in Women of full age (Konvensi Internasional untuk Penghapusan
Perdagangan Perempuan dewasa). Konvensi ini menuntut negara-negara
peserta untuk menghukum pelaku perdagangan perempuan dewasa walaupun
dengan atau tanpa persetujuan perempuan tersebut.
Dari berbagai ketentuan hukum diatas, hasil prakarsa LBB akhirnya di
konsolidasikan oleh PBB ke dalam Convention of the Supression of Traffic
in Person and the Eksploitation of the Prostitution of Others (Konvensi
Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang
Lain tahun 1949). Konvensi ini merupakan salah satu instrument
hukum internasional khusus mengatur mengenai perdagangan perempuan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 yang menitik beratkan pada perdagangan
perempuan untuk tujuan prostitusi. Selanjutnya pada pasal 2 konvensi
menegaskan bahwa:
Peserta konvensi saat ini setuju untuk menghukum siapapun yang:
1. Memiliki atau manejer, atau dengan sadar membiayai atau mengambil
bagian dalam pembiayaan suatu rumah pelacuran.
2. Dengan sadar membiarkan atau menyewakan suatu bangunan atau tempat
atau manapun bagian daripadanya untuk kepentingan pelacuran dari yang lain.
Selain ketentuan internasional di atas, Protocol to Prevent, Suppress
and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children Supplementing
the United Nations Convention againt transnational organied crime. (Protokol
untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan Orang, terutama
Perempuan dan Anak-anak, melengkapi Perserikatan Bangsa-Bangsa Konvensi
tentang kejahatan transnasional yang terorganisir). Dalam Pembukaan (primbull)
protokol secara jelas menyatakan bahwa tindakan-tindakan efektif untuk
mencegah dan memerangi perdagangan manusia, terutama perempuan,
membutuhan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara
asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk
mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan dan untuk
melindungi korban-korban perdagangan manusia, termasuk melindungi hak asasi
mereka yang diakui secara internasional. Dalam pembukaan protokol tersebut
mengakui bahwa meskipun terdapat berbagai macam instrument internasional yang
berisi aturan-aturan dan langkah-langkah praktis untuk memerangi exploitasi
manusia, terutama perempuan, namun tidak ada instrument universal yang
menangani semua aspek perdagangan manusia, sehingga ketiadaan instrument
semacam itu, orang-orang yang rentan terhadap perdagangan khususnya
perempuan tidak akan mendapat perlindungan yang memadai,
Ketentuan internasional lainnya yang khusus mengatur pemberantasan
perdagangan perempuan ialah Convention on Elimination Against all form of
Discrimination Against Women yang telah di ratifikasi oleh indonesia kedalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita,
khususnya dalam pasal 6 yang berbunyi “Negara-negara peserta wajib melakukan
langkah-tindak ysng tepat, termasuk pembuatan pengaturan perundang-undangan,
untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran”.
Selain ketentuan internasional diatas, juga terdapat instrumen-instrumen
internasional lainnya yang khusus mengatur perdagangan perempuan diantaranya
adalah
1. Rekomendasi Nomor 19 tentang kekerasan terhadap Perempuan, komite
PBB untuk mengakhiri Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1992
2. Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (DEVAW) Resolusi
Majelis Umum No 48/104, tanggal 20 Desember tahun 1993
3. Resolusi No 38/7 tentang Kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan,
Komisi Status Perempuan tahun 1994
4. Resolusi No 39/6 tentang Perdagangan Perempuann dan Anak Perempuan
tahun 1995
5. Resolusi Majelis Umum PBB (UNGA) No 51/66 tentang Perdagangan
Perempuan dan Anak Perempuan tahun 1996
6. Resolusi Majelis Umum PBB (UNGA) No 52/98 tentang Perdagangan
Perempuan dan Anak Perempuan tahun 1998
7. Protokol Opsional untuk Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan tahun 1998 dan Indonesia meratifikasi Protokol ini pada
bulan Februari tahun 2000
8. Resolusi Majelis Umum PBB (UNGA) No 55/67 tentang Perdagangan
Perempuan dan Anak Perempuan tahun 2000 dan di tandatangani oleh
Indonesia pada bulan Desember 2000. Namun sampai saat ini teaktat
tersebut belum mempunyai jumlah ratifikasi yang cukup untuk di sahkan.
9. Protokol untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum Perdagangan
Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak, Suplemen Konvensi PBB
Menentang Kejahatan Terorganisisr Lintas Batas tahun 2000 dan di
tandatangani oleh Indonesia pada bulan Desember 2000. Namun sampai saat
ini teraktat tersebut belum mempunyai jumlah ratifikasi yang cukup untuk
di sahkan.
10. Resolusi Majelis Umum PBB (UNGA) tentang Perdagangan Perempuan
dan Anak Perempuan tahun 2002.
Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, terkait dengan perdagangan
perempuan, bisa lihat bahwa telah banyak instrumaen-instrumen
internasional yang di tujukan untuk menanggulangi terjadinya perdagangan orang.
yang pada hakikatnya menjadi dasar hukum untuk memberantas perdagangan
manusia. Untuk itu diharapkan kepada negara harus bertindak secara
bersungguh-sungguh dalam mencegah, mengadili dan menghukum pelaku tindak
pidana perdagngan orang serta menyediakan bantuan dan memulihkan
para korban.

5. Jelaskan bagaimana kewajiban Indonesia dalam melakukan perlindungan terhadap


perempuan dari kejahatan human trafficking.
Jawab :
Mengingat banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia maka pemerintah sudah
mengantisipasi permasalahan tersebut dan upaya upaya apa yang sudah dan akan
dilakukan.
Di Indonesia Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 297 telah mengatur
masalah perdagangan perempuan yaitu : “Perdagangan wanita dan perdagangan
anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun “
Implementasi pasal ini menemui banyak kendala karena hanya memberikan
sanksi pidana atas perdagangan perempuan dan anak laki-laki tetapi belum
memerinci apa yang dimaksud dengan perdagangan perempuan. Rumusan KUHP
menyebut “wanita dan anak laki-laki di bawah umur” ketentuan ini menjadikan
persepsi bahwa pengaturan tersebut hanya untuk wanita dewasa dan anak laki-laki di
bawah umur, sehingga menimbulkan permasalahan baru jika menimpa perempuan
dan masih di bawah umur karena seakan-akan pasal ini tidak mengaturnya.
Selain itu bangsa Indonesia juga telah meratifikasi tentang Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (The Convention on
the Elimination of Discrimination Against Women ) atau CEDAW dimana pada pasal-
pasalnya mengatur bahwa para negara peserta akan mengambil semua tindakan
yang tepat termasuk perundang-undangan untuk menumpas semua bentuk
perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran wanita.
Bangsa Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Melawan Penyiksaan dan
Kekejaman Lain, Perlakuan atau Hukuman yang merendahkan atau tidak manusiawi.
(The Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman and Degrading Treatment
of Punishment) serta konvensi ILO yang telah diratifikasi tahun 1950.
Pengaturan di Indonesia yang mengatur tentang perdagangan perempuan dan
anak nampak pada :
1. Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 64 undang-undang ini menyatakan :
“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi
dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu
pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”.
Selanjutnya Pasal 65 menyatakan:
"Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan kegiatan eksploitasi, dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dan berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya”.
Ketentuan dan undang-undang tersebut diatas dianggap kurang efektif karena
tidak mencantumkan secara tegas sanksi terhadap perbuatanperbuatan dimaksud
terutama yang berkaitan dengan perdagangan. Meskipun Pasal 65 UU No.39
Tahun 1999 Tentang HAM secara tegas menyebut perdagangan anak, selain itu
undang-undang ini juga tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan perbuatan
perdagangan. Akan tetapi dari Undang –undang ini kita bisa melihat upaya
pemerintah untuk membuat kebijakan dalam mengatasi dan melindungi anak-anak
dari perbuatan-perbuatan eksploitasi maupun perdagangan manusia.
2. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang memberikan
beberapa pengaturan untuk mengatasi berkembangnya perdagangan perempuan
dan anak. Pasal 7 menyatakan :
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi
a. genosida ,
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selanjutnya Pasal 9 UU Pengadilan HAM menyebutkan :
"Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas dan sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
a. Pembunuhan
b. Permusuhan
c. Perbudakan
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan hukum
internasional
f. Penyiksaan
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehendak atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara.
Sedangkan penjelasan Pasal 9 huruf c UU Pengadilan HAM mengatakan bahwa :
"yang maksud dengan perbudakan dalam. ketentuan ini termasuk perdagangan
manusia khususnya wanita dan anak-anak. Masih terkait dengan pasal 9 UU
Pengadilan HAM , Penjelasan Pasal 37 UU Pengadilan HAM menyatakan :
Sanksi terhadap perbuatan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 a, b,
d, c atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup paling lama 25
tahun dan paling singkat 10 tahun. Dan setiap orang yang melakukan kejahatan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 9 huruf c dipidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 38 UU Pengadilan
HAM)
3. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, yang
memberikan ancaman pidana yang berat bagi pelaku yaitu :
Pasal 83 UU Perlindungan Anak mengatakan bahwa :
"Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri
sendiri atau untuk dijual dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000 (tiga, ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (enam
puluh juta rupiah)
Selanjutnya Pasal 88 menyebutkan sbb :
“setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua
ratus juta rupiah).
Mengatasi kejahatan perdagangan manusia memerlukan kerjasama dan
solidaritas dari banyak pihak baik pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat
sendiri karena banyaknya peraturan ternyata belum menjamin keberhasilan dari
terhapusnya perdagangan perempuan dan anak.
Tahun 1998 Indonesia menandatangani Bangkok Accord and Plan of Action to
Combat Trafficking in Women yang merupakan sebuah consensus bagi negara-
negara di wilayah regional Asia Pasific dam memerangi perdagangan perempuan di
kawasan ini.
Dalam rangka melakukan kegiatan ini ditetapkan 4 (empat) hal sebagai suatu
standart minimum, yaitu
1. Pemerintah harus melarang perdagangan manusia dan menghukum kegiatan
tersebut
2. Pemerintah harus menetapkan hukuman yang setara dengan hukuman untuk
tindak pidana berat yang menyangkut kematian (grave crimes), seperti
penyerangan seksual dengan kekerasan / secara paksa atau tindakan
perdagangan manusia dalam bentuknya yang paling tercela yakni untuk tujuan
seksual, melibatkan perkosaan atau penculikan atau yang menyebabkan
kematian.
3. Pemerintah harus menjatuhkan hukuman yang cukup keras sebagai refleksi sifat
keji dari kejahatan tersebut, sehingga mampu menghalangi kegiatan perdagangan
manusia.
4. Pemerintah harus melakukan, upaya yang serius dan berkelanjutan untuk
memberantas perdagangan manusia
Selain membuat instrumen hukum (termasuk ratifikasi), Pemerintah Indonesi
telah membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
88 Tahun 2002 RAN ini dimaksudkan untuk menjadi landasan dan pedoman bagi
pemerintah Indonesia dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan
perdagangan perempuan dan anak RAN ini dirancang untuk suatu program lima tahun
tahun dan akan ditinjau kembali untuk disempurnakan setiap lima tahun.
Tujuan keseluruhan RAN adalah
 untuk menjamin peningkatan dan pemujaan atas upaya-upaya perlindungan
terhadap korban perdagangan manusia. Khususnya perempuan dan anak.
 untuk merumuskan langkah-langkah baik bersifat preventif maupun menghukum
dalam upaya untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusi, khususnya
yang melibatkan perempuan dan anak.
 untuk mendorong pembentukan dan / atau penyempurnaan peraturan perudang-
undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan manusia khususnya
yang melibatkan perempuan dan anak.
Agar dapat memenuhi ketiga tujuan tersebut, maka RAN dibagi ke dalam lima
tema, berdasarkan langkah-langkah pokok untuk menanggulangi perdagangan :
a. Legislasi dan Penegakan Hukum : membuat norma-norma hukum dan
memberdayakan penegak hukum dalam menghadapi pelaku perdagangan.
b. Pencegahan semua bentuk perdagangan
c. Perlindungan dan Pendampingan Korbang : memberikan rehabilitasi dan
reintegrasi sosial untuk korban perdagangan
d. Partisipasi Perempuan dan Anak (Pemberdayaan)
e. Membangun kerja sama dan Koordinasi ( di Tingkat Nasional, Propinsi, Lokal dan
Internasional dan Regional : Bilateral dan Multilateral ).

Anda mungkin juga menyukai