Anda di halaman 1dari 22

HUBUNGAN POLA ASUH OARANG TUA TERHADAP KECERDASAN EMOSI

PADA DEWASA AWAL USIA 18 SAMPAI 25 TAHUN.


A. Kecerdasan Emosi
Peter Salovey dan Jack Mayer dalam Wulan (2011) mengemukakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menyadari
emosi dan perasaannya sendiri di samping mengerti apa yang dirasakan oleh
orang lain, memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya. Serta
menngunakan perasaannya dalam berfikir dan bertingkah laku.
Emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi
masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.
Kecenderungan untuk bertindak ini dibentuk oleh pengalaman kehidupan serta
budaya (Goleman, 1999). Emosi juga berarti seluruh perasaan yang kita alami
seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, dan cinta. Sebutan yang
diberikan kepada perasaan tertentu mempengaruhi bagaimana seorang berpikir
mengenai perasaan itu, dan bagaimana ia bertindak.
Perkembangan emosi atau dikenal dengan kecerdasan emosional sering
diabaikan oleh orang tua. Kecerdasan emosi ditandai dengan empati, kemampuan
mengguangkap perasaan , kemampuan mengendalikan amarah , kemandiarian,
kemampuan menyesuaikan diri, disukai orang lain, kemampuan memecahkan
masalah anatar pribadi, ketekunana, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap
hormat. Dengan begitu orang tua sebagai pelatih emosi perlu dimanfaatkan sebaik
baiknya dengan membangun komunikasi yang efektif dalam melatih anak untuk
ketrampilan manuiawi melalui empati dan pengertian.
Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi adalah kemampauan untuk
mengendalikan diri, memilki daya tahan ketika menghadapi suatau masalah,
mampu menegdalikan implus, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati,
kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan
emosi diukur dengan berpedoman aspek kecerdasan emsoi sesuai dengan teori
Goleman (2000) yaitu : (1) mengenali emosi (2) mengelola emosi (3) memotivasi
diri sendiri (4) mengenali emosi orang lain (5) membina hubungan.
Menurut Daniel Goleman kecerdasan emosional sanggup
memperhitungkan atau menyadari situasi tempat kita berada, membaca emosi
orang lain dan emosi diris sendiri, serta untuk bertindak dengan tepat
(Hartono,2017:7 & 8).

Goleman memfokuskan pandangan pada lima area utama dalam kecerdasan emsoional :

1. Kesadaran diri. Memahami respons atau perasaan ang dialami


karena hal tersebut memberi kita potensi dalam mengontrol emosi
kita.
2. Control emosi. Strategi kita ketika bereaksi atau berespon sesuatu
dengalan sewajarnya dalam kondisi apapun atau sedang dalam
keadaan tertekan.
3. Motivasi diri. Ketika seseorang memiliki tujuan maka kita akan
mengkontrol meosi akan membantu kita dalam mencapainya.
(sebagai contoh, dengan memfokuskan perasaan secara produktif
dan mengontrol implus kita)
4. Empati. Suatu kemamapuan untuk mengenali tanda emosi pada
orang lain atau emosi diri senidri ketika kita sedang membina
hubungan ang baik dengan mereka. Empati dapat membatu kita
dalam mengatsi konflik.
5. Mengtasi hubungan dengan orang lain. Pemahaman, pengertian
atau pengetahuan sesorang baik terhadap emosi dapat meembantu
kita untuk mengatasi kondisi emosi orang lain (Meggit,2013: 257-
258).
Kecerdasan emosional adalah kemampuan sesorang untuk menerima ,
menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirina dan orang lain di sekitarnya.
Dalam hal ini emosi mengacu pada persaan pada perasaan terhadap informasi
akan suatu hubungan. Kecerdasan emosi berfokus pada kemampuan seseorang
untuk mengenali, memahami, mengatasi, dan mengekspresikan emosi dengan
baik dan layak yang dimana kecerdasan emosional meliputi : a). perasaan b).
pemikiran c). perilaku
Menurut Howard (1983) terdapat lima pokok utama kecerdasan emosional
seseorang, yaitu mampua menadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki
kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegoisasi dengan
orang lain secra emosional, serta dapat mengguanakan emosi sebagai alat untuk
memotivasi diri.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan
emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca
perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan
dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk
memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan
kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang
memiliki kendali diri, menderita kekuranganmampuan pengendalian moral.
Dalam kecerdasan emosional seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Selain itu kecerdasan
emosi juga berhubungan dengan kemampuan kita untuk memahami, dan
mengelola emosi kita sendiri ang berupa ketakutan, kemarahan, agresi dan
kejengkelan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa factor yang


mempengaruhi kecerdasan emosi sesorang yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam memepelajari
emosi. Peristiwa emosional ang terjadi pada masa anak alan melekat dan
menetap secara permanen hingga dewasa kehidupan emosional ang
dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak dikemudian hari.
b. Lingkunna non keluarga
Yang dimaksud adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan.
Kecerdasan emosi akan berkembang seiring dengan perkembangan fisik
dan mental anak. Biasanya terjadi dalam suatu kegiatan bermain peran
sebagai sesorang dilusr dirina dengsn emosi ang menyertai keadaan
orang lain.
Menurut Le Dove (Goleman 1997) bahwa factor yang memepengaruhi
kecerdasan emosi antara lain
a. Fisik
Bagian ang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap
kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya.
Bagian
otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang
disebut juga
neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang
mengurusi
emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua
bagian inilah
yang menentukan kecerdasan emosi seseorang
 Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3
milimeter yang
membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks
berperan penting dalam memahami sesuatu secara
mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan
tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk
mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat
bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti
terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.
 Sistem limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak
yang letaknya
jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung
jawab atas
pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi
hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran
emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada
amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian
emosi pada otak

b. Psikis . kecerdasan emosi dapat dipengaruhi oleh kepribadian


individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.

Dapat disimpulkan terdapat adanya dua factor yang mempengaruhi


kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik terletak dibagaian otak
aitu konteks dan sistem limbic serta psikis meliputi lingkungan
keluarga dan lingkungan non keluarga.

Komponen kondisi yang mempengaruhi emosi seseorang (Hurlock, 2008)

1. Kondisi kesehatan, kondisi fisik yang baik dapat mendorong emosi


serta dapat menyenangkan emosi yang tidak menyenagkan lebih
menonjol.
2. Suasana rumah, ketik suasana rumah terisi kebahagiaaan, sedikit
kemarahan, kecemburuan dan dendam, maka anak akan lebih atau
menjadikan anak bahagia.
3. Cara mendidik anak, saat orang tua mendidik anak secara otoriter,
menggunakan hukuman untuk memperkuat kepatuhan secara ketat,
akan mendorong emosi yang tidak menyenangkan menjadi
dominan. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan
permisif akan menjadikan suasana yang santai dan akan
menunjang emosi yang menyenangkan
4. Hubungan dengan anggota keluarga lain, ketika hubungan anatar
anggita keluarga baik rasa emosi tidak akan muncul tidak akan
menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi negatif
cenderung menguasai kehidupan anak dirumah
5. Hubungan dengan teman sebaya, jika anak diterima oleh kelompok
sebaya nya akan memiliki emosi yang dominan karena dirasa
sangat menyenangkan.
6. Perlindungan yang berlebih lebihan, orang tua yang memiliki
overprotektif terhadapa anak akan menimbulkan rasa takut pada
anak yang menjadi dominan
7. Aspirasi orang tua, aspirasi yang tinggi dan tidak realistis bagi
anak akan menjadikan anak merasa canggung, malu, dan merasa
bersalah terhadap suatu kritik. Bila terjadi secara berulangkali anak
akan memiliki emosi yang tidak menyenangkan.

Ciri ciri anak yang memiliki kecerdasan emosional tinggi

Casmini, (2007) mengemukakan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan


emosi tinggi diantaranya:
1. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam
hidupnya,
misalnya saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani
tekanan
masalah yang dihadapi.
2. Terampil dalam membina emosinya, dimana orang tersebut terampil di
dalam
mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi.
3. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, meliputi kecakapan
intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antarpribadi dan
ketidakpuasan kostruktif.
4. Optimal pada nilai-nilai empati, intuisi, radius kepercayaan, daya
pribadi dan
integritas.
5. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship
quotient
dan kinerja optimal.
Menurut Goleman (2005) mengemukakan ciri seseorang ang meiliki
kecerdasan emosi tinggi,yaitu:

1. Social yang baik


2. Mudah bergaul dan jenaka (humoris)
3. Tidak mudah takut dan gelisah
4. Berkemampuan bear untuk melibatkan diri dengan orang atau
permasalahan
5. Memikul tanggung jawab dan mempunai pandangan moral
6. Simpatik dan hangat dalam berhubungan
7. Meraa naman dengan dirina sendiri, orang lain maupun
pergaulanna dan memandang dirina secara positif

Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi rendah apabila


seseorang
tersebut tidak memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi
pada
kepentingan sendiri, tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban yang
sedang
dihadapi, selalu gelisah, keegoisan menyebabkan seseorang kurang
mampu
bergaul dengan orang-orang disekitarnya, tidak memiliki penguasaan diri,
cenderung menjadi budak nafsu dan amarah, mudah putus asa, dan
tenggelam
dalam kemurungan (Goleman, 2005).

Pengukuran kecerdasan emosional

Pengukuran kecedasan emosional memilki dua cara yaitu performance test adalah
test yang memiliki respon yang dinilai secara objektif dan memiliki kriteria skor yang tetap dan
self report test seseorang yang diminta untuk merespon dengancara menilai sendiri atau suatu
pernataan yang menggambarkan tingkat kecerdasan emsionalnya.

Beberapa perbedaan mengenai kelebihan dan kelemahan dalam pengukuran kecerdasan


emosional (ciarrochi et al,2002 )

1. pengukuran dengan performance test menilai kecerdasan emosional secara


aktual, sedangkan pada pengukuran dengan self-report menilai persepsi
mengenai kecerdasan emosional.
2. Pengukuran dengan performance test umumnya lebih banyak memakan waktu
dibandingkan dengan self-report. Hal ini terjadi karena dalam self-report
memungkinkan seseorang untuk meringkas tingkat kecerdasan emosional
yang dimilikinya dalam suatu pernyataan yang singkat sedangkan pada
performance test memerlukan sejumlah observasi penting sebelum tingkatan
kecerdasan emosional dinyatakan.
3. Pengukuran dengan self-report membutuhkan seseorang untuk menilai tingkat
kecerdasan emosional dirinya sendiri. Kelemahannya, seseorang kemungkinan
tidak memiliki pemahaman yang akurat mengenai kecerdasan emosinya.
Kelemahan lain pengukuran dengan self-report adalah seseorang dapat
memilih jawaban yang paling baik atau buruk yang berbeda dengan kondisi
aktualnya.
4. Akan tetapi, pengukuran dengan self-report didasarkan pada pemahaman
dasar bahwa individulah yang paling mengetahui kondisi internal dalam
dirinya.
5. Pengukuran dengan self-report cenderung berkorelasi dengan trait kepribadian
yang sudah ada, sedangkan pada pengukuran dengan performance test sedikit
berhubungan dengan pengukuran kepribadian akan tetapi lebih banyak
berkorelasi dengan pengukuran kecerdasan tradisional.

Indicator Kecerdasan Emosi menurut Daniel Goleman


5 Indicator Kecerdasan Emosi menurut Daniel Goleman

Self awareness (kesadaran diri, kemampuan untuk


menegnali emosi pribadi )

Self regulation (pengaturan diri, , kemampuan untuk


mengatur dan mengelola emosi pribadi )

Self motivation (‘motivasi diri, kemampuan untuk


memotivasi diri sendiri dalam melakukan atu mencapai
sesuatu)

Empathy (kemampuan untuk mengenali dan memahami


emosi orang lain atau diri sendiri dengan perspektif ang
beragam)

Social skill (ketrampilan social, kemampuan untuk


membangun hubungan social yang baik dan positif
dengan orang lain)

KURSIONER KECEMASAN EMOSI

NO PERNYATAAN SS S TS STS

1. Saya tahu kapan saya sedih dan kapan saya merasa


gembira.

2. Saya tidak bisa membuat keputusan sendiri tanpa


bantuan orang lain.
3. saya mampu mengungkapkan perasaan yang sedang
saya rasakan kepada orang lain.

4. saya tahu penyebab kemarahan saya.

5. Saya tidak tahu perasaan apa yang sedang saya


rasakan

6 Saya mampu bertindak sesuai keinginan saya tanpa


harus diarahkan oleh orang lain

7 Saya tidak bisa membayangkan kehidupan di masa


depan.

8 Saya senang dengan penampilan saya selama ini.

9 Saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan


kemarahan saya.

10 Saya tidak mau tahu respon orang lain tentang


perilaku yang telah saya lakukan.

11 saya dapat merencanakan segala sesuatu dengan


matang tanpa bantuan orang lain.

12 saya bisa mengekspresikan ide kepada orang lain.

13 saya percaya akan berhasil jika memaksimalkan


potensi dan bakat yang saya punya..

14 Saya bangga terhadap diri sendiri meskipun saya


bukan orang yang sempurna.

15 jika pendapat saya tidak diterima maka saya akan


tetap mempertahankannya.
16 Saya mampu mengontrol pikiran dan tindakan dalam
situasi apapun.

17 saya merasa mempunyai banyak kekurangan pada


diri saya.

18 Saya merasa prihatin dengan musibah yang menimpa


teman saya.

19 Saya tertekan dengan peraturan-peraturan di sekolah.

20 saya mempunyai banyak teman baik di sekolah


maupun di rumah.

21 Saya akan bersikap cuek dengan musibah yang


menimpa teman, karena itu bukan urusan saya.

22 Saya lebih suka teman satu kelompok yang


menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru dari
pada saya kerjakan sendiri.

23 Saya lebih suka bermain dengan teman-teman satu


geng dari pada dengan teman yang bukan satu geng

24 menurut saya, perbedaan itu indah.

25 saya akan berkelompok dengan teman-teman untuk


mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

26 saya berusaha untuk mengerti apa yang sedang


terjadi di sekitar saya dengan apa adanya

27 saya selalu mencari apa penyebab dari masalah yang


menimpa saya.
28 saya mudah kehabisan akal ketika memikirkan cara-
cara untuk memecahkan masalah.

29 saya sulit memfokuskan pikiran ketika sedang


mempunyai masalah.

30 saya dapat mengerti situasi yang sedang saya alami.

31 Saya tidak dapat memutuskan jalan keluar yang


terbaik dalam memecahkan suatu masalah.

32 Saya tahu bagaimana mengendalikan diri ketika


berada pada situasi yang sulit.

33 saya dapat bersikap tenang dan mengontrol diri


ketika berada pada situasi yang sulit.

34 ketika mempunyai masalah, saya akan berusaha


untuk tenang dalam menghadapi masalah tersebut.

35 Saya berusaha menahan diri untuk tidak mengejek


teman.

36 saya tidak percaya dengan kemampuan saya dalam


menghadapi suatu masalah.

37 saya tidak bisa menikmati semua aktivitas yang saya


jalani sehari-hari.

38 Saya yakin bahwa setiap musibah pasti mempunyai


hikmah yang baik.

39 menurut saya kehidupan ini membosankan karena


terdapat banyak rintangan dan cobaan
40 saya merasa bahagia dengan segala sesuatu yang saya
miliki.

41 Saya dapat mampu menemukan solusi akan masalah


saya

42 Saya mampu menjaga rahasia teman baik saya

42 Saya mampu menolong jika teman saya merasa


kesulitan

43 Saya merasa penting mendengarkan masalah orang


lain

44 Saya sering memberikan solusi terhadap teman yang


keadaanya sulit

45 Saya sopan dan memberi salam kepada orang yang


lebih tua dari saya

46 Saya sering mengikuti organisasi

47 Saya aktif mengeluarkan pendapat atau ide disaat


mengikuti organisasi

48 Saya telah belajar tentang diri sendiri dengan


perasaan saya

49 Saya telah cepat tenang dari pada orang lain terjadi


kekacauan yang membuat semua orang panik

50 Saya tidak merasa cepat bosan dan jenuh dalam


melakukan sesuatu.
A. POLA ASUH ORANG TUA
1. PENGERTIAN
Pola asuh adalah cara yang digunakan seseoarang dalam strategi untuk
mendorong anakna mencapai tujuan ang diingkan oleh orangtuanya, dimana
tujuan tersebut adalah pengetahuan, nilai moral, dn standart perilaku yang harus
dimilki detiap anak bila dewasa nanti(Mussen,2016).

Menurut Hetherington dan Parke (Lestari, 2014) pola asuh orang tua
adalah suati interaksi antara orang tua dengan dua dimensi perilaku orang tua.
Dimensi pertama yaitu hubungan emosional antara orang tua dengan anak
meliputi factor kasih saang, kepuasan, emosional, perasaan, aman, dan
kehangatan ang didapat oleh anak. Dimensi kedua yaitu bermacam cara orang
tua untuk mengontrol perilaku anaknya. Disini ang dimaksud control adalah
disiplin.

Pola asuh adalah suatu bentuk aksi atau dukungan dan interaksi ang
dilakukan orang tua untuk mendukung perkembanagn anak ang dipengaruhi
oleh budaya dan perkembangana social dimana anak dibesarkan (Berk, 1997).
Pola asuh adalah proses pengasuhan yang meliputi: (1) interaksi anak dan
masyarakat lingkungannya, (2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen
anak dengan orangtuanya, (3)pemenuhan tanggungjawab untuk membesarkan
dan memenuhi kebutuhan anak, (4) proses mendukung dan menolak keberadaan
anak dan orangtua, dan (5) proses mengurangi risiko dan perlindungan terhadap
individu dan lingkungan sosialnya

Dapat disimpilkan dari berbagai macam definisi diatas berkeismpulan


bahwa pola asuh orang tua merupakan suatu bentuk pengasuhan ang dilakukan
setiap orang tua kepada anak dengan cara bagaimanaorang tua mendidik,
memperlakukan, membimbing, membina, dan mendisilpinkan anak untuk hidup
dimasyarakat dengan memebentuk perilaku anaks esuai dengan nilai dan norma
yang baik sesuai dengan kehidupan dimasyarakat. Pola asuh orang tua sendiri
sangat berpengaruh dalam peran perkembangan, kualitas pendidikan serta
kepribadian anak, dikarenakan pola asuh sangat penting diterapkan setiap orang
tua perlu mendapat perhatian.

2. JENIS POLA ASUH


Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua untuk mendidik anak adalah
kesepakatan orangtua bersama (aah dan ibu), bila terjadi perbedaan sikap dan
pendapat diantara keduana dalam pemebrian pendidikan anak, hal ini ini
membuat kondisi keluarga tidak stabil.
1. Authoritative (demokratis)
Pola asuh demokratis merupakan suatu pola asuh yang
memeperlihatkan dan menghargai kebebasan anak untuk berpendapat
dan mampu melakukan hal ang diinginkan anak , namun tidak mutlak
dan dilakukan dengan bimbingan yang penuh antara orang tua serta
masih perlu dibatasi dengan aturan yang diterapkan orang tua (Gunarsa,
2018).
Pola asuh ini diterapkan secara kaku yang dimaksud yaitu orang
tua tidak menerapkan salah satu pola asuh tersebut. Kemungkinan orang
tua menngunakan secara fleksibel, luwess, dan sesuaikam dengan situasi
dan kondisi ang saat itu terjadi. Polaa asuh yang dimaksud adalah pola
asuh situasional atau campuran yaitu pola asuh tertentu tetapi semua tipe
tersebut diterapkan secara luwes (Dario, 2011). Ciri dari pengasuhan
authoritative menurut Baumrind (Casmini, 2007) yaitu
1) bersikap hangat namun tegas
2) mengatur standar agar dapat melaksanakannya dan memberi harapan
yang konsisten terhadap kebutuhan dan kemampuan ana
, 3) memberi kesempatan anak untuk berkembang otonomi dan mampu
mengarahkan diri, namun anak harus memiliki tanggung
jawab terhadap tingkah lakunya.
4) menghadapi anak secara rasional, orientasi pada masalah-masalah
memberi dorongan dalam diskusi keluarga dan menjelaskan disiplin
yang mereka berikan.
2. Authoritarian (otoriter)
Orang tua ang menerapkan pola asuh otoriter memperlihatkan
kehangtan tetapi keras , menjunjung tinggi kemnadirian tetapi menuntut
tanggung jawab sikap anak. Pola asuh authoritarian (otoriter), orang tua
menjungjung tinggi kepatuhan, kenamanan, dan disiplin ang berlebih.
Pola asuh otoriter ini bersifat menghukum aats kesalahan (tana jawab
verbal dan penjelasan tidak diterapkan) dan membatasi anaak dengan
berkomunikasi tertutup menjadikan anak tidak diberi kesempatan untuk
komunikasi verbal, hal ini bisa dikatakan pola asuh otoriter orang tua
lebih dominan bahkan dikatakan mutlak. Ciri pengasuhan authoritarian
menurut Baumrind (Casmini, 2007) yaitu a) memberi nilai tinggi pada
kepatuhan dan dipenuhi permintaannya, b) cenderung lebih suka
menghukum, bersifat absolut dan penuh disiplin, c) orang tua meminta
anaknya harus menerima segala sesuatu tanpa pertanyaan, d) aturan dan
standar yang tetap diberikan oleh orang tua dan e) mereka tidak
mendorong tingkah laku anaksecara bebas dan membatasi anak.
3. Permissive (mengabaikan)
Pola asuh permisif, orang tua bersikap tidak peduli dan cenderung
memberi kesempatan anak untuk melakukan hal yang diingkan secara
bebas tanpa adna peraturan yang mengekang namun harus diikuti
keluarga (Dariyo,2011). Baumrind (1991) dalam Gullota & Blau (2008)
bahwa orang tua dalam tipe ini mencakup tingginya level penerimaan
dan pengabulan permintaan serta rendah dalam kedisiplinan dan control
perilaku.
Menurut Surbakti (2009) akibat penerapan pola asuh permissive
adalah anak akan bertindak sekehendak hati, tidak mampu
mengendalikan diri,tingkat kesadaran mereka rendah, menganut pola
hidup bebas, nyaris tanpa aturan, selalu memaksakan kehendak, tidak
mampu membedakan baik dan buruk, kemampuan berkompetensi
rendah, tidak mampu menghargai prestasi dan kerja keras, mudah putus
asa, daya juang rendah, tidak produktif, dan kemampuan mengambil
keputusan rendah. Tipe pola asuh permissive juga membawa dampak
lebih buruk dalam hal prestasi belajar daripada pola asuhotorite
3. DIMENSI POLA ASUH ORANG TUA
Dimensi pola asuh orang tua menurut Baumrind (1997) mengemukakan bahwa
pola asuh orang tua terdiri dari dua dimensi yaitu warmth atau responsiveness
dan control atau demandingness yang saling mempengaruhi dan saling
berhubungan satu sama lain. Dimensi warmth atau responsiveness menunjukan
respon dan afek pada anak dan control atau demandingness dimana aspek
orang tua mengendalikan perilaku anaka untuk memastikan bahwa peraturan
mereka dipatuhi.
1. Dimensi warmth atau responsiveness, atau dikenal sebagai dimensi
emosional yaitu seberapa besar penerimaan, respon, dan kasih saang orang
tua. Orang tua yang menerapkan dimensi ini yang snagat tinggi menerima,
responsive terhadap kebutuhan anaknya, sering kali terlibat dalam diskusi
terbuka dengana anak, mendukung proses saling memberi dan menerima
secara verbal, dan berusaha untuk melihat sesuatu dari perspektif anak
(Hetherington dan Parke, 1999 dalam Martin dan Colbert,1997). Sementara
itu dimensi ini menerapkan hukuman yang bersifat fisik namun diberikan
penjelasan adanya alasan yang mendasari dari pemeberian hukuman dalam
upaya untuk membatasi tingkah laku anak. Ada beberapa orang tua yang
menerapkan dimensi ini dengan rendah seringkali menolak, tidak
memperdulikan anakna, tidak responsive terhadap kebutuhan anak
(Hetherington dan Parke,
1999).
2. Diemensi control atau demandingness, orang tua juga perlu menerapkan
sejumlah control agar anak berkembang sesuai dengan yang diharapkan
orang tua. Orang tua juga menggunakan metode power assertive seperti
hukuman fisik untuk mengontrol tingkah laku anak. Orang tua yang
menerapkan kontrol yang rendah, menuntut lebih sedikit dari anak, kurang
menghambat atau membatasi tingkah laku anak, memberi lebih banyak
kebebasan kepada anak dengan sedikit bimbingan ataupun arahan (Boyd
dan Bee, 2006; Martin dan Colbert 1997; Hetheringtin dan Parke, 1999)

4. FAKTOR ANG MEMEPENGARUHI POLA ASUH


Ada beberapa hal yang mempengaruhi jenis pola asuh yang digunakan
orang tua dalam mengasuh anak menurut Hurlock (2012 dalam Husaini, 2013),
yaitu:
1. Pola asuh yang diterima orang tua waktu masih anak-anak, orang tua
memiliki
kecenderungan yang besar menerapkan pola asuh yang sama yang pernah
mereka terima dari orang tua mereka sebelumnya.
2. Pendidikan orang tua, pendidikan membantu orang tua untuk lebih
memahami
kebutuhan anak, dimana orang tua yang berpendidikan baik cenderung
menerapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan
dengan orang tua yang berpendidikan terbatas.
3. Kelas sosial, orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif
dibandingkan dari orang tua kelas sosial bawah
4.Konsep tentang peran orang tua, orang tua dengan konsep tradisional
cenderung memilih pola asuh yang ketat dibandingkan orang tua dengan
konsep non-tradisional.
5.Kepribadian orang tua, orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif
cenderung akan memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter.
6. Usia anak, orang tua lebih memberikan dukungan dan dapat menerima sikap
ketergantungan anak usia pra sekolah daripada remaja

B. INDIKATOR POLA ASUH ORANG TUA


NO SUB VARIABEL INDIKATOR

1 Pola asuh otoriter 1. Orang tua cenderung bersifat C. KURSIONER

kaku POLA ASUH

2. Orang tua suka memaksakan ORANG TUA

kehendak Pola asuh orang

3. Orang tua selalu mengatur tua pada dewasa

4. Orang tua selalu menghukum awal

5. Adana control ang ketat dari


orang tua
6. Orang tua sealalu merasa
paling benar

2 Polas asuh 1. Orang tua sering berdiskusi


demokratis dengana nak
2. Orang tua selalu bersedia
mendengarkan keluhan anak
3. Orang tua mau memberikan
tanggapan
4. Pengambilan keputusan
didasarkan atas kesempakatan
bersama
5. Keputusan orang tua
dipertimbangkan dengan anak
6. Orang tua tidak bersifat kaku
atau luwes

3 Pola asuh 1. Orang tua memeberikan


permisif kebebasan penuh terhadap
anak
2. Anak tidak dituntut untuk
bertanggungjawab
No pernyataan S SS TS STS

1.

Anda mungkin juga menyukai