Anda di halaman 1dari 69

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Emotional Intelligence

a. Pengertian Emotional Intelligence

Emotional intelligence atau kecerdasan emosional menurut

Goleman (2009: 512) adalah kemampuan memahami perasaan diri

sendiri dan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri

sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan

dalam hubungan dengan orang lain.

Salovey dan Mayer dalam Wulan (2011: 14) mengemukakan

bahwa emotional intelligence adalah kemampuan seseorang untuk

menyadari emosi dan perasaannya sendiri di samping mengerti apa yang

dirasakan oleh orang lain, memiliki kemampuan untuk mengendalikan

emosinya, serta menggunakan perasaannya dalam berpikir dan

bertingkah laku.

Robbins dan Judge (2015:70) mengatakan bahwa emotional

intelligence (kecerdasan emosional) adalah suatu kemampuan seseorang

untuk menilai emosi dalam diri sendiri dan orang lain, memahami makna

emosi-emosi, serta mengatur emosi seseorang secara teratur.

Sementara itu, Khanifar, et. al. (2012) dalam Kartono (2017: 29)

menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan

seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan, yang dapat dilihat dari

15
16

beberapa unsur, antara lain: self regulatory, self consciousness, self

motivating, sympathy, dansocial skills.

Beberapa pendapat tokoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memproses

informasi yang berhubungan dengan emosional untuk memahami,

memotivasi, dan mengelola emosi diri sehingga mendorong individu

untuk berperilaku yang baik yang unik yang ada pada diri individu serta

menggerakkan nilai-nilai yang terpendam dalam berinteraksi kepada

orang lain secara tepat dan akurat.

b. Aspek-Aspek Emotional Intelligence

Goleman dalam Wulan (2011: 16-17) menyatakan bahwa

emotional intelligence ditandai dengan lima hal diantaranya.

1) Pertama, kesadaran diri adalah mengenali emosi diri sendiri pada saat

perasaan itu muncul. Ketidakmampuan untuk menyadari perasaan diri

sendiri membuat orang berada di bawah kekuasaan emosi.

2) Kedua, pengendalian diri yaitu setelah mampu menyadari emosi dari

dalam diri seseorang akan mengalami kemajuan emosi dengan

berkembangannya kemampuan untuk mengendalikan emosinya.

Mengendalikan emosi, seseorang mampu beradaptasi dengan

perubahan perasaannya baik yang sifatnya positif atau negatif.

3) Ketiga, motivasi yaitu kemampuan seseorang untuk menata emosinya,

memusatkan perhatian pada perasaan yang positif dan

mengesampingkan perasaan yang bersifat negatif.


17

4) Keempat, mengenali emosi orang lain yaitu kemampuan untuk

menyadari dan mengendalikan emosi diri tidak akan lengkap apabila

tidak diimbangi dengan kemampuan untuk menyadari emosi dan

perasaan dari orang-orang disekelilingnya.

5) Kelima, membina hubungan keterampilan untuk memberikan

pengaruh bagi orang lain tersebut. Bentuk pengaruh yang bersifat

positif bagi pihak lain misalnya, menawarkan solusi untuk mengatasi

persoalan yang sedang dihadapi oleh orang lain tersebut, atau

mendukung dan ikut merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan

oleh orang lain.

Sementara itu, Agustin dalam Kholisin (2014: 92) menyatakan

bahwa emotional intelligence mempunyai aspek-aspek sebagai berikut:

1) Pertama, rasa aman tersebut memiliki keyakinan penuh bahwa yang

memiliki kemuliaan dan yang menghendaki kegagalan adalah Tuhan.

Rasa aman tersebut diwujudkan seseorang dalam bentuk bersyukur

ketika mendapat nikmat dan akan bersabar ketika mendapat ujian.

2) Kedua, kepercayaan diri yaitu kemampuan untuk mengendalikan serta

menjaga keyakinan diri untuk membuat perubahan.

3) Ketiga, integritas yaitu bekerja secara total, sepenuh hati, dan dengan

semangat yang tinggi.

4) Keempat, kebijaksanaan yaitu mampu mengambil keputusan dengan

akurat dan tidak gegabah. Kelima, mempunyai motivasi tinggi yaitu


18

seseorang mempunyai semangat yang tinggi untuk berjuang dan

meraih masa depan.

Berdasarkan pendapat- pendapat tentang aspek-aspek emotional

intelligence, maka peneliti memilih untuk memakai aspek yang

dikemukakan oleh Golema karena lebih komprehensif dalam mengukur

tingkat kecerdasan emosional. Aspek-aspek tersebut diantaranya

kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.

Adanya aspek-aspek tersebut maka dengan ini peneliti menggunakannya

dalam mengukur skala kecerdasan emosional.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emotional Intelligence

Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat

dilakukan melalui proses pembelajaran. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi emotional intelligence individu menurut Goleman (2009:

267-282), yaitu:

1) Lingkungan keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari

emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua

adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi

yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak.

Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi

dengan contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk

dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari,

sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung


19

jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini

akan menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan

menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga anak-

anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak

masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.

2) Lingkungan non keluarga

Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan

penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan

perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya

ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran.

Anak berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang

menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan

orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan

melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah

pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan

yang lainnya.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi emotional

intelligence menurut Trihonanto dan Agency (2010: 12), yaitu: faktor

pengaruh lingkungan, faktor pengasuhan, dan faktor pendidikan.

Lingkungan masyarakat dapat dikatakan sebagai bagian dari hidup

manusia.

Mengacu pada uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

faktor yang mempengaruhi emotional intelligence adalah keluarga/orang


20

tua dan sekolah serta faktor masyarakat. Keluarga merupakan pendidikan

pertama dan utama bagi anak, sedangkan sekolah dan masyarakat

merupakan faktor lanjutan dari apa yang telah diperoleh anak dari

keluarga. Ketiganya sangat berpengaruh terhadap emosional anak dan

keluargalah yang mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan sekolah

dan masyarakat, karena di dalam keluarga kepribadian anak dapat

terbentuk sesuai dengan pola pendidikan orang tua dalam kehidupannya.

d. Komponen-Komponen Emotional Intelligence

Goleman (2009: 57) menyatakan bahwa secara umum indikator

kecerdasan emosi adalah:

1) Kesadaran diri

Kesadaran diri yaitu suatu kemampuan seseorang untuk mengenali

perasaan diri sendiri maupun perasaan orang lain, dan mampu untuk

mengenali kekuatan serta kelemahan dirinya sendiri.

2) Pengaturan diri

Pengaturan diri adalah suatu kemampuan untuk mengelola emosi pada

diri sendiri. Semakin baik pengaturan diri dalam emosi seseorang

maka semakin terkontrol juga tindakan yang akan dilakukan, sehingga

mereka akan tetap memiliki hubungan yang baik dengan orang lain.

3) Motivasi

Motivasi adalah sebuah dorongan yang menggerakkan karyawan agar

bisa mencapai tujuan yaitu kinerja yang maksimal dan optimal.


21

4) Empati

Empati adalah kemampuan untuk mengetahui dan memahami

perasaan orang lain yang dimanfaatkan untuk menyesuaikan diri

dengan baik kepada orang banyak.

Mayer dan Salovey (1997) dalam Lopez dan Snyder (2011: 241)

menguraikan bahwa komponen-komponen emotional intelligence adalah:

perceiving emotions, using emotion to facilitate thought and other

cognitive activities, understanding emotions, and managing emotion in

self and others. Komponen dasar kecerdasan emosi seperti yang

dinyatakan oleh Salovey dan Mayer adalah mengenali emosi diri sendiri,

mengelola emosi diri sendiri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi

orang lain dan membina hubungan dengan orang lain.

Model Goleman menurut Kartono (2017: 32) menggarisbawahi

empat konstruk utama kecerdasan emosional, yaitu:

1) Self-awareness, kemampuan untuk membaca emosi diri sendiri dan

mengenali akibatnya ketika menggunakan perasaan-perasaan buruk

(gut feelings) untuk menuntun keputusan.

2) Self-management, meliputi pengendalian emosi dan impulse seseorang

dan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.

3) Social awareness, kemampuan untuk merasakan, memahami, dan

mereaksi emosi orang lain ketika/sambil memahami jaringan-jaringan

kerja sosial.
22

4) Relationship management, kemampuan untuk menginspirasi,

mempengaruhi, dan mengembangkan orang lain ketika/sambil me-

manage konflik.

Berdasarkan uraian di atas, maka komponen-komponen emotional

intelligence dalam penelitian ini diuraikan sebagai variabel-variabel yang

berdiri sendiri. Adapun variabel-variabel dari emotional intelligence

dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pendapat Goleman (2009:

57) yang meliputi self awareness, self regulation, self motivation, social

awareness, dan social skill.

,
2. Kesadaran Diri (Self Awareness)

a. Pengertian Kesadaran Diri (Self Awareness)

Self awareness menurut De Janasz, dkk. (2002) dalam Widyarini

(2013: 47) berarti mengetahui apa motivasi, preferensi, dan kepribadian

yang dimiliki diri sendiri, serta memahami bagaimana faktor-faktor diri

tersebut memengaruhi penilaian, keputusan, dan interaksi dengan orang

lain.

Kesadaran diri (self awareness) menurut Aldrin (2016: 67) adalah

bagaimana memahami kepribadian, perilaku, kebiasaan, reaksi

emosional, motivasi, dan proses berpikir. Memiliki pengetahuan diri

lebih, tidak hanya membantu diri melakukan pilihan yang lebih baik,

tetapi juga membantu memahami reaksi diri kepada orang lain.

Menurut Goleman (dalam Kartono, 2017: 32), self awareness

merupakan kemampuan untuk membaca emosi diri sendiri dan


23

mengenali akibatnya ketika menggunakan perasaan-perasaan buruk (gut

feelings) untuk menuntun keputusan.

Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, kesadaran diri (self

awareness) dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk

mengenal dan memilah-milah perasaan pada diri, memahami hal yang

sedang kita rasakan dan mengapa hal tersebut bisa kitarasakan dan

mengetahui penyebab munculnya perasaan tersebut, serta pengaruh

perilaku kita terhadap orang lain.

b. Bentuk-bentuk Kesadaran Diri (Self Awareness)

Self awareness memiliki beberapa bentuk. Menurut Baron dan

Byrne (2010: 171), bentuk-bentuk self awareness diantaranya adalah:

1) Self awareness subjektif, adalah kemampuan orgasme untuk

membedakan dirinya dari lingkungan fisik dan sosialnya. Dalam hal

ini seseorang disadarkan tentang siapa dirinya dan statusnya yang

membedakan dirinya dengan orang lain. Ia harus sadar bahwa siapa

dia di mata orang-orang di sekitarnya dan bagaimana ia harus bersikap

yang membuat orang bisa menilai orang tersebut bisa berbeda dengan

yang lainnya.

2) Self awareness objektif, adalah kapasitas orgasme untuk menjadi

objek perhatiannya sendiri, kesadaran akan keadaan pikirannya dan

mengetahui bahwa bahwa ia tahu dan mengingat bahwa ia ingat. Hal

ini berkaitan dengan identitas seseorang. Jika seseorang ingat bahwa

ia adalah seorang karyawan, ia akan memfokuskan dirinya dan


24

menempatkan dirinya pula sebagai karyawan dan mengingat berbagai

bentuk hak dan kewajiban yang menjadi tangung jawabnya.

3) Self awareness simbolik, adalah kemampuan organisme untuk

membentuk sebuah konsep abstrak dari diri melalui bahasa

kemampuan ini membuat organisme mampu untuk berkomunikasi,

menjalin hubungan, menentukan tujuan mengevaluasi hasil dan

membangun sikap yang berhubungan dengan diri dan membelanya

terhadap komunikasi yang mengancam. Karyawan dalam hal ini lebih

ditekankan untuk bisa mengenali dirinya dan harus bisa berpikir jauh

tentang dirinya di mata orang lain, karyawan dalam hal ini lebih

banyak belajar dari sekitarnya, dan lebih penting karyawan harus bisa

belajar bagaimana bisa menyampaikan sesutau dengan baik kepada

orang lain lewat sebuah komunikasi yang baik agar karyawan bisa

membentuk sebuah hubungan dengan orang lain.

Bentuk-bentuk kesadaran diri (self awareness) menurut Darmadi

(2018: 54) meliputi:

1) Emotional awareness, mengenali emosi dan dampaknya.

2) Accurate self assessment, mengetahui keunggulan dan kelemahan diri

sendiri.

3) Self confidence, yaitu keyakinan akan nilai dan kemampuan diri

sendiri.

Mengacu pada bentuk-bentuk kesadaran diri (self awareness) di

atas, maka dapat disampaikan bahwa seorang debt collector sebagai


25

karyawan mewujudkan kesadaran diri (self awareness) dalam berbagai

bentuk, yaitu: self awareness subjektif, self awareness objektif, self

awareness simbolik maupun dalam bentuk emotional awareness,

accurate self assessment, maupun self confidence.

c. Kerangka Kerja Pembentukan Kesadaran Diri (Self Awareness)

Karakteristik utama kerangka kerja pembentukan self awareness

menurut Solso, dkk. (2008: 145-147) adalah attention, wakefulness,

architecture, recall of knowledge, dan emotive.

1) Attention (perhatian), merupakan pemusatan sumber daya mental baik

ke hal yang eksternal atau pun yang internal. Self awareness dapat

diarahkan dari peristiwa eksternal ataupun internal. Peristiwa eksternal

yang dimaksud adalah peristiwa dari lingkungan sekitar karyawan,

seperti lingkungan perusahaan tempatnya bekerja atau atau

lingkungan ruang kerja, sedangkan peristiwa internal yang dimaksud

adalah peristiwa dari dalam diri individu pada saat pelaksanaan tugas

berlangsung.

2) Wakefulness (kesiagaan), merupakan kondisi yang dialami seseorang

setiap hari. Pada saat seseorang tertidur dan bangun keesokan harinya

akan terjaga (seharusnya). Kondisi kesadaran karyawan akan terjaga

apabila karyawan memiliki waktu istirahat yang cukup. Hal ini dapat

menyebabkan kesadaran karyawan akan terjaga.

3) Architecture, adalah sebuah aspek fisiologis, dimana kesadaran bukan

proses tunggal yang dilakukan oleh sebuah neuron tunggal.


26

4) Recall of knowledge (mengingat pengetahuan) adalah proses

pengambilan pengetahuan tentang diri pribadi dan lingkungan yang

ada di sekelilingnya. Self awareness dapat mengambil pengetahuan

dari diri karyawan dengan mengingat informasi-informasi atau ilmu-

ilmu yang ada pada diri dan lingkungan sekitarnya. Karyawan dapat

mengingat kembali materi-materi pelaksanaan kerja yang sudah

diajarkan saat pelatihan, kemudian karyawan akan menggunaknya

pada saat mengerjakan tugas yang berhubungan dengan materi

sebelumnya.

5) Emotive (emotif), adalah komponen-komponen afektif yang

diasosiasikan dengan kesadaran. Self awareness dapat membentuk

perasaan atau emosi. Perasaan atau emosi yang dimiliki karyawan

dapat diekspresikan sebagai bentuk respon dari peristiwa di sekitarnya

pada saat pekerjaan berlangsung.

d. Indikator-Indikator Kesadaran Diri (Self Awareness)

Indikator-indikator self awareness pada penelitian ini yang

dikembangkan dari bentuk-bentuk kesadaran diri (self awareness)

menurut Darmadi (2018: 54) dan kerangka kerja pembentukan self

awareness menurut Solso, dkk. (2008: 145-147), meliputi:

1) Mengenali perasaan dan perilaku diri sendiri

Mengenali perasaan dan perilaku diri sendiri, artinya mengetahui

perasaan yang dirasakan diri karyawan dan mengetahui perilaku diri

karyawan yang dilakukan pada saat bekerja.


27

2) Mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri

Mengenali kelebihan dan kekurangan diri karyawan, artinya

mengetahui kelebihan yang dimiliki dan kekurangan yang dimiliki di

bidang pekerjaannya.

3) Mempunyai sikap mandiri

Mempunyai sikap mandiri artinya mampu melakukan segala

sesuatunya sendiri tanpa meminta bantuan dari orang lain.

4) Dapat membuat keputusan dengan tepat

Dapat membuat keputusan dengan tepat artinya mampu untuk

mempertimbangkan dan membuat langkah-langkah yang tepat dalam

permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan.

5) Terampil dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat dan

keyakinan

Terampil dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat dan

keyakinan artinya mampu untuk berpendapat yang berdasarkan pada

pikiran, perasaan dan keyakinan diri sendiri.

6) Dapat mengevaluasi diri

Dapat mengevaluasi diri artinya mampu memeriksa dan mengoreksi

kembali terhadap pekerjaan yang sudah dilakukan.

3. Regulasi Diri (Self Regulation)

a. Pengertian Regulasi Diri (Self Regulation)

Regulasi diri (self regulation) menurut Zimmerman (2002: 41)

sebagai proses yang digunakan untuk mengaktifkan dan mengatur


28

pikiran, perilaku dan emosi dalam mencapai suatu tujuan. Menurut

Friedman dan Schustack (2008: 248) regulasi diri adalah proses di mana

seseorang dapat mengatur kecapaian dan aksi mereka sendiri,

menentukan target untuk mereka, mengevaluasi kesuksesan mereka saat

mencapai target tersebut, dan memberikan penghargaan pada diri mereka

sendiri karena telah mencapai tujuan tersebut. Regulasi diri menurut

Chairani dan Subandi (2010: 14) merupakan kemampuan mengatur

tingkah laku dan menjalankan tingkah laku tersebut sebagai strategi yang

berpengaruh terhadap performansi seseorang mencapai tujuan atau

prestasi sebagai bukti peningkatan.

Regulasi diri tidak hanya mencakup kegiatan mencapai tujuan, tapi

juga menghindari gangguan lingkungan dan impuls emosional yang

dapat mengganggu perkembangan seseorang (Pervin, Pervone, dan John,

2010: 462). Sedangkan menurut Brandstatter dan Frank (dalam Taylor,

Peplau, dan Sears, 2012: 134) regulasi diri merupakan usaha sadar dan

aktif mengintervensi untuk mengontrol pemikiran, reaksi dan perilaku

seseorang.

Berdasarkan uraian diatas, maka regulasi diri adalah suatu proses

pengaturan dalam diri seseorang untuk mencapai suatu tujuan tertentu,

dengan menerapkan strategi-strategi atau langkah-langkah dan

memfokuskan pikiran, perasaan dan tindakan yang akan dilakukannya.


29

b. Proses Regulasi Diri (Self Regulation)

Proses regulasi diri (self regulation) dilakukan agar seseorang atau

individu dapat mencapai tujuan sesuai dengan apa yang diharapkannya.

Adapun tahapan regulasi diri diantaranya adalah (Manab, 2016: 8):

1) Receiving, yaitu langkah awal yang dilakukan individu untuk

menerima informasi yang relevan dan baik. Indvidu yang menerima

informasi tersebut mampu menghubungkannya dengan informasi yang

diperolehnya sebelumnya dan mampu menghubungkannya dengan

aspek lain.

2) Evaluating, yaitu pengolahan informasi setelah individu melalui

receiving. Ketika individu mendapat masalah maka individu tersebut

dapat membandingkan masalah yang didapat dari lingkungan

(eksternal) dengan pendapat diri pribadi (internal) yang telah

didapatkan sebelumnya. Evaluating merupakan tahapan penting dalam

proses regulasi diri karena pada tahapan ini individu akan

mengumpulkan hasil informasi dan melihat perbedaan pada

lingkungan luar yang akan menjadi sumbangan paling besar pada

proses tindakan yang akan diambil nantinya.

3) Searching, yaitu tahapan pencarian solusi masalah. Pada tahapan

evaluating individu akan melihat perbedaan antara lingkungan dan

pendapat pribadinya, setelah itu individu akan mencari solusi yang

terbaik untuk menekan perbedaan masalah tersebut.


30

4) Formulating, merupakan penetapan tujuan atau rencana yang menjadi

target dengan memperhitungkan masalah seperti waktu, tempat, media

ataupun aspek lainnya yang menjadi pendukung yang dapat mencapai

tujuan secara efektif maupun efisien. Penetapan tujuan ini berguna

untuk memantau seberapa besar kemajuan yang berhasil diraih dan

menyesuaikan strategi apa yang dapat diterapkan untuk meraih

keberhasilan yang lebih baik.

5) Implementing, adalah tahapan pelaksanaan rencana yang telah

dirancang sebelumnya. Tindakan yang dilakukan sebaiknya tepat dan

mengarah pada tujuan, walaupun dalam sikap cenderung dimodifikasi

agar tercapai tujuan yang diinginkan. Tujuan yang terlalu tinggi

biasanya tidak menjamin pencapaian yang maksimal dikarenakan oleh

berbagai faktor yang menjadi penghambat, maka dalam tahapan

implementing, individu selayaknya menyadari bahwa kegagalan

regulasi diri pada tahapan ini adalah sesuatu yang biasanya terjadi.

6) Assesing, adalah tahapan akhir untuk mengukur seberapa maksimal

rencana dan tindakan yang telah dilakukan pada proses sebelumnya

dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan yang ingin dikelola

biasanya mengalami pergeseran nilai, akan tetapi pergeseran nilai

tujuan dapat diatasi dengan lebih memantapkan prioritas tujuan utama

Penilaian keseluruhan ini akan berdampak ketika penyelesaian

masalah selanjutnya.
31

Jadi secara keseluruhan, proses dalam regulasi diri yaitu receiving

(tahap penerimaan), evaluating (pengolahan informasi), searching

(pencarian solusi masalah), formulating (penetapan tujuan),

implementing (tahap pelaksanaan), dan assesing (tahap pengukuran).

c. Aspek-Aspek Regulasi Diri (Self Regulation)

Aspek-aspek self regulation menurut Zimmerman (dalam Ormrod,

2008: 30), yaitu:

1) Standar dan Tujuan yang Ditetapkan Sendiri

Sebagaimana manusia yang mengatur diri, kita cenderung memiliki

standar-standar yang umum bagi perilaku kita, standar yang menjadi

kriteria untuk mengevaluasi performa kita dalam situasi-situasi

spesifik. Kita juga membuat tujuan-tujuan tertentu yang kita anggap

bernilai dan yang menjadi arah dan sasaran perilaku kita. Memenuhi

standar-standar dan tujuan tujuan kita memberi kita kepuasan (self-

satisfaction), meningkatkan self-efficacy kita, memacu untuk meraih

yang lebih besar lagi.

2) Memonitor Diri (self monitoring)

Memonitor diri adalah mengamati diri sendiri saat sedang melakukan

sesuatu. Agar membuat kemajuan kearah tujuan-tujuan yang penting,

kita harus sadar tentang seberapa baik yang sedang kita lakukan. Dan

ketika kita melihat diri kita sendiri membuat kemajuan ke arah tujuan-

tujuan kita, maka kita mungkin melanjutkan usaha-usaha kita.

Pemantauan diri (self monitoring) mengacu pada penekanan perhatian


32

pada beberapa aspek perilaku seseorang dan sering dipadukan dengan

pencatatan frekuensi atau intensitasnya. Orang yang tidak bisa

mengatur tindakan mereka apabila mereka tidak sadar akan tindakan

mereka.

3) Evaluasi Diri

Evaluasi diri adalah penilaian terhadap performa atau perilaku sendiri.

Evaluasi diri terdiri dari penilaian diri atas kinerja terkini dengan

membandingkan tujuan seseorang dan reaksi diri pada penilaian

tersebut dengan mempertimbangkan kinerja yang tercatat, yang tidak

diterima, dan sebagainya. Evaluasi diri yang positif membuat siswa

merasa yakin untuk belajar dan memotivasi mereka untuk terus

bekerja dengan rajin karena mereka percaya mereka mampu membuat

kemajuan lebih jauh.

4) Konsekuensi yang Ditetapkan Sendiri atas Kesuksesan atau

Kegagalan

Konsekuensi disini artinya adalah individu bisa memberikan

penguatan ataupun hukuman atas perilaku yang mereka lakukan.

Individu bisa memberikan penguatan pada diri mereka ketika berhasil

menyelesaikan tujuan-tujuan mereka. Dan mereka juga bisa membuat

konsekuensi hukuman pada diri mereka sendiri, ketika mereka

melakukan sesuatu yang tidak memenuhi stnadar performa mereka

sendiri.
33

Aspek-aspek self regulation menurut Taylor (2009: 134) meliputi

lima aspek, yaitu:

1) Konsep Diri yang Bekerja

Konsep diri yang bekerja disini maksudnya adalah konsep diri

individu yang sedang ditonjolkan relevan atau sejalan dengan situasi

tertentu. Konsep diri yang bekerja ini penting karena ia didasarkan

pada konsep diri keseluruhan namun memandu perilaku sosial kita

dalam situasi spesifik, dan pada gilirannya dimodifikasi oleh apa-apa

yang terjadi dalam situasi tersebut.

2) Kompleksitas Diri

Beberapa orang memandang diri mereka dengan satu atau dua cara

yang mendominasi, sedangkan yang lainya melihat diri mereka

berdasarkan berbagai macam kualitas. Jadi, seseorang bisa

memandang dirinya hanya dalam satu peran saja, namun yang lainya

bisa saja memandang dirinya dalam berbagai macam peran.

3) Kecakapan Diri dan Kontrol Personal

Psikolog percaya bahwa pengalaman diawal dengan keberhasilan dan

kesuksesan akan menyebabkan orang mengembangkan konsep yang

cukup stabil tentang kecakapan dirinya dalam domain kehidupan yang

berbeda-beda. Secara umum, perasaan bisa melakukan sesuatu akan

membuat orang mampu menyusun rencana, mengatasi

kemunduruan,dan melakukan proses regulasi diri dengan baik.


34

4) Aktivasi dan Penghindaran Behavioral

Regulasi diri melibatkan keputusan fundamental tentang aktivitas apa

yang akan dilakukan dan apa yang mesti dihindari.

5) Kesadaran Diri

Seseorang juga mulai memikirkan dirinya bukan sebagai aktor

dilingkungan, namun sebagai objek perhatian orang lain. Secara

umum, kesadaran diri menyebabkan orang mengevaluasi perilakunya

berdasarkan standard dan melakukan proses penyesuaian untuk

memenuhi standar.

Schunk (2012: 547) menyebutkan ada tiga sub proses dari self

regulation, yaitu:

1) Pemantauan Diri (self monitoring)

Pemantauan diri mengacu pada penekanan perhatian pada beberapa

aspek perilaku seseorang dan sering dipadukan dengan pencatatan

frekuensi dan intensitasnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa individu

tidak akan bisa mengatur tindakan mereka, jika mereka tidak sadar

dengan apa yang mereka lakukan. Pemantauan terhadap diri sendiri

membuat individu sadar dengan perilaku yang ada dan membantu

mereka mengevaluasi dan memperbaiki perilaku tersebut.

2) Pengajaran Diri (self instruction)

Pengajaran diri mengacu pada pembuatan stimulus pembeda yang

mengatur kemunculan respon pengaturan diri yang membawa pada


35

pelaksanaan. Dalam hal ini pengajaran diri tidak sama dengan

pelatihan pengajaran diri.

3) Pendesak Diri (self reinforcement)

Pendesak diri mengacu pada proses dimana seseorang memaksa

dirinya tergantung pada kinerja respon yang diinginkan, yang

meningkatkan kecenderungan pada respon di masa mendatang.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Diri (Self Regulation)

Cobb (dalam Omrod, 2002: 108) menyatakan bahwa self regulation

dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah self efficacy,

motivasi, dan tujuan.

1) Self efficacy

Secara umum, self efficacy adalah penilaian seseorang tentang

kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu. Individu

yang memiliki self efficacy yang tinggi akan meningkatkan

penggunaan kognitif dan strategi self regulation. Individu yang

merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu

tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras. Lebih ulet

dalam menghadapi kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.

2) Motivasi

Motivasi adalah sesuatu yang menghidupkan (energize), mengarahkan

dan mempertahankan perilaku; motivasi membuat individu bergerak,

menempatkan mereka dalam suatu arah tertentu, dan menjaga mereka

agar terus bergerak. Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang
36

(intrinsik) cenderung akan lebih memberikan hasil positif dalam

meraih prestasi yang baik. Motivasi ini akan lebih stabil dila

dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar diri (ekstrinsik).

Walaupun demikian bukan berarti motivasi dari luar diri (ekstrinsik)

tidak penting. Kedua jenis motivasi ini sangat berperan dalam proses

keberhasilan.

3) Tujuan (goal)

Merupakan penetapan tujuan apa yang hendak dicapai seseorang.

Goal merupakan kriteria yang digunakan indvidu untuk memonitor

kemajuan mereka dalam belajar. Goal memiliki dua fungsi dalam self

regulation yaitu menuntun individu untuk memonitor dan mengatur

usahanya dalam arah yang spesifik. Selain itu, goal juga merupakan

kriteria bagi individu untuk mengevaluasi performansi mereka.

Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi diri menurut

Zimmerman dan Pons (dalam Ghufron dan Risnawita, 2017: 63), yaitu:

1) Individu (diri)

Faktor individu meliputi hal-hal di bawah ini:

a) Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan

yang dimiliki individu akan semakin membantu individu dalam

meregulasi diri.

b) Tingkat kemampuan metakognisi yang dimiliki individu yang

semakin tinggi akan membantu pelaksanaan pengelolaan diri dalam

diri individu.
37

c) Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan

yang ingin diraih, semakin besar kemungkinan individu melakukan

regulasi diri.

2) Perilaku

Perilaku mengacu kepada upaya individu mengunakan kemampuan

yang dimiliki. Semakin besar dan optimal upaya yang dikerahkan

individu dalam mengatur dan mengorganisasi suatu aktivitas akan

meningkatkan pengelolaan atau regulation pada diri individu. Ada tiga

tahap yang berkaitan dengan pengelolaan diri atau regulasi diri,

diantaranya:

1) Self observation

Berkaitan dengan respons individu, yaitu tahap individu melihat ke

dalam dirinya dan perilaku (performansinya).

2) Self Judgment

Merupakan tahap individu membndingan performansi dan standar

yang telah dilakukannya dengan standar atau tujuan yang sudah

dibuat dan ditetapkan individu. Melalui upaya membandingkan

performansi dengan standar tujuan yang telah dibuat dan

ditetapkan, individu dapat melakukan evaluasi atas perormansi

yang telah dilakukan dengan mengetahui etak kelemahan atau

kekurangan performansinya.
38

3) Self reaction

Merupakan tahap yang mencakup proses individu dalam

menyesuaikan diri dan rencana untuk mencapai tujuan atau standar

yang telah dibuat dan ditetapkan.

3) Lingkungan

Teori sosial kognitif mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh

sosial dan pengalaman pada fungsi manusia. Hal ini bergantung pada

bagaimana lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.

e. Indikator Regulasi Diri (Self Regulation)

Mengacu pada beberapa pendapat mengenai aspek-aspek self

regulation, yang digunakan sebagai aspek-aspek untuk mengukur

kamampuan self regulation seseorang dalam penelitian ini adalah aspek-

aspek yang diungkapkan oleh Zimmerman (dalam Ormrod, 2008: 30)

yaitu: (1) standar dan tujuan yang ditetapkan sendiri, (2) memonitor diri

(self-monitoring), (3) evaluasi diri, (4) konsekuensi yang ditetapkan

sendiri. Apabila dalam diri seseorang terdapat keempat aspek tersebut

maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki kemampuan self

regulation yang baik, sebaliknya jika tidak memiliki kelima aspek

tersebut maka kemampuan self regulation orang tersebut tidak baik.

4. Motivasi Diri (Self Motivation)

a. Pengertian Motivasi Diri (Self Motivation)

Diri manusia tidak seakan-akan tunduk pada kodratnya dan secara

pasif menerima keadaannya. Akan tetapi dia menjadikan dirinya secara


39

aktif menjadi sesuatu. Proses perkembangan diri di tentukan oleh dirinya

sendiri (Sarwono, 2012: 26). Diri manusia memang tidak bergantung

kepada alam seperti makhluk Allah yang lainnya. Semakin berputarnya

waktu manusia memiliki kebutuhan yang semakin banya dan dalam

memenuhi kebutuhannya manusia memiliki sebuah dorongan.

Motivasi itu sendiri menurut Wexley dan Yukl (dalam Umam,

2012: 159) merupakan the process by which behavior is energized and

directed. Motivasi merupakan pemberian atau penimbulan motif atau

dapat pula diartikan sebagai hal atau keadaan menjadi motif. Menurut

Sutrisno (2017: 110) motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan

semangat atau dorongan kerja.

Secara lebih jelasnya, self motivation adalah sebuah kondisi

psikologis yang mendorong seseorang tersebut untuk melakukan sesuatu

untuk dirinya dan mencapai tujuannya (Syukur dan Usman, 2012: 125).

Hal ini bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa self motivation

adalah keadaan dalam diri pribadi yang mendorong individu untuk

melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan.

Dimana motivasi itu sendiri bukanlah hal yang dapat diamati, akan tetapi

hal yang bisa di simpulkan karena sesuatu yang dapat kita saksikan. Tiap

aktivitas yang dilakukan oleh seseorang itu didorong oleh sesuatu

kekuatan dari dalam dirinya.


40

Kekuatan pendorong yang membuat seseorang melakukan sesuatu

bisa di sebut dengan motif. Motif itu sendiri memiliki cabang. Macam-

macam motif ada dua, yakni (Sardiman, 2011: 32):

1) Motif bawaan, adalah motif yang dibawa sejak lahir dan tanpa adanya

sebuah pembelajaran ataupun di pelajari. Seperti dorongan untuk

makan, dorongan untuk minum, dorongan untuk bergerak dan

beristirahat, dan dorongan seksual. Bisa dikatan juga motif yang

diisyaratkan oleh biologis artinya dalam warisan biologis manusia.

2) Motif dipelajari, adalah motif-motif yang timbulnya karena dipelajari.

Seperti dorongan untuk belajar akan berbagai cabang ilmu

pengetahuan, dorongan untuk mengajar suatu kedudukan. Dimana

motif-motif ini diisyaratkan secara sosial, karena manusia hidup

dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia maka motif-motif

golongan ini terbentuk.

b. Peran Motivasi

Motivasi melibatkan proses yang memberikan energi mengarahkan

dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian perilaku yang

termotivasi adalah perilaku yang yang mengandung energi, miliki arah

yang jelas, dan dapat dipertahankan (Santrock, 2009: 199).

Motivasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pencapaian sebuah tujuan. Sardiman (2011: 85) menyebutkan 3 (tiga)

fungsi motivasi, yaitu:


41

1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor

yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor

penggerak dari setiap kegiatan yang dikerjakan.

2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak

dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan

kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatanperbuatan apa

yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan

menyisihkan perbuatanperbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan

tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan

harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak

akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca

komik, sebab tidak serasi dengan tujuan.

c. Ciri-ciri Motivasi

Sardiman (2011: 83) menyatakan bahwa ciri-ciri motivasi pada diri

setiap orang yaitu:

1) Tekun menghadapi tugas (suka bekerja keras, terus menerus dalam

waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai);

2) Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);

3) Menunjukkan minat untuk sukses;

4) Lebih senang bekerja sendiri;

5) Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat

mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif);


42

6) Dapat mempertahankan pendapatnya;

7) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini; dan

8) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

Orang dengan kebutuhan pencapaian yang tinggi menurut

McClelland seperti yang disampaikan Uno (2010: 47) menyebutkan

bahwa orang dengan kebutuhan pencapaian yang tinggi dapat ditandai

dengan hal-hal sebagai berikut:

1) Keinginan akan keadaan yang menyebabkan seseorang dapat

bertanggung jawab secara pribadi.

2) Kecenderungan menentukan sasaran yang pantas (sedang) dan

memperhitungkan resikonya.

3) Keinginan untuk mendapat umpan balik yang jelas atas kinerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang

yang memiliki motivasi memiliki ciri-ciri merasa senang dengan apa

yang dilakukan, mendapat kepuasan dalam pekerjaannya, dan selalu

berusaha mengembangkan tugas dan dirinya. Apabila seseorang memiliki

ciri-ciri tersebut, berarti orang itu memiliki motivasi yang kuat.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Mangkunegara (2013: 104) mengemukakan bahwa ada dua faktor

yang sangat mempengaruhi motivasi, yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan

kepribadian. Artinya, orang yang mempunyai motivasi prestasinya tinggi

bila memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa

akan mampu mencapai prestasi maksimal. Hal ini karena IQ merupakan


43

kemampuan potensi dan kepribadian merupakan kemampuan seseorang

untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan

dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Motivasi seseorang menurut Atkinson seperti yang disampaikan

Djaali (2014: 105) bahwa motivasi seseorang ditentukan oleh dua faktor,

yaitu harapan terhadap suatu subjek dan nilai dari objek itu. Semakin

besar harapan seseorang terhadap suatu objek dan makin tinggi nilai

objek itu bagi orang tersebut, berarti makin besar motivasinya. Lebih

lanjut Atkinson menjelaskan apabila motivasi berprestasi tinggi harapan

akan suksesnya mengalahkan rasa takut akan mengalami kegagalan,

selalu merasa optimis dalam mengerjakan setiap apa yang dihadapinya,

sehingga setiap saat selalu termotivasi untuk mencapai tujuan.

Ditinjau dari tahapan pemberian motivasi, menurut Uno (2010: 70)

ada dua tahapan yang disepakati para pakar sebagai faktor penentu perlu

tidaknya seseorang diberikan motivasi. Kedua faktor tersebut adalah (1)

kebutuhan, dan (2) pengarahan perilaku. Analisis terhadap kebutuhan

sebagai dasar pemberian motivasi kepada seseorang dapat dijelaskan

sebagai berikut. Seorang karyawan misalnya, akan termotivasi

melakukan kegiatan atau pekerjaan apabila ia mengetahui bahwa ada

kebutuhan yang tidak terpenuhi. Dengan bekerja, satu kebutuhan yang

tidak terpenuhi dapat terpuaskan. Faktor kedua adalah pengarahan

perilaku, yaitu karyawan sepakat bahwa karena dipengaruhi oleh

kebutuhan, karyawan mengarahkan perilaku mereka ke arah pencapaian


44

tujuan tersebut. Artinya, seorang karyawan yang merasa kebutuhannya

tidak terpuaskan berusaha memuaskan dengan cara mengarahkan

perilakunya sehingga tujuan (kepuasan) dapat dicapai.

Mengutip pada pendapat Herzberg yang menyatakan bahwa

motivasi dapat dibedakan menurut sistem kebutuhan-kebutuhan orang

yang mendasari, Anoraga (2006: 39-40) mengelompokkan motivasi

menjadi dua golongan, yaitu: (a) hygiene factors, yang meliputi status,

hubungan antar manusia, supervisi, peraturan-peraturan perusahaan dan

administrasi, jaminan dalam pekerjaan, kondisi kerja, gaji, dan kehidupan

pribadi dan (b) motivational factors (motivators), yang meliputi:

pekerjaannya sendiri, achievement, kemungkinan untuk berkembang,

tanggung jawab, kemajuan dalam jabatan, dan pengakuan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi motivasi seseorang dapat dilihat dari berbagai sudut

pandang yang berbeda. Intinya motivasi yang timbul akan mengarah

pada intensitas (kesungguhan dan ketekunan) usaha individu dalam

mencapai tujuan. Individu akan melakukan suatu pekerjaan karena

memang menyenangi pekerjaannya itu atau dapat juga karena ada

dorongan untuk mendapatkan sesuatu seperti gaji, pangkat dan insentif-

insentif lainnya.

e. Indikator Pengukuran Motivasi

Djaali (2014: 109-110) menyebutkan bahwa individu yang

memiliki motivasi yang tinggi memiliki karakteristik sebagai berikut:


45

1) Menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi.

2) Memilih tujuan yang realistis.

3) Mencari situasi atau pekerjaan dimana ia memperoleh umpan batu

dengan segera dan nyata untuk menentukan baik atau tidaknya hasil

atau pekerjaannya.

4) Senang berkerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain.

5) Mampu menggunakan pemuasan keinginannya demi masa depan yang

lebih baik.

6) Tidak tergugah untuk sekedar mendapatkan uang, status atau

keunggulannya tetapi lambang prestasilah yang dicarinya.

Wibowo (2011:162) menguraikan dimensi dan indikator dari

motivasi kerja sebagai berikut:

1) Kebutuhan untuk berprestasi, meliputi: target kerja, kualitas kerja

tanggung jawab, resiko.

2) Kebutuhan memperluas pergaulan, meliputi: komunikasi dan

persahabatan.

3) Kebutuhan untuk menguasai sesuatu pekerjaan, terdiri dari:

pemimpin, duta perusahaan, dan keteladanan.

Mengacu pada kedua pendapat ahli di atas, maka indikator-

indikator yang digunakan untuk pengukuran motivasi diri (self

motivation) dalam penelitian ini adalah: (1) memilih tujuan yang realistis,

(2) kebutuhan untuk berprestasi, (3) kebutuhan memperluas pergaulan,

(4) kebutuhan untuk menguasai sesuatu pekerjaan, dan (5) tidak tergugah
46

untuk sekedar mendapatkan uang, status atau keunggulannya tetapi

mencari prestasi.

5. Kesadaran Sosial (Social Awareness)

a. Pengertian Kesadaran Sosial (Social Awareness)

Kesadaran sosial (social awareness) adalah cara individu untuk

menganalisa, mengingat dan menggunakan informasi mengenai kejadian

atau peristiwa-peristiwa sosial. Ridwansyah (2015: 54) menyatakan

bahwa social awareness adalah kemampuan untuk memahami konteks

atau situasi sosial dimana kita sedang berada. Hal ini seperti yang

disampaikan oleh Sudaryo, Aribowo, dan Sofiati (2018: 97) yang

menyatakan bahwa kesadaran sosial (social awareness) adalah

kemampuan untuk merasakan, mengerti, dan bereaksi terhadap perasaan

orang lain sewaktu memahami jaringan sosial di sekitar kita.

Pengertian kesadaran sosial (social awareness) menurut Wegner

dan Guilion adalah representasi jiwa seseorang akan dirinya dan orang

lain (Widya, 2018: 1). Kesadaran sosial (social awareness) yang

dimaksud Goleman (dalam Antonius, 2018: 48) adalah a spectrum that

runs from instantaneously sensing another’s inner state to understanding

her feelings and thoughts to getting complicated social situations.

Kesadaran sosial ibarat alat pantau yang berfungsi merasakan yang

tersembunyi pada orang lain kerika berupaya memahami perasaan dan

pikiran, terutama ketika berada dalam situasi yang kompleks.


47

Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, maka kesedaran sosial

(social awareness) didefinisikan sebagai representasi jiwa seseorang

akan dirinya sendiri dan orang lain yang berhubungan dengan

kewaspadaan seseorang terhadap situasi sosial yang dialami oleh diri

sendiri dan orang lain, sehingga individu dapat menjadi tahu dan

menyadari hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.

b. Bentuk-bentuk Kesadaran Sosial (Social Awareness)

Kesadaran sosial menurut Antonius (2018: 48) mencakup hal-hal

berikut ini:

1) Primal emphaty (empati), mencakup feeling with others (merasa

bersama/seperti memahami perasaan orang lain); sensing nonverbal

emotional signals (mengambil makna emosional yang tepat dari

tanda-tanda nonverbal).

2) Ettunemement, meliputi listening with full receptivity (mendengarkan

orang lain tanpa menilai); attuning to a person (menyesuaikan diri

dengan seseorang secara total).

3) Emphatic accuracy (ketepatan berempati), meliputi: understanding

another person’s thoughts, feelings, and intentions (memahami

pikiran, perasaan, dan maksud orang lain).

4) Social cognition (pemahaman sosial), yaitu knowing how the social

world work (mengetahui cara kerja dunia sosial).


48

Pendapat di atas dipertegas oleh Tobroni (2018: 36) bahwa

kesadaran sosial (social awareness) menunjukkan sikap sosial yang

positif, empati, dan altruism.

c. Indikator Kesadaran Sosial (Social Awareness)

Indikator kesadaran sosial (social awareness) dapat dikmebangkan

dari dimensi-dimensi kesadaran sosial (social awareness). Sheldon

(dalam Widya, 2018: 1) menjelaskan bahwa kesadaran sosial memiliki

tiga dimensi, yaitu tacit awareness (perspektif diri sendiri dan perspektif

orang lain), focal awareness (diri sendiri sebagai objek dan orang lain

sebagai objek) dan awareness content (penampilan yang dapat

diobservasi dan pengalaman yang tidak dapat diobservasi). Secara lebih

rinci, dimensi-dimensi kesadaran sosial tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pengalaman diri dilihat dari perspektif diri sendiri

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika seseorang berusaha

mengerti amarahnya dan dapat diilustrasikan dengan pikiran “Saya

memang sedang marah”.

2) Penampilan diri dilihat dari perspektif orang lain

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika seseorang yang

menggunakan baju berenang akan muncul di depan orang banyak, dan

menyadari bahwa orang lain sedang memperhatikan dirinya.


49

3) Pengalaman orang lain dilihat dari perspektif dirinya

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika seseorang berusaha

merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan dapat diilustrasikan

dengan pikiran “Saya juga akan merasa malu jika menjadi dia.”

4) Penampilan orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika seseorang sedang

menertawai penampilan orang lain dan dapat diilustrasikan dengan

pikiran “Kenapa sih dia tidak menyisir rambutnya?”

5) Penampilan diri dilihat dari perspektif diri sendiri

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika seseorang memeriksa

penampilannya dengan cermat di depan kaca dan dapat dicontohkan

oleh penderita anorexia yang bersikeras bahwa ia terlalu gemuk,

terlepas dari protes orang lain.

6) Pengalaman diri dilihat dari perspektif orang lain

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika kita mengunjungi

psikolog dan dapat diilustrasikan dengan pikiran “Dia bereaksi seakan

saya marah, mungkin saya memang marah.”

7) Pengalaman orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika kita menyangkal hak

orang lain untuk merasa dihina dan dapat diilustrasikan dengan

pikiran “Dia tidak punya hak untuk marah-marah.”


50

8) Penampilan orang lain dilihat dari perspektif dirinya

Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika kita menyadari adanya

obsesi remaja kepada wajahnya atau bagian tertentu dari tubuhnya.

Mengacu pada indikator-indikator di atas, maka indikator

pengukuran kesadaran sosial (social awareness) dalam penelitian ini

dibatasi pada: (1) pengalaman diri dilihat dari perspektif diri sendiri, (2)

pengalaman orang lain dilihat dari perspektif dirinya, dan (3) pengalaman

orang lain dilihat dari perspektif diri sendiri.

6. Keterampilan Sosial (Social Skill)

a. Pengertian Keterampilan Sosial (Social Skill)

Pengertian social skill atau keterampilan sosial menurut Susanto

(2011: 138) merupakan kecakapan dalam penyesuaian sosial yang

memungkinkan individu dapat bergaul dengan orang lain atau teman-

temannya.

Keterampilan sosial (social skill) adalah keterampilan untuk

menjalin hubungan antar pribadi dalam kelompok untuk mencapai dan

menguasai konsep yang diberikan (Gora dan Sunarto dalam Pujiyanti,

2012: 21). Individu dengan individu yang lain dalam suatu kelompok

memerlukan keterampilan dalam suatu hubungan agar mereka bisa

mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini keterampilan sosial

yang dimilikinya sangat mendukung untuk tercapainya tujuan masing-

masing.
51

Sedangkan menurut Izzaty (2012: 1) bahwa keterampilan sosial

adalah keterampilan seseorang untuk mempertahankan tujuan pribadi

yang hendak dicapai pada orang lain dengan cara yang dapat diterima

secara sosial. Keterampilan sosial menurut Merrel dalam Yusuf (2012:

35) adalah keterampilan sosial sebagai perilaku spesifik, inisiatif,

mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan sebagai bentuk perilaku

seseorang. Sedangkan menurut Cary dan Peter yang dikutip oleh Yusuf

(2012: 35) memberikan pengertian bahwa keterampilan sosial adalah

kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan

cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai

dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.

Goleman (1997: 167) menyatakan bahwa orang-orang yang

mempunyai keterampilan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang

lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan orang,

mampu memimpin dan mengorganisir dan pintar menangani perselisihan

yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.

Social skills atau yang selanjutnya diterjemahkan dengan

keterampilan sosial adalah kemampuan untuk melakukan interaksi sosial

baik secara verbal maupun non verbal, dan pola pikir yang positif

(Michelson, et. al., dalam Nugraini & Ramdhani, 2016: 186).

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan keterampilan

sosial (social skill) adalah kemampuan untuk melakukan interaksi sosial

baik secara verbal maupun non verbal, termasuk ekspresivitas,


52

sensitivitas, dan kontrol dan pola pikir yang positif dalam berinteraksi

dengan orang lain sehingga dapat diterima atau dinilai menguntungkan

bagi dirinya, mutu kehidupannya, dan orang lain.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial (Social Skill)

Hasil studi Davis dan Forsythe yang dikutip oleh Thalib (2013:

159) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

keterampilan sosial individu dalam kehidupannya, yaitu:

1) Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam

kandungan. Hal yang paling penting untuk diperhatikan oleh orang tua

agar menjaga komunikasi yang baik dengan anak, sehingga akan

menimbulkan kenyamanan dan keterbukaan bagi anak. Sabaliknya

apabila komunikasi yang kaku dan terbatas hanya akan memunculkan

konflik dan ketidaknyamanan yang dialami anak.

2) Lingkungan

Sejak dini individu harus diperkenalkan dengan lingkungannya, baik

lingkungan keluarga, sekolah, tempat bermain, maupun lingkungan

masyarakat yang luas. Apabila indivudu mengenal lingkungan sedari

awal, maka akan mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial

yang luas, tidak hanya terbatas pada lingkungan keluargayang setiap

hari mereka berama-sama.


53

3) Kepribadian

Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi

dari kepribadian seseorang, tetapi sebenarnya tidak karena apa yang

tampil tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan

aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi individu

untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata,

sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung

dikucilkan.

4) Rekreasi

Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebaiknya dapat

terpenuhi. Dengan rekreasi seseorang akan merasa mendapat

kesegaran baik fisik maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa capai,

bosan, monoton serta mendapatkan semangat baru.

5) Pergaulan dengan Lawan Jenis

Untuk dapat menjalankan peran menurut jenis kelamin, maka individu

remaja seyogyanya tidak dibatasi pergaulannya hanya dengan teman-

teman yang memiliki jenis kelamin yang sama. Pergaulan dengan

lawan jenis akan memudahkan individu dalam mengidentifikasi sex

role behavior yang menjadi sangat penting dalam persiapan

berkeluarga maupun berkeluarga.

6) Pendidikan

Pada dasarnya sekolah mengajarkan berbagai ketrampilan kepada

individu. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan-


54

keterampilan sosial yang dikaitkan dengan cara-cara belajar yang

efisien dan berbagai teknik belajar sesuai dengan jenis pelajarannya.

7) Persahabatan dan Solidaritas Kelompok

Peran kelompok dan teman-teman amatlah besar. Seringkali individu

bahkan lebih mementingkan urusan kelompok dibandingkan urusan

dengan keluarganya. Hal tersebut merupakan suatu yang normal

sejauh kegiatan yang dilakukan individu dan kelompoknya bertujuan

positif dan tidak merugikan orang lain.

8) Lapangan Kerja

Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja sebenarnya telah

disiapkan sejak individu masuk sekolah dasar. Melalui berbagai

pelajaran di sekolah mereka telah mengenal berbagai lapangan

pekerjaan yang ada dalam masyarakat.

c. Aspek-Aspek Keterampilan Sosial (Social Skill)

Aspek-aspek keterampilan sosial menurut Goleman (1999: 271)

terdiri dari lima aspek, yaitu:

1) Pengaruh

Pengaruh ialah bagaimana memiliki taktik-taktik untuk melakukan

persuasi (membujuk). Orang yang piawai dalam mempengaruhi

mampu mengindra atau bahkan mengantisipasi reaksi para pemerhati

terhadap pesan mereka dan dapat dengan efektif mengajak setiap

orang bersama-sama menuju kesasaran yang diinginkan. Ciri-ciri

orang yang dapat mempengaruhi orang lain dintaranya adalah:


55

a) terampil dalam persuasi, b) menyesuaikan presentasi untuk menarik

hati pendengar, c) menggunakan strategi yang rumit seperti memberi

pengaruh tidak langsung untuk membangun konsesus dan dukungan,

d) memadukan dan menyelaraskan peristiwa-peristiwa dramatis agar

menghasilkan sesuatu secara efektif.

2) Komunikasi

Komunikasi dalam pengertian keterampilan sosial adalah

mendengarkan secara terbuka dan mengirimkan pesan yang jelas dan

meyakinkan. Menjadi komunikator yang ulung adalah batu penjuru di

antara semua keterampilan sosial. Di kalangan para manajer atau

pemimpin, kecakapan dalam komunikasi menjadi pembeda yang nyata

antara mereka yang berprestasi tinggi dan mereka yang berprestasi

sedang atau buruk. Keterampilan mendengarkan, mengajukan

pertanyaan yang bijaksana, berwawasan terbuka dan bersedia

memahami, tidak memotong pembicaraan, menggali saran yang

dikemukakan oleh sepertiga ketika mereka ditanyai tentang apakah

mitra kerja mereka itu komunikator yang afektif. Ciri-ciri orang yang

mempunyai keterampilan dalam berkomunikasi antara lain yaitu:

a) efektif dalam memberi dan menerima, menyertakan isyarat emosi

dalam pesan-pesan mereka, b) menghadapi masalah-masalah sulit

tanpa ditunda, c) mendengarkan dengan baik, berusaha saling

memahami, dan bersedia berbagi informasi secara utuh,


56

d) menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia menerima

kabar buruk sebagai mana kabar baik.

3) Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan membangkitkan inspirasi dan

memandu kelompok dan orang lain. Orang yang terampil dalam seni

memimpin menahan diri dengan arus bawah emosi yang terdapat

dalam suatu kelompok dan mampu membaca tindakan-tindakan

mereka yang berada dibawah. Satu cara yang ditempuh oleh

pemimpin adalah untuk membangun kredibilitas adalah dengan

menangkap perasaan-perasaan secara kolektif yang tidak diucapkan

itu lalu mengungkapkannya kepada mereka, atau bertindak

sedemikian yang tanpa katan-kata pun menunjukan bahwa mereka

dimengerti. Dalam makna ini pemimpin bertindak sebagia cermin,

yang memantulkan kembali pengalaman kelompok kepada kelompok

itu sendiri. Ciri-ciri orang yang mempunyai kecakapan dalam seni

memimpin diantaranya yaitu: a) mengartikulasikan dan

mengembangkan semangat untuk meraih visi serta misi bersama,

b) melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan tidak peduli

sedang dimana, c) memandu kinerja orang lain namun tetap

memberikan tanggungjawab kepada mereka, dan d) memimpin lewat

teladan.
57

4) Katalisator Perubahan

Katalisator ialah bagaimana memulai dan mengelola perubahan.

Mengawali suatu perubahan tidaklah mudah untuk bisa bergerak dan

sukses dalam mencapai tujuan. Perubahan diperlukan ide yang

cemerlang, keuletan, dan bekerja cepat. Dengan tiga faktor tersebut

organisasi atau perusahaan bisa dengan mudah mengelola suatu

perubahan. Adapun orang-orang yang mempunyai kecakapan dalam

katalisator perubahan yaitu mempunyai ciri-ciri diantaranya:

a) menyadari perubahan dan dihilangkannya hambatan, b) menantang

status quo untuk menyatakan perlunya perubahan, c) menjadi pelopor

perubahan dan mengajak orang lain ke dalam perjuangan itu, dan

d) membuat model perubahan seperti yang diharapkan oleh orang lain.

5) Manajemen Konflik

Manajemen konflik adalah merundingkan dan menyelesaikan

perbedaan pendapat. Pertikaian yang berakibat adanya konflik sangat

menyusahkan jika tidak segera ditangani. Seseorang yang bisa

menyelesaikan masalah dengan baik tanpa banyak yang dirugikan

maka orang tersebut berarti mempunyai manajemen konflik yang

bagus. Orang yang bisa memanajemen konflik mempunyai

kecakapan-kecakapan diantaranya yaitu: a) menangani orang-orang

sulit dan situasi tegang dengan diplomasi dan taktik,

b) mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik,

menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka dan membantu


58

mendinginkan situasi, c) menganjurkan debat dan diskusi secara

terbuka, dan d) mengantar ke solusi menang-menang (win-win

solution).

Hayati (2012: 1) menambahkan bahwa keterampilan sosial

meliputi:

1) Empati, yaitu penuh pengertian, tenggang rasa, dan kepedulian pada

sesama.

2) Aplikasi dan resolasi konflik yaitu komunikasi dua arah/hubungan

antar pribadi, kerjasama dan penyelesaian konflik.

3) Mengembangkan kebiasaan positif, yaitu tatakrama/kesopanan,

kemandirian, tanggung jawab sosial.

Menurut Thalib (2013: 162) keterampilan sosial itu memuat aspek-

aspek keterampilan untuk hidup dan bekerja sama, keterampilan untuk

mengontrol diri dan orang lain, keterampilan untuk saling berinteraksi

antara satu dengan yang lainnya, saling bertukar pikiran dan pengalaman

sehingga tercipta suasana yang menyenangkan bagi setiap anggota dari

kelompok tersebut.

Michelson, et. al. (dalam Nugraini dan Ramdhani, 2016: 186)

mengungkapkan bahwa keterampilan sosial merupakan proses

interpersonal yang dapat terjadi antara dua orang atau lebih dengan

bentuk interaksi sederhana hingga paling kompleks. Oleh karena itu

membutuhkan media komunikasi yang melibatkan komunikasi verbal,

komunikasi non verbal, serta proses kognisi.


59

1) Komunikasi Verbal

Respon verbal atau komunikasi verbal merupakan komunikasi antar

individu menggunakan bahasa lisan tanpa melibatkan bahasa non

lisan. Respon ini biasanya dilakukan dengan berbicara atau

berbincang-bincang.

2) Komunikasi Non Verbal

Respon non verbal atau komunikasi non verbal merupakan

komunikasi antar individu tanpa melibatkan isi bahasa lisan, namun

mengandalkan bahasa-bahasa nonlisan melalui ekspresi wajah, kontak

mata, dan bahasa tubuh. Komunikasi ini dapat digunakan dalam

rangka memahami emosi seseorang meskipun ekspresi wajah

mungkin tidak selamanya universal, tetapi merupakan sumber

informasi yang penting untuk mengetahui keadaan emosi seseorang.

3) Proses Kognisi

Proses kognitif yang dialami individu biasanya melibatkan proses

mengolah atau memanipulasi informasi dari lingkungan, biasanya

merupakan ide-ide mengenai tindakan atau sikap yang menyangkut

suatu hal. Simbol-simbol yang digunakan dalam proses kognitif pada

umumnya berupa kata-kata atau bahasa sehingga proses kognitif ini

sangat mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan

komunikasi verbal maupun non verbal. Keterampilan sosial

ditampilkan sebagai sarana untuk berinteraksi dengan orang lain yang

dalam bentuknya berupa keterampilan untuk saling berinteraksi antara


60

satu individu dengan yang lainnya, saling bertukar respon lisan,

pikiran dan pengalaman sehingga tercipta suasana yang

menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok tersebut.

d. Indikator Keterampilan Sosial (Social Skill)

Indikator-indikator keterampilan sosial yang dalam penelitian ini

menggunakan aspek keterampilan sosial yang diungkapkan oleh

Michelson, et. al. yang meliputi: (1) komunikasi verbal, (2) komunikasi

non verbal, dan (3) proses kognisi, karena lebih lengkap dan terperinci

untuk dijadikan alat ukur penelitian. Pada aspek-aspek yang diungkapkan

oleh Michelson, et. al. berisi tentang kemampuan individu dalam

mengadakan hubungan dan pemberian respon serta pola pikir yang baik

dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga memperoleh adaptasi

kehidupan di masyarakat secara harmonis.

7. Kinerja

a. Pengertian Kinerja

Kinerja dapat dijadikan sebagai tanda keberhasilan anggota

organisasi yang ada dalam organisasi tersebut. Bangun (2012: 231),

mendefinisikan kinerja sebagai hasil pekerjaan yang dicapai seseorang

berdasarkan persyaratan-persyaratan pekerjaan (job requirement). Suatu

pekerjaan mempunyai persyaratan tertentu untuk dapat dilakukan dalam

mencapai tujuan atau yang disebut juga dengan standar pekerjaan (job

standard).
61

Menurut Wibowo (2016: 7) kinerja berasal dari pengertian

performance. Adapula yang memberikan pengertian performance sebagai

hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai

makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk

bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Kinerja merupakan hasil

pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis

organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada

ekonomi.

Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance

(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang).

Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas

yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara,

2017: 9).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan

bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang

dilakukan oleh seorang pekerja atau karyawan berdasarkan kemampuan

mengelola kegiatan untuk melaksanakan kerja, yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan kerja, evaluasi, dan pengendalian.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan

Menurut Armstrong dan Baron (dalam Wibowo, 2016: 84), faktor-

faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain dikemukakan, yaitu

sebagai berikut:
62

1) Personal factors, ditunjukan oleh tingkat keterampilan, kompetensi

yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.

2) Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan

dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.

3) Team factors, ditunjukan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh

rekan kerja.

4) System factors, ditunjukan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang

diberikan organisasi.

5) Contextual/situational factors, ditunjukan oleh tingginya tingkat

tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.

Menurut Timple (dalam Mangkunegara, 2017: 16), faktor-faktor

kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

(disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat

seseorang. Adapun faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Faktor

internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang

mempengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang dibuat para

karyawan memiliki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan kepada

tindakan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu dalam

organisasi terdiri dari tiga faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai

berikut (Imron, 2018: 7):


63

1) Faktor internal individu. Faktor ini meliputi: kemampuan dan

keterampilan, mental, fisik, latar belakang keluarga, tingkat sosial

pengalaman, demografi, umur, dan asal usul.

2) Faktor organisasi. Faktor ini meliputi: sumber daya, kepemimpinan,

gaji, struktur, desain pekerjaan, dan asal usul.

3) Faktor psikologis. Faktor ini meliputi: spiritualitas, persepsi, sikap,

kepribadian dalam pekerjaan (perilaku kewargaorganisasian, modal

psikologis, motivasi, kecerdasan emosi, dan komitmen).

Berdasarkan teori-teori di atas mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja karyawan, dapat dilihat bahwa profesionalisme

karyawan dan motivasi kerja mempengaruhi kinerja karyawan melalui

beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut pada garis besarnya dapat

dikelompokkan menjadi faktor kepemimpinan, faktor tim, faktor sistem,

dan faktor situasional.

c. Indikator Penilaian Kinerja Karyawan

Manurut Sikula dalam Mangkunegara (2013: 69):

Employee appraising is the systematic evaluation of a worker’s job


performance and potential for development. Appraising is the
process of estimating or judging the value, excellence, qualities, or
status of some object, person, or thing.

(Penilaian karyawan merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan

karyawan dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian adalah proses

penaksiran atau penentuan nilai, kualitas, atau status dari beberapa objek,

orang ataupun sesuatu). Dapat diambil kesimpulan bahwa penilaian

kinerja karyawan adalah adalah suatu proses penilaian kinerja karyawan


64

yang dilakukan pemimpin dalam hal ini pimpinan secara sistematik

berdasarkan tugasnya untuk mengetahui kualitas kerjanya sebagai bahan

tindak lanjut untuk karyawan tersebut.

Untuk mengukur kinerja karyawan digunakan penilaian kerja

melalui indikator-indikator kinerja karyawan. Informasi yang didapatkan

dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan target

maupun langkah kedepan bagi perusahaan. Tsui, et. al. dalam Hasibuan

(2014: 97) mengemukakan untuk mengukur sejauhmana karyawan

mencapai suatu kinerja menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:

1) Kuantitas kerja karyawan

Mutu dan kuantitas pekerjaan yang dilakukan karyawan sesuai dengan

target yang telah ditetapkan perusahaan.

2) Kualitas kerja karyawan

Karyawan mampu menyelesaikan tugasnya dengan hasil mendekati

sempurna.

3) Efisiensi karyawan

Tiap sumber daya dapat dimanfaatkan dengan baik secara maksimal

oleh karyawan.

4) Usaha karyawan

Karyawan dapat berusaha lebih keras daripada yang seharusnya

diharapkan oleh perusahaan.


65

5) Standar profesional karyawan

Karyawan memegang standar profesional dan tanggung jawab

karyawan terhadap perusahaan.

6) Kemampuan karyawan

Karyawan mempunyai kemampuan yang baik dalam menyelesaikan

pekerjaannya.

7) Ketepatan karyawan

Karyawan dapat menyelesaikan pekerjaan dengan tepat dan

mempunyai kreatifitas tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengukuran kinerja karyawan

dalam penelitian ini menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:

kuantitas kerja karyawan, kualitas kerja karyawan, efisiensi karyawan,

usaha karyawan, standar profesional karyawan, kemampuan karyawan,

dan ketepatan karyawan.

8. Debt Collector

a. Pengertian Debt Collector

Istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris, yang jika

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang,

collector artinya pemungut, pemeriksa, penagih, pengumpul. Debt

collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan

debitor dalam hal penagihan kredit. Hal ini tercantum dalam Surat

Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2

bahwa apabila dalam menyelenggarakan kegiatan APMK Penerbit


66

dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di

luar Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama

dalam kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem,

Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa

tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh

pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan

kualitas apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau

Financial Acquirer itu sendiri.

Hariyani (2010: 42) mengemukakan bahwa bank dalam

menyelesaikan kredit macet dapat menempuh beberapa cara. Salah

satunya adalah dengan melakukan penagihan oleh penagih utang swasta

(debt collector).

Jadi, debt collector merupakan kumpulan orang/sekumpulan orang

yang menjual jasa untuk menagih hutang seseorang atau lembaga yang

menyewa jasa mereka. Debt collector adalah pihak ketiga yang

menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit.

b. Jenis-Jenis Debt Collector

Debt collector sebenarnya cukup luas dan tidak terbatas pada

petugas debt collector yang bertugas di lapangan saja. Debt collector

memiliki tingkatan dan cara kerja yang berbeda-beda pula. Cara kerja

tersebut, berdasarkan pada lama tunggakan si debitur. Adapun tingkatan

dan cara kerja debt collector secara umum menurut Oktavinoarti (2016:

6) adalah sebagai berikut:


67

1) Desk Collector

Level ini merupakan level pertama dari dunia collector, dan cara kerja

yang dilakukan oleh collectorcollector ini adalah hanya mengingatkan

tanggal jatuh tempo dari cicilan debitur dan dilakukan dengan media

elepon. Biasanya pada level ini collector hanya berfungsi sebagai

pengingat (reminder) bagi debitur atas kewajiban membayar cicilan.

2) Juru Tagih

Level ini merupakan kelanjutan dari level sebelumnya, apabila

ternyata debitur yang telah dihubungi tersebut belum melakukan

pembayaran, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran. Cara yang

dilakukan oleh collector pada level ini adalah mengunjungi debitur

dengan harapan mengetahui kondisi debitur beserta kondisi

keuangannya. Pada level ini, collector biasanya memberikan

pengertian secara persuasif mengenai kewajiban debitur dalam hal

melakukan pembayaran angsuran. Hal-hal yang dijelaskan biasanya

mengenai akibat yang dapat ditimbulkan apabila keterlambatan

pembayaran tersebut tidak segera diselesaikan.

3) Juru Sita (collector Remedial)

Apabila ternyata debitur masih belum melakukan pembayaran, maka

tunggakan tersebut akan diberikan kepada level yang selanjutnya yaitu

Juru Sita atau Collector Remedial. Pada level inilah biasanya

pekerjaan sebagai Debt Collector sering diasumsikan negatif oleh

masyarakat pada umumnya karena pada level ini sistem kerja


68

collector adalah dengan cara mengambil barang jaminan yang pada

dasarnya hal tersebut memang sudah menjadi kesepakatan antara

pihak bank dengan debitur sejak awal.

c. Prosedur Penagihan dan Kode Etik Debt Collector

Secara umum, proses collection atau penagihan dibagi menjadi 5

(lima) tahap, yaitu (Oktavinoarti, 2016: 5-6):

1) Servicing

Langkah ini termasuk kegiatan menghubungi nasabah (call customer)

untuk mengingatkannya bahwa waktu pembayaran telah lewat waktu

atau mulai menunggak.

2) Locating

Adalah proses mengunjungi alamat nasabah dan alamat lain yang

terdapat pada file kredit untuk mendapat informasi yang terperinci

(visit customer).

3) Contacting

Kegiatan menghubungi kembali debitur secara agresif dalam hal

nasabah melanggar janji (broken promise).

4) Selling

Kegiatan meyakinkan debitur untuk melakukan pembayaran setelah

diperoleh suatu kesepakatan.

5) Tekanan Hukum (legal enforcement)

Kegiatan yang dilakukan apabila semua upaya collection yang normal

mengalami kegagalan, sehingga perlu diambil tindakan hukum (legal


69

action). Kegiatan ini bisa berupa penyitaan dalam hal pembiayaan

perumahan dan kendaraan bermotor.

Adapun hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas Debt Collector

menurut kode etik dalam menjalankan penagihan adalah (Oktavinoarti,

2016: 5):

1) Selalu dapat mengontrol emosi dan tidak akan melakukan hal-hal

seperti, memaki-maki, menghina suatu institusi, mengeluarkan kata-

kata yang bersifat pelecehan seksual dan yang berhubungan

denganSARA.

2) Selalu memastikan hal-hal penting sebelum melakukan penagihan

seperti, nomor telepon yang dituju adalah benar.

3) Selalu berlaku hati-hati dalam melakukan penagihan terutama

terhadap nasabah-nasabah public expose, nasabah-nasabah yang

tinggal di komplek instansi pemerintah dan perumahan mewah, dan

nasabah-nasabah yang mempunyai jabatan penting di instansi

pemerintahan, lembaga hukum dan nasabah prioritas.

4) Selalu menulis semua informasi hasil follow up dengan debitur secara

benar, singkat dan jelas tempat yang disediakan dalam sistem.

5) Tidak menulis informasi apapun di permanent message.

6) Tidak melakukan penagihan dan intimidasi kepada sumber informasi

(emergency contact, atasan debitur, dan lain-lain).

7) Tidak melakukan pembayaran melalui rekening pribadi untuk

melakukan penalangan pembayaran tagihan kartu kredit debitur.


70

8) Tidak membocorkan data-data yang berkaitan dengan penagihan (data

yang ada di sistem dan data-data terkait lainnya).

B. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu tentang pengaruh emotional intelligence

terhadap kinerja debt collector adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1.Penelitian Terdahulu


Variabel Teknik Analisis
No. Peneliti/Tahun/ Judul Hasil Penelitian
Penelitian Data
1. Gryn. (2010). The a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: Secara statistik, tidak
Relationship emotional penelitian ada hubungan yang
Between The intelligence kuantitatif signifikan antara
Emotional yang diukur b. Populasi: emotional
Intelligence and Job dari dimensi- karyawan intelligence yang
Performance of Call dimensi: Medical Aid meliputi emotional
Centre Leaders. 1) Emotional Administrator literacy, self-esteem,
literacy di Kota self-management,
2) Self-esteem Johannesburg, self-motivation,
3) Self- Afrika Selatan change resilience,
management yang berjumlah dan interpersonal
4) Self- 2000 karyawan relations
motivation c. Sampel: 45 integration of head
5) Change pimpinan dan and heart dengan
resilience 223 karyawan kinerja (job
6) Interperso- bias yang performance)
nal relations ditentukan
7) Integration dengan teknik
of head and nonrandom
heart convenience
b. Variabel terikat: sampling
job d. Teknik
performance pengumpulan
data: kuesioner
e.Teknik analisis
data: desktriptif
dan analisis
korelasi
71

Variabel Teknik Analisis


No. Peneliti/Tahun/ Judul Hasil Penelitian
Penelitian Data
2. Sastrawinata. (2011). a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: a.Kesadaran diri
Pengaruh Kesadaran 1) Kesadaran penelitian berpengaruh
Diri, Pengaturan diri kuantitatif signifikan secara
Diri, Motivasi, 2) Pengaturan b. Populasi: parsial terhadap
Empati, dan diri auditor pada kinerja auditor
Keterampilan Sosial 3) Motivasi Kantor b.Pengaturan diri,
terhadap Kinerja 4) Empati Akuntan Publik motivasi, empati
Auditor Pada KAP di 5) Keteram- di Palembang dan keterampilan
Kota Palembang. pilan Sosial c. Sampel: 23 sosial tidak
b. Variabel terikat: orang auditor berpengaruh
kinerja pada 8 signifikan secara
(delapan) parsial terhadap
Kantor kinerja auditor
Akuntan Publik c.Kesadaran diri,
di Palembang pengaturan diri,
yang ditentukan motivasi, empati
dengan teknik dan keterampilan
convenience sosial berpengaruh
sampling signifikan secara
d. Teknik simultan terhadap
pengumpulan kinerja auditor
data: kuesioner
e. Teknik analisis
data: uji asumsi
klasik, analisis
regresi linier
berganda, uji
koefisien
determinasi, uji
hipotesis
dengan uji t dan
uji F
3. Shahhosseini, Silong, a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: Tidak ada hubungan
Ismaill, dan Uli. emotional penelitian antara emotional
(2012). The Role of intelligence kualitatif intelligence dengan
Emotional b. Variabel terikat: b. Populasi: job performance
Intelligence on Job job performance Human
Performance. Resource
Development
(HRD) di
perusahaan-
perusahaan
terpilih di
Malaysia
c. Teknik
pengumpulan
data:
dokumentasi
72

Variabel Teknik Analisis


No. Peneliti/Tahun/ Judul Hasil Penelitian
Penelitian Data
d. Teknik analisis
data: kualitatif
4. Setyaningrum, a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: a. Kesadaran diri,
Utami, dan Ruhana. 1) Kesadaran penelitian pengaturan diri,
(2016). Pengaruh diri kuantitatif motivasi, empati,
Kecerdasan 2) Pengaturan dengan metode dan keterampilan
Emosional terhadap diri explanatory sosial memiliki
Kinerja (Studi Pada 3) Motivasi research pengaruh
Karyawan PT. Jasa 4) Empati b. Populasi: signifikan secara
Raharja Cabang Jawa 5) Keteram- seluruh parsial terhadap
Timur). pilan sosial karyawan PT. variabel kinerja
b. Variabel terikat: Jasa Raharja karyawan.
kinerja Cabang Jawa b. Kesadaran diri,
Timur yang pengaturan diri,
berjumlah 47 motivasi, empati,
orang. dan keterampilan
c. Sampel sosial memiliki
penelitian: 47 pengaruh
orang signifikan secara
d. Teknik simultan terhadap
pengambilan variabel kinerja
sampel: karyawan.
sampling jenuh
e. Teknik analisis
data: analisis
deskriptif dan
analisis regresi
linier berganda
5. Indriyani dan Utami. a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: a. Kecerdasan
(2018). Pengaruh 1) Kecerdasan penelitian emosional dan
Kecerdasan emosional kuantitatif kecerdasan
Emosional dan 2) Kecerdasan dengan metode spiritual secara
Kecerdasan Spiritual spiritual explanatory parsial
terhadap Kinerja b. Variabel terikat: research berpengaruh
Karyawan (Studi kinerja b. Populasi: semua terhadap kinerja
pada Karyawan PT karyawan karyawan PT karyawan.
Industri Kereta Api Industri Kereta b. Kecerdasan
(Persero) Madiun- Api (Persero) emosional dan
Jawa Timur Madiun kecerdasan
c.Sampel: 90 spiritual secara
orang karyawan simultan
PT Industri berpengaruh
Kereta Api terhadap kinerja
(Persero) karyawan
Madiun yang
ditentukan
dengan teknik
total sampling
73

Variabel Teknik Analisis


No. Peneliti/Tahun/ Judul Hasil Penelitian
Penelitian Data
d.Teknik
pengumpulan
data: kuesioner
e.Teknik analisis
data: analisis
deskriptif,
analisis regresi
linier berganda,
uji koefisien
determinasi, uji
hipotesis
dengan uji t dan
uji F
6. Noor Ali, Hidayati, a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: a.Terdapat pengaruh
dan Syaharuddin 1) Emotional penelitian positif dan signifi-
(2018). (2018). intelligence kuantitatif kan antara
Pengaruh Emotional 2) Stres kerja b. Populasi: emotional
Intelligence dan Stres b. Variabel terikat: seluruh intelligence yang
Kerja terhadap kinerja karyawan Bank meliputi kesadaran
Kinerja Karyawan karyawan Pembangunan diri (self aware-
Bank Pembangunan Daerah Kaltim ness), motivasi
Daerah Kaltim Cabang (motivation),
Cabang Penajam Penajam Paser pengaturan diri
Paser Utara. Utara. (self management),
c. Sampel: 36 empati (social
orang awareness), dan
karyawan Bank keterampilan sosial
Pembangunan (relationship
Daerah Kaltim management)
Cabang terhadap kinerja
Penajam Paser karyawan.
Utara yang b.Emotional
ditentukan intelligence akan
dengan teknik mempengaruhi
purposive perilaku tiap
sampling individu dalam
d. Teknik mengatasi
pengumpulan permasalahan yang
data: kuesioner muncul pada diri
e. Teknik analisis sendiri termasuk
data: analisis dalam permasalah-
regresi dengan an kerja.
Smart PLS c.Semakin tinggi
tingkat emotional
intelligence, maka
kinerja karyawan
akan semakin
meningkat
74

Variabel Teknik Analisis


No. Peneliti/Tahun/ Judul Hasil Penelitian
Penelitian Data
7. Satriyono dan a. Variabel bebas: a. Jenis penelitian: a. Social awareness,
Vitasmoro. (2018). 1) Social penelitian self management,
Pengaruh awareness kuantitatif emphaty, dan
Kecerdasan 2) Self b. Populasi: guru relationship
Emosional terhadap management yang bekerja di management secara
Kinerja Guru di SMP 3) Emphaty SMPN 4 Kediri parsial berpengaruh
Negeri 4 Kediri 4) Relationship tahun 2017 terhadap kinerja.
management c. Sampel; 45 b. Social awareness,
b. Variabel terikat: orang guru self management,
kinerja dengan teknik emphaty, dan
kontekstual total sampling relationship
d. Teknik management secara
pengumpulan simultan
data: kuesioner berpengaruh
e. Teknik analisis terhadap kinerja.
data: analisis
regresi linier
berganda, uji
koefisien
determinasi, uji
hipotesis
dengan uji t dan
uji F

C. Kerangka Berpikir

Menurut Uma Sekaran (dalam Sugiyono, 2012: 89) kerangka berpikir

merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan

berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting. Kerangka

pemikiran yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antara variabel

yang diteliti. Jadi secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antara variabel yang

diteliti.

Karyawan yang baik akan membuat sistem kerja berjalan dengan baik.

Untuk itu, setiap karyawan perlu meningkatkan kecerdasan emosional atau

emotional intelligence agar mampu mendayagunakan sumber dayanya dalam

mencapai kinerja untuk keperluan pencapaian tujuan perusahaan. Oleh karena


75

itu, keberadaan debt collector pada BPR-BPR yang ada di Kabupaten Madiun

dalam mengatasi pembayaran angsuran kredit pada nasabah yang tidak lancar

perlu mempertimbangkan keberadaan emotional intelligence. Kinerja debt

collector dalam melakukan penagihan dapat ditentukan sejauh mana emotional

intelligence yang meliputi kesadaran diri (self awareness), regulasi diri (self

regulation), motivasi diri (self motivation), kesadaran sosial (social

awareness), dan keterampilan sosial (social skill) yang ada pada diri masing-

masing debt collector.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konseptual pada penelitian ini

dapat dilihat dalam gambar 2.1 berikut ini:

Kesadaran Diri (Self Awareness)


(X1)
H1
Regulasi Diri (Self Regulation)
(X2) H2

Motivasi Diri (Self Motivation) H3 Kinerja Debt Colletor


(X3) (Y)

Kesadaran Sosial (Social Awareness) H4


(X4)
H5
Keterampilan Sosial (Social Skill)
(X5)

H6

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul


76

(Arikunto, 2010: 110). Hipotesis tersebut berisi hubungan antar variabel

independen dengan variabel dependen. Sesuai dengan judul penelitian hipotesis

yang ada, hubungan antar variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Pengaruh Kesadaran Diri (Self Awareness) terhadap Kinerja Debt

Collector

Kesadaran diri (self awareness) merupakan dasar dari kecerdasan

emosional, yaitu merupakan kemampuan untuk memantau perasaan dari

waktu ke waktu. Karyawan yang memiliki kesadaran diri akan mengetahui

apa yang dirasakan pada suatu saat yang menggunakannya untuk memandu

pengambilan keputusannya sendiri. Selain itu kesadaran diri juga berarti

menetapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan

diri yang kuat.

Pada saat seorang debt collector semakin mengenal dirinya sendiri,

maka dirinya akan memahami apa yang dirasakan dan dilakukannya.

Pemahaman tersebut akan memberikan kesempatan kepada diri debt

collector tersebut yang akan memposisikan dirinya sebagai nasabah yang

bermasalah terhadap pembayaran angsuran kredit, sehingga debt collector

tersebut tidak akan semena-mena dalam melakukan penagihan. Kondisi ini

akan menimbulkan respon positif dari nasabah, sehingga nasabah merasa

dihargai hak-haknya. Pada nasabah yang mendapat perlakuan yang baik dari

seorang debt collector yang memiliki self awareness tinggi, akan segera

memenuhi kewajibannya. Artinya, debt collector yang memiliki self


77

awareness tinggi cenderung memiliki keberhasilan dalam melakukan

penagihan kepada nasabah.

Pada penelitian yang dilakukan Sastrawinata (2011) terbukti bahwa

kesadaran diri berpengaruh signifikan secara parsial terhadap kinerja

auditor. Pada penelitian yang dilakukan Setyaningrum, dkk. (2016) juga

terbukti bahwa kesadaran diri memiliki pengaruh signifikan secara parsial

terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, hipotesis

yang diuji dalam penelitian ini adalah:

H1 : Diduga kesadaran diri (self awareness) berpengaruh terhadap kinerja

debt collector pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten

Madiun.

2. Pengaruh Regulasi Diri (Self Regulation) terhadap Kinerja Debt

Collector

Regulasi diri (self regulation) atau pengaturan diri merupakan cara

orang mengontrol dan mengarahkan tindakan sendiri. Individu yang

memiliki banyak informasi tentang dirinya sendiri, termasuk karakterisitik

pribadinya dan keinginan serta konsep masa depan individu sendiri akan

mampu membuat tujuan dan mencapainya, menggunakan keahlian sosial

dan pengaturan diri.

Seorang debt collector yang melakukan regulasi diri dengan baik tidak

hanya menetapkan tujuan, akan tetapi ia juga tahu perilaku apa yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap kegiatan sudah semestinya

memilki tujuan, dan tujuan dari sebuah penagihan kepada nasabah adalah
78

pembayaran angsuran kredit dari nasabah yang. Debt collector yang

meregulasi diri adalah pribadi yang berupaya mengatur diri, mempengaruhi

tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan

kognisi, dan membuat konsekuensi atas perilakunya agar bergerak sinergis

menuju tujuan yang ingin dicapai, yaitu keberhasilan dalam penagihan atas

kredit macat pada nasabah.

Pada saat melakukan penagihan, seorang debt collector perlu

melakukan pengaturan diri dengan menangani emosi sedemikian sehingga

berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, dan

sanggup mengendalikan diri sebelum tercapainya sesuatu sasaran

dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Jika seorang debt collector

melakukan penagihan dengan kontrol emosi yang baik, tidak melakukan

penagihan dengan intimidasi, dan menyampaikan dengan bahasa verbal dan

non verbal yang menyenangkan, akan mendorong nasabah untuk segera

menyelesaikan kewajibannya.

Penelitian yang dilakukan Setyaningrum, dkk. (2016) membuktikan

bahwa pengaturan diri memiliki pengaruh signifikan secara parsial terhadap

variabel kinerja karyawan. Pada penelitian yang dilakukan Noor Ali, dkk.

(2018) ditemukan bahwa terdapat pengaruh pengaturan diri terhadap kinerja

karyawan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, hipotesis yang diuji

dalam penelitian ini adalah:


79

H2 : Diduga regulasi diri (self regulation) berpengaruh terhadap kinerja

debt collector pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten

Madiun.

3. Pengaruh Motivasi Diri (Self Motivation) terhadap Kinerja Debt

Collector

Istilah debt collector dalam dunia penagihan utang memang bukan

suatu hal baru. Di dunia lembaga keuangan, penggunaan jasa debt collector

merupakan hal yang biasa dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar

negeri bahkan, perusahaan pembiayaan juga menggunakan jasa serupa jika

ingin menagih utang nasabahnya. Keberadaan debt collector sendiri dapat

membantu perusahaan perbankan dalam melakukan penagihan kepada

nasabah yang mengalami permasalahan dalam pembayaran angsuran kredit.

Seorang debt collector digaji berdasarkan kemampuannya dalam

menangani penagihan pada nsabah kredit yang bermasalah. Adanya gaji dan

komisi dari perusahaan yang mempekerjakannya, akan menjadi motivasi

tersendiri bagi debt collector untuk berhasil melakukan penagihan.

Keberadaan motivasi diri pada debt collector tidak terlepas dari kecerdasan

emosional (emotional intelligence) yang ada pada dirinya, yaitu kemampuan

untuk mengenal perasaan diri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri

dan mengelola emosi dengan baik. Meskipun adanya gaji dan komisi dari

perusahaan atas keberhasilan penagihan yang dilakukannya, tanpa adanya

motivasi diri maka seorang debt collector tidak akan mampu melakukan

penagihan dengan baik. Seorang debt collector harus mampu memposisikan


80

dirinya dengan baik antara kepentingan perusahan dengan permasalahan

yang ada pada nasabah. Debt collector tidak boleh mendasarkan keputusan

penagihan yang dilakukannya atas dasar kepentingannya sendiri.

Penelitian yang dilakukan Setyaningrum, dkk. (2016) membuktikan

bahwa motivasi diri memiliki pengaruh signifikan secara parsial terhadap

variabel kinerja karyawan. Pada penelitian yang dilakukan Noor Ali, dkk.

(2018) ditemukan bahwa terdapat pengaruh motivasi diri terhadap kinerja

karyawan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, hipotesis yang diuji

dalam penelitian ini adalah:

H3 : Diduga motivasi diri (self motivation) berpengaruh terhadap kinerja

debt collector pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten

Madiun.

4. Pengaruh Kesadaran Sosial (Social Awareness) terhadap Kinerja Debt

Collector

Kesadaran sosial (social awareness) merupakan proses dimana

seseorang memahami dan mengerti akan suatu keadaaan yang menjadikan

individu itu sendiri sadar dan paham betul dengan apa yang terjadi, dan apa

yang akan terjadi. Kesadaran sosial adalah bentuk kesadaran diri mengenali

kepribadian kita lalu menyadari pengaruh faktor-faktor tersebut atas

penilaian, keputusan dan interaksi kita dengan orang lain.

Seorang debt collector yang memiliki kesadaran sosial (social

awareness) tinggi, akan cenderung melakukan penagihan kepada nasabah

dengan penuh rasa empati. Bentuk kesadaran sosial ini dapat terjadi ketika
81

seorang debt collector berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh nasabah

yang mengalami permasalahan dalam pembayaran angsuran kredit dan

dapat diilustrasikan dengan pikiran yang lebih objektif, mampu

memposisikan dirinya seandainya menjadi nasabah tersebut. Pada seorang

debt collector yang memiliki kesadaran sosial (social awareness) tinggi,

maka empati yang dimilikinya akan direspon secara positif oleh nasabah,

sehingga kecenderungan bahwa nasabah akan segera melunasi

tanggungannya akan semakin besar.

Penelitian yang dilakukan Noor Ali, dkk. (2018) membuktikan bahwa

terdapat pengaruh social awareness terhadap kinerja karyawan. Satriyono

dan Vitasmoro (2018) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa social

awareness secara parsial berpengaruh terhadap kinerja. Berdasarkan hasil

penelitian terdahulu, hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

H4 : Diduga kesadaran sosial (social awareness) berpengaruh terhadap

kinerja debt collector pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di

Kabupaten Madiun.

5. Pengaruh Keterampilan Sosial (Social Skill) terhadap Kinerja Debt

Collector

Keterampilan sosial merupakan aspek yang paling penting dalam

emotional intellegence. Keterampilan sosial (social skill) yang dimiliki oleh

seseorang dapat diamati melalui perilaku sosialnya. Orang yang memiliki

keterampilan sosial dapat memberi kesan yang lebih baik, dan memperbaiki

penampilan pribadi dirinya, dapat menciptakan perasaan positif dalam diri


82

dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki kemampuan seperti itu.

Keterampilan sosial merupakan kemampuan antarpribadi yang erat

kaitannya dengan fungsi komunikasi. Keterampilan sosial adalah

kemampuan berinteraksi secara efektif dengan orang-orang, kemampuan

untuk memberikan dukungan individu pada semua tingkatan organisasi.

Seorang debt collector yang memiliki keterampilan sosial yang baik,

akan mampu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan

nasabah yang mengalami masalah dalam pembayaran angsuran kredit dan

dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan

lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi,

bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan. Apabila seorang debt

collector mampu memiliki keterampilan sosial (social skill) yang baik, akan

dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada nasabah dan mampu

memberikan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi

nasabah maupun perusahaan yang mempekerjakannya.

Penelitian yang dilakukan Setyaningrum, dkk. (2016) membuktikan

bahwa keterampilan sosial memiliki pengaruh signifikan secara parsial

terhadap variabel kinerja karyawan. Pada penelitian yang dilakukan Noor

Ali, dkk. (2018) juga ditemukan bahwa terdapat pengaruh keterampilan

sosial terhadap kinerja karyawan. Satriyono dan Vitasmoro (2018) dalam

penelitiannya juga menemukan bahwa keterampilan sosial secara parsial

berpengaruh terhadap kinerja. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu,

hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:


83

H5 : Diduga keterampilan sosial (social skill) berpengaruh terhadap kinerja

debt collector pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten

Madiun.

6. Pengaruh Kesadaran Diri (Self Awareness), Regulasi Diri (Self

Regulation), Motivasi Diri (Self Motivation), Kesadaran Sosial (Social

Awareness), dan Keterampilan Sosial (Social Skill) terhadap Kinerja

Debt Collector

Kinerja seorang debt collector dapat diindikasikan dari

keberhasilannya dalam melakukan penagihan kepada nasabah yang

memiliki permasalahan dalam pembayaran angsuran kredit. Keberhasilan

debt collector dalam melakukan penagihan dapat ditentukan dari kecerdasan

emosi (emotional intelligence) yang dimilikinya, baik yang berupa

kesadaran diri (self awareness), regulasi diri (self regulation), motivasi diri

(self motivation), kesadaran sosial (social awareness), dan keterampilan

sosial (social skill) pada diri debt collector tersebut.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian terdahulu, hipotesis yang diuji

dalam penelitian ini adalah:

H6 : Diduga kesadaran diri (self awareness), regulasi diri (self regulation),

motivasi diri (self motivation), kesadaran sosial (social awareness),

dan keterampilan sosial (social skill) berpengaruh secara simultan

terhadap kinerja debt collector pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

di Kabupaten Madiun.

Anda mungkin juga menyukai