Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KECERDASAN EMOSI

2.1.1. Definisi Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi terdiri dari pengembangan dari kata kecerdasan dan

emosi. Pemahaman mengenai kecerdasan sendiri berkaitan dengan daya ingat,

reasoning (mencari unsur sebab akibat), judgment (pengambilan keputusan),

dan pemahaman abstraksi. Menurut Puspasari (2009) pemahaman mengenai

emosi berkaitan dengan fungsi mental, di mana sangat berkaitan dengan

perasaan hati, pemahaman diri dan evaluasi, serta kondisi perasaan lain

seperti rasa bosan ataupun perasaan penuh energi. Dari penggabungan dua

pemahaman tersebut, muncul pengertian kecerdasan emosi adalah

kemampuan untuk mengendalikan emosi dan rasional secara bersamaan

dengan kondisi yang tepat.

Kecerdasan emosi berasal dari konsep yang dikemukakan oleh

Thorndike pada tahun 1920 yaitu konsep kecerdasan sosial. Thorndike

membagi kecerdasan menjadi 3 bagian yaitu kecerdasan abstrak, kecerdasan

konkrit dan kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial menurut Thorndike

(Goleman, 2002) adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri serta orang

lain dan mengelolanya untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan.

15
16

Teori kecerdasan emosi baru pertama kali dicetuskan pada tahun 1990

oleh Peter Salovey dan John Mayer.Solevey dan Mayer (sitat dalam Casmini,

2007) menggunakan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan

sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian

tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola

perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan.

Goleman (1999) mengatakan kecerdasan emosi atau emotional

intelligence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan

perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan

mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan

orang lain. Goleman juga berpendapat bahwa kecerdasan emosi memegang

peranan dalam kesuksesan seseorang. Seseorang yang terampil dalam

mengelolah kemampuan emosinya memiliki keuntungan dalam setiap bidang

kehidupan. Dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, individu dapat

menghadapi berbagai macam kejadian yang tidak terduga dalam

kehidupannya. Hal ini sangat menolong dalam melakukan penyelesaian

dengan lingkungan dan orang lain.

Menurut Cooper dan Sawaf (1998) kecerdasan emosi merupakan

kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan kekuatan

dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan diri


17

sendiri dan orang lain, kemampuan untuk beradaptasi, dan mengendalikan

serta menguasai emosi sendiri atau orang lain pada situasi dan kondisi

tertentu.

2.1.2. Komponen Kecerdasan Emosi

Goleman (2002) menyebutkan bahwa terdapat lima komponen yang

menjadi dasar kecerdasan emosi. Lima komponen tersebut, yaitu :

1. Kesadaran diri

Kesadaran diri merupakan kemampuan untuk mengetahui apa yang

dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu

pengambilan keputusan diri sendiri. Kesadaran diri juga merupakan tolak

ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

2. Pengaturan diri

Pengaturan diri adalah kemampuan dalam menangani emosi sedemikian,

sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata

hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran

dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

3. Motivasi

Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam

untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran. Motivasi membantu

pengambilan inisiatif, bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan

menghadapi kegagalan dan frustrasi.


18

4. Empati

Empati merupakan kemampuan merasakan yang dirasakan oleh orang lain,

mampu memahami perspektif, menumbuhkan hubungan saling percaya

dan menyelaraskan diri dengan bermacam – macam orang. Kegagalan

untuk mengetahui perasaan orang lain merupakan kekurangan utama

dalam kecerdasaan emosional.

5. Keterampilan social

Keterampilan sosial adalah kemampuan menangani emosi dengan baik

ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi

dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan

– keterampilan ini untuk memengaruhi dan memimpin, bermusyawarah

dan menyelesaikan perselisihan, untuk bekerja sama dan bekerja dalam

tim.

2.1.3. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Emosi

Kecerdasan seseorang dengan yang lain cenderung berbeda – beda.

Hal ini karena adanya beberapa faktor yang memengaruhi. Menurut Goleman

(1999), adapun faktor yang memengaruhi kecerdasan antara lain sebagai

berikut:

1. Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari

emosi. Individu belajar bagaimana merasakan perasaan diri sendiri dan


19

bagaimana orang lain menanggapi perasaan kita, berpikir tentang perasaan

yang ada dalam diri dan pilihan – pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi

serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

Menurut Goleman (1999) banyak penelitian yang menghasilkan

bahwa cara orang tua memperlakukan anak, baik dengan disiplin yang

keras atau empati, baik dengan ketidakpedulian atau kehangatan dapat

berakibat mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional anak. Anak

– anak yang diabaikan oleh orang tua karena tidak mendapat perhatian dari

orang tua, cenderung menjadi anak yang paling cemas, tidak punya

perhatian, dan tidak berperasaan, terkadang agresif bahkan menarik diri.

Cara – cara yang digunakan pasangan suami – istri untuk menangani

perasaan – perasaan di antara mereka, selain tindakan – tindakan langsung

mereka pada seseorang anak memberikan pelajaran yang ampuh kepada

anak karena anak – anak adalah murid yang pintar, yang sangat peka

terhadap transmisi emosi yang paling halus sekalipun dalam keluarga.

Goleman berpendapat ketika keluarga mendapat tekanan ekonomi

yang menyebabkan kedua orang tua harus bekerja sehingga meninggalkan

anak di rumah atau menitipkannya. Ini berarti, terjadi penurunan interaksi

antara orang tua dan anak yang tak ternilai banyaknya yang seharusnya

memupuk keterampilan emosional anak.


20

2. Lingkungan Sosial

Membina hubungan dengan orang lain merupakan salah satu cara

untutk mengasah keterampilan emosi seseorang (Goleman, 1999). Melalui

kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan,

memahami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, dan

membuat orang lain merasa nyaman.

3. Jenis Kelamin

Leslie Brody dan Judith Hall (Goleman, 1999) meringkas penelitian

tentang perbedaan emosi pria dan wanita. Mereka mengatakan bahwa anak

perempuan lebih cepat terampil berbahasa daripada anak laki – laki, maka

anak perempuan lebih berpengalaman dalam mengutarakan perasaan –

perasaannya dan lebih cakap daripada anak laki – laki.

Goleman (1999) mengemukakan bahwa anak laki – laki dan anak

perempuan dididik dengan pola yang berbeda dalam menangani emosi.

Pada umumnya orang tua membahas emosi lebih banyak dengan anak

perempuan daripada dengan anak laki – lakinya. Anak perempuan lebih

banyak mendapat informasi tentang emosi daripada anak laki – laki.

Ratusan studi telah menemukan bahwa secara rata – rata kaum wanita

lebih mudah berempati daripada kaum pria. Hal ini diukur berdasarkan

kemampuan membaca perasaan orang lain yang tidak diungkapkan dari

ekspresi wajah, nada suara, dan isyarat – isyarat verbal lainnya. Secara rata
21

– rata intensitas kaum wanita dalam merasakan seluruh rangkaian emosi

lebih besar dan lebih mudah berubah – ubah daripada kaum pria.

2.2. RELASI KELUARGA

2.2.1. Pengertian Relasi Keluarga

Keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat

tinggal bersama dan masing – masing anggota merasakan adanya pertautan batin

sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling

menyerahkan diri. Dalam bukunya yang berjudul Sosial Sructure, Murdock

menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki

karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses

reproduksi (Letsari, 2012). Keluarga adalah suatu unit terkecil dari masyarakat

yang didalamnnya terdapat ayah, ibu serta anak yang saling berhubungan dan

mempengaruhi satu sama lain.

Relasi keluarga adalah hubungan yang terjadi antar anggota keluarga

yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang saling mempengaruhi karena adanya

interaksi sosial dan ikatan emosional antar sesama anggota. Pada umumnya

relasi keluarga dimulai dari perkawinan laki – laki dan perempuan, maka pada

tahap ini telah terjadi relasi pasangan suami - istri dalam keluarga. Kemudian,

muncul kembali bentuk relasi baru setelah kehadiran seorang anak dalam

sebuah keluarga yaitu relasi orang tua dan anak. Ketika anak berikutnya lahir

muncul lagi relasi yang baru yaitu relasi sibling(saudara sekandung). Ketiga
22

macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi pokok dalam suatu keluarga

inti. (Lestari, 2012).

Menurut Hinde suatu hubungan melibatkan interaksi dari waktu ke

waktu antara dua individu yang saling mengenali. Interaksi adalah suatu

rangkaian peristiwa ketika individu A menunjukkan suatu perilaku X kepada

individu B, atau A memperlihatkan X kepada B yang meresponnya dengan Y.

Interaksi dan hubungan muncul dari proses psikologis dalam individu.

Hubungan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kelompok – kelompok dan

masyarakat yang lebih luas di mana individu berpartisipasi. Pada ahkirnya

hubungan dipengaruhi oleh struktur kepercayaan, nilai, dan instusi

sosiokultural, dan karakteristik lingkungan fisik. (Russell, Mize, & Bissaker,

2013).

Interaksi antar anggota keluarga diharapkan berjalan sesuai dengan

harapan dari setiap anggota keluarga sehingga tujuan bersamapun dapat

terwujud. Diperlukan sebuah relasi yang berjalan harmonis guna mewujudkan

tujuan tersebut. Keharmonisan relasi keluarga dapat dilihat dari bagaimana

masing – masing anggota keluarga saling memberikan dukungan, saling

percaya, bagimana unsur – unsur tersebut diterapkan atau diberlakukan secara

adil sesuai dengan kebutuhan dari masing – masing anggota keluarga.

Thompson (Lestari, 2012) berpendapat apabila hubungan menjadi

katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetauhan

dan informasi, penguasaan keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan


23

berbagai pengaruh lain semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang

baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan. Sebaliknya, kualitas

hubungan yang buruk dapat menimbulkan akibat berupa masalah perilaku atau

psikopatologi pada diri anak.

Kohesi merupakan ikatan emosional antara anggota keluarga. Hal ini

sebagai alat ukur seberapa dekat satu sama lain merasa anggota keluarga pada

tingkat emosionalnya. Kohesi mencerminkan rasa keterhubungan atau

keterpisahan dari anggota keluarga lainnya, sedangkan adaptasi mengukur

kemampuan keluarga untuk mengubah struktur kekuasaannya, hubungan peran,

dan aturan hubungan dalam respon terhadap stres situasional dan

perkembangan. Tingkat adaptasi menunjukkan seberapa baik keluarga dapat

memenuhi tantangan yang disajikan oleh situasi berubah (Ulfiah, 2016).

Jadi relasi keluarga merupakan suatu hubungan yang saling

memengaruhi antara ayah, ibu , dan anak yang dilakukan melalui interaksi

yang memerlukan suatu keharmonisan dan ikatan emosional, agar hubungan ini

berjalan dengan baik sehingga dapat mewujudkan harapan dan tujuan bersama.

2.2.2. Hubungan Orang Tua dan Anak

Keluarga merupakan arena utama dan pertama untuk melakukan

sosialisasi dan mengenal perilaku – perilaku yang dilakukan oleh orang lain.

Keluarga sebagai tonggak awal dalam pengenalan budaya – budaya masyarakat

yang mana anggota keluarga belajar tentang pribadi dan sifat orang lain di luar
24

dirinya. Sebagai salah satu hubungan interpersonal yang penting dalam

kehidupan seseorang, hubungan orang tua – anak umunya digambarkan sebagai

sosialisasi antara orang tua dan anak.

Maccoby (1992) bependapat hubungan orang tua dan anak

merupakan bentuk interaksi timbal balik antara orang tua dan anak. Interaksi

timbal balik ini muncul dari kegiatan yang saling berhubungan dan

memengaruhi satu sama lain antara orang tua dan anak. Hubungan orang tua –

anak dapat dikonseptualisasikan sebagai hubungan pribadi seumur hidup yang

secara biologis didasarkan pada pengalaman yang saling berhubungan di masa

lalu dan harapan pengalaman yang saling berhubungan di masa depan.

Pendekatan interaksi orang tua – anak memfokuskan pada hubungan

dua pihak (dyadic) dan memandang hubungan orang tua – anak sebagai bagian

dari suatu keseluruhan. Orang tua dan anak sama – sama dianggap mempunyai

kontribusi terhadap proses pengasuhan. Hubungan orang tua dan anak bersifat

interaksional. Perilaku orang tua akan memengaruhi perilaku anak dan

sebaliknya perilaku anak akan memengaruhi respon orang tuanya.

Hinde (Lestari, 2012) berpendapat orang tua dan anak berinteraksi

pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi

tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi

terhadap interaksi di kemudian hari. Orang tu dan anak sama – sama memiliki

sumbangan dan peran dalam interaksi. Interaksi orang tua – anak yang telah

terjadi membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan


25

pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya

akan bertindak pada suatu situasi. Demikian pula sebaliknya anak kepada orang

tua. Baik orang tua maupun anak membangun pengharapan yang

dikembangkan dalah hubungan keduanya, karena hubungan ini bersifat kekal.

Macobby (1992) mengatakan di dalam interaksi orang tua dengan

anak tercangkup ekspresi atau pernyataan orang tua tentang sikap, nilai, dan

minat orang tua yang pada akhirnya interaksi orang tua dengan anaknya inilah

yang disebut sebagai pengasuhan orang tua. Pengasuhan dapat didefinisikan

sebagai pola perilaku yang diterapkan orang tua terhadap anak – anaknya

melalui interaksi langsung atau tidak langsung, baik yang sifatnya memberi

dukungan maupun yang bersifat menghambat anak, dalam segala aktivitas

eskplorasi dan komitmen demi mencapai status identitas dirinya.

Chen (Lestari, 2012) berpendapat kualitas hubungan orang tua- anak

dapat dilihat dari tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman

(security), kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan

(responsiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen

mendasar dalam hubngan orang tua - anak yang dapat membuat anak merasa

dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri. Mereka memiliki rasa percaya

dan menikmati kesertaan mereka dalam aktivitas bersama orang tua.

Kehangatan memberi konteks bagi afeksi positif yang akan meningkatkan

mood untuk peduli dan tanggap terhadap orang lain.


26

2.2.3. Dimensi Pengasuhan Orang Tua dan Anak

Steinberg, Elmer, dan Mounts (1989) berpendapat untuk mencapai

pengasuhan yang optimal tidak hanya mencangkup penerimaan atau

kehangatan dan kontrol (dua elemen utama yang dimunculkan oleh Baumrind)

tetapi diperlukan juga adanya otonomi psikologis (Maccoby, 1992)

1. Penerimaan (Acceptance)

Komponen cinta yang penting adalah penerimaan tanpa syarat.

Penerimaan ditandai oleh sikap kasih sayang orang tua, dorongan perilaku

positif dan kesediaan untuk berbagi emosi dengan anak. Salah satu cara

untuk menunjukkan kasih sayang adalah dengan menerima anak persis

seperti apa adanya, kesalahannya dan semuanya. Anak perlu tahu bahwa

mereka dihargai, diterima, dan disukai oleh orang tua mereka. Mereka juga

ingin orang tua memiliki toleransi terhadap individualitas, keintiman dan

perbedaan interpersonal dalam keluarga.

Harus ada usaha dari orang tua untuk menunjukkan persetujuan dan

untuk mencapai objektivitas yang cukup untuk melihat anak sebagai

manusia. Anak tidak ingin merasa bahwa orang tua mereka mengharapkan

mereka sempurna sebelum mereka mencintai mereka, mereka juga tidak

dapat berkembang dalam suasana kritik dan ketidaksenangan yang terus

menerus.

Perasaan negatif antara orang tua dan remaja mungkin ada karena

berbagai alasan. Beberapa anak dibenci, ditolak dan tidak dicintai oleh
27

orang tua sejak mereka dilahirkan, karena mereka tidak direncanakan dan

tidak diinginkan sejak awal.

2. Kontrol (Control)

Kontrol berkaitan dengan sejauh mana orang tua mengelola perilaku

anak - anak mereka.Untuk bagian orang tua, hal ini melibatkan

keterampilan kepemimpinan dan menentukan aturan, serta memberikan

perawatan. Untuk bagian anak – anak, hal ini melibatkan penerimaan dan

rasa hormat. Kontrol diartikan sebagai penekanan terhadap batas – batas

perilaku yang disampaikan secara jelas kepada anak. Kontrol yang tegas

adalah ketika orang tua membuat tuntutan – tuntutan yang sesuai dengan

usia anak, yang harus dituruti anak sebagaimana diminta oleh orang tua.

Bila kontrol dimaknai sebagai mengendalikan anak dengan cara

menekan, memaksa, menakut – nakuti dan mengabaikan dukungan

terhadap inisiatif anak, yang demikian itu akan memiliki konsekuensi

negatif. Namun, bila kontrol dimaknai memegang kendali, memiliki

wewenang, membuat tuntutan yang sesuai dengan usia anak, maka dapat

menjadi lebih baik. Anak – anak memerlukan aturan dan petunjuk bagi

tumbuh kembang mereka.

Barber (1996) membedakan antara kontrol psikologis dan kontrol

perilaku. Kontrol psikologis adalah upaya – upaya pengendalian yang

bersifat memaksa terhadap perkembangan psikologis dan emosi anak,

misalnya proses berpikir, pengungkapan diri, ekspresi emosi, dan


28

kelekatan pada orang tua. Kontrol perilaku adalah upaya orang tua untuk

mengatur dan mengelola perilaku anak (Lestari, 2012).

Pada dasarnya cara melakukan kontrol dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu kontrol yang jelas (overt) dan kontrol tersamar (covert). Kontrol yang

jelas dapat dilakukan melalui pemberian hukuman, sedangkan kontrol

tersamar dapat dilakukan melalui pemberian pujian dan hadiah. Hasil

kontrol juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kepatuhan dan

internalisasi. Internalisasi merupakan hasil yang lebih baik, karena anak

akan mampu menerapkan konrol dan regulasi diri tanpa harus selalu di

bawah pengawasan orang lain.

3. Otonomi Psikologis (Psychological Autonomy)

Otonomi psikologis merupakan kebebasan untuk membentuk opini

sendiri, memiliki privasi, dan membuat keputusan sendiri. Salah satu

tujuan dari setiap remaja adalah diterima sebagai orang dewasa yang

otonom. Jika otonomi kurang, remaja rentan terhadap perilaku bermasalah

dan mengalami kesulitan menjadi orang dewasa yang mandiri. Dalam

membuat transisi dari masa kanak – kanan ke masa dewasa, remaja perlu

menetapkan tingkat otonomi dan identitas untuk mengambil peran dan

tanggung jawab orang dewasa. Remaja yang tetap terlalu bergantung pada

orang tua, tidak akan mampu mengembangkan hubungannya dengan

teman sebaya.
29

Otonomi terdiri dari dua aspek, yaitu otonomi perilaku dan otonomi

emosional. Otonomi perilaku merupakan menjadi mandiri dan cukup bebas

untuk bertindak sendiri tanpa ketergantungan berlebihan pada orang lain

untuk dibimbing. Otonomi emosi merupakan menjadi bebas dari

ketergantungan kekanak – kanakan pada orang tua (Rice & Dolgin, 2008).

Selama masa remaja kemampuan membuat keputusan untuk diri

sendiri meningkat tajam. Remaja meningkatkan otonomi perilaku di

beberapa area, seperti pemilihan pakaian atau pilihan teman, tetapi tetap

mengikuti petunjuk orang tua mereka. Remaja menginginkan orang tua

yang memberikan mereka otonomi perilaku dengan perlahan – lahan

ketika remaja belajar untuk menggunakannya. Terlalu banyak kebebasan

yang diberikan terlalu cepat dapat ditafsirkan sebagai penolakan oleh

orang tua. Remaja ingin diberi hak untuk membuat pilihan, menggunakan

kemandirian mereka sendiri, untuk berdebat dengan orang dewasa, dan

untuk memikul tanggung jawab, tetapi mereka tidak menginginkan

kebebasan penuh. Karena mereka menyadari adanya kekhawatiran bahwa

mereka tidak tahu cara menggunakannya dengan baik.

Peralihan otonomi emosi selama masa remaja tidak sedrastis peralihan

otonomi perilaku. Hal ini masih banyak bergantung pada perilaku orang

tua. Beberapa orang tua terus mendorong ketergantungan secara

berlebihan. Orangtua yang pernikahannya tidak bahagia terkadang

mengalihkan kepuasaan emosinya kepada anak – anak mereka dan menjadi


30

terlalu bergantung pada mereka. Orang tua yang memenuhi

ketergantungan kebutuhan anak mereka, bahkan sampai dewasa akan

mengganggu kemampuan anak untuk bisa menjadi orang dewasa yang

afektif. Beberapa remaja yang telah didominasi oleh orang tua mereka

mulai menerima dan lebih suka bergantung. Hasilnya adalah masa remaja

yang berkepanjangan, seperti mereka akan lebih suka tinggal dengan orang

tua mereka setelah menikah atau mungkin tidak pernah mencapai

hubungan sosial yang matang.

Pada komponen ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa dukungan

orang tua yang baik adalah yang berupa dukungan otonom dan bukan

dukungan direktif. Dalam dukungan otonom orang tua bertindak sebagai

fasilitator bagi anak – anak untuk menyelesaikan masalah, membuat

pilihan dan menentukan nasib sendiri. Sedangkan dukungan direktif orang

tua lebih banyak memberikan intruksi, mengendalikanm dan cenderung

mengambil alih.

2.3. REMAJA

Ada yang berpendapat bahwa remaja merupakan kelompok biasa saja,

tidak berbeda dengan kelompok manusia yang lain. Ada yang berpendapat

bahwa remaja adalah kelompok orang – orang yang sering menyusahkan. Ada

yang pula yang berpendapat bahwa remaja merupakan potensi manusia yang

perlu dimanfaatkan. Feldman dan Elliott (Santrock, 2012) berpendapat sikap


31

masyarakat umum yang terbentuk tehadap remaja dapat merupakan hasil

kombinasi dari pengalaman pribadi, gambaran yang diberikan oleh media,

maupun gambaran objektif mengenai perkembangan remaja yang normal yang

diberikan oleh sumber lain.

Stanley G. Hall (Santrock, 2012) mengajukan pandangan “badai – dan

– stres (storm – and – stress)” untuk menyatakan bahwa masa remaja

merupakan masa bergolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana

hati (mood). Remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak –

kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek

fisik, psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar

antara usia 12 – 21 tahun.

Remaja merupakan tahap kelima perkembangan menurut Erikson,

identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Pada

masa ini individu akan melakukan pencarian identitas. Selama periode ini,

masyarakat secara relatif membiarkan remaja bebas dari tanggung jawab dan

bebas mencoba berbagai identitas. Remaja akan bereksperimen dengan

berbagai peran dan kepribadian. Remaja yang berhasil mengatasi konflik

identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan

dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas

menderita kebingungan identitas, seperti yang dikatakan oleh Erikson.

Kebingungan ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk: menarik diri,

mengisolasi diri dari kawan sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri
32

ke dalam dunia kawan sebaya dan kehilangan identitas di tengah

kebingungannya.

2.3.1. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Remaja

Menurut pandangan Gunarsa (Dariyo, 2004) secara umum ada dua

faktor yang memengaruhi perkembangan individu, yaitu :

1. Faktor endogen (nature)

Perubahan – perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor

internal yang berisfat herediter yaitu yang diturunkan oleh orang tuanya,

misalnya : postur tubuh; bakat – minat, kecerdasan, dan sebagainya.

Kondisi fisik, psikis atau mental yang sehat, normal dan baik menjadi

predisposisi bagi perkembangan berikutnya.Hal itu menjadi modal bagi

individu agar mampu mengembangkan kompetensi kognitif, afektif

maupun kepribadian dalam proses pernyesuaian diri di lingkungan

hidupnya.

2. Faktor exogen (nurture)

Perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor

– faktor yang berasal dari luar diri individu itu sendiri. Faktor ini

diantaranya berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan fasilitas, letak geografis,

cuaca, iklim, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial ialah

lingkungan di mana seorang mengadakan interaksi dengan individu atau


33

sekelompok individu didalamnya. Lingkungan sosial ini dapat berupa:

keluarga, tetangga, teman, lembaga pendidikan dan sebagainya.

Kedua faktor di atas saling berpengaruh sehingga terjadi interaksi

antara faktor internal maupun ekstrenal, yang kemudian membentuk dan

memengaruhi perkembangan individu. Oleh karena itu sebaiknya dalam

memandang dan memprediksi perkembangan seseorang harus melibatkan

kedua faktor tersebut secara utuh, dan bukan secara parsial.

2.4. KAITAN KECERDASAN EMOSI DENGAN RELASI KELUARGA

Hasil penelitian yang dilakukan Bhatia (2012), menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi pada anak dan sikap

penerimaan orang tua (r = 0,197; p <0,01). Selain itu ditemukan juga hasil yang

signifkan namun negatif antara kecerdasan emosi anak dan sikap penghindaran

orang tua ((r = - 0,277; p < 0,01). Sedangkan untuk kecerdasan emosi dan

konsentrasi orang tua tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan. (r = -

0,032).

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak untuk

membentuk kepribadian dan mencapai tugas – tugas perkembangannya.

Keluarga menjadi faktor terpenting bagi pembentukan sikap dan perilaku baik

dalam segi kepribadian, sosial maupun emosional anak. Keluarga memiliki

peran yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kepribadian anak.

Perawatan orang tua penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai – nilai
34

kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan

faktor yang sangat mendukung untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan

anggota masyarakat yang baik (Ulfiah, 2016).

Orang tua berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak.

Orang tua menjadi faktor dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut

menentukan corak dan gambaran seseorang setelah dewasa (Lestari, 2012).

Sikap orang tua memengaruhi cara orang tua memperlakukan anak dan

perlakuan orang tua terhadap anak sebaliknya memengaruhi sikap dan perilaku

anak terhadap orang tua. Pada dasarnya hubungan orang tua dan anak

tergantung pada sikap orang tua. Sikap orang tua sangat menentukan hubungan

keluarga. Sekali hubungan terbentuk,maka cenderung bertahan. Orang tua yang

mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan

waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orang tua

dapat memengaruhi anak – anak dalam pembinaan

Menurut Puspasari (2009) anak yang dikembangkan dengan dilatih

emosi secara intensif oleh orang tuanya tentu akan memahami arti emosi bagi

dirinya dan orang lain. Emosi yang terlatih dapat mengembangkan tingkat

kedewasaan seseorang, dalam arti lain semakin kita mengerti pemahaman

emosi kita semakin kita tahu cara mengendalikannya.

Pengetauhan akan emosi sangat membantu pengembangan intelektual.

Seorang anak yang memiliki interaksi sosial yang tinggi dengan teman

sebayanya, saudaranya maupun orang tuanya tentu akan memiliki pengetahuan


35

emosi yang lebih kaya dibandingkan anak sebayanya yang memiliki interaksi

sosial lebih rendah.

Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi memiliki

kesempatan untuk mengembangkan pola berpikirnya menjadi lebih baik karena

ia mengurangi tekanan maupun kecemasan yang disebabkan oleh pengaturan

emosi yang tidak tepat dan berlebihan. Kecenderungan seorang anak dapat

berpikir apabila di sekeliling orang yang menciptakan emosi positif seperti

membuat dirinya senang, tenang, dan bersemangat. Sebaliknya dalam kondisi

yang tidak menyenangkan, tentu seseorang anak akan sulit berpikir.

Ekspresi terbentuk dari emosi, pola asuh anak selalu melibatkan

emosi. Normalnya ketika orang tua melakukan kontak dengan anaknya selama

proses pengasuhan maka ia membina keterikatan emosi. Kemiripan respon

orang tua dan anak terhadap emosi merupakan suatu pembelajaran tak

langsung yang dikembangkan dalam pola komunikasi. Pada umumnya,

kemampuan intelektual antara anak dan orang tua berkembang melalui

komunikasi yang dikembangkan tersebut.

2.5. HIPOTESIS

Dari uraian yang dikemukakan, dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai

berikut :

Ada hubungan antara relasi keluarga dengan kecerdasan emosi pada

remaja.

Anda mungkin juga menyukai