PENUTUP
5.1 PEMBAHASAN
variabel kecerdasan emosi dan relasi keluarga. Peneliti akan menguraikan hasil
analisis pengujian hipotesis yang akan dihubungkan dengan kajian teori yang
persentase sebesar 55,7%. Pada variabel relasi keluarga juga tergolong kuat yaitu
sebesar 49,6% (lihat tabel 4.16). Variabel relasi keluarga antara ayah dan
partisipan tergolong kuat (45,2%) dan variabel relasi keluarga antara ibu dan
dengan nilai koefisien r = 0,608 dan p = 0,000 (p < 0,05). Hubungan kedua
variabel ini bersifat positif, artinya semakin kuat relasi keluarga yang dimiliki
individu, maka akan semakin tinggi pula kecerdasan emosi yang dimilikinya.
89
90
Dari hasil uji hipotesis dapat diketahui pada penelitian ini sesuai
dengan penelitian Merida (2008) yang melibatkan subjek remaja dengan ibu
sebagai TKI dan berpisah dengan anaknya ketika masih berusia anak – anak dan
antara relasi keluarga dengan kecerdasan emosi dengan nilai p < 0,05 (p =
0,004; r = 0,486).
Penelitian ini didukung juga dengan hasil tabulasi silang pada tabel
4.30, di mana sebesar 31,3% partisipan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
dan relasi keluarga yang kuat. Dari hasil beberapa pengujian tersebut dapat
dikatakan bahwa individu yang memiliki relasi keluarga yang kuat tentunya
dapat menunjang kecerdasan emosi yang baik. Selaras dengan hal tersebut
penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2014) juga menyatakan apabila ada
korelasi yang signifikan antara kematangan emosi dan hubungan keluarga siswa
remaja.
saling memengaruhi antara ayah, ibu, dan anak yang dilakukan melalui
emosional, dan adaptasi agar hubungan ini berjalan dengan baik sehingga dapat
semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh
positif bagi perkembangan. Oleh karena itu relasi keluarga merupakan salah
perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
posisi sosial, yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak – sibling (Ulfiah, 2016).
Hubungan orang tua dan anak merupakan salah satu bentuk interaksi sosial
yang terdapat pada keluarga inti. Interaksi timbal balik ini muncul dari kegiatan
yang saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain antara orang tua dan
anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2012) hubungan timbal balik ini penting
sekali karena tidak jarang orang tua memberi kasih sayang kepada anak, yang
tidak dirasakan oleh anak. Sebaliknya, karena anak tidak merasakannya mereka
pun tidak membalasnya dan tidak belajar menyatakan cinta kasih. Menurut
pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan
dua pihak (dyadic) dan memandang hubungan orang tua – anak sebagai bagian
dari suatu keseluruhan. Orang tua dan anak sama – sama dianggap mempunyai
kontribusi terhadap proses pengasuhan. Hubungan orang tua dan anak bersifat
antisipasi terhadap interaksi di kemudian hari. Orang tua dan anak sama – sama
memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi
keduanya. Setiap relasi orang tua – anak bersifat unik yang melibatkan dua
pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak
yang lain. Interaksi orang tua – anak yang telah terjadi membentuk suatu
pada suatu situasi. Karena relasi orang tua anak bersifat kekal, masing – masing
ada korelasi statistik yang signifikan antara interaksi orang tua dan anak dengan
beberapa komponen kecerdasan emosi baik pada remaja yang berperilaku nakal
maupun tidak. Pengaturan emosi didorong oleh orang tua dan anak yang
93
dan percakapan secara tidak langsung di mana anak belajar dari meniru orang
tua. Jika orang tua menekankan emosi mereka, maka anak itu akan mengadopsi
strategi tersebut dan menekankan emosinya seperti yang dilakukan oleh orang
tua.
melemahkan kecerdasan emosi yang mereka milki. Relasi keluarga yang kuat
timbul secara efektif. Hal ini mendukung hasil pada tabel 4.21 di mana
sebanyak 61,7% dari partisipan memilih cara yang positif ketika mereka
konflik dengan cara membicarakan secara bersama – sama. Dengan hasil pada
hubungan antara relasi keluarga (ayah) dengan kecerdasan emosi dengan nilai
94
koefisien r = 0,497 dan p = 0,000. Hubungan kedua variabel ini besifat positif,
artinya semakin kuat relasi keluarga (ayah) yang dimiliki individu, maka akan
semakin tinggi pula kecerdasan emosi yang dimilikinya. Hasil tabulasi silang
antara relasi keluarga (ayah) dengan kecerdasan emosi menunjukkan p < 0,05
oleh remaja membuat dirinya mampu berpikir secara kritis terhadap berbagai
keputusan yang akan diambil, sehingga lebih berhati – hati dalam bertindak dan
berperilaku.
pentingnya ayah terlibat langsung pada anak karena gaya laki – laki ayah akan
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan melibatkan unsur fisik dan kognitif. Ayah
akan melakukan kontak – kontak fisik dengan anaknya baik dalam bentuk
permainan yang bersifat fisik dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini akan
Hasil uji tabulasi silang pada tabel 4.37 mengatakan sebanyak 20,9%
dari total partisipan memberikan nilai 3 atau netral mengenai kedekatan remaja
dengan ayah. Alasan dari penilaian ini umumnya didominasi karena menurut
mereka, ayah sibuk bekerja atau lokasi tempat bekerjanya di luar kota sehingga
membuat jarang bertemu. Hal ini didukung oleh hasil pada tabel 4.5 di mana
swasta, 21,7% sebagai pedagang atau pengusaha, dan 20% sebagai pegawai
negeri sipil.
Pada penelitian yang dilakukan Han dan Jun (2013), ayah lebih sering
dalam pengasuhan anak masih sangat minimal, dan keterlibatan yang minimal
96
terhambat, dan interaksi sosial terbatas. Bahkan bagi anak laki – laki, ciri
Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat
dalam perkembangan anak. Perlu komitmen kuat dari seorang ayah untuk hadir
dalam setiap tahap perkembangan buah hati agar dapat membangun kualitas
individu menjadi lebih sempurna dan pada tingkat makro dalam mencegah
penurunan moral anak bangsa, serta untuk lingkup mikro, yakni keutuhan dan
hubungan antara relasi keluarga (ibu) dengan kecerdasan emosi dengan nilai
koefisien r = 0,510 dan p = 0,000 . Hubungan kedua variabel ini besifat positif,
artinya semakin kuat relasi keluarga (ibu) yang dimiliki individu, maka akan
Pada penelitiannya, Han dan Jun (2013) mengatakan bahwa ibu secara
signifikan lebih terlibat dalam fungsi ekspresif daripada ayah. Keterlibatan ibu
tugas ekspresif lainnya. Ibu dianggap lebih terlibat dalam hal kecerdasan emosi,
pemberian saran.
berperan sebagai model yang tingkah lakunya mudah diamati dan ditiru oleh
anak. Ibu berperan menjadi pendidik yang memberi pengarahan, dorongan dan
Hasil uji tabulasi silang pada tabel 4.38 sebanyak 29,6 % partisipan
memberikan nilai 5 atau sangat dekat mengenai kedekatan remaja dengan ibu.
Alasan dari penilaian ini umumnya didominasi karena menurut partisipan, ibu
sering meluangkan waktunya untuk berbagi cerita dengan anak, dan ibu lebih
memahami anak- anaknya. Hal ini didukung oleh hasil tabel 4.6 yang mana
sebesar 47% ibu mereka merupakan ibu rumah tangga. Kondisi ini membuat
ibu mereka lebih banyak memiliki waktu bersama anak – anaknya. Hasil
distribusi frekuensi pada tabel 4.28 juga yang menyatakan bahwa sesbesar
mempunyai peran yang sangat besar. Peran ini dimulai dari proses penyusuan,
yang hanya dapat dilakukan oleh para ibu. Selanjutnya kedekatan antara ibu dan
dapat dilihat dari tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman
terangkum kedalam dua aspek relasi keluarga yaitu authority dan acceptance.
hubungan hirarkis antara orang tua dan anak. Orang tua mampu terlibat dan
sebesar 47,8% untuk relasi keluarga (ayah) dan sebesar 44,3% untuk relasi
keluarga (ibu) (lihat tabel 4.20) . Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mckoy
dan Cui (2013) mengatakan bahwa kontrol orang tua dapat dikaitkan dengan
tingkat kenakalan pada masa remaja dan prediksi perilaku kriminal di masa
dewasa muda. Semakin sedikitnya kontrol orang tua pada masa remaja akan
semakin tinggi kenakalan yang terjadi. Orang tua perlu memiliki kontrol lebih
besar atas perilaku remaja dan pengambilan keputusan pada masa ini, hal ini
untuk mengurangi perilaku beresiko seperti kenakalan. Efek jangka panjang dari
adanya kontrol orang tua selama masa remaja sangat penting untuk mengurangi
orang tua mengelola perilaku anak – anak mereka. Orang tua yang banyak
Orang tua akan menetapkan beberapa aturan dan memaksa dengan beberapa
anak dan orang tua. Penerimaan ditandai oleh sikap orang tua yang penuh kasih,
dorongan perilaku positif, dan kesediaan untuk berbagi emosi dengan anak.
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi aspek dari relasi keluarga yaitu aspek
sebesar 44,3% untuk relasi keluarga (ayah) dan kategori sangat kuat dengan
persentase sebesar 47% untuk relasi keluarga (ibu) (lihat tabel 4.20). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhatia (2012) yang
dan sikap penerimaan orang tua. Šurbanovska et al. (2017) juga memuat hal
serupa di mana remaja dengan perilaku nakal memiliki kecerdasan emosi yang
lebih rendah daripada remaja yang tidak berperilaku nakal. Remaja dengan
perilaku nakal mengalami penolakan orang tua yang lebih tinggi dan penerimaan
adalah penerimaan tanpa syarat. Salah satu cara untuk menunjukkan cinta adalah
kesalahan mereka, dan semuanya. Remaja tidak ingin merasa bahwa orang tua
bahwa orang tua mereka peduli karena adanya minat ditunjukkan oleh orang tua
mereka, banyaknya waktu berkualitas yang disediakan, dan kemauan orang tua
dan orang tua yang hangat, stabil, penuh cinta dan perhatian ini yang membentuk
Maka dari itu semakin tingginya control dan aceeptance yang dimiliki
individu maka akan membuat kecerdasan emosi semakin baik. Manusia memiliki
kebutuhan dasar yang diperoleh dari respon positif (yaitu persetujuan cinta,
101
kehangatan dan kasih sayang) dari orang – orang yang paling penting bagi
mereka kebutuhan akan respon positif ini dasar bagi perkembangan normal dan
(2011) ada kemungkinan bahwa orang tua dengan memenuhi kebutuhan anak
akan kehangatan dan kebutuhan otonomi pada masa remaja, akan menghasilkan
1992) otonomi psikologis merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan agar
psikologis adalah bahwa dukungan orang tua yang baik adalah yang berupa
dukungan otonom dan bukan dukungan direktif. Dalam dukungan otonom orang
tua bertindak sebagai fasilitator bagi anak – anak untuk menyelesaikan masalah,
membuat pilihan dan menentukan nasib sendiri. Hal ini mendukung hasil
merupakan topik yang mencangkup masa depan mereka seperti rencana kuliah,
rencana pekerjaan, rencana menikah, dan lain – lain. Pada hasil distribusi pada
tabel 4.22 juga menunjukkan sebanyak 69,6% dari seluruh partisipan merasa
biasa saja ketika mereka mengemukakan pendapat kepada orang tuanya. Orang
tua mereka memberikan saran dan pandangan tentang pilihan – pilihan yang
102
sedang mereka hadapi guna menentukan masa depan anaknya. Orang tua tidak
(2013) dengan meningkatnya tingkat otonom pada diri remaja maka akan
meningkatkan juga kerjasama diantara anak dan orang tua. Remaja tidak merasa
dibiarkan dalam hubungan orang tua – anak, dan anak akan lebih menghargai
Dari pada tabel 4.27, dapat dilihat tiga permasalahan yang sering
terjadi di antara remaja dan orang tua adalah penetapan aturan, komunikasi dan
orang tua yang terlalu perfeksionis atau banyak menunut. Sebanyak 17,4%
dengan orang tuanya. Berdasarkan tabel 4.24 aturan yang banyak diberlalukan
oleh orang tua mereka merupakan aturan jam malam atau jam bermain yaitu
konsekuensi apabila terjadi pelanggaran aturan yang dilakukan oleh remaja. Dari
hasil tabel 4.25 sebanyak 56,5% menyatakan orang tau mereka akan menasehati
orang tua menerapkan aturan dan konsekuensi tersebut secara konsisten, sesuai
tinggi yaitu dengan persentase sebesar 55,75 (lihat tabel 4.14). Begitu pula
dengan hasil uji distribusi frekuensi usia yang paling tinggi yaitu usia 17 tahun
yang mana partisipan dalam penelitian ini merupakan dalam kelompok remaja
usia pertengahan. Menurut Stanley Hall (Santrock, 2012) di masa ini individu
memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Pada masa ini
merupakan masa bergolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana
hati (mood). Pada masa ini individu akan melakukan pencarian identitas. Remaja
mengenai diri yang menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil
dikatakan. Artinya, walaupun partisipan berada pada masa yang bergolak dan
mudah berempati daripada kaum pria. Rata – rata intensitas kaum wanita dalam
merasakan seluruh rangkaian emosi lebih besar dan lebih mudah berubah – ubah
daripada kaum pria. Dari adanya penelitian ini dapat dilihat nilai tertinggi
distribusi frekuensi jenis kelamin yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
adalah remaja dengan jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 partisipan atau
104
sebesar 39,1 % (lihat tabel 4.34). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Asnawi,
dibandingkan remaja laki – laki. Menurut Goleman (1999) pada umumnya orang
tua membahas emosi lebih banyak dengan anak perempuan daripada dengan
anak laki – lakinya. Anak perempuan lebih banyak mendapat informasi tentang
individu juga sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor yang berasal dari luar diri
individu itu sendiri. Faktor ini di antaranya berupa lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial. Keluarga merupakan salah satu bentuk dari lingkungan sosial.
Individu belajar bagaimana merasakan perasaan diri sendiri dan bagaimana orang
lain menanggapi perasaan kita, berpikir tentang perasaan yang ada dalam diri dan
pilihan – pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi serta bagaimana membaca dan
mengungkapkan harapan dan rasa takut. Dari adanya penelitian ini dapat dilihat
dari nilai tertinggi distribusi frekuensi status tempat tinggal yang paling banyak
yaitu status tinggal bersama keluarga inti yang terdiri dari (ayah, ibu, anak)
dengan persentase sebesar 75,7% (lihat tabel 4.4 ). Begitu juga dengan adanya
distribusi frekuensi status pernikahan orang tua, dapat dilihat dari banyaknya
subjek yang memiliki orang tua dengan status pernikahan yaitu menikah dan
105
tinggal satu rumah dengan besar persentase 80% (lihat tabel 4.9 ). Artinya
seseorang remaja yang tinggal bersama dengan keluarga intinya atau yang
memilki orang tua yang masih bersama akan membuat kecerdasan emosimya
menjadi baik. Terbukti dari adanya nilai distribusi frekuensi kecerdasan emosi
yang cenderung tinggi (lihat tabel 4.14). Menurut Lekaviciene dan Antinieni
sendiri adalah sesuatu yang baik. Dalam penelitian ini juga dikatakan apabila
remaja yang dibesarkan bersama salah satu orang tua saja merupakan individu
5.2. KESIMPULAN
berikut:
keluarga yang kuat maka kecerdasan emosi remaja akan tinggi pula. Begitu
pula sebaliknya ketika remaja memiliki relasi keluarga yang lemah maka
3. Aspek control pada relasi keluarga baik relasi dengan ayah maupun ibu
sebagian besar kuat sedangkan pada relasi keluarga (ibu) cenderung sangat
kuat.
5.3. KETERBATASAN
diizinkan oleh pihak sekolah bertepatan dengan kegiatan ujian yang sedang
dilaksanakan oleh pihak sekolah. Sehingga dalam satu hari peneliti hanya
bisa mengambil data satu kali karena sistem kurikulum yang berlaku tidak
1. Untuk partisipan
Untuk partisipan yang sudah memiliki relasi keluarga yang kuat dan
agar dapat belajar untuk mengenali, mengontrol emosi yang dimilki dengan
cara seperti mencari tahu kelebihan dan kekurangan diri sendiri, belajar
Orang tua diharapkan mampu membina relasi yang baik dengan anak
remajanya.
108
3. Untuk Sekolah
relasi keluarga dan kecerdasan emosi dengan partisipan tidak hanya remaja
diteliti juga sejauh mana relasi keluarga terhadap kecerdasan emosi pada
dewasa awal.
melihat terlebih dahulu waktu yang tepat untuk proses pengambilan data