Anda di halaman 1dari 20

BAB 5

PENUTUP

5.1 PEMBAHASAN

Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu terkait dengan

variabel kecerdasan emosi dan relasi keluarga. Peneliti akan menguraikan hasil

analisis pengujian hipotesis yang akan dihubungkan dengan kajian teori yang

telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan tabel 4.14 menunjukkan bahwa

partisipan pada variabel kecerdasan emosi tergolong tinggi yaitu dengan

persentase sebesar 55,7%. Pada variabel relasi keluarga juga tergolong kuat yaitu

sebesar 49,6% (lihat tabel 4.16). Variabel relasi keluarga antara ayah dan

partisipan tergolong kuat (45,2%) dan variabel relasi keluarga antara ibu dan

partisipan tergolong sangat kuat (51,3%).

5.1.1. Hubungan antara Relasi Keluarga dengan Kecerdasan Emosi

Pada hasil analisis data yang telah dilakukan menyatakan terdapat

hubungan yang signifikan antara relasi keluarga dengan kecerdasan emosi

dengan nilai koefisien r = 0,608 dan p = 0,000 (p < 0,05). Hubungan kedua

variabel ini bersifat positif, artinya semakin kuat relasi keluarga yang dimiliki

individu, maka akan semakin tinggi pula kecerdasan emosi yang dimilikinya.

89
90

Berdasarkan hasil uji regresi ganda stepwise relasi keluarga memberikan

sumbangan efektif sebesar 36,9% .

Dari hasil uji hipotesis dapat diketahui pada penelitian ini sesuai

dengan penelitian Merida (2008) yang melibatkan subjek remaja dengan ibu

sebagai TKI dan berpisah dengan anaknya ketika masih berusia anak – anak dan

usia sekolah. Pada penelitian tersebut menujukan hasil terdapat hubungan

antara relasi keluarga dengan kecerdasan emosi dengan nilai p < 0,05 (p =

0,004; r = 0,486).

Penelitian ini didukung juga dengan hasil tabulasi silang pada tabel

4.30, di mana sebesar 31,3% partisipan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi

dan relasi keluarga yang kuat. Dari hasil beberapa pengujian tersebut dapat

dikatakan bahwa individu yang memiliki relasi keluarga yang kuat tentunya

dapat menunjang kecerdasan emosi yang baik. Selaras dengan hal tersebut

penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2014) juga menyatakan apabila ada

korelasi yang signifikan antara kematangan emosi dan hubungan keluarga siswa

remaja. Sikap orang tua secara signifikan menyertai proses perkembangan

remaja.

Menurut Ulfiah (2016) relasi keluarga adalah suatu hubungan yang

saling memengaruhi antara ayah, ibu, dan anak yang dilakukan melalui

komunikasi atau interaksi sosial yang memerlukan suatu keharmonisan, ikatan

emosional, dan adaptasi agar hubungan ini berjalan dengan baik sehingga dapat

mewujudkan harapan dan tujuan bersama. Thompson (Lestari, 2012)


91

berpendapat apabila hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan

merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan

keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain

semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh

positif bagi perkembangan. Oleh karena itu relasi keluarga merupakan salah

satu komponen yang dapat membantu kecerdasan emosi seseorang berkembang

menjadi lebih baik. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengenali

perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri

sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan

dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999).

Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya hanya terdapat tiga

posisi sosial, yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak – sibling (Ulfiah, 2016).

Hubungan orang tua dan anak merupakan salah satu bentuk interaksi sosial

yang terdapat pada keluarga inti. Interaksi timbal balik ini muncul dari kegiatan

yang saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain antara orang tua dan

anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2012) hubungan timbal balik ini penting

sekali karena tidak jarang orang tua memberi kasih sayang kepada anak, yang

tidak dirasakan oleh anak. Sebaliknya, karena anak tidak merasakannya mereka

pun tidak membalasnya dan tidak belajar menyatakan cinta kasih. Menurut

Berns (Ulfiah, 2016) keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang

pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan

berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.


92

Pendekatan interaksi orang tua – anak memfokuskan pada hubungan

dua pihak (dyadic) dan memandang hubungan orang tua – anak sebagai bagian

dari suatu keseluruhan. Orang tua dan anak sama – sama dianggap mempunyai

kontribusi terhadap proses pengasuhan. Hubungan orang tua dan anak bersifat

interaksional. Perilaku orang tua akan memengaruhi perilaku anak dan

sebaliknya perilaku anak akan memengaruhi respon orang tuanya.

Hinde (Lestari,2012) mengatakan bahwa orang tua dan anak

berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai

interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan

antisipasi terhadap interaksi di kemudian hari. Orang tua dan anak sama – sama

memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi

keduanya. Setiap relasi orang tua – anak bersifat unik yang melibatkan dua

pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak

yang lain. Interaksi orang tua – anak yang telah terjadi membentuk suatu

cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan

pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan bertindak

pada suatu situasi. Karena relasi orang tua anak bersifat kekal, masing – masing

membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Šurbanovska et al. (2017), bahwa

ada korelasi statistik yang signifikan antara interaksi orang tua dan anak dengan

beberapa komponen kecerdasan emosi baik pada remaja yang berperilaku nakal

maupun tidak. Pengaturan emosi didorong oleh orang tua dan anak yang
93

mengembangkan keterampilan emosional. Hal ini dilakukan melalui pengajaran

dan percakapan secara tidak langsung di mana anak belajar dari meniru orang

tua. Jika orang tua menekankan emosi mereka, maka anak itu akan mengadopsi

strategi tersebut dan menekankan emosinya seperti yang dilakukan oleh orang

tua.

Buruknya interaksi remaja dengan lingkungan intim mereka dapat

melemahkan kecerdasan emosi yang mereka milki. Relasi keluarga yang kuat

dianggap mendukung anggotanya dalam menghadapi saat – saat menegangkan

dan juga membantu menyelesaikan masalah konflik menggunakan keterampilan

pemecahan masalah. Pemecahan masalah menyiratkan kemampuan keluarga

untuk mengenali dan mendiskusikan masalah secara tepat dengan tujuan

memperbaiki situasi dan membantu anggota keluarga mengatasi masalah yang

timbul secara efektif. Hal ini mendukung hasil pada tabel 4.21 di mana

sebanyak 61,7% dari partisipan memilih cara yang positif ketika mereka

memiliki masalah dengan temannya. Mereka memilih untuk menyelesaikan

konflik dengan cara membicarakan secara bersama – sama. Dengan hasil pada

tabel ini dapat digambarkan bagaimana kemampuan pemecahan masalah yang

biasa digunakan oleh remaja dan keluarganya.

5.1.1.1. Hubungan Relasi Keluarga (Ayah) dan Kecerdasan Emosi

Pada hasil analisis data yang telah dilakukan menyatakan terdapat

hubungan antara relasi keluarga (ayah) dengan kecerdasan emosi dengan nilai
94

koefisien r = 0,497 dan p = 0,000. Hubungan kedua variabel ini besifat positif,

artinya semakin kuat relasi keluarga (ayah) yang dimiliki individu, maka akan

semakin tinggi pula kecerdasan emosi yang dimilikinya. Hasil tabulasi silang

antara relasi keluarga (ayah) dengan kecerdasan emosi menunjukkan p < 0,05

(p = 0,000) yang menjukkan terdapat asosiasi diantara kedua variabel tersebut.

Syarifah et al. (2012) dalam penelitiannya mendapatkan hasil terdapat

hubungan positif yang signifikan antara persepsi remaja terhadap keterlibatan

ayah dalam pengasuhan dengan kematangan emosi. Semakin positif persepsi

terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka semakin tinggi tingkat

kematangan emosi remaja. Tingginya tingkat kematangan emosi yang dimiliki

oleh remaja membuat dirinya mampu berpikir secara kritis terhadap berbagai

keputusan yang akan diambil, sehingga lebih berhati – hati dalam bertindak dan

berperilaku.

Gottman dan DeClaire (Andayani & Koentjoro, 2004) menekankan

pentingnya ayah terlibat langsung pada anak karena gaya laki – laki ayah akan

memberi kesempatan pada kecerdasan emosi anak untuk berkembang.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan melibatkan unsur fisik dan kognitif. Ayah

akan melakukan kontak – kontak fisik dengan anaknya baik dalam bentuk

sentuhan, ataupun permainan. Dalam permainan ayah cenderung menggunakan

permainan yang bersifat fisik dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini akan

memberikan pengalaman emosional yang berbeda pada anak dibandingkan

ketika berinteraksi dengan ibunya yang cenderung lebih bersifat lembut.


95

Ketika seorang ayah memanfaatkan sisi emosionalitsnya ia akan

terlibat dengan hangat ketika berinteraksi dengan anaknya. Mereka dapat

membelai melakukan kontak bahasa, berbicara, atau bercanda dengan anaknya.

Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak. Tindakan –

tindakan ini merupakan cara ayah untuk memperkenalkan anak dengan

lingkungan hidupnya dan dapat mempengaruhi anak dalam menghadapi

perubahan sosial dan membantu perkembangan kognitifnya (Ulfiah, 2016).

Hasil uji tabulasi silang pada tabel 4.37 mengatakan sebanyak 20,9%

dari total partisipan memberikan nilai 3 atau netral mengenai kedekatan remaja

dengan ayah. Alasan dari penilaian ini umumnya didominasi karena menurut

mereka, ayah sibuk bekerja atau lokasi tempat bekerjanya di luar kota sehingga

membuat jarang bertemu. Hal ini didukung oleh hasil pada tabel 4.5 di mana

sebanyak 26,1% partisipan memiliki ayah yang bekerja sebagai karyawan

swasta, 21,7% sebagai pedagang atau pengusaha, dan 20% sebagai pegawai

negeri sipil.

Pada penelitian yang dilakukan Han dan Jun (2013), ayah lebih sering

terlibat dalam memberikan penghasilan secara signifikan. Keterlibatan ayah

yang lebih besar dalam memberikan penghasilan dapat mempengaruhi waktu

yang dihabiskan bersama anak – anak mereka dalam mengembangkan tanggung

jawab, kemandirian atau kedisiplinan.

Andayani dan Koentjoro (2004) berpendapat bahwa keterlibatan ayah

dalam pengasuhan anak masih sangat minimal, dan keterlibatan yang minimal
96

biasanya anak menghasilkan sensitivitas yang rendah terhadap kebutuhan anak.

Tidak adanya asuhan dan perhatian ayah dapat menyebabkan perkembangan

anak menjadi pincang. Anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya

cenderung memiliki kemampuan akademis yang menuru, aktivitas sosial

terhambat, dan interaksi sosial terbatas. Bahkan bagi anak laki – laki, ciri

maskulinnya atau ciri kelaki – lakian dapat menjadi kabur.

Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat

dalam perkembangan anak. Perlu komitmen kuat dari seorang ayah untuk hadir

dalam setiap tahap perkembangan buah hati agar dapat membangun kualitas

individu menjadi lebih sempurna dan pada tingkat makro dalam mencegah

penurunan moral anak bangsa, serta untuk lingkup mikro, yakni keutuhan dan

kedamaian internal keluarga.

5.1.1.2. Hubungan Relasi Keluarga (Ibu) dan Kecerdasan Emosi

Pada hasil analisis data yang telah dilakukan menyatakan terdapat

hubungan antara relasi keluarga (ibu) dengan kecerdasan emosi dengan nilai

koefisien r = 0,510 dan p = 0,000 . Hubungan kedua variabel ini besifat positif,

artinya semakin kuat relasi keluarga (ibu) yang dimiliki individu, maka akan

semakin tinggi pula kecerdasan emosi yang dimilikinya.

Pada penelitiannya, Han dan Jun (2013) mengatakan bahwa ibu secara

signifikan lebih terlibat dalam fungsi ekspresif daripada ayah. Keterlibatan ibu

lebih besar dalam pengasuhan, persahabatan, perkembangan emosi & tugas -


97

tugas ekspresif lainnya. Ibu dianggap lebih terlibat dalam hal kecerdasan emosi,

pengembangan intelektual, pengembangan kompetensi, mentoring dan

pemberian saran.

Gunarsa dan Gunarsa (1991) berpendapat apabila wanita sebagai ibu

berperan sebagai model yang tingkah lakunya mudah diamati dan ditiru oleh

anak. Ibu berperan menjadi pendidik yang memberi pengarahan, dorongan dan

pertimbangan bagi perbuatan – perbuatan anak untuk membentuk perilaku. Ibu

juga merupakan konsultan untuk anak yang memberi nasehat, pertimbangan,

pengarahan dan bimbingan. Ibu merupakan sumber informasi yang memberikan

pengetauhan, pengertian, dan penerangan.

Hasil uji tabulasi silang pada tabel 4.38 sebanyak 29,6 % partisipan

memberikan nilai 5 atau sangat dekat mengenai kedekatan remaja dengan ibu.

Alasan dari penilaian ini umumnya didominasi karena menurut partisipan, ibu

sering meluangkan waktunya untuk berbagi cerita dengan anak, dan ibu lebih

memahami anak- anaknya. Hal ini didukung oleh hasil tabel 4.6 yang mana

sebesar 47% ibu mereka merupakan ibu rumah tangga. Kondisi ini membuat

ibu mereka lebih banyak memiliki waktu bersama anak – anaknya. Hasil

distribusi frekuensi pada tabel 4.28 juga yang menyatakan bahwa sesbesar

47.8% dari seluruh partisipan lebih memilih mencurahkan cerita atau

perasaannya kepada ibu.

Keyakinan bahwa anak adalah urusan ibu, bukanlah keyakinan yang

didominasi oleh masyarakat Indonesia saja melainkan suatu keyakinan yang


98

lebih bersifat universal sebagaimana diyakini di berbagai budaya di dunia ini.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam perkembangan seorang anak, ibu

mempunyai peran yang sangat besar. Peran ini dimulai dari proses penyusuan,

yang hanya dapat dilakukan oleh para ibu. Selanjutnya kedekatan antara ibu dan

anak akan membentuk suatu ikatan emosional diantara keduanya. Ikatan

emosional ini diyakini menjadi landasan bagi seorang anak untuk

mengeksplorasi dunianya. Dengan kelekatan ini individu akan membangun

hubungan dengan orang lain dilikungannya (Andayani dan Koentjoro, 2004).

5.1.2. Hubungan Aspek Relasi Keluarga dengan Kecerdasan Emosi

Menurut Chen (Lestari, 2012), kualitas hubungan orang tua- anak

dapat dilihat dari tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman

(security), kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan

(responsiveness) dalam hubungan mereka. Keempat hal tersebut kemudian

terangkum kedalam dua aspek relasi keluarga yaitu authority dan acceptance.

Control mengacu pada keterampilan orang tua yang membangun

hubungan hirarkis antara orang tua dan anak. Orang tua mampu terlibat dan

menunjukkan keterampilan kepemimpinan dan pengetauhan, menentukan aturan,

serta memberikan perawatan. Anak sendiri terlibat dalam penerimaan dan

menghormati orang tuanya.

Berdasarkan hasil distribusi frekuensi aspek dari relasi keluarga yaitu

aspek control menujukkan kategori yang cenderung kuat dengan persentase


99

sebesar 47,8% untuk relasi keluarga (ayah) dan sebesar 44,3% untuk relasi

keluarga (ibu) (lihat tabel 4.20) . Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mckoy

dan Cui (2013) mengatakan bahwa kontrol orang tua dapat dikaitkan dengan

tingkat kenakalan pada masa remaja dan prediksi perilaku kriminal di masa

dewasa muda. Semakin sedikitnya kontrol orang tua pada masa remaja akan

semakin tinggi kenakalan yang terjadi. Orang tua perlu memiliki kontrol lebih

besar atas perilaku remaja dan pengambilan keputusan pada masa ini, hal ini

untuk mengurangi perilaku beresiko seperti kenakalan. Efek jangka panjang dari

adanya kontrol orang tua selama masa remaja sangat penting untuk mengurangi

perilaku kriminal ketika memasuki masa dewasa muda.

Peraturan mengajarkan kontrol diri pada anak dan membantu mereka

menghindari perilaku antisosial. Kontrol merupakan hubungan sejauh mana

orang tua mengelola perilaku anak – anak mereka. Orang tua yang banyak

melakukan kontrol mendiktekan banyak aspek perilaku anak, dan mereka

mengharapkan anak – anak mereka tanpa ragu mematuhi perintah mereka.

Orang tua akan menetapkan beberapa aturan dan memaksa dengan beberapa

konsekuensi jika aturan tersebut dilanggar (Rice & Dolgin, 2008).

Acceptance mengacu pada penerimaan tanpa pamrih, dan keterlibatan

anak dan orang tua. Penerimaan ditandai oleh sikap orang tua yang penuh kasih,

dorongan perilaku positif, dan kesediaan untuk berbagi emosi dengan anak.

Berdasarkan hasil distribusi frekuensi aspek dari relasi keluarga yaitu aspek

acceptance menunjukkan kategori yang cenderung kuat dengan persentase


100

sebesar 44,3% untuk relasi keluarga (ayah) dan kategori sangat kuat dengan

persentase sebesar 47% untuk relasi keluarga (ibu) (lihat tabel 4.20). Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhatia (2012) yang

mengatakan apabila terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi

dan sikap penerimaan orang tua. Šurbanovska et al. (2017) juga memuat hal

serupa di mana remaja dengan perilaku nakal memiliki kecerdasan emosi yang

lebih rendah daripada remaja yang tidak berperilaku nakal. Remaja dengan

perilaku nakal mengalami penolakan orang tua yang lebih tinggi dan penerimaan

orang tua yang lebih sedikit.

Rice & Dolgin (2008) mengatakan komponen cinta yang penting

adalah penerimaan tanpa syarat. Salah satu cara untuk menunjukkan cinta adalah

dengan mengetahui dan menerima remaja persis seperti keadaan mereka,

kesalahan mereka, dan semuanya. Remaja tidak ingin merasa bahwa orang tua

mereka mengharapkan mereka menjadi sempurna. Beberapa para remaja tahu

bahwa orang tua mereka peduli karena adanya minat ditunjukkan oleh orang tua

mereka, banyaknya waktu berkualitas yang disediakan, dan kemauan orang tua

untuk mendampingi ketika mereka membutuhkan bantuan. Ikatan antara anak

dan orang tua yang hangat, stabil, penuh cinta dan perhatian ini yang membentuk

adanya suatu koneksi antara anak dan orang tua.

Maka dari itu semakin tingginya control dan aceeptance yang dimiliki

individu maka akan membuat kecerdasan emosi semakin baik. Manusia memiliki

kebutuhan dasar yang diperoleh dari respon positif (yaitu persetujuan cinta,
101

kehangatan dan kasih sayang) dari orang – orang yang paling penting bagi

mereka kebutuhan akan respon positif ini dasar bagi perkembangan normal dan

penarikan afeksi. Menurut penelitian yang dilakukan Asghari dan Besharat

(2011) ada kemungkinan bahwa orang tua dengan memenuhi kebutuhan anak

akan kehangatan dan kebutuhan otonomi pada masa remaja, akan menghasilkan

kekuatan dan motivasi dalam dirinya untutk mendapatkan kemampuan yang

diperlukan dalam pengaturan diri dan mencapai kompetensi emosional.

Dari ketiga dimensi yang disebutkan oleh Steinberg et al. (Maccoby,

1992) otonomi psikologis merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan agar

pengasuhan menjadi lebih optimal. Perlu diperhatikan pada komponen otonomi

psikologis adalah bahwa dukungan orang tua yang baik adalah yang berupa

dukungan otonom dan bukan dukungan direktif. Dalam dukungan otonom orang

tua bertindak sebagai fasilitator bagi anak – anak untuk menyelesaikan masalah,

membuat pilihan dan menentukan nasib sendiri. Hal ini mendukung hasil

ditribusi frekuensi pada tabel 4.23 di mana sebanyak 40,9% partisipan

menyatakan apabila topik yang sering didiskusikan dengan orang tuanya

merupakan topik yang mencangkup masa depan mereka seperti rencana kuliah,

rencana pekerjaan, rencana menikah, dan lain – lain. Pada hasil distribusi pada

tabel 4.22 juga menunjukkan sebanyak 69,6% dari seluruh partisipan merasa

biasa saja ketika mereka mengemukakan pendapat kepada orang tuanya. Orang

tua mereka memberikan saran dan pandangan tentang pilihan – pilihan yang
102

sedang mereka hadapi guna menentukan masa depan anaknya. Orang tua tidak

memaksakan kehendak atau keinginan mereka pada anak – anaknya.

Menurut penelitian yang dilakukan Karabanova dan Poskrebysheva

(2013) dengan meningkatnya tingkat otonom pada diri remaja maka akan

meningkatkan juga kerjasama diantara anak dan orang tua. Remaja tidak merasa

dibiarkan dalam hubungan orang tua – anak, dan anak akan lebih menghargai

dukungan dan keterlibatan orang tua dalam kehidupan mereka.

Dari pada tabel 4.27, dapat dilihat tiga permasalahan yang sering

terjadi di antara remaja dan orang tua adalah penetapan aturan, komunikasi dan

orang tua yang terlalu perfeksionis atau banyak menunut. Sebanyak 17,4%

partisipan merasa penetapan aturan merupakan sumber permasalahan mereka

dengan orang tuanya. Berdasarkan tabel 4.24 aturan yang banyak diberlalukan

oleh orang tua mereka merupakan aturan jam malam atau jam bermain yaitu

sebesar 47%. Selain menetapkan peraturan, orang tua juga memberikan

konsekuensi apabila terjadi pelanggaran aturan yang dilakukan oleh remaja. Dari

hasil tabel 4.25 sebanyak 56,5% menyatakan orang tau mereka akan menasehati

atau membicarkan bersama – sama ketika remaja melakukan pelanggaran. Kedua

orang tua menerapkan aturan dan konsekuensi tersebut secara konsisten, sesuai

dengan hasil pada tabel 4.26.


103

5.1.3. Temuan Lain

Dari hasil distribusi frekuensi kecerdasan emosi tergolong cenderung

tinggi yaitu dengan persentase sebesar 55,75 (lihat tabel 4.14). Begitu pula

dengan hasil uji distribusi frekuensi usia yang paling tinggi yaitu usia 17 tahun

yang mana partisipan dalam penelitian ini merupakan dalam kelompok remaja

usia pertengahan. Menurut Stanley Hall (Santrock, 2012) di masa ini individu

memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Pada masa ini

merupakan masa bergolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana

hati (mood). Pada masa ini individu akan melakukan pencarian identitas. Remaja

yang berhasil mengatasi krisis identitas akan tumbuh dengan penghayatan

mengenai diri yang menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil

mengatasi krisis identitas menderita kebingungan identitas, seperti yang

dikatakan. Artinya, walaupun partisipan berada pada masa yang bergolak dan

diwarnai doleh konflik serta perubahan suasana hati, partisipan mampu

mengatasi masalah tersebut karena partisipan memiliki kecerdasan emosi yang

baik sehingga partisipan mampu mengatasi krisis identitas dengan baik.

Menurut Goleman (1999) secara rata – rata kaum perempuan lebih

mudah berempati daripada kaum pria. Rata – rata intensitas kaum wanita dalam

merasakan seluruh rangkaian emosi lebih besar dan lebih mudah berubah – ubah

daripada kaum pria. Dari adanya penelitian ini dapat dilihat nilai tertinggi

distribusi frekuensi jenis kelamin yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi

adalah remaja dengan jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 partisipan atau
104

sebesar 39,1 % (lihat tabel 4.34). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Asnawi,

Sombuling dan Madlan (2017) yang mengatakan apabila terdapat perbedaan

antara remaja laki – laki dan perempuan terhadap perkembangan kecerdasan

emosi. Remaja perempuan mempunyai kecerdasan emosi lebih tinggi

dibandingkan remaja laki – laki. Menurut Goleman (1999) pada umumnya orang

tua membahas emosi lebih banyak dengan anak perempuan daripada dengan

anak laki – lakinya. Anak perempuan lebih banyak mendapat informasi tentang

emosi daripada anak laki – laki.

Selain faktor internal seperti usia dan jenis kelamin perkembangan

individu juga sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor yang berasal dari luar diri

individu itu sendiri. Faktor ini di antaranya berupa lingkungan fisik maupun

lingkungan sosial. Keluarga merupakan salah satu bentuk dari lingkungan sosial.

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi.

Individu belajar bagaimana merasakan perasaan diri sendiri dan bagaimana orang

lain menanggapi perasaan kita, berpikir tentang perasaan yang ada dalam diri dan

pilihan – pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi serta bagaimana membaca dan

mengungkapkan harapan dan rasa takut. Dari adanya penelitian ini dapat dilihat

dari nilai tertinggi distribusi frekuensi status tempat tinggal yang paling banyak

yaitu status tinggal bersama keluarga inti yang terdiri dari (ayah, ibu, anak)

dengan persentase sebesar 75,7% (lihat tabel 4.4 ). Begitu juga dengan adanya

distribusi frekuensi status pernikahan orang tua, dapat dilihat dari banyaknya

subjek yang memiliki orang tua dengan status pernikahan yaitu menikah dan
105

tinggal satu rumah dengan besar persentase 80% (lihat tabel 4.9 ). Artinya

seseorang remaja yang tinggal bersama dengan keluarga intinya atau yang

memilki orang tua yang masih bersama akan membuat kecerdasan emosimya

menjadi baik. Terbukti dari adanya nilai distribusi frekuensi kecerdasan emosi

yang cenderung tinggi (lihat tabel 4.14). Menurut Lekaviciene dan Antinieni

(2016) dalam penelitiannya iklim psikologis dalam keluarga penting untuk

tingkat kecerdasan emosi. Dalam sebuah keluarga perasaan hangat yang

mendominasi di antara anggota mereka dan pemahaman serta kendali emosi

sendiri adalah sesuatu yang baik. Dalam penelitian ini juga dikatakan apabila

remaja yang dibesarkan bersama salah satu orang tua saja merupakan individu

yang sulit mengimplementasikan kontrol emosi pada dirinya.

5.2. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan

dalam penelitian ini, maka peneliti mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa variabel relasi keluarga

berhubungan secara langsung yang bersifat positif dengan kecerdasan

emosi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya relasi

keluarga yang kuat maka kecerdasan emosi remaja akan tinggi pula. Begitu

pula sebaliknya ketika remaja memiliki relasi keluarga yang lemah maka

kecerdasan emosinya akan buruk.


106

2. Relasi keluarga dengan ayah maupun dengan ibu sama – sama

menunjukkan berkorelasi positif dengan kecerdasan emosi.

3. Aspek control pada relasi keluarga baik relasi dengan ayah maupun ibu

cenderung kuat, sedangkan untuk aspek acceptance pada relasi (ayah)

sebagian besar kuat sedangkan pada relasi keluarga (ibu) cenderung sangat

kuat.

4. Remaja memberikan penilaian sangat dekat dengan ibu karena mereka

beranggapan bahwa ibu lebih banyak meluangkan waktu dan lebih

memahami anak- anaknya.

5.3. KETERBATASAN

Dalam penelitian ini, peneliti memiliki kendala saat pengambilan data

siswa di SMAN 4 dan SMAN 1 Malang. Waktu pengambilan data yang

diizinkan oleh pihak sekolah bertepatan dengan kegiatan ujian yang sedang

dilaksanakan oleh pihak sekolah. Sehingga dalam satu hari peneliti hanya

bisa mengambil data satu kali karena sistem kurikulum yang berlaku tidak

memungkinkan peneliti untuk mengambil data pada hari lainnya.


107

5.4. SARAN PENELITIAN

5.4.1. Saran Bagi Partisipan Penelitian

1. Untuk partisipan

Untuk partisipan yang sudah memiliki relasi keluarga yang kuat dan

kecerdasan emosi yang tinggi agar terus dipertahankan. Individu yang

masih termasuk dalam kategori kecerdasan emosi yang rendah diharapkan

agar dapat belajar untuk mengenali, mengontrol emosi yang dimilki dengan

cara seperti mencari tahu kelebihan dan kekurangan diri sendiri, belajar

menyesuaikan diri dalam segala situasi, dan meluangkan waktu untuk

membina hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Individu yang masih

masuk kedalam kategori relasi keluarga yang lemah dapat memperbaiki

relasi keluarga dengan cara meningkatkan intensitas bertemu orang tua

dengan meningkatkan waktu bersama, bercerita atau berdiskusi bersama.

2. Untuk orang tua

Pentingnya kecerdasan emosi dalam perkembangan remaja sehingga orang

tua diharapkan lebih memerhatikan keadaan anak remaja dan

memperbanyak kegiatan bersama remaja. Orang tua khususnya ayah

diharapkan lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan anak –

anaknya. Orang tua diharapkan memerhatikan kebutuhan anak remajanya.

Orang tua diharapkan mampu membina relasi yang baik dengan anak

remajanya.
108

3. Untuk Sekolah

Sekolah diharapkan mulai memperhatikan pentingnya kecerdasan emosi

pada diri siswa. Diharapkan sekolah memiliki kegiatan – kegiatan yang

mampu mengembangkan kecerdasan emosi pada diri siswa. Sehingga

siswa memiliki wadah untuk mengembangkan kemampuannya.

5.4.2. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya

1. Saran untuk penelitian selanjutnya dapat melanjutkan penelitian mengenai

relasi keluarga dan kecerdasan emosi dengan partisipan tidak hanya remaja

pertengahan saja namun pada partisipan dewasa awal, sehingga dapat

diteliti juga sejauh mana relasi keluarga terhadap kecerdasan emosi pada

dewasa awal.

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan ketika melakukan pengambilan data

melihat terlebih dahulu waktu yang tepat untuk proses pengambilan data

agar dapat memungkinkan mengambil data dalam kelas.

Anda mungkin juga menyukai