Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai psychology well-being sudah banyak dilakukan
sebelumnya. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang kemudian akan dikaitkan
dengan penelitian yang akan dilakukan. Sehingga dapat ditemukannya unsur
kebaharuan dari penelitin ini. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan:
Dalam penelitian Cripps & Zyromski (2009), dengan judul “Adolescents’
Psychological Well-Being and Perceived Parental Involvement: Implications for
Parental Involvement in Middle Schools”. Hasil penelitian menunjukkan tingkat
dan jenis keterlibatan orang tua yang dirasakan oleh remaja, berkorelasi dengan
kesejahteraan psikologis remaja. Keterlibatan orang tua yang dirasakan secara
positif mempengaruhi perasaan remaja kesejahteraan psikologis, terutama pada
hubungan teman sebaya, harga diri, dan evaluasi diri.
Yamawaki et al. (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Self-esteem
and life satisfaction as mediators between parental bonding and psychological
well-being in Japanese young adults”. Penelitian ini mengeksplorasi peran mediasi
harga diri dan kepuasan hidup dalam hubungan antara ikatan orang tua (perawatan
dan perlindungan) dengan kesehatan mental (kepuasan hidup, harga diri, dan
kesejahteraan psikologis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri
sepenuhnya memediasi hubungan antara ikatan orang tua dan kesehatan mental
secara umum. Penelitian ini menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang dirasakan
mempengaruhi kesejahteraan psikologis dewasa awal di Jepang.
Kassa & Rao (2019) melakukan penelitian yang berjudul “Parenting Styles
and Psychological Well-Being: The Mediating Role of Academic Achievement”.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara gaya
pola asuh orang tua dan kesejahteraan psikologis dengan prestasi akademik sebagai
peran mediasi. Hasil penelitian menunjukkan hubungan positif dan signifikan
antara gaya pengasuhan dengan kesejahteran psikologis. Selain itu, hasil penelitian
juga mengungkapkan bahwa prestasi akademik memediasi hubungan antara gaya
pengasuhan dan kesejahteraan psikologis remaja.

8
9

Dalam penelitian Ge (2020), dengan judul “Effect of socioeconomic status


on children’s psychological well-being in China: The mediating role of family
social capital”. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara status
sosial ekonomi dengan kesejahteraan psikologis anak dan untuk mengetahui
pengaruh mediasi modal sosial keluarga (keterlibatan orang tua dan hubungan
orang tua dan anak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi
tidak berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan mental anak. Namun,
dua indikator dari modal sosial keluarga yaitu keterlibatan orang tua dan hubungan
orang tua-anak, memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan psikologis anak.
Sebagai indikator modal sosial keluarga, keterlibatan orang tua dan hubungan orang
tua-anak memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan psikologis anak.
Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka diatas, dapat diketahui bahwa
kesejahteraan psikologis memiliki hubungan dengan keterlibatan orang tua (Cripps
& Zyromski, 2009 dan Ge, 2020), ikatan orang tua (Yamawaki et al., 2011), dan
gaya pengasuhan orang tua (Kassa & Rao, 2019). Dalam penelitian ini, peneliti
akan melihat hubungan antara keterlibatan orang tua dengan kesejahteraan
psikologis pada siswa. Penelitian ini akan mengkaji keterlibatan orang tua berbasis
rumah dan sekolah. Keterlibatan orang tua di rumah dan sekolah ini, sering diukur
dalam studi yang ada dan dalam penelitian ini variabel digunakan untuk membantu
memahami hubungan antara keterlibatan orang tua dan kesejahteraan psikologis
anak.
Dalam penelitian Lavasani et al. (2011) dengan judul “The relationship
between perceived parenting styles, social support with psychological well- being”.
Dukungan sosial berdiri sebagai variabel prediksi untuk kesejahteraan psikologis.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dukungan sosial menunjukkan hubungan
yang signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Orang tua berperan dalam
memberikan dukungan sosial kepada anak-anaknya khususnya peran
mengembangkan posisi psikologis dan sosial mereka.
Penelitian Emadpoor et al. (2016) dengan judul “Relationship Between
Perceived Social Support and Psychological Well-Being Among Students Based On
Mediating Role of Academic Motivation”. Penelitian dilakukan untuk menyelidiki
hubungan antara dukungan sosial yang dirasakan dan kesejahteraan psikologis di
10

kalangan siswa dengan motivasi akademik sebagai mediator. Hasil penelitian


menunjukkan bahwa dukungan sosial yang dirasakan secara langsung dan memiliki
hubungan positif signifikan terhadap kesejahteraan psikologis dan motivasi
akademik. Hasil analisis jalur mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang
dirasakan mungkin secara tidak langsung berpengaruh pada kesejahteraan
psikologis melalui peran mediasi motivasi akademik.
Penelitian Alshammari et al. (2021) dengan judul “Social support and
adolescent mental health and well-being among Jordanian students”. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dukungan sosial dikaitkan
dengan kesehatan mental remaja Yordania. Penelitian ini menemukan bahwa
dukungan sosial dikaitkan dengan kepuasan hidup dan harga diri yang lebih tinggi.
Dukungan social memiliki hubungan negatif dengan depresi. Hasil penelitian
menggarisbawahi peran penting dari dukungan sosial, terutama dukungan keluarga.
Dukungan ini penting bagi kesehatan mental remaja dan kesejahteraan siswa.
Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka, peneliti akan melakukan penelitian
terkait hubungan dukungan social dengan psychology well-being. Dukungan social
dari orang tua adalah focus dari penelitian ini. Melihat bagaimana dukungan social
yang diberikan oleh orang tua dapat dirasakan oleh anak. Sesuai dengan penelitian
Alshammari et al. (2021) yang menekankan bahwa dukungan social keluarga
penting bagi kesehatan mental dan kesejahteraan anak.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Psychologycal Well-Being
2.2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being
Secara historis, penelitian kesehatan mental secara dramatis telah mengubah
aspek disfungsi mental. Namun, studi tentang fungsi psikologis positif sangat
sedikit dibandingkan dengan studi masalah kesehatan mental. Faktanya, istilah
dasar dari kesehatan mental memiliki makna negative, yaitu menyamakan
penggunaan kesehatan dengan the absence of illness dari pada the presence of
wellness. Formulasi seperti itu mengabaikan kemampuan dan kebutuhan manusia
untuk berkembang dan memiliki fungsi perlindungan yang berhubungan dengan
Well-Being (Ryff & Singer, 1996).
11

Dalam Ryan & Deci (2001) Well-being (kesejahteraan) merupakan struktur


kompleks yang mencakup pengalaman dan fungsi yang optimal. Kesejahteraan
berasal dari dua perspektif umum: Pertama, pendekatan hedonis yang berfokus pada
kebahagiaan dan mendefinisikan kesejahteraan dalam kehidupan, dalam hal
pencapaian kesenangan dan penghindaran rasa sakit. Kedua, pendekatan
eudaimonic yang berfokus pada makna dan realisasi diridan mendefinisikan
kesejahteraan dalam hal sejauh mana seseorang berfungsi penuh.
Keyes et al (2002) memperluas perbedaan terkait well-being, yang
kemudian menyebutnya dengan subjective well-being (SWB) dan psychological
well-being (PWB). Istilah ini digunakan untuk menekankan bahwa tidak hanya
indicator dari kebahagiaan (hedonic well-being), tetapi juga penilaian kognitif
terhadap kepuasan hidup secara konsisten masuk dalam studi SWB. Selain itu,
beberapa aspek PWB (misalnya, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup), yang lain
(misalnya, hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri) yang
mencerminkan aktualisasi diri dalam arti kebahagiaan (eudaimonic well-being).
SWB dan PWB juga merupakan istilah komprehensif yang paling umum digunakan
dalam studi dan berdasarkan laporan subjektif, keduanya terkait dengan
kesejahteraan mental.
Menurut Ryff & Singer (1998) kesejahteraan psikologis (PWB) memiliki
pandangan terkait dengan dengan pendekatan eudaimonic untuk kesejahteraan.
Teori Kesejahteraan Psikologis, berpendapat bahwa eudaimonic kesejahteraan
terdiri dari enam konstruksi tingkat tinggi: keterkaitan, otonomi, pertumbuhan
pribadi, penerimaan diri, tujuan hidup, dan penguasaan lingkungan (Steger et al.,
2008). Ketika orang membangun sumber daya seperti kecakapan, kemampuan, atau
hubungan yang lebih baik, mereka cenderung mempertahankan persepsi bahwa
hidup itu memuaskan dan bermakna. Dengan kata lain, melalui aktivitas
eudaimonic orang mengembangkan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Ryff & Keyes (1995) memeberikan gambaran mengenai psychological
well-being yang lebih komprehensif. Memandang psychological well-being
berdasarkan sejauh mana individu memiliki tujuan hidup, apakah individu
menyadari potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, dan
sejauh mana individu merasa bertanggung jawab atas hidupnya.
12

Menurut Ryff (1989) kesejahteraan psikologis adalah istilah yang


digunakan untuk menggambarkan kesehatan mental individu berdasarkan kriteria
fungsi psikologis positif. Perspektif fungsi psikologis positif ini menggunakan teori
aktualisasi diri dari Maslow, teori individu yang berfungsi penuh dari Roger,
formulasi Jung tentang individuasi, dan teori konseptual kedewasaan dari Allport.
Definisi kesejahteraan psikologis dari teori perkembangan rentang hidup terkait
dengan konsep psikologis Erikson. Konsep ini menunjukkan bahwa pada setiap
tahap perkembangan individu akan menghadapi tantangan yang berbeda dan
individu akan cenderung untuk mencapai tujuan hidupnya. Teori-teori tersebut
kemudian disatukan dan menjadi dasar untuk menyaring enam komponen kunci
kesejahteraan yaitu, purpose in life, self-acceptance, autonomy, positive
relationship, environmental mastery, dan personal growth (Ryff, 2015).
2.2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being
Dimensi kesejahteraan psikologis yang digambarkan dalam konsep
kesejahteraan psikologis menurut Ryff (2015) terdiri dari 6 aspek. Berikut
penjelasan rinci dari aspek kesejahteraan psikologis pada individu yang memiliki
kesejahteraan psikologis tinggi dan rendah oleh Ryff (Ryff, 1989; Ryff, 2013),
yaitu:
1. Autonomy
Menggambarkan karakteristik dari fungsi manusia yang positif: mandiri,
menentukan sendiri, dan mengatur diri sendiri. Aktualis diri digambarkan sebagai
berfungsi secara otonom dan tahan budaya (Maslow). Seseorang yang berfungsi
penuh digambarkan memiliki tempat evaluasi internal (Rogers) di mana seseorang
tidak mencari persetujuan dari orang lain dan mengevaluasi dirinya sendiri dengan
kriteria pribadi. Individualisasi juga disebut pembebasan dari adat (Jung). Teori
rentang hidup menekankan pentingnya menjadi batin di paruh kedua kehidupan
(Ericsson) dan memperoleh rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur
kehidupan sehari-hari (Newgarten).
Individu yang memiliki otonomi tinggi mampu melawan tekanan social untuk
berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, mengatur perilaku dari dalam, dan
mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki
otonomi rendah, mereka khawatir tentang harapan dan evaluasi dari orang lain,
13

bergantung pada penilaian orang lain untuk menjadikannya penting keputusan,


menyesuaikan diri dengan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara
tertentu.
2. Environmental Mastery
Memiliki kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan dirinya. Kebutuhan psikis adalah karakteristik utama dari kesehatan
mental (Jahoda), yang mencerminkan semacam kesesuaian antara dunia luar dan
dunia batin seseorang. Teori rentang hidup menunjukkan pentingnya kemampuan
untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, terutama di
usia paruh baya, dan kemampuan untuk bertindak, dan mengubah dunia di sekitar
mereka melalui aktivitas mental dan fisik (Ericsson, Newgarten). Kedewasaan
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperluas ke area aktivitas yang
melampaui diri (Allport). Bersama-sama, perspektif ini menyampaikan bahwa
partisipasi aktif dan upaya untuk menguasai lingkungan merupakan faktor penting
untuk fungsi psikologis yang positif.
Individu yang berada dikategori tinggi akan memiliki rasa penguasaan dan
kompetensi dalam mengelola lingkungan hidup, mengontrol rangkaian kompleks
aktivitas eksternal, memanfaatkan peluang di sekitarnya secara efektif, mampu
memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.
Sedangkan individu yang berada dikategori rendah, memiliki kesulitan mengelola
urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau memperbaiki konteks di
sekitarnya, tidak menyadari peluang sekitarnya, dan tidak memiliki rasa kontrol
atas dunia luar.
3. Personal Growth
Aspek kesejahteraan ini berkaitan dengan aktualisasi diri dan pencapaian
potensi pribadi. Dengan demikian dapat digarisbawahi aspek dinamis dari fungsi
positif yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Aktualisasi diri berfokus pada
pembentukan kepribadian (Maslow), seperti kesehatan mental yang positif
(Jahoda). Deskripsi tentang orang yang berfungsi penuh (Rogers) dan makna
menjadi individu sepenuhnya (Jung) juga menekankan gagasan untuk mewujudkan
diri sejati seseorang. Teori rentang hidup juga memberikan penekanan yang jelas
14

untuk menghadapi tantangan dan tugas baru pada periode kehidupan yang berbeda
(Erikson, Buehler, Neugarten).
Individu yeng berada dikategori tinggi, memiliki perasaan pengembangan
yang berkelanjutan, melihat dirinya dapat tumbuh dan berkembang, terbuka untuk
pengalaman baru, memiliki rasa menyadari potensinya, melihat peningkatan diri
dan perilaku dari waktu ke waktu, dan berubah dengan cara yang lebih
mencerminkan pengetahuan diri dan efektivitas. Sedangkan individu yang berada
dikategori rendah, memiliki rasa stagnasi pada dirinya, tidak memiliki rasa
peningkatan atau perkembangan dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak
tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu mengembangkan sikap atau
perilaku baru.
4. Positive Relation With Others
Kemampuan untuk mencintai dianggap sebagai atribut penting dari
kesehatan mental (Jahoda). Aktualisasi diri digambarkan memiliki perasaan empati
yang kuat dan kasih sayang yang kuat untuk semua, cinta yang besar, persahabatan
yang mendalam, dan identitas yang dekat dengan orang lain (Maslow). Hubungan
yang hangat dengan orang lain dianggap sebagai kriteria utama kedewasaan
(Allport). Teori tahap perkembangan dewasa (Erikson), menekankan pencapaian
hubungan yang dekat dengan orang lain (intimacy), dan tertarik untuk membimbing
dan mengarahkan orang lain (generative).
Individu yang berada pada kategori tinggi, memiliki hubungan yang hangat,
memuaskan, dan saling percaya dengan orang lain, prihatin dengan kesejahteraan
orang lain, mampu kuat empati, kasih sayang dan keintiman, serta memahami
tentang memberi dan menerima hubungan manusia. Sebaliknya individu yang
berada pada kategori rendah, memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling
percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk bersikap hangat, terbuka, peduli
terhadap orang lain, terisolasi dan frustrasi dalam hubungan interpersonal, tidak
mau berkompromi untuk mempertahankan hubungan penting dengan orang lain.
5. Purpose In Life
Memiliki keyakinan yang membuat individu merasa tujuan dan makna
dalam hidup adalah bagian dari kesehatan mental yang positif (Jahoda). Definisi
kedewasaan juga mencakup pemahaman yang jelas tentang tujuan seseorang, yang
15

penting dalam memberikan arah dan orientasi hidup (Allport). Teori rentang hidup
menggambarkan perubahan tujuan, atau sasaran pada berbagai tahap kehidupan,
seperti menjadi kreatif atau produktif di usia paruh baya, dan beralih ke integrasi
emosional di kemudian hari (Erikson, Neugarten, Jung).
Individu yang berada pada kategori tinggi, memiliki tujuan dalam hidup dan
hidupnya lebih tertata, merasa ada makna untuk kehidupan sekarang dan masa lalu,
memegang keyakinan yang memberi tujuan hidup, memiliki maksud dan tujuan
untuk hidup. Sedangkan individu yang berada pada kategori rendah, tidak memiliki
rasa makna dalam hidup; memiliki sedikit tujuan atau sasaran, tidak memiliki arah;
tidak melihat tujuan dalam kehidupan lampau; tidak memiliki pandangan atau
keyakinan yang memberi makna hidup.
6. Self-acceptance
Harga diri yang positif merupakan atribut penting dari aktualisasi diri
(Maslow), kedewasaan (Allport), fungsi optimal (Rogers), dan kesehatan mental
(Jahoda). Teori rentang hidup juga menekankan bahwa pentingnya penerimaan diri,
termasuk kehidupan dimasa lalu (Erikson, Neugarten). Proses individuasi (Jung)
menambah penyempurnaan penting pada aspek kesejahteraan, yaitu kebutuhan
untuk menghadapi sisi gelap diri sendiri (bayangan). Bentuk penerimaan diri ini
lebih kompleks daripada pandangan standar harga diri, karena melibatkan
pengakuan dan penerimaan kekuatan dan kelemahan individu.
Individu yang memiliki self-acceptance tinggi, memiliki sikap positif
terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, termasuk baik
dan buruk, merasa positif tentang kehidupan masa lalu. Sedangkan individu yang
memiliki self-acceptance rendah, akan merasa tidak puas dengan diri sendiri,
kecewa dengan apa yang telah terjadi di kehidupan lampau, bermasalah dengan
kualitas pribadi, dan ingin berbeda dari apa yang telah dimiliki.
Selain dimensi yang dikonsepkan oleh Ryff, ada beberapa aspek
kesejahteraan psikologis menurut Ingersoll-Dayton et al., (2004), yaitu:
1. Harmony. Mengalami interaksi yang damai dan bahagia dengan dan di antara
anggota keluarga, teman, dan tetangga; keberhasilan anak seseorang dalam
pekerjaannya tanggung jawab dan hubungan keluarga.
16

2. Interdependence. Memberikan bantuan kepada dan menerima bantuan dari


anggota keluarga dan orang lain.
3. Respect. Merasa nasihat seseorang diperhatikan dan kebijaksanaan seseorang
dihargai.
4. Acceptance. Melepaskan pikiran yang mengganggu dan menerima keadaan
hidup.
5. Enjoyment. Merasa nasihat seseorang diperhatikan dan kebijaksanaan seseorang
dihargai.
2.2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Psychology Well-Being
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi kesejhateraan psikologis
menurut Ryff (1989):
1. Faktor Demografis
Faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan
budaya.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian,
penghargaan, atau pertolo-ngan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang
didapat berbagai sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja,
dokter, maupun organisasi sosial.
3. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai
periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki
pengaruh yang penting terhadap kesejahteraan psikologis.
4. Religiusitas
Dalam hakikatnya seorang indidvidu yang memiliki tingkat religiusitas
yang tinggi akan lebih mampu memaknai hidupnya secara positif dan
menjadikan hidupnya lebih bermakna
5. Kepribadian
Individu yang memiliki kepribadian yang sehat adalah individu yang
memiliki coping skill yang efektif, sehingga individu tersebut mampu
mengahindari stres dan konflik, memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial,
17

seperti penerimaan diri dan mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan
lingkungan.
Psychological well-being dapat diukur dengan beberapa instrument,
diantaranya dalam penelitian Ingersoll-Dayton et al. (2004) pengukuran
menggunakan Thai measure of psychological well-being. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Gao & McLellan (2018), psychological well-being diukur dengan
The Scales of Psychological Well-being (SPWB). Penelitian ini menggunakan
SPWB yang diadaptasi dari penelitian Gao & McLellan (2018), dengan aspek
otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, positif
hubungan dengan orang lain dan penerimaan diri.
Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini merujuk pada aspek
kesejahteraan psikologis menurut (Ryff, 1989). Hal ini dikarenakan secara
bersama-sama, dimensi ini berfokus pada perasaan baik, bahagia, positif, atau puas
dengan kehidupan. Selain itu, indikator-indikator dalam dimensi di atas sejalan
dengan perspektif eudiamonic.
2.2.2 Parental Involvement
2.2.2.1 Pengertian Parental Involvement
Dalam pendidikan istilah keterlibatan orang tua digunakan untuk
menggambarkan berbagai praktik pengasuhan orang tua, dari keyakinan pendidikan
dan harapan pencapaian akademik hingga berbagai perilaku yang diterapkan orang
tua untuk meningkatkan pencapaian akademik anak-anak dan hasil pendidikan
lainnya (Seginer, 2006). Seginer (2006) memperluas definisi untuk
menggambarkan keterlibatan orang tua berbasis rumah yang berkaitan dengan
praktik terkait pendidikan yang terjadi di rumah, yang mengacu pada tiga aspek:
motivasi (misalnya, memberi anak dukungan dan menetapkan standar prestasi),
kognitif (misalnya, mengajarkan anak untuk membaca dan memecahkan masalah
logika atau matematika), dan perilaku (misalnya, mengajar rutinitas yang
berhubungan dengan sekolah, terutama yang terkait perilaku sekolah dan tugas
sekolah). Keterlibatan orang tua berbasis sekolah seperti mendukung sekolah di
berbagai bidang, mulai dari akademik, kegiatan ekstrakurikuler dan tugas
pemeliharaan sekolah, serta berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan pertemuan
orang tua-guru.
18

Menurut Hill & Tyson (2009) keterlibatan orang tua didefinisikan sebagai
interaksi orang tua dengan sekolah dan dengan anak-anak mereka untuk
meningkatkan keberhasilan akademik. Keterlibatan orang tua mencakup beberapa
aspek, diantaranya home-based involvement, school-based involvement, dan
academic socialization (Hill & Tyson, 2009). Komunikasi antara orang tua dan
anak termasuk dalam aspek home-based involvement. Sedangkan, komunikasi
antara orang tua dan guru termasuk dalam aspek school-based involvement.
Kemudian academic socialization mencakup, aspirasi dan harapan orang tua
terhadap pendidikan anaknya. Oleh karena itu, home-based involvement dan
school-based involvement lebih menunjukkan pada perilaku orang tua, sedangkan
keterlibatan orang tua dalam bentuk academic socialization merupakan keterlibatan
non-perilaku orang tua (Li et al., 2019). Home-based involvement dan school-based
involvement sering dikategorikan sebagai keterlibatan orang tua dalam berbagai
penelitian, sedangkan academic socialization tidak selalu dikategorikan sebagai
keterlibatan orang tua (Guo et al., 2018).
2.2.2.2 Dimensi Parental Involvement
Seginer (2006) merumuskan beberapa aspek yang berhubungan dengan
keterlibatan orang tua berbasis rumah dan berbasis sekolah, berikut penejelasannya:
1. Keterlibatan orang tua berbasis rumah
Berkaitan dengan aktivitas keterlibatan pendidikan harian orang tua di rumah,
seperti pemantauan, bantuan kognitif, dan dukungan emosional.
2. Keterlibatan orang tua berbasis sekolah
Menghasilkan dua faktor: (a) komunikasi dengan sekolah, terutama ketika masalah
yang melibatkan anak; dan (b) menjadi sukarelawan untuk membantu pendidikan
sekolah kegiatan.
Hill & Tyson (2009) merumuskan tiga dimensi keterlibatan orang tua, yaitu
keterlibatan berbasis rumah, keterlibatan berbasis sekolah, dan sosialisasi
akademik. Berikut penjelasan lebih rinci terkait dimensi keterlibatan orang tua,
yaitu:
1. Home-based Involvement
Termasuk strategi seperti komunikasi antara orang tua dan anak tentang
sekolah, keterlibatan dalam pekerjaan sekolah (misalnya, bantuan pekerjaan
19

rumah), membawa anak-anak ke acara dan tempat yang mendukung keberhasilan


akademik (misalnya museum, perpustakaan, dll.), dan menciptakan lingkungan
belajar di rumah yang nyaman (misalnya, menyediakan fasilitas dan media belajar
yang mudah diakses, seperti buku, koran, internet, dan mainan edukatif).
a. Keterlibatan akademik orang tua. Meurpakan jenis keterlibatan orang tua di
rumah yang artinya orang tua membantu anaknya di rumah terkait dengan
kegiatan akademik, keputusan, dan perencanaan.
b. Komunikasi Orang tua-anak. Merupakan pertukaran atau diskusi antara
orang tua dan anak tentang informasi factual dan emotional.
2. School-Based Involvement
Termasuk kunjungan orang tua ke sekolah untuk berpartisispasi dalam acara
sekolah (misalnya, pertemuan wali murid, open rumah, dll), berpartisipasi dalam
tata kelola sekolah, menjadi sukarelawan di sekolah, dan menjalin komunikasi
antara orang tua dan anggota sekolah. Komunikasi orang tua-guru merupakan jenis
keterlibatan orang tua dalam berkomunikasi, yaitu komunikasi antara orang tua dan
sekolah.
3. Academic Socialization
Termasuk mengkomunikasikan harapan orang tua untuk pendidikan dan
nilai-nilai atau manfaat pendidikan, menghubungkan tugas sekolah dengan
peristiwa terkini, mempromosikan pendidikan dan aspirasi karir, mendiskusikan
strategi pembelajaran dengan anak-anak, dan mempersiapkan dan merencanakan
masa depan.
Beberapa dimensi atau factor dari parental involvement dalam Gürbüztürk
& Şad (2010), diantaranya:
1. Komunikasi dengan guru/sekolah
Orang tua menghubungi guru atau administrator di sekolah untuk
bertukar informasi tentang kemajuan anak dan saling saran.
2. Membantu pekerjaan rumah
Orang tua memantau dan memberi umpan balik secara efektif terhadap
tugas, tugas sekolah, dan kegiatan berbasis rumah serupa.
3. Pengembangan pribadi
20

Pengembangan diri orang tua agar lebih terlibat dalam pendidikan anak-
anak mereka, mis. Oleh membaca tentang perkembangan anak atau
mengikuti kurikulum baru.
4. Volunteering
Secara sukarela mengikuti kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.
5. Komunikasi dengan anak
Komunikasi yang mendorong dan demokratis dengan anak berdasarkan
kepercayaan.
6. Mengaktifkan pengaturan rumah
Kemampuan orang tua untuk mengatur lingkungan rumah baik secara
fisik maupun emosional untuk memfasilitasi perkembangan anak
mempelajari.
7. Mendukung pengembangan kepribadian
Membantu anak menjadi bertanggung jawab, percaya diri, mandiri,
bertanya, meneliti orang.
8. Mendukung pengembangan sosial budaya
Mendukung dan mendorong anak-anak untuk mengambil bagian dalam
acara sosial, budaya, seni dan kegiatan seperti teater, pramuka, puisi,
musik dan olahraga.
Parental involvement dapat diukur dengan beberapa instrument,
diantaranya dalam penelitian Gürbüztürk & Şad (2010) pengukuran dilakukan
dengan menggunakan Turkish Parental Involvement Scale (TPIS). Penelitian oleh
Toren (2013), pengukuran parental involvement dilakukan menggunakan skala
parental involvement yang diadaptasi dari Seginer (2006). Penelitian ini akan
menggunakan pengukuran parental involvement yang diadaptasi dari Toren (2013).
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti merujuk pada aspek parental
involmenet dari Seginer (2006), yaitu keterlibatan orang tua berbasis rumah dan
berbasis sekolah. Sesuai dengan penelitian Guo et al. (2018) yang menunjukkan
bahwa keterlibatan orang tua berbasis rumah dan berbasis sekolah sering
dikategorikan sebagai keterlibatan orang tua.
21

2.2.3 Dukungan Sosial


2.2.3.1 Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial secara konseptual didefinisikan sebagai penyediaan
sumber daya psikologis dan material yang ditujukan untuk membantu penerima (S.
Cohen, 2004). Konsep dukungan sosial berdampak positif pada kesejahteraan
psikologis individu, telah menjadi focus penelitian sejak pertengahan 1970-an
(Zimet et al., 1988). Dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai sumber daya yang
diberikan kepada individu oleh orang lain (S. Cohen & Syme, 1985). Dukungan
sosial juga dapat didefinisikan sebagai dukungan yang diberikan kepada individu
oleh individu yang membangun jaringan sosial. Oleh karena itu, dukungan sosial
menciptakan aspek fungsional jaringan social (Martínez-Hernáez et al., 2016).
Dukungan sosial secara umum dapat dikategorikan ke dalam berbagai jenis, seperti
dukungan emosional, instrumental, informasi dan evaluasi (Wong et al., 2014).
Cohen dan Wills (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai bantuan dan
dukungan yang diterima seseorang melalui interaksi dengan orang lain. Dukungan
sosial telah diusulkan sebagai salah satu faktor perlindungan stress, termasuk:
sistem sosial sebagai sumber kesejahteraan (S. Cohen & Wills, 1985).
Dukungan sosial adalah hubungan subjektif, dan sumber dukungan berasal
dari keluarga, teman, dan orang penting lainnya (Zimet et al., 1988). Dukungan
sosial yang diberikan kepada seorang individu diharapkan dapat membantu
individu untuk memiliki motivasi yang tinggi untuk keberhasilan dalam menjalani
seluruh proses aktifitasnya, termasuk yang berhubungan dengan akademik
keterikatan. Dukungan sosial didefinisikan sebagai dukungan yang bermanfaat
melalui dukungan fisik atau emosional kepada seseorang, termasuk keluarga,
teman, staf sekolah, organisasi sosial, dan jejaring sosial online (Camara et al.,
2014).
Malecki & Demaray (2002) melihat dukungan sosial sebagai dukungan
umum atau persepsi individu tentang dukungan atau dukungan khusus dari orang-
orang di jaringan social mereka (orang tua, sekolah, guru, teman dekat, teman
sekelas), yang dapat meningkatkan fungsi mereka dan dapat melindungi dari
dampak yang merugikan. Dukungan umum atau perilaku dukungan khusus
22

didefinisikan secara luas yang mencakup emosional, instrumental, Informasi dan


bantuan dengan penilaian.
2.2.3.2 Dimensi Dukungan Sosial
Menurut Zimet et al. (1988) dukungan sosial yang dirasakan oleh individu
dibagi menjadi tiga sumber, yaitu keluarga, teman, dan orang-orang penting
lainnya. Berikut penjelasan rinci sumber dukungan social, yaitu:
1. Keluarga. Dikatakan sebagai sumber dukungan sosial karena dalam keluarga
hubungan, hubungan saling percaya terbentuk antara anggota.
2. Orang lain yang Signifikan. Merupakan sumber dukungan sosial karena orang
lain yang signifikan adalah individu yang penting untuk seseorang dan sangat
mempengaruhi orang tersebut.
3. Teman. Dikatakan sebagai sumber dukungan social karena persahabatan itu
dianggap mendukung hubungan yang saling mendukung, saling menjaga, dan
saling memberikan kasih sayang dan hadiah fisik.
Berbagai jenis dukungan social menurut Tardy (1985), berikut penjelasan
beberapa dukungan social menurut Tardy:
1. Appraisal yaitu erdiri dari umpan balik atau informasi evaluatif yang diberikan
kepada seseorang.
2. Emosional yaitu engacu pada perilaku peduli, berbagai jenis kepercayaan,
kepedulian, empati, penerimaan, dan interaksi intim dari orang lain.
3. Instrumental yaitu terdiri dari perilaku membantu dalam berbagai bentuk, seperti
memberi uang, membantu bertindak dalam situasi sulit, menghabiskan waktu
berharga bersama kepada seseorang yang membutuhkan.
4. Informational yaitu terdiri dari penyediaan pengetahuan atau nasihat seperti
wawasan yang berharga sebagai pemecahan masalah, memberikan informasi,
bimbingan, dan nasehat yang dibutuhkan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengambil konsep dukungan social dari
Tardy (1985) yang menggambarkan dukungan sosial berasal dari berbagai sumber
(misalnya, orang tua, guru, teman, dll.) dan dari berbagai jenis (misalnya, penilaian,
emosional, instrumental, dan informasional). Dalam penelitian ini, dukungan social
menggunakan konsep dari Tardy dan dukungan social yang tersedia bagi siswa
23

yaitu dari orang tua. Dalam penelitian ini akan mewakili empat jenis dukungan dari
Tardy yaitu penilaian, emosional, instrumental dan informasional.
2.3 Kerangka Berpikir
2.3.1 Keselarasan antara Parental Involvement yang dilakukan Orang Tua
dengan Parental Involvement yang dirasakan Anak
Keterlibatan orang tua yang dirasakan memiliki dampak positif atau negatif
pada kesejahteraan psikologis remaja, terutama yang berkaitan dengan harga diri
dan harga diri, hubungan teman sebaya, dan frekuensi kejadian negatif dalam
kehidupan keluarga (Wilkinson, 2004). Masa remaja menentukan harga diri, efikasi
diri, dan harga diri individu berdasarkan persepsi yang diterima melalui keterlibatan
orang tua. Akibatnya, mungkin tersirat bahwa keterlibatan orang tua yang dirasakan
penting untuk kesejahteraan psikologis remaja (Cripps & Zyromski, 2009).
Dalam penelitian Liu et al. (2021) telah menemukan bahwa orang tua
melaporkan tingkat keterlibatan orangtua yang lebih rendah daripada anak-anak
mereka. Sama halnya dengan penelitian Liu et al. (2022) juga menunjukkan bahwa
orang tua dan anak-anak mereka memiliki persepsi yang berbeda tentang
keterlibatan orangtua. Orang tua dapat melaporkan tingkat keterlibatan orang tua
yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada anak-anak mereka.
Berbeda dengan penelitian DePlanty et al. (2007) yang menemukan bahwa
tingkat keterlibatan orangtua yang dilaporankan orang tua lebih tinggi daripada
anak-anak mereka. Siswa merasakan tingkat keterlibatan orang tua yang lebih
rendah daripada yang dilaporkan orang tua mereka. Walaupun perbedaan antara
persepsi tentang keterlibatan orang tua antara siswa dan orang tua dapat diprediksi,
beberapa penelitian telah mengeksplorasi perbedaan antara persepsi mereka.
Mengingat sifat orang tua yang beragam dengan berbagai keterlibatan dan kondisi
kesehatan mental remaja yang beragam pula.
Penelitian yang dilakukan Thomas et al. (2020) ditemukan bahwa orang tua
secara signifikan menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada siswa. Dalam
penelitian tersebut, orang tua mendapat skor tertinggi karena ketertarikannya
dengan apa terjadi di sekolah dan apa yang dipelajari anak di sekolah, tetapi
menunjukkan nilai yang rendah untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.
Sebagai perbandingan, siswa memberikan nilai terendah untuk partisipasi orang tua
24

dalam kegiatan sekolah dan harapan orang tua terhadap kinerja mereka. Selain itu,
uji sampel berpasangan dilakukan untuk membandingkan skor orang tua dan siswa
mengenai keterlibatan orang tua. Secara keseluruhan, ada perbedaan yang
signifikan dalam persepsi keterlibatan orang tua antara orang tua dan siswa.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pada tingkat item, siswa dan orang tua
secara signifikan ada perbedaan pada semua item. Perbedaan terbesar terlihat pada
minat orang tua terhadap apa yang dipelajari anak di sekolah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (DePlanty et al., 2007; Thomas et
al., 2020; Liu et al., 2021; Liu et al., 2022) yang menyatakan bahwa adanya
perbedaan yang signifikan mengenai persepsi keterlibatan orang tua antara orang
tua dan siswa. Sehingga diketahui bahwa adanya perbedaan antara keterlibatan
yang dilakukan oleh orang tua dengan keterlibatan orang tua yang dirasakan oleh
anak.
2.3.2 Keselarasan antara Dukungan Sosial yang diberikan Orang Tua
dengan Dukungan social yang dirasakan Anak
Dukungan sosial yang dirasakan mengacu pada sejauh mana remaja percaya
bahwa mereka dapat memperoleh dukungan dari sumber dalam lingkungan sosial
mereka (keluarga, teman, guru, dan teman sekelas), terutama ketika mereka
membutuhkan bantuan (Bokhorst et al., 2010). Dukungan sosial di masa remaja
adalah sebagai dasar untuk proses perkembangan, seperti mengatasi stres dan
kesulitan dan pertumbuhan pribadi (Bi et al., 2021).
Crow & Seybold (2013) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi
mengenai dukungan social antara remaja dan orang tua. Persepsi orang tua tentang
dukungan sosial mereka tampak lebih positif daripada persepsi remaja.
Kesenjangan dukungan sosial antara orang tua dan remaja berkaitan dengan
kematangan dan aspek perkembangan. Oleh karena itu, tidak adanya korelasi yang
signifikan antara persepsi orang tua dan remaja terkait dengan dukungan social.
Dalam penelitian Bartoszuk et al. (2021) melihat tugas-tugas yang dapat
dilakukan orang tua untuk anak-anak mereka, baik orang tua maupun siswa
menunjukkan bahwa orang tua melakukan semua tugasnya. Namun, terdapat
perbedaan yang signifikan antara laporan dari orang tua dan anak. Ditemukan hanya
dalam satu tugas, di mana orang tua melaporkan bahwa mereka menyelesaikan
25

lebih banyak tugas daripada anak mereka. Pada skala dukungan sosial, siswa
menunjukkan bahwa orang tua mereka memberikan dukungan sosial yang jauh
lebih banyak daripada yang dilaporkan orang tua mereka. Mengenai dukungan
keuangan, siswa melaporkan menerima lebih banyak dukungan daripada yang
dilaporkan orang tua mereka, tetapi perbedaannya relatif kecil.
Niermann et al. (2020) menunjukkan bahwa persepsi anak dan orang tua
tentang dukungan orang tua berbeda secara signifikan. Kesepakatan antara persepsi
anak dan orang tua tentang dukungan sosial kurang baik. Diagram menunjukkan
bahwa tingkat persepsi anak lebih rendah daripada tingkat persepsi orang tua yang
lebih tinggi terkait dukungan social.
Berdasarkan penelitian (Niermann et al., 2022; Bartoszuk et al. 2021; Crow
dan Seybold 2013) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara laporan orang tua dan anak terkait dukungan sosial. Sehingga dalam hal ini
adanya perbedaan antara dukungan social yang diberikan oleh orang tua dengan
dukungan social yang dirasakan oleh anak.
2.3.3 Hubungan antara Parental Involvement dengan Psychological Well-
Being
Dalam penelitian Baig et al. (2021) yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara keterlibatan orang tua dengan kesejahteraan remaja di Oman.
Keterlibatan orang tua memainkan peran positif dalam semua aspek kesejahteraan
pemuda Oman. Keterlibatan orang tua berkorelasi positif dengan masing-masing
variabel dependen Y (perilaku, kesehatan fisik, dan hasil kesehatan mental).
Singkatnya, penelitian ini meneliti bagaimana keterlibatan orang tua mempengaruhi
kesejahteraan mental dan fisik remaja di Oman. Keterlibatan orang tua telah
ditemukan menjadi faktor pelindung penting untuk perilaku berisiko, kesehatan
mental dan fisik yang buruk.
Wang et al., (2018) dalam penelitiannya ditemukan bahwa tingkat
keterlibatan orang tua berbasis rumah tergolong tinggi, kemudian dikaitkan dengan
tingkat gangguan mental yang rendah. Artinya siswa memiliki tingkat kesehatan
mental (depresi) yang rendah ketika tingkat keterlibatan orang tua berbasis rumah
tinggi. Sheikh-khalil & Wang, (2014) dalam penenlitiannya ditemukan bahwa
tingkat keterlibatan orang tua berbasis sekolah tergolong tinggi, kemudian
26

dikaitkan dengan kecenderungan depresi yang lebih rendah. Artinya, siswa


memiliki tingkat depresi yang rendah ketika tingkat keterlibatan orang tua berbasis
sekolah tergolong tinggi. Hasil dari penelitian menunjukkan peran penting
keterlibatan dan dukungan orang tua bagi remaja, menekankan pentingnya persepsi
remaja tentang keterlibatan dan dukungan orang tua. Keterlibatan orang tua
berbasis rumah dan sekolah sering dianggap sebagai keterlibatan orang tua dalam
berbagai penelitian (Guo et al., 2018).
Berdasarkan penelitian oleh Baig et al. (2021), Sheikh-khalil dan Wang
(2014) dan Wang et al. (2018), dapat diketahui bahwa parental involvement
(keterlibatan orang tua) memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis. Oleh
karena itu, terdapat hubungan antara parental involvement dengan psychological
well-being.
2.3.4 Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being
Dalam penelitian Kurudirek et al. (2022) dengan tujuan untuk melihat
hubungan antara dukungan social dengan kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian
menemukan bahwa tingkat dukungan sosial yang dirasakan oleh remaja dan
kesejahteraan psikologis mereka cukup baik. Terdapat hubungan yang positif dan
kuat antara skor dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis. Artinya, ketika
tingkat dukungan sosial yang dirasakan di kalangan remaja meningkat, maka secara
positif kesejahteraan psikologis mereka juga meningkat.
Penelitian yang dilakukan Adyani et al. (2019) hasil penelitian
membuktikan bahwa adanya hubungan positif antara dukungan social dengan
kesejahteraan psikologis. Artinya apabila dukungan social meningkat, maka
kesejahteraan psikologis juga akan meningkat. Siswa yang dianggap mendapat
dukungan sosial dikabarkan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik.
Terungkap bahwa siswa yang memiliki pandangan positif mengenai dukungan
sosial cenderung lebih puas dan mempunyai kecemasan yang lebih rendah pada hal
masalah akademik.
Dalam penelitian M Nashich & S Palupi (2020) dilakukan untuk
mengidentifikasi hubungan antara dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis
mahasiswa. Hasil studi menunjukkan bahwa dukungan sosial dengan kesejahteraan
psikologis memiliki hubungan yang signifikan. Hasil uji hipotesis menunjukkan
27

nilai positif yang berarti apabila dukungan sosial meningkat, maka kesejahteraan
psikologis juga akan meningkat.
Berdasarkan penelitian Kurudirek et al. (2022), Adyani et al. (2019), dan
Nashich & S Palupi (2020), ditemukan bahwa dukungan social dengan
kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang signifikan. Karena hal tersebut,
maka terdapat hubungan antara dukungan social dengan kesejahteraan psikologis.
2.3.5 Hubungan antara Parental Involvement dan Dukungan Sosial dengan
Psychological Well-Being
Dalam penelitian Ruholt et al. (2015) mengkaji peran orang tua terhadap
kesejahteraan akademik siswa remaja. Hasil ini menunjukkan bahwa dukungan
orang tua dan keterlibatan orang tua sama pentingnya untuk kesejahteraan
akademik siswa. Lavasani et al. (2011) dalam penelitiannya menyelidiki hubungan
antara gaya pengasuhan orangtua, dukungan sosial terhadap kesejahteraan
psikologis. Temuannya mengungkapkan bahwa persepsi gaya pengasuhan otoriter
dan permisif menunjukkan secara signifikan memiliki hubungan negatif dengan
kesejahteraan psikologis, seperti dukungan sosial menunjukkan secara signifikan
memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan psikologis. Perlu bagi orang tua
yang berperan sebagai orang tua dan mendukung anak-anak mereka secara sosial
terutama peran mengembangkan posisi psikologis dan sosial mereka
Sharma & Kaushik (2016) menunjukkan bahwa ada hubungan negatif dan
tidak signifikan antara prental involvement dan persived social support terhadap
tekanan psikologis (psychological distress). Hasil korelasi antara parental
involvement dan psychological distress menunjukkan hubungan yang negative.
Carlson (2006) mengatakan bahwa remaja tidak menunjukkan tekanan psikologis
dan terlibat dalam perilaku berisiko ketika memiliki tingkat keterlibatan orang tua
yang lebih tinggi dan hubungan yang lebih dekat dengan orang tua mereka. Artinya
ketika tingkat keterlibatan orang tua tinggi maka tingkat psychological distress
rendah. Ketika berhubungan negative dengan psychological distress, maka akan
berhubungan positif dengan psychological well-being. Sesuai dengan penelitian
Baig et al. (2021) yang menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dan
psychological well-being memiliki hubungan.
28

Begitupula dengan social support dan psychological distress yang


menunjukkan hubungan yang negative (Sharma & Kaushik, 2016). Menurut Cohen
& Wills (1985) ketika individu memiliki persepsi mengenai adanya dukungan
social dari anggota dalam jaringan sosialnya, maka individu tersebut memiliki
psychological well-being yang tinggi dan psychological distress yang rendah.
Berdasarkan hal tersebut maka dukungan social memiliki hubungan yang positif
dengan psychological well-being (Dewayani et al., 2011). Sesuai dengan penelitian
Ruholt et al. (2015) dan Lavasani et al. (2011) yang menunjukkan bahwa dukungan
social dan psychological well-being memiliki hubungan. Berdasarkan penjelasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan orang tua dan dukungan social
sama-sama memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis.
Menurut Ryff (1989) faktor‐ faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis antara lain faktor demografi, dukungan sosial, evaluasi terhadap
pengalaman hidup, religiusitas dan kepribadian. Dari faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis, keterlibatan keluarga termasuk dalam
factor demografi yaitu social ekonomi dan budaya yang dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis. Dimana keluarga (ayah dan ibu) akan terlibat dalam
kehidupan anak secara material untuk kesejahteraan anak.
Selain itu salah satu factor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) adalah dukungan social yang bersumber dari pasangan,
keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial. Dukungan social
keluarga (orangtua) merupakan salah satu factor yang dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis anak.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir


29

2.4 Hipotesis
Berdasarkan penjelasan dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan diatas,
peneliti dapat merumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Adanya keselarasan antara parental involvement yang dilakukan orang
tua dengan parental involvement yang dirasakan anak
2. Adanya keselarasan antara dukungan sosial yang diberikan orang tua
dengan dukungan social yang dirasakan anak
3. Terdapat hubungan positif antara parental involvement dengan
psychological well-being
4. Terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan psychological
well-being
5. Terdapat hubungan antara parental involvement dan dukungan sosial
dengan psychological well-being

Anda mungkin juga menyukai