Anda di halaman 1dari 19

Nama : Nur Isnaeni Ari Astuti

NIM : 17081723

Judul : “KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS REMAJA DENGAN ORANG TUA BERCERAI”

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan salah satu masa perkembangan dalam kehidupan


manusia. Ada begitu banyak sudut pandang yang digunakan untuk dapat
mendefinisikan remaja. Banyak tokoh yang memberikan definisi remaja seperti
Papalia dan Olds (2001) yang mendefinisikan masa remaja adalah masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya
dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berahir pada usia akhir belasan tahun
atau awal dua puluh tahun. Menurut Hall (dalam Sarwono, 2011) masa remaja
merupakan masa sturm und drang (topan dan badai), masa penuh emosi dan
ada kalanya emosinya meledak-ledak, yang muncul karena adanya pertentangan
nilai-nilai. Emosi yang menggebu-gebu ini ada kalanya menyulitkan, baik bagi si
remaja maupun bagi orang tua/ orang dewasa disekitarnya.

Remaja yang hidup di lingkungan keluarga broken home berpotensi


mengalami banyak permasalahan dalam perkembangan kehidupannya mulai
dari masalah pergaulan, masalah akademik, maupun masalah perkembangan
kepribadian, misalnya menjadi anak pemurung, menarik diri dari pergaulan,
rendah diri, merasa sulit untuk beradaptasi dengan teman-temannya, lebih
senang menyendiri serta mudah marah atau sensitive. Ketidakhadiran orang tua
atau ditinggalkan dari salah seorang orang tuanya dapat menimbulkan emosi,
dendam, sedih, marah, dan benci sehingga dapat mengakibatkan perkembangan
anak terganggu (Astuti, 2015). Selain itu, menurut Kartono (2010) akibat dalam
keluarga yang kurang harmonis, anak tidak mendapat kebutuhan fisik ataupun
psikis, anak menjadi risau, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci,
sehingga anak menjadi kacau dan nakal (Kartono, 2010).

Keluarga yang harmonis merupakan harapan setiap individu dalam


kehidupan berumah tangga terutama bagi anak. Seorang anak selalu memiliki
harapan agar kedua orang tuanya memiliki hubungan yang harmonis. Namun
harapan tersebut tidak selalu dapat terpenuhi salah satunya dikarenakan adanya
perceraian dari orang tua. Perceraian sendiri merupakan perpisahan yang legal
antara sepasang suami istri sebelum kematian salah satu pasangan. Perceraian
yang terjadi akan membawa perubahan dalam kehidupan keluarga, terutama
akan membawa perubahan dalam kehidupan anak hasil perkawinan tersebut.
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa pada umumnya perceraian akan
membawa resiko yang besar pada anak, baik dari sisi psikologis, kesehatan
maupun akademis (Rice & Dolgin, 2002).

Kesejahteraan psikologis merupakan salah satu faktor penting dalam


pertumbuhan pribadi dan sosial karena dapat mencegah terjadinya kenakalan
atau kekerasan remaja (Emadpoor, dkk, 2016; Prabowo, 2017). Individu yang
mampu memahami tujuan hidupnya, memiliki kontrol diri yang baik,
menampilkan rasa bahagia, merasa mampu menjalani kehidupan, serta
mendapat dukungan merupakan cerminan dari seseorang yang telah mencapai
kesejahteraan psikologis (Enggar & Hertinjung, 2019).

Kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu mempunyai


sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat
keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan
mengatur lingkungan yang harmonis dengan kebutuhannya, serta berusaha
mengeksplorasi dan mengembangkan diri (Ryff, 1989). Pemenuhan kriteria
kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi antara lain penerimaan diri,
hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan pertumbuhan prbadi. Namun, kesejahteraan psikologis tidak terjadi
begitu saja, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
yaitu faktor demografis, status sosial ekonomi, dukungan sosial, evaluasi
terhadap pengalaman hidup, Locus of Control (LOC), dan Religiusitas.

Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis telah dilakukan oleh


Ramadhani,dkk pada tahun 2016 di SMK Negeri 26 Pembangunan Jakarta siswa
yang orang tuanya bercerai memiliki tingkat psikologis yang rendah yakni
sebesar 52%. Sesuai dengan pendapat Stephens (1976) dan Salami (1998) remaja
dari rumah yang rusak biasanya dikaitkan dengan perilaku antisosial dan catatan
akademis yang buruk. Seperti halnya perubahan peran serta beban tugas yang
harus ditanggung orang tua yang bercerai dalam pengasuhan, anak juga menjadi
korban terpecahnya perhatian orang tua. Akibatnya sikap orang tua yang kurang
memperhatikan anak, bahwa anak yang bersangkutan merasa ditolak dan tidak
dicintai, mereka mempunyai hasrat untuk membalas dendam desertai dengan
perasaan yang tidak bahagia dan agresif karena dengan kelakuan yang baik ia
tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang, maka remaja tersebut mencari
jalan lain untuk mendapatkan perhatian diluar yaitu cara yang negatif dan dapat
mengganggu orang lain. Anak tidak bahagia dan dipenuhi konflik batin akhirnya
mengalami frustasi menjadi agresif dan nakal (Maramis, 2000).

Perceraian yang terjadi membawa dampak sangat buruk bagi anak-anak,


terutama remaja yang sedang dalam masa peralihan yang merupakan salah satu
faktor penyebab banyaknya kenakalan dan penyalahgunaan obat terlarang pada
remaja di Indonesia. Jumlah perceraian semakin meningkat dari tahun ketahun.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup
tinggi. Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005-2010 terjadi
peningkatan perceraian hingga 70%. BKKBN mencatat ada lebih dari 200.000
kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya dan merupakan angka tertinggi se
Asia-Pasifik. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
(Ditjen Badilag MA), dalam kurun waktu 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir
dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut
merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Pada periode 2014-2016
perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dari 344.237 perceraian pada
tahun 2014 naik menjadi 365.633 perceraian di tahun 2016. Rata-rata perceraian
naik 3% pertahunnya. Hal Ini menunjukkan bahwa perceraian merupakan salah
satu faktor utama dalam suatu keluarga yang menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan di dalam keluarga itu sendiri. Data tersebut dapat menjadi
gambaran berapa banyak anak dan remaja yang telah menjadi korban
perceraian.

Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk menjelaskan tentang kesejahteraan


psikologis pada remaja dengan orang tua bercerai dalam menjalani siklus
perkembangan dan kehidupannya.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran
psychological- well being (kesejahteraan psikologis) pada remaja dari orang tua
bercerai ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran psychological well-being


(kesejahteraan psikologi) pada remaja dari orang tua bercerai.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan peneliti dan pembaca
mengenai psychological well-being (kesejahteraan psikologis) pada remaja
dari orang tua bercerai.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi pemahaman penelitian
selanjutnya tentang psychological pada remaja dari orang tua bercerai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesejahteaan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis


Sebelum memahami mengenai kesejahteraan psikologis, perlu diketahui
pengertian dari kata “sejahtera” dan “kesejahteraan” itu sendiri. Kata
“sejahtera” dalam kamus besar bahasa indonesia berarti aman sentosa dan
makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesuksesan dan
sebagainya). Sedangkan “kesejahteraan” adalah keamanan dan keselamatan
“kesenangan hidup dan sebagainya”, kemakmuran (Depdikbud, 1996).
Menurut Ryff (1989) psychological well-being atau biasa disebut
kesejahteraan psikologis merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning).
Ryff (1989) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan
sebuah kondisi dimana individu mempunyai sikap yang positif terhadap diri
sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur
tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang
harmonis dengan kebutuhannya, serta berusaha mengeksplorasi dan
mengembangkan diri.
Ryff dan Singer (dalam Zulifatul & Savira, 2015) menyebutkan bahwa
tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan individu memiliki
hubungan yang baik dengan lingkungan disekitarnya, memiliki kepercayaan
diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik dengan
orang lain, dan menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan
tujuan dalam pekerjaannya.
Diener (1984) berpendapat bahwa kesejahteraan psikologis merupakan
perasaan subjektif dan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri.
Kesejahteraan psikologis dapat menjadi gambaran mengenai tingkat tertinggi
dan fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya
sebagai makhluk yang mempunyai tujuan dan akan berjuang untuk hidupnya.
Bartram dan Boniwell (2007) berpendapat bahwa psychological well-
being berhubungan dengan kepuasan pribadi, engagement, harapan, rasa
syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri,
kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan
dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. psychological well-being
memimpin individu untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang
dilaksanakannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis merupakan kondisi psikologis dari setiap individu yang berfungsi
dengan baik dan positif. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis
memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, memiliki tujuan
yang berarti dalam hidupnya, memiliki kemampuan mengatur lingkungan,
memiliki hubungan baik dengan orang lain dan berusaha berkembang.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis


Ryff mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam
dimensi, yakni:
a. Dimensi penerimaan diri (self-acceptance)
Menurut Ryff, (1995) seorang individu dikatakan memiliki nilai
yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap
yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima
berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik
maupun yang buruk. Selain itu orang yang memiliki nilai penerimaan
diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari
kehidupannya dimasa lalu.
Demikian pula sebaliknya menurut Ryff (1995) seseorang
dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri
apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa
kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya dimasa
lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan
berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri.
b. Dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relations with
othess)
Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain
mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan
dengan orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkanempati,
afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip memberi dan
menerima dalam hubungan antar pribadi (Ryff, 1995).
Sebaliknya, Ryff (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang
kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain
ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan
dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka
dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina
hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi
dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
c. Dimensi otonomi (autonomy)
Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik
antara lain dapat menentukan segala sesuatu sendiri (self-
determining) dan mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan
tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Selain itu, orang
tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial,
dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat
mengevaluasi diri dengan standar personal (Ryff, 1955).
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki otonomi akan sangat
memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari
orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat
keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial
(Ryff, 1955).
d. Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan
memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia
dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di
lingkunganya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi
kehidupan sehari-hari, memanfatkan kesempatan yang ada di
lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang
kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-
hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
kualitas lingkungan sektarnya, kurang peka terhadap kesempatan
yang ada dilingkungannya, dan kurang memiliki control terhadap
lingkungan (Ryff, 1995).
e. Dimensi tujuan hidup (purpose in life)
Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup
memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup, mampu
merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan yang
memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan target yang ingin
dicapai dalam hidup (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki tujuan hidup,
kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, serta tidak melihat makna
yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian masa lalu (Ryff, 1995).
f. Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth)
Menurut Ryff (1995) seseorang yang memiliki pertumbuhan
pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai
pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang
diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang,
terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki
kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat
merasakan peningkatan, yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya
setiap waktu, serat dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif
dan memiliki pengetahuan yang bertambah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi psikologis


individu yang positif dapat dilihat melalui kemampuan individu tersebut
dalam memenuhi dimensi-dimensi yang terdapat dalam kesejahteraan
psikologis yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain,
otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis


a. Faktor demografis
Faktor demografis yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis (psychological well-being) menurut Ryff dan Keyes (1995)
yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya.
b. Status Sosial Ekonomi
Perbedaan kerlas sosial mempengaruhi kondisi kesejahteraan
psikologis seorang individu. Mereka yang menempati kelas sosial
yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri
dibandingkan dengan mereka yang berada dikelas sosial yang lebih
rendah.
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman,
perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh
seorang individu yang didapat berbagai sumber, diantaranya
pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi
sosial.
d. Evaluasi terhadap pengalaman hidup
Pengalaman hidup mencangkup berbagai bidang kehidupan
dalam berbagai periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap
kesejahteraan psikologis.
e. Locus of Control (LOC)
Locus of Control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan
umum seseorang mengenai pengendalian atau control terhadap
penguatan yang mengikuti perilaku tertentu, dapat memberikan
peramalan terhadap kesejahteraan psikologis (psychological well-
being).
f. Faktor Religiusitas
Ditemukan beberapa hal hal yang menunjukkan fungsi
psikososial dari agama antara lain: 1). Doa dapat berperan penting
sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, 2). Partisipasi
aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa
penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, 3).
Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being


antara lain sebagai berikut:

a. Religiusitas
Pada faktor ini dalam penelitian Ellison (dalam Taylor, 1995)
menyebutkan bahwa agama mampu meningkatkan psychological
well-being dalam diri seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan
bahwa individu yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang
kuat, dilaporkan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi,
kebahagiaan personal yang lebih tinggi serta mengalami dampak
negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap agama
yang kuat. Penelitian yang dilakukan Amawidyati dan Utami (2007)
mendukung penelitian Ellison, dimana hasil analisis menunjukkan
adanya hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dan
psychological well-being.
b. Dukungan sosial
Pada faktor ini menurut Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan
Accocella, 1990) menyebutkan bahwa dukungan sosial dapat
berkaitan erat dengan psychological well-being. Dukungan sosial
diperoleh dari orang-orang yang berinteraksi dan dekat secara
emosional dengan individu. Orang yang memberikan dukungan sosial
ini disebut sebagai sumber dukungan sosial. Bagaimana sumber
dukungan sosial ini penting, karena akan mempengaruhi
psychological well-being seseorang.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi psychological well-being meliputi usia, jenis kelamin,
kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis pekerjaan, status kerja dan tingkat
pendidikan), latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi fisik,
religiusitas serta dukungan sosial.

B. Remaja dengan Orang Tua Bercerai


1. Definisi Remaja
Banyak tokoh yang memberikan definisi remaja, Elizabeth B. Hurlock
(2003) mengungkapkan adolescence atau remaja berasal dari kata latin
(adolescene), kata bendanya adolescentia yang berarti remaja yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” bangsa orang-orang zaman
purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan
periode-periode lain dalam rentang kehidupan anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Papalia dan Olds (2001) tidak
memberikan pengertian remaja secara eksplisit melainkan secara implisit
melalui pengertian masa remaja (adolescence). Papalia dan Olds (2001) yang
mendefinisikan masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12
atau 13 tahun dan berahir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh
tahun.
Menurut Hall (dalam Sarwono, 2011) masa remaja merupakan masa
sturm und drang (topan dan badai), masa penuh emosi dan ada kalanya
emosinya meledak-ledak, yang muncul karena adanya pertentangan nilai-
nilai. Emosi yang menggebu-gebu ini ada kalanya menyulitkan, baik bagi si
remaja maupun bagi orang tua/ orang dewasa disekitarnya.
Secara umum menurut para tokoh psikologi, remaja dibagi menjadi tiga
fase batasan umur, yaitu:
1. Fase remaja awal dalam rentang usia dari 12-15 tahun.
2. fase remaja madya dalam rentang usia 15-18 tahun.
3. fase remaja akhir dalam rentang usia 18-21 tahun.

2. Ciri-ciri Remaja
Menurut Havighurst (dalam Nasution, 2007) ciri-ciri masa remaja antara
lain:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat
dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya
penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa
yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan
perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan
berikutnya, dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah
terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi
sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku
dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi
dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga
berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap
dan perilaku juga menurun.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun
masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik
oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi
kesulitan ini, yaitu :1). Panjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak
sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga
kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.
2). Remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi
masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak,
penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada
bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada
remaja awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan,
namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri
dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan
oranglain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak
yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak
dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut
bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku
remaja yang normal.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain
sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya,
terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia
semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila
orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi
gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja
mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan
status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan
obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap
bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masa


remaja merupakan masa yang penting dalam perkembangan yang berada
dalam masa peralihan dan perubahan di dalam individu baik secara fisik
maupun mental dalam mencari identitas dirinya menuju masa dewasa.

C. Kesejahteraan Psikologis pada Remaja dengan Orang Tua Bercerai


Ketidakhadiran orang tua atau ditinggalkan dari salah seorang orang
tuanya dapat menimbulkan emosi, dendam, sedih, marah, dan benci
sehingga dapat mengakibatkan perkembangan anak terganggu (Astuti,
2015). Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis telah dilakukan oleh
Ramadhani,dkk pada tahun 2016 di SMK Negeri 26 Pembangunan Jakarta
siswa yang orang tuanya bercerai memiliki tingkat psikologis yang rendah
yakni sebesar 52% daripada siswa yang orang tuanya tidak bercerai. Sesuai
dengan pendapat Stephens (1976) dan Salami (1998) remaja dari rumah yang
rusak biasanya dikaitkan dengan perilaku antisosial dan catatan akademis
yang buruk. Anak tidak bahagia dan dipenuhi konflik batin akhirnya
mengalami frustasi menjadi agresif dan nakal (Maramis, 2000).
Kesejahteraan psikologis merupakan salah satu faktor penting dalam
pertumbuhan pribadi dan sosial karena dapat mencegah terjadinya
kenakalan atau kekerasan remaja (Emadpoor, dkk, 2016; Prabowo, 2017).
Individu yang mampu memahami tujuan hidupnya, memiliki kontrol diri yang
baik, menampilkan rasa bahagia, merasa mampu menjalani kehidupan, serta
mendapat dukungan merupakan cerminan dari seseorang yang telah
mencapai kesejahteraan psikologis (Enggar & Hertinjung, 2019).
Kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu
mempunyai sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat
membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat
menciptakan dan mengatur lingkungan yang harmonis dengan
kebutuhannya, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan diri
(Ryff, 1989). Pemenuhan kriteria kesejahteraan psikologis terdiri dari enam
dimensi antara lain penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain,
otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan prbadi.
Namun, kesejahteraan psikologis tidak terjadi begitu saja, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu faktor demografis,
status sosial ekonomi, dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup,
Locus of Control (LOC), dan Religiusitas.
Dapat di simpulkan bahwa ada banyak permasalahan yang bersumber
dari faktor internal remaja yang orang tuanya bercerai. Dan seorang remaja
korban perceraian yang memiliki kesejahteraan psikologis yang cukup dapat
melewati masa sulitnya dan masa depannya dapat lebih terarah.

D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini disusun berdasarkan tinjauan teoritik dan
kenyataan yang ada untuk mengungkap pengalaman individu yang diteliti.
1. Pertanyaan Utama
Adapun pertanyaan utama dalam penelitian ini yaitu : “Bagaimana
gambaran psychological- well being (kesejahteraan psikologis) pada
remaja dari orang tua bercerai ?
2. Pertanyaan Khusus
Adapun pertanyaan khusus dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana penerimaan diri remaja terhadap perceraian orang tua?
2. Bagaimana hubungan remaja terhadap orang lain?
3. Bagaimana remaja mengatur tingkah laku dan mengevaluasi dirinya
sendiri?
4. Bagaimana remaja memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan dirinya?
5. Bagaimana gambaran tujuan hidup remaja?
6. Bagaimana remaja mengembangkan potensi dalam dirinya?

Daftar Pustaka

Astuti, M. (2015). Subjective Well-Being pada Remaja dari Keluarga Broken


Home (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Diener, E. (1984). Subjective well – being. Psychological Bulletin, 95. 542-575.


Emadpoor, L., Lavasani, M. G., & Shahcheraghi, S. M. (2016). Relationship
between perceived social support and psychological well-being among
students based on mediating role of academic motivation. International
Journal of Mental Health and Addiction, 14. (3), 284–290.

Enggar Puspito, A., Hertinjung, W. S., & Psi, S. (2019). Hubungan Dukungan
Sosial Dengan Kesejahteraan Psikologis Remaja Yang Tinggal Di Panti
Asuhan (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Hurlock, E. B. (2003). Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga

Kartono, K. (2010). Psikologi Wanita jilid 2: Mengenal Wanita sebagai Ibu dan
Nenek. Bandung: Mandar Maju

MaramisW.F (2000). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga


University Press. Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2001).
Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika

Nasution, I. K. (2007). Perilaku merokok pada remaja.

Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2001). Perkembangan Manusia.


Jakarta: Salemba Humanika

Ryff, C.D. (1989) Happiness is everything, or is it? Explorationns on the meaning


of psychological well being. Journal of Personality and Social Psychology,
57, 1069-1081.

Sarwono. (2011). Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai