Anda di halaman 1dari 12

KESEHATAN MENTAL TERHADAP ANAK-ANAK DAN

REMAJA

Disusun oleh:

Meri Maria Yegemau Ukago

20180811024017

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS CENDRAWASI
KESEHATAN MENTAL TERHADAP ANAK-ANAK DAN
REMAJA

Sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah:

A state of complete physical, mental and social well-being and


not merely the absence of disease or infirmity (WHO, 2001).

WHO memberikan pengertian tentang sehat sebagai suatu


keadaan fisik, mental, dan sosial yang lengkap sejahtera dan tidak
semata-mata karena tidak adanya penyakit atau kelemahan. Definisi
ini semakin menjelaskan bahwa kesehatan mental merupakan bagian
dari kesehatan. Kesehatan mental juga dapat berhubung dengan
kesehatan fisik dan perilaku. WHO lalu memberikan pengertian
tentang kesehatan mental sebagai:

A state of well-being in which the individual realizes his or her


onw abilities, can cope with normal stresses of life, can work
productively and fruitfully, and is able to make a contribution to his
community (WHO, 2001)

Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki


kesejahteraan yang tanpak dari dirinya yang mampu menyadari
potensi sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup
normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, maupun berkerja
secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan
kontribusi kepada komunitasnya. Mengutip dari jargon yang digunaan
oleh WHO, “three is No. health without mental health” menandakan
bahwa kesehatan mental perlu dipandang sebagai suatu yang penting
sama seperti kesehatan fisik. Mengenai bahwa kesehatan merupakan
kondisi yang seimbang antara diri sendiri, orang lain dan lingkungan
membantu masyarakat dan individu memahami bangaimana menjaga
dan meningkatkannya (WH0, 2004).

Kesehatan mental dipengharui oleh dua faktor yaitu foktor


internal dan faktor eksternal, yang termasuk faktor internal antara lain
kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan kematangan kondisi
pskiologi, keberagaman, sikap, menghadapi problem hidup. Adapun
yang termasuk foktor eksternal budaya, dan kondisi lingkungan, baik
lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.

Apabila anak dan remaja mampu menampilkan kebiasaan


perilaku yang sesuai dengan norma, nilai, dan aturan yang ada
didalam masyarakat, remaja tersebut dapat dikatakan menaati dan
memiliki standar moral yang baik. Sementara itu, remaja yang
menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan norma, aturan, dan
nilai yang berlaku di masyarakat maka remaja dapat dikatakan
melakukan tindakan moral.

Anak dan remaja yang membutukan pembentukan kepribadian


yang utuh. Kepribadian adalah tujuan akhir dari setiap usaha
pendidikan, baik dimulai dari sejak usia dini sampai usia senja. Oleh
karena itu, kepribadian yang diharapkan adalah kepribadian setiap
individu yang sesuai dengan norma-norma. Kepribadian tidak terjadi
atau terbentuk dengan sekaligus, akan tetapi melalui proses kehidupan
yang panjang. Jadi, pendidikan mempunyai peran besar dalam
pembentukan kepribadian. Kepribadian terbagi dua, yaitu kepribadian
kemanusiaan yang tercangkup didalam kepribadian individu dan
ummah (umat sosial) dan kepribadian samawi (kewahyuan). Proses
dan usaha pembentukan kepribadian dilakukan dengan pendidikan
baik secara individu atau maupun kelompok. Oleh karena itu, melalui
pendidikan, nilai dan konsep ibadah dan keseharian merupakan faktor
penentu membentuk pribadi pada anak dan remaja.

Keluarga sebagai madrasatul ula tempat menempuh, mendidik,


menggembleng seluruh aspek dalam diri anak memang sudah
selayaknya didesaign dengan sebaik mungkin. Kelengahan pendidikan
dalam sebuah keluarga dapat menimbulkan efek negatif bagi
perkembangan kehidupan anak. Mangikuti teori filsafat emperisme
john locke tentang tabula rasa, dimana anak diposisikan seperti kertas
kosong yang bersih tak ternoda. Tugas orang tua dalam sebuah
keluarga adalah menggoreskan gutaran-gutaran tinta yang
memperindahnya. Transformasi yang dilakukan oleh orang tua dari
yang bersifat natural menjadi kultural. Artinya, peran orang tua dalam
sebuah keluarga menjadi krusial dalam pembentukan kehidupan anak
dtang.

Guru dan orang tua merupakan figur penting kepada anak dan
remaja, perlu upaya untuk mencapai kesuksesan belajar yang
maksimal. Guru harus melatih siswa untuk mencapai mencapai
kesuksesan belajar, melalui dari melatih siswa dari proses
merancanakan sesuatu yang hendak dipelajari, memantau atau
memonitoring pencapaian kemajuan belajar peserta didik, dan
melakukaan proses penilaian terhadap hal-hal yang sudah dipelajari.
Jadi, peran guru dan orang tua agar anak dan remaja sebagai siswa
memperoleh kesuksesan belajar, dimulai dari perencanaan,
pemantauan dan penilaian pembentukan moral dan kesehatan mental
yang baik.
Kesehatan mental remaja merupakan aspek penting untuk
menentukan kualitas bangsa. Remaja yang tumbuh dalam lingkungan
yang medukung merupakan sumber daya manusia yang dapat
menjadi aset bangsa tidak ternilai. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi
belakangan ini, sebagai remaja melakukan pelanggaran-pelanggaran
susila. Lebih jauh lagi, ada sebagai remaja yang berpandangan bahwa
hubungan antara wanita dan pria tidak perlu dibatasi dan tidak usah
dikontrol oleh orang tua. Biasanya kenakalan seperti disertai dengan
tindakan-tindakan yang menggangu masyarakat. Boleh jadi, penyebab
berkurangnya markas-markas atau tempak bimbingan dan penyuluhan
yang menampung menyalurkan anak-anak kearah mental yang sehat.
Dampak dari kurangnya tempat penampungan anak-anak yang gelisah
dan butuh bimbingan tersebut maka mereka pergi berkelompok dan
menggabungkan diri kepada anak-anak yang juga gelisah. Pada
akhirnya, lahirlah model-model kelakuan atau perilaku kurang
menyenangkan.

Remaja merupakan merupakan generasi bangsa yang harus


diperhatikan dari segi perkembangan mental dan emosional. Masa
remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembanan
seseorang sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Pada masa
perkembangan ini rawan terjadi konflik antara remaja dan diri sendiri
maupun dengan lingkungan sekitar. Apabila konflik ini tidak dapat di
selesaikan dengan baik maka akan memberikan dampak negatif
terhadap perkembangan remaja, termasuk masalah mental emosional
(IDAI, 2010).

Hasil penelitian WHO (2010) dalam Damayanti (2011)


menyatakan bahwa 1 sampai 5 anak yang berusia kurang dari 16
tahunmengalami masalah mental emosional. Angka kejadian tersebut
semakin tinggi pada kelompok usia diatas 15 tahun, yaitu 140 dari
1000 anak. penelitian yang dilakuakan pada 578 siswa sekolah
menengah pertama di Semarang tahun 2009, didapatkan hasil bahwa
prevelensi masalah perkembangan mental emosional sebesar 9,1%
(Hartanto, 2010).

Masalah mental emosional yanag tidak diselesaikan dengan


baik, maka akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan
remaja tersebit di kemudian hari, terutama terhadap pematangan
karakter dan memicu terjadinya gangguan perkembangan mental dan
emosional. Gangguan perkembangan mental emosional akan
berdampak terhadap menungkatnya masalah perilaku pada saat
dewasa kelak (Satgas, 2010).

Untuk mengetahui kesehtan mental anak, penting untuk melihat


faktor dalam anak, keluarga dan lingkungan. Faktor dalam diri anak
seperti genetik, temperamen, dan kesehatan fisik perlu diamati. Faktor
dari keluarga meliputi pola asuh orang tua serta kelekatan anak
terhadap orang tua. Teori kelekatan (attachment) dari John Bowlby
(1969) memperlihatkan bahwa anak-anak perlu membangun ikatan
yang aman dengan pengasuh untuk mereka di masa kecil (Cooper,
2005). Ikatan yang aman ini penting untuk membangun kepercayaan
dan rasa aman. Dengan adanya kedua hal tersebut, mereka dapat
belajar dan melakukan eksplorasi terhadap dunia di sekitar mereka
denan percaya diri dan tanpa ketakutan yang berlebih. Pola asuh orang
tua sangat berpengaruh terhadap rasa aman anak. Adanya peraturan
yang berlebih, tuntutan yang tidak realitis, kebebasan tanpa batasan
aturan, dan pola komunikasi yang tidak didasari oleh alasan-alasan
mengapa pesan tersebut harus dilaksanakan memilaiki pengaruh yang
sengnifikan terhaap kesehatan mental anak.

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental saat ini selalu


ditanamkan oleh WHO. WHO Child and Adolescent Mental Health
Atlas merupakan salah satu upaya sistematis pertama utuk
mengumpulkan data dan mendokumentasikan secara objektif layanan
global dan penelitian yang tersedia di seluruh dunia untuk kesehatan
mental anak dan remaja (WHO, 2001c). Inisiatif ini berfokus pada tiga
bidang utama, yaitu kesadaran (awareness), pencegahan (prevention)
dan pelakuan (tretment).

Klasifikasi Gangguan Kesehatan Mental

Gangguan mental menurut WHO, terdiri dari berbagai masalah,


dengan berbagai gejala. Namun, mereka umumnya dicirikan oleh
beberapa kombinasi abnormal pada pikiran, emosi, perilaku dan
hubungan dengan orang lain. Contohnya adalah skizofrenia, depresi,
cacat intelektual dan gangguan karena penyalagunaan narkoba,
gangguan efektif bipolar, demensia, cacat intelektual dan gangguan
perkembangan termasuk autisme.

Pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua istilah untuk individu


yang mengalami gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang memiliki masalah fisik,
mental, sosial. Pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualiatas
hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Kedua,
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Adapun katagori ganguan jiwa yang dinilai dalam data Riset


Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 diketahui terdiri dari gangguan
mental emosional (depresi dan kecemasan), dan gangguan jiwa berat
(psikosis). Bentuk gangguan jiwa lainnya yaitu postpartum depression
dan bunuh diri (suicide). Ganguan mental emosional atau distress
psikologis merupakan keadaaan yang mengindikasikan seorang
sedang mengalami perubahan psikologis. Gangguan ini berisiko
menjadi lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi.

Menurut the ICD-10 edisi tahun 2010, dan the ICD-10


Classification of mental and behavioural Disorders: clinical
descriptions and diagnosic guidelines tahun 1992, gangguan mental
dapat diklasifikasikan menjadi 11 katagori berikut:

1. F00-F09: Organic, including symptomatic, mentaldisorders


2. F10-F19: Mental and behavioural disorders due to
psychoactive substance use
3. F20-F29: Schizophrenia, schizotypal and delusional disordres
4. F30-F39: Mood [affective]disorders
5. F40-F49: Neurotic, stress-related and somatoform disorders
6. F50-F59: Behavioural syndromes associated with physiological
disturbances and physical factors
7. F60-F69: Disorders of adult personality and behaviour
8. F70-F79: Mentalretardation
9. F80-F89: Disorders of psychological development
10.F90-F98: Behavioural and emational disorders with onset
usually occurring in childhood and adolescence
11.F99-F99: Unspencified mental disorder

Gangguan kesehatan mental di indonesia

Sebagai sebuah negara yang semakin berkembang, Indonesia


tdak hanya mengikuti perkembangan tren yang sifatnya positi namun
juga membawa perkembangan yang sifatnya merugikan seperti
gangguan jiwa. Gangguan mental atau jiwa dapat disebabkan oleh
aspek dari luar individu, seperti hal kehidupan dalam bermasyarakat.
Ketika seseorang dituntut untuk memenuhi atau melakukan hal-hal di
luar kapasitasnya maka akan menimbulkan stress yang berlebih, dan
jika tidak ditangani dengan tepat maka kondisinya akan menjadi lebih
buruk dan berakhir pada gangguan kejiwaan.

Diketahui dari Guru Besar ilmu Kesehtan Masyarakat


Universitas Indonesia, Ascobat Gani kerugian ekonomi minimal
akibat masalah kesehatan metal berdasarkan Riskesdas 2007 adalah
sebesar Rp 20 triliun. Jumlah pasien Jamkesmas rawat inap terbanyak
di rumah sakit (RS) kelas A pada tahun 2010 adalah Hebepherenic
Schizopherenia (1,924 orang), Paranoid Schizopherenia (1,612 orang),
Undifferentiated Schizopherenia (443 orang), Schizopherenia
Unspecified (400 orang) dan Other Schipherenia (399 orang). Jmlah
itu belom termasuk pasien rawat jalan. Dari total populasi risiko
1,093,150 hanya 3,5% atau 8,260 yang baru terlayani di rumah sakit
jiwa, rumah sakit umum, atau pusat kesehatan masyarakat dengan
fasilitas memadai. Menurut Pendiri Rumah Komunitas Penderita
Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus Utomo, penanganan atau proses
pemulihan pasien dengan ganguan jiwa di Indonesia masih
memburuk.

Di negara-negara maju sudah banyak cara pencegahan dan juga


pengobatannya, berbeda dengan di Indonesia khususnya beberapa
daerah yang dalam urusan kesehatan mental masih jah dari memadai,
dan cenderung bersifat primitif. Minimnya informasi mengenai
gangguan kesehatan mental membuat masyarakat masih menganggap
bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan, sehingga tidak ada
pengobatan yang dapat diberikan pada penderita ganguan kesehatan
mental kecuali diasingkan atau dikucilkan yang terkadang caranya
tidak manusiawi seperti mengurung di dalam sebuah kandang atau
dipasung.

Menurut Pendiri Rumah Komunitas Penderita Skizofrenia


Indonesia (KPSI) Bagus Utomo, penangan atau proses pemulihan
proses dengan gangguan jiwa, salah satunya Skizofrenia di Indonesia
masih buruk. Masih terdapat 18 ribu penderita gangguan kesehatan
mental khususnya orang dengan Schiphrenia (ODS)yang pasung.
Umumnya dipsung dengan ramai. Banyak tempat-tempat pengobatan
jiwa di Indonesia ini tidak manusiawi. Ada pasien yang disuntik asal-
asalan atau di pasung sampai mengidap penyakit kulit. Ada yang tidak
manusiawi, dipaksa mengemis, pasiennya sampai korengan, kudisan,
kurus, tak diberi baju. Belum lagi biaya perawatan dibeberapa rumah
sakit dan yayasan itu mahal.

Data yang telah dijabarkan sebelumnya sedikit menggambarkan


bagaimana kondisi para penderita gangguan kesehatan mental.
Dukungan manyaakat yang menjadi aspek penting dalam
berkembangnya seseorang menjadi hal yang sangat sulit diraih oleh
penderita gangguan kesehatan mental. Masyarakat sulit menerima
kondisi para penderita, mereka menganggap para penderita adalah
orang berbahaya, pasien yang tidak dapat pulih kesehatan mentalnya,
dan layak untuk diasingkan.

Memberikan edukasi mengenai kesehatan mental, gangguan


kesehtan mental, berikutkondisi para penderita, mereka menganggap
para penderita adalah orang berbahaya, pasien yang tidak dapat pulih
kesehatan mentalnya, dan layak untuk diasingkan.

Memberikan eduksi mengenai kesehatan mental, gangguan


kesehtan mental, beriku tdengan penangannya bukan hanya
dibutuhkan oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
menderita gangguan kesehatan mental, melainkan kepada masyarakat
pada umumnya. Dalam konsep person in environment yang menjadi
salah satu ciri khas dari pekerjaan sosial menjelaskan bahwa
keberadaan seseorang individu akan mengpengaruhi dan dipengharui
oleh lingkungan di sekitarnya. Untuk prihal kesembuhan penderita
gangguan kesehatan mental maka seluruh lapisan masyarakat wajib
dan berhak mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya untuk
menciptakan lingkungan sosial yang proposional bagi kesembuhan
para penderita kesehatan mental.
Daftar pustaka

Ratnawati. (2019). Metode Perawatan kesehatan Mental Dalam


Islam. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam. 3(1): 72-74

Sati Laras, dkk. (2019). Peningkatan Kesehatan Mental Anak dan


Remaja Malalui Ibadah Keislaman. Jurnal Agama dan Ilmu
Pengetahuan. 16(2): 100-112

Misnaniarti, dkk. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada


Masyarakat Di Indonesia Dan Srategi Penanggulangannya. Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat. 9(1): 3-4

Wibhawa Budhi, dkk. (2018). Kesehatan Mental Masyarakat


Indonesia (Pengetahuan, Dan Keterbukaan Masyarakat Terhadap
Gangguan Kesehatan Mental). Jurnal Unpad. 2(2): 255-256

Siregar, A. (2018). Psikosis Pada Remaja (Usia Sekolah) Studi Kasus


Penderita Gangguan Kejiwaan Perspektif Konseling Keluarga. Jurnal
Pendidikan dan Konseling. 8(2): 109-112

Anda mungkin juga menyukai