Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan Sosial-Emosi

Dosen Pengampuh MK:


Rukiana Novianti P, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh
Kelompok 4:
1. Eva Natasya Pratiwi (105281104120)
2. Elina Hardianti Mukhtar (105281101420)
3. Nurhalisa K (105281101120)
4. Mursyida (105281101220)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
2021
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Pertumbuhan dan Perkembangan

Ada dua istilah yang sering digunakan dalam Psikologi, yaitu “Pertumbuhan” (Growth) dan
“Perkembangan” (Development). Dalam penggunaan bahasa Indonesia atau percakapan sehari-
hari, pengertian kedua istilah tersebut sering dihiraukan perbedaannya, namun dalam Psikologi
bahwa kedua istilah tersebut mengandung perbedaan, persamaan dan keterkaitan, atau dengan
kata lain kedua istilah tersebut dapat dibedakan meskipun hampir tidak dapat dipisahkan satu
sama lain dalam satu kesatuan diri individu manusia.

Istilah “pertumbuhan” mengacu kepada perubahan yang terjadi pada seseorang dalam segi
fisik (jasmaniah), komposisi hormonal, cells, dan disposisi biologis, baik yang tampak dari luar
maupun organ-organ tubuh yang tidak tampak, yang hanya dapat dideteksi oleh alat khusus.
Contohnya: postur tubuh, raut wajah, bentuk hidung, pipi, dan mata, komposisi hormon, jenis
darah, struktur otak dan sejumlah cells yang berada di dalamnya, dan organ-organ dalam, yang
bekerja dan tumbuh sesuai dengan usia kronologis seseorang. Perubahan pertumbuhan terjadi
pada bentuk dan struktur fisiknya. Dalam pengertian ini, pertumbuhan merupakan perubahan
yang bersifat kuantitas dalam struktur fisik seseorang, seperti tinggi badan yang makin
bertambah. Perubahan yang bersifat kuantitas ini lebih konkrit.

Sejak dalam kandungan, janin telah mengalami pertumbuhan fisik yang sangat cepat,
bahkan tercepat bila dibandingkan dengan masa sesudah kelahirannya, karena hanya dalam
waktu kira-kira 9 bulan lebih, janin yang berasal dari setetes air mani itu tumbuh secara
berangsur dan menjelma menjadi janin manusia. Pada permulaan masa bayi, akan mengalami
pertumbuhan yang agak lambat namun pasti, kemudian makin cepat, dan mencapai puncak
pertumbuhan tercepat pada masa remaja, setelah itu berlangsung moderat, bahkan hampir tidak
ada pertumbuhan lagi, dan akhirnya berangsur-angsur menurun. Dengan kata lain, pertumbuhan
mengalami keterbatasan. Pertumbuhan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor heriditas dan
pembawaan individu itu sendiri daripada faktor lingkungan. Setiap anak secara fisik lebih mirip
kepada ayah, ibu, dan keturunannya karena mewarisi heriditas dari keturunannya.

Menurut Desmita (2012), pertumbuhan fisik bersifat meningkat, menetap, dan kemudian
mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia. Hal itu berarti pertumbuhan fisik
ada puncaknya. Sesudah suatu masa tertentu, fisik mulai mengalami kemunduran dan berakhir
pada keruntuhan di hari tua, di mana kekuatan dan kesehatan manusia berkurang, panca indera
menjadi lemah atau lumpuh sama sekali. Hal itu seperti yang difirmankan oleh Allah SWT:

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan
(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat
itu lemah (kembali) dan berubah. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa (QS Al-Rum [30]: 54).

Firman Allah tersebut menunjukkan empat kondisi fisik pada manusia, yaitu :

a) Tahap lemah yang ditafsirkan terjadi pada bayi dan kanak-kanak.


b) Tahap menjadi kuat, uang terjadi pada masa dewasa.
c) Masa menjadi lemah kembali, di mana terjadi penurunan dari masa penuh kekuatan.
d) Masa ketika orang sudah beruban atau masa tua (Novan, 2014: 16).
Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa istilah “pertumbuhan” dalampsikologi
digunakan untuk menyatakan berbagai perubahan ukuran fisik yang secara kuantitatif, di mana
semakin lama semakin membesar atau memanjang.

Istilah “perkembangan” (development) dalam psikologi merupakan sebuah konsep yang


rumit dalam kompleks. Di dalamnya terkandung banyak dimensi. Oleh karena itu, untuk
memahami konsep perkembangan, terlebih dahulu perlu memahami beberapa konsep lain yang
terkandung pada pertumbuhan. Pengertian “perkembangan” lebih merujuk kepada kemajuan
mental atau perkembangan rohani (gejala-gejala kejiwaan) yang melaju terus sampai akhir hayat.
Menurut Oding (2010), “Perkembangan rohani tidak terhambat walaupun keadaan jasmani sudah
mencapai puncak pertumbuhannya”

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa perubahan pertumbuhan bersifat kuantitas,


namun perubahan perkembangan bersifat kualitas. Kalau perubahan kuantitas lebih konkrit,
kalau perubahan kualitas menunjukkan lebih abstrak. Contoh perubahan kuantitas: tinggi badan,
ukuran kaki/tangan, perubahan perbandingan bagian tubuh dengan kepala, dan pertumbuhan
gigi. Contoh perubahan kualitas: perubahan fungsi mata untuk melihat yang pada awalnya bayi
usia 1-2 bulan belum dapat melihat jelas meskipun mata terbuka dan bergerak. Pada usia 3-4
bulan bayi dapat melihat secara global ketika melihat benda bergerak atau bersuara akan diikuti
oleh pandangannya dengan mencoba memutar kepala, melirik kiri dan kanan, dan mengarah
kepada objek pandangan. Pada usia 7 bulan lebih bayi mulai dapat melihat secara terdifferensiasi,
terperinci, terfokus, dan terbagi. Pada usia 10-11 bulan bayi sudah mulai merespon apa yang
dilihat dengan gerakan tangan, kaki, tubuh, maupun dengan bahasa sederhana. Perubahan yang
berangsur-angsur terjadi secara kualitas pada fungsi mata menunjukkan peristiwa
perkembangan. Perkembangan juga menunjukkan perubahannya pada fungsi-fungsi organ tubuh,
bukan perubahan bentuk/struktur tubuhnya. Oleh karena yang mengalami perubahan itu
fungsinya, maka perkembangan lebih abstrak.

Perkembangan non fisik manusia akan terus mengalami peningkatan dan perubahan, bahkan
sepanjang hayatnya, seperti: kemampuan berpikir, kedewasaan, tanggung jawab, kematangan
beragama akan terus meningkat seiring dengan usia, pengalaman, dan pendidikan, dan
lingkungan yang makin baik yang mempengaruhinya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
perkembangan tidak terbatas sepanjang rentang hidup manusia.

Kesimpulan umum yang dapat diambil dari beberapa definisi di atas adalah Pertumbuhan
maupun perkembangan menunjukkan perubahan menuju ke arah yang lebih maju atau dewasa
(pregresif). Pertumbuhan mencakup dimensi fisik manusia, sedangkan perkembangan mencakup
berbagai dimensi psikis manusia. Dimensi fisik itu yang sering diistilahkan dengan jasmani, dan
dimensi psikis yang sering diistilahkan dengan rohani. Ahli-ahli psikologi perkembangan pada
umumnya menggunakan istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan” secara bergantian.
Alasannya, kedua proses tersebut berlangsung secara saling bergantung (interdependency),
saling berhubungan (interconnection), dan saling melengkapi (intercomplementary) satu sama
lain. Dalam konteks manusia, kedua proses tersebut tidak dapat dipisahkan dalam bentuk-bentuk
yang secara pilah berdiri sendiri, meskipun dapat dibedakan maksud atau tujuannya untuk lebih
memperjelas penggunaannya.
B. Pengetian Perkembangan Sosial dan Emosi
Mengembangkan hubungan emosi-sosial merupakan tonggak penting bagi anak-anak.
Bagi banyak anak, bersosialisasi adalah pengalaman pertama kali harus membicarakan
kesepakatan dengan teman sebayanya. Meskipun anak-anak seusia mereka masih terlibat dalam
permainan paralel, tetapi mereka semakin tertarik untuk bermain dengan anak-anak yang lain.
American Academy of Padiatrics 2012 dalam Maria dan Amalia (2016) menjelaskan
perkembangan sosial emosional anak usia dini adalah kemampuan anak dalam mengelola dan
mengekspresikan emosi secara lengkap baik emosi positif maupun negatif. Anak mampu
berienteraksi dengan teman sebayanya atau orang dewasa disekitarnya secara aktif belajar
dengan mengeksplorasi lingkungannya. Perkembangan sosial emosional adalah proses belajar
anak dalam menyesuaikan diri untuk memahami keadaan serta perasaan ketika berinteraksi
dengan orang-orang di lingkungannya yang diperoleh dengan cara mendengar, mengamati dan
meniru hal-hal yang dilihatnya.
Menurut Nurjannah (2017) perkembangan sosial emosional anak usia dini merupakan
proses belajar pada diri anak tentang berinteraksi dengan orang disekitarnya yang sesuai dengan
aturan sosial dan anak lebih mampu dalam mengandalikan perasaannya yang sesuai dengan
kemampuannya dalam mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaannya yang diperoleh secara
bertahap dan melalui proses penguatan dan modeling.
Berdasarkan dua pengertian di atas maka dapat disimpulkan perkembangan sosial
emosional anak usia dini adalah proses perkembangan anak dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya kepada orang tua, teman sebaya dan orang dewasa. Serta proses
perkembangan keadaan jiwa anak dalam memberikan respon terhadap keadaan
dilingkungannyan yang sesuai dengan aturan sosial yang diperoleh melalui mendengar,
mengamati, meniru dan dapat distimulasi melalui penguatan dan modeling (contoh).
Perkembangan sosial emosional anak merupakan perkembangan tingkah laku pada anak
untuk dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat. pada
masa ini proses anak belajar dalam menyesuaikan diri dengan norma, moral dan tradisi dalam
masyarakat. Piaget dalam teorinya menyebutkan adanya sifat egosentris yang tinggi pada anak
karena anak belum dapat memahami perbedaan perspektif pikiran orang lain. Pada tahap ini
anak hanya mementingkan dirinya sendiri dan belum mampu bersosialisasi dengan baik dengan
orang lain. (Nurmalitasari, 2015)
Menurut Hurlock 2000 dalam Musyafaroh (2017) untuk mencapai perkembangan sosial
dan mampu bermasyarakat, seorang individu harus memerlukan tiga proses. ketiga proses
tersebut saling berkaitan dan apabila terjadi kegagalan dalam satu proses dari tiga proses
tersebut, maka akan menurunkan kadar sosialisasi individu tersebut. ketiga proses tersebut
adalah; pertama, perprilaku yang dapat diterima secara sosial dan setiap kelompok masyarakat
memiliki standar perilaku tersebut. Kedua, belajar memainkan peran sosial. Ketiga,
perkembangan proses sosial yakni menyukai orang lain dan kegiatannya. Menurut Moh Padil dan
Trio Supriyatno dalam Musyarofah (2017) perkembangan sosial anak dapat dilakukan dengan du
acara: pertama, proses belajar sosial dan pembentukan loyalitas sosial.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa proses sosial anak dapat dikembangkan dengan
cara mengajak anak secara langsung berinteraksi dengan lingkungan sekitanya. Dengan demikian
perlahan kemampuan bersosial dalam diri anak akan terus berkembang dan pada proses ini juga
perkembangan emosi anak juga akan berkembang.
Musyafaroh (2017) Berdasarkan teori sosialisasi, anak dapat melakukan proses sosialisasi
pasif maupun sosialisasi aktif. Teori sosialisasi pasif menerangkan bahwa anak hanya akan
memberikan respon kepada orang tua dan mengabaikan orang lain. Teori sosialisasi aktif yakni
sosialisasi yang dilakukan anak dengan mengembangkan peran sosialnya. Media yang berperan
penting dalam mengembangan proses sosialisasi anak adalah: orang tua, sekolah, lembaga
keagamaan, lingkungan sosial dan media massa.
Sebagian besar penelitian yang berkaitan pada dengan hubungan sosial manusia,
menunjukkan, bahwa pengalaman sosial awal (keluarga) dan dimulai pada masa kanak-kanak dan
akan menetap pada diri seseorang dan berpengaruh untuk kehidupan orang tersebut. Wulan
dalam Mulyani 2014 Ada beberapa hal yang mempengaruhi pengalaman sosial pada anak usia
dini, sebagai berikut:
- Penyesuaian sosial, jika perilaku menyesuaikan diri pada anak berkembang dengan
baik, maka akan menetap pada diri anak hingga ia dewasa.
- Keterampilan sosial, sikap yang tertanam pada diri anak akan berpengaruh pada
keterampilannya dalam bergaul.
- Partisipasi aktif, pengalaman sosial sejak dini pada diri anak akan mempengaruhi
keaktifan seorang anak dalam berpartispasi di masyarakat hingga ia dewasa.
Ketiga poin di atas saling berkiatan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kemampuan
menyesuaikan diri dengan baik akan memudahkan anak memiliki keterampilan dalam bergaul
atau berteman. Dan memiliki kemampuan bergaul yang baik akan membuat anak giat dalam
berpartipasi di lingkungannya.
Emosi adalah perasaan yang ada dalam diri individu. Emosi dapat berupa perasaan
senang atau tidak senang, perasaan baik atau buruk. Dalam World Book Dictionary, emosi
didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat”. Perasaan benci, takut, marah, cinta, senang,
dan kesedihan. Macam-macam tersebut adalah gambaran dari emosi. Goleman menyatakan
bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran- pikiran khasnya, suatu keadaan
biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak”.
Perkembangan emosi anak usia dini berlangsung secara bersamaan dengan
perkembangan sosial anak usia dini. Bahkan banyak yang berasumsi bahwa perkembangan emosi
pada anak usia dini sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial mereka meskipun kemudian
perkembangan emosi tersebut kemudian memberi pengaruh pula terhadap perkembangan sosial
mereka. Hal itu dikarenakan emosi yang ditampilkan anak usia dini sebenarnya merupakan
respons dan hubungan sosial yang ia jalani dengan orang lain, dan emosi tersebut juga akan
mempengaruhi keberlanjutan hubungan sosial tersebut. Jadi, pada dasarnya ada semacam siklus
antara perkembangan sosial dan perkembangan emosi pada anak usia dini.
Setiap manusia yang lahir akan berkembang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga emosi
hingga nantinya dewasa dan menjadi karakter yang kuat dalam hidupnya. Pembentukan karakter
ini tak lepas dari perkembangan emosi yang terus berjalan sesuai dengan apa yang dirasakan
dalam setiap prosesnya. Perkembangan emosi mengacu pada reaksi anak terhadap berbagai
perasaan yang dialami setiap hari dan membawa pengaruh besar terhadap cara pandang
menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, tingkah laku, dan menikmati hidup sebagai orang
dewasa kelak.
Perkembangan emosi ini berkaitan dengan pengalaman anak dalam mengenali perasaan
dan emosi yang dialami, memahami bagaimana dan mengapa sebuah hal terjadi, mengenali
perasaan orang lain, dan mengembangkannya. Seiring pertumbuhan anak, perkembangan emosi
anak ini juga akan semakin kompleks sesuai dengan pengalaman hidup yang didapatkannya.
Untuk itulah perkembangan emosi akan menjadi hal yang sangat penting untuk kesehatan mental
anak.

C. Karakteristik Perkembangan Sosial dan Emosi


1. Karakteristik Perkembangan Sosial
a) Periode bayi
 Usia 1-2 bulan, anak belum mampu untuk membereskan objek dan benda.
 Usia 3-4 bulan, mata sudah kuat melihat orang/objek, tersenyum kepada orang lain.
 Usia 5-6 bulan, bereaksi berbeda terhadap suara, terkadang agresif, memegang,melihat,
mengikuti suara dan tingkah laku yang sederhana.
 Usia 12 bulan, mengenal larangan.
 Usia 24 bulan, anak sudah membantu melakukan aktivitas sederhana.
b) Periode Prasekolah
 Membuat kontak sosial dengan orang di luar rumahnya.
 Mulai dapat bermain bersama
 Mulai menujukkan tingkat laku sosial, seperti:
- Pembangkangan (negativisme): merupakan tingkah laku yang terjadi sebagai reaksi
terhadap segala bentuk penerapan disiplin dan tuntutan orang tua atau lingkungan
yang tidak sesuai dengan keinginan anak. Tingkah laku ini muncul pada anak yang
berusia 18 bulan sampai tiga tahun, dan mulai menurun pada usia 4 – 6 tahun.
- Agresi (aggression): perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) dan kata- kata
(verbal). Agresi merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa
kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan dan keinginannya). Biasanya bentuk ini
ditunjukkan dengan perilaku menyerang seperti mencubit, menggigit, menendang,
dan memukul.
- Berselisih (arrguing): merupakan suatu sikap yang terjadi jika anak merasa
tersinggung atau terganggu dengan sikap atau perilaku orang lain.
- Menggoda (teasing): merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk
verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) maupun nonverbal (perbuatan yang
bertujuan untuk mengganggu atau usil) yang menimbulkan marah pada orang yang
digodanya.
- Persaingan (rivaly): keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh
orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia 4 tahun, yaitu persaingan prestise dan
pada usia 6 tahun semangat bersaing ini semakin baik.
- Kerja Sama (cooperation). Sikap ini mulai muncul pada usia tiga tahun atau wal
empat tahun, pada usia enam tahun hingga tujuh tahun sikap ini semakin
berkembang dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan anak yang ingin bermain
bersama serta mengerjakan sesuatu bersama.
- Tingkah Laku Berkuasa (ascendent behavior): tingkah laku untuk menguasai situasi
sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah memaksa,
meminta, menyuruh, mengancam, dan sebagainya.
- Mementingkan Diri Sendiri (selfishness): sikap egosentris dalam memenuhi interest
atau keinginannya. Wujud dari sikap ini adalah anak yang acuh dan ingin menang
sendiri.
- Simpati (syimpaty): sikap emosional yang mendorog individu untuk menaruh
perhatian terhadap oranglain agar mau mendekati atau bekerja sama dengan
dirinya.

Tingkah laku sosial pada anak usia dini berbeda-beda menurut tingkatan usia anak.
Semakin tumbuh anak, semakin berkembang tingkah laku sosial anak. tingkah laku sosial anak
sangat berpengaruh dalam proses interaksi dan sosialisasi anak dengan lawan sosial seperti
teman sebaya maupun orang dewasa.

2. Karakteristik perkembangan emosi


Menurut Masnipal (2013), ada beberapa ciri utama reaksi emosi sosial anak usia dini,
yaitu :
 Anak lebih sering terjadi perselisihan dengan teman sebaya, menunjukkan sikap
suka- tidak suka (walaupun rentang benci pendek), suka merajuk (menangis dan
bersembunyi sendiri bila dimarahi), sedih bila barang kesayangannya hilang/mati.
 Kegiatan berteman lebih intens, bermain bersama di rumah maupun diluar rumah,
hubungan anggota keluarga seperti kaka lebih sering terjadi bentrokan, karena
anak berusaha menunjukkan “kekuatannya” dihadapan anggota keluarga. Ia mau
diakui sebagai salah satu anggota keluarga dengan hak yang sama.
 Perilaku yang mencolok adalah perilaku marah/tidak senang dengan
menyembunyikan diri sambil menangis, anak harus diakui sebagai bagian dari
kelompok/keluarga, kegiatan pertemuan lebih intens, perselisihan mulai
berkurang,
 Interaksi anak dengan teman sebaya sangat intens, sudah jarang bertengkar atau
bisa bekerjasama lebih lama, respons positif dari orang dewasa membuat anak
dekat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri utama reaksi sosial emosi pada anak
adalah saling berkaitan diantara keduanya. Emosi sangat dipengaruh oleh sosial atau
lingkungan anak, dan proses sosial anak pun bisa dipengaruhi oleh emosi yang semakin
berkembang. Semakin anak tumbuh maka semakin berkembang tingkat emosi sosial anak.
Pada masa anak ini, emosi masih belum matang artinya masih belum bisa ia kendalikan. Reaksi
sosial emosi anak tidak bisa dibuat-buat dan terjadi secara alami dalam proses interaksi
dengan teman sebaya atau orang dewasa.

Reaksi emosional dapat ditimbulkan dari berbagai macam rangsangan. Pada masa bayi
ada dua ciri khusus yaitu yang pertama emosi bayi disertai dengan reaksi perilaku yang
terlampau hebat bagi rangsangan yang menimbulkannya, terutama dalam hal marah dan
takut. Emosi itu singkat, tetapi kuat, sering muncul, tetapi bersifat sementara dan berubah
menjadi emosi lain jika perhatian bayi dialihkan. Misalnya emosi ketika ada sesuatu yang
membuat dirinya tidak nyaman, seperti kelaparan, buang air, kehausan dan tidak
diperhatikan. Ciri khusus yang kedua adalah emosi lebih mudah dibiasakan pada masa bayi
dibandingkan dengan periode lain, karena pada masa bayi tingkat kognisinya masih terbatas,
artinya bentuk reaksi emosi pada masa ini lebih mudah dan cepat, contohnya menangis. Pada
usia 3 atau 4 bulan pertama, bayi memperlihatkan sejumlah reaksi yang mengisyaratkan
keadaan emosi. Pertama diciriksn dengan penurunan gerakan motorik dan perlambatan detak
jantung sebagai respons terhadap peristiwa yang tidak diduga (rasa heran). Kedua, dicirikan
dengan meningkatnya gerakan motoric, merapatnya kelopak mata, meningginya detak
jantung, dan meledaknya tangisan. Hal ini menunjukkan reaksi terhadap rasa nyeri, dingin dan
lapar. Ketiga, menurunnya ketegangan otot, dan meraptnya kelopak mata setelah pemberian
makanan yang dinamakan sebagai relaksasi karena puas. Keempat, mencakup meningkatnya
gerakan, senyuman, celotehan bergairah jika suatu peristiwa yang cukup dikenal atau interaksi
sosial berlangsung.

Terdapat pola-pola emosi umum pada awal masa kanak-kanak, antara lain :

 Amarah
Anak mengungkapkan rasa marahnya dengan menangis, berteriak, menggertak,
menendang, melompat-lompat atau memukul. Penyebab dari amarah ini yang paling
umum adalah karena pertengkaran tenatang permainan, tidak tercapainya keinginan dan
serangan hebat yang diterimanya dari orang lain.
 Takut
Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan
merupakan penyebab dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita, acara televisi,
dan film-film dengan unsur menakutkan. Pada mulanya reaksi anak terhadap rasa takut
adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, dan bersembunyi,
menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.
 Cemburu
Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua mulai
beralih kepada oranglain didalam keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih
muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya
dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura-pura sakit, atau
menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian orang tua.
 Ingin Tahu
Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal baru yang dilihatnya, juga mengenai
tubuhnya dan tubuh orang lain. Reaksi pertama adalah dalam bentuk penjelajahan
sensomotorik (meraba), kemudian berkembang menjadi bertanya.
 Iri Hati
Anak-anak sering iri hati terhadap orang lain mengenai kemampuan atau barang yang
dimiliki orang lain. Reaksi dari iri hati ini bermacam-macam, yang paling umum mengeluh
dengan barang kepunyaan sendiri dan mengungkapkan ingin mempunyai barang seperti
orang lain atau dengan mengambil barang kepunyaan orang lain.
 Gembira
Anak-anak merasa bahagia karena sehat, bunyi yang tiba-tiba atau yang tidak diharapkan,
bencana yang ringan, membohongi orang lain dan berhasil melakukan tugas yang
dianggap sulit. Anak mengungkapkan kegembiraannya dengan tersenyum dan tertawa,
bertepuk tangan, melompat-lompat atau memeluk benda atau orang yang membuat
dirinya bahagia.
 Sedih
Penyebab anak-anak sedih yang paling umum adalah karena kehilangan segala sesuatu
yang dicintainya atau yang dianggap penting bagi dirinya, seperti orang, binatang, atau
benda mati seperti mainan dan benda yang ia sayangi. Secara khas anak mengungkapkan
kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadapa kegiatan
normalnya, termasuk makan.
 Kasih Sayang
Anak-anak belajar mencintai orang, binatang, atau benda yang menyenangkannya. Ia
mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar tetapi ketika masih kecil anak
mengungkapkannya secara fisik, seperti memeluk, menepuk, dan mencium objek kasih
sayangnya.

Anak mengomunikasikan emosi melalui verbal, gerakan dan bahasa tubuh.Bahasa tubuh
ini perlu kita cermati karena bersifat spontan dan seringkali dilakukan tanpa sadar. Dengan
memahami bahasa tubuh inilah kita dapat memahami pikiran, ide, tingkah laku serta perasaan
anak. Bahasa tubuh yang dapat diamati antara lain: ekspresi wajah, napas, atau gerakan.

Emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku yang ditampilkan:

 Cemas: murung, diam, keringat dingin, lari menjauh


 Senang: senyum, mengeluarkan bunyi, bergumam, menyanyi, membelai, memeluk,
mencium
 Takut: mengkeret, wajahnya mengerut, berteriak-teriak
 Marah: gregetan seperti mau melawan, berteriak ”tidak!”, menyakitidiri sendiri,
menangis
 Kesal: Menggigit, menjambak, membanting barang,mengangkat barang dengan satu
tangan
 Sedih: murung, tidak mau makan, melempar-lempar piring.
 Kecewa: murung, wajah memelas, cemberut.

Reaksi emosi anak usia dini dapat kita kenali dengan kasat mata atau terlihat jelas baik
secara verbal anak maupun non verbal anak, pasalnya emosi anak selalu muncul secara kuat dan
berhenti secara tiba-tiba. Reaksi emosi pada anak sangat berbeda dengan emosi pada orang
dewasa.

D. Strategi Pengembangan Sosial


Menurut Khairani (2013 : 126) “aktivitas bermain setiap anak memiliki peranan yang cukup
besar dalam mengembangkan kecakapan sosialnya sebelum anak berteman dan anak akan
menyediakan mainan dalam menghadapi pengalaman sosialnya”. Khairani (20131:126)
mengemukakan bahwa sikap yang perlu dikembangkan melalui kegiatan bermain antara lain :
 Sikap sosial dalam proses cara bermain mendorong anak untuk meningkatkan pola
berfikir egosentrisnya.
 Belajar berkomunikasi agar anak dapar bermain dengan baik bersama orang lain, anak
harus bisa mengerti sifat dan pergaulan teman-temannya.
 Belajar mengorganisasi pada waktu anak bermain bersama orang lain, anak juga
berkesempatan belajar berorganisasi.
 Lebih menghargai orang lain dari pada perbedaan-perbedaan.
 Menghargai harmoni dan kompromi.
STUDI KASUS

“Studi Kasus Perkembangan Emosional Anak yang Mengikuti Paud dan Anak yang tidak mengikuti
Paud di TK Permata Bunda. Skripsi, Jurusan PG-PAUD.”

Perkembangan emosional merupakan kemampuan dan kompetensi serta hasil belajar anak
yang ingin dicapai dalam kemampuan mengenal lingkungan sosial, peranan masyarakat, mengenal
alam,mengenal lingkungan sekitar dan menghargai keberagamaan sosial dan yang ada disekitar anak
sehingga anak memiliki konsep diri, sikap positif terhadap belajar, memiliki kontrol diri yang baik dan
memiliki rasa empati pada orang lain.Anak-anak usia 4-6 tahun merupakan anak-anak yang berada
pada masa pra sekolah dimana pada masa ini anak memiliki emosi yang sangat kuat sehingga
dibutuhkan pengajaran dan bimbingan dari orang tua atau guru agar emosi anak berjalan dengan
baik. Berkaitan denga itu, maka diperlukan pembahasan mengenai perkembangan emosinal pada
anak.

Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan gambaran perkembangan emosi anak yang


mengikuti PAUDdan anak yang tidak mengikuti PAUD, serta perbedaan perkembangan emosi
diantara anak yang mengikuti PAUDdan anak yang tidak mengikuti PAUD di TK Permata Bunda.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan menggunakan


pendekatan studi kasus. Data penelitian yang digunakan berupa paparan data yang dilakukan
dengan menggunakan teknik wawancara, obseravasi, dan dokumentasi. Instrumen yang digunakan
untuk mengumpulkan data berupa insturmen manusia, yaitu peneliti sendiri. Untuk menjaga
keabsahan data, dilakukan kegiatan trianggulasi data. Kegiatan analisis data dimulai dari tahap
penelahaan data, tahap identifikasi dan klasifikasi data, dan tahap evaluasi data.

Hasil penelitian ini menunjukkan:

Pertama, bahwa anak yang mengikuti PAUD memiliki sikap kemandirian dalam setiap kegiatan yang
ada disekolah dan dilingkungan rumah, anak juga memiliki interaksi yang baik terhadap orang lain
sehingga anak menjadi sosok yang mudah berteman dan bermain dengan siapa saja. Selain itu anak
juga dapat belajar mengontrol perasaannya jika tidak sesuai dengan kehendak, anak juga belajar
untuk menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Ketika berada di lingkungan luar anak
dapat memahami apa saja yang boleh dia lakukan dan apa saja yang tidak boleh dia lakukan
sehingga anak lebih terbiasa untuk menjaga kebersihan diri dengan menjaga dirinnya sendiri
terhadap lingkungan.
Kedua, emosional anak yang berasal dari Non-Paud menunjukkan bahwa anak memiliki tingkat
kemandirian yang kurang dalam setiap aktifitas yang dilakukan disekolah, anak juga kurang bisa
beriteraksi dengan baik terhadap teman sehinga anak tidak memiliki teman dalam bermain. Anak
cenderung menampakan sikap agresifnya ketika ingin berteman seperti mendorong, mencubit,
memukul sehingga membuat anak-anak yang lain menjauh. Dalam kegiatan bermain anak kurang
bisa memahami aturan yang ada dan tata cara bermain yang baik, sehingga anak cendrung bermain
tanpa aturan yang baik dan benar. Begitu juga dalam menghargai orang lain anak kurang bisa
mendengarkan jika guru atau orang lain berbicara. Dalam menjaga dirinya sendirinya anak juga
kurang bisa memahami apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan sehingga
membuat anak kurang mampu dalam menjaga kebersihan dan kerapian diri.

Ketiga, terdapat perbedaan perkembangan emosional anak yang berasal dari Paud dan Non-Paud.
Anak yang berasal dari PAUD memiliki tingkat kemandirian yang baik, dapat mengendalikan
perasaannya ketika berinteraksi dengan teman, selain itu anak juga bisa menghargai orang lain dan
dirinya sendiri. Sedangkan anak yang tidak berasal dari PAUD memiliki tingkat kemandirian yang
kurang baik, kurang bisa mengendalikan perasaannya ketika berinteraksi dengan teman, dan belum
bisa menghargai orang lain ataupun dirinya sendiri.

(Fitria, Annisa. 2012. Studi Kasus Perkembangan Emosional Anak yang  Mengikuti Paud dan Anak
yang tidak mengikuti Paud  di TK Permata Bunda. Skripsi, Jurusan PG-PAUD, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dr. Musa Sukardi, M. Pd (II) Prof. Dr. H.
Sa’dun Akbar, M. Pd.)
Daftar Pustaka

https://kampusitahnews.iainpalangkaraya.ac.id/sosok/mahasiswa/2020/01/13/perkemban an-
sosial-emosional-anak-usia-dini/

Masnipal. (2013). Siap Menjadi Guru dan Pengelola PAUD Profesional. Jakarta: Media Komputindo.

https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/Pertemuan_5GRA1420256.pdf

Khairani, Makmun. (2013). Psikologi Perkembangan. Yokyakarta: Slema

http://eprints.ums.ac.id/69157/3/BAB%20II.pdf

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/23543

Anda mungkin juga menyukai