Anda di halaman 1dari 2

KUALITAS KESEHATAN MENTAL REMAJA MASA KINI

Oleh …

Pandemi COVID-19 yang tengah melanda Indonesia ini menjadikan


remaja memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatan. Aturan yang telah
disusun dalam suatu protokol kesehatan sering diabaikan oleh remaja.
Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah
remaja (usia 10-24 tahun) indonesia mencapai lebih dari 66,0 juta atau 25% dari
jumlah Penduduk Indonesia 255 juta (Bapenas, BPS, UNFPA 2013). Artinya, 1
dari setiap 4 orang Penduduk Indonesia adalah remaja.

Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada
tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut
WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010,
batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.

Menurut psikolog mitra Yayasan Pulih, Maria Puspita kesehatan mental


seseorang dapat dipengaruhi berbagai hal seperti kondisi biologis, sosial ekonomi,
dan lingkungan. Misalnya dalam situasi pandemi seperti saat ini, anak muda
menghadapi beragam tantangan seperti pembelajaran jarak jauh, kebijakan
social/physical distancing yang tengah berlaku, kondisi ekonomi keluarga yang
kemungkinan besar memburuk, serta kondisi rumah yang belum dapat menjadi
lingkungan yang nyaman dan aman. Kondisi itu dapat memberikan dampak pada
kesehatan mental seperti kecemasan, kesepian, depresi, berduka, hingga perilaku
beresiko.

Untuk mengatasi berbagai problem kesehatan mental, Maria mengingatkan


untuk tidak melakukan proses self-diagnose (diagnosa kondisi mental diri sendiri).
Konseling diperlukan jika masalah dirasa tidak dapat diselesaikan, kehidupan
sehari-hari sudah terganggu, perlu opini objektif dari pakar terkait permasalahan
yang dihadapi, dan tidak ada dukungan dari orang lain atau tidak dapat menarik
diri dari lingkungan.

Lingkungan akademik dapat terlibat menjaga kesehatan mental dengan


menciptakan akses dan akomodasi. Caranya adalah dengan mewujudkan
lingkungan yang aman bagi guru, siswa, dan karyawan sekolah untuk mendorong
inklusivitas yang memahami perbedaan fisik, mental, status sosial, suku, agama,
dan konstruksi sosial lain. Sekolah dapat mengambil langkah – langkah untuk
menjaga kondisi mental dengan mengoptimalkan layanan konseling yang dimiliki,
termasuk bekerjasama dengan institusi penyedia layanan kesehatan.

Di tingkat komunitas, bisa diamati dari perubahan kultur yang ada di


masyarakat. Di tingkat keluarga menjadi hal yang paling mendasar untuk
menumbuhkan perhatian dan kepedulian, sedangkan di tingkat institusi dilakukan
melalui program UKS dan upaya kesehatan pesantren. Keluarga sangat berperan
besar atas kesehatan mental remaja saat ini.

Pasalnya, keduanya akan menghasilkan efek yang sama pada perilaku


anak. Ketika peran ayah dalam keluarga hilang, maka bisa mengembangkan
psikopatologi. Anak-anak yang kehilangan sosok ayah sangat rentan menjadi
korban maupun pelaku kekerasan seksual. Sudah sepatutnya ayah dan ibu bekerja
sama dalam pengasuhan anak karena keduanya memiliki peran yang sama dalam
membesarkan anak.

Anda mungkin juga menyukai