Anda di halaman 1dari 7

KESEHATAN MENTAL REMAJA DI INDONESIA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
1. BONA SIANTURI (06)
2. ESTER TAMBUNAN (13)
3. GRACE KELIAT (15)
4. JOEL SIMANJUNTAK (18)
5. MIRANDA SILITONGA (24)
6. SRI LUMBANTUNGKUP (32)
KELOMPOK 6
XII IPA-2

SMA RK BUDI MULIA PEMATANG SIANTAR


TAHUN AJARAN 2023/2024
Kesehatan mental remaja yang terganggu menjadi masalah yang terus terjadi
belakangan ini. Remaja yang seharusnya merasa nyaman dalam menjalani masa-masa
remajanya harus mengalami gangguan psikis mereka. Remaja merupakan generasi penerus
bangsa yang memiliki potensi untuk membawa perubahan yang lebih baik kepada negaranya.
Seseorang yang memasuki masa remaja akan mengalami perubahan fisik, mental, dan
intelektual pada dirinya. Perubahan yang kerap menjadi masalah adalah mental remaja yang
berpengaruh pada kesehatan mental remaja. Kesehatan mental merupakan kondisi individu
memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri,
memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam
kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan
kontribusi kepada komunitasnya.
Akan tetapi, pada masa ini, kesehatan mental pada remaja menjadi permasalahan yang
kontroversial atau isu masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satunya,
banyak para remaja mengalami depresi berat yang cenderung menyakiti diri sendiri hingga
bunuh diri. Menurut hasil penelitian Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-
NAMHS), satu dari tiga remaja Indonesia (34,9%) memiliki satu masalah kesehatan mental
dalam 12 bulan terakhir dan satu dari 20 remaja (5,5%) Indonesia memiliki satu gangguan
mental dalam 12 bulan terakhir. Pada hasil penelitian mereka kecemasan merupakan
gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja.
Perkembangan teknologi pada era industri 4.0 tidak hanya menghadirkan kemudahan,
tetapi juga memengaruhi munculnya gangguan kesehatan mental terutama bagi remaja. Di
Indonesia berdasarkan data dari National Adolescert Mental Health Survey sebanyak 5,5
persen remaja mengalami gangguan kesehatan mental, seperti cemas, depresi dan trauma.
Salah satu faktor yang memicu hal ini adalah munculnya media sosial akibat perkembangan
zaman. Penggunaan media sosial oleh remaja sering kali memicu hal-hal yang menimbulkan
stres karena remaja masih kurang mampu dalam memfilter informasi yang diterima dari
media social. Selain itu, mereka juga lebih suka memerkan eksistensi (kepopuleran) mereka
dalam media sosial yang dimana hal itu dapat menuai pujian akan tetapi hal tersebut justru
lebih banyak menuai cibiran dari pengguna media sosial yang lain yang menyebabkan remaja
mengalami depresi. Ada juga remaja yang melihat postingan pengguna lain tentang prestasi
atau pencapaian sering kali merasa cemburu atau iri yang mengakibatkan mereka
membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Hal ini dapat memicu pemikiran untuk
menekan dirinya agar mampu bersaing dan apabila tidak tercapai akan timbul rasa stress
karena menganggap potensi diri rendah dari orang lain. Selain itu kejadian bullying lebih
marak terjadi di media sosial dan pelaku utamanya adalah anak-anak remaja yang belum
dewasa secara tindakan maupun intelektual.
Selain karena teknologi, khususnya media sosial, Kesehatan mental juga terganggu
karena tindakan secara langsung, sepeti pola asuh orang tua terhadap anak. Pola asuh orang
tua adalah dasar pembentukan kepribadian mulai dari lahir hingga beranjak dewasa. Susanti
(2017) mengatakan bahwa faktor pola asuh orang tua memiliki pengaruh besar dibandingkan
faktor lainnya. Berdasarkan berita harian Kompas (21/10/2017) pola asuh orang tua tertanam
pada pikiran dan jiwa anak, dalam penerapan pola asuh yang salah bisa menyebabkan anak
menjadi psikopat. Seperti mendidik mereka dengan kekerasan dan terlalu memaksakan
kehendak terhadap mereka. Hal tersebut juga dapat membuat mereka menjadi depresi dan
trauma. Minimnya peran keluarga dalam pengasuhan anak juga bisa menyebabkan terjadinya
kenakalan remaja karena mereka tidak pernah mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan
edukasi tentang cara beretika yang baik dari orang tua mereka secara langsung.
Kesehatan mental remaja berpengaruh terhadap prestasi belajar mereka. Kesehatan
mental yang baik memungkinkan remaja untuk fokus dan berkonsentrasi dengan lebih baik
dalam proses belajar. Ketika remaja mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan
atau depresi, mereka cenderung sulit untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas
akademik, yang dapat mengganggu prestasi belajar mereka. Kesehatan mental yang baik juga
berhubungan dengan tingkat motivasi dan minat dalam belajar. Remaja yang memiliki
kesehatan mental yang baik cenderung memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar dan
mengejar tujuan akademik mereka. Sebaliknya, remaja dengan masalah kesehatan mental
mungkin kehilangan minat dan motivasi dalam belajar, yang dapat mempengaruhi prestasi
mereka. Kesehatan mental yang buruk dapat mempengaruhi kehadiran dan partisipasi remaja
dalam lingkungan belajar. Remaja yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin
memiliki tingkat absensi yang tinggi atau cenderung menarik diri dari interaksi sosial di
sekolah, yang dapat mempengaruhi partisipasi mereka dalam pembelajaran dan kolaborasi
dengan teman sebaya. Kesehatan mental yang baik juga berhubungan dengan kemampuan
remaja untuk mengatur waktu dan mengorganisir tugas-tugas akademik. Remaja dengan
kesehatan mental yang buruk mungkin mengalami kesulitan dalam mengatur waktu,
memprioritaskan tugas, dan mengorganisir pekerjaan mereka, yang dapat menghambat
prestasi belajar mereka. Hasil penelitian Praptikaningtyas et al pada tahun 2019 terdapat
21,3% remaja yang mengalami depresi ringan, 6,7% mengalami depresi sedang dan 2%
mengalami depresi berat. Pada penelitian ini juga didapatkan hasil depresi memiliki
hubungan negatif dengan prestasi belajar.
Pandemi COVID-19 menimbulkan banyak tantangan kesehatan mental bagi kaum
muda melalui tindakan pengendalian infeksi yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti
penutupan sekolah secara nasional. Situasi pandemi Covid-19 memengaruhi kecenderungan
orang Indonesia untuk melukai diri hingga berpikir untuk bunuh diri. Meskipun demikian,
hanya sedikit penelitian yang menyelidiki tren bunuh diri di kalangan remaja selama
pandemi, apalagi alasannya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih
dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional,
dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Selain itu
berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016,
diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang
melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang
merupakan usia anak remaja dan usia produktif. Angka bunuh diri di kalangan remaja
meningkat selama pandemi dibandingkan dengan tingkat sebelum pandemi, terutama antara
bulan Agustus-November 2020 (misalnya, rasio angka bunuh diri pada bulan November 2020
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, 1,86; interval kepercayaan 95% ( CI), 1,30 hingga
2,66). Meskipun tingkat bunuh diri kembali mendekati tingkat sebelum pandemi pada bulan
Desember 2020, angka tersebut masih sedikit meningkat hingga tahun 2021. Dalam analisis
rangkaian waktu terputus, tingkat bunuh diri meningkat dari bulan Mei hingga Agustus 2020
(0,099 kasus per 100.000 remaja per bulan; 95% CI, 0,022 menjadi 0,176), diikuti penurunan
pada bulan September hingga Desember 2020 (-0,086 kasus per 100.000 remaja per bulan; CI
95%, -0,164 hingga -0,009).
Meskipun demikian, pemerintah tidak mengambil andil yang cukup besar perihal
kesehatan mental remaja ini. Pemerintah tidak serius dalam melakukan tugasnya untuk
melakukan penyuluhan tentang hal ini kepada setiap wilayah yang ada di Indonesia.
Ditambah lagi banyaknya masalah yang diterima oleh para remaja pada saat melakukan
konsultasi perihal ini. Berdasarkan hasil penelitian I-NAMHS Dari total remaja secara umum
dalam survei ini, jumlah yang mengakses layanan bantuan dan konseling dalam 12 bulan
terakhir hanya sekitar 2%. Mengikuti pola tersebut, angka remaja dengan masalah kesehatan
mental atau ODMK yang mengakses layanan pun turut rendah, yakni sekitar 2,6% saja.
Bahkan, di antara remaja yang mengakses layanan, hanya ada 21,7% yang pergi ke layanan
bantuan sekitar 2-4 kali, dengan jumlah yang lebih kecil lagi (2,7%) bagi mereka yang pergi 5
kali atau lebih. Mayoritasnya, atau 66,5%, mengakses layanan bantuan atau konseling hanya
sekali. Amirah Ellyza Wahdi, dosen dan peneliti kesehatan remaja UGM yang juga terlibat
survei I-NAMHS mengatakan tempat tinggal dan ketersediaan layanan bisa jadi berkontribusi
atas rendahnya angka remaja yang mengakses bantuan. “Kalau dia tinggal di tengah provinsi
yang bahkan nggak punya Rumah Sakit Jiwa (RSJ), ya akan beda dengan remaja yang tinggal
di Yogyakarta,” katanya. “Di Yogya agak bias, karena kita tahu hampir semua puskesmas
punya layanan konseling dari psikolog klinis yang cukup mumpuni membuat diagnosis.
Kalaupun nggak ke sana, mereka yang nggak mau antre, ke RS gampang.”Di kota besar
seperti Yogyakarta, tempat Amirah mengajar, misalnya, ada alternatif layanan lain seperti
UNALA Health Services kerja sama Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA)
dengan Yayasan Angsamerah maupun klinik-klink lainnya. Menurut Amirah, biaya ke dokter
untuk konsultasi masalah mental juga tidak semahal daerah lain. “Yang kita tidak tahu
sekarang, pengalaman di luar Yogya [dan di luar daerah metropolitan] seperti apa. Itu
mungkin harus digali dengan penelitian,” ujarnya. Di Indonesia, proporsi psikiater dan
psikolog per 100.000 penduduk diperkirakan hanya masing-masing 0,29 dan 0,18. Dari
jumlah psikiater yang terbatas itu, 75% diperkirakan terletak di Pulau Jawa. Selain
ketersediaan layanan, orang tua atau pengasuh (primary caregiver) juga memegang peranan
penting dalam memenuhi kebutuhan remaja. Tapi, sayangnya, survei I-NAMHS menemukan
hanya 4,3% yang mendeteksi bahwa anak remaja mereka butuh dukungan kesehatan mental.

Menjaga kesehatan mental remaja sangat penting diupayakan oleh orang tua, karena
berpengaruh pada mentalitas mereka di kemudian hari. Salah satu caranya, yaitu
menyediakan waktu untuk mendukung anak. Upaya Menjaga Kesehatan Mental Remaja;
Dorong anak untuk membagikan perasaannya. Menanyakan bagaimana kabar mereka hari ini,
dan apa saja yang sudah ia lakukan. Orang tua perlu menyediakan waktu untuk membangun
obrolan dengan anak, luangkan waktu untuk memberikan dukungan pada anak. Ayah dan ibu
perlu menemukan berbagai cara untuk mendukung dan mendorong anak untuk beristirahat,
mulai dari pekerjaan sekolah, pekerjaan rumah, hingga aktivitas lain yang ia kerjakan.
Dengan begitu anak dapat melakukan hal-hal yang mereka sukai.Jika remaja sedang stres,
bantulah mereka untuk melakukan pertukaran pikiran untuk mencari solusinya, bekerja sama
untuk menyelesaikan konflik. Ketika anak sedang menghadapi konflik, luangkan waktu untuk
berdiskusi dengannya untuk mendapatkan solusi yang tepat. Dengarkan pendapat anak dan
cobalah untuk menyelesaikan konflik dengan tenang. Orang tua juga perlu jujur dan
transparan pada anak, beritahu remaja untuk menyayangi diri sendiri. Jangan menunggu
untuk meminta bantuan orang lain jika merasa kewalahan.Dorong anak untuk meluangkan
waktu untuk terhubung dengan dirinya sendiri.Luangkan waktu bersama remaja untuk
melakukan hal-hal yang dapat membantunya mengatasi dan mengelola stres. Tawarkan
berbagai strategi untuk menjaga kesehatan mental.
Selain orang tua, pihak sekolah, terutama guru, harus berperan dalam mencegah
terjadinya kerusakan mental pada siswa dengan cara melakukan pendekatan yang membuat
mereka merasa aman dengan sentuhan yang tulus dan penuh cinta kasih, yakni memberikan
perhatian terhadap mereka selayaknya orang tua. Guru juga harus dapat menjadi sosok yang
diandalkan dan peka bagi para siswa dengan cara mengenali, berupaya mendengar, dan
membantu mereka dengan memberikan solusi ataupun nasehat dalam masalah yang mereka
hadapi di sekolah maupun di rumah sehingga ketika peserta didik membutuhkan bantuan
seseorang untuk diandalkan, guru dapat menjadi sosok yang sangat membantu yang dapat
membuat mereka menjadi merasa terlindungi, aman, dan tentram.
Kesehatan mental merupakan aspek penting yang seringkali terabaikan dalam
kehidupan sehari-hari. Terutama bagi remaja, menjaga kesehatan mental remaja memiliki
peranan yang sangat penting untuk memastikan perkembangan yang sehat dan kualitas hidup
yang baik. Remaja adalah kelompok usia yang rentan mengalami berbagai perubahan
emosional dan psikologis yang signifikan. Oleh karena itu, menjaga kesehatan mental remaja
menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Kesehatan mental yang baik dapat berkontribusi
pada kemampuan remaja dalam menghadapi tekanan, mengatasi masalah, dan menjalin
hubungan sosial yang sehat. Selain itu, penting bagi remaja untuk memiliki outlet kreatif atau
hobi yang dapat membantu remaja mengekspresikan diri. Remaja dapat mencoba seni,
olahraga, menulis, atau bermain musik. Kegiatan ini dapat membantu mengurangi stres,
meningkatkan mood, dan memberikan rasa pencapaian yang positif. Remaja juga perlu
menjaga pola makan yang sehat dan berimbang. Makan makanan bergizi dapat memberikan
energi yang cukup untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Hindari mengonsumsi
makanan cepat saji atau junk food yang dapat memengaruhi suasana hati dan kesejahteraan
secara keseluruhan. Jika kesehatan mental tidak dijaga dengan baik, remaja berisiko
mengalami gangguan mental yang dapat mempengaruhi kehidupan remaja secara
negatif.kesehatan mental merupakan aspek yang sangat penting bagi remaja. Dengan menjaga
kesehatan mental remaja dengan baik, remaja dapat menghadapi tantangan hidup dengan
lebih baik, menjalin hubungan yang sehat, dan meraih kualitas hidup yang baik.

Anda mungkin juga menyukai