Anda di halaman 1dari 8

PSIKOLOGI KLINIS

MENTAL HEALTH STIGMA


KELOMPOK 6

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH :


SITI RAUDHOH, S.Psi., M.Psi.
NURUL HAFIZAH, M.Psi., Psikolog

ANGGOTA KELOMPOK :
RINI AFRIANI SYAPUTRI G1C122009
CRISTIN S.R LUMBANTOBING G1C122027
KHAIRUNISA FITRIYA KUSUMA G1C122037
M. FIKRI DZACKY AKBAR G1C122061
M. MAULANA FADHLURRAHMAN G1C122087

PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
Stigma Kesehatan Mental

Kesehatan mental adalah keadaan sejahtera mental yang memungkinkan seseorang mengatasi
tekanan hidup, menyadari kemampuan, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta
berkontribusi pada komunitasnya. Kesehatan mental merupakan aspek yang penting dalam
Kesehatan dan kesejahteraan yang mendasar di dalam kehidupan individu. Namun, kesehatan
mental masih banyak disalahpahami di lingkungan masyarakat. Berdasarkan hasil laporan
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey {I-NAMHS} menunjukan bahwa 1 dari
3 remaja Indonesia usia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Sementara 1-20
remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Dilansir kan dari laman
Universitas Gajah Mada {UGM} angka tersebut setara dengan 15,5 jutan dam 2,45 juta remaja.
Remaja dalam kelompok tersebut adalah remaja yang di diagnosis dengan gangguan mental
sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima
(DSM-5} yang menjadi panduan penegakkan diagnosis gangguan mental di Indonesia.

“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan
keseharian yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki” kata Siswanto Agus
Wilopo, peneliti utama I-NAMHS di hotel Grand Melia, Jakarta Selatan,kamis (20/10/2022)

Gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas menyeluruh
sebesar 3,7%, gangguan depresi mayor sebesar 1,0%, lalu gangguan perilaku 0,9%. Gangguan
stress pasca trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivita (ADHD)
dengan torehan masing-masing sebesar 0,5%. Proposi ini cukup mengkhawatirkan menginggat
hampir 20% dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10-19 tahun. Siswanto
bahkan menyebutkan hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental atau
konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12
bulan terakhir.

I-NAMHS juga mengidentifikasi factor resiko dan perlindungan yang berhubungan dengan
gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan Pendidikan hubungan teman sebaya
dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan
pengunaan fasilitas Kesehatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan jiwa
berhubungan dengan stigma masyarakat yang lebih rendah terhadap orang dengan gangguan
jiwa. Perbedaan stigma yang signifikan terhadap orang dengan gangguan jiwa juga ditemukan
pada kelompok usia, jenis kelamin, pengalaman kontak, riwayat gangguan jiwa, sikap terhadap
pemasungan, status perkawinan, dan tingkat Pendidikan.

Stigma kesehatan mental mencakup sikap negatif, stereotip, dan diskriminasi terhadap individu
dengan kondisi kesehatan mental. Esai ini bertujuan untuk membahas dampak merugikan dari
stigma kesehatan mental pada individu, mengeksplorasi penyebab mendasarnya, dan
mengusulkan strategi untuk mengurangi dampak buruk masalah yang tersebar luas ini. Stigma
kesehatan mental dapat di definisikan sebagai sikap negative, keyakinan, dan sterotip yang
yang di pegang oleh masyarakat terhadap individu dengan gangguan kesehatan mental.
Prasangka ini seringkali mengarah pada diskriminasi, pengecualian, dan marginalisasi terhadap
mereka yang terpengaruh. Stigma berakar dalam pemahaman yang salah dan kekuatan, yang
di pertahan kan norma-norma sosial, representasi media, dan persepsi Sejarah.

Stigma penyakit mental adalah masalah yang menjangkit banyak anggota masyarakat.
Konsekuensinya tidak diketahui oleh masyarakat, tetapi tidak terbatas pada; perselisihan
keluarga, diskriminasi pekerjaan, dan penolakan sosial (Feldman & Crandall, 2007). Stigma
yang paling umum adalah anggapan bahwa setiap orang dengan gangguan jiwa berbahaya bagi
diri mereka sendiri dan orang lain. Ada banyak artikel yang saling bertentangan, baik yang
mendukung maupun yang menyanggah klaim ini. Ada banyak cara untuk mendefinisikan
stigma, tetapi ada banyak tema yang sama. Stigma adalah atribut yang diberikan kepada
seseorang yang membedakan mereka dari orang lain dan membuat mereka terlihat negatif
(Link et al.; Byrne, 2000). Pandangan negatif ini menyebabkan banyak masalah lain dalam
kehidupan para penyandang penyakit kesehatan mental.

Menjaga kesehatan mental itu sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Gangguan
mental sebenarnya merupakan suatu kondisi umum yang terjadi. Sama seperti penyakit pada
fisik, yang perlu diatasi dan diobati, pengidap gangguan mental juga perlu ditangani dengan
baik agar tidak menganggu kualitas hidup pengidapnya. Berikut beberapa contoh hal negative
yang dirasakan pengidap penyakit mental yaitu pertama, sering merasakan kesedihan. Kedua,
menarik diri dari lingkungan. Ketiga, ketidakmampuan untuk mengatasi stress atau masalah
sehari-hari dan yang terakhir kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi.

Gangguan mental mungkin tidak selalu jelas terlihat dari luar seperti yang mungkin banyak
digambarkan oleh film-film maupun novel. Gangguan mental merupakan suatu penyakit yang
hampir tak terdeteksi. Gangguan mental seperti depresi, gangguan kecemasan dan sebagainya
dapat terjadi karena berbagai alasan. Bisa karena pengalaman yang ia rasakan,
ketidakseimbangan reaksi kimia di otak maupun kondisi lain yang belum doketahui. Gangguan
mental membutuhkan penangan professional. Namun, meskipun begitu masih banyak stigma-
stiigma yang ada di masyarakat yang selalu menyudutkan para penderita gangguan mental.

Stigma muncul karena kurangnya pemahaman terhadap penyakit jiwa, ketidaktahuan dan
minim nya informasi dan juga adanya sikap dan keyakinan yang cenderung negative terhadap
penyakit kesehatan mental sehingga hal inilah yang menyebabkan adanya diskriminasi
terhadap orang-orang dengan penyakit mental.

Media juga ikut berperan dalam memperkuat stigma dengan memberikan gambaran penilaian
yang tidak akurat tentang orang-orang dengan penyakit mental, mengunakan bahasa yang
merendahkan, sehingga banyak masyarakat yang juga ikut memandang rendah orang dengan
penyakit mental. Media juga mengasosiasikan penyakit mental dengan kekerasan sehingga hal
ini akan menyebarkan mitos bahwa semua penderita penyakit mental itu berbahaya.

Di Indonesia sendiri pemahaman mengenai kesehatan mental masih minim dipahami oleh
masyarakat. Oleh sebab itu, pengidap gangguan mental akan selalu dikucilkan dan mengalami
perlakuan kasar, penghinaan maupun perundungan. Di Indonesia nilai-nilai tradisi budaya atau
kepercayaan masyarakat masih sangat kental sehingga sebagian masyarakat mempercayai
penyebab dari gangguan kesehatan mental berasal dari hal-hal super natural atau takhayul.
Sehingga pengidap gangguan mental menganggap gangguan yang terjadi di dalam diri nya
adalah sebuah aib. Oleh karena pemahaman yang keliru ini, orang-orang yang membutuhkan
bantuan tenaga ahli enggan untuk di tanggani karena takut dengan pandangan negative
masyarakat terhadap dirinya.

Stigma juga mulai berkembang ketika informasi mengenai isu kesehatan mental didapat dari
gambaran-gambaran novel, film atau sumber-sumber lain nya yang terlalu mendramatisir
fenomena ini. Dari gambaram yang dibangun ini, respon masyarakat ketika ada yang
mengalami fenomena ini pun menjadi tidak tepat.

Lalu, ada beberapa tipe Stigma Kesehatan Mental yang bisa dilihat di kehidupan masyarakat
seperti, Stigma public, yaitu pandangan negatif dari beberapa orang dalam satu komunitas atau
kelompok terkait kesehatan mental. Stigma pribadi, yaitu sikap negatif terhadap mental health
yang datang dari pandangan pribadi atau telah dipengaruhi oleh masyarakat. Stigma
institusional, yaitu kebijakan atau prosedur tidak proporsional dan memengaruhi orang dengan
kondisi kesehatan mental, biasanya dapat terjadi di institusi, lembaga, sekolah, hingga
perusahaan. Perceived stigma, yaitu stigma ini hadir karena asumsi yang orang lain buat
tentang kesehatan mental cenderung negatif.

Selain adanya tipe-tipe stigma kesehatan mental di dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa
contoh ragam stigma kesehatan mental yang biasa kita temui seperti, Labelisasi atau stereotip,
dimana individu dengan masalah Kesehatan mental sering kali dilabeli dengan kata-kata seperti
“orang gila”, “lemah” atau “orang yang tidak normal”. Adanya stigma dalam keluarga, dimana
ketika seorang yang mengalami penyakit mental jika mengungkapkan perasaan bahwa mereka
cemas dan stres kepada keluarga maka mereka tidak akan mendapatkan dukungan emosional.
Lalu, ada penghindaran interaksi dengan mereka yang mengidap penyakit mental, biasanya ini
terjadi dalam kelompok pertemanan dimana, mereka yang mengidap penyakit mental akan
menghindari interaksi-interaksi sosial. Dan biasanya yang paling sering dijumpai adalah
diskriminasi di tempat kerja, dimana seorang individu dengan riwayat gangguan Kesehatan
mental akan lebih kesulitan dalam mencari pekerjaan.

Dalam tulisan ini, kami juga akan membahas mengenai isu-isu yang sedang marak mengenai
gangguan Kesehatan mental. Ada beberapa isu mengenai stigma Kesehatan mental yaitu,
Pertama, Ketika seseorang mengalami penyakit mental, stigma kebanyakan orang
menyebutkan bahwa pasien tersebut gila, berbahaya dan bahkan tidak kompeten. Kedua,
pandangan Masyarakat yang menganggap orang dengan penyakit mental mungkin dianggap
lebih kejam dibanding mereka yang tidak mengalami gangguan Kesehatan mental. Ketiga,
orang dengan kecemasan mungkin dicap sebagai orang yang pengecut. Keempat, orang yang
mengalami depresi mungkin diminta untuk menghentikan perasaan nya. Kelima, orang yang
mengidap skizofrenia secara keliru digambarkan sebagai orang yang berkepribadian ganda.
Keenam, Stigma dapat berbeda antara gender. Pria mungkin mengalami kesulitan untuk
mencari bantuan kesehatan mental karena takut dianggap tidak maskulin, sementara
perempuan mungkin mengalami pandangan negatif jika mereka tidak "kuat" atau "tabah."
Ketujuh, akses terhadap kesehatan mental di Indonesia masih sulit, anggaran pemerintah
untuk kesehatan mental, kapasitas rumah sakit jiwa serta bangsal psikiatri di rumah sakit
umum masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Dari isu-isu yang ada, muncullah dampak yang ada akibat dari konsekuensi dari stigma
kesehatan mental yang bersifat kompleks dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
individu dan masyarakat secara keseluruhan. Ada beberapa dampak yang terjadi seperti
pengobatan yang ditunda, stigma yang ada seringkali mencegah individu untuk mencari
pengobatan yang tepat. Perasaan takut dijuluki sebagai "lemah" atau "gila" dapat menyebabkan
penolakan, isolasi, dan penghindaran terhadap bantuan profesional. Isolasi sosial, individu
yang terkena stigma dapat mengalami isolasi sosial karena takut dihakimi atau ditolak oleh
teman sebaya, keluarga, atau rekan-rekan mereka. Isolasi ini dapat memperburuk masalah
kesehatan mental mereka dan menghambat pemulihan mereka. Merusak harga diri, stereotip
negatif seputar kondisi kesehatan mental dapat merusak harga diri dan nilai diri individu yang
terpengaruh. Dan karena hal ini, individu akan merasakan perasaan negative dan akan
menciptakan perasaan rendah diri. Berdampak pada hubungan sosial, stigma dapat membebani
hubungan, karena anggota keluarga dan teman mungkin kesulitan memahami atau memberikan
dukungan. Mendapatkan diskriminasi, individu yang terkena stigma dapat menghadapi
diskriminasi di lingkungan pendidikan dan professional sehingga kehilangan pekerjaan,
diintimidasi, dikucilkan dari kelompok sosial, atau menjadi korban kekerasan. Persepsi public,
stigma masyarakat yang mempertahankan gagasan bahwa kondisi kesehatan mental adalah
hasil dari kelemahan pribadi daripada faktor biologis dan lingkungan yang kompleks. Persepsi
yang miring ini menghambat empati dan tindakan kolektif. Dan yang terakhir adalah stigma
menimbulkan rasa malu, beberapa budaya memiliki stigma yang melekat terhadap masalah
kesehatan mental, dan hal ini dapat mempersulit seseorang untuk mencari dan mendapatkan
bantuan serta dapat menimbulkan rasa malu.

Untuk mengatasi stigma terhadap kesehatan mental, maka kita memerlukan pendekatan
komprehensif yang melibatkan individu, komunitas, lembaga-lembaga dan pemerintah, maka
kami akan merangkum beberapa solusi yang potensial yang bisa dilakukan yaitu, pertama
mempromosikan informasi akurat tentang kondisi kesehatan mental dapat menghilangkan
pemahaman yang salah. Kampanye edukatif di sekolah, tempat kerja, dan media dapat
meningkatkan kesadaran dan mendorong empati. Kedua, media memainkan peran penting
dalam membentuk persepsi publik. Sehingga kita bisa menggunakan media untuk
menggambarkan representasi kesehatan mental yang realistis dan penuh empati. Ketiga,
menciptakan ruang aman di mana individu dapat dengan terbuka membicarakan pengalaman
kesehatan mental mereka tanpa takut dihakimi sangat penting. Kelompok dukungan sebaya
dan komunitas online dapat memfasilitasi koneksi dan pemahaman. Keempat, bagi penyandang
gangguan Kesehatan mental jangan menghindar dari interaksi sosial dan biarkan dirimu tetap
terkoneksi dengan teman serta keluarga. Kelima, bagi penyandang gangguan kesehatan mental
dengan meminta bantuan professional, Kita lebih tahu Langkah yang harus diambil dan
bagaimana kita memproses stigma dari orang lain. Keenam, pendidikan kesehatan mental
dalam kurikulum sekolah dapat mengurangi stigma di kalangan generasi mendatang.
Mengajarkan empati, kecerdasan emosional, dan keterampilan mengatasi dapat menjadi
langkah yang berpengaruh. Ketujuh, bagi mereka penyandang gangguan kesehatan mental
Kamu perlu memberikan banyak afirmasi positif kepada diri sendiri agar tidak terpengaruh
dengan stigma negative. Kedelapan, Berbagi kisah individu yang telah mengatasi tantangan
kesehatan mental dapat menginspirasi harapan dan menghancurkan stereotip. Dengan
memberikan beberapa solusi diatas, diharapkan dapat berkontribusi pada pengurangan stigma.

Saat ini, kita dapat menemui banyak media platform untuk meningkatkan kesadaran akan
kesehatan mental. Di Indonesia ada berbagai macam platform mengenai stigma kesehatan
mental salah satunya yaitu SocialConnect.id, Yayasan Pulih, Berbagi Cerita, Satu persen
Indonesian Life School dan Organisasi Psikologi HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia).

Social Connect merupakan sebuah komunitas kesehatan mental terbesar di Indonesia dengan
pengelolaan konten, tim medis, dan kegiatan-kegiatan untuk seluruh anggotanya. Social
Connect berdiri pada tahun 2019, dimulai dari sebuah proyek sosial dengan tujuan untuk
berbagi cerita dan konten seputar kesehatan mental.

Satu Persen Indonesian Life School adalah startup Pendidikan yang mengajarkan tentang
pengetahuan dan kemampuan penting dalam hidup yang belum diajarkan di sekolah dan
Masyarakat luas. Satu Persen Indonesian Life School juga menyediakan berbagai pelayanan
seperti mentoring, konseling, perencanaan keuangan, workshop, webinar, bootcamp, mental
health training, gift card, kelas online, YouTube membership, dan tes psikologi. Sehingga,
platfrom Satu Persen Indonesian Life School sangat banyak digemari anak muda saat ini dan
dapat membantu para pengidap gangguan kesehatan mental dikarenakan mereka menyediakan
psikolog-psikolog yang sudah berpengalaman.

Organisasi Psikologi HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), memberikan perlindungan


kepada anggotanya dan masyarakat pengguna jasa Psikologi Sosial, untuk memperoleh
pelayanan profesional yang sesuai dengan hak-hak sebagai pengguna jasa (konsumen)
psikologi dan kode etik psikologi. Meningkatkan pengabdian profesional di bidang Psikologi
Sosial kepada masyarakat.
REFERENSI

Barus, G. (2022, Oktober 24). UNIVERSITAS GADJAH MADA. Retrieved from ugm.ac.id:
https://ugm.ac.id/
Nurul Hartini, N. A. (2018, October 31). PMC PubMed Central. Retrieved from
ncbi.nlm.nih.go: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
Organization, W. H. (2022, June 17). World Health Organization. Retrieved from who.int:
https://www.who.int/
Pontoh, E. (2020, August 14). IDN TIMES. Retrieved from idntimes.com:
https://www.idntimes.com/
Primananda, d. A. (2022, Agustus 16). Kementrian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan. Retrieved from yankes.kemkes.go.id: https://yankes.kemkes.go.id/
Santika, E. F. (2023, April 14). databoks. Retrieved from databoks.katadata.co.id:
https://databoks.katadata.co.id/
SCHOOL, S. P. (2019). SATU PERSEN INDONESIAN LIFE SCHOOL. Retrieved from
satupersen.net: https://satupersen.net/
Seributujuan. (n.d.). Seributujuan. Retrieved from seributujuan.id:
https://www.seributujuan.id/

Anda mungkin juga menyukai