Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dwi Indri Safitri

NPM : 09402111012

Mata Kuliah : Pancasila

Prodi : Pendidikan Dokter

Dampak Self Diagnose Terhadap Kesehatan Mental


Beberapa waktu yang lalu, sering sekali berseliwerran di media social terkait cara-cara
mendiagnosisi diri sendiri terkait kesehatan mental. Hal ini sering terlihat dalam bentuk video,
gambar, maupun artikel yang bertebaran di media sosial. Namun apakah mendiagnosis suatu
kelainan pada kesehatan mental dapat semudah itu? Apakah hal ini berdampak pada kesehatan
mental diri sendiri?

Self-diagnosis adalah asumsi yang menyatakan bahwa seseorang terkena suatu penyakit
berdasarkan pengetahuannya sendiri. Self-diagnosis sangat membahayakan kesehatan seseorang
apabila salah dalam mengambil metode pengobatan dan mengonsumsi obat yang salah. Selain
membahayakan kesehatan, Self-diagnosis juga dapat mempengaruhi kesehatan mental yang
menyebabkan kecemasan berlebihan.

Dampak Self-diagnosis sangat buruk terhadap kesehatan mental, yaitu meningkatkan


kecemasan yang berlebihan dan memicu rasa depresi. Seperti: merasa khawatir karena sering
merasa sakit kepala dan sering merasa lelah, lalu mencari informasi sakit kepala tersebut di
internet. Berdasarkan hasil pencarian menunjukkan gejala tersebut merupakan tanda terkena
penyakit lainnya yang lebih parah. Saat itu juga terasa sangat cemas dan stress sampai hidup
selalu merasa diselimuti oleh rasa takut yang mengganggu kesehatan mental.

Melihat perkembangan teknologi dan mudahnya akses kepada social media membuat
masyarakat sulit untuk menyaring informasi yang didapatkan. Namun hal ini bukan menjadi
maslaha besar bagi masyarakat yang dapat beradaptasi dengan baik dengan penggunaan
teknologi.

Isu kesehatan selalu menjadi topik pembicaraan yang hangat untuk diperbincangkan,
salah satunya adalah isu kesehatan mental. Kesehatan mental kini menjadi topik yang harus
mendapat perhatian serius jika melihat dari data yang dilansir oleh Riset Kesehatan Dasar
Kemenkes RI. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gangguan jiwa berat di
Indonesia mencapai 1,7 per mil.

Hal ini berarti, 1-2 orang dari 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat
(Viora dalam Ika, 2015). Pada saat 2013, pengobatan gangguan jiwa tercatat bahwa kurang dari
10% orang yang mengalami gangguan jiwa mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan.
Angka yang dapat dikatakan jauh dari harapan.

Di tahun 2018, survei yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar, prevalensi gangguan
jiwa berat meningkat secara signifikan menjadi 7 per mil, yang artinya 7 dari 1000 penduduk
Indonesia mengalami gangguan jiwa berat (Depkes, 2018), atau meningkat 312% dari tahun
2013. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas karena (1) Peningkatan angka ini dapat
menunjukkan kenaikan masalah kesehatan mental di Indonesia, dan (2) Adanya peningkatan
kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan mental di Indonesia. Kedua asumsi
tersebut menjadi bahan yang menarik dan dapat memberikan dampak positif bagi pelayanan
kesehatan mental di Indonesia. Sesuai dengan pernyataan Viora (2018) bahwa saat ini,
masyarakat menjadi lebih terbuka untuk mengkomunikasikan gangguan jiwa yang dialami,
maupun yang dilihat di sekitar kehidupannya. Lebih dari itu, angka yang ditunjukkan dalam
survei Riskesdas 2018 adalah gerbang awal bagi layanan kesehatan mental menyeluruh bagi
masyarakat Indonesia.

Menurut American Psychiatric Association, berikut ini tanda psikologis terganggu yang
perlu diperhatikan:

 Ketakutan atau kegelisahan yang berlebihan. Kamu jadi sering merasa takut,
cemas, gugup, atau panik berlebihan, bahkan pada hal sepele.
 Perubahan suasana hati. Dapat berupa kesedihan yang mendalam,
ketidakmampuan untuk mengekspresikan kegembiraan, ketidakpedulian terhadap
situasi, perasaan putus asa, tawa pada waktu yang tidak tepat tanpa alasan yang
jelas, atau pikiran untuk bunuh diri.
 Masalah berpikir. Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau masalah dengan
ingatan, pikiran, atau ucapan yang sulit dijelaskan.
 Perubahan tidur atau nafsu makan. Kebiasaan tidur dan makan yang berubah
secara dramatis (bisa lebih atau kurang) dari biasanya. Biasanya juga disertai
kenaikan atau penurunan berat badan yang cepat.
 Penarikan diri. Sering duduk dan tidak melakukan apa-apa untuk waktu yang
lama, atau berhenti dari aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

Lalu apakah kriteria di atas bisa dijadikan sebagai acuan? Ada baiknya sebelum
mendiagnosis diri sendiri untuk mengonsultasikan kepada ahlinya. Karena sebagai masyarakat
yang memang tidak memiliki focus ilmu disana, penting untuk meminta bantuan kepada ahlinya
agar tidak terjadi hal yang buruk.

Konsultasikan keadaan yang dirasa memang tidak baik pada diri sendiri. Jangan sampai
menjadikan berbagai tes yang berseliwearn begitu saja bukan dari ahlinya menjad patokan dari
kesehatan mental diri sendiri.

Hal ini juga perlu dukungan dari lingkungan sekitar. Karena seseorang yang memang
sudah terdiagnosis mengalami gangguan pada mental butuh dukungan penuh kepada dirinya
sendiri dari lingkungan yang ada di sekitar. Keluarga, sahabat, teman, atau lainnya. Bahkan jika
bisa, hindari diri sendiri dari hal yang dapat menjadi pemicu gangguan tersebut.

Selain itu juga, dengan mengonsultasikan pada ahli, akan diberikan saran yang sesuai
dengan kondisi gangguan mental seseorang. Hal ini dapat membantu untuk proses penyembuhan.
Meski semuanya kembali lagi kepada diri sendiri.

Anda mungkin juga menyukai