Anda di halaman 1dari 6

Pernahkah kamu merasa tidak enak badan kemudian mengeluhkannya kepada teman sekitar?

Teman yang pernah memiliki gejala yang sama pun kemudian menginformasikan berbagai cara
untuk mengatasi masalah tersebut, dengan menggunakan cara yang pernah ia lakukan.
Setelahnya kemudian kamu akan langsung percaya dan menuruti sarannya tersebut. hal ini
dapat termasuk ke dalam fenomena self diagnosis. Dengan Teman, keluarga, serta pengalaman
sakit di masa lalu yang kerap dijadikan acuan dalam “mengobati diri sendiri”. Gejala yang mirip
ini kemudian akan membuatmu mengetahui berbagai langkah mengobatinya, Belum lagi
dengan sebelumnya membaca artikel-artikel Kesehatan yang kurang kredibel. Tidak sembuh,
malah dengan mendiagnosis diri sendiri justru akan memperburuk kesehatanmu.

Saat ini, media sosial dipenuhi oleh para remaja yang melakukan self-diagnosis terhadap
kesehatan mentalnya dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang keren untuk diekspos.
Tren ini sering muncul di media sosial dengan latar belakang monokrom dan diiringi dengan
lagu-lagu sedih agar terlihat lebih dramatis dan melankolis. Mereka seakan-akan sedang
berlomba-lomba menunjukkan kesedihan dan penderitaan mereka.

Sebelum kita membahas tren ini lebih dalam, alangkah baiknya kita mengetahui apa itu
gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental atau yang biasa disebut mental
illness adalah kondisi kesehatan yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, atau
suasana hati seseorang. Ada banyak sekali jenis mental illness yang dapat dialami seseorang.
Namun, yang biasanya cukup sering terjadi adalah gangguan kecemasan, kepribadian,
gangguan makan, psikotik, suasana hati, stress pascatrauma, dan depresi.

Setiap orang bisa mengalami gejala mental illness yang berbeda-beda, tergantung pada
penyakit dan tingkat keparahannya. Sedih yang berkepanjangan, ketakutan yang berlebihan,
perubahan suasana hati yang ekstrem, munculnya pikiran untuk bunuh diri adalah beberapa
gejala yang biasanya sering kali dialami. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, di
antaranya adalah faktor lingkungan, faktor biologis, dan faktor psikologis.

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keadaan mental adalah lingkungan keluarga,
pertemanan, ataupun lingkungan kerja/sekolah yang cenderung dapat dikatakan toxic/buruk
atau tidak nyaman menurut pribadi kita. Sedangkan dari faktor biologis dapat disebabkan oleh
gangguan pada fungsi sel saraf di otak, kelainan bawaan, luka otak karena kecelakaan, dan
penyalahgunaan NAPZA. Dan dari faktor psikologis, beberapa hal yang dapat menyebabkan
penyakit mental adalah peristiwa traumatik seperti kekerasan seksual, kehilangan orang tua
saat kecil, perasaan rendah diri dan kesepian, dan hal-hal lain sejenisnya.

Mental health sangatlah penting bagi kesehatan kita. Tetapi, banyak dari remaja yang
mengekspos mental illness mereka yang mereka self-diagnosis dengan menggunakan aplikasi
seperti Google.

Self-diagnosis adalah mendiagnosis atau mengklaim diri sendiri sebagai orang yang mengidap
sebuah penyakit berdasarkan pengetahuan dan informasi yang didapatkan secara mandiri
tanpa dibantu dengan orang yang profesional. Padahal, diagnosis diri hanya boleh ditetapkan
oleh tenaga medis profesional. Proses menuju diagnosis yang tepat sangatlah sulit, bahkan
ketika Anda berkonsultasi dengan dua dokter yang berbeda, hasilnya belum tentu sama.

Diagnosis harus ditentukan berdasarkan gejala, keluhan, riwayat kesehatan, serta faktor lain
yang Anda alami. Saat mendiagnosis diri,seringnya Anda menyimpulkan suatu masalah
kesehatan fisik maupun psikologis dengan berbekal informasi yang Anda miliki.

Mencari-cari informasi sendiri dengan menggunakan internet juga tidak dapat dianggap
sepenuhnya valid, sebab tidak jarang diri kita sendiri kurang mengerti tentang diri kita dan
kondisi sebenarnya yang kita alami dan cenderung melebih-lebihkan kondisi yang sedang kita
alami. Self-diagnosis sangat tidak dianjurkan karena mungkin terjadinya diagnosis yang salah
dan pengobatan yang tidak tepat.

Self-diagnosis juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental itu sendiri. Sebagai contoh,
Anda belakangan ini sering merasa pusing. Kemudian, dari hasil pencarian di internet
mendapati bahwa sakit kepala yang sering kamu alami mengindikasi penyakit tumor otak. Oleh
karena itu, Anda merasa khawatir dan stres yang berlebihan. Padahal, belum tentu Anda
mengidap tumor otak, namun Anda sudah merasa sangat khawatir.

Di media sosial, tidak sedikit individu yang menyatakan mengalami masalah psikologis. Mungkin
kalian sendiri pernah melihat sendiri postingan di media sosial dengan konten seperti:

“Aduh gue depresi nih skripsi kagak kelar-kelar”

“Gue sering ngomong sendiri kalo lagi dimotor, kayanya gue Halusinasi deh”

“Gue OCD nih soalnya gasuka yang kotor-kotor”

“Gue kayanya bipolar deh mood gue gampang banget berubah-ubahnya”

Fenomena ini seperti sedang hype dan orang-orang terkesan hanya mengikuti tren ini agar
tidak merasa ketinggalan zaman dan menganggap ini sesuatu yang keren. Maraknya platform
yang menyebarkan informasi mengenai tanda-tanda gangguan psikologis juga membuat
pembaca menjadi tersugesti memiliki keadaan yang sesuai dengan hal tersebut.

Padahal informasi yang disebarkan itu bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pembaca
mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental, bukan untuk mendiagnosis diri sendiri.
Namun, tidak semua pembaca mengerti apa yang dimaksudkan oleh beberapa platform
tersebut, sehingga banyak yang mengasumsikan hal tersebut sebagi sarana untuk mendiagnosis
diri sendiri.

Pada kenyataannya, tidak semudah itu mendiagnosis diri sebagai individu yang depresi, Atau
bahkan mengalami Obsessive Compulsive Disorder dan Bipolar
Banyak hal yang dapat memicu terjadinya hal ini, dan tidak jarang dikarenakan mereka memiliki
trauma yang disebabkan oleh hubungan yang toxic, jam kerja yang tidak teratur, bos yang
tidak ramah, terlalu dikekang oleh orangtuanya, dan masih banyak lagi.

Bahkan, saat ini juga marak istilah-istilah yang keren dan terkesan lebih "biologis" agar semua
perlakuan dan perkataan mereka menjadi semakin keren dan estetik. Sebagai contoh, memiliki
orangtua yang terlalu protektif biasanya disebut strict parents, perkataan yang sedikit tajam
dan menyakitkan hati mereka disebut verbally abusive, menyakiti dirinya sendiri dengan cara
menggoreskan tulisan di tangannya disebut cutting, jam kerja yang terlalu banyak dan menekan
disebut overwhelm, dan masih banyak istilah-istilah yang mendukung mereka untuk membuat
konten-konten mental health mereka terbungkus dengan rapih dan estetik.

Istilah strict parents yang pada awalnya digunakan untuk menggambarkan orangtua yang kaku
dan membatasi berlebihan kebebasan dan hak anaknya, banyak digunakan oleh para remaja
yang dilarang orang tuanya untuk pergi main keluar di atas jam 9 atau 10 malam. Sedangkan
cutting adalah sebuah aktivitas yang masuk dalam kategori self-harm; seseorang yang memiliki
gangguan mental memiliki kecenderungan untuk menyakiti dirinya dikarenakan 'aksi' menyakiti
dirinya sendiri dapat memberikan rasa tenang, kepuasan, kelegaan dan dapat menjadi cara bagi
penderita untuk meluapkan emosi marah, kesal, stres, depresi, dan emosi lainnya.

Bipolar disorder yang merupakan kelainan mental dimana pengidapnya memiliki suasana
perasaan yang sangat labil, sering digunakan para remaja yang moody-an untuk
mendeskripsikan dirinya sendiri padahal dia belum memiliki diagnosis dokter dan hanya
melakukan beberapa menit googling di internet.

Tren yang ramai di media sosial ini menyebabkan banyak remaja yang tidak memiliki gangguan
kesehatan mental melakukan self-diagnosis bahwa mereka juga memiliki gangguan kesehatan
mental. Tren ini seharusnya kita hindari dan sudahi secepatnya karena sangat berdampak buruk
bagi karakter dan mental para remaja yang kian hari terlihat semakin sensitif dan mudah
menyerah bila dihadapkan dengan masalah.

Kebiasaan melakukan tindakan self-diagnosis seharusnya kita hindari ketika kita telah
merasakan hal yang aneh sedang terjadi pada diri kita. Menarik kesimpulan pada penyakit
mental tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan informasi-informasi yang dapat diperoleh dari
internet. Alangkah baiknya, kita segera berkonsultasi dengan tenaga medis yang profesional
agar dapat menemukan obat dan solusi yang tepat dan tidak memperparah penyakit yang kita
alami.

Bahaya dan Dampak negative self diagnose

1. Panik
Self-diagnose terkait kesehatan mental memiliki bahaya yang tidak disadari seperti bisa
membuat panik.

“Manusia memiliki naluri untuk cenderung memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa
menimpanya. Itulah mengapa lebih mudah untuk mengasumsikan hal-hal buruk ketika
melakukan self-diagnose.”

Pada akhirnya, self-diagnose hanya akan membuat pasien mengalami kepanikan yang tidak
seharusnya terjadi. Jika pasien lebih memilih berkonsultasi ke psikolog, maka pasien tidak akan
merasa panik.

2. Membuat gangguan sebenarnya terabaikan

Ketika seseorang melakukan self-diagnose, gejala penyakit atau gangguan kesehatan mental
yang ditemukan dan diyakini belum tentu benar atau sesuai dengan kondisi yang dialami.

Bisa saja kamu yakin sedang mengalami anxiety disorder, tetapi sebenarnya kamu mengalami
Depresi mayor. Bisa jadi pula kebalikannya atau bahkan bukan keduanya.

Saat melakukan self-diagnose, seseorang jadi tidak tahu sebenarnya penyakit atau gangguan
kesehatan mental apa yang sedang dialami.

Kamu hanya menduga-duga hal yang belum tentu kebenarannya. Hal ini merupakan masalah
karena dengan begitu kamu jadi tidak bisa mendapatkan penanganan yang tepat.

3. Memperparah kondisi Kesehatan Mental

Risiko self-diagnose lainnya adalah justru dapat memperparah kondisi kesehatan mental. Ini
bisa terjadi karena terlalu panik dan stres.

Keadaan panik malah membuat orang tidak mengobati masalah kesehatan mentalnya atau
bahkan mendapatkan pengobatan yang salah.

Setiap masalah kesehatan mental memiliki penanganan tersendiri. Ada yang bisa diatasi dengan
terapi, ada pula yang membutuhkan obat-obatan tertentu, lanjut Prita.

Kelemahan dari self-diagnose adalah seseorang tidak akan benar-benar tahu penanganan yang
tepat untuk masalah kesehatan mentalnya. Bisa jadi orang tersebut salah langkah dengan
menggunakan produk yang memiliki efek samping negatif.

4. Menyangkal masalah Kesehatan mental yang sedang dialami

Biasanya, seseorang akan menyimpulkan hal terburuk saat melakukan self-diagnose. Tetapi,
ternyata hal kebalikannya juga berlaku.
“Tak jarang ada orang yang memilih untuk menyangkal gangguan kesehatan mental yang
sedang dialami. Mereka umumnya merasa masalah kesehatan mental yang ia alami tidak
terlalu parah.”

Padahal, penolakan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab bisa jadi masalah
kesehatan mental yang dimiliki membutuhkan penanganan segera agar tidak semakin parah.

5. Enggan berkonsultasi dengan ahli Setelah mencari tentang masalah kesehatan mental di
internet, seseorang jadi merasa tidak perlu lagi untuk berkonsultasi ke psikolog. Sebab,
orang tersebut berpikir bahwa ia bisa tahu gejala yang dialami tanpa bantuan ahli.

“Jika terlalu sering dilakukan, self-diagnose bisa memunculkan trust issue kepada psikolog dan
psikiater. Hal ini dapat terjadi karena kamu sudah terlalu percaya diagnosis yang kamu dapat
dari internet. Kamu jadi cenderung mempercayai internet, bukan para ahli.”

Padahal, berkonsultasi dengan ahli bisa membantu menemukan langkah selanjutnya. Mulai dari
tingkat keparahan hingga konfirmasi terkait kondisi yang dialami.

Bagaimana cara kita menghindari Self-Diagnosis?

1. Memilah Informasi yang didapatkan dari Internet

Tidak semua informasi yang ada di internet adalah benar dan jelas sumbernya. Kita sebagai
pengguna harus pintar dan kritis memilah informasi yang ada di internet, Mencari tahu sumber
yang valid. Sebagai pengguna jangan dengan mudah tersugesti dan mencocokan gejala yang
ada terhadap keadaan diri sendiri.

2. Berdiskusi dengan Teman dan Keluarga

Mencurahkan pikiran dan perasaan diri dengan orang terdekat terbukti ampuh untuk
mengatasi tingkat stress pada individu. Salah satu cara efektif yang dilakukan Masyarakat
Indonesia untuk mengurangi stress adalah dengan bercerita kepada teman atau keluarga.
(Cygna Asurance, 2018)

3. Menghubungi Profesional

Stigma yang muncul di masyarakat saat ini mengenai praktisi dalam bidang kejiwaan seperti
Psikolog dan Psikiater yang dianggap sebagai profesional yang menangani “Orang Gila”
sehingga membuat individu yang menggunakan bantuan jasa Psikolog dan Psikiater sebagai
“Orang Gila”. Istilah yang digunakan pun kurang tepat, “Orang Dengan Gangguan Kejiwaan”
adalah istilah yang lebih tepat dan halus untuk Individu. Namun tidak semudah itu mengubah
Istilah yang sudah berkembang di Masyarakat sejak lama, apalagi mengubah stigma yang sudah
melekat.

Psikolog mampu menangani berbagai hal menyangkut kejiwaan seperti Konsultasi pendidikan,
pernikahan, Pertumbuhan dan Perkembangan, Psikoterapi, Asesmen, Forensik. Jadi bukan
hanya menangani “Orang Gila” seperti yang berkembang di masyarakat saat ini.

Hindari Tes Mental Melalui Daring

Jangan terlalu sering melakukan tes mental secara online! Saat ini banyak sekali tes yang
berkaitan dengan kondisi kesehatan mental beredar di internet. Hindari melakukan tes-tes
tersebut karena kredibilitasnya sangat diragukan. Selain itu, tes online yang kemudian marak
ditemukan juga tidak menilai gejala secara spesifik hanya berdasarkan pada gambaran umum
saja.

Anda mungkin juga menyukai