“The only person who can pull me down is myself, and I’m not going to let
myself pull me down anymore.”
C. JOYBELL C.
Setiap individu memiliki cara atau upaya untuk mengatasi stres yang disebut
sebagai strategi coping. Individu dengan strategi coping yang tepat akan melakukan
berbagai aktivitas positif untuk mengurangi stres atau perasaan tidak nyaman seperti
bercerita dengan orang yang dipercaya, menulis, berjalan-jalan, dan berolahraga.
Namun demikian, tidak semua individu mampu untuk melakukan coping
stres dengan cara yang adaptif atau sesuai. Salah satu cara yang sering kali diambil
oleh individu saat mengalami masalah yang berat adalah melakukan self-harm atau
menyakiti diri sendiri. Mirisnya, self-harm tidak hanya dilakukan oleh orang
dewasa. Riset menunjukkan bahwa hampir 27% anak dan remaja pernah
melakukan usaha untuk melakukan self-harm, padahal individu dengan
riwayat melakukan self-harm memiliki potensi lebih besar untuk melakukan
usaha bunuh diri di masa mendatang. Lalu, mengapa anak dan remaja bisa
berpikir untuk melakukan self-harm?
PEMICU SELF-HARM
Dorongan yang dirasakan anak atau remaja untuk menyakiti dirinya sendiri hampir
selalu dipicu oleh peristiwa negatif yang pernah terjadi di hidup mereka. Pemicu
yang paling umum adalah penolakan atau perasaan ditinggalkan dari lingkungan
seperti ditolak pacar dan teman. Selain itu, faktor risiko lainnya meliputi tekanan
emosional yang menyedihkan (merasa menjadi beban orang lain, cemas dan stres
di sekolah), rasa terisolasi (tidak memiliki teman, konflik keluarga), perbandingan
sosial (seperti kondisi ekonomi yang rendah), hubungan teman sebaya yang tidak
sehat seperti pernah menjadi korban bullying, rendahnya harga diri, memiliki riwayat
gangguan depresi dan kecemasan meningkatkan risiko anak dan remaja untuk
melakukan self-harm.
Penelitian pada tahun 2022 dilakukan guna mengetahui jalur perkembangan self-
harm pada anak berusia 5-14 tahun menemukan bahwa sebanyak 10.287 partisipan
yang melakukan self-harm memiliki riwayat masalah psikologis, masalah tidur, harga
diri yang rendah, mengalami bullying, memiliki regulasi emosi yang buruk, memiliki
pengasuh dengan masalah emosional, serta hubungan yang tidak baik dengan
keluarga.
1. bekas luka yang terlihat mencurigakan dan tidak kunjung sembuh (sering
terlihat muncul luka yang sama di tempat yang sama),
2. selalu memakai baju lengan panjang atau memakai celana atau rok panjang
yang sebelumnya tidak dilakukan oleh anak Anda (umumnya melukai diri
dilakukan di lengan, pergelangan tangan, atau paha),
3. mudah marah, kehilangan minat pada aktivitas yang biasa dilakukan,
4. menyembunyikan benda-benda tajam seperti silet, korek api, pisau, dll,
5. perubahan pola tidur atau pola makan.
Apabila orang tua sudah yakin bahwa anak dan remaja melakukan self-
harm, hindari bereaksi secara berlebihan seperti marah, menasehati, atau
mengancam. Hal yang perlu dilakukan sebagai upaya awal dalam kondisi
tersebut adalah menerima mereka seutuhnya tanpa melakukan penilaian.
Tanyakan dengan tenang tanpa menghakimi, apa yang mereka rasakan dan
apakah mereka memerlukan bantuan. Dengarkan baik-baik apa yang anak
sampaikan dan jangan diinterupsi. Segera berikan pertolongan pertama untuk
luka atau cedera yang terjadi.
Terakhir, segera minta bantuan kepada profesional untuk mendapatkan bantuan
konseling dan terapi psikologis. Konseling psikologis dapat membantu anak dan
remaja untuk mempelajari cara-cara positif menangani stres yang intens. Konseling
dapat membantu remaja memahami mengapa mereka melukai diri sendiri, apa yang
memicu tindakan melukai diri sendiri, dan bagaimana cara menghentikannya. Ini
termasuk memberikan edukasi, pelatihan, dan pemahaman mengenai pengelolaan
emosi serta cara yang efektif untuk mengelola dan mengekspresikan emosi negatif
yang intens atau sangat kuat. Perawatan lanjutan mungkin juga dengan melibatkan
keluarga melalui terapi keluarga.