Anda di halaman 1dari 16

Contoh Kasus Kekerasan Terhadap Anak

dan Dampaknya

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

PENGABAIAN
Kasus: Vira (24 th), punya anak tak lama setelah menikah. Ia merasa menjadi tawaan yang tidak
bebas lagi berkumpul dengan teman-teman. Real life tak seperti romantisme yang saya
bayangkan. Kebebasan saya terampas, ujarnya. Maka pengasuhan bayi sepenuhnya diserahkan
pada baby-sitter. Vira sendiri selalu pulang tepat sebelum suaminya tiba di rumah, seolah
seharian mengurus anak. Padahal, Tidur, mandi, makan, susu, bahkan uang belanja harian dna
bulanan, saya serahkan sepenuhnya pada baby-sitter. Saya tak mau tertawan.
Dampak emosi: Secara alami, anak memilih ibu untuk melekat. Disekap, disentuh, dibelai dan
dipeluk adalah kebutuhan utama bayi. dari pengalaman ini bayi menumbuhkan cinta di hati,
membangun rasa percaya di dalam diri dan terhadap orang lain, dan yang utama adalah
tumbuhnya rasa aman. Itu sebabnya anak-anak dengan riwayat diabaikan, berisiko mengalami
masalah-masalah emosi bahkan kejiwaan:

Mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan merasa tidak aman.

Penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota (AS)


menyebut, 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak
jelas.

Di usia muda anak menolak dan melawan ppengasuhnya, bingung, gel;isah, atau cemas.
Di usia 6 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian
dengan cara melayani orang tuanya.

Dampak fisik: Asupan gizi yang tidak memadai.


Orang tua diharapkan: Konsultasi pada psikolog untuk mengkaji kembali perkawinanya dan
untuk apa mempunyai anak, serta mengubah pola pikir.
Bantuan untuk anak oleh orang dewasa lain:

Periksa anak ke dokter untuk mengetahui tumbuh-kembangnya serta status gizinya.

Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman.

Ajak anak bermain dna penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai,
namun tetap mempertahankan sikap konsisiten, tidak cepat marah dan tidak memberi

Kasus Kekerasan Fisik Terhadap Anak

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

KEKERASAN FISIK.
Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan.
Kasus: Yani (30 th) sering menghukumkenakalan; anaknya yang bersusia 5 tahun. Bentuk
kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran
dan menganggu adik. Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak
mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu adiknya, saya pukul pakai
maiannya. Menurut Yani, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan
yang dilarang. Yani tak ingin disalhkan suami karena tak mampu mendidik anak.
Dampak fisik: Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di
bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.
Dampak emosi:

Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas.

Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk memberi disiplin. Di usia


dewasa, anak akan menggunakan pendekatana kekerasan untuk mendisiplinkan anak.

Orang tua diharapkan:

Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami siteri
yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak.

Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.

Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingag 8 tahun, anak sedang berada pad atahap
ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berekreasi. Tidak semua tindakan anak
merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.

Bantuan untuk anak:

Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang


dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.

Tumbuhkan kemabli rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka lakukan dengan
tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan.

Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat dicintai

Kasus Kekerasan Fisik Terhadap Anak

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

KEKERASAN FISIK.
Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan.
Kasus: Yani (30 th) sering menghukumkenakalan; anaknya yang bersusia 5 tahun. Bentuk
kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran
dan menganggu adik. Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak
mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu adiknya, saya pukul pakai
maiannya. Menurut Yani, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan
yang dilarang. Yani tak ingin disalhkan suami karena tak mampu mendidik anak.
Dampak fisik: Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di
bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.
Dampak emosi:

Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas.

Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk memberi disiplin. Di usia


dewasa, anak akan menggunakan pendekatana kekerasan untuk mendisiplinkan anak.

Orang tua diharapkan:

Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami siteri
yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak.

Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.

Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingag 8 tahun, anak sedang berada pad atahap
ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berekreasi. Tidak semua tindakan anak
merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.

Bantuan untuk anak:

Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang


dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.

Tumbuhkan kemabli rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka lakukan dengan
tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan.

Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat dicintai

Kasus Kekerasan Seksual

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

Biasa dilakukan orang dewasa terhadap anak. Bisa berdampak pada cedera fisik, cemas, depresi,
trauma, perubahan fungsi dan perkembangan otak.
Kasus:
1. Aditya, seorang pemuda belasa tahun yang ketahuan mengoleksi film porno di kamarnya,
hamper seluruhnya berisi adegan seksual antara pria dengan pria. Dari psikolog,
diperoleh jawaban sewaktu Aditya masih SD, ia mengalami perbuatan tak senonoh dari
satpam penjaga rumah. Adit tak berani melapor karena ia diancam .
2. Ibu Dira (5 th) menemukan celana dalam putrinya kotor;. Dai ruang dokter, Dira
menangis tak mau diperiksa. Akhirnya dokter berhasil menemukan penyebab sakitnya
Dira: infeksi akibat hubungan seksual. Rupanya Dira dipaksa melakuakn hubungan
seksual dengan tukang kebun di rumahnya, saat orang tuanya pergi.
Dampak: cedera fisik, cemas, depresi, trauma, perubahan fungsi dan perkembangan otak.
Orang tua diharapkan:

Biasakan bersikap terbuka terhadap anak dan menghargai kejujuran anak agar anak tidak
takut bersikap terbuka.

Yakinkan anak, tak ada rahasia yang harus mereka sembunyikan. Minta anak selalu
menceritakan pengalamannya.

Peka pada perubahan yang terjadi pada anak.

Bantuan untuk anak:

Melakukan pemeriksaan untuk menanggulangi masalah fisik.

Ajak anak berkonsultasi pada psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialami
anak dan dilakukan terapi yang sesuai.

Jauhkan anak dari pelaku.

Ciptakan rasa aman bagi anak.

Kasus Kekerasan Emosi/Verbal

Masa kanak-kanak adalah masanya meniru dan mulai tertanamnya norma-norma yang akan dia
ikuti. Kata-kata dan perilaku kasar yang diterimanya, akan ditirunya.
Kasus:
1. Ayu (29 th), sangat kreatif dalam menakut-nakuti Bisma (4 th). Jangan main di kamar
mandi, nanti digigit kecoa. Jangan keluar rumah sendirian, nanti diculik hantu blau. Ayo
cepat tidur, nanti tokeknya datang, kamu digigir.
2. Nina (35 th) kerap meneriaki Dido (7 th). Aduh, dasar bego! Sudah ratusan kali ibu
bilang, kembalikan barang di tenpat semula! Bikin ibu darah tinggi.
3. Firdaus, kelas 1 SD, kerap pulang sekolah dengan perasaan sedih. Miss Yovita, gurunya,
sering mengatainya pemalas, pelupa dan jorok saat Firdaus pilek.
4. Bermaksud memotivasi anak, Meta sering mencela anaknya, Memangnya kamu bisa?
Kamu itu bisanya apa, sih? Ini nggak bisa, itu nggak bisa! Paling pintar nangis. Meta
juga sering mamarahi anaknya di tempat umum.
Dampak:

Masa kanak-kanan adalah masanya meniru dan mulai tertanamnya norma-norma yang
akan dia ikuti. Kata-kata dan perilaku kasar yang diterimanya, akan ditirunya. Anak tidak
lagi mengetahui mana tingkah laku yang tepat. Demikian pula pemberian lebel akan
tetap tertanam dalam dirinya, dan dapat menyebabkan ia memiliki konsep diri bahwa ia
adalah anak seperti apa yang diakatakan orang padanya.

Anak merasa terancam, ketakutan, merasa bersalah, rendah diri karena terkikis harga
dirinya.

Bila sering ditakut-takuti, anak menjadi penakut.

Bantuan untuk anak:

Bila terjadi di sekolah, bicarakan dengan kepala sekolah tentang sikap guru terhadap
murid. Sementara itu orang tua harus meyakinkan anak bahwa ia sangat dicintai.

Orangtua atau orang dewasa lain di sekitar anak tidak lagi berlaku kasar padanya dan
tunjukkan hal positif. Bila ia melakukan sesuatu yang baik berikan pujian secukupnya.

Ajak anak ke psikolog untuk pemeriksaan psikologis dan mendapat terapi yang sesuai.

Kasus Perkelahian Orang Tua

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

Anak-anak diliputi perasan bersalah karena cara berpikir anak masih egosentris, menilai dari
sudut pandangnya sendiri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri bila orang tua mereka
bertengkar.
Kasus:
1. Suami Riris tak bisa mengendalikan emosi. Menampar, menjambak, menendang Riris
kerap dilakukannya di hadapan anak-anak. Stelah peristiwa itu, biasanya si sulung
Yasmin (8 th) mengusap wajah dan menghibur ibunya. Bila perlakukan ayahnya sudah
kelewatan, Yasmin berteriak membela ibunya, sementara kedua adiknya bersembunyi
saling berpelukan.
2. Sambil uring-uringan mengomeli suami, Retha sering berteriak, Dasar, laki-laki tak
punya otak. Bermacam hal membuat Retha tak pusa, dan sering memicu pertengkarang
dengan suami. Anak-anak sering menyaksikan pertengkaran ini.
Dampak jangka pendek:

Anak-anak diliputi perasan bersalah karena cara berpikir anak masih egosentris, menilai
dari sudut pandangnya sendiri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri bila orang tua
mereka bertengkar.

Anak-anak merasa diri sebagai penyebab setiap kali terjadi pertengkaran orang tuanya.

Dampak jangka panjang:

Merasa tidak aman.

Sulit percaya pada lawan jenis.

Orang tua diharapkan:

Minta bantuan psikolog untuk menggali masalah-masalah yang belum terselesaikan


antara suami-isteri.

Menghindari pertengkaran di depan anak.

Bantuan untuk anak:

Jelaskan pada anak bahwa anak-anak bukan penyebab pertengkaran orangtuanya.

Bicaralah pada anak sesuai usianya. Jawab pertanyaan anak mengenai kondisi kelaurga
dengan tidak menyertakan emosi, jangan menjelekkan pasangan, walaupun mungkin
sudah memutuskan untuk bercerai.

Minta maaf pada anak kalau ia menjadi takut dan cemas dengan pengalaman melihat
pertengkaran orangtuanya. Tegaskan bahwa walaupun kedua orangtua bertengkar atau
berpisah tetapi mereka tetap mencintai anak.

Tetap memiliki pola asuh yang sama walau berpisah, sehingga anak tidak bingung dengan
adanya aturan yang berbeda.

Kasus Kekerasan Fisik Terhadap Anak

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

KEKERASAN FISIK.
Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan.
Kasus: Yani (30 th) sering menghukumkenakalan; anaknya yang bersusia 5 tahun. Bentuk
kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran
dan menganggu adik. Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak
mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu adiknya, saya pukul pakai
maiannya. Menurut Yani, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan
yang dilarang. Yani tak ingin disalhkan suami karena tak mampu mendidik anak.
Dampak fisik: Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di
bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.
Dampak emosi:

Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas.

Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk memberi disiplin. Di usia


dewasa, anak akan menggunakan pendekatana kekerasan untuk mendisiplinkan anak.

Orang tua diharapkan:

Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami siteri
yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak.

Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.

Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingag 8 tahun, anak sedang berada pad atahap
ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berekreasi. Tidak semua tindakan anak
merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.

Bantuan untuk anak:

Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang


dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.

Tumbuhkan kemabli rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka lakukan dengan
tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan.

Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat dicintai.

kasus kekerasan terhadap anak


Pada akhir akhir ini berita selalu di hiasi dengan kekerasan terhadap anak. Mulai dari kekerasan
fisik,mental, bahkan seksual terus meningkat. Hal ini sontak menjadi sorotan dari berbagai
pihak.seperti contoh kasusnya antara lain :

kekerasan seksual terhadap anak TK yang dilakukan oleh cleaning service di salahsatu
sekolah internasional di Jakarta

orang tua yang tega menyiksa anaknya dan dibiarkan tergeletak di dekat halte busway

seorang ayah yang tega memperkosa anak kandungnya sendiri yang masih bayi

dan seorang pemuda yang tega melakukan kejahatan seksual terhadap puluhan
anak di sukabumi

itu adalah contoh beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di indonesia.
Banyaknya kekerasan terhadap anak ini polisi semakin gencar melakukan penyelidikan dan
bertindak tegas akan kasus kekerasan ini. Sudah seharusnya polisi dan lembaga terkait
menanggapi serius kasus ini karena jika tidak di tangani dengan tegas maka para pelaku tidak
akan jera, bahkan muncul lagi pelaku pelaku baru lainnya karena lemahnya hukum akan kasus
ini.
Apa faktor penyebab kekerasan terhadap anak?

faktor penyebabnya bisa datang dari mana saja, entah itu dari pengaruh lingkungan, pengaruh
keluarga, ekonomi, bahkan pengaruh genetika.

Pengaruh lingkungan biasanya terjadi pada anak anak yang masuk dalam suatu lingkungan
yang identik dengan kekerasan yang mengakibatkan anak anak sering menjadi objek
kekerasan di lingkungan tersebut.

Pengaruh keluarga biasanya terjadi ketika ada ketidak harmonisan dalam suatu keluarga atau
terjadinya kekerasan dalam keluarga yang mendorong seseorang untuk melakukan
pelampiasannya dengan melakukan kekerasan terhadap anak atau menjadi korban kekerasan
dalam keluarga.
Pengaruh ekonomi biasanya muncul pada keluarga yang berperekonomian rendah, karena
keterbatasan ekonomi dan dengan alasan tidak dapat membiayai anaknya orang tua tega
membunuh anaknya sendiri, atau kesulitan ekonomi yang di hadapi orang tua seringkali
membuat stress dan mudah marah sehingga anak sering menjadi sasaran.

Pengaruh genetika biasanya perilaku kekerasan yang di warisi, umumnya seseorang


melakukan kekerasan terhadap anak karena ia pernah mendapat kekerasan atau melihat
kekerasan tersebut sehingga setelah dewasa ia akan melakukannya.

Ketika seorang anak mendapat kekerasan secara fisik maupun secara seksual anak yang
menjadi korban tersebut akan berpotensi melakukan kekerasan yang sama ketika ia sudah
dewasa, untuk itu setiap anak yang menjadi korban kekerasan wajib melaporkannya pada pihak
yang berwenang agar pelaku yang melakukan di tindak tegas dan korban akan mendapatkan
bimbingan sikologis agar kondisi kejiwaan anak tersebut bisa pulih kembali dan agar anak yang
menjadi korban tersebut tidak berpotensi menjadi pelaku kekerasan nantinya.
hal ini juga sesuai dengan pengaturan Pasal 13 ayat (1) No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan
dari
perlakuan:
a.
diskriminasi
b.
ekploitasi,
baik
ekonomi
maupun
seksual
c.
penelantaran
d.
kekejaman,
kekerasan,
dan
penganiayaan
e.
ketidakadilan
dan
f.
perlakuan
salah
lainnya.
sedangkan, mengenai pasal - pasal yang dapat dikenakan kepada pelaku penganiayaan anak
dapat kita temui dalam:

pasal penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 kitab undang - undang hukum pidana
(KUHP)

pasal penganiayaan ringan sesuai Pasal 351 jo. 352 KUHP, dan

pasal 80 ayat (1) UU perlindungan anak.

Dasar hukum :
1. kitab undang undang hukum pidana
2. undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

Peran orang tua sangat penting dalam hal ini. Orang tua harus cermat dalam mengawasi anak
dan lebih selektif dalam memilih lingkungan yang akan di masuki oleh anak kita, aman atau
tidak kah lingkungan tersebut bagi anak anak. Bukan hanya orang tua, dalam hal ini bebagai
pihak juga bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga anak anak. Para penegak hukum
harus tegas dalam menangani kasus kasus kekerasan terhadap anak agar para pelaku jera dan
tidak muncul pelaku lainnya.

Peran di dunia pendidikan pun juga penting, dengan pembentukan karekter pada murid dan
mengajarkan bagaimana menghargai dan menghormati sesama dengan mempraktekannya
pada anak, sehingga sejak dini anak di ajarkan untuk tidak melakukan tindak kekerasan dan
menghormati sesama.
Kita semua bertanggung jawab dalam melindungi anak, karena anak merupakan penerus
bangsa yang harus di rawat dengan baik dan penuh kasih sayang, juga di bekali dengan akhlak
yang baik agar dapat menciptakan generasi penerus yang berkualitas dan dapat membawa
bangsa kita lebih baik di masa depan. Ingatlah bahwa anak anak lahir untuk di lindungi,di
kasihi,dan di sayangi bukan untuk di sakiti.

TEMPO.CO, Jakarta - Polisi menerima laporan kekerasan terhadap anak di Depok,


Jawa Barat. MH, 8 tahun, dilaporkan sering dianiaya kedua orang tuanya dan
memutuskan untuk kabur dari rumah, pekan lalu.
"Sudah diterima laporannya di Polres Depok Jumat kemarin," ujar juru bicara Polda
Metro Jaya, Kombes Rikwanto, Senin, 26 Agustus 2013. Rikwanto menyatakan,
laporan diterima polisi setelah beberapa saksi melihat korban linglung usai dianiaya
kedua orang tuanya.
Saksi yang menemukan korban di sebuah pusat perbelanjaan di Depok, mendapat
cerita korban sering dipukul menggunakan bambu oleh ayahnya. Polisi bergerak
cepat. Mereka mendatangi rumah korban dan menyita bambu yang diduga
digunakan untuk memukul korban.
Dari tubuh korban terlihat bekas kekerasan, seperti memar di punggung akibat
pukulan dan luka ringan di telinga akibat sering mendapat jeweran.
Namun, hingga kini kedua pelaku, SA (40 tahun) dan D (38 tahun), tidak ditahan.
Alasannya, pelaku masih memiliki tanggungan anak yang lain. "Ada empat anak,
paling besar 12 tahun," ujar Rikwanto.
Proses hukum kasus ini masih berjalan. Korban MH kini tinggal di tempat
perlindungan kasus kekerasan anak. Bila terbukti bermasalah, kedua orang tua
korban terancam pidana tiga setengah tahun karena melanggar Pasal 80 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hukum

Alwin
Farandi
SMADA
Jadikan Teman | Kirim Pesan
0inShare
Kekerasan pada Anak, Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Merusak Masa
Depan
OPINI | 03 September 2014 | 17:51

Dibaca: 662

Komentar: 0

Kekerasan Pada Anak, Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Merusak Masa
Depan
Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
dikriminasi. Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap
anak berhak hidup, tubuh dan berkembang tanpa kekerasan dan diskriminasi. Pada
post saya kali ini saya hanya akan mengupas tentang hak anak untuk bebas dari
tindak kekerasan karena banyak sekali kasus kekerasan pada anak.
Kekerasan, hal yang harusnya tidak ditujukan untuk anak kecil karena anak kecil
masih perlu tumbuh dan berkembang. Apa yang akan terjadi jika anak tersebut
tinggal di lingkungan yang penuh dengan tindak kekerasan? Tentunya hanya
menumbuhkan bibit untuk melakukan kekerasan saat dia besar nanti. Rantai setan
ini perlu dihentikan sebelum generasi masa depan bangsa terkena virus ini.
Salah satu contoh kekerasan pada anak seperti kejadian yang menimpa Samuel
Kristian bocah 6 tahun asal Magetan. Bocah ini harus rela dioperasi karena
kekerasan yang dilakukan ayah tirinya padanya. Ayah tiri bocah ini tanpa belas
kasih menyiram anaknya tersebut dengan air keras serta memaksa anak tersebut
untuk minum air aki sehingga tidak hanya kulit bagian luar saja yang mengalami
luka bakar tetapi juga mulut, hidung, rahang, dagu dan tenggorokan. Ini hanya satu
contoh dari kasus kekerasan pada anak, dan saya yakin masih banyak kasus lain
dan saya berharap agar kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi.
Kekerasan pada anak jelas-jelas mencoreng HAM karena jelas-jelas hak anak untuk
hidup bebas dari kekerasan dilanggar. Tentu anak yang menjadi korban kekerasan
ini pasti akan mendapatkan luka mental yang dapat menyebabkan kejadian yang
menimpanya dia lampiaskan pada anaknya kelak. Tentu hal ini amat sangat
berbahaya karena akan menimbulkan generasi yang mencintai kekerasan.

Kekerasan sendiri merupakan bibit penghancur negara ini karena melawan


pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu hak anak untuk bebas dari
kekerasan harus lebih dipertegas di Indonesia agar mengurangi tindak kekerasan
pada anak. Masa depan anak yang menjadi korban kekerasan sendiri bisa kurang
baik karena luka-luka fisik dan non-fisik. Luka fisik dapat menyebabkan anak itu
malu untuk bergaul karena bisa saja luka yang dia alami sampai membuat dirinya
menjadi cacat. Sedangkan luka non-fisik bisa saja membuat anak tersebut menjadi
tidak stabil mentalnya sehingga bisa saja dia menjadi pembunuh di masa yang akan
datang karena pengalaman buruk yang dia alami saat dia menjadi korban
kekerasan tersebut.
Hal-hal yang harus dilakukan untuk mengurangi kasus ini adalah dengan mendidik
siswa dari taman kanak-kanak hingga dewasa nanti agar menjauhi apa yang
disebut tindak kekerasan karena kekerasan hanya akan menjadi virus yang
dengan mudah akan menular. Lalu sosialisasi juga wajib dilakukan ke para orang
tua agar tidak meluapkan emosinya kepada anaknya atau keluarganya yang lain
karena jika anaknya melihat tindak kekerasan bisa saja anak itu meniru tindakan
orang tuanya itu sehingga anak itu melakukan kekerasan kelak di masa yang akan
datang.
Untuk mencegah kasus ini bisa juga dilakukan dengan merehabilitasi para korban
kekerasan sehingga mereka tidak akan membalas dendam ke anaknya kelak dan
malah menjadikan pengalaman pahit itu sebagai pelajaran bahwa tindak kekerasan
itu salah, dengan begitu korban tersebut tidak akan melakukan tindak kekerasan
kepada anaknya atau temannya kelak. Pengurangan tontonan kekerasan di TV-TV
lokal juga bisa menjadi solusi karena bisa saja anak belajar kekerasan dari film atau
tontonan yang mereka saksikan di TV.

Anda mungkin juga menyukai