Anda di halaman 1dari 6

Analisis Kasus dan Alternatif Pemecahan Masalah dalam Perspektif Sosial

Fenomena Bunuh Diri Remaja Sebuah Pergolakan Eksistensial Remaja?


Nur Ainun Mutmainna.S
Final Test Mata Kuliah Psikologi Sosial
Program Studi Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin

Menurut temuan penelitian ini, remaja yang berencana untuk bunuh diri biasanya
menghadapi tiga masalah: Keputusasaan mereka adalah hasil dari semua emosi negatif
mereka, termasuk rasa bersalah, kemarahan, ketidakberartian, dan ketidakinginan. Bunuh diri
memiliki beberapa penyebab, salah satunya adalah depresi berat. Banyak remaja berjuang
dengan konsep diri mereka. Konsep diri yang salah menyebabkan mereka merasa tidak
dicintai, tidak diinginkan, dan tidak berharga. Rekan-rekan mereka memiliki dampak pada
konsep diri yang keliru ini juga. Remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan apa yang
rekan-rekan mereka harapkan dari mereka agar disukai dan dihormati oleh kelompok sebaya
mereka. Hubungan dalam keluarga berpusat pada penerimaan orang tua dan perceraian orang
tua mereka. Remaja yang mengalami perceraian orang tua menderita, merasa tidak
diinginkan, dan mulai menyalahkan diri sendiri atas perpisahan tersebut. Remaja yang merasa
orang tua mereka hanya akan mencintai mereka ketika mereka menjadi remaja yang mereka
inginkan daripada menjadi diri mereka sendiri adalah mereka yang orang tuanya tidak
menerima mereka apa adanya.
Bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dengan kecenderungan
peningkatan pada kelompok anak dan remaja. Tingkat bunuh diri bervariasi mulai dari ide
bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri. Faktor risiko
bunuh diri pada anak dan remaja mencakup gangguan psikiatri, stresor psikososial, faktor
kognitif dan faktor biologi. Selain itu bunuh diri pada anak dan remaja juga dipengaruhi oleh
perkembangan kognitif, pemahaman mengenai kosep kematian, faktor afektif dan peran
kelekatan.

Bunuh Diri pada Anak dan Remaja


Bunuh diri remaja adalah masalah serius dan rumit yang sering memiliki banyak penyebab.
Gejolak eksistensial remaja adalah salah satu elemen yang dapat menyebabkan atau
memperburuk risiko bunuh diri remaja. Tetapi penting untuk diingat bahwa setiap remaja
bunuh diri berbeda dan mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda.

Pergolakan eksistensial remaja menggambarkan masa-masa yang tidak pasti, pencarian


identitas, kekhawatiran eksistensial, dan konflik internal yang khas pada masa remaja.
Remaja pada usia ini sering bergulat dengan masalah dan kekhawatiran seperti "Siapa saya?
", "Apa tujuan hidup saya? ", "Mengapa saya di sini? ", dan "Apakah hidup memiliki arti? "

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi pada pergolakan eksistensial remaja dan
meningkatkan risiko bunuh diri meliputi:

1. Identitas dan peran


Remaja sedang mencoba memahami siapa mereka dan di mana mereka berada dalam dunia
ini. Mereka mungkin merasa bingung tentang identitas mereka, termasuk orientasi seksual,
gender, agama, dan nilai-nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakat mereka.

2. Tekanan sosial
Tekanan dari teman sebaya, media sosial, atau persepsi tentang harapan yang diletakkan pada
mereka dapat meningkatkan stres dan membuat remaja merasa tidak diakui atau tidak
berharga. Ketika seorang remaja menunjukkan perilaku tertentu, remaja yang diintimidasi
akan memiliki konsep diri yang negatif, yang berarti bahwa mereka akan berpikir buruk
tentang diri mereka sendiri dan kurang tertarik pada peluang yang sudah tersedia. Remaja
memiliki konsep diri negatif cepat berhenti dan sering menyalahkan diri sendiri atau orang
lain ketika mereka gagal. Remaja yang diintimidasi dapat menjadi tidak bertanggung jawab,
kasar, atau bahkan bunuh diri dalam keadaan yang lebih ekstrem.

3. Gangguan kejiwaan
Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan makan dapat memperburuk
pergolakan eksistensial remaja dan meningkatkan risiko bunuh diri. Perilaku bunuh diri
berkaitan dengan gejala depresi yang ditandai dengan gangguan makan. Hal ini dikarenakan
motivasi remaja perempuan yang makan paksa, pengobatan, dan takut menjadigemuk.
Remaja perempuan seringkali mengungkapkan “Jika saya menambah berat badan, maka
hidup akan menjadi tidak berharga bagi saya. Saya bukan apa-apa, lebih baik tidak sama
sekali”. Perilaku bunuh diri berikatan dengan menyakiti diri sendiri yang bertujuan untuk
mati. Selain itu, adanya gangguan makan pada responden ini dilatarbelakangi oleh masalah
keluarga. Hubungan keluarga yang bermasalah meningkatkan faktor risiko untuk
menunjukkan perilaku bunuh diri pada anak-anak dan remaja yang mengalami stress dan
berdampak pada gangguan makan. Oleh karena itu, pentingnya pemeriksaan klinis pada anak
perempuan dengan gangguan makan harus dengan berfokus pada identifikasi risiko perilaku
bunuh diri dan melukai diri sendiri.
4. Trauma atau pelecehan
Pengalaman traumatis atau pelecehan fisik, seksual, atau emosional dapat menghasilkan
pergolakan eksistensial dan meningkatkan risiko bunuh diri.

5. Ketidakmampuan untuk mengatasi stres


Remaja mungkin belum memiliki keterampilan yang memadai untuk mengatasi stres dan
menghadapi tantangan hidup. Kurangnya dukungan sosial dan keterbatasan sumber daya
dapat membuat mereka merasa terjebak dalam situasi yang sulit.

6. Akses ke pengetahuan dan metode bunuh diri


Baik melalui media sosial atau internet, memiliki akses sederhana ke informasi dan metode
bunuh diri meningkatkan risiko bunuh diri remaja. Reynolds (1991) menyatakan bahwa ide
bunuh diri adalah konsep dan kognisi yang dimiliki orang yang terkait dengan perilaku bunuh
diri dan keinginan untuk bunuh diri, serta menjadi indikator peringatan yang signifikan untuk
risiko bunuh diri yang lebih serius.

Menurut Reynolds (1991), ide bunuh diri memiliki dua aspek antara lain:

a. Specific Plan and Wishes


Bagian bunuh diri dari ideasi adalah ketika seseorang benar-benar bunuh diri setelah terlebih
dahulu memiliki pemikiran luas tentang kematian, berharap untuk meninggal, dan membuat
pengaturan khusus untuk melakukannya.

b. Response and Aspect of Other


Aspek ini sarana berkaitan dengan bagaimana orang lain memandang harga diri seseorang
setelah mereka ditinggalkan oleh orang lain, bagaimana orang bereaksi ketika seseorang
melakukan bunuh diri, dan apakah seseorang melakukan bunuh diri sebagai bentuk
pembalasan atau tidak.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak, terutama siswa sekolah menengah atas,
memiliki tingkat keinginan bunuh diri yang tinggi. Penelitian-penelitian tersebut masih
bervariasi karena dipengaruhi oleh metodologi dan waktu penelitian (Gonçalves et al., 2014).

Psikodinamika bunuh diri pada anak dan remaja


Bunuh diri pada anak sangat terkait dengan perkembangan kognitif dan pemahaman tentang
kematian, stressor psikososial, afektif, serta peran kelekatan (attachment). Untuk mengerti
psikodinamika mengenai hal ini maka akan dibahas teori kognitif Piaget, terutama tahap
preoperasional, dan konkret operasional yang erat kaitannya dengan pemahaman anak
mengenai konsep kematian yang disertai juga tentang subkonsep kematian yang diusulkan
oleh Speece dan Brent (Mishara, 1999; Gould dan Kramer, 2001; Slaughter, 2015)

Dalam perspektif Psikologi Sosial, terdapat beberapa alternatif pemecahan masalah yang
dapat diterapkan untuk mengatasi fenomena bunuh diri remaja yang terkait dengan
pergolakan eksistensial. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat digunakan:

1. Pendidikan dan kesadaran yang lebih besar


Sangat penting untuk mendidik masyarakat tentang bahaya bunuh diri dan pentingnya
kesehatan mental remaja. Kampanye sosial dan inisiatif pendidikan dapat membantu
memberantas stigma yang melekat pada kondisi kesehatan mental dan mendidik orang
tentang cara mengenali tanda-tanda peringatan dan mencari bantuan.

2. Kembangkan ikatan sosial yang kuat


Remaja yang mengalami perubahan eksistensial mungkin mendapat manfaat besar dari
dukungan sosial yang solid. Dorong remaja untuk bergabung dengan klub, kelompok, atau
organisasi yang memiliki minat yang sama jika Anda ingin mereka merasa dilibatkan dan
memiliki sistem pendukung yang kuat.

3. Promosikan komunikasi terbuka


Sangat penting untuk menumbuhkan suasana di mana remaja merasa nyaman mendiskusikan
gejolak eksistensial dan kesulitan yang mereka hadapi. Mendorong komunikasi terbuka dan
memastikan bahwa remaja tahu bahwa mereka didengar dan dipahami dapat membantu
mengurangi beban psikologis yang mereka rasakan.

4. Penguatan keterampilan sosial dan emosional


Mengembangkan keterampilan sosial dan emosional remaja dapat membantu mereka
mengatasi stres dan konflik yang terkait dengan pergolakan eksistensial. Pelatihan
keterampilan interpersonal, regulasi emosi, manajemen stres, dan pemecahan masalah dapat
membantu remaja menghadapi situasi sulit dengan cara yang lebih adaptif.

5. Melibatkan keluarga dan sekolah


Keluarga dan sekolah dapat memainkan peran penting dalam mendukung kesehatan mental
remaja. Pendidikan kepada orang tua dan tenaga pendidik tentang tanda-tanda peringatan
bunuh diri, serta meningkatkan keterampilan komunikasi dan pemberian dukungan dapat
membantu remaja dalam mengatasi pergolakan eksistensial. Remaja membutuhkan kedekatan
interpersonal dengan orangtuanya. Mereka akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena
kehilangan figur salah satu orangtua. Stress dan konflik yang ditimbulkan dalam kehidupan
dengan orangtua yang bercerai membuat remaja kehilangan tempat berkomunikasi dan dapat
berpotensi membuat remaja mengalami perasaan kesepian. Stravynski dan Boyer (2001) juga
menyebutkan bahwa remaja yang kehilangan dukungan sosial dan emosional dari keluarga
mempunyai resiko tinggi mengalami kesepian (Page, dkk., 2006).

6. Akses terhadap sumber daya bantuan


Meningkatkan akses remaja terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau dan
berkualitas adalah langkah penting. Membangun kerja sama dengan lembaga kesehatan
mental, konselor sekolah, atau organisasi non-pemerintah dapat memberikan remaja dengan
sumber daya yang tepat dan dukungan yang mereka butuhkan.

Pendekatan yang mencakup aspek pendidikan, dukungan sosial, penguatan keterampilan, dan
akses terhadap sumber daya bantuan adalah langkah-langkah penting dalam upaya
pencegahan bunuh diri remaja yang terkait dengan pergolakan eksistensial. Penting juga
untuk bekerja sama dengan profesional kesehatan mental yang dapat memberikan perawatan
yang sesuai dan mendalam bagi remaja yang mengalami kesulitan

Referensi
Hendrawati, d. (2022). Gangguan Makan dan Perilaku Bunuh Diri pada Remaja. Kesehatan,
539.
Khodijah. (2013). Anomali Jiwa: Fenomena Bunuh Diri. Retrieved from
https://core.ac.uk/download/pdf/79429496.pdf
Kusuma Dewi, L. A. (2013). Hubungan Antara Kesepian dengan Ide Bunuh Diri dengan
Orang Tua yang Becr. IR Perpustakaan Universitas Airlangga, 6.
Pajarsari, S. U., & Wilani, N. A. (2020). Dukungan Sosial terhadap Kemunculan Ide Bunuh
Diri pada Remaja. Psychology and Humanities, 36.
Wahyudi, U., & Burnamajaya, B. (2020). Konsep Diri dan Ketidakberdayaan Berhubungan
dengan Risiko Bunuh Diri pada Remaja yang Mengalami Bullying. Keperawatan
Jiwa, 1-8.
Zulaikha, A., & Febriyana, N. (2018). Bunuh Diri pada Anak dan Remaja. Psikiatri, 63-64.

Anda mungkin juga menyukai