Anda di halaman 1dari 3

Maraknya Kasus Bunuh Diri di Kalangan Anak Muda

Kejadian kedua terjadi di sebuah universitas negeri di Semarang pada


Selasa, 10 Oktober 2023. Mahasiswi tersebut loncat dari lantai 4 sebuah mal di
Semarang. Di dalam tas korban ditemukan sepucuk surat pamitan dan
permintaan maaf korban kepada orangtuanya.
Data Kepolisian RI pada Januari-Juli 2023 mencatat ada 663 kasus bunuh
diri atau tiga kasus setiap hari. Dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya, jumlah kasus bunuh diri itu naik 36,4 persen. Kasus terbanyak ada
di provinsi dengan jumlah penduduk besar, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi prevalensi bunuh diri
di Indonesia mencapai 2,6 per 100.000 penduduk atau termasuk rendah.
Perkiraan ini dibuat karena Indonesia tidak melaporkan angka bunuh diri pasti
yang terjadi. Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta, maka diperkirakan
ada 7.000 kasus bunuh diri setiap tahun.
Angka kematian kasar akibat bunuh diri di Indonesia per 100.000
penduduk tahun 2016. Risiko tertinggi bunuh diri pada seluruh kelompok
populasi memang ada pada lansia. Namun, untuk penduduk berumur kurang
dari 60 tahun, risiko bunuh diri tertinggi pada penduduk usia 20-29 tahun.
Pada sebagian responden, ada jarak antara munculnya ide bunuh diri dan
dilakukannya percobaan bunuh diri. Jeda waktu ini mulai dari hitungan hari
hingga tahunan. Akan tetapi, pada sebagian responden lainnya, bunuh diri bisa
dilakukan secara impulsif alias secara tiba-tiba tanpa pernah memiliki pikiran
bunuh diri sebelumnya.
Meski baru sebatas ide bunuh diri, situasi ini perlu mendapat perhatian
serius karena bisa sewaktu-waktu berubah menjadi upaya percobaan bunuh diri.
Pemicu sekecil apa pun bisa mengubah ide bunuh diri tersebut menjadi tindakan
nyata. Karena itu, mengenali bunuh diri pada tahap ini penting untuk mencegah
terjadinya tindakan bunuh diri.
Sementara studi lebih besar terhadap 4.675 mahasiswa tingkat sarjana di
enam negara ASEAN, termasuk Indonesia, yang dipimpin Karl Peltzer dan
dipublikasikan di Asian Journal of Psychiatry, April 2017, menemukan,
prevalensi mahasiswa yang memiliki ide dan upaya bunuh diri masing-masing
secara berurutan mencapai 11,7 persen dan 2,4 persen.
Munculnya pikiran bunuh diri itu umumnya terkait sejumlah faktor
psikososial, seperti pelecehan di masa kanak-kanak, munculnya gejala depresi,
terlibat dalam perkelahian fisik, dan performa akademi yang buruk. Selain itu,
faktor sosial-lingkungan juga bisa memicu munculnya ide bunuh diri, seperti
tinggal serumah dengan orangtua atau wali dan keterlibatan yang rendah dalam
kegiatan agama terorganisasi.
Sementara percobaan bunuh diri umumnya dipicu oleh pelecehan seksual
saat anak-anak, depresi, rendahnya partisipasi dalam kegiatan keagamaan, serta
persoalan berat badan, baik lebih maupun kekurangan.
Tingginya kerentanan bunuh diri pada mahasiswa itu sebenarnya bukan
hanya terjadi di Indonesia atau ASEAN, melainkan di semua negara, termasuk
negara-negara maju. Data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Amerika Serikat (CDC) menyebut, prevalensi anak muda yang bunuh diri di
negara itu mencapai 14 persen dari semua kasus bunuh diri yang terjadi.
Jumlah laki-laki yang bunuh diri lebih banyak dari perempuan, tetapi
jumlah perempuan yang memiliki pikiran bunuh diri lebih banyak dari laki-laki.
Meski demikian, semua jenis kelamin dan etnis memiliki kerentanan terhadap
bunuh diri yang sama.
Kasus bunuh diri SN (14), siswi SMP Negeri 147 Jakarta, menyita
perhatian warga sekitar dan dunia maya. Banyak yang beranggapan SN nekat
terjun dari lantai 4 karena kasus perundungan.
Anak muda, umur 18-25 tahun, memang memiliki kerentanan tinggi
untuk bunuh diri. Kondisi itu, seperti dikutip Kompas, 19 September 2020,
terjadi karena anak muda memang sedang dalam masa transisi dari anak menuju
orang dewasa hingga mengalami perubahan fisik, mental, dan sosial. Perubahan
itu membuat mereka mudah mengalami berbagai masalah mental, yang
puncaknya adalah memiliki ide dan berupaya bunuh diri.
Gaya hidup mereka juga meningkatkan risiko atas berbagai persoalan
mental, seperti tingginya keterikatan dengan internet dan media sosial, kurang
waktu tidur, serta kurang bersosialisasi. Kondisi itu diperparah oleh berbagai
masalah sosial yang harus dihadapi anak muda, mulai dari kemiskinan,
pelecehan dan kekerasan, masalah ekonomi, hingga urusan keluarga.
Kerentanan tinggi lain terhadap bunuh diri juga terdapat pada mahasiswa
yang memiliki masalah kesehatan mental, terutama gangguan suasana hati,
skizofrenia, gangguan kecemasan, dan gangguan kepribadian tertentu. Risiko
tinggi juga dimiliki oleh mereka yang terisolasi dari sekitar dan tidak memiliki
dukungan, orang dengan masalah relasi sosial, atau memiliki penyakit fisik.
Selain itu, orang yang memiliki pengalaman traumatis, kurang terampil
dalam mengatasi masalah, punya kecenderungan impulsif, memiliki riwayat
keluarga bunuh diri, memiliki akses terhadap cara atau alat bunuh diri, atau
pernah mencoba bunuh diri adalah kelompok orang-orang dengan risiko tinggi
bunuh diri.
Orangtua atau orang dewasa di sekitar perlu memperhatikan tanda-tanda
itu dan menjadikannya alarm untuk mendeteksi adanya potensi bunuh diri pada
anak muda. ”Namun, pada akhirnya, percayalah pada perasaan Anda. Orangtua
pasti lebih mengenal anaknya. Saat Anda merasakan sesuatu yang janggal
(tentang anak Anda), bisa jadi itu benar,” tulis Stabler.
Meski demikian, dalam banyak kasus, mengidentifikasi munculnya
masalah kesehatan jiwa, apalagi tanda-tanda bunuh diri pada anak muda itu
tidak mudah. Mahasiswa umumnya hidup terpisah dengan orangtua sehingga
orangtua sulit mendeteksi perubahan yang terjadi pada anaknya. Sementara
kampus umumnya juga tidak bisa memantau kondisi seluruh mahasiswa.
kewajiban menjaga mahasiswa bukanlah pendekatan terbaik untuk
mendukung mahasiswa dari ide dan upaya bunuh diri. Selain itu, pemerintah
telah menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki kewajiban umum untuk
tidak membahayakan mahasiswanya.
Bunuh diri sejatinya bisa dicegah. Namun, pandangan bunuh diri itu
adalah aib dan tabu untuk dibicarakan masih kuat tertancap di pikiran
masyarakat, termasuk mereka yang ada di perguruan tinggi. Kuatnya
stigmatisasi terhadap korban dan keluarganya itu membuat upaya pencegahan
bunuh diri di Indonesia masih menghadapi tantangan besar.
Selain itu, bunuh diri juga masih sering disederhanakan sebagai persoalan
keimanan saja. Mereka yang bunuh diri dianggap memiliki iman yang lemah.
Agama memang terbukti membantu menjaga dan memulihkan kesehatan
mental. Afiliasi terhadap agama tidak memengaruhi pikiran bunuh diri, tetapi
agama bisa melindungi seseorang dari tindakan bunuh diri.
Bunuh diri juga masih sering disederhanakan sebagai persoalan keimanan
saja. Mereka yang bunuh diri dianggap memiliki iman yang lemah.
Mahasiswa yang jadi sasaran program tersebut adalah mahasiswa yang
berisiko tinggi bunuh diri. Mereka ditapis berdasar kondisi depresi yang dialami
serta risiko-risiko lain yang terkait relasi sosial, pendidikan, dan ekonomi
mereka. Saringan lainnya, antara lain, mahasiswa yang memiliki prestasi
akademik buruk, mempunyai masalah kesehatan mental, dan memiliki riwayat
masa kecil buruk.

Anda mungkin juga menyukai