Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa


adalah suatu keadaan yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini
selaras dengan dengan orang lain. Sedangkan menurut American Nurses
Associations (ANA) keperawatan jiwa merupakan suatu bidang khusus
dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia
sebagai ilmu dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai caranya
untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa.

Saat ini bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat di


banyak negara, baik negara maju maupun negara berpendapatan menengah
dan rendah. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena klien
berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang
maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul
secara berulang tanpa rencana yang spesipik untuk bunuh diri (Yosep,
2010).

Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun


2015, di banyak negara, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor
dua pada penduduk berusia 15-29 tahun. Setiap tahun terdapat 800.000
orang mati karena bunuh diri. WHO juga mencatat, setiap 40 detik satu
orang di dunia meninggal karena bunuh diri dengan rasio 11,4 per 100.000
populasi (Kompas, 2015).

Amerika Serikat sebagai negara maju memiliki kasus tertinggi dalam


hal bunuh diri yakni 44.965 per tahun dengan rata-rata 123 kasus setiap
harinya dan jumlah kerugian negara mencapai $51 miliar setiap tahun
(AFSP, 2016). Jika dibandingkan dengan data global, Indonesia sebagai
salah satu negara berpenghasilan menengah memiliki angka bunuh diri
yang cenderung meningkat, berdasarkan laporan dari WHO di tahun 2015
angka bunuh diri di Indonesia sekitar 4.5% dari 100.000 populasi (WHO
Region, 2017). Sedangkan di tahun 2012 angka bunuh diri di Indonesia
sekitar 4.3% dari 100.000 populasi, ini berarti ada sekitar 9105 kasus
bunuh diri setiap tahun, dengan jumlah perempuan 5206 jiwa dan laki-laki
3900 jiwa (WHO, 2014). Data dari Mabes Polri tahun 2012 kasus bunuh
diri yang tercatat sekitar 0.5% dari 100.000 populasi atau sekitar 1.170
kasus bunuh diri setiap tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Di Indonesia tahun 2012, angka bunuh diri mencapai 4,3 per 100.000
populasi. Pada tahun 2012, Kepolisian Negara Republik Indonesia
mencatat ada 981 kasus meninggal karena bunuh diri. Jumlah ini sedikit
menurun jadi 921 kasus di tahun 2013 dengan rasio 0,4-0,5 kasus per
100.000 populasi (Kompas, 2015).

Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia


remaja dan dewasa muda (15–24 tahun), untuk jenis kelamin, perempuan
melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak
dari laki laki. Cara yang populer untuk mencoba bunuh diri pada kalangan
perempuan adalah menelan pil, biasanya obat tidur, sedangkan kaum lelaki
lebih real atau mematikan seperti menggantung diri (Dalami, 2009).

Dari data yang di peroleh pada 3 bulan terakhir yaitu bulan Maret,
April, dan Mei tahun 2019 tercatat jumlah kasus menduduki peringkat
kesatu yaitu halusinasi, pada bulan Maret sebanyak 63 orang dengan
persentase 34,2% lalu pada bulan April sebanyak 57 orang dengan
persentase 30,9% dan pada bulan Mei sebanyak 64 orang dengan
persentase 34,7% , kemudian peringkat kedua yaitu perilaku kekerasan
dengan persentase pada bulan Maret sebanyak 63 orang dengan persentase
33,8%, lalu pada bulan April sebanyak 58 orang dengan presentase 33,8%,
dan pada bulan Mei sebanyak 68 orang dengan persentase 36,5%. Dan
peringkat ketiga yaitu isolasi sosial dengan persentase pada bulan Maret
sebanyak 63 orang dengan presentase jumlah 35,1% lalu pada bulan April
sebanyak 58 orang dengan presentase jumlah 32,4%, dan bulan Mei
sebanyak 58 orang dengan persentase 32,4% dengan isolasi sosial.
Sedangkan untuk kasus resiko bunuh diri menempati peringkat ke 4 yaitu
pada bulan Maret sebanyak 4 orang dengan persentase 3,5% lalu pada
bulan April sebanyak 4 orang dengan persentase 3,1% dan pada bulan Mei
sebanyak 1 orang dengan persentase 1,2%

Kelompok yang beresiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh


diri adalah mahasiswa, penderita depresi, para lansia, pecandu alkohol,
orang-orang yang berpisah atau bercerai dengan pasangan hidupnya,
orang-orang yang hidup sebatang kara, kaum pendatang, para penghuni
daerah kumuh dan miskin, kelompok professional tertentu, seperti dokter,
pengacara, dan psikolog (Sujono dan Teguh, 2010).
Salah satu penyebab utama kasus bunuh diri adalah depresi, Depresi
dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan
kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu
ke luar dari keadaan depresi berat. Bunuh diri adalah tindakan agresif yang
langsung terhadap diri sendiri untuk mengkahiri kehidupan. Bunuh diri
merupakan koping terakhir individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (Captain, 2008).

Penanganan depresi ringan dan berat menjadi salah satu target SDGs
(Sustainable Development Goals) dengan menjadikan target rencana aksi
kesehatan mental WHO di tahun 2013-2020. Selain itu, pencegahan bunuh
diri juga menjadi salah satu dari komponen rencana aksi kesehatan mental
dengan target mengurangi tingkat bunuh diri disemua kalangan usia
sebesar 10% di tahun 2020 (WHO, 2016).

Namun, gangguan kesehatan mental seperti depresi sering tidak


terdiagnosis dan tidak diobati, terutama di negara berkembang, karena
keterbatasan akses untuk layanan psikologis dan kejiwaan serta adanya
stigma sosial substansial yang melekat pada masalah kesehatan mental
(WHO SEARO, 2017). Selain itu, isu sensitif ini jarang ditangani di dalam
keluarga.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan psikologis


seperti depresi pada pelaku percobaan bunuh diri. Berdasarkan hasil
penelitian sendiri depresi mayor berkontribusi pada sekitar 20% - 35% dari
kematian karena bunuh diri di Amerika Serikat. (Angst, Angst, Stassen,
1999. Dalam Nevid, Rathus dan greene, 2003:264) Akan tetapi depresi
meminjam istilahnya Freud hanya merupakan pencetus terakhir
(Precipitating Event), sedangkan trauma yang diakibatkan oleh penolakan
orangtua ikut berperan sebagai Traumatic Event yaitu permasalahan
membekas yang tidak disadari, selain itu tekanan hidup atau masalah-
masalah yang dihadapi seperti misalnya masalah kerja, perceraian,
menderita penyakit yang serius dan masih banyak lagi juga ikut
menyumbang seseorang melakukan percobaan bunuh diri.

Hal ini dibuktikan oleh berbagai penelitian yang menyebutkan adanya


kombinasi faktor pada pelaku percobaan bunuh diri seperti yang
diungkapkan oleh Murphy (2000) dalam risetnya yang dilakukan di
Inggris, bahwasannya dua pertiga pelaku bunuh diri hanya sedikit atau
bahkan tidak sama sekali mendapatkan dukungan sosial. Selain masalah
psikologis dan adanya tekanan hidup, alkohol dan narkotika (Substance
Abuse) juga ikut memiliki peranan sebagai penyebab bunuh diri, dari
beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 90% dari para pecandu
alkohol dan lebih dari dua pertiga orang yang tidak kecanduan, melakukan
percobaan bunuh diri dan mengkonsumsi alkohol langsung sebelum
percobaan. Selain itu ada sebagian orang yang menjadikan alkohol dan
narkotik sebagai sarana bunuh diri secara perlahan-lahan. (Marcus, 1996.
Dalam Husain, 2005:73).

Ketika seseorang dalam keadaan putus asa mereka cenderung


mengambil tindakan yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri, hal
ini karena ketika seseorang menggalami permasalahan yang
menjadikannya stress, atau bahkan sampai depresi biasanya orang tersebut
menggalami distorsi kognitif sehingga dia tidak bisa menemukan jalan
untuk keluar dari permasalahannya, selain rasa putus asa kemampuan
coping dan problem solving juga berpenggaruh dalam penggambilan
keputusan disini, apakah orang tersebut memilih untuk mengakhiri
hidupnya, ataukah bertahan dan berusaha mencari jalan keluar dari
permasalahannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Williams
dan Pollock (2001) ditemukan, bahwasannya pelaku bunuh diri memiliki
tingkat problem solving yang rendah dibandingkan dengan orang normal.
berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwasannya orang yang
melakukan percobaan bunuh diri mengalami penurunan fungsi kognitif
dan cenderung mengunci pikirannya pada masalah yang dihadapinya.

Berdasarkan data prevalensi resiko bunuh diri di Ruang Cempaka


RSJ.Dr Soeharto Heerdjan yang sudah dijabarkan diatas, walaupun resiko
bunuh diri menduduki urutan ketiga tetapi kelompok lebih memilih
mengangkat kasus Ny.W dengan resiko bunuh diri karena jika kasus
tersebut tidak diperhatikan dan diberikan asuhan keperawatan maka akan
membahayakan orang lain karena dapat mencederai orang lain dan diri
sendiri.

B. Tujuan Penulisan
1) Tujuan Umum
Mengaplikasikan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.W dengan
masalah resiko bunuh diri
2) Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu :
 Memahami lebih dalam mengenai konsep yang mendasari resiko
bunuh diri
 Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan resiko bunuh
diri berdasarkan teori yang ada.
 Dapat mendesiminasikan asuhan keperawatan dengan masalah
resiko bunuh diri
C. Pembuatan Masalah
Berdasarkan data pasien yang dirawat di ruang cempaka RS Jiwa Dr.
Soeharto Heerdjan yang di peroleh dari hasil observasi dan wawancara
pada tanggal 28 Juli 2019 didapatkan bahwa pada 3 bulan terakhir yaitu
bulan Maret, April, dan Mei tahun 2019 tercatat jumlah kasus menduduki
peringkat kesatu yaitu halusinasi, pada bulan Maret sebanyak 63 orang
dengan persentase 34,2% lalu pada bulan April sebanyak 57 orang dengan
persentase 30,9% dan pada bulan Mei sebanyak 64 orang dengan
persentase 34,7% , kemudian peringkat kedua yaitu perilaku kekerasan
dengan persentase pada bulan Maret sebanyak 63 orang dengan persentase
33,8%, lalu pada bulan April sebanyak 58 orang dengan presentase 33,8%,
dan pada bulan Mei sebanyak 68 orang dengan persentase 36,5%. Dan
peringkat ketiga yaitu isolasi sosial dengan persentase pada bulan Maret
sebanyak 63 orang dengan presentase jumlah 35,1% lalu pada bulan April
sebanyak 58 orang dengan presentase jumlah 32,4%, dan bulan Mei
sebanyak 58 orang dengan persentase 32,4% dengan isolasi sosial.
Dari data diatas didapatkan bahwa kasus terbanyak di ruangan
cempaka adalah Gangguan persepsi sensori: Halusinasi yaitu pada bulan
Maret sebanyak 63 orang dengan persentase 34,2% lalu pada bulan April
sebanyak 57 orang dengan persentase 30,9% dan pada bulan Mei sebanyak
64 orang dengan persentase 34,7%. Kemudian peringkat kedua yaitu
perilaku kekerasan dengan persentase pada bulan Maret sebanyak 63 orang
dengan persentase 33,8%, lalu pada bulan April sebanyak 58 orang dengan
presentase 33,8%, dan pada bulan Mei sebanyak 68 orang dengan
persentase 36,5%. Sedangkan untuk kasus resiko bunuh diri menempati
peringkat ke 4 yaitu pada bulan Maret sebanyak 4 orang dengan persentase
3,5% lalu pada bulan April sebanyak 4 orang dengan persentase 3,1% dan
pada bulan Mei sebanyak 1 orang dengan persentase 1,2%. Dari data di
atas kelompok mengambil kasus yang dibahas yaitu resiko bunuh diri,
walaupun resiko bunuh diri menduduki urutan ketiga tetapi kelompok
lebih memilih mengangkat kasus Ny.W dengan resiko bunuh diri karena
jika kasus tersebut tidak diperhatikan dan diberikan asuhan keperawatan
maka akan membahayakan orang lain karena dapat mencederai orang lain
dan diri sendiri.
Makalah ini dibuat dan didiskusikan dalam kelompok serta
dikonsultasikan kepada pembimbing sebelum makalah ini diseminarkan.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
1) Wawancara
Yaitu melakukan tanya jawab langsung ke pasien, perawat dan dokter
serta tim kesehatan lainnya.

2) Observasi
Yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan secara langsung sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi dengan terganggunya pemenuhan
kebutuhan dasar manusia.
3) Studi Dokumentasi
Pengumpulan data dengan mempelajari catatan medis pasien dan hasil
pemeriksaan pasien.
4) Studi perpustakaan
Mempelajari literatur yang berhubungan dengan resiko bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai