DISUSUN OLEH :
ANDINI SRI UTAMI
NIM 318123
A. DEFINISI
Risiko bunuh diri merupakan keadaan dimana seseorang berisiko membunuh dirinya
sendiri.Risiko bunuh diri jelas menandakan seorang individu pada risiko tinggi dan
membutuhkan perlindungan (Carpenito & Moyet, 2006).Diseluruh dunia, paling
sedikit 1000 kejadian bunuh diri setiap hari (Stuart, 2013).Berdasarkan data dari
World Health Organization (WHO) setiap tahun, lebih dari 800.000 orang meninggal
karena bunuh diri. Pada tahun 2012, bunuh diri merupakan penyebab utama kedua
kematian pada usia 15-29 dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat bunuh diri (WHO,
2014). Dalam Masango et al, (2008) dijelaskan bahwa bunuh diri merupakan
kematian diri sendiri secara segaja dengan bukti bahwa orang tersebut memang
bermaksud untuk mati. Definisi lain disebutkan bahwa bunuh diri merupakan
kematian yang ditimbulkan oleh cedera, keracunan, atau sesak nafas dimana terbukti
bahwa orang yang meninggal memang bermaksud untuk membunuh dirinya sendiri
(Stuart, 2013).
C. PENYEBAB
1. Predisposisi
BIOLOGI
a. Genetik
Studi dari Centre for Addiction and Mental Health telah menemukan
bukti bahwa gen tertentu terkait dengan perilaku bunuh diri. Zai et al (2013)
menyatakan bahwa terdapat keterlibatan brain-derived neurotrophic factor
(BDNF). Dari studi bedah mayat ditemukan adanya penurunan tingkat BDNF
pada hipokampus dan korteks prefrontal baik pada orang yang mengalami
gangguan kejiwaan maupun tidak.
Penelitian yang telah dilakukan pada anak kembar dilakukan sebagai
penelitian penting pada tahun 1991 menunjukkan kesesuaian monozigot dari
11,3 dan kesesuaian dizigot dari 1,8 risiko bunuh diri delapan kali lebih besar
pada keturunan pertama pasien psikiatri pada kelompok kontrol dan empat kali
lebih besar pada ketutunan pertama keluarga pasien yang melakukan bunuh
diri. Padakeluarga dengan faktor genetik berat untuk gangguan mood tingkat
bunuh dirinya lebih tinggi.Faktor genetik untukbunuh diri mungkin atau
bawaan genetik dari gangguan jiwa (Masango, 2008).
b. Neurokimia
Penelitian dilakukan pada hubungan antara tryptophan hydroxylase dan
sejarah hidup beberapa orang yang melakukan upaya bunuh diri
mengungkapkan bahwa kemungkinan ada faktor genetik
impulsif.Apolymorphism pada manusia dengan dengan dua alel telah
ditemukan terkait dengan kelainan pada sistem kontrol dari serotonin. Hal ini
didasarkan pada bukti meningkatnya kadar reseptor 5-HT2A setelah kematian
(Dwivedi, 2012). Teori lain menyatakan penurunan kadar serotonin
menyebabkan penurunan 5-hydroxyindolacetic acid (5HIAA) pada cairan
serebrospinal (CSF). Hal ini ditemukan pada pasien depresi yang melakukan
percobaan bunuh diri.Penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan
antara penurunan serotonin pada pusat sistem serotonin dengan buruknya
impuls kontrol (Masango, 2008).
c. Status Nutrisi
Kekurangan vitamin D didefinisikan sebagai tingkat 25 (OH) D di bawah 20
ng / ml (Holick et al, 2011).. Vitamin D dapat mempengaruhi fungsi otak,
transkripsi lebih dari 1.000 gen diketahui berada di bawah kendali vitamin D,
yang berpotensi memberikan kontribusi untuk neurotropik dan efek saraf yang
dapat mempengaruhi perilaku bunuh diri (McCann & Ames, 2008).
Kekurangan vitamin D dinilai dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Umhau
et al, (2013) dalam penelitiannya terhadap tentara militer amerika menemukan
lebih dari 30% dari semua subjek penelitian memiliki 25 (OH) D nilai di
bawah 20 ng / mL namun tidak terdapat berbedaan dengan kelompok kontrol.
Hal tersebut dimungkinkan karena pada kelompok kontrol pengambilan darah
dilakukan pada musim semi ketika 25 (OH) D paling rendah dan kasus bunuh
diri dilakukan pengambilan ampel darah pada musim gugur ketika ketika 25
(OH) D tertinggi, sehingga perlu penyesuan musim untuk analisis yang lebih
tepat.
PSIKOLOGI
a. Intelegensi
Menurut Kusumawardhani (2007) Lesi pada korteks prefrontal terutama
pada korteks orbito frontal pada masa kanak kanak dapat bermanifestasi
menjadi disinhibisi perilaku anti social dan perilaku agresif (melukai diri
sendiri dan orang lain) dikehidupan selanjutnya.
b. Keterampilan verbal
Menurut Humsona (2004) hasil penelitian mengungkapkan bahwa
sebagian besar pelaku bunuh diri adalah orang yang pendiam dan tidak
mudah terbuka tentang apa yang dialaminya kepada orang lain, hal ini
selkaras dengan teori dalam ilmu psikiatri bahwa orang yang diam adalah
individu yang sulit dimengerti karena dalam diamnya justru banyak hal –
hal yang tidak terungkap dan pada orang –orang pendiam, amarah dan
emosinya sulit untuk dibaca.
c. Moral
Durkeim menyatakan bahwa salah satu penyebab bunuh diri adalah adanya
tekanan moral yang dialami individu, jenis bunuh diri yang
diklasifikasikan durkeim terkait moral adalah:
1) Bunuh diri egoistic yaitu bunuh diri yang dihasilkan dari tekanan
budaya dan tekanan individualisme contohnya : penelitian yang
menyatakan orang yang tidak menikah memiliki kecendrungan bunuh
diri lebih tinggi daripada orang yang menikah.
2) Bunuh diri anomik yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh tidak adanya
pengaturan bagi tujuan yang mengatur individu yangdijamin oleh
norma dan prinsip moral (Humsona,2004).
d. Kepribadian
Tipe kepribadian memiliki peranan dalam kejadian bunuh diri, Blum et al,
(2013) membuktikan bahwa terdapat hubungan kepribadian neurotitisme
dan keterbukaan terhadap kejadian buuh diri sementara extraversion dan
kesadaran yang berbanding terbalik dengan perilaku yang berhubungan
dengan bunuh diri. Ciri kepribadian neurotisme, dikaitkan dengan
efektivitas negatif dan strategi coping maladaptif dan secara konsisten
telah ditemukan terkait dengan peningkatan bunuh diri.Extraversion
digambarkan sebagai kecenderungan ke arah berdampak positif dan
rendahnya tingkat extraversion terkait dengan keputusasaan dan
pandangan negatif pada kehidupan. Ide bunuh diri pada tipe kepribadian
keterbukaan dialami oleh lansia, keterbukaan dapat meningkatkan
kemungkinan pelaporan ide bunuh diri yang diukur dengan instrumen
laporan diri dan di sisi lain dapat menurunkan risiko dari kematian karena
bunuh diri, mungkin dengan meningkatkan kesempatan intervensi klinis
melalui pelaporan yang tepat waktu dari bunuh diri. Tingginya kadar
keterbukaan juga telah dikaitkan dengan distorsi kognitif, kurangnya
wawasan, dan impulsif, yang juga dapat menjelaskan hubungan dengan
perilaku yang berhubungan dengan bunuh diri.
Dumais, (2005) menyatakan bahwa perilaku impulsif dan agresif memiliki
hubungan dengan kejadian bunuh diri pada depresi yang terjadi pada usia
muda (18-40 tahun) namun bukan prediktor langsung kejadian bunuh diri
tapi merupakan tipe kepribadian yang mendasari penyebab utama.
Terdapat hubungan positif antara perilaku impulsif dan agresif dengan
gangguan kepribadian tipe B, alkohol, dan penyalah gunaan zat yang jika
terjadi pada penderita depresi berat akan meningkatkan risiko bunuh diri.
e. Pengalaman masa lalu
Rodziewicz, (2013) menyatakan bahwa bunuh diri disebabkan oleh factor
yang complex, pengalaman masa lalu seperti kekerasan, kondisi psikiatrik
dan stress kronik berperan penting dalam terjadinya bunuh
diri.pengalaman masa lalu berupa perceraian orang tua dapat
meningkatkan resiko terjadinya bunuh diri.
f. Konsep diri
Menurut Goerge (2012) harga diri dan pikiran otomatis negatif diri
menyebabkan diosregulasi emosi dalam disorder mood pada pasien
gangguan bipolar merupakan salah satu penyeb utama bunuh diri yang
terjadi.
g. Motivasi
Kurangnya moivasi, riwayat kegagalan dapat menyebnabkan seseorang
depresi, menururut stuart (2013), depresi adalah suatu kesedihan yang
berkepanjangan dan abnormal, pendapat ini sejalan dengan pendapat
Kaplan dan Saddock (2010) yang menjelaskan bahwa kunci dari gejala
depresi adalah mood yang menurun serta hilngnya minat atauy kesenagan.
Pasien merasa sedih, tidak ada harapan bersusah hati dan merasa tidak
berharga.Sekitar dua per tiga pasien depresi berpikir untuk bunuh diri dan
10-15 persennya sudah melakukan bunuh diri.
h. Pertahanan psikologis dan Self control
Dalam teori self affirmation menurut Sherman (2006) adaptasi
psiochologis yang berwujud pertahanan psikologis dan control diri dalam
menyelesaikan sebuah masalah yang terkait harga diri dan integritas diri
secara alami, jika seseorang tidak memiliki adaptasi psikologi makaia
tidak bisa menyelesaikan masalah dan berakhir menjadi bunuh diri.
SOSIOKULTURAL
a. Usia
Prevalensi ide untuk bunuh diri, perencanaan bunuh diri, dan usaha bunuh
diri secara signifikan lebih tinggi di pada dewasa muda berusia 18-29
tahun dan dari kalangan orang dewasa berusia ≥30 tahun (Centers for
Disesase Control and Prevention, 2012) dalam National Alliance on
Mental Illnes, (2015) dijelaskan bahwa usia dibawah 24 tahun dan diatas
65 tahun memiliki risiko tinggi bunuh diri.
b. Gender
Pria dilaporkan empat kali lebih banyak meninggal karena bunuh diri
dibandingkan dengan wanita, walaupun wanita lebih banyak dilaporkan
untuk mencoba bunuh diri, namun, pria lebih banyak melakukan bunuh
diri. Tingginya iinsiden pada pria disebabkan karena adanya masalah
kesehatan mental, status sosial ekonomi yang lebih rendah, kerusakan
hubungan, kehilangan pekerjaan, dan usia pertengahan (Centers for
Disesase Control and Prevention, 2012; National Alliance on Mental
Illnes, 2015).
Qin, Mortensen, Agerbo, Westergard-Nielsen, & Eriksson (2000)
menyatakan bahwa adanya riwayat penyakit mental merupakan faktor
risiko yang paling banyak untuk bunuh diri pada kedua jenis
kelamin.Pengangguran, pensiun, belum meikah merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk pria.
c. Status perkawinan
Menurut Sadock (2010) perkawinan yang memiliki anak nampak dapat
mengurangi resiko bunuh diri secara signifikan, 11 per 10.000 pada orang
yang menikah.Pada orang yang belum menikah dapat lebih meningkatkan
resiko bunuh diri menjadi 2 kali lipat.Orang yang sudah menikah lebih
berisiko bunuh diri dibanding orang yang tidak pernah menikah yaitu 24
per 10.000 pada duda/ jandan dan 40 per 10.000 pada orang yang
bercerai.Bunuh diri lebih banyak pada orang-orang yang terisolir secara
sosial.
d. Pendidikan
Pendidikan yang rendah dan riwayat putus sekolah atau gagal sekolah.
e. Pendapatan
Penghasilan rendah atau mengalami ketidakstabililan ekonomi. Menurut
Masango et al (2008), bunuh diri meningkat selama status ekonomi sedang
lemah dan masa tidak bekerja, menurun selama masa bekerja.
f. Pekerjaan
Pengangguran atau tidak mempunyai pekerjaan dan perubahan pekerjaan
dihubungan dengan kelompok yang berisiko melakukan bunuh
diri.Pekerjaan profesional juga berisiko memunculkan resiko bunuh diri.
Menurut Masango (2008), bunuh diri meningkat diantara orang-orang yang
tidak bekerja ( pengangguran).
g. Status social
Terisolasi secara sosial, tinggal sendirian, relokasi atau pindah
rumah.Resiko menurun pada pria dan wanita menikah.Meningkat seiring
dengan kesendirian (hidup seorang diri). Hasil penelitian Dulkheim
disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga,
maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Dikatakan
pulaindividu yang tidak menikah memiliki tingkat bunuh diri lebih tinggi
daripada orang yang menikah.
h. Latar belakang budaya: bunuh diri massal/berkelompok
i. Agama dan keyakinan
Pelaksanan kegiatan religi yang berlebihan atau kurang. Menurut
Dyatmikawati , bunuh diri di bali terjadi akibat kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang adat dan agama. Dulkheim menunjukkan bahwa angka
bunuh diri lebih besar di Negara-negara protestan dibandingkan dengan
penganut agama katolik dan lainnya.Penyebabnya adalah perbedaan
kebebasan yang diberikan masing-masing agama tersebut kepada para
penganutnya.
j. Keikutsertaan dalam politik
Aktif dalam kegiatan sosial dan organisasi berisiko melakukan bunuh diri
ketika mengalami kegagalan.Dulkheim menyimpulkan bahwa di dalam
situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik
dibandingkan dalam keadaan damai.Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
k. Pengalaman social
Perceraian, perpisahan dan janda meningkatkan risiko bunuh diri, bencana
alam, sulit mendapatkan pekerjaan, adanya tekanan dalam pekerjaan.
l. Peran social
Semakin tinggi tingkat kepuasan atas hubungan sosial, semakin rendah
kemungkinan yang terjadi (semakin kecil tingkat resikonya), adanya
stigma negatif dalam masyarakat, acuh dengan lingkungan.
2. Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya risiko bunuh diri sama dengan faktro predisposisi,
yang membedakan adalah waktu terjadinya stressor tersebut
E. SUMBER KOPING
1. Personal ability
a. Kemampuan individu untuk menanggulangi stres berulang
b. Tingkat kemampuan individu dalam melakukan kontrol impuls
c. Kemampuan klien dalam memecahkan masalah
d. Kemampuan melakukan kontrol untuk tidak mengambil risiko yang tidak
perlu (minuman keras, alkhohol).
2. Sosial Support
a. Adanya orang terdekat yang mendukung klien atau menemani klien dalam
mengatasi stres, misalnya keluarga, teman, kelompok
b. Hubungan antara individu, keluarga dan masyarakat tidak adekuat
c. Komitmen degan jaringan sosial tidak adekuat
d. Adanya kader kesehatan dalam lingkungan tempat tinggal.
3. Material asset
a. Sumber finansial dan pribadi (pekerjaan, tunjangan hari tua atau aset yang
miliki)
b. Kemampuan mengelola kekayaan
c. Tidak memiliki dana untuk berobat ke pusat pelayanan kesehatan
d. Adanya tempat pelayanan kesehatan/PKM/RS.
4. Positif belief
a. Distres spiritual
b. Motivasi untuk sembuh yang tidak konsisten
c. Penilaian terhadap pelayanan kesehatan
d. Tidak menganggap apa yang dialami merupakan sebuah masalah atau
gangguan.
F. MEKANISME KOPING
1. Konstruktif: -
2. Destruktif: Prilaku menghindari masalah seperti alkhohol atau minuman keras
sering dihubungankan dengan bunuh diri.
G. TERAPI GENERALIS
Percobaan Bunuh diri
1. Terapi keperawatan untuk klien dengan Percobaan Bunuh Diri.
a. Tujuan: Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan: melindungi pasien untuk melindungi pasien yang akan mengancam
atau mencoba bunuh diri, maka anda dapat melakukan tindakan berikut:
1) Menemani klien terus menerus sampai ia dapat dipindahkan ketempat
yang aman
2) Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet, gelas,
tali yang aman)
3) Memerika apakah pasien benar-benar telah minum obatnya, jika pasien
mendapatkan obat
4) Menjelaskan pada pasien bahwa anda akan melindungi pasien sampai
tidak ada keinginan bunuh diri.
b. Tindakan:
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman
2) Meningkatkan harga diri pasien dengan cara:
a) Memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan
perasaannya
b) Memberikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan
yang positif
c) Menyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
pasien
e) Merencanakan aktivitas yang dapat pasien lakukan.
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah
c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah
yang lebih baik.
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga.
Tujuan:
Keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri
Tindakan:
1) Mengajarkan keliuarga tentang tanda dan gejala bunuh diri
a) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang
pernah muncul pada pasien
b) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul
pada pasien risiko bunuh diri.
2) Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri
a) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila
pasien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri
b) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien antara lain:
- Memberikan tempat yang aman
- Menempatkan pasien di tempat yang mudah diawasi, jangan
biarkan pasien mengunci diri dikamarkannya atau jangan
meninggalkan pasien sendirian di rumah
- Menjauhkan barang-barang yang dapat digunakan untuk bunuh
diri. Jauhkan pasien dari barang-barang yang dapat digunakan
untuk bunuh diri, seperti tali, bahan bakar minyak/bensin, api,
pisau atau benda tajam lainnya. Zat yang berbahaya seperti obat
nyamuk atau racun serangga.
- Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan
pengawasan apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat.
Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun pasien
tidak menunjukkan tanda dan gejala untuk bunuh diri.
c) Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
Blüml, V., Kapusta, N. D., Doering, S., Brähler, E., Wagner, B., & Kersting, A.
(2013).Personality Factors and Suicide Risk in a Representative Sample of
the German General Population. DOI: 10.1371/journal.pone.0076646
Ebrahimi, H., Kazmi, A. H., Khoshknab, M. F., & Modabber, R. (2014). The
Effect of Spiritual and Religious Group Psychotherapy on Suicidal
Ideation in Depressed Patients: A Randomized Clinical Trial. Journal
ofCaring Sciences, 3(2), 131-140 doi:10.5681/jcs.2014.014
Esposito-Smythers, C., Spirito, A., Kahler, C. W., Hunt, J., & Monti, P. (2011).
Treatment of Co-Occurring Substance Abuse and Suicidality Among
Adolescents: A Randomized Trial. J Consult Clin Psychol. 79(6) 728–739.
doi:10.1037/a0026074
from http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/online-jurnal/wp-content/uploads/
2012/05/10.-Vol.-17.1-Th-2004-9.pdf
Linehan, M. M., Comtois, K. A., Murray, A. M., Brown, M. Z., Gallop, R. J. et al.
(2006). Two-Year Randomized Controlled Trial and Follow-up of
Dialectical Behavior Therapy vs Therapy by Experts for Suicidal
Behaviors and Borderline Personality Disorder.Arch Gen Psychiatry.
63(7), 757-766. doi:10.1001/archpsyc.63.7.757.
Masango, S. M., Rataemane, S.T., & Motojesi, A. A. (2008). Suicide and suicide
risk factors: A literature review. SA Fam Pract, 50(6), 25-29.
from
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Related-
Conditions/Suicide
Pompili, M., Serafini, G., Innamorati, M., Dominici, G., Ferracuti, S. Kotzalidis,
G. D., Serra, D. Et al. (2010).Suicidal Behavior and Alcohol Abuse.Int.
J.Environ. Res. Public Health, 7, 1392-1431; doi:10.3390/ijerph7041392
Qin, P., Mortensen, P., Agerbo, E., Westergard-Nielsen, N., & Eriksson, T.(2000).
Gender differences in risk factors for suicide in Denmark.The
BritishJournal of Psychiatry, 177(6), 546-551.. DOI:
10.1192/bjp.177.6.546
Serman, K. D., Cohen,L, G. (2006). The Psichhology of Self Defense and Self
Affirmation.Advance and Experimental Social Psichology. 38.
Doi:10.1016/s0065-2601(06)
Sher, L. (2006).Alcohol consumption and suicide.Q J Med. 99, 57-61.
doi:10.1093/qjmed/hci146
Stanley, B., Brown, G., Brent, D., Wells, K., Poling, K., Curry, J., Kennard, B. D., et
al (2009). Cognitive Behavior Therapy for Suicide Prevention (CBT-SP):
Treatment Model, Feasibility and Acceptability. J Am Acad Child
th
Stuart, G. W. (2013), Principles and practice of psychiatric nursing.10 edition. St
Louis,Missouri: Elsevier mosby
U.S. Surgeon General and of the National Action Alliance for Suicide Prevention.
(2012). 2012 National Strategy for Suicide Prevention: Goals and Objectives
for Action: A Report of the U.S. Surgeon General and of the National Action
Alliance for Suicide Prevention. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK109922/
Zai, C.C., Manchia, M.,De Luca, V., Tiwari, A., Chowdhury, N., Zai, G. C., Tong, R.
P., Yilmaz, Z., et al. (2012). The brain-derived neurotrophic factor gene in
suicidal behaviour: a meta-analysis. International Journal of