Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

OLEH :
EVA HARTANI
21.300.0625

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

OLEH :
EVA HARTANI
21.300.0625
Banjarmasin

Mengetahui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(Adytia Suparna, S. Kep., Ners) (Leloakennoko, S. Kep., Ners)


A. MASALAH UTAMA
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1.1 Definisi Resiko Bunuh Diri
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk
beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan
merupakan rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum
berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan
masalah, karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat
sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta
yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa
gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan bunuh diri.
1) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan
kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke luar
dari keadaan depresi berat.
2) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
1.2 Rentang Respon

Respon Adaptif Respon


Mal-adaptif

Self Growth Indirect Self Self Suicide


Enchancement Promoting Destructive Injury
Risk Taking Behavior

1.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
1) Mempunyai ide untuk bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Impulsif
4) Menunjukan perilaku yang mencurigakan
5) Mendekati orang lain dengan ancaman
6) Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
1.4 Faktor Penyebab
1.4.1 Faktor Presipitasi
1. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam
manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan
mengakhiri nyawa sendiri. Pandey mengetahui faktor tersebut setelah
melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17 diantaranya
meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas
protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah
dibanding mereka yang meninggal bukan karena bunuh diri.
Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat menjadi penyebab utama.
Depresi timbul karena pelaku tidak kuat menanggung beban permasal
2. Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh
darah. Di dalamnya juga terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin.
Ketiga cairan dalam otak itu bisa menjadi petunjuk dalam
neurotransmiter(gelombang/gerakan dalam otak) kejiwaan manusia.
Karena itu, kita harus waspadai bila terjadi peningkatan kadar ketiga
cairan itu di dalam otak. Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi para
korban kasus bunuh diri, cairan otak ini tinggi, terutama serotonin.
Apa penyebab umum yang meningkatkan kadar cairan otak itu?
Sebagai contoh adanya masalah yang membebani seseorang sehingga
terjadi stress atau depresi. Itulah yang sering membuat kadar cairan
otak meningkat.
3. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para
korban memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah
melakukan percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri.
Tidak hanya itu, bisa juga terjadi pembelajaran dari pengetahuan
lainnya. Proses pembelajran di sini merupakan asupan yang masuk ke
dalam memori seseorang. Memori itu bisa menyebabkan perubahan
kimia lewat pembentukan protein-protein yang erat kaitannya dengan
memori. Sering kali banyak yang idak menyadari Proses Pembelajaran
ini sebagai keadaan yang perlu diwaspadai. Bahkan, kita baru paham
kalau pasien sudah diperiksa psikiater/dokter. Kita perlu
memperhatikan bahwa orang yang pernah mencoba bunuh diri
denngan cara yang halus, seperti minum racun bisa melakukan cara
lain yang lebih keras dari yang pertama bila yang sebelumnya tidak
berhasil.
4. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat
terjadi di lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam
masyarakat, dan sebagainya. Demikian pula bila seseorang merasa
terisolasi, kehilangan hubungan atau terputusnya hubungan dengan
orang lain yang disayangi. Padahal hubungan interpersonal merupakan
sifat alami manusia. Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa dilakukan
karena perasaan bersalah. Suami membunuh istri, kemudian
dilanjutkan membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh kasus.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak
aman merupakan penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di
Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini. tidak adanya rasa aman untuk
menjalankan usaha bagi warga serta ancaman terhadap tempat tinggal
mereka berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang
hingga tahap bunuh diri.
1.4.2 Faktor Predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang
perilaku resiko bunuh diri meliputi:
1. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri
yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko untuk perilaku resiko bunuh diri
5. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat
menimbulkan perilaku resiko bunuh diri.

1.5 Stressor pencetus


Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum,
kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui
seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh media
untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untuk melakukan
perilaku bunuh diri.
1.6 Sumber koping dan Mekanisme Koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara
sadar memilih untuk bunuh diri.
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang
berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan,
rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
1.7 Gambaran klinis dan diagnosis
Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu tugas
yang penting namun sulit dilaksanakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
resiko bunuh diri yang berhasil akan meningkat pada jenis pria, berkulit putih,
umur lanjut, dan isolasi sosial. Pasien dengan riwayat keluarga percobaan bunuh
diri atau bunuh diri yang berhasil membuat resiko makin tinggi juga, demikian
pula pasien dengan nyeri kronik, pembedahan yang baru terjadi, atau mengidap
penyakit fisik kronik. Demikian pula pasien yang tidak mempunyai pekerjaan,
tinggal sendiri, yang mengatur masalah– masalahnya secara teratur, dan hari ulang
tahun dari kematian anggota keluarga.
Delapan puluh persen pasien yang melaksanakan bunuh diri dan berhasil,
biasanya mengidap gangguan afetif dan 25% biasanya bergantung pada alkohol.
Bunuh diri merupakan 15% sebab kematian pada kedua kelompok orang diatas.
Sedangkan resiko tinggi untuk peminum alkohol dalam kurun waktu 6 bulan
setelah suatu kehilangan anggota keluarga. Skizofrenia merupakan gangguan yang
jarang, oleh sebab itu menjadi faktor pengurangan angka bunuh diri pada kasus
ini, namun 10% dari para pasien skizofrenik meninggal akibat bunuh diri.
Harapan yang terbaik bagi upaya pencegahan bunuh diri terletak pada penemuan
dan terapi sedini mungkin dari gangguan psikiatri yang menyebabkannya.Peran
dari upaya bunuh diri yang terdahulu dalam menilai resiko bunuh diri saat
mendatang amat kompleks, kebanyakan dari para korban bunuh diri yang berhasil
tidak pernah mencoba pada masa sebelumnya, biasanya mereka akan berhasil
pada percobaan pertama. Walaupun para pelaku yang mencoba bunuh diri masa
lampau menunjukkan perilaku yang mampu merusak diri, hanya 10% para pelaku
percobaan bunuh diri yang berhasil dalam 10 tahun. Sejumlah cukup besar orang
yang secara sengaja melakukan tindak merusak diri seperti memotong nadi atau
membakar diri dengan cara yang jelas tidak mematikan tanpa keinginan sungguh
untuk membunuh diri. Berbagai motif mungkin berada dibelakang ini, termasuk
manipulasi secara sengaja dan amarah yang tak sadar terhadap orang lain yang
berarti dalam hidupnya. Secara diagnostik, pasien dapat memenuhi kriteria untuk
gangguan anti sosial atau ambang, atau perilaku itu dapat berada bersama dengan
gagasan aneh yang lain dan perilaku skizofrenia. Yang paling merisaukan dan
menantang secara medikolegal ialah peristiwa parasuisida (usaha percobaan
bunuh diri) berulang, dan biasanya berperilaku bunuh diri yang mendekati letal
sedangkaan ia menyangkal adanya gagasan bunuh diri itu. Varian yang paling
sering dijumpai ialah pasien yang minum obat overdosis secara berulang dan tidak
bertujuan. Pasien macam ini biasanya mempunyai gangguan kepribadian tanpa
gejala psikiatrik gawat. Mereka sering meminta dipulangkan dari rumah sakit
secepatnya setelah pulih dari intosikasi akutnya, kadang lebih cepat lebih senang,
dan ternyata sulit untuk menentukan perawatan dengan agak paksa. Namun
demikian, lebih bijaksana untuk menahan orang semacam ini secara paksa atau
involunter bila frekuensi perilaku parasuisidanya meningkat.
1.8 Pedoman Wawancara dan Psikoterapi
Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa
ingin menyerah saja terhadapa hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati.
Pendekatan seperti ini membewa stigma kecil saja dan dapa diterima oleh
kebanyakan orang. Lalu bicaralah soal tepatnya apa yang dipikirkan oleh pasien?
Dan catatlah semua pikiran itu. Begitu masalahnya telah mulai diperbincangkan,
gunakan kata seperti “bunuh diri” dan mati daripada “cidera” atau “melukai”
karena beberapa pasien bingung dengan kata-kata itu dan kebanyakan mereka
tidak mau mencederai dirinya, walaupun bila mereka ingin membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah
pikiran bunuh diri anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran
yang kurang baik saja atau pernahkah anda merencanakan cara bunuh dirinya?
Apakah pikiran bunuh diri anda hanya sepintas saja atau benar-benar serius?
Pertimbangkan umur pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh
dirinya. Cocokkan ucapan dan rencana dari cara yang akan dilakukan itu.

1.9 Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem

Isolasi Sosial
Penyebab
Harga Diri Rendah Penyebab

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN JIWA


2.1 Pengkajian
1. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa
yang menghina atau menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal,
catatan, lukisan, memberikan benda yang berharga, obat, penggunaan
kekerasan, racun.
2. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri
sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi,
agitasi gelisah, insomnia menetap, berat badan menurun, bicara
lamban, keletihan, withdrawl.
3. Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif,
zat adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia
4. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan,
stress multiple (pindah, kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah,
krisis disiplin), penyakit kronik.
5. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative
dan kaku, putus asa, harga diri rendah, antisocial
6. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.

2.1 Diagnosa Keperawatan


Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan
takut terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan,
ketidakmampuan mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri
karena malu, kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
1. Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan
ingin mencederai diri.
2. Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri
2.3 Intervensi dan Rasional
Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi
rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi
ketat dibutuhkan supaya intervensi dapat terjadi jika dibutuhkan
untuk memastikan keamanan klien).
3. Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan
jika keinginan untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan
ingin bunuh diri dengan orang yang dipercaya memberikan derajat
keringanan untuk klien, sikap penerimaan klien sebagai individu
dapat dirasakan)
4. Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik
penyebabnya jangan berikan reinforcement positif untuk perilaku
tersebut (kurangnya perhatian untuk perilaku maladaptive dalat
menurunkan pengulangan mutilasi).
5. Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum
perilaku ini terjadi (agar memecahkan masalah dan memahami faktor
pencetus).
6. Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang
tepat (perilaku bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan
pada diri sendiri)
7. Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien
(keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)
8. Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan
fisik merupakan cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang
terpendam)
9. Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti
control terhadap situasi dan memberikan kemanan fisik serta
semangat hidup)
10. Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan
efek samping (obat penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat
memberikan efek menenangkan pada klien dan mencegah perilaku
agresif)
11. Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur
tetap (bila klien menolak obat-obatan dan situasi darurat, restrain
diperlukan pada jam-jam tertentu)
12. Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap
dengan mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar
(keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)

2.3 Intervensi Klien Bunuh Diri


1. Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia
mau berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan persoalan,
serta tidak ada alasan melalui kesulitan sendirian tanpa bantuan orang
lain. Selain itu, bila mendapati ada orang yang hendak melakukan
bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan
dukungan agar dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini
bermanfaat, buat lingkungan tempat dia tinggal aman dengan cara
menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri. “Kalau
perlu buatlah semacam ‘kontrak’ pada dia untuk tidak melakukan
bunuh diri, meski tingkat keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan
utama yang dihadapi apabila orang yang akan melakukan bunuh diri
itu tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat permukaan
dia tampak mengerti dan memahami arti hidup, serta terkesan tidak
akan melakukan bunuh diri, tetapi tiba-tiba dia sudah mati bunuh diri.
Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga menjadi sarana yang baik
untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan orang
untuk bunuh diri.
2. Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan
bunuh diri, perlu sikap menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya
agar tidak bersikap memvonis, memojokkan, apalagi menghakimi
mereka yang punya niat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri.
“Kalau mereka merasa dipojokkan kemungkinan bunuh diri akan
semakin cepat”. Yang paling penting disini adalah mencoba
menampung segala keluhannya dan menjadi pendengar yang baik.
Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat. Jangan harap kata-kata anda
bisa menjadi senjata ajaib untuk menyadarkannya. Pada dasarnya
dalam diri orang yang ingin bunuh diri tersimpan sikap mendua atau
ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap hidup, tapi sebagian lagi
ingin segera mati untuk mengakhiri penderitaannya. Karena sedang
menderita itulah, sebenarnya ia sangat membutuhkan orang lain. Ia
butuh ventilasi untuk mengalirkan masalah dan perasaannya. Namun,
orang yang berniat bunuh diri biasanya takut untuk mencoba mencari
pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban
penderitaannya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting,
berdosa, atau diberi cap negatif lainnya.
3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus
dievaluasi karena bisa sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma
atau penilaian negatif di masyarakat kepada klien gangguan kejiwaan.
Namun, bila dibandingkan dulu, stigma sekarang sudah menurun.
Bahkan stigma membuat pihak keluarga klien juga tidak memahami
karakter anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa.
Keluarga jadi bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak
konsultasi ke psikiater.Padahal, dukungan keluarga sangat penting
untuk upaya penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga perlu
didukung masyarakat sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap
sama dengan penyakit-penyakit fisik lain seperti Decomp,
DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang membutuhkan perawatan dan
tenaga ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa menimpa siapa
saja.
4. Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau
curhat, sehingga membantu meringankan beban yang menerpa. Salah
satu solusi yang ditawarkan selain mengontrol emosi, lebih
mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Express feeling sangat
penting agar masalah yang menekan semakin ringan.
5. Lakukan Implementasi khusus
1) Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus
ditanggap serius oleh perawat, Laporkan sesegera mungkin dan
lakukan tindakan pengamatan
2) Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
3) Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat
meskipun di tempat tidur/kamar mandi.
4) Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut,
pastikan bahwa obat telah ditelan, berikan obat dalam bentuk cair
bila memungkinkan.
5) Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan
perhatian dan kepedulian perawat
6) Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah
selesai merencanakan bunuh diri.

2 Evaluasi dan Pengelolaan


1) Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri, singkirkan semua benda yang potensial
berbahaya.
2) Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri,
nilailah apakah usaha itu telah direncanakan atau impulsif saja
sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan pasien pulih
kembali.
3) Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien
dengan depresi berat dapat diobati sebagai pasien berobat jalan bila
keluarganya dapat mengawasi mereka dengan seksama dan terapi
dapat dimulai dengan segera. Bila tidak, perawatan inap di rumah
sakit diperlukan.
4) Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik
dalam beberapa hari dengan abstinensi. Kebanyakan tidak ada
terapi spesifik yang perlu diberikan. Bila depresi tetap bertahan
setelah gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah gangguan
depresi berat. Semua pasien yang cenderung bunuh diri yang
mengalami intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai ulang saat
mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5) Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan
secara serius karena mereka cenderung mempergunakan cara yang
keras dan aneh dengan derajat letalitas tinggi.
6) Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari
bantuan dan konfrotasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan
secara rasional, bertanggung jawab pada masalah yang
mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut. Keikutsertaan
keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan dapat membantu
untuk menyelesaikan krisis yang membawa pasien untuk bunuh
diri.
7) Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi
kasus dengan kecenderungan mutilasi diri, namun perawatan inap
jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang berulang
ini. Parasuisida juga mungkin akan mendapatkan manfaat yang
baik dari rehabilitasi jangka panjang, dan stabilisasi jangka pendek
juga diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi terapi jangka pendek
tidak akan dapat mempengaruhi secara berarti perjalanan gangguan
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incrediblyn easy,


Volume 6(3).
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EG
Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai