Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN ISI PIKIR WAHAM

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Profesi Ners


Stase KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH :
ANDINI SRI UTAMI
NIM 318123

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
PPNI JAWA BARAT
2019
GANGGUAN ISI PIKIR WAHAM

A. Definisi Waham
Waham/ delusi dimana waham didefinisikan sebagai suatu keyakinan palsu
yang didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang realitas eksternal yang
tetap bertahan meskipun sudah terbukti sebaliknya dan keyakinan ini biasanya
tidak diterima oleh anggota lain dari budaya atau subkultur seseorang (APA,
2000). Waham sulit dibedakan dengan ide atau kepercayaan yang berlebihan
dimana seseorang mempercayai ide yang tidak rasional tapi pada kasus ini,
seseorang tersebut terkadang masih memiliki keraguan terhadap ide yang
dipegangnya.

B. Jenis-jenis Waham
Waham dapat diklasifikasikan sebagai berikut Direja (2011) :
1. Waham kebesaran : Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki
kekuatan khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Waham Agama : Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
3. Waham Curiga : Keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang mau
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.
4. Waham Somatik : Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau sebagian
tubuhnya terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan.
5. Waham Nihilistik : Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal
dunia, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

C. Penyebab
Faktor Predisposisi
1. Faktor Biologis
Cummings 1985 dalam Kiran dan Chaudhury (2009), mengemukakan
teori neurobiologi sebagai faktor risiko waham atau delusi dimana
dikatakan beberapa kondisi dapat menimbulkan psikosis terutama yang
berefek pada sistem limbik, lobus temporal, dan caudate nucleus dan
menyebutkan juga peningkatan dopaminergic atau penurunan aktivitas
kolinergik juga sebagai faktor predisposisi
psikosis. Disfungsi sistem limbik menyebabkan persepsi yang tidak sesuai
dan formasi delusi paranoid yang dijelaskan sebagai berikut: Model
disfungi sepro-hipocampal : dapat menyebabkan identifikasi yang keliru
terhadap stimulus yangmenimbulkan delusi, Model disfungsi semantic
memory : delusi terbentuk karena adanya ketidaksesuaian memori
semantik dan rekoleksinya, Delusi Alien dikaitkan dengan hiperaktivitas
lobul parietal inferior kanan dan gyrus cingulate dimana regio otak penting
sebagai fungsi visuospatial, Delusi organik dikaitkan dengan gangguan
ekstrapiramidal meliputi basal ganglia dan thalamus serta gangguan pada
sistem limbik. Disfungsi pada bagian-bagian ini diduga menyebakan
perubahan pada perilaku emosional dan beliefs.

Faktor neurobiologis penyebab delusi dijelaskan juga melalui artikel-artikel


dibawah ini:

a. Faktor Genetik
Dikutip dalam Ma et al, (2012) yang berperan terhadap faktor genetik
terhadap kejadian skizofrenia termasuk delusi atau waham adalah adanya
kekacauan atau mutasi pada gen DISC1 yang memegang peran penting
terhadap sel glia yang dikenal sebagai “astrocyte” dimana astrocyte berperan
salah satunya untuk mensekresikan neurotransmitter D-serine yang membantu
transmisi glutamat di otak. Yang mana dalam penelitian ini ditemukan bahwa
gen DISC1 terlibat langsung dalam pengaturan produksi D-serine oleh serine
racemase dan DISC1 berperan juga untuk mengikat serine racemase dan
menstabilkannya. Namun pada skizofrenia ditemukan terjadi mutasi pada gen
DISC1 sehingga tidak mampu mengikat dan menstabilkan serine racemase
sehingga akan menyebabkan defisiensi dari D-serine.
Skizofrenia dapat terjadi 1% pada penduduk umum, namun berisiko 10 %
pada orang yang memiliki keluarga langsung (First-degree family) dengan
skizofrenia seperti orang tua atau saudara kandung. Dan pada kembar identik
berisiko 40%-65% menderita skizofrenia. Begitu pula pada orang dengan
keluarga dari seconddegree seperti tante, paman, kakek, nenek dan sepupu
dengan skizofrenia lebihberisiko menderita skizofrenia dibandingkan orang
yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan skizofrenia termasuk didalamnya
adalah kejadian waham.
(NIMH, 2009). Sedangkan dikutip dalam Smeets, (2014) yang melakukan
penelitian untuk melihat halusinasi dan delusi 1054 bersaudara yang sehat dan
918 orang tua dari 1109 klien dengan psikosis serta 589 kontrol yang sehat,
didapatkan risiko terjadinya waham yang disertai halusinasi yaitu 53% pada
orang tua, 47% pada saudara dan 36% pada kontrol yang sehat.

b. Ketidakseimbangan Neurotransmitter/sensitivitas biologi


Dikutip dalam Gaag (2006) dalam review literatur dijelaskan
ketidakseimbangan neurotransmitter salah satunya dopamin, diasumsikan
merupakan penyebab terjadinya skizofrenia. Dopamin adalah neurotransmitter
utama yang berperan pada skizorenia yang dihubungkan dengan munculnya
baik gejala negatif maupun gejala positif seperti waham. Pada waham,
dopamine memberikan respon yang berlebihan dan perhatian yang berfokus
terhadap stimulus, menimbulkan emosi, dan mempersiapkan respon.
Peningkatan dopamin yang dilepaskan di jalur mesolimbic akan menyebabkan
abnormalitas pada “gerbang” informasi di prefrontal korteks sehingga
informasi yang tidak relevan bisa memasuki alam sadar sebagai sebuah
informasi yang penting .
Sedangkan dalam peneltian William et al (2004), yang melihat aktivitas
amygdala dan prefrontal cortex sebagai fear response pada penderita
skizofrenia paranoid didapatkan terjadi overaktivasi pada amygdala dan
underaktivasi dari MPFC (Medial prefrintal Cortex) akan mengunci sirkuit
viseral dan emosi yang tidak sesuai akan berlanjut, lalu inhibisi akan dihambat.

c. Paparan terhadap racun


Saha et al (2011) mengungkapkan hubungan penggunaan 3 zat yang paling
sering (tembakau, alkohol, dan cannabis) terhadap kejadian waham/delusi yang
mana didapatkan mereka yang mengkonsumsi tembakau berisiko lebih besar
mengalami delusi atau psikosis dan risikonya lebih besar pada mereka yang
mulai mengkonsumsi pada usia 15 tahun kebawah dan yang menkonsumsi
lebih dari 22 batang rokok perhari. Untuk cannabis didapatkan juga risiko
yang lebih tinggi mengalami delusi atau gangguan psikotik bagi mereka yang
mengkonsumsi sejak usia 16 tahun kebawah. Begitu pula dengan konsumsi
alkohol sejak usia 17 tahun kebawah lebih berisiko mengalami delusi namun
dalam peneltian ini didapatkan
hasil yang tidak konsisten antara hubungan alkohol dengan delusi atau gejala
psikotik.
Cahudhury (2010), Cocaine dan intoxikasi amphetamine menjadi penyebab
waham dan halusinasi pada beberapa orang dimana setelah konsumsi beberapa
bulan setelah intake terakhir obat ini akan terjadi fenomena “flashback” yang
menyebabkan delusi dan halusinasi. Amfetamin dan kafein meransang
Susunan Saraf Pusat atau korteks cerebri dari otak. Saha et al (2011), Hal ini
diasumsikan juga bahwa zat-zat seperti nikotin dapat memodulasi sistem
mesolimbic neurotransmitter dopamine yang dapat meningkatkan produksi
dopamin dan risko terjadinya delusi.
d. Faktor prenatal
Faktor prenatal disebutkan sebagai salah satu faktor risiko kejadian
skizofrenia dimana didapatkan peningkatan level homocysteine pada trimester
ketiga terhadap sampel yang menderita skizofrenia pada studi cohort ini.
Peningkatan level homocysteine pada trimester ketiga berdampak terhadap
perkembangan strukturdan fungsi otak serta akan menyebabkan kerusakan
vaskular placenta yang mengganggu penghantaran oksigen ke fetus (Brown,
2007). Faktor usia orang tua dianggap sebagai faktor risiko kejadian
schizofrenia dimana anak yang dilahirkan dari ayah yang berusia 35 tahun
berisiko 0,2% menderita skizofrenia, dan 5% bagi anak yang lahir dari ayah
usia lebih dari 55 tahun. Hal ini diasumsikan disebabkan oleh terjadinya mutasi
sperma selama si laki-laki hidup (King et al, 2010).
Sedangkan dalam Sorensen et al (2009), mengungkapkan dari 7941
responden yang menderita skizofrenia termasuk delusi, 1087 (13,7%)
terekspos infeksi firus pada saat prenatal dan yang paling sering adalah
common cold, dimana 447 terekspos selama trimester kedua. Begitu pula
dengan paparan infeksi bakteri akan meningkatkan risiko skizofrenia dimasa
depan yang diasumsikan disebabkan oleh produki cytokines oleh placenta
sebagai respon terhadap infeksi bakteri.

2. Faktor Psikologis
Waham atau delusi di predisposisi dan dipresipitasi juga oleh aspek-aspek
psikologis yaitu :
a. Stressful life events
Dalam Scott et al (2007), dalam artikelnya tentang hubungan antara
traumaexposure atau pengalaman traumatis baik yang dengan PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder) atau yang dengan PTSD terhadap kejadian
delusi didapatkanpengalaman traumatis dapat meningkatkan risiko
pengalaman delusi dan ada hubungan juga dengan jumlah maupun tipe
dari stressor dimana kejadian stress diketahui meningkatkan level hormon
kortisol yang dapat menyebabkan kerusakan dan atrofi pada hipocampus.
Saha et al (2011) menyebutkan pengalaman traumatis masa kecil
juga dikaitkan dengan Delusional-like Experience (DLE) dimana 8,4%
dari 8773 sampel melaporkan mengalami DLE dan hampir 75%
menyebutkan pernah mengalami paling tidak satu pengalaman traumatis
dan dikaitkan juga dengan usia terpapar dengan trauma saat kanak-kanak.
Penelitian Morgan dan Fisher (2007), dari data 4045 subjek yang berusia
18-64 tahun di belanda didapatkan mereka yang mengalami pelecehan
emosional, fisik, dan pelecehan seksual sebelum usia 16 tahun melaporkan
gejala-gejala psikotik selama 3 tahun folow-up penelitian. Ini diamsusikan
bahwa trauma dan stress masa lalu memicu hiperaktivitas dopamin.

b. Self-esteem yang rendah dan kepribadian


Dalam Romm et al (2011), Dalam penelitiannya disebutkan
rendahnya premorbid sosial menjadi penyebab rendahnya self esteem dan
rendahnya self esteem dikaitkan dengan perkembangan kejadian gejala
positif psikotik yaitu delusi dan halusinasi. Dikutip dalam Cahudhury
(2010), Orang dengan Borderlinepersonality disorder (BPD) 29,2%
melaporkan mengalami halusinasi.Kepribadian tertutup dan Borderline
Personality Disorder serta self-esteem yang rendah memperbesar risiko
seseorang menderita gangguan mental.

c. Intelegensi
Intelegensi dan fungsi kognitif dikaitkan dengan kejadian skizofrenia dan
delusi secara khusus. Casas et al (2013) dalam penelitiannya terhadap 86
klien dengan waham/delusi dan 343 kontrol yang sehat didapatkan fungsi
kognitif yang lebih rendah pada klien dengan delusi yang mencakup
flexibility, impulsivity, dan Updating component (termasuk
mengemukakan alasan dan memori) sertakesulitan dalam memproses
memori dibandingkan dengan kontrol. Dikutip dalam
Reichenberg (2005) menuliskan penelitian yang dilakukan pada 50.000
laki-laki wajib militer di swedia. setelah lebih dari 13 tahun diidentifikasi
195 kasus skizofrenia, dan 192 kasus psikosis lainnya. Ditemukan bahwa
mereka yang menderita, memiliki skor IQ dibawah rata-rata pada saat
dilakukan tes IQ di usia 18 tahun. Intelegensi dikaitkan juga dengan
kemampuan klien untuk mendapatkan sumber koping saat mendapatkan
stressor.
d. Tinjauan Psikodinamika
Waham Psikodinamik Freud
Freud membagi pikiran manusia menjadi tiga ruang yaitu Alam
bawah sadar (unconcious) yang sepenuhnya merupakan dimensi Id. Yang
kedua adalah Ambang kesadaran (pre concious) yang berasal dari dua
sumber yaitu berasal dari persepsi-persepsi alam sadar dan berasal dari
imaji-imaji alam bawah sadar yang dapat menyelinap dari sensor seketat
apapun ke ambang kesadaran dalam bentuk samaran yang bukan aslinya.
Preconcious termasuk Id dan superego. dan yang ketiga adalah alam sadar
(Conscious) yang bertindak sebagai medium untuk mempersepsi stimulus-
stimulus eksternal, dengan kata lain apa yang dipersepsi indra jika tidak
terlalu mengancam maka akan masuk ke alam sadar. Dan Concious ini
adalah dimensiEgoyang berusaha memperhatikan aturan-aturanyang
berlaku di dunia realita (Muis, 2009).
Menurut Freud abnormalitas terjadi ketika trauma yang berasal dari
konflik yang tidak terselesaikan antara Id, ego, dan superego di reperesi ke
alam bawah sadar yang kemudian menyebabkan regresi ke tahap
perekembangan psikoseksual sebelumnya. Pada skizofrenia, mereka
mengalami pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan di masa
kecil paling sering karena orang tua yang tidak memperhatikan dan tidak
mendukung sehingga menyebabkan fiksasi atau regresi ke tahap tumbuh
kembang awal dalam hal ini skizofrenia banyak dikaitkan dengan fase oral
yang disebut primary narcissism selama ego tidak dipisahkan dengan Id.
Jika ego tidak berkembang dengan baik maka seseorang akan berhenti
untuk berdasar pada realita yang menjelaskan beberapa gejala dari
skizofrenia termasuk delusi (Martindale, 2007).
Model Psikodinamika Winnicot
Winnicott percaya bahwa lingkungan masa kecil termasuk orang tua
berhubungan dengan timbulnya skizofrenia di masa depan. Kegagalan
penyesuaian diri di tahap tumbuh kembang tertentu di masa kecil dapat
menyebabkan kerusakan jati diri yang menyebabkan berkembangnya jati
diri yang salah (the Fals self) dan merupakan awal dari pemisahan dari
interaksi yang bermakna dan perasaan yang sebenarnya dengan komunitas,
kepercayaan dan relitas (Shean, 2003).
Pada skizofrenia, batas antara iinner, outer dan antara diri dan kelompok
atau komunitas lain baik secara temporer maupun permanen serta perasaan
berbatas dalam ruang dan waktu menjadi hilang. Mungkin mereka
merasakan sebagai cosmic, seseorang yang berkuasa, seperti tuhan dan
tidak terikat sama sekali. Namun pada waktu yang sama muncul ansietas
dan ketakutan karena perasaan yang tidak terikat serta tidak ada koneksi
dengan yang lain. Winnicot melihat skizofrenia sebagai gejala regresi ke
mode pengalaman di masa kecil, mode dimana relitas eksternal
menyimpang, campuran antara fantasi dan harapan dan menjadi ancaman
yang serius (Shean, 2003).

3. Faktor Sosialcultural
a. Umur
Umur mempengaruhi prngalaman seseorang terhadap stressor. Variasi
sumber pendukung dan kemampuan koping. Usia muda saat terpapar stress
atau trauma dianggap sebagai faktor risiko psikosis. Seseorang dengan usia
muda bisa menghadapi berbagai macam stressor sosial seperti bully ketika
kemampuan kopingnya belum berkembang dengan baik. Semakin
bertambah umur dan merasakan pengalaman transisi usia seperti dewasa
muda, menjadi orang tua atau masa pensiun akan menambah pengalaman
seseorang terhadap kemampuan koping (Stuart, 2013).
b. Pendapatan yang rendah/kemiskinan

Read (2010) dalam artikelnya mengungkapkan Poverty/kemiskinan yang


biasanya disebabkan tidak bekerja dan berpendapatan rendah merupakan
faktor risiko skizofrenia karena kemiskinan menyebabkan kesulitan
mengakses sumber koping,
dan merupakan sumber stressor dalam keluarga yang menyebabkan
mortalitas infant, kekerasan, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan.

c. Ethnic
Veling et al (2008) dalam kumpulan artikelnya ”Schizophrenia among
ethnicminorities” menyatakan ada korelasi positif antara etnik minoritas
(non-western)di Eropa dengan kejadian skizofrenia. Hal ini dilaporkan
bahwa risiko skizofrenia disebabkan pengalaman-pengalaman yang tidak
menyenangkan yang dialami kaum minoritas seperti diskriminasi,
diasimilasikan, dan dimarginalkan.

Faktor Presipitasi
1. Nature , faktor presipitasi baik biologis, psikologis maupun sosialkulturalsama
dengan faktor predisposisi namun yang membedakan adalah faktor presipitasi
dilihat sejak enam bulan terakhir.
2. Origin
a. Internal : Klien gagal dalam mempersepsikan sesuatu yang diyakininya
secara benar.
b. Eksternal : Kurangnya dukungan keluarga, masyarakat, dan kurang dukungan
kelompok/teman sebaya.
3. Timing: stres terjadi dalam waktu dekat, stress terjadi secara
berulang-ulang/terus menerus atau muncul dalam waktu yang tidak tepat dan
waktu munculnya saling berdekatan.
4. Number: Sumber stres lebih dari satu dan stres dirasakan sebagai masalahyang
sangat berat atau dengan kualitas yang tinggi
D. Framework faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan
delusi

Figure 1:

Outline Factors involved of delusion


Dari framework diatas dapat dijelaskan bahwa timbulnya gejala delusi
diasumsikan tergantung pada interaksi antara kerentanan (baik dari segi genetik,
biologis, psikologis, dan faktor sosial) dan stress (yang juga dapat berupa biologis,
psikologis, dan faktor sosial). Oleh karena itu formasi dari delusi akan dimulai
dengan munculnya faktor presipitasi seperti stressful life event atau
penyalahgunaan obat-obatan yang akan menyebabkan pembangkitan. Hal ini
diperburuk oleh adanya gangguan tidur. Bagi individu dengan kerentanan atau
berisiko terhadap psikosis, pembangkitan akan menginisiasi kebingungan internal
dan eksternal yang menyebabkan individu mengalami anomalous (hal yang ganji)
seperti pemikiran sedang mendengarkan sesuatu dan perilaku yang tidak
diharapkan serta persepsi anomali (Freeman et al, 2002).

Kebingungan internal dan eksternal akan memicu pencarian makna (search


formeaning) dimana seseorang akan mencari makna dan penjelasan tentang
eventpencetus atau stressor. Dalam pencarian makna, kepercayaan terhadap diri,
orang lain, dan dunia ditarik keatas dan individu percaya contohnya mereka
adalah target yang akan dilukai karena perilaku yang tidak baik sebelunya atau
karena mereka melihat orang lain dan dunia sebagai musuh yang kemudian
disebut sebagai delusi/waham. Emosi dan proses terkait seperti kepercayaan
tentang diri, orang lain dan dunia serta Reasoning akan mempengaruhi seseorang
dalam mencari penjelasan (search for meaning) seperti “jumping to conclusion”
disebabkan karena kurangnya data ataupun dukungan dalam searching
formeaning sedangkan “attributional bias” disebutkan dapat menyebabkan
tendensiuntuk menyalahkan orang lain atas event atau keadaan yang terjadi.
Sehingga psikosis muncul tergantung hasil dari search for meaning dari individu
(Freeman et al, 2002).

E. Penilaian Terhadap Stressor


1. Kognitif :
a. Tidak dapat berpikir logis:
1) Memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetap
2) Takut terhadap objek atau situasi tertentu, merasa cemas secara
berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya
3) Pernah merasakan ia berada di luar tubuhnya
4) Pernah merasakan bahwa benda-benda di sekitarnya anek dan tidak nyata
5) Klien merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain
6) Pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orang lain atau kekuatan dari luar
7) Merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain
8) Memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lainnya atau yakin bahwa orang
lain bisa membaca pikirannya
b. Inkoheren, Disorientasi, Gangguan memori jangka pendek maupun jangka
panjang
c. Mudah lupa, Konsentrasi rendah, kekacauan alur pikir,
d. Ketidakmampuan mengambil keputusan, Fligth of idea, gangguan berbicara
dan perubahan isi pikir (ketidaksesuaian kognitif) atau waham/gagasan
yang salah, intepretasi lingkungan yang tidak akurat, ketidaksesuaian
pemikiran yang tidak berdasarkan realita.
e. Hambatan dalam kemampuan membuat keputusamn, menyelesaikan
masalah, membuat pertimbangan, pikiran abstrak atau konseptual dan
berhitung.

Casas et al (2013) mengungkapkan pada klien delusi didapatkan fungsi kognitif


yang lebih rendah daripada individu normal yang mencakup
flexibility,impulsivity, dan Updating component (termasuk mengemukakan
alasan danmemori) serta kesulitan dalam memproses memori dibandingkan
dengan kontrol.
2. Afektif : Egosentris, panik, kegembiraan yang berlebih, kesedihan
yangberlarut, takut yang berlebihan, marah, curiga, defensif
3. Fisiologis : pusing, kelelahan, keletihan, denyut jantung meningkat,
keringatdingin, gangguan tidur, muka merah/tegang, frekuensi napas
meningkat, ketidakseimbangan neurotransmitter dopamine dan serotonine,
epinefrin dan norefrinephrin
4. Perilaku : Distraksibilitas (perubahan rentang perhatian, kewaspadaan
yangberlebihan, impulsifitas, perilaku ritualistik, bingung, berperilaku yang
aneh, mondar-mandir, penampilan tidak sesuai, tidak bisa mengontrol diri,
awat waspada, agresi
5. social : Ketidakmampuan untuk berkomunikasi, acuh dengan
lingkungan,penurunan kemampuan bersosialisasi, paranoid, personal higiene
jelek, sulit berinteraksi dengan orang lain, tidak tertarik dengan kegiatan yang
sifatnya menghibur, perilaku sosial yang tidak sesuai (merefleksikan
ketidakakuratan
pemikiran. Apatis terhadap lingkungan, menarik diri.

F. Sumber Koping

1. Personal Ability : Ketidakmampuan memecahkan masalah, ada


gangguandari kesehatan fisiknya, ketidakmampuan berhubungan dengan
orang lain, pengetahuan tentang penyakit dan intelegensi yang rendah,
identitas ego yang tidak adekuat.

2. Socal Support: Hubungan antara individu, keluarga, kelompok,


masyarakattidak adekuat, komitmen dengan jaringan sosial tidak adekuat
Penelitian yang dilakukan oleh Hussein & Khudiar (2013) menunjukkan
dukungan caregiver kepada penderita skizofrenia masih berada pada level
moderat dan didapatkan bahwa ada hubungan antara dukungan tersebut
dengan perbaikan pada penderita skizofrenia. Begitu pula dalam artikel yang
ditulis oleh Browne & Courtney (2005) dimana dilakukan penelitian pada 13
penderita skizofrenia yang tinggal di boarding house dan yang tinggal di
Rumah mereka sendiri. Hasilnya, partisipan menyatakan mereka lebih senang
tinggal di rumah sendiri dibandingkan di boarding house karena mereka lebih
merasa memiliki, merasa aman, dan lebih memiliki kesempatan untuk
membangun hubungan sosial dan mendapatkan dukungan dari keluarga.
3. Material asset : Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misalnya boros
atausangat pelit, tidak mempunyai uang untuk berobat, tidak ada tabungan,
tidak memiliki kekayaan dalam bentuk barang, tidak ada pelayanan kesehatan
dekat tempat tinggal
4. Positif belief :Distress spiritual, tidak memiliki motivasi, penilaian negatif

terhadap pelayanan kesehatan, tidak menganggap itu suatu gangguan

G. Mekanisme Koping

Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri
sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal
untuk aktivitas hidup sehari-hari
2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri

H. Diagnosa Medis

Berdasarkan PPDGJ III, untuk mendiagnosa skisofrenia harus ada sedikitnya satu
gejala berikut ini yang jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala
itu kurang tajam atau kurang jelas) (Maslim, 2003):

1. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang bergema dan berulang
dalamkepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda.
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke
dalampikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal)
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lainmengetahuinya.
2. - Delution of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
sesuatukekuatan dari luar.
- Delution of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
sesuatukekuatan dari luar.
- Delution of perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar,
yangbermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
- Delution of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap kekuatan dari luar.

3. Halusinasi Auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus tentang perilaku
klien.
- Mendiskusikan perihal klien diantara mereka sendiri.
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
1. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hati selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
2. Arus pikir yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
3. Perilaku katatonik.
4. Gejala-gejala negatif
Gejala harus berlangsung minimal 1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten
dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi.
Berdasarkan PPDGJ III skizofrenia dengan gejala waham didiagnosa dengan
F20.0 (Skizofrenia Paranoid) dengan syarat memenuhi kriteria skizofrenia,
dangejala waham harus meninjol dimana waham dapat berupa hampir setiap jenis,
tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi, dan keyakinan dikejar0kejar yang
beraneka ragam adalah yang paling khas serta bisa ada gangguan afektif,
dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak
nyata/tidak menonjol (Maslim, 2003).

I. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Isi pikir: waham

J. Intervensi Keperawatan
1. Intervensi ditujukan ke klien
a. Tujuan keperawatan
1) Klien dapat berorientasi pada realitas secara bertahap
2) Klien dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
3) Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
4) Klien menggunakan obat dengan teratur dan benar

b. Intertvensi
1) Membina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien waham, perawat harus membina
hubungan saling percaya terlebih dahulu agar klien merasa aman dan
nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus
dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya, yaitu:
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) Berjabat tangan’
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu klien.

2) Membantu orientasi realita


a) Tidak mendukung atau membantah waham klien
b) Menyakinkan klien berada dalam keadaan aman
c) Mengobservasi pengaruh waham pada aktivitas sehari-hari
d) Jika klien terus menerus membicarakan wahamnya, dengarkan
tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien
berhenti membicarakannya
e) Memberikan pujian jika penampilan dan orientasi klien sesuai
dengan realitas
f) Mendiskusikan kebutuhan psikologik/emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan
marah
g) Meningkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional klien
h) Mendiskusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki
i) Membantu melakukan kemampuan yang dimiliki
j) Mendiskusikan tentang obat dan melatih minum obat yang benar

2. Intervensi ditujukan ke keluarga


a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengidentifikasi waham klien
2) Keluarga mampu memfasilitasi klien untuk memenuhi kebutuhan
yang tidak terpenuhi akibat wahamnya
3) Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan klien
secara normal

b. Intervensi keperawatan
1) Diskusikan dengan keluarga masalah yang dihadapi selama merawat
klien di rumah
2) Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien
3) Diskusikan dengan keluarga tentang
a) Cara merawat klien dengan waham di rumah
b) Tindakan tindak lanjut dan pengobatan yang teratur
c) Lingkungan yang tepat untuk klien
d) Obat klien (nama obat, frekuensi, efek samping, akibat
penghentian pengobatan)
e) Kondisi klien yang memerlukan konsultasi keluarga
4) Berikan latihan kepada keluarga tentang cara merawat klien waham
5) Menyusun rencana pulang klien bersama keluarga
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual


ofMental Disorders. Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-
TR).Washington, DC:American Psychiatric.

Brown, A.S., Bottiglieri, T., Schaefer, C.A., Quesenberry, C.P., Liu, L.,
Bresnahan, M., & Susser, E.S. (2007). Elevated prenatal
homocysteinelevels as a risk factor for schizophrenia. Arch Gen
Psychiatry, 64(1), 31-39.

Browne, G., & Courtney, M. (2005). Housing, social support and people with
schizophrenia: a grounded theory study comparing boarding house and
private home. Issues in Mental Health Nursing, 26, 311-326. DOI:
10.1080/01612840590915694.

Casas, I., Portugal, E.D., Gonzales, N., McKenney, K.A., Haro, J.M., Usall, J.,
Garcia, M.P., & Cervilla, J.A. (2013). Deficits in executive and memory
processes in delusional disorder: a case-control study. Plos One, 8(7), 1-
8. DOI:10.1371/journal.pone.0067341.

Chaudhury,S. (2010). Hallucinations: Clinical aspects and management.


Industrial Psychiatry Journal, 19(1), 5-12. DOI: 10.4103/0972-
6748.77625.

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta : Nuha Medika.

Dujaily, Arfat H. (2009). Delusional Disorder. Article Medical. University of


Kufa Iraq

Erawati, E., Keliat, B.A., Helena, N., Hamid, A. (2014). The influence of
metacognitive training on delusion severity and metacognitive ability in
schizophrenia, Journal of Psychiatric and Mental Helath Nursing. 21(9),
841-847. DOI: DOI: 10.1111/jpm.12130.
Freeman, D., Garety, P.A., Kuipers, E., Fowler, D., Bebbington, P.E. (2002). A
cognitive model of persecutory delusion. British Journal of
ClinicalPsychology, 41, 331-347.

Gaag, M.V. (2006). A neuropsychiatric model of biological and psychological


processes in the remission of delusions and auditory hallucinations.
Schizophrenia Bulletin, 32(1), 113-122. DOI: 10.1093/schbul/sbl027.

Grover, Sandeep. Gupta Nitin, & Mattoo, Surendra Kumar. (2006).


DelusionalDisorders: An Overview. German Journal of Psychiatry
Husain, N.K. (2009). Delusions of schizophrenia a clinical study on a group of
iraqi patients in diwaniya teaching hospital & al-rashad mental
hospital. Kufa Med.Journal, 12(2), 219-228.

Hussein, H.A., & Khudiar, A.K. (2013). Social support among caregivers of
patients with schizophrenia. Journal of Kuta for Nursing Science, 3(2), 1-
7.

Khoshknab, F., Sheikhona, M., Rahgouy, A., Rahgozar, M., & Sodagari, F.
(2011). The effects of group psychoeducational programme on family
burden in caregivers of Iranian patients with schizophrenia. Journal of

Psychiatric and Mental Health Nursing, 21(5), 438-446.

King, S., Hilaire, A., & Heidkamp, D. (2010). Prenatal factors in schizophrenia.

Sagepub Journal, 19(4), 209-213. DOI: 10.1177/0963721410378360.

Kiran, C., & Chaudhury, S. (2009). Understanding delusions. Ind Psychiatry J,


18(1), 3-18. DOI: 10.4103/0972-6748.57851.

Kring, A., Johnson, S., Davidson, G.C., Neale, J.M. (2011). Abnormal
th
Psychology11 .United States: John Wiley & Sons.

Kumar, D., Menon, M., Moritz, S., & Woodward, T.S. (2014). Using the
backdoor: Metacognitive training for psychosis. Department of
ClinicalPsychology, National Institute of Mental Health and Neuro
Sciences India, Psychosis: Psychological, Social and Integrative
Approaches. http://dx.doi.org/10.1080/17522439.2014.913073.

Ma, T.M., Abazyan, S., Abazyan, B., Nomura, J., Yang, C., Seshadri, C., Sawa,
A., Snyder, S.H., & Pletnikov, M.V. (2012). Pathogenic disruption of
DISC1-serine racemase binding elicits schizophrenia-like behavior via
D-serine depletion.Molecular Psychiatry, 1-11, DOI:
10.1038/mp.2012.97.

Martindale, B.V. (2007). Psychodynamic contributions to early intervention in


psychosis. Advances in Psychiatric Treatment, 13, 34-42. DOI:
10.1192/apt.bp.105.001552.
Maslim, R. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
dariPPDGJ –III. Jakarta: PT Niuh Jaya.

Morgan, C., & Fisher, H. (2007). Environmental factors in schizophrenia:


childhood trauma a critical review. Shizophrenia Bulletin, 33(1), 3-10.
DOI:10.1093/schbul/sbl053.

Moritz, S., Andreou, C., Schneider, B.C., Wittekind, E., Menon, M., Balzana, R.,

& Woodward, T. (2014). Sowing the seeds of doubt: a narrative review


on metacognitive training in schizophrenia. Clinical Psychology Review,
34, 358-366.
Moritz, S., Vitzthum, F,. Veckenstedt, R., Randjbar, S., & Woodward, T.S.
(2010). Metacognitive training in schizophrenia: from basic research
tointervention, JH Stone, M Blouin, editors. International Encyclopedia
of

Rehabilitation. Retrieved from


http://cirrie.buffalo.edu/encyclopedia/en/article/149/.

Muis, S. (2009). Kenali Kepribadian Anda Dan Permasalahannya. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Myers, E., Startup, H., & Freeman, D. (2011). Cognitive behavioral treatment of
insomnia in individuals with persistent persecutory delusions: a pilot
trial. Journal of Behaviour Therapy and Experimental Psychiatry, 42(3),
330-336. DOI: doi:10.1016/j.jbtep.2011.02.004.

National Institute of Mental Health (NIMH). (2009). What is schizophrenia?.


U.S.Department Of Health And Human Services: America. Retrieved
from
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/schizophrenia/index.shtml.

O’Connor et al. (2007). Treating delusional disorder: a comparison of cognitive-


behavioural therapy and attention placebo control. Can J Psychiatry,
52(3), 182-190.

Pilpala, Trihamrin. K.S. (2013). Terapi Suportif dan Psikoedukasi


untukMeningkatkan Pemahaman diri pada Penderita Skizofrenia
Paranoid.

Ejournal of UMM: Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013


Vol 1 (1), 46-51

Read, J. (2010). Can poverty drive you mad? 'schizophrenia', socio-economic


status and the case for primary prevention. New Zealand Journal
ofPsychology, 39(2), 7-19.

Reichenberg, A. (2005). Cognitive impairment as a risk factor for psychosis.

Basic Research, 7(1). 31-38.


Romm, K.L., Rossberg, J.I., Hansen, C.F., Haug, E., Andreassean, O.A., & Melle,
I. (2011). Self-esteem is associated with premorbid adjustment and
positive psychotic symptoms in early psychosis. BMC Psychiatry,
11(36), 1-8. DOI: 10.1186/1471-244X-11-136.

Saha, S., Scott, J.G., Varghese, D., Degenhardt, L., Slade, T., & McGrath, J.J.
(2011). The association between delusional-like experiences, and
tobacco, alcohol or cannabis use: a nationwide population-based survey.
BioMed Central Journal, 11(202), 1-8.

Saha, S., Varghese, D., Slade, T., Degendhardt, L., Mills, K., McGrath, J., &
Scott, J. (2011). The association between trauma and delusional-like

experiences, PubMed, 189(2), 259-264. DOI:


10.1016/j.psychres.2011.03.019.

Scott, J., Chant, D., Andrews, G., Martin, G., & McGrath, J. (2007). Association
between trauma exposure and delusional experiences in a large
community-based sample. British Journal Of Psychiatry, 190, 339-343.

DOI: 10.1192/bjp.bp.106.026708.

Serruya, G., & Grant, P. (2009). Cognitive-behavioral therapy of delusions:


mental imagery within a goal-directed framework. Journal of
ClinicalPsychology, 65(8), 791-802. DOI: 10.1002/jclp.20616.

Shean, G. (2003). What is Schizophrenic and How Can We Fix it?. United States:

University Press of America.

Smeets, F., Lataster, T., Viechtbauer, W., & Delespaul, P. (2014). Evidence that
environmental and genetic risks for psychotic disorder may operate by
impacting on connections between core symptoms of perceptual
alteration and delusional ideation. Schizophrenia Bulletin, 41(2), 323-329
DOI:10.1093/schbul/sbu189.

Solanki, R.K., Singh, P., Midha, A., & Chugh, K. (2008). Schizophrenia: Impact
on quality of life, Indian J Psychiatry, 50(3), 181-186, DOI:
10.4103/0019-5545.43632.

Sorensen, H.J., Mortensen, E.L., Reinisch, J.M., & Mednick, S.A. (2009).
Association between prenatal exposure to bacterial infection and risk of

schizophrenia. Schizophrenia Buletin, 35(3), 631-637. DOI:


10.1093/schbul/sbn121.

Sutedjo, A.Y. (2008). Mengenal Obat-obatan Secara mudah dan


Aplikasinyadalam perawatan. Yogyakarta: Amara Books.

Swank, M., & Dixon, L. (2004). Family psychoeducation as an evidence-based


practice. CNS Spectr, 9(12), 905-912.

Veling, W., Hoek. H.W., Wiersma, D., & Mackenbach, J.P. (2008). Ethnicidentity
and the risk for schizophrenia in ethnic minorities: a case-control study.
Optima Grafische Communicatie: Rotterdam.
William, et al. (2004). Dysregulation of arousal and amygdala-prefrontal systems
in paranoid schizophrenia. Am J Psychiatry , 161, 480–489.

Wykes, T., Huddy, V., Cellard, C.,McGurk, S.R., dan Czobor, P. (2011). A meta-
analysis of cognitive remediation for schizophrenia: methodology and
effect sizes. American Journal of Psychiatry, 168(5), 472–485.

Anda mungkin juga menyukai