Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah kelainan otak kronis dengan sindrom klinis psikopatologi yang terdiri
dari gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku. Penyakit ini biasanya muncul
pada usia 25 tahun, dan biasanya bertahan lama. Skizofrenia disertai dengan gejala yang
berdasarkan kategori di bedakan menjadi gejala psikosis positif, psikosis negatif,
disorganisasi, dan gangguan kognitif. Penggunaan alkohol, NAPZA dan tidak meminum
obat sesuai resep dokter dapat meningkatkan gejala skizofrenia. Skizofrenia tidak dapat di
diagnosis menggunakan biological marker, untuk mendiagnosisnya hanya dapat
menggunakan wawancara psikiatri dan observasi. Skizofrenia dapat menyerang wanita dan
laki-laki dengan jumlah yang sama, tetapi pada lelaki onsetnya lebih cepat. (Kaplan
saddock, dan American psikiatri asosiaciation)
Salah satu bentuk skizofrenia fenomena adalah adanya gejala obsesif-kompulsif
pada pasien skizofrenia. Gejala obsesif-kompulsif banyak ditemukan pada penyakit
neuropsikiatri lainnya seperti sindrom tourette, autism, sydenham’s chorea, eating disorder.
Gejala obsesif-kompulsif pada skizofrenia terjadi sekitar 10-64%. Klinisi seperti Westphat,
Kraepelin menyatakan bahwa gejala fenomena obsesif-kompulsif sebagai gejala prodromal
atau sebagai bagian dari penyakit skizofrenia.
Skizofrenia menyerang lebih dari 21 juta orang di dunia. Survey WHO yang
dilakukan di berbagai negara dan memperlihatkan insiden skizofrenia per tahun adalah 0.1-
0.4 per 1000 populasi. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text
Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000
dengan beberapa variasi geografis.Insidens lebih tinggi pada orang–orang yang dilahirkan
di daerah urban. Data Epidemiological Catchmen Area (ECA) menemukan kasus
komorbiditas obsesif compulsive disorder pada pasien skizofrenia adalah 12.2%, dan pada
pasien skizofreniform 1.3%.
Hal mengenai tingginya angka obsesif kompulsif pada pasien dengan skizofrenia
menarik untuk disusunnya referat ini.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi
Skizofrenia adalah kelainan otak kronis dengan sindrom klinis psikopatologi yang terdiri
dari gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku.
Berdasarkan PPDGJ III, Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab ( banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental
dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (innapropiate)
atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan data dari American Psychiatric Association (APA) prevalensi schizophrenia
mencapai 1% dari populasi di dunia. Data dari Wolrd Health Organization (WHO) tahun
2016, didapatkan sekitar 21 juta terkena skizofrenia , 35 juta orang terkena depresi, 60 juta
bipolar, , serta 47,5 juta terkena dimensia di dunia. Riset Riskesdas 2013, mengatakan
bahwa prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia di Indonesia adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang. Menurut laporan dari Pusat Data dan Analisa
Pembangunan (Pusdalisbang) Jawa Barat tahun 2014 jumlah penderita gangguan jiwa di
Jawa Barat meningkat sekitar 63%. Data Riskesdas 2013 melaporkan bahwa gangguan jiwa
ringan hingga berat (skizofrenia) di Jawa Barat mencapai 465.975 orang. Jumlah tersebut
meningkat dari yang sebelumnya berjumlah 296.943 pada tahun 2012.

2.1.3. Etiologi
Belum dapat ditemukan secara pasti etiologi mengenai skizofenia tersebut, namun ada
beberapa hasil penelitian yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 2
peranan penting terhadap skizofrenia yaitu meliputi faktor genetika, hipotesis mengeani
perkembangan saraf, faktor prenatal dan perinatal, faktor biokimia, dan faktor lingkungan
dan sosial.
1. Faktor genetika
Terdapat bukti yang kuat mengenai adanya komponen genetik yang berperan dalam
skizofrenia dengan meningkatnya angka jumlah penderita skizofrenia dan psikosis
afektif pada keluarga penderita skizofrenia. Resiko menjadi penderita diperkirakan
sebesar 50% pada seseorang yang memiliki saudara kembar monozigot yang
menderita skizofrenia atau sekitar 4 – 6 kali lebih sering dan 15% pada kembar
dizigot. Jika anak tersebut lahir dari salah satu kedua orang tua yang terdiagnosa
skizofrenia maka anak itu memiliki risiko sebesar 10 – 15%, namun jika kedua
orang tua mengalami skizofrenia maka anak tersebut memiliki risiko yang lebih
besar lagi yaitu 30 – 40%.
2. Hipotesis mengenai perkembangan saraf
Terdapat banyak bukti bahwa terdapat peranan terjadinya perkembangan awal otak
yang terganggu dapat meningkatkan risiko terjadinya skizofreniadikemudian hari.
Perkembanganyang terhambat, prestasi akademik yang rendah, terjadinya epilepsi
lobus temporal dapat dihubungkan dengan akan teradinya skizofrenia dikemudian
hari[American Psychiatric Association, 2013].Hipotersis perkembangan saraf
diperkuat dengan ditemukannya pelebaran ventrikel yang akan berkaitan dengan
terjadinya gejala negatif,penurunan ukuran otak, penurunan konetivitas antara
region otak serta hilangnya sebagian kecil substansi abu – abu pada hasil CT / MR.
3. Faktor prenatal dan perinatal
Banyak sekali faktor – faktor dari prenatal dan perinatal yang dapat menjadikan
faktor risiko terjadinya skizofrenia dikemudian hari, antara lain ketika ibu hamil
tetkena influenza pada trimester pertama dan kedua dan infeksi pernafasan lainnya,
rubella, berat badan lahir rendah <2500 gram, stress saat kehamilan, malnutrisi,
persalinan terjadi pada musim salju, komplikasi yang terjadi saat kehamilan seperti
perdarahan, diabetes gestasional, rhesus inkompatibilitas, pre-eklampsia, dan
komplikasi persalinan seperti terjadinya hipoksia, atoni uteri, asfiksia.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 3
4. Faktor biokimia
Faktor biokimia belum pasti diketahui, namun hipotesis yang paling banyak adanya
gangguan neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktifitas dopamine
sentral. Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama yang bermakna:
 Efektivitas obat – obat neuroleptol pada skizofrenia yang bekerja memblok
reseptor dopamine pasca sinaps (D3)
 Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin ataupun obat
antiparkinson. Psikosis yang terjadi sulit untuk dibedakan secara klinik
dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin juga dikatakan
melepaskan dopamine sentral, dan amfetamin juga dapat memperburuk
skizofrenia.
 Adanya peningkatan jumlah reseptor D3 pada nucleus kaudatus, akumben
dan putamen pada penderita skizofrenia.
5. Faktor lingkungan dan sosial
Skizofrenia juga dikatakan berhubungan dengan penururunan sosio – ekonomi dan
kejadian hidup yang berlebih pada tiga minggu sebelum onset. Penderita skizofrenia
pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi, keluarga yang sering saling
berkomentar menggunakan perkataan kasar dan mengkritik secara berlebihan serta
menunjukan sikap permusuhan memiliki peluang yang lebih besar untuk terjadinya
kekambuhan dari skizofrenia tersebut.
2.1.4. Patogenesis
1. Hipotesis dopamine
Teori paling pertama yang muncul dari terjadinya skizofrenia adalah hipotesis
dopamin, dimana terjadi akitvitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini muncul
akibat adanya dua penelitian. Pertama, efek dan potensi dari beberapa obat
antipsikotik, yang kedua, obat-obat yang memiliki efek meningkatkan efek aktivitas
dopaminergik, seperti kokain dan amfetamin menyebabkan gangguan psikotik
tersebut. Pelepasan dopamin berlebihan pada pasien skizofrenia telah dikaitkan
dengan tingkat keparahan gejala psikotik positif.
2. Hipotesis Serotonin

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 4
Teori serotonin lebih dihubungkan dengan munculnya gejala positif dan negatif
pada schizofrenia. Dengan adanya hipotesis ini diciptakanlah obat-obatan
antipsikotik generasi kedua atau atipikal seperti clozapine.
3. Hipotesis Asam amino γ-Aminobutyric acid (GABA)
Penghambat neurotransmitter (GABA) memiliki peran yang cukup penting dalam
terjadinya schizofrenia. Pada beberapa pasien schizofrenia terlihat berkurangnya
neurotransmiter ini. Efek dari kehilangan neurotransmiter ini akan menyebabkan
efek hiperaktivitas dari neuron-neuron dopamin yang mana akan menyebabkan
terjadinya schizophrenia.
2.1.5. Ciri Penting Berbagai Kriteria Diagnostik untuk Skizofrenia
Kriteria Kurt Schneider
1. Gejala Urutan Pertama
a. Pikiran yang dapat didengar
b. Suara-suara yang berdebat atau berdiskusi atau keduanya
c. Suara-suara yang mengomentari
d. Pengalaman pasivitas somatik
e. Penarikan pikiran dan pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya
f. Siar pikiran
g. Persepsi bersifat waham
h. Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, membuat afek, dan
membuat impuls
2. Gejala Urutan Kedua
a. Gangguan persepsi lain
b. Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
c. Kebingungan
d. Perubahan mood disforik dan euforik
e. Perasaan kemiskinan emosional

Kriteria Gabriel Langfeldt


1. Kriteria Gejala

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 5
Petunjuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda
gangguan kognitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan)
a. Perubahan kepribadian, yang bermanifestasi sebagai penumpulan emosional
dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya inisatif, dan perilaku yang berubah
dan sering kali aneh. (Khususnya pada hebefrenik, perubahan adalah
karakteristik dan petunjuk utama ke arah diagnosis.)
b. Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam periode
kegelisahan dan stumor (dengan negativisme, wajah berminyak, katalepsi,
gejala vegetative khusus, dll.)
c. Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan kepribadian (atau gejala
depersonalisasi) dan hilangnya perasaan realitas (gejala derealisasi) atau waham
primer
d. Halusinasi kronis
2. Kriteria perjalanan penyakit
Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode follow-up
selama sekurangnya lima tahun telah menunjukkan perjalanan penyakit yang jangka
panjang.
Indeks Skizofrenia New Haven
1. a. Waham: tidak ditentukan atau selain dari depresif
b. Halusinasi dengar
c. Halusinasi lihat Salah satu: 2 poin
d. Halusinasi lain

2. a. Pikiran aneh
b. Automatisme atau pikiran pribadi yang jelas tidak realistis Salah satu: 2 poin
c. Pengenduran asosiasi, pikiran tidak logis, overinclusion
d. Penghambatan
Keduanya: 2 poin
e. Kekonkretan
f. Derealisasi
Masing -masing1 poin
g.Depersonalisasi

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 6
3. Afek yang tidak sesuai 1 poin
4. Konfusi 1 poin
5. Ide paranoid (pikiran merujuk pada diri sendiri, kecurigaan) 1 poin
6. Perilaku katatonik
a. Kegembiraan
b. Stupor
c. Fleksibilitas lain
d. Negativisme Salah satu: 1 poin
e. Mutisme
f. Ekolalia
g. Aktivitas motorik stereotipik
Skor: Untuk dapat dianggap sebagai bagian kelompok skizofrenia, pasien harus memiliki
nilai pada Butir 1 atau Butir 2a,2b, atau 2c dan harus mendapatkan skor total sekurangnya 4
poin.

Sistem Fleksibel
Jumlah gejala minimal yang diperlukan dapat empat sampai delapan, tegantung pada
pilihan peneliti:
1. Afek terbatas
2. Tilikan buruk
3. Pikiran bersuara keras (thoughts aloud)
4. Rapport buruk
5. Waham yang luas
6. Bicara inkoheren
7. Informasi yang tidak dapat dipercaya
8. Waham aneh
9. Waham nihilistik
10. Tidak terbangun awal (satu smpai tiga jam)
11. Tidak adanya wajah terdepresi
12. Tidak adanya elasi

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 7
Kriteria Diagnostik Riset
Kriteria 1 sampai 3 diperlukan untuk diagnosis:
1. Sekurangnya dua dari berikut ini untuk penyakit definitif dan satu untuk
kemungkinan (tidak memperhitungkan yang terjadi selama periode penyalahgunaan
atau putus obat atau alkohol):
a. Siar, sisip, atau penarikan pikiran
b. Waham sedang dikendalikan atau dipengaruhi, waham aneh lain, atau waham
multipel
c. Waham selain dari kejar atau cemburu yang berlangsung sekurangnya satu
bulan
d. Waham dengan jenis apa pun jika disertai oleh halusinasi dengan jenis apapun
selama sekurangnya satu minggu
e. Halusinasi dengar dimana suara terus-menerus mengomentari perilaku subjek
atau pikiran seakan-akan mereka terjadi atau dua atau lebih suara yang saling
bercakap-cakap satu sama lain
f. Halusinasi verbal nonafektif yang berbicara dengan subjek
g. Halusinasi dengan jenis apa pun sepanjang hari selama beberapa hari atau secara
intermiten untuk selama sekurangnya satu bulan
h. Keadaan definitif adanya gangguan pikiran formal yang nyata yang disertai oleh
afek yang tumpul atau tidak sesuai, waham, atau halusinasi dengan jenis apa pun
atau perilaku yang jelas terdisorganisasi
2. Satu dari berikut ini:
a. Periode penyakit sekarang berlangsung sekurangnya dua minggu sejak onset
perubahan kondisi subjek yang biasanya yang dapat dilihat
b. Subjek pernah mengalami periode penyakit sebelumnya yang berlangsung
sekurangnya dua minggu, selama mana ia memenuhi kriteria, dan tanda-tanda
residual penyakit tetap ada (misalnya, penarikan sosial yang parah, afek yang
tumpul atau tidak sesuai, gangguan pikiran formal, atau pikiran atau pengalaman
persepsi yang tidak lazim)

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 8
Pada periode aktif dari penyakit tidak ditemukan saat dianggap subjek memenuhi
kriteria untuk sindrom manik atau depresif yang kemungkinan atau definitif sampai
derajat dimana ini merupakan bagian penyakit yang menonjol.
Kriteria St. Louis
1. Keduanya diperlukan:
a. Penyakit kronis dengan gejala sekurangnya selama enam bulan sebelum saat
pemeriksaan tanpa kembali ke tingkat penyesuaian psikososial pramorbid
b. Tidak ada periode gejala depresif atau manik yang cukup untuk memenuhi
persyaratan gangguan mood atau kemungkinan gangguan mood
2. Sekurangnya satu dari berikut:
a. Waham atau halusinasi tanpa kebingungan atau disorientasi yang signifikan
b. Produksi verbal yang menyebabkan komunikasi sulit karena tidak adanya
organisasi yang logis atau dapat dimengerti (jika ada kebisuan, keputusan
diagnostik harus ditunda)
3. Sekurangnya tiga untuk penyakit definitif, dua untuk kemungkinan penyakit:
a. Tidak pernah menikah
b. Penyesuaian sosial atau riwayat kerja pramorbid yang buruk
c. Riwayat keluarga skizofrenia
d. Tidak adanya penyalahgunaan alkohol atau zat lain dalam satu tahun onset
e. Usia sebelum 40 tahun

Kriteria Taylor dan Abrams


Semua kriteria harus dipenuhi untuk diagnosis:
1. Lama episode lebih dari enam bulan
2. Kesadaran yang jernih
3. Adanya waham, halusinasi, atau gangguan pikiran formal (verbigerasi,
nonsequiturs, pendekatan kata, neologisme, penghambatan, dan keluar dari jalur)
4. Tidak ada afek yang luas
5. Tidak ada tanda dan gejala yang cukup untuk membuat diagnosis gangguan mood
6. Tidak ada penyalahgunaan alkohol atau zat lain dalam satu tahun episode indeks

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 9
7. Tidak ada tanda dan gejala fokal penyakit otak yang jelas atau penyakit medis
utama yang diketahui menyebabkan perubahan perilaku bermakna.

Present State Examination


12 butir berikut ini dari Present State Examination bersesuaian dengan sistem diagnostik
skizofrenia 12-poin, dengan berbatas tingkat kepastian diagnostik yang didasarkan pada
skor yang ditentukan oleh pemeriksa. Sembilan gejala masing-masing memiliki skor 1 jika
ada (+), dan tiga memiliki skor 1 jika tidak ada (-).
1. Afek terbatas (+)
2. Tilikan buruk(+)
3. Pikiran bersuara keras (+)
4. Terbangun pagi hari (-)
5. Rapport buruk (+)
6. Wajah terdepresi (-)
7. Elasi (-)
8. Waham yang luas (+)
9. Bicara inkoheren (+)
10. Informasi yang tidak dapat dipercaya (+)
11. Waham aneh (+)
12. Waham nihilistik (+)

Kriteria Tsuang dan Winokur


I. Hebefrenik (A sampai D harus ditemukan):
A. Usia onset dan data sosiofamilial (satu dari berikut):
1. Usia onset sebelum 25 tahun
2. Tidak menikah dan tidak bekerja
3. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
B. Pikiran terdisorganisasi
C. Perubahan afek (1 atau 2):
1. Perilaku aneh

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 10
2. Gejala motorik (a atau b):
a. Sifat hebefrenik
b. Sifat katatonik (jika ada, subtipe dapat dimodifikasi menjadi
hebefrenik dengan sifat katatonik)
II. Paranoid (A sampai C harus ada):
A. Usia onset dan data sosiofamilial (satu dari berikut):
1. Usia onset setelah 25 tahun
2. Menikah atau bekerja
3. Tidak ada riwayat skizofrenia dalam keluarga
B. Kriteria pengecualian:
1. Pikiran terdisorganisasi harus tidak ditemukan atau dalam derajat ringan,
seperti bicara tidak dapat dimengerti
2. Gejala afektif atau perilaku, seperti yang dijelaskan dalam hebefrenia,
harus tidak ada atau dalam derajat ringan
C. Preokkupasi dengan waham atau halusinasi yang luas dan tersusun baik
2.1.6. Manifestasi Klinis
Ketika penyakit ini aktif, dapat dikarakteristikan oleh episode-episode di mana pasien tidak
dapat membedakan antara pengalaman nyata dan tidak nyata. Seperti halnya penyakit,
tingkat keparahan, durasi dan frekuensi gejala dapat bervariasi; Namun, pada orang dengan
skizofrenia, kejadian gejala psikotik yang parah sering menurun selama masa hidup pasien.
Tidak mengonsumsi obat sesuai resep, penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang, dan
situasi stres cenderung meningkatkan gejala. Gejala termasuk dalam beberapa kategori:
 Gejala psikotik positif: Halusinasi, seperti mendengar suara, delusi paranoid dan
persepsi, keyakinan dan perilaku yang berlebihan atau terdistorsi.
 Gejala negatif: Kerugian atau penurunan kemampuan untuk memulai rencana,
berbicara, mengekspresikan emosi atau menemukan kesenangan.
 Gejala disorganisasi: berpikir dan berbicara yang kacau dan tidak teratur, masalah
dengan pemikiran logis dan kadang-kadang perilaku aneh atau gerakan abnormal.
 Gangguan kognisi: Masalah dengan perhatian, konsentrasi, memori dan penurunan
kinerja pendidikan.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 11
Telah ditetapkan bahwa untuk tanda dan gejala pada penyakit skizofrenia yaitu
terdapat tiga hal yang harus selalu menjadi perhatian dalam menghadapi kasus tersebut,
yaitu yang pertama tidak ada tanda dan gejala klinis yang bersifat patognomonik dalam
skizofrenia, pada setiap tanda dan gejala klinis yang terlihat dapat saja terjadi juga pada
gangguan kejiwaan dan neurologis lainnya. Oleh karena itu, riwayat pasien merupakan hal
yang sangat penting untuk mendiagnosa skizofrenia tersebut, dokter tidak dapat
mendiagnosa skizofrenia hanya berdasarkan dari pemeriksaan sederhana seperti hasil
pemeriksaan status mental saja. Kedua, gejala yang ditemukan pada setiap kali kunjungan
dapat saja berbeda – beda dan berubah seiringnya waktu, misalnya pasien mungkin saja
mengalami halusinasi yang menonjol dan di kemudian hari pasien lebih terlihat mengalami
gangguan mood yang lebih menonjol. Ketiga, dokter harus memperhatikan tingkat
pendidikan pasien, kemampuan intelektual, budaya dan kepercayaan di sekitar pasien.
Dalam teori dari perjalanan skizofrenia dikatakan bahwa tanda dan gejala klinis
premorbid biasanya timbul sebelum masa – masa prodromal dari penyakit tersebut. Tanda
dan gejala klinis premorbid yang dialami pada pasien anak – anak seperti anak menjadi
pendiam, pasif dan tertutup (introvert). Pada usia remaja muda biasanya ditandai dengan
mereka tidak memiliki teman dekat, tidak memiliki pasangan, tidak tergabung dalam
keanggotaan olahraga-olahraga ataupun aktivitas outdoor lainnya, mereka lebih cenderung
merasa nyaman untuk menonton film dan televisi, mendengarkan music atau bermain
komputer dibandingkan dengan bersosialisasi dengan sekitar . Beberapa pasien remaja
muda mungkin menunjukan gejala-gejala perilaku obsesif-kompulsif secara mendadak.
Tanda dan gejala klinis tersebut sering terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun yang diawali dengan keluhan somatik seperti sakit kepala, nyeri otot, nyeri
punggung, merasa lemas seluruh tubuh, ataupun masalah pencernaan. Dimana di masa-
masa itu dokter mendiagnosis awal dengan diagnosa malingering, sindrom kelelahan
ataupun gangguan somatisasi. Orang-orang terdekat pada tahap ini mungkin menyadari
bahwa adanya perubahan terhadap tingkah laku pasien dan mulai menyadari bahwa orang
tersebut sudah tidak berfungsi secara optimal dalam kegiatan pekerjaan, sosial dan pribadi.
Pada tahap ini, pasien mungkin mulai menunjukan ide-ide abstrak, filsafat, dan
kepercayaan agama. Tanda dan gejala klinis prodromal lainnya dapat berperilaku sangat

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 12
aneh, berteriak-teriak dan tampak gelisah, benar-benar diam ataupun tidak bergerak sama
sekali, pasien terlihat banyak bicara, serta menunjukan postur tubuh yang aneh. Pasien
skizofrenia seringkali kurang baik dalam merawat badannya, sering tidak mandi ataupun
jarang mengganti pakaiannya. Perilaku – perilaku lainnya yang sering ditemukan seperti
tics, streotipe, echopraxia yaitu dimana pasien meniru postur tubuh ataupun perilaku
pemeriksa.
Mood perasaan dan afek yang sering ditemukan pada pasien skizofrenia ada dua
jenis yaitu penurunan respon emosional dan pada kasus yang parah dapat terjadinya
anhedonia dan emosi yang terlalu berlebihan bahkan tidak tepat seperti luapan kemarahan,
kebahagiaan dan kegelisahan. Gangguan yang sering terjadi pada kasus skizofrenia
meliputi gangguan pikiran, gangguan isi pikir, tilikan yang terganggu, gangguan persepsi,
gangguan emosi dan gangguan perilaku.
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir sehingga sering pikiran mereka
terlihat tidak logis dan susah untuk dimengerti oleh orang lain. Tanda – tanda yang dapat
ditemukan antara lain: Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir sehingga sering
pikiran mereka terlihat tidak logis dan susah untuk dimengerti oleh orang lain. Tanda –
tanda yang dapat ditemukan antara lain:
 Asosiasi longgar: Ide pasien sering tidak nyambung dengan orang lain, ide tersebut
dapat melompat – lompat dari satu topic ke topic yang tidak berhubungan sehingga
akan membingungkan pendengar.
 Pemasukan berlebihan: Arus pikiran pasien mengalami gangguan yang dikarenakan
pikiran nya sering dimasuki oleh informasi yang tidak relevan.
 Neologisme: Pasien meciptakan kata -kata baru yang menurut mereka memiliki arti
simbolik tersendiri.
 Terhambat: Pada saat berbicara pasien sering berhenti di tengah-tengah dan akan
disambung kembali beberapa saat atau menit kemudian dengan topik yang berbeda.
 Klang asosiasi: Pasien memilih kata-kata berdasarkan bunyi kata – kata yang baru
saja diucapkan dan bukan dari isi pikiran mereka.
 Ekolalia: Pasien mengulang kata-kata atau kalimat yang baru saja diucapkan oleh
seseorang.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 13
 Konkritisasi: Pasien dengan IQ normal atau lebih tinggi memiliki kemampuan yang
sangat buruk terhadap kemampuan berpikir abstrak
 Alogia: Ketika berbicara pasien sangat sedikit mengeluarkan suara yang disebabkan
ide – ide yang akan disampaikan terbatas atau miskin isi pembicaraan.
Gangguan isi pikir yang sering terjadi pada kasus skizofrenia berupa waham. Waham
adalah suatu kepercayaan menetap yang bersifat palsu yang tidak sesuai dengan fakta dapat
terbilang aneh maupun tidak aneh dan pasien tetap dapat mempertahankan hal tersebut
meskipun terdapat banyak bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham sering
ditemukan pada gangguan jiwa yang berat. Jenis – jenis waham yang sering ditemukan
antara lain:
 Waham kejar: Suatu waham yang mengira bawa dirinya merupakan korban dari
usaha untuk melukainya atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
 Waham kebesaran: Keyakinan atau kepercayaan yang biasanya bersifat psikotik,
pasien sering merasa bahwa dia orang yang sangat kuat dan berkuasa.
 Waham rujukan (delusion of reference): Suatu kepercayaan keliru yang meyakini
bahwa tingkah laku orang lain itu bersifat memfitnah, membahayakan atau akan
menjahati dirinya.
 Waham penyiaran pikiran (thought broadcasting): Kepercayaan bahwa orang lain
dapat membaca pikiran pasien.
 Waham penyisipan pikiran (thought insertion): Kepercayaan bahwa pikiran orang
lain dimasukkan ke dalam diri pasien.
Kebanyakan pasien dengan skizofrenia mengalami pengurangan nilai tilikan yaitu
pasien tidak menyadari penyakitnya serta kepentingan pengobatannya. Pengetian tilikan
adalah kemampuan seseorang untuk memahami sebab yang sesungguhnya dan arti situasi,
dalam arti yang luas tilikan juga disebut sebagai wawasan diri yaitu pemahaman seseuorang
terhadap kondisi dan siatusi dirinya dalam konteks realitas sekitarnya. Jika ditemukan
gangguan tilikan maka pasien mengalami kehilangan kemampuannya untuk memahami
kenyataan obyektif dan kodisi serta situasi sekitarnya. Tilikan di dalam psikiatri terdapat 6
derajat antara lain:
1. Penyangkalan penuh terhadap penyakit yang sedang dideritanya

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 14
2. Memiliki sedikit pemahaman mengenai penyakitnya tetapi juga menyangkalnya
pada waktu yang bersamaaan
3. Sadar akan penyakit yang dideritanya namun menyalahkan orang lain, faktor luar
dan faktor organik
4. Menyadari dirinya sakit dan membutuhkan bantuan namun tidak memahami
penyebab sakit tersebut
5. Menyadari penyakitnya dan faktor-faktor apa saja yang berhungan dengan penyakit
tersebut namun tidak menerapkan dalam perilaku praktis
6. Menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya serta disertai motivasi untuk
mencapai perbaikan
Persepsi adalah sebuah proses mental yang merupakan pengiriman stimulus fisik
menjadi informasi psikologis sehingga stimulus sensorik dapat diterima secara sadar.
Bebebrapa contoh gangguan persepsi antara lain depersonalisasi, derealisasi, ilusi,
halusinasi. Gangguan persepsi yang sering ditemukan pada skizofrenia berupa halusinasi,
ilusi dan depersonalisasi. Halusinasi memiliki arti persepsi atau tanggapan yang palsu yang
tidak berhubungan dengan stimulus eksternal yang nyata. Jenis – jenis yang sering
didapatkan antara lain:
 Halusinasi pendengaran: Persepsi suara yang salah berupa komentar tentang
pasien atau perisitwa di sekitar pasien. Komentar tersebut dapat berbentuk sebuah
ancaman atau perintah langsung yang ditujukan kepada pasien (halusinasi
komando)
 Halusinasi penglihatan: Persepsi penglihatan yang salah yang dapat berupa jelas
orang ataupun bentuk yang tidak jelas seperti kilatan cahaya
 Halusinasi penciuman: Persepsi penghidu yang salah seringkali terjadi pada
gangguan medis umumm
 Halusinasi perabaan: Halusinasi perabaan atau dikenal dengan halusinasi taktil
adalah persepsi perabaan yang salah seperti phantom libs dimana terasa anggota
tubuh teramputasi, atau formikasi berupa sensasi ada sesuatu yang merayap di
bawah kulit tersebut.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 15
Ilusi adalah suatu persepsi yang salah atau menyimpang dari stimulus eksternal yang
nyata atau misinterpretasi pasca indera terhadap objek yang nyata. Depersonalisasi yaitu
suatu keadaan patologis yang muncul sebagai akibat dari perasaan subyektif dengan
gambaran seseorang mengalami atau merasakan diri sendiri atau tubuhnya sebagai sesuatu
yang tidak nyata. Gangguan emosi sangatlah sering didapatkan pada pasien-pasien
skizofrenia. Emosi adalah suasana perasaan yang dihayati secara sadar, memiliki sifat yang
kompleks dan melibatkan pikiran, persepsi dan perilaku individu. Secara deskriptif
fenomenologis, emosi dibedakan menjadi dua yaitu afek dan mood. Afek adalah respons
emosional saat sekarang yang dapat terlhat dari ekspresi wajah, nada pembicaraan, sikap dan
gerak – gerik tubuhnya, sedangkan mood merupakan suasana perasaan yang bersifat
pervasive dan dapat bertahan lama. Pasien skizofrenia dapat memperlihatkan berbagai
macam emosi dan dapat dengan mudahnya untuk berpindah dari emosi satu ke emosi yang
lain dalam jangka waktu yang singkat. Terdapat tiga afek dasar yang sering ditemukan
namun bukan merupakan suatu patognomonik antara lain:
 Afek tumpul atau datar: Ekspresi emosi pasien sangat sedikit bahkan ketika afek
tersebut seharusnya diekspresikan namun pasien tidak menunjukan adanya
kehangatan.
 Afek tidak serasi: Afeknya mungkn memiliki arti yang bersemangat namun tidak
sesuai dengan pikiran dan pembicaraan pasien.
 Afek labil: Terjadi perubahan afek yang jelas dalam jangka pendek [Elvira, 2014].
Perilaku adalah ragam perbuatan manusia yang memiliki motif dan tujuan tertentu
yang melibatkan selurh aktivitas mental individu atau sebagai respon total individu
terhadap situasi kehidupan. Berbagai perilaku yang tidak sesuai atau terkesan aneh dapat
kita jumpai pada kasus skizofrenia seperti gerakan tubuh yang aneh, perilaku-perilaku
ritual, dan yang lain-lain. Sebagian besar pasien yang dalam keadaan remisi dapat
memperlihatkan kembali tanda-tanda awal kekambuhan dengan gejala-gejala pasien
tampak gaduh gelisah dan tegang, penurunan nafsu makan, depresi ringan dan anhedonia,
susah tidur serta terganggunya konsentrasi. Secara garis besar didalam skizofrenia gejala-
gejala klinis dibedakan menjadi dua kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala
positif antara lain gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), waham, halusinasi, gangguan

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 16
perasaan serta perilaku aneh atau tidak terkendali. Gejala negatif antara lain berupa
gangguan perasaan berupa afek tumpul, respon emosi yang minimal, gangguan untuk
memulai hubungan sosial, gangguan proses pikir serta isi pikiran dan perilaku yang
cenderung menyendiri.
Pedoman Diagnostik
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya terdiri dari
dua gejalaatau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - “thought echo” adalah isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda
- “thought insertion or withdrawal” adalah isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal)
- “thought broadcasting” adalah isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya
- “delusion of control” adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
b. - “delusion of influence” adalah waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
- “delusion of passivity” adalah waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
- “delusion perception” adalah pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau suatu mukjizat
c. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri
- Jenis suara halusinasi yang lain berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat tersebut
dianggap tidak wajar dan mustahil

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 17
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu -minggu atau berbulan-bulan secara
terus menerus
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang akan
mengakibatkan inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan ataupun
neologisme
c. Perilaku katatonik seperti perilaku keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas, negativism, mutisme dan stupor
d. Gejala – gejala negatif seperti sikap yang sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar yang biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi semua tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika
 Adanya gejala-gejala yang khas tersebut diatas yang telah berlangsung
dalam waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodromal).
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keselurahan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara social.
2.1.7. Klasifikasi
 F20.0 Skizofrenia Paranoid
Pedoman Diagnostik:
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Sebagai tambahan:
o Halusinasi dan atau waham harus menonjol
a. suara -suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah ataupun halusinasi auditorik tanpa bentuk variable

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 18
berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming) atau
bunyi tawa (laughing)
b. halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual
atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada
tetapi jarang menonjol
c. waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar.
o Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala
katatonik secara relative tidak nyata atau tidak menonjol
 F 20.1 Skizofrenia Hebefrenik
Pedoman Diagnostik:
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia rema
ataupun dewasa muda dengan onset 15-25 tahun
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary) namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis tersebut
 Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengmatan
continue selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran
yang kahas berikut ini memang benar bertahan:
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme, ada kecendrungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku
menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied),
senyum sendiri (self absorbed smiling) atau oleh sikap tinggi hati (lofty
manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli
secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakal dan ungkapan
kata-kata yang diulang (reiterated phrases)

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 19
c. Proses pikir yang mengalami disorganisasi dan pembicaraan yang tak
menentu serta inkoheren
 Gangguan afektif, dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumya
sangat menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak
menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak yang bertujuan hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
sering memperlihatkan ciri khas berupa perilaku-perilaku yang tanpa tujuan dan
tanpa maksud. Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-dibuat
terhadap agama, filsafat dan tema-tema abstrak lainnya sehingga membuat si
pendengar makin susah untuk memahami maksud dan jalan pikiran pasien.
 F 20.2 Skizofrenia Katatonik
Pedoman Diagnostik:
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi atau menonjol:
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
b. Gaduh gelisah (tampak secara jelas aktivitas motorik yang tidak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal)
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar)
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya yang menggerakan atau pergerakan kearah
yang berlawanan)
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
sesuatu atau untuk menggerakan dirinya)
f. Felksibilitas cerea / waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dibentuk dari luar)
g. Terdapat gejala – gejala lain seperti command automatism (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah) dan pengulangan kata-kata hingga
kalimat.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 20
 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, maka untuk menegakan diagnosis skizofrenia harus ditunda terlebih
dahulu hingga diperoleh bukti yang memadai mengenai adanya gejala-gejala
yang lain.
 F 20.3 Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik
ataupun katatonik
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual ataupun depresi pasca
skizofrenia
 F 20.4 Depresi Pasca Skizofrenia
 Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama kurun waktu 12 bulan terakhir
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetap tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya) dan
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah berlangsung dalam
kurun waktu paling sedikit dua minggu
 Apabila pasien tidak lagi menunjukan gejala-gejala skizofrenia, diagnosis akan
berubah menjadi Episode Depresif F32. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtype skizofrenia yang sesuai
(F20.0-F20.3)
 F 20.5 Skizofrenia Residual
 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, maka persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif
dan ketiadaan inisiatif, kemisikinan dalam kuantitas atau isi

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 21
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang kurang baik seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posis tubuh, serta
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi dari gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang ataupun minimal dan telah timbul sindrom negatif
d. Tidak terdapat dementia atapun penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negatif tersebut
 F 20.6 Skizofrenia Simpleks
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan dikarenakan
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari:
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya didahuli
riwayat halusinasi, waham, ataupun manifestasi lain dari episode
psikotik, dan
b. Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial
 Gangguan ini memiliki gejala psikotik yang kurang jelas dibandingkan dengan
sub tipe skizofrenia lainnya
 F 20.8 Skizofrenia lainnya
 F 20.9 Skizofrenia YTT

2.1.8. Terapi
II.1.9.1. Terapi Non Farmakologi

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 22
Tujuan dalam mengobati skizofrenia termasuk menargetkan gejala, mencegah kambuh, dan
meningkatkan fungsi adaptif sehingga pasien dapat diintegrasikan kembali ke masyarakat.
Karena pasien jarang kembali ke tingkat fungsi adaptif awal mereka, baik perawatan
nonfarmakologis dan farmakologis harus digunakan untuk mengoptimalkan hasil jangka
panjang. Farmakoterapi adalah andalan manajemen skizofrenia, tetapi gejala sisa dapat
bertahan. Karena itu, perawatan nonfarmakologi, psikoterapi semacam itu, juga penting.
Pendekatan psikoterapeutik dapat dibagi menjadi tiga kategori: individu, kelompok,
dan perilaku kognitif (Gambar 2). Psikoterapi adalah area terapeutik yang terus
berkembang

Psikoterapi yang muncul meliputi terapi perilaku kognitif, terapi kepribadian, dan terapi
kepatuhan,perawatan nonfarmakologi harus digunakan sebagai tambahan pengobatan.
Tidak hanya terapi nonfarmakologis mengisi celah dalam perawatan farmakologi,
mereka dapat membantu untuk memastikan bahwa pasien tetap patuh terhadap obat-obatan
mereka. Individu dengan gangguan mental cenderung kurang patuh karena beberapa alasan.
Mereka mungkin menyangkal penyakit mereka, mereka mungkin mengalami efek

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 23
merugikan yang menghalangi mereka mengambil lebih banyak obat, mereka mungkin tidak
merasakan kebutuhan mereka akan pengobatan, atau mereka mungkin memiliki gejala
delusi atau paranoia.
Pasien dengan skizofrenia yang berhenti minum obat mereka mengalami
peningkatan risiko kekambuhan, yang dapat menyebabkan rawat inap. Oleh karena itu,
penting untuk memberi tahu pasien tentang penyakit mereka dan tentang risiko dan
efektivitas pengobatan. Beberapa psikoterapi dapat membantu mendidik pasien tentang
pentingnya mengkonsumsi obat-obatan mereka. Inisiatif ini termasuk terapi perilaku
kognitif, terapi kepribadian, dan terapi kepatuhan.
Selain berfokus pada pasien, program pengobatan yang mendorong dukungan
keluarga telah terbukti mengurangi rehospitalisasi dan meningkatkan fungsi sosial. Anggota
keluarga dapat diajarkan cara memantau pasien dan kapan melaporkan efek merugikan
pengobatan kepada dokter. Sebagai besar psikoterapi mempromosikan keterlibatan
keluarga.
II.1.9.2. Terapi Farmakologi
Sulit untuk menerapkan program rehabilitasi yang efektif tanpa terapi farmakologi. Inisiasi
awal pengobatan obat sangat penting, terutama dalam lima tahun setelah episode akut
pertama, karena ini adalah ketika sebagian besar penyakit terkait perubahan di otak
terjadi.Prediksi dari prognosis yang buruk meliputi penggunaan terlarang amfetamin dan
stimulan sistem saraf pusat lainnya, serta penyalahgunaan alkohol dan narkoba. Alkohol,
kafein, dan nikotin juga berpotensi menyebabkan interaksi obat.
Jika terjadi episode psikotik akut, terapi obat harus diberikan segera. Selama tujuh
hari pertama pengobatan, tujuannya adalah mengurangi permusuhan dan berusaha
mengembalikan pasien ke fungsi normal (misalnya, tidur dan makan). Pada awal
pengobatan, pemberian dosis yang tepat harus dititrasi berdasarkan respon pasien.
Perawatan selama fase akut skizofrenia diikuti oleh terapi pemeliharaan, yang harus
ditujukan untuk meningkatkan sosialisasi dan meningkatkan perawatan diri dan suasana
hati. Perawatan diperlukan untuk membantu mencegah kekambuhan. Insiden kekambuhan
di antara pasien yang menerima terapi pemeliharaan, dibandingkan dengan mereka yang
tidak menerima terapi tersebut, adalah 18% hingga 32% dibandingkan 60% hingga 80%.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 24
Terapi obat harus dilanjutkan setidaknya 12 bulan setelah pengampunan episode psikotik
pertama
Menurut American Psychiatric Association, antipsikotik generasi kedua (SGA)
(atipikal) (dengan pengecualian clozapine)adalah agen pilihan untuk pengobatan lini
pertama skizofrenia. Clozapine tidak dianjurkan karena risiko agranulositosis. SGA
biasanya lebih disukai daripada generasi pertama (khas) antipsikotik (FGA) karena mereka
terkait dengan gejala ekstrapiramidal yang lebih sedikit. Namun, SGA cenderung memiliki
efek samping metabolik, seperti kenaikan berat badan, hiperlipidemia, dan diabetes
mellitus. Efek merugikan ini dapat berkontribusi. untuk peningkatan risiko mortalitas
kardiovaskular yang diamati pada pasien skizofrenia
Texas Medication Algorithm Project (TMAP) telah menyediakan algoritma
farmakoterapi enam tahap untuk pengobatan skizofrenia. Tahap 1 adalah monoterapi lini
pertama dengan SGA. Jika pasien menunjukkan sedikit atau tidak ada respon, dia harus
melanjutkan ke tahap 2, yang terdiri dari monoterapi dengan SGA lain atau FGA. Jika
masih tidak ada respon, pasien harus pindah ke tahap 3, yang terdiri dari monoterapi
clozapine dengan pemantauan jumlah sel darah putih. Jika agranulositosis terjadi, clozapine
harus dihentikan. Jika tahap 3 terapi gagal untuk mendapatkan respon, pasien harus
melanjutkan ke tahap 4, yang menggabungkan clozapine dengan FGA, SGA, atau terapi
electroconvulsive (ECT). Jika pasien masih tidak menunjukkan respons terhadap
pengobatan, tahap 5 panggilan untuk monoterapi dengan FGA atau SGA yang belum
dicoba. Akhirnya, jika perawatan tahap 5 tidak berhasil, tahap 6 terdiri dari terapi
kombinasi dengan SGA, FGA, ECT, dan / atau penstabil mood.
Terapi kombinasi hanya disarankan pada tahap akhir dari algoritme perawatan.
Resep rutin dua atau lebih antipsikotik tidak disarankan karena dapat meningkatkan risiko
interaksi obat, ketidakpatuhan, dan kesalahan pengobatan.
II.1.9.3. Mekanisme obat
Mekanisme Aksi Mekanisme yang tepat dari tindakan obat antipsikotik tidak diketahui,
meskipun telah disarankan bahwa obat ini terdiri dari tiga kategori utama:
1. tipikal, atau tradisional, antipsikotik, yang berhubungan dengan antagonisme
dopamin tinggi (D2) dan serotonin rendah ( 5-HT2A) antagonisme

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 25
2. antipsikotik atipikal yang memiliki antagonisme D2 sedang hingga tinggi dan
antagonisme 5-HT2A yang tinggi.
3. antipsikotik atipikal yang menunjukkan antagonisme D2 rendah dan antagonisme 5-
HT2A tinggi
Setidaknya 60% hingga 65% reseptor D2 harus digunakan untuk menurunkan gejala
positif skizofrenia, sedangkan tingkat blokade D2 77% atau lebih dikaitkan dengan gejala
ekstrapiramidal.
Peningkatan gejala negatif dan kognisi dengan antipsikotik atipikal mungkin
disebabkan oleh antagonisme 5-HT2A dalam kombinasi dengan blokade D2, menghasilkan
pelepasan dopamin ke korteks prefrontal (area otak di mana reseptor dopaminergik
hypoactive pada individu yang tidak diobati dengan skizofrenia). Meskipun antipsikotik
atipikal muncul untuk memperbaiki gejala negatif, tidak ada pilihan pengobatan yang
disetujui secara khusus diindikasikan untuk gejala-gejala ini.
II.1.9.4. Efek Samping
Antipsikotik tipikal vs atipikal
Tabel 1 menggambarkan risiko dua efek samping utama agen antipsikotik: berat badan dan
gejala ekstrapiramidal. SGA terkait dengan risiko peningkatan berat badan yang lebih
besar, sedangkan FGA dikaitkan dengan risiko yang lebih besar dari efek samping
ekstrapiramidal. SGA dengan risiko terendah gejala ekstrapiramidal termasuk aripiprazole,
quetiapine, dan clozapine.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 26
Efek merugikan dari obat skizofrenia dapat melibatkan beberapa sistem organ,
seperti yang dibahas di bawah ini.
a. Sistem endokrin
Hiperprolaktinemia dapat terjadi pada hingga 87% pasien yang diobati dengan risperidone
atau paliperidone, kemungkinan menyebabkan disfungsi seksual, penurunan libido,
ketidakteraturan menstruasi, atau ginekomastia. Aripiprazole atau ziprasidone adalah
pilihan pengobatan potensial untuk pasien dengan peningkatan kadar prolaktin.
Penambahan berat badan adalah efek samping penting lainnya pada pasien yang
menerima obat antipsikotik. Ini dapat terjadi pada pasien yang dirawat karena episode
psikotik pertama mereka dan akhirnya dapat menyebabkan ketidakpatuhan.
Seiring dengan hiperprolaktinemia dan berat badan, obat antipsikotik juga dapat
meningkatkan risiko diabetes mellitus dan mortalitas terkait kardiovaskular. Olanzapine

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 27
memiliki risiko terbesar diabetes, diikuti oleh risperidone dan quetiapine. Namun, dua agen
terakhir menyebabkan kenaikan berat badan minimal.

b. Sistem kardiovaskular
Hipotensi ortostatik dapat terjadi pada 75% pasien yang diobati dengan agen antipsikotik.
Pasien dengan diabetes, penyakit kardiovaskular yang sudah ada, atau usia lanjut
tampaknya memiliki risiko terbesar, tetapi semua pasien yang menerima obat antipsikotik
harus dikonseling untuk naik perlahan dari posisi duduk untuk menghindari episode
hipotensi.
Perubahan elektrokardiografi, terutama perpanjangan QTc, dapat terjadi pada
beberapa pasien yang diobati dengan antipsikotik, termasuk thioridazine, clozapine,
iloperidone, dan ziprasidone. Perpanjangan QT harus dipantau selama terapi, dan
pengobatan harus dihentikan jika interval ini secara konsisten melebihi 500 msec. Obat
antipsikotik harus dipilih dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung atau
serebrovaskular yang sudah ada sebelumnya, dan pada mereka yang memakai diuretik atau
obat yang memperpanjang interval QT.
Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa risiko kematian jantung
mendadak pada pasien yang diobati dengan FGA atau SGA hampir dua kali lipat pada
individu yang tidak menggunakan obat antipsikotik, temuan yang lebih baru menunjukkan
bahwa kedua jenis obat memiliki risiko kematian jantung yang sama.

c. Lipid
Pasien yang diobati dengan SGA atau fenotiazin cenderung menunjukkan peningkatan
konsentrasi trigliserida dan kolesterol serum. SGA dengan risiko lebih rendah dalam hal ini
termasuk risperidone, ziprasidone, dan aripiprazole.

d. Sistem Saraf Pusat


Dystonia adalah efek samping lain dari obat antipsikotik. Gangguan ini sering
mengakibatkan ketidakpatuhan dan dapat mengancam jiwa. Reaksi distonik biasanya
menyertai pengobatan dengan FGA dan paling sering terjadi pada pasien pria yang lebih

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 28
muda. Dystonia dapat diminimalkan dengan menggunakan SGA atau dengan memulai
FGA pada dosis yang lebih rendah
Akathisia (sering disertai dengan dysphoria) terjadi pada 20% hingga 40% pasien
yang diobati dengan FGAs potensi tinggi, seperti haloperidol dan fluphenazine. Quetiapine
dan clozapine tampaknya memiliki risiko terendah untuk efek samping ini
Pseudoparkinsonisme telah terjadi pada pasien yang menerima terapi antipsikotik.
Insiden gangguan ini berkisar antara 15% hingga 36% pada pasien yang diobati dengan
FGA. Itu terjadi lebih sering pada wanita dan pada pasien yang lebih tua. Risiko
pseudoparkinsonisme selama pengobatan dengan SGA umumnya rendah, meskipun
peningkatan risiko dikaitkan dengan dosis risperidone yang lebih tinggi.
Klorpromazin, tioridazin, mesoridazin, clozapine, olanzapine, dan quetiapine
memiliki potensi sedasi yang tinggi. Penelitian telah menunjukkan bahwa SGA
memberikan manfaat kognitif lebih besar dibandingkan dengan FGA.
Gangguan psikiatri, seperti delirium dan psikosis, dapat terjadi dengan dosis FGA
yang lebih tinggi atau dengan perawatan kombinasi yang melibatkan antikolinegik.
Khususnya pasien manula berisiko tinggi mengalami kebingungan dan disorientasi kronis
selamat pengobatan dengan obat antipsikotik.

Efek samping lainnya


Pengobatan skizofrenia dapat menyebabkan efek samping yang lain, seperti:
1. pengobatan antipsikotik dengan antikolnergik dapat memperburuk kondisi pasien
dengan glaucoma sudut tertutup, dan pasien harus dimonitoring. Klorpromazin
merupakan obat yang paling sering menyebabkan gangguan pada kornea dan lensa.
2. FGA potensi rendah dan klozapin berhubungan dengan retensio urin.
3. FGA dan risperidone memiliki kecenderungan lebih besar untuk menyebabkan
disfungsi seksual dibandingkan dengan SGA
4. Pengobatan dengan antipsikotik juga menyebabkan leukopenia
5. Tiga antipsikotik seperti klozapine, klorpromazin, dan olanzapine memilik
komplikasi hematologic. Klozapine dapat menyebabkan neutropenia atau
agranulositosis.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 29
Terapi Obsessive-Compulsive Symptoms (OCS) pada Skizofrenia

2.2 Gejala Obsesif kompulsif pada skizorenia.


Pasien skizofrenia yang disertai dengan gejala obsesif kompulsif memilik banyak
manifestasi klinis seperti mengenai kontaminasi kuman, agama, agresif, yang dapat disertai
dengan gejala kompulsif seperti membersihkan, mengecek, menimbun, dan mengatur
barang secara berulang. Klinisi seperti Westphal, Kraeplin, Stengel mengatakan fenomena
OC dapat sebagai prodromal atau sebagai bagian integral dari penyakit skizofrenia.
Pada awalnya penelitian Jaherresis dan Rosen menilai pasien kasus skizofrenia dan
menemukan incidence rates pasien dengan komorbid gejala OC 1.1-3.5% dan
menyimpulkan bahwa pasien skizofrenia dengan gejala OC memiliki gejala klinis yang
lebih ringan dan hasil yang lebih baik. Tetapi penemuan ini memiliki prevalence rate yang
rendah dan gejala yang lebih ringan pada pasien skizofrenia denga OC telah dipatahkan.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 30
Akiska dan Insel menyatakan bahwa OCD dapat muncul sebagai spektrum psikopatologikal
yang bervariasi dengan dan disertai insight, pasien dengan tingkat keparahan akhir dari
spektrim dapat disebut dengan obsesif kompulsif psikosis. Mereka percaya bahwa terjadi
transisi dari obsesi neurotic (neurosis) menjadi delusi psikotik.
Sebuah penelitian retrospektif oleh Fenton dan McGlashan mencatat prevalensi rate
pada pasien skizofrenia kronik dengan komorbiditas gejala obsesif kompulsif adalag 12.8%
dan pasien tersebut memiliki hasil yang lebih buruk dinilai dari hubungan sosial, pekerjaan,
psikopatologi dan fungsi global. Mereka menyimpulkan bahwa gejala obsesif kompulsif
yang menetap pada skizofrenia dapat diperkirakan outcome yang kurang baik.
Penelitian prospektif Berman et al, memeriksa 120 orang yang didiagnosa
skizofrenia dengan menggunakan kuisioner klinis dan menemukan prevalensi rate
komorbid obsesif kompulsif yaitu 15%. Pasien skizofrenia dengan komorbid obsesif
kompulsif memilihi hasil yang lebih buruk daripada pasien tanpa obsesif kompulsif.
Penelitian prospektif epidemiogical dengan pasien yang baru di diagnose dengan
kelainan psikosis didapatkan prevalensi rates sebesar 10-20% (10.5% adalah
skizofrenia/skizoafektif) disertai komorbid Obsesif kompulsif disorder (OCD) dan gejala
Obsesif Kompulsif (OC). Tidak seperti penelitian lain yang menggunakan pasien
skizofrenik kronik yang meningkatkan kemungkinan axis 1 pasien dengan >1 kondisi,
pasien pada penelitian ini adalah pasien yang baru didiagnosa skizofrenia dan gangguan
afektif dengan psikosis. Untuk memastika diagnose psikosis dan kelainan ansietas pada
lebih dari satu waktu menggunakan structured clinical interview (SCID). Pendekatan
metodologi ini meningkatkan reliabilitas diagnosa dan memastikan persisten dan onset baru
dari komorbid gejala ansietas selama dua tahun follow up penelitian. Hasil penelitian ini
mengkonfirmasi tingginya prevalensi rate komorbid gangguan ansietas dan gejalanya di
pasien yang baru didiagnosa skizofrenia dan skizoafektif (10.5%). Selanjutnya penelitian
juga menunjukan masa resolusi dan juga onset baru gejala ansietas selama 24 bulan follow
up. Sehubung dengan penemuan dan pemberian terapi pada gejala/gangguan ansietas pada
pasien skizofrenia dan skizoafektif, ditemukan hanya 10% pasien dengan komorbiditas
gejala OC. Meskipun begitu 20% pasien telah menerima terapi untuk gangguan ansietas.
Sementara itu neurobiology OCD dan skizofrenia telah banyak dipelajari selama ini,

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 31
terdapat beberapa kekurangan tentang penelitian OC pada pasien skizofrenia. Para peneliti
membuktikan terdapat impliaksi disfungsi pada sirkuit kortek dorsolateral prefrontal pada
skizofrenia pasien dan disfungsi kortek kortiko-striatal-thalamik pada OCD dan keduanya
utama mengenai sistem neurotransmitter dopaminergik dan serotonergik. Penelitian
mengenai abnormalitas neuroanatomical pada OCD, skizotipal OCD, dan skizofrenia
menunjukan pengurangan signifikan volume gray matter. Secara khusus, hypoactivity
tampak dari korteks prefrontal dorsolateral terutama terlibat dalam skizofrenia,
mempengaruhi memori kerja, sedangkan hiperaktivitas korteks orbitofrontal tampaknya
dominan terlibat dalam OCD, dengan cacat dalam pemrosesan emosional. Pola spesifik
gangguan kortikal prefrontal pada skizofrenia dan OCD dapat menjelaskan obsesif pada
pasien skizofrenia obsesif dibandingkan pada pasien dengan OCD. Faktanya, gejala OC
diperantarai oleh sistem saraf yang berbeda yang ada di dalam loop fronto-striato-thalamic,
semakin terbatas jangkauan isi obsesif yang ditemukan pada pasien dengan skizofrenia
dalam penelitian ini dapat menunjukkan bahwa, tidak seperti pada OCD, beberapa sistem
saraf secara khusus terlibat dalam skizofrenia.
Pada tahun 2008, Devulapalli dan rekannya melaporkan dalam ameta-analisis 148
pasien dengan komorbid skizofrenia dan gangguan obsesif kompulsif. Empat puluh delapan
persen menjadi OCS dan didiagnosis dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD) pertama,
30,4% menjadi skizofrenia pertama, dan 21,6% didiagnosis dengan keduanya secara
bersamaan. Dalam analisis mereka dari empat studi yang melaporkan usia rata-rata onset,
usia OCS (19,8) lebih rendah dibandingkan dengan skizofrenia (22,4). Dalam penelitian
yang sedikit lebih besar, usia onset OCS secara signifikan lebih muda daripada skizofrenia
pada subjek dengan komorbiditas skizofrenia dan gangguan obsesif-kompulsif (18,5
banding 22,0). Kedua kasus kami mewakili berbagai tahap onset OCS, satu sebelum onset
skizofrenia dan yang lainnya setelah onset.
Pada 2012, Faragian dan rekan 3 melaporkan bahwa pada 133 pasien dengan
komorbid skizofrenia dan gangguan obsessivecompulsive, usia rata-rata onset gejala
psikotik adalah 20,4 sedangkan usia rata-rata onset obsesi atau kompulsi adalah 19,1 (p,
0,05). Ketika penulis ini memeriksa 52 penderita skizofrenia episode pertama, mereka
menemukan bahwa OCS yang signifikan secara klinis telah ada selama kurang lebih 3

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 32
tahun sebelum gejala skizofrenia. Karena begitu banyak mengembangkan OCS dan
didiagnosis dengan OCD sebelum mengembangkan skizofrenia, beberapa telah
menyarankan bahwa ini memang bisa menjadi tahap skizofrenia yang seperti prodromal.
Dalam satu studi dari 475 OCD probands, 14% memiliki atau menjadi psikosis, dan 4%
akhirnya memenuhi kriteria lengkap untuk skizofrenia.
Masalah telah muncul dalam upaya untuk mengobati pasien dengan skizofrenia
komorbid dan gangguan obsesif-kompulsif, karena beberapa penelitian menunjukkan agen
sebagai terapi sementara penelitian lain menunjukkan gejala yang sama pada agen yang
sama. Sebagai contoh, standar perawatan untuk OCD biasanya pertama menggunakan SSRI
(fluvoxamine) atau antidepresan trisiklik (klomipramine). Namun, pada beberapa pasien
dengan komorbid skizofrenia dan gangguan obsesif-kompulsif (biasanya mereka yang
memiliki riwayat impulsivitas atau agresivitas), memburuknya psikosis dengan pemberian
SSRI atau klomipramine.
Pada tahun 2000, Reznik dan Sirota mengevaluasi kemanjuran pengobatan
kombinasi SSRI (fluvoxamine) dan neuroleptik standar untuk pengobatan simtomatologi
obsesif-kompulsif pada pasien dengan skizofrenia dibandingkan dengan pemberian
neuroleptik saja. Studi ini menunjukkan bahwa pemberian bersamaan dari fluvoxamine,
sebuah SSRI, dan neuroleptik pada pasien dengan skizofrenia dan gejala obsesif kompulsif
dikaitkan dengan perbaikan gejala-gejala spesifik (penurunan Skala Sindrom Positif dan
Negatif 34,3% dan Skor Kompulsif Obsesif Yale-Brown skor 29,4%).
Puyorovsky dan rekannya menerbitkan algoritma sebagai panduan untuk
mengobati pasien dengan komorbid skizofrenia dan gangguan obsesif-kompulsif.
Algoritme bergantung pada memulai dengan antipsikotik atipikal (yaitu olanzapine) dan
kemudian menambahkan SSRI atau klomipramine setelah psikosis stabil. Jika tidak ada
respon, maka diusulkan bahwa yang berikut ini dicoba, dalam urutan: antipsikotik + SSRI
(fluvoxamine) atau clomipramine; dosis rendah clozapine; clozapine + SSRI (sertraline
atau citalopram); atau akhirnya, jika semuanya gagal, terapi electroconvulsive (ECT).
Meskipun ada laporan yang diterbitkan, tidak ada konsensus yang jelas mengenai
pengobatan apa yang terbukti efektif pada pasien dengan skizofrenia dan OCS, masing-
masing. Tidak jelas apakah timbulnya gejala OCS dalam kaitannya dengan penyakit akan

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 33
berdampak pada manajemen. Selain itu, Sevincok dan rekan-rekannya melaporkan bahwa
pasien dengan skizofrenia dan OCS memiliki risiko tinggi untuk upaya bunuh diri dan
ideasi, yang menunjukkan bahwa peningkatan OCS juga membahayakan diri sendiri.

Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta
Periode 23 April 2018 – 26 Mei 2018 34

Anda mungkin juga menyukai