PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah kelainan otak kronis dengan sindrom klinis psikopatologi yang terdiri
dari gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku. Penyakit ini biasanya muncul
pada usia 25 tahun, dan biasanya bertahan lama. Skizofrenia disertai dengan gejala yang
berdasarkan kategori di bedakan menjadi gejala psikosis positif, psikosis negatif,
disorganisasi, dan gangguan kognitif. Penggunaan alkohol, NAPZA dan tidak meminum
obat sesuai resep dokter dapat meningkatkan gejala skizofrenia. Skizofrenia tidak dapat di
diagnosis menggunakan biological marker, untuk mendiagnosisnya hanya dapat
menggunakan wawancara psikiatri dan observasi. Skizofrenia dapat menyerang wanita dan
laki-laki dengan jumlah yang sama, tetapi pada lelaki onsetnya lebih cepat. (Kaplan
saddock, dan American psikiatri asosiaciation)
Salah satu bentuk skizofrenia fenomena adalah adanya gejala obsesif-kompulsif
pada pasien skizofrenia. Gejala obsesif-kompulsif banyak ditemukan pada penyakit
neuropsikiatri lainnya seperti sindrom tourette, autism, sydenham’s chorea, eating disorder.
Gejala obsesif-kompulsif pada skizofrenia terjadi sekitar 10-64%. Klinisi seperti Westphat,
Kraepelin menyatakan bahwa gejala fenomena obsesif-kompulsif sebagai gejala prodromal
atau sebagai bagian dari penyakit skizofrenia.
Skizofrenia menyerang lebih dari 21 juta orang di dunia. Survey WHO yang
dilakukan di berbagai negara dan memperlihatkan insiden skizofrenia per tahun adalah 0.1-
0.4 per 1000 populasi. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text
Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000
dengan beberapa variasi geografis.Insidens lebih tinggi pada orang–orang yang dilahirkan
di daerah urban. Data Epidemiological Catchmen Area (ECA) menemukan kasus
komorbiditas obsesif compulsive disorder pada pasien skizofrenia adalah 12.2%, dan pada
pasien skizofreniform 1.3%.
Hal mengenai tingginya angka obsesif kompulsif pada pasien dengan skizofrenia
menarik untuk disusunnya referat ini.
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi
Skizofrenia adalah kelainan otak kronis dengan sindrom klinis psikopatologi yang terdiri
dari gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku.
Berdasarkan PPDGJ III, Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab ( banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental
dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (innapropiate)
atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan data dari American Psychiatric Association (APA) prevalensi schizophrenia
mencapai 1% dari populasi di dunia. Data dari Wolrd Health Organization (WHO) tahun
2016, didapatkan sekitar 21 juta terkena skizofrenia , 35 juta orang terkena depresi, 60 juta
bipolar, , serta 47,5 juta terkena dimensia di dunia. Riset Riskesdas 2013, mengatakan
bahwa prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia di Indonesia adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang. Menurut laporan dari Pusat Data dan Analisa
Pembangunan (Pusdalisbang) Jawa Barat tahun 2014 jumlah penderita gangguan jiwa di
Jawa Barat meningkat sekitar 63%. Data Riskesdas 2013 melaporkan bahwa gangguan jiwa
ringan hingga berat (skizofrenia) di Jawa Barat mencapai 465.975 orang. Jumlah tersebut
meningkat dari yang sebelumnya berjumlah 296.943 pada tahun 2012.
2.1.3. Etiologi
Belum dapat ditemukan secara pasti etiologi mengenai skizofenia tersebut, namun ada
beberapa hasil penelitian yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki
2. a. Pikiran aneh
b. Automatisme atau pikiran pribadi yang jelas tidak realistis Salah satu: 2 poin
c. Pengenduran asosiasi, pikiran tidak logis, overinclusion
d. Penghambatan
Keduanya: 2 poin
e. Kekonkretan
f. Derealisasi
Masing -masing1 poin
g.Depersonalisasi
Sistem Fleksibel
Jumlah gejala minimal yang diperlukan dapat empat sampai delapan, tegantung pada
pilihan peneliti:
1. Afek terbatas
2. Tilikan buruk
3. Pikiran bersuara keras (thoughts aloud)
4. Rapport buruk
5. Waham yang luas
6. Bicara inkoheren
7. Informasi yang tidak dapat dipercaya
8. Waham aneh
9. Waham nihilistik
10. Tidak terbangun awal (satu smpai tiga jam)
11. Tidak adanya wajah terdepresi
12. Tidak adanya elasi
2.1.8. Terapi
II.1.9.1. Terapi Non Farmakologi
Psikoterapi yang muncul meliputi terapi perilaku kognitif, terapi kepribadian, dan terapi
kepatuhan,perawatan nonfarmakologi harus digunakan sebagai tambahan pengobatan.
Tidak hanya terapi nonfarmakologis mengisi celah dalam perawatan farmakologi,
mereka dapat membantu untuk memastikan bahwa pasien tetap patuh terhadap obat-obatan
mereka. Individu dengan gangguan mental cenderung kurang patuh karena beberapa alasan.
Mereka mungkin menyangkal penyakit mereka, mereka mungkin mengalami efek
b. Sistem kardiovaskular
Hipotensi ortostatik dapat terjadi pada 75% pasien yang diobati dengan agen antipsikotik.
Pasien dengan diabetes, penyakit kardiovaskular yang sudah ada, atau usia lanjut
tampaknya memiliki risiko terbesar, tetapi semua pasien yang menerima obat antipsikotik
harus dikonseling untuk naik perlahan dari posisi duduk untuk menghindari episode
hipotensi.
Perubahan elektrokardiografi, terutama perpanjangan QTc, dapat terjadi pada
beberapa pasien yang diobati dengan antipsikotik, termasuk thioridazine, clozapine,
iloperidone, dan ziprasidone. Perpanjangan QT harus dipantau selama terapi, dan
pengobatan harus dihentikan jika interval ini secara konsisten melebihi 500 msec. Obat
antipsikotik harus dipilih dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung atau
serebrovaskular yang sudah ada sebelumnya, dan pada mereka yang memakai diuretik atau
obat yang memperpanjang interval QT.
Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa risiko kematian jantung
mendadak pada pasien yang diobati dengan FGA atau SGA hampir dua kali lipat pada
individu yang tidak menggunakan obat antipsikotik, temuan yang lebih baru menunjukkan
bahwa kedua jenis obat memiliki risiko kematian jantung yang sama.
c. Lipid
Pasien yang diobati dengan SGA atau fenotiazin cenderung menunjukkan peningkatan
konsentrasi trigliserida dan kolesterol serum. SGA dengan risiko lebih rendah dalam hal ini
termasuk risperidone, ziprasidone, dan aripiprazole.