Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL TERHADAP PASIEN


SKIZOFRENIA

SKIZOFRENIA PARANOID
DISUSUN OLEH:
GHIYAS RAHMAT AL ISLAMI
111 2017 2117

PEMBIMBING:
dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ghiyas Rahmat Al Islami

NIM : 111 2017 2117

Judul Refarat : Penggunaan Obat Antipsikotik Atipikal Terhadap Pasien

Skizofrenia

Judul Lapsus : Skizofrenia Paranoid

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Desember 2018

Pembimbing,

dr. Kristian Liaury, Ph.D, Sp.KJ


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan

penyakit biasanya akut tetapi juga bisa kronis atau menahun. Di masyarakat

ada stigma bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan,

memalukan, dan aib bagi keluarga. Pandangan lain yang beredar di masyarakat

bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh guna-guna orang lain. Ada kepercayaan

di masyarakat bahwa gangguan jiwa timbul karena musuh roh nenek moyang

masuk ke dalam tubuh seseorang kemudian menguasainya.1

Seiring dengan perkembangan zaman, penyakit ganguan jiwa atau

mental merupakan masalah yang serius karena cukup banyak penderitanya.

Salah satu dari penyakit gangguan mental adalah skizofrenia. Skizofrenia

merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan

disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak

mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya

abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah

kronisitas.2

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa yang

menjadi perhatian, dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang paling serius

karena menyebabkan penurunan fungsi manusia dalam melaksanakan aktivitas

kehidupan sehari-hari, seperti kesulitan merawat diri sendiri, bekerja atau


bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun hubungan yang dekat

dengan seseorang. Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi

di dunia (rata-rata 0,85%) dengan angka insiden skizofrenia adalah 1 per

10.000 orang pertahun. Riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan angka

kejadian skizofrenia di Indonesia adalah 4,6 per 1000 penduduk, meningkat

dari tahun sebelumnya yang hanya 1-3 per 1000 penduduk.3

Prevalensi skizofrenia hampir mirip pada satu negara dengan negara

lain. Biasanya terjadi pada akhir remaja atau awal dewasa, jarang terjadi

sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun. Angka kejadian pada wanita sama

dengan pria, namun perjalanan penyakit pada pria lebih awal dengan lebih

banyak gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelas daripada wanita.4

Skizofrenia cenderung berlanjut atau kronis, oleh karena itu terapi obat

antipsikotik diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun. Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama

untuk skizofrenia sejak 1950-an. Antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi

skizofrenia dengan gejala halusinasi, delusi, dan untuk pencegahan

kekambuhan.5

Obat-obat antipsikotik memiliki efek samping yang beragam dan sering

kali mengakibatkan pasien skizofrenia tidak patuh menjalani terapi. Efek

samping utama yang perlu menjadi perhatian adalah efek samping

ekstrapiramidal, terutama karena penggunaan antipsikotik generasi lama,

berupa distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan dorongan untuk terus bergerak.

Pengatasan efek samping tersebut tergolong sulit dan umumnya bisa


muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu setelah penggunaan

antipsikotik. Selain efek samping ekstrapiramidal, efek samping lain adalah

sedasi, sindrom neuroleptik malignant, gangguan kardiovaskular, efek

antikolinergik dan antiadrenergik, gangguan metabolisme, kenaikan berat

badan, serta disfungsi seksual.6

Pasien penderita skizofrenia perlu penanganan khusus. Perlu terapi yang

cukup lama untuk mengembalikan pasien seperti sediakala. Tingkat ringan atau

beratnya gangguan dapat dilihat dari jenis penggunaan obat yang diberikan.

Pada kondisi tertentu obat antipsikotik harus dikombinasikan dengan obat lain

untuk mengurangi efek samping antipsikotik sehingga meningkatakan

pengobatan. Pemberian obat antipsikotik bersama obat lain bisa mempengaruhi

efek kerja ataupun interaksi.7

Interaksi bisa terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat

lain, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya dalam

lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu

dengan yang lainnya, atau terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat

yang lainnya. Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat

yang diakibatkan oleh obat lainnya sehingga keefektifan atau toksisitas suatu

obat meningkat. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan

peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu.8


BAB II

TINJAUAN PUSAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Defenisi Skizofrenia

Skizofrenia (bahasa Yunani untuk "pikiran terbelah") adalah gangguan

jiwa psikotik utama. Ini ditandai dengan pengujian realitas abnormal atau proses

pemikiran. Ciri-ciri penting dari penyakit termasuk dua kategori gejala yang luas.

Gejala positif adalah gejala yang mencerminkan distorsi atau pembesar-besaran

perilaku normal dan termasuk delusi dan halusinasi. Gejala negatif mewakili

hilangnya atau penurunan fungsi normal dan termasuk pengaruh pipih, apati,

disfungsi sosial atau pekerjaan (termasuk penarikan), dan perubahan dalam

penampilan dan kebersihan.9

2.1.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, pravelensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen,

yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia

selama masa hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) yang

disponsori National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan pravelensi

seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen. Skizofrenia ditemukan pada semua

masyarakat dan area geografis dan angka insidens serta pravelensinya secara kasar

merata di seluruh dunia.10,11

Insidensi

 0,2 per 1.000.


Prevalensi

 0,5%; risiko prevalensi seumur hidup, 0,4%.

Seks dominan

 Pria memiliki penyakit yang lebih parah dengan onset dini. Prevalensi

pada laki-laki sekitar 1,4 kali lebih tinggi.

Usia Unggul

 Usia onset gejala psikotik adalah awal 20-an untuk laki-laki dan akhir

20-an untuk perempuan.


 Usia onset gejala negatif biasanya lebih awal (yaitu, pertengahan masa

remaja).

Insiden Puncak

 Antara usia 16 dan 30 tahun.

Genetika

 Genetika menyumbang 70% risiko; 30% sisanya terkait dengan faktor

lain seperti lingkungan perkotaan, migrasi, atau penggunaan ganja.


 Kerabat tingkat pertama memiliki peluang 10 kali lebih besar untuk

menjadi skizofrenia.
 Tingkat diskordan di antara kembar identik lebih tinggi dari yang

diperkirakan dengan pola pewarisan sederhana.


 Asosiasi dengan beberapa kromosom telah dijelaskan, tetapi tidak ada

yang direplikasi.
 Ada bukti bahwa ekspansi pengulangan berulang tiga nukleotida

(misalnya, seperti yang terlihat pada penyakit Huntington) mungkin

memainkan peran dalam pewarisan penyakit.10,11


2.1.3 Etiologi
a. Faktor Genetik

Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada skizofrenia dan proporsi

yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi skizofrenia karena adanya pengaruh genetik tambahan. Misalnya,

skizofrenia dan gangguan skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan kepribadian paranoid) terjadi

pada laju yang meningkat di antara kerabat biologis, pasien dengan skizofrenia. Kecenderungan orang yang

mengalami skizofrenia berkaitan dengan eratnya hubungan terhadap keluarga yang terkena misalnya: keluarga

tingkat pertama atau kedua yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.4

Populasi Prevalensi (%)


Populasi umum 1
Saudara kandung menderita skizofrenia 8
Anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 12
Kembar dizigotik menderita skizofrenia 12
Anak dengan kedua orang tua menderita skizofrenia 40
Kembar monozigot menderita skizofrenia 47
Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik

b. Faktor Biologik

Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan

ketidak seimbangan dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin,

norepineprin, dan lainnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan

dari fungsi otak sebagai pusat pengatur prilaku manusia. Dampak yang

dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan pada prilaku maladaptif

pasien.12

1) Hipotesis Dopamin

Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa

skizofrenia dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik. Teori

ini berasal dari dua pengamatan. Pertama efikasi dan potensi dari
kebanyakkan obat antipsikotik berhubungan dengan kemampuan bertindak

sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua, obat-obatan yang

meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti ampetamin yang merupakan

suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktif

dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu

banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut.4

2) Hipotesis Norepineprin

Meningkatnya level norepinefrin pada penderita skizofrenia

menunjukkan meningkatnya kepekaan untuk masukan sensorik.13

3) Hipotesis Gamma aminobutyric acid (GABA)

Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid

(GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada

penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan

neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki efek

regulatory pada aktivitas dopamin dan kehilangan neuron inhibitory

GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron

dopaminergik.4

4) Hipotesis Serotonin

Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai

penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia.4

5) Hipotesis Glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu

antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan

skizofrenia.4

6) Teori Neurodevelopmental

Dibuktikan dengan adanya migrasi neunoral yang abnormal pada

trimester kedua pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin

mengarah ke simtom-simtom skizofrenia yang akan muncul pada masa

remaja.13

c. Neuropatologik

Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang

signifikan yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk

skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk

neuropatologi atau abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus,

dan batang otak.4

d. Faktor Psikososial

Menurut Sadock dan Sadock (2007), faktor psikososial meliputi

teori psikoanalitik, tori belajar, dan dinamika keluarga.

1) Teori psikoanalitik

Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi

(ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan

yang terjadi lebih awal dari yang menyebabkan neurosis

(ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stres) dan juga bahwa

adanya efek ego berperan dalam gejala skizofrenia.4


2) Teori belajar

Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan

interpersonal yang buruk karena mengikuti contoh atau model yang

buruk selama masa kanak-kanak.4

3) Dinamika keluarga

Penelitian di Inggris pada anak berusia 4 tahun yang memiliki hubungan

yang buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat

berkembang menjadi skizofrenia. Akan tetapi tidak ada bukti yang kuat

bahwa pola dalam keluarga berperan penting sebagai penyebab

terjadinya skizofrenia.4

2.1.5 Klasifikasi

Berdasarkan DSM IV Skizofrenia dibagi menjadi beberapa pembagian

yaitu :

a. Tipe Paranoid
Ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau

halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang

sugestif untuk tipe heberfrenik atau katatonik. Secara klasik skizofrenia

tipe paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau

kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode

pertama penyakit pad usia yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia

hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia tipe paranoid menunjukan

regresi kemampuan mental, respon emosional, dan perilaku yang lebih

ringan dibanding pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid


biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang

bersikap bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat

mengendalikan diri mereka secara adekuat pada situasi sosisal.14


b. Tipe Hebefrenik
Ditandai dengan regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan

kacau, serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe

katatonik. Awitan subtipe ini biasanya dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien

hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak

bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan konta dengan realitas buruk.

Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons emosional

mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledak tanpa alasan jelas.

Seringai atau meringis yang tak pantas lazim dijumpai pada pasien ini,

yang perilakunya paling baik didskripsikan sebagai konyol atau tolol.14


c. Tipe katatonik
Gambaran klasik tipe katatonik adalah gangguan nyata fungsi motorik;

gangguan ini dapat mencakup stupor, negativisme, regiditas, atau

berpostur. Kadang-kadang, pasien menunjukkan perubahan yang sangat

cepat antara eksitasi dan stupor ekstrim. Gambaran terkait meliputi

stereotipi, menerisme, dan fleksibilitas serea. Mutisme terutama lazim

ditemukan. Selama stupor atau eksitasi katatonik, pasien memerlukan

pengawasan yang cermat untuk mencegah mereka menyakiti diri sendiri

atau orang lain. Perawatan medis mungkin diperlukan karena adanya

malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan diri

sendiri.14
d. Tipe tak terdefinisi
Seringkali pasien yang jelas-jelasskizofrenik tidak dapat dengan mudah

dimasukkan ke satu atau tipe lain.14


e. Tipe residual

Ditandai dengan bukti kontinu adanya gangguan skizofrenik tanpa

serangkaian lengkap gejala aktif atau gejala yang memadai untuk

memenuhi diagnosis skizofrenia tipe lain. Emosi mengumpul, asosiasi

longgar ringan, seringkali tampak pada tipe residual. Jika terjadi waham

atau halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek yang

kuat.14

2.1.6 Gejala Klinis

Meskipun belum dikenal secara formal sebagai bagian dari kriteria

diagnostik skizofrenia, beberapa penelitian membuat sub kategori dari gejala

penyakit ini kedalam 5 bagian, yaitu :

a) Gejala positif

Delusi/ waham (keyakinan yang dipegang kuat seseorang namun

tidak berdasarkan realitas), halusinasi (khayalan/ persepsi

terhadap suatu peristiwa atau objek yang sebenarnya tidak ada),

penyimpangan dan pernyataan yang berlebih-lebihan dalam

berbahasa dan berkomunikasi, pembicaraan/ perilaku yang tidak

beraturan, perilaku katatonik dan agitasi (gelisah yang

berlebih).15

b) Gejala negatif
Afek tumpul (tidak ada ekspresi), penarikan emosi, rapport yang

buruk, ketidakpedulian, menarik diri dari kehidupan sosial,

gangguan berfikir abstrak, alogia (tidak mau bicara), avolisi

(tidak punya motivasi), anhedonia (tidak ada kemauan untuk

melakukan sesuatu), gangguan pemusatan perhatian.15

c) Gejala kognitif

Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar,

neologisme (istilah baru yang sengaja dibuat), gangguan

pengolahan informasi.15

d) Gejala agresif dan permusuhan

Permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang,

melukai diri sendiri, merusak barang-barang, impulsif, tindakkan

seksual.15

e) Gejala depresi dan atau cemas

Mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah, ketegangan, dan

iritabilitas cemas.15

2.1.7 Diagnosa

Berdasarkan pedoman diagnostik menurut Pedoman Penggolongan dan

Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), persyaratan yang

normal untuk skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat
jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau

kurang jelas) :

a. “Thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang

atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran

ulangan, walaupun isinya sama namun kualitasnya berbeda.

“Thought insertion or withdrawl”, yaitu isi pikiran yang asing

dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi

pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya.

“Thought broadcasting”, yaitu isi pikirannya tersiar keluar

sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

b. “Delusion of control”, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan

oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. “ Delusion of influence,

yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekutan

tertentu dari luar. “ Delusion of passivity”, yaitu waham tentang

dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari

luar (tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke pergerakan

tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau pengindraan

khusus). “Delusional perception”, yaitu pengalaman indrawi

yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,

biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus

terhadap perilaku pasien, mendiskusikan perihal pasien diantara

mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau


jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian

tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya

perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan

kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu

mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk

asing dari dunia lain).

e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila

disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang

setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas ataupun

disertai oleh ide yang berlebihan (over-value ideas) yang

menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu atau

berbulan-bulan terus menerus.

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan

yang tidak relevan, atau neologisme.

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),

posisi tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea,

negativisme, mutisme, dan stupor.

h. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang

jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak

wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari


pergaulan sosial dan mennurunnya kinerja sosial, tetapi harus

jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan depresi atau

neuroleptika.

i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku

pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya

minat, hidup tak bertujuan tidak berbuat sesuatu, sikap larut dan

dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri

secara sosial.

Pedoman diagnostik:

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus ada sedikitnya satu

simptom tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih,

apabila simtom tersebut kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang

termasuk salah satu dari kelompok (a) sampai dengan (d) tersebut di atas, atau

paling sedikit dua simtom dari kelompok (e) sampai dengan (h) yang harus selalu

ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih.16

2.1.8 Perjalanan Skizofrenia

Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang

melalui fase-fase:

1. Fase premorbid

Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif.

2. Fase prodromal
Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat

muncul simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam

beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini

rerata antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami

kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan sosial dan

rekreasi) dan muncul simtom yang nonspesifik, misal gangguan tidur,

ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah,

dan adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan

penarikan sosial. Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di

akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati mulai menjadi psikosis.

3. Fase psikotik

Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki

fase stabilisasi dan kemudian fase stabil.

a. Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas,

misalnya dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan

proses pikir, dan pikiran yang kacau. Simtom negatif sering

menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu

untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas.

b. Fase stabilisasi berlangsung selama 6 - 18 bulan, setelah

dilakukan acute treatment.

c. Pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari

simtom positif. Di mana simtom positif bisa masih ada, dan

biasanya sudah kurang parah dibandingkan pada fase akut.


Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis, sedangkan

individu lain mengalami simtom nonpsikotik misalnya,

merasa tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia.17

2.1.9 Penatalaksanaan

Keberhasilan pengobatan skizofrenia membutuhkan perhatian simultan

terhadap variabel medis dan yang lain yang tidak dipertimbangkan secara

tradisional dalam domain medis. Pendekatan multimodal yang mencakup terapi

biologis dan psikososial serta program yang menawarkan rehabilitasi dan

reintegrasi sosial telah ditemukan paling efektif. Skizofrenia umumnya tidak

terjadi dalam isolasi tetapi dengan kondisi komorbid lain, umumnya alkohol atau

penyalahgunaan obat, atau keduanya. Kegagalan untuk mengenali dan mengobati

penyalahgunaan zat komorbid adalah penyebab umum resistensi pengobatan pada

skizofrenia. Manajemen komprehensif skizofrenia, oleh karena itu, biasanya

membutuhkan keterlibatan tim multidisiplin termasuk psikiater, pekerja sosial,

manajer kasus, terapis individu atau keluarga, dan satu atau lebih anggota

keluarga. Episode penyakit dapat memerlukan perawatan di beberapa pengaturan,

termasuk pasien rawat jalan, rawat jalan intensif, rumah sakit, dan dirumah.18

a. Terapi non farmakologi


Dukungan sosial yang signifikan diperlukan oleh sebagian besar pasien

skizofrenia, tetapi layanan dukungan yang tersedia sangat tidak memadai.

Pasien skizofrenia merupakan hampir sepertiga dari semua tunawisma dan

sekitar 5% dari populasi dipenjara. Mereka biasanya membutuhkan

bantuan dengan keterampilan dasar sosial, pekerjaan, dan interaksi.


1) Stres keluarga dapat memicu kekambuhan dan rawat inap kembali.

Intervensi keluarga dapat mengurangi morbiditas.


2) Terapi perilaku kognitif dapat mengurangi keparahan gejala psikotik

dan negatif.
3) Pelatihan manajemen penyakit untuk pasien dapat meningkatkan

kepatuhan minum obat dan mengurangi gejala gejala.


4) Perawatan terpadu yang mencakup pengobatan komunitas yang tegas,

program keterlibatan keluarga, dan pelatihan keterampilan sosial

mengurangi keparahan gejala psikotik dan negatif, mengurangi

penyalahgunaan zat komorbid, mengurangi hari-hari di rumah sakit,

meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan, dan meningkatkan

kepuasan dengan pengobatan.19


b. Terapi farmakologi
Konsisten dengan standar praktik, sebagian besar pasien dengan

skizofrenia diobati dengan satu atau lebih dari agen antipsikotik.

Antipsikotik berbeda dalam desain kimianya dan memiliki efek berbeda

pada DA, reseptor 5-HT, α-adrenergik, kolinergik, dan histaminik dan

berbagai subtipe. Profil pengikatan reseptor agen-agen ini terkait dengan

efek samping yang berbeda dan hasil klinis.


1) Antipsikotik generasi pertama
Khasiat terapi dari generasi pertama antipsikotik dikaitkan dengan

kemampuan mereka untuk memblokir reseptor dopamin D2

postsynaptic, terutama reseptor D2 di striatum, tetapi manfaat klinis

yang terkait dengan antipsikotik generasi pertama ini telah terjadi

dengan beberapa biaya. Karena profilnya yang mengikat tanda tangan,

antipsikotik ini sering mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal

(EPS) seperti akathisia, dystonia, dan parkinsonisme. Efek samping


yang lebih merusak terkait dengan blokade reseptor D2 adalah

diskinesia tardif. Antipsikotik tradisional juga terkait dengan berbagai

derajat dengan efek samping antihistaminergik dan antikolinergik,

termasuk sedasi, perubahan tekanan darah dan konduksi miokard,

disfungsi seksual, dan penambahan berat badan. Efek samping yang

jarang tetapi berpotensi fatal yang terkait dengan hipertermia adalah

sindrom ganas neuroleptik. Contoh : chorlpromazine, fluphenazine,

haloperidol, perphenazine, thioridazine, thiothixene


2) Antipsikotik generasi kedua
Beberapa faktor memainkan peran dalam memotivasi pengembangan

antipsikotik generasi kedua. Pertama, hingga 30% pasien dengan

skizofrenia kronis memiliki respon yang buruk atau tidak memadai

terhadap antipsikotik generasi pertama. Kedua, meskipun antipsikotik

tradisional telah menunjukkan keberhasilan dalam memperbaiki gejala

positif, mereka kurang berhasil dalam mengobati gejala negatif.

Ketiga, efek samping yang terkait dengan antipsikotik tradisional,

terutama EPS dan tardive dyskinesia, merupakan sumber

ketidakpatuhan dan mengangkat masalah manajemen yang sulit.

Clozapine adalah yang pertama dari antipsikotik generasi kedua untuk

menunjukkan efikasi klinis yang baik dengan sedikit atau tanpa EPS.

Antipsikotik atipikal sekarang termasuk enam agen lain. Meskipun

mereka menunjukkan profil pengikatan reseptor yang unik, sebagai

kelompok mereka dicirikan oleh afinitas yang lebih lemah untuk

reseptor D2 (relatif terhadap antipsikotik tradisional) dan afinitas yang


kuat untuk reseptor serotonin. Antipsikotik generasi kedua sekarang

dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk skizofrenia.

Sehubungan dengan antipsikotik tradisional, mereka mungkin

menawarkan kepatuhan yang lebih baik.


Namun, antipsikotik generasi kedua bukanlah obat mujarab yang

pernah dibayangkan. Hanya clozapine yang secara jelas menunjukkan

efektivitas yang unggul dalam skizofrenia refrakter dan skizofrenia

pada anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal telah sangat efektif

terhadap gejala negatif. Seperti antipsikotik tradisional, antipsikotik

atipikal dapat memiliki efek samping yang serius. Meskipun insidens

EPS dan diskinesia tardif tetap rendah dengan antipsikotik atipikal,

baik EPS dan tardive dyskinesia dapat terjadi dengan antipsikotik

atipikal, terutama pada dosis yang lebih tinggi. Clozapine dikaitkan

dengan peningkatan risiko agranulositosis dan kejang pada dosis yang

lebih tinggi. Antipsikotik atipikal berhubungan dengan peningkatan

morbiditas karena pertambahan berat badan, dislipidemia, dan regulasi

glukosa terganggu termasuk diabetes mellitus tipe 2. Pemantauan

actigraphic pasien skizofrenia diobati dengan olanzapine atau

risperidone didokumentasikan aktivitas 24-jam berkurang (karena

waktu yang lebih lama di tempat tidur) dan, terutama, mengurangi

aktivitas 10 jam siang hari; jumlah rendah aktivitas fisik juga dapat

berkontribusi pada efek samping metabolik dari agen antipsikotik ini.

Akhirnya, pertambahan berat badan yang berhubungan dengan

antipsikotik mungkin sangat mencolok dan menempatkan pasien pada


peningkatan risiko untuk mengembangkan gangguan pernapasan

terkait tidur dan morbiditas terkait obesitas lainnya.20


Contoh : aripiprazole, clozapine, olanzapine, quetiapine, paliperidone,

risperidone, ziprasidone.20
2.2 Antipsikotik
Obat anti psikotik merupakan obat yang ditujukan untuk sindrom

psikosis.Dimana sindrom psikosis merupakan gejala berupa hendaya berat dalam

kemampuanmenilai realitas, hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental dan hendaya berat

dalamfungsi kehidupan sehari-hari.


2.2.1 Penggolongan Antipsikotik
Penggolongan obat antipsikotik ada 2 yaitu, Antipsikotik Tipikal(DA) dan Antipsikotik

Atipikal (SDA), penggolongan ini berdasarkan mekanisme kerja masing-masing obat.


2.2.2 Mekanisme Kerja Antipsikotik
Antipsikotik generasi pertama (APG-1/Antipsikotik tipikal/DA) mempunyai cara kerja

dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering

disebut juga dengan Antagonis Reseptor dopamine (ARD)


Kerja dari APG 1 menurunkan hiperaktifitas dopamine di jalur mesolimbik sehingga

menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata APG 1 tidak hanya memblok D 2 di

mesolimbik tetapi juga ditempat lain seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan

tuberoinfundibular.
Apabila APG 1 memblok reseptro D 2 di jalur mesokortikal, dapat memperberat gejala

negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamine di jalur tersebut. Blokade reseptor D 2

di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam mobilitas seperti parkinson, bila

pemakaian secara kronik dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive

dyskinesia). Blokade reseptor di tuberoinfundibular oleh APG 1 menyebabkan peningkatan kadar

prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkatan berat badan.
Selain itu APG 1 juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik

sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur,konstipasi dan

kognitif tumpul. APG 1 juga memblok reseptor histamin (H 1) sehingga timbul efek samping

mengantuk dan peningkatan berat badan. APG 1 juga memblok reseptor alfa-1 adrenergik

sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskular berupa hipotensi ortostatic,

mengantuk, pusing, dan TD menurun.


Antipsikotik generasi ke 2 (APG-2) sering disebut sebagai serotonin Dopamin Antagonis

(SDA) atau antipsikotik atipikal. APG 2 mempunyai mekanisme kerja melaluiinteraksi antara

serotonin dan dopamine pada keempat jalur dopamine di otak. Hal ini menyebabkan efek samping

EPS system lebih rendah dan sangat efektif untuk mengaatasi gejala negatif.
Perbedaan APG 1 dan APG 2 adalah APG 1 hanya memblok reseptor D 2 sedangkan APG

2 memblok secara bersamaan reseptor Serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamine (D2).
APG 2 bekerja secara simultan pada keempat jalur dopamine yaitu:
- Mesolimbik : APG 2 menyebabkan antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan

antagonis D2 di jalur ini sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyebabkan

APG 2 dapat memperbaiki simptom positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin

akan menghambat pelepasan dopamine.


- Mesokortikal : APG 2 lebih banyak berpengaruh dalam memblok reseptor 5HT2A

dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamine dan dopamine yang dilepaskan menang

daripada yang dihambat. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif.


- Nigrostriatal : Pelepasan Dopamine melebihi dari blokade reseptor

dopamine sehingga mengurangi efek samping EPS Syndrom.


- Tuberoinfundibular : Pemberian APG 2 dalam dosis terapi akan menghambat

reseptor 5HT2A menyebabkan pelepasan dopamine `meningkat sehingga pelepasan prolaktin

menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.21


APG 2 tidak hanya bekerja pada antagonis reseptor 5HT 2A dan D2, tetapi juga beberapa

subtipe antara lain reseptor 5HT1A, 5HT1D, 5HT2C, 5HT3, 5HT6, 5HT7, dan D1, D3, D4, juga

antimuskarinik (M1), Antihistamin (AH1), alfa-1 dan alda-2 hal ini menyebabkan APG 2 juga

dapat memperbaiki mood dan menurunkan suicide, tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada

bipolar I dan II.21


2.2.3 Efek Samping Obat Antipsikotik

Jika pasien telah mencapai respon terapi dengan efek samping yang

minimal, maka harus selalu dimonitor obat dan dosis yang sama untuk 6 bulan

ke depan. Diskusikan tentang risiko tinggi kambuh dan faktor-faktor yang

mungkin meminimalkan risiko kambuh. Dalam episode pertama skizofrenia,

pengobatan farmakologis antipsikotik harus digunakan dengan hati-hati karena

risiko lebih tinggi pada gejala ekstrapiramidal (EPS). Strategi yang tepat
meliputi penggunaan bertahap obat antipsikotik dengan dosis efektif sekecil

mungkin dengan memberikan penjelasan yang cermat. Antipsikotik harus

dipilih secara individual, melihat kondisi mental, dan somatik pasien yang

berbeda pada efek samping. Namun, efek samping ekstrapiramidal pada SGA

lebih rendah sehingga sebaiknya digunakan pada tahap pertama pasien

skizofrenia.22,23

Bila menggunakan FGA, memerlukan pemantauan efek samping

ekstrapiramidal (seperti: reaksi distonik terutama akut, parkinson, akathisia pada

awal pengobatan, dan tardive diskinesia (gerakan abnormal yang lambat) selama

perawatan). Efek samping penggunaan SGA adalah meningkatnya risiko

metabolik, terutama berat badan dengan beberapa SGA. Parameter metabolik

harus dikontrol ketat selama pengobatan antipsikotik. Efek samping dari

penggunaan antipsikotik dapat dilihat pada Tabel 2.3 dibawah ini.23

Tabel. Efek Samping Obat Antipsikotik


Keterangan:
EPS: Extrapyramidal side effects
Resiko: rendah (+), sedang (++), sedang tinggi (+++), tinggi (++++)
Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”.23

DAFTAR PUSTAKA

1. Hawari, D. (2003). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa: Skizofrenia.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Halaman 2.

2. Ingram, I.M., Timbury, G.C., dan Mowbray, R.M. (1995). Catatan Kuliah

Psikiatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 51.

3. Depkes RI. (2010). Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Halaman 153.

4. Sadock, B.J., dan Sadock, V.A. (2007). Kaplan & Sadock’s Synopsis of

Psychiatry: Behavioral sciences/Clinical Psychiatry. Edisi kesepuluh. USA:

Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 468-469.

5. Weinberger, D.R., dan Harisson, P.J. (2011). Schizophrenia. Edisi ketiga. New

York: Blackwell Publishing. Halaman 2038-2039.


6. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey,

L.M. (2009). Pharmacotherapy Handbook. Edisi ketujuh. New York: The Mc.

Graw Hill Companies. Halaman 61-73.

7. Cristoph, U.C., Kluge, C.R., Corves, C., dan Kane, J,M. (2009). Antipsycotic

Combination vs Monotheraphy in Schizophrenia: A Meta-analysis of Randomized

Controlled Trials. Schizophrenia Bulletin. 34(2): 42-43.

8. Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great

Britain: Pharmaceutical Press. Halaman 6, 11, 34, 55, 61, 73, 74, 82, 88.

9. Hines, L. Marschall, K. Anesthesia And Co-Existing Disease. Edisi ke-7. Elsevier

10. Fred F. Ferri. Dalam : Ferri’s Clinical Advisor. Edisi ke-5. Amsterdam :

Elsevier ; 2018

11. Benjamin J, Sadock. Virginia A, Sadock. Kaplan & Sadock Buku Ajar

Psikiatri. Edisi 2. Jakarta. EGC. 2010

12. Townsend, M.C. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing.

Edisi Ketiga. Philadelphia: Davis Company. Halaman 119.

13. Sadock, B.J., dan Sadock, V.A. (2001). Kaplan & Sadock’s Pocket Handbook

of Clinical Psychitry. Edisi Ketiga. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Halaman 100-127.

14. Benjamin J, Sadock. Virginia A, Sadock. Kaplan & Sadock Buku Ajar

Psikiatri. Edisi 2. Jakarta. EGC. 2010

15. Stahl, S.M. (2008). Psychosis and Schizophrenia. Dalam Stahl Essential

Psychopharmacology. Edisi Ketiga. Cambrige: Cambridge University Press.

Halaman 247-325.
16. Departemen Kesehatan, R.I. (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). Jakarta: Departemen Kesehatan.

Halaman 105-111.

17. Lehman, A.F., Lieberman, J.A.,dan Dixon L.B. (2004). Practice Guideline for

The Treatment of Patients with Schizophrenia. Edisi Kedua. Arlington: The

American Psychiatric Association. Halaman 98.

18. William D. Carey. Current Clinical Medicine. Edisi 2. China. 2009. Elsevier

19. Fred F. Ferri. Dalam : Ferri’s Clinical Advisor. Edisi ke-5. Amsterdam :

Elsevier ; 2018

20. Kryger. Roth. Dement. Principles and Practice of Sleep Medicine. Edisi 6.

2017. Elsevier

21. Departemen Farmakologi dan terapeutik, FK UI. 2007. Farmakologi dan

Terapi. Edisi 5, Jakarta: Bagian Farmakolgi FK UI

22. American Psychiatry Association. (2004). Practice Guideline for the

Treatment of Patients with Schizophrenia. Edisi Kedua. Florida: The American

Psychiatric Association. Halaman 26-30.

23. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey,

L.M. (2008). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Edisi Ketujuh.

United States of America: The McGraw - Hill Companies. Halaman 1137-1139.


LAPORAN KASUS

SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)

i. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. F

Umur : 25 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/ tanggal Lahir : Pare-Pare, 15 Juli 1992

Agama : Islam

Status Pernikahan : Menikah

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Pare-Pare

No Status / No. Reg : 147705

Diagnosis Sementara : Skizofrenia Paranoid (F20.0)


Pasien datang ke UGD Jiwa RSKD pada tanggal 12 November 2018 untuk

kedua kalinya diantar oleh ibunya.

j. RIWAYAT PSIKIATRI
A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat Gangguan Sekarang

 Keluhan dan Gejala


Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke UGD Jiwa

RSKD untuk kedua kalinya diantar oleh ibunya dengan keluhan

mengamuk. Pasien merusak barang jika marah karena hal-hal kecil

yang tidak disukainya. Kadang pasien memukul pintu atau dinding jika

menahan amarah, jika disuruh oleh bisikan untuk memukul ibunya

serta bisikan yang mengatakan bahwa pasien akan dibunuh. Keluhan

dirasakan sejak 1 minggu terakhir. Makan pasien masih teratur, namun

pasien tidak mandi selama 2 minggu, tidak ganti baju. Tidur pasien

masih teratur.
Awal perubahan perilaku ± 2007, saat pasien masih kelas 3

SMP. Pasien tanpa sebab yang khusus, tiba-tiba mulai mengurung diri,

menyendiri, serta malas bicara selama ± 6 bulan (akhir semester). Pada

saat pasien SMA kelas 1, pasien mengamuk, memukul ibunya.

Menurut ibunya, pada saat pasien diopname di RS Soemantri karena

tifoid, pasien tiba-tiba mengamuk. Ketika pasien tidur saat malam hari,

pasien mimpi bertemu dengan bentuk seekor binatang pada pinggang

ke bawah, dan bentuk ibunya pada pinggang ke atas yang mencakar-


cakar pasien sehingga pasien membenci ibunya. Pasien awalnya adalah

seorang yang penyabar, teman tidak terlalu banyak, dan lebih sering

berada di rumah.

 Hendaya dan disfungsi

 Hendaya sosial (+)


 Hendaya pekerjaan (+)
 Hendaya gangguan waktu senggang (+)

 Faktor stress psikososial


Stressor psikososial tidak jelas
 Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat fisik dan psikis

sebelumnya :

 Riwayat infeksi (+) tifoid, hingga keluar masuk rumah sakit,

dirawat 7 – 10 hari, biasanya terkena 6 bulan sekali.


 Riwayat trauma (-)
 Riwayat kejang (-)
 Riwayat merokok (-)
 Riawayat alkohol (-)
 Riwayat NAPZA (-)
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1) Riwayat Gangguan Medis Umum
Riwayat berobat di dokter saraf karena stroke ringan, dirawat inap

selama ± 1 minggu. Tidak lanjut minum obat. Riwayat hipertensi (+)

riwayat kolesterol (+)


2) Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Tidak terdapat riwayat penggunaan zat psikoaktif, tidak terdapat

riwayat aktif konsumsi alkohol


3) Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
Riwayat dirawat di RSKD selama ± 1 bulan di Cempaka pada tahun

2014. Setelah pasien rawat inap di RSKD, pasien kontrol di poliklinik

RSKD, tetapi pasien hanya kontol 2 – 3 kali, setelah itu pasien

membeli obat di apotik. Obat yang dikonsumsi pasien Haloperidol 5


mg 3x1, Chlorpromazin 100 mg 0-0-1, serta triheksilphenidin 2 mg

2x1. Pasien memegang obatnya sendiri. Pasien rutin minum obat.


D. Riwayat kehidupan pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir normal dan cukup bulan di rumah, ditolong oleh bidan.

Tidak ditemukan cacat lahir ataupun kelainan bawaan. Berat badan

lahir tidak diketahui. Selama kehamilan, ibu pasien dalam keadaan

sehat.
2. Riwayat Masa Kanak Awal (Usia 0-3 tahun)
Di usia ini, pasien diasuh oleh kedua orang tuanya.Sejak pasien

dilahirkan pasien mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun. Pada saat

bayi, pasien tidak pernah mengalami demam tinggi maupun kejang.

Pasien tumbuh dan berkembang seperti anak lain seusianya. Pasien

tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan.


3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (Usia 4-11 tahun)
Saat ini, pasien masih diasuh oleh kedua orang tuanya. Pasien mulai

bersekolah SD di usia 6 tahun dan dapat mengikuti pelajaran dengan

baik serta memiliki banyak teman.


4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (usia 12-18 tahun)
Usia remaja, pasien masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pada saat SMP kelas 3, pasien tiba-tiba mulai mengurung diri,

menyendiri, dan malas berbicara ± 6 bulan. Kemudian setelah lulus

masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) tetapi tidak selesai karena

pasien sakit. Pasien dikenal sebagai pribadi yang penyabar, teman

tidak terlalu banyak, dan lebih sering di rumah.


5. Riwayat Masa Dewasa
 Riwayat Pekerjaan: Pasien saat ini hanya sebagai ibu rumah

tangga.
 Riwayat Pernikahan: Pasien menikah saat pasien berusia 20 tahun.

Pasien menikah dengan pilihannya sendiri dengan mengenal

suaminya lewat media sosial. Pekerjaan suami pasien adalah

wiraswasta di Pangkep.
 Riwayat Agama: Pasien memeluk agama Islam.
 Riwayat Pelanggaran Hukum: Pasien tidak memiliki pelanggaran

hukum.
 Aktivitas Sosial: Sebelum perubahan perilaku, pasien lebih sering

di rumah serta tidak memiliki banyak teman. Jadi pasien kurang

berinteraksi dengan orang lain.


E. Riwayat Kehidupan Keluarga
Pasien adalah anak ke 2 dari 5 bersaudara (♀,♀,♀,♀,♂). Pasien memiliki 1

orang anak (♂) berumur 4 tahun. Pasien tinggal dengan kedua orang tua

dan saudaranya. Hubungan pasien dengan keluarga cukup baik. Riwayat

penyakit yang sama di dalam keluarga pasien ada yaitu sepupu dari ibu

pasien.

F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal bersama orang tua dan anaknya. Suami pasien

tinggal di Pangkep karena pekerjaan, sering kali suami pasien ke Pare-pare

untuk menjenguk pasien. Pasien sering mendengar suara bisikan yang

menyuruh pasien untuk membunuh ibunya serta ingin membunuh pasien.

Suara bisikan yang didengar pasien biasanya suara perempuan maupun

laki-laki anak kecil dan dewasa. Ketika pasien mendengar bisikan, pasien

biasanya mengikuti perintah dari suara tersebut, yaitu memukul ibunya.

Tetapi terkadang pasien melawan suara bisikan tersebut dengan cara

memukul pintu atau dinding rumah, hingga merusak barang-barang. Sejak


setelah pasien mimpi ketika sakit tifoid di RS Soemantri Pare-pare, pasien

biasanya takut melihat ibunya. Pasien lebih cepat marah dengan hal-hal

kecil yang menurutnya mengganggu.

G. Persepsi Pasien tentang diri dan kehidupannya


Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit
k. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (`12 November 2018 )
1) Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang perempuan berumur 25 tahun, wajah sesuai dengan umur,

kulit putih, rambut hitam panjang. Mengenakan daster penuh dan

bersandal jepit. Pasien perawakan besar dan perawatan diri cukup.


2. Kesadaran
Kuantitatif: GCS 15 (Compos Mentis)
Kualitatif: Berubah
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Tenang, tidak banyak bergerak.
4. Pembicaraan
Spontan, lancar, intonasi biasa
5. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif
2) Keadaan Afektif (Mood), Perasaan, Empati, dan Perhatian
1) Mood : Sulit dinilai
2) Afek : Terbatas
3) Empati : Tidak dapat dirabarasakan
3) Fungsi Intelektual (Kognitif)

1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan: Pengetahuan umum dan

kecerdasan sesuai dengan tingkat pendidikan pasien

2. Daya konsentrasi: Tidak terganggu

3. Orientasi

- Waktu : Baik

- Tempat: Baik

- Orang : Baik

4. Daya ingat:

- Jangka Panjang : Baik


- Jangka Pendek : Baik

- Jangka Segera : Baik

5. Pikiran abstrak : Tidak terganggu

6. Bakat kreatif : Tidak ada

7. Kemampuan menolong diri sendiri: Terganggu

4) Gangguan Persepsi
1) Halusinasi :
Halusinasi auditorik (+): mendengar suara bisik laki-laki-perempuan

anak kecil dan dewasa yang mau membunuh pasien dan menyuruhnya

untuk membunuh ibunya.


2) Ilusi : Tidak ada
3) Depersonalisasi : Tidak ada
4) Derealisasi : Tidak ada

5) Proses Berpikir
1. Arus Pikiran
 Produktivitas : Cukup
 Kontinuitas : Cukup relevan
 Hendaya berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa
2. Isi Pikiran

 Pre-okupasi : Tiddak ada

 Gangguan isi pikir: Tidak ada

6) Pengendalian Impuls
Terganggu
7) Daya Nilai
a) Norma Sosial : Terganggu
b) Uji Daya Nilai : Tidak terganggu
c) Penilaian Realitas : Terganggu
8) Tilikan (Insight)
Derajat 6 (pasien sadar bahwa dirinya sakit dan membutuhkan pengobatan)
9) Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya

l. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI


A. Status Internus
Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi

78x/menit, Pernapasan 18x/menit, suhu 36,7oC. Konjungtiva tidak anemis,

skelera tidak ikterus, jantung paru abdomen dalam batas normal,

ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan.


B. Status Neurologis

GCS: E4M6V5, Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk negatif,

pupil bulat isokor 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya (+/+), fungsi motorik

dan sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal. Tidak ditemukan

refleks patologis. Cara berjalan normal, keseimbangan baik. Sistem saraf

sensorik dan motorik dalam batas normal. Kesan: normal.

m. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke UGD Jiwa RSKD

untuk kedua kalinya diantar oleh ibunya dengan keluhan mengamuk. Pasien

merusak barang jika marah karena hal-hal kecil yang tidak disukainya.

Kadang pasien memukul pintu atau dinding jika menahan amarah, jika disuruh

oleh bisikan untuk memukul ibunya serta bisikan yang mengatakan bahwa

pasien akan dibunuh. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu terakhir. Makan

pasien masih teratur, namun pasien tidak mandi selama 2 minggu, tidak ganti

baju. Tidur pasien masih teratur.


Awal perubahan perilaku ± 2007, saat pasien masih kelas 3 SMP.

Pasien tanpa sebab yang khusus, tiba-tiba mulai mengurung diri, menyendiri,

serta malas bicara selama ± 6 bulan (akhir semester). Pada saat pasien SMA

kelas 1, pasien mengamuk, memukul ibunya. Menurut ibunya, pada saat

pasien diopname di RS Soemantri karena tifoid, pasien tiba-tiba mengamuk.


Ketika pasien tidur saat malam hari, pasien mimpi bertemu dengan bentuk

seekor binatang pada pinggang ke bawah, dan bentuk ibunya pada pinggang

ke atas yang mencakar-cakar pasien sehingga pasien membenci ibunya. Pasien

awalnya adalah seorang yang penyabar, teman tidak terlalu banyak, dan lebih

sering berada di rumah. Suara bisikan yang didengar pasien biasanya suara

perempuan maupun laki-laki anak kecil dan dewasa. Ketika pasien mendengar

bisikan, pasien biasanya mengikuti perintah dari suara tersebut, yaitu

memukul ibunya. Tetapi terkadang pasien melawan suara bisikan tersebut

dengan cara memukul pintu atau dinding rumah, hingga merusak barang-

barang. Sejak setelah pasien mimpi ketika sakit tifoid di RS Soemantri Pare-

pare, pasien biasanya takut melihat ibunya. Pasien lebih cepat marah dengan

hal-hal kecil yang menurutnya mengganggu.


Dari pemeriksaan status mental, tampak eorang perempuan berumur 25

tahun, kulit putih, rambut hitam panjang. Mengenakan daster penuh dan

bersandal jepit. Wajah sesuai dengan umur, perawakan besar dan perawatan

diri cukup. Kesadaran berubah, kontak mata dan verbal ada. Aktivitas

psikomotor tenang. Pembicaraan spontan, lancar, intonasi biasa dan sikap

terhadap pemeriksa kooperatif. Mood eutimik, afek appropriate dan terbatas,

empati tidak dapat dirabarasakan. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan

kecerdasan sesuai dengan tingkat pendidikan. Daya konsentrasi, orientasi,

daya ingat, pikiran abstrak baik, kemampuan menolong diri baik. Didapatkan

gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik. Arus pikiran produktivitas ide

yang berlebihan, kontinuitas cukup relevan, hendaya berbahasa tidak ada. Isi

pikiran pre-okupasi tidak ada, gangguan isi pikir tidak ada. Pengendalian
impuls kurang. Norma sosial, uji daya nilai, penilaian realitas terganggu.

Tilikan derajat 6, pasien sadar atas penyakitnya.

n. EVALUASI MULTIAKSIAL (SESUAI PPDGJ III)


 Aksis I

Berdasarkan Alloanamnesis dan Autoanamnesis didapatkan adanya

gejala klinis yang bermakna yaitu pasien mengamuk dan merusak barang

jika marah akibat hal kecil yang membuat pasien marah. Pasien juga

sering memukul pintu atau dinding rumah jika pasien memendam

amarahnya akibat menahan diri untuk memukul ibunya. Pasien juga tidak

mandi selama ± 2 minggu. Keadaan ini menimbulkan adanya hendaya

sosial, pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang dan distress bagi

penderita, keluarga dan masyarakat sekitar sehingga dapat digolongkan

sebagai gangguan jiwa. Adanya hendaya berat dalam menilai realita yaitu

keluhan halusinasi auditorik, yaitu pasien mendengar suara bisikan yang

ingin membunuh dirinya dan menyuruh memukul atau membunuh ibunya,

sehingga digolongkan ke dalam gangguan jiwa psikotik. Dari

pemeriksaan interna dan neurologi tidak ditemukan kelainan organik yang

secara langsung mempengaruhi fungsi otak sehingga digolongkan sebagai

gangguan jiwa non organik. Pada pasien ini terdapat halusinasi

auditorik, arus pikir yang cukup relevan, dan berlangsung sejak tahun

2008 (≥ 1 bulan) sehingga berdasarkan PPDGJ III pasien ini memenuhi

gejala umum dari Skizofrenia, yaitu didapatkannya halusinasi auditorik,

yang dimana halusinasi auditorik tersebut suara halusinasi yang


mengancam atau memberi perintah sehingga digolongkan sebagai

Skizofrenia Paranoid (F20.0).

 Aksis II
Ciri kepribadian tidak khas
 Aksis III
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermakna
 Aksis IV
Stressor psikososial tidak jelas
 Aksis V
GAF Scale saat di UGD: 50-41 (Gejala berat, disabilitas berat)

o. DAFTAR MASALAH
1) Organobiologik
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tetapi diduga

terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter, maka pasien memerlukan

farmakoterapi.
2) Psikologi
Ditemukan adanya masalah psikologi sehingga memerlukan psikoterapi.
3) Sosiologik
Ditemukan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan

penggunaan waktu senggang maka membutuhkan sosioterapi.


p. RENCANA TERAPI
1. Farmakoterapi
Haloperidol 5 mg/8 jam/oral
Chlorpromazin 100 mg (0-0-1)
Tryhexylphenidin 2 mg 3x1 (bila gejala EPS muncul)
Jamin intake oral yang adekuat

2. Psikoterapi Suportif
Ventilasi: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan

keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.
Konseling: Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien agar

memahami penyakitnya, bagaimana cara menghadapinya, manfaat

pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama

pengobatan. Memberikan dukungan kepada pasien serta memotivasi agar

minum obat secara teratur.


3. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang

disekitarnya tentang gangguan yang dialami pasien sehingga mereka dapat

menerima dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membantu

proses pemulihan pasien


q. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam

Ad functionam : Dubia ad malam

Ad sanationam : Dubia ad malam

Faktor Pendukung Faktor Penghambat


Usia Muda

Gejala positif Tidak ada faktor pencetus (tidak jelas)

Riwayat sosial pramorbid baik Tidak minum obat teratur

Obat dipegang sendiri oleh pasien

r. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya.

Selain itu menilai efektivitas terapi dan kemungkinan efek samping yang

mungkin terjadi.
s. DISKUSI

Skizofrenia adalah gangguan psikotik menetap yang mencakup

gangguan pada perilaku, pikiran, emosi dan persepsi. Skizofrenia adalah

gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat

menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk. Orang-orang dengan

Skizofrenia menunjukkan kemunduran yang jelas dalam Pungsi pekerjaan dan


sosial. Mereka mungkin mengalami kesulitan mempertahankan pembicaraan,

membentuk pertemanan, mempertahankan pekerjaan, atau memperhatikan

kebersihan pribadi mereka. Namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang

unik pada skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola perilaku yang selalu

muncul pada penderita skizofrenia.1

Dalam pedoman diagnostik, harus ada sedikitnya satu gejala berikut

yang amat jelas untuk mendiagnosis skizofrenia, yaitu:2

a. Thought
Thought of Echo : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda; atau


Thought Insertion or Withdrawl : isi pikiran yang asing masuk ke dalam

pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu di luar dirinya.
Thought Broadcasting : isi pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain

atau umum mengetahuinya.


b. Delusion of Control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar


Delusion of Influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar


Delusion of Passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar


Delusion Perception : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

c. Halusinasi auditorik :

 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap

perilaku pasien, atau


 Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara), atau


 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di

atas manusia biasa.

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara

jelas:2

a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan

(overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;

b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relevan, atau neologisme;

c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi

tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,

dan stupor;

d. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya


kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan

oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas harus telah berlangsung

selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk fase

nonpsikotik prodromal). Kemudian, harus ada suatu perubahan yang

konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari

beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai

hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam

diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.2

Skizofrenia sama lazimnya pada pria dan wanita. Onset lebih awal

pada pria daripada pada wanita. Lebih dari separuh dari semua penderita

skizofrenia pria, namun hanya sepertiga dari semua penderita skizofrenia

wanita, pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa sebelum berusia 25 tahun.

Usia puncak adalah 10 sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun

untuk wanita. Tidak seperti pria, wanita menampilkan distribusi usia bimodal,

dengan puncak kedua terjadi pada usia paruh baya. Sekitar 3-10 % wanita

dengan skizofrenia hadir dengan onset gangguan setelah usia 40 tahun. Sekitar

90 %penderita dalam pengobatan skizofrenia berusia antara 15 dan 55 tahun.3

Tingkat insiden skizofrenia per tahun mencapai 0,1 hingga 0,4 per

1000 penduduk dengan prevalensi pria dan wanita tersebar merata, dimana

onset pada pria lebih awal dibandingkan pada wanita. Pria cenderung

mengalami gejala negatif. Belum terdapat penelitian di Indonesia yang

menunjukkan prevalensi Skizofrenia. Namun diperkirakan jumlahnya dapat


mencapai 1 permil. Data yang diperoleh dari rekam medik Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara tahun 2009, diketahui dari 12.377 penderita yang

dirawat jalan, 9.532 (96,51%) di antaranya mengalami skizofrenia paranoid.4

Skizofrenia paranoid merupakan salah satu tipe skizofrenia dengan ciri

khas adanya delusi atau halusinasi pendengaran yang jelas dalam konteks

pelestarian fungsi dan pengaruh kognitif. Gejala-gejala yang khas seperti

disorganisasi dan katatonik (misalnya, kata-kata yang tidak terorganisir,

pengaruh yang datar atau tidak pantas, perilaku katatonik atau tidak

terorganisasi) tidak menonjol. Delusi biasanya bersifat menganiaya atau

muluk-muluk, atau keduanya, tetapi delusi dengan tema lain (misalnya,

kecemburuan, religiusitas, atau somatisasi) juga dapat terjadi. Halusinasi

mungkin banyak, tetapi biasanya disusun di sekitar tema yang koheren.

Halusinasi juga biasanya terkait dengan isi tema delusional. Fitur terkait

termasuk kecemasan, kemarahan, sikap acuh tak acuh, dan argumentativeness.

Individu mungkin memiliki cara yang unggul dan merendahkan dan baik

kualitas formal yang kaku, atau intensitas ekstrim dalam interaksi

interpersonal. Tema-tema penganiayaan dapat mempengaruhi individu untuk

perilaku bunuh diri, dan kombinasi dari penganiayaan dan delusi besar dengan

kemarahan dapat mempengaruhi individu menjadi kekerasan. Onset

cenderung lebih lambat dibandingkan dengan tipe-tipe skizofrenia lainnya,

dan karakteristik yang membedakan mungkin lebih stabil dari waktu ke

waktu. Orang-orang ini biasanya menunjukkan sedikit atau tidak ada

gangguan pada neuropsikologi atau tes kognitif lainnya. Beberapa bukti


menunjukkan bahwa prognosis untuk Skizofrenia Paranoid mungkin jauh

lebih baik daripada untuk jenis lain dari Skizofrenia, terutama yang berkaitan

dengan fungsi dan kapasitas kerja untuk hidup mandiri.5

Pedoman diagnostik untuk kasus skizofrenia paranoid (F20.0) adalah

sebagai berikut: 2

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


 Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi

perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa

bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa

(laughing);
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,

atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi

jarang menonjol;
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham

dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of

influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan

dikejar-kerjar yang beraneka ragaman adalah yang paling khas.


 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

Terapi farmakologi masih merupakan pilihan utama pada skizofrenia.

Pilihan terapi pada skizofrenia dipilih berdasarkan target gejala pada pasien

skizofrenia. Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah bahaya pada pasien,

mengontrol perilaku pasien, dan untuk mengurangi gejala psikotik pada pasien

seperti agitasi, agresif, negative simptom, positifsimptom, serta gejala afek.6


Risperidon merupakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis golongan

II. Antipsikosis golonganII merupakan golongan obat yang memiliki efek

untuk mengurangi gejala negatif maupun positif. Selain diberikan obat-obat

terapi medikamentosa pasien juga dilakukan terapi nonmedikamentosa yaitu

psikoterapidan psikoedukasi yang dianjurkan setelah pasien tenang dengan

pemberian dukungan pada pasien dan keluarga agar mempercepat

penyembuhan pasien dan diperlukan rehabilitasi yang disesuaikan dengan

psikiatrik serta minat dan bakat penderita sehingga bisa dipilih metode yang

sesuai untuk pasien tersebut.6

Pada pasien ini diberikan haloperidol dan chlorpromazin yang

merupakan antipsikotik tipikal untuk menangani gejala psikotik yang diderita.

Selain itu, perlu untuk memantau kemungkinan efek samping obat yang

mungkin terjadi seperti Sindrom Ekstrapiramidal (EPS). Jika terjadi EPS,

maka pasien dapat diberikan triheksifenidil sebagai obat antikolinergik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan,H.,Sadock.. 2014. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta. EGC


2. Maslim R,2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan jiwa, Rujukan Ringkasan

dari PPDGJ III dan DSM V, Jakarta


3. Wahyuni, Anak Ayu Sri. 2018. Bunuh Diri pada Skizofrenia. Karya Tulis.

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Udayana. Denpasar


4. Lestari, Ni Wayan Desi. 2013. Terapi Resperidone pada Skizofrenia Paranoid:

Sebuah Laporan Kasus. FK Udayana


5. American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders Fourth Edition. Washington DC.


6. Hendarsyah, Faddly. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid

dengan Gejala-Gejala Positif dan Negatif. FK Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai