Anda di halaman 1dari 66

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Skizofrenia

a. Definisi

Istilah skizofrenia diperkenalkan ke dalam bahasa medis pada tahun

1911 oleh Bleuler, seorang psikiater yang berasal dari Swiss. Empat

gejala utama skizofrenia menurut Bleuler adalah 4A, yaitu asosiasi

longgar, autistik dalam perilaku dan berpikir, afek yang tidak normal, dan

ambivalensi. Saat ini, penggunaan istilah skizofrenia mengacu pada

gangguan mental berat, atau sekelompok gangguan, yang penyebabnya

masih belum diketahui serta salah satu sindrom psikiatri kronis paling

kompleks yang mengakibatkan tingginya angka disabilitas dalam

tingkatan yang berat (Sadock et al., 2010). Skizofrenia merupakan suatu

gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gejala positif, negatif, dan

kognitif yang mempengaruhi hampir semua aspek aktivitas mental

termasuk persepsi, perhatian, memori, dan emosi (Lieberman et al.,

2014).

b. Epidemiologi

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi

gangguan mental emosional di Indonesia adalah sebesar 6,0% sedangkan

prevalensi untuk psikosis/skizofrenia rata-rata 1,7 per 1000 penduduk,


commit to user

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh (masing-

masing 2,7%) diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur (2,2%) serta Bangka

Belitung (2,1%). Sedangkan proporsi rumah tangga yang pernah

melakukan pemasungan terhadap gangguan jiwa berat adalah sebesar

14,3% (Kemenkes RI,2013 ).

Prevalensi seumur hidup skizofrenia secara umum diperkirakan

sekitar 1% di seluruh dunia. Namun, dalam sebuah systematic review

yang dilakukan terhadap 188 studi dari 46 negara didapatkan adanya

perkiraan mengenai risiko seumur hidup sebesar 4,0 per 1000 penduduk.

Prevalensi skizofrenia hampir sama pada pria dan wanita (Ayano, 2016).

Onset skizofrenia umumnya terjadi dalam periode antara remaja akhir

dan pada pertengahan usia 30-an. Untuk laki-laki, usia puncak onset

untuk episode psikotik pertama adalah pada periode awal hingga

pertengahan 20-an; untuk wanita, terjadi pada akhir usia 20-an (APA,

2013).

c. Etiologi

Etiologi skizofrenia hingga saat ini belum dapat dipahami dengan

baik, namun berbagai penelitian mengenai skizofrenia memperlihatkan

mengenai adanya peran biologis, psikologis, dan sosial (Arguello, 2016).

Teori yang cukup banyak disebutkan saat ini adalah teori yang

berlandaskan pada model diatesis stres. Diatesis adalah istilah lain untuk

menyebut kerentanan atau predisposisi untuk perkembangan skizofrenia.

Stressor akan meningkatkan kecenderungan munculnya sindrom


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

skizofrenia. Diantara diatesis yang ada, faktor biologis adalah yang

paling menonjol. Faktor biologis meliputi faktor genetik, komplikasi

prenatal dan kehamilan, serta penyalahgunaan zat (Wenar et al., 2012).

Faktor genetik diketahui memiliki peran yang sangat penting dalam

perkembangan gejala skizofrenia. Individu yang memiliki riwayat

anggota keluarga dengan skizofrenia memiliki resiko lebih besar untuk

menderita skizofrenia (Ayano, 2016). Pada penelitian yang dilakukan

terhadap hubungan kekeluargaan, angka morbiditas bagi saudara tiri

adalah 0,9-1,8%, saudara kandung 7-15%, saudara kembar monozigot

61-86%, saudara kembar heterozigot 2-15%. Jika salah satu orang tua

menderita skizofrenia angka morbiditas bagi anak tersebut adalah 7-16%

dan meningkat menjadi 40-68% jika kedua orang tua menderita

skizofrenia. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa komplikasi

kehamilan dan persalinan berhubungan erat dengan skizofrenia onset

kanak. Trauma dan paparan virus pada masa kehamilan juga diduga

berhubungan dengan patofisiologi skizofrenia namun studi mengenai hal

ini masih bervariasi (Wenar et al., 2012).

Terdapat hubungan antara penyalahgunaan zat dengan skizofrenia.

Penggunaan kanabis dengan jumlah pemakaian lebih dari 50 kali

dilaporkan memiliki resiko 6 kali lipat untuk menderita skizofrenia.

Penggunaan amfetamin, kokain, dan zat yang serupa juga memiliki

kemungkinan untuk meningkatkan gejala psikotik. Pasien yang telah

menderita skizofrenia juga sering terlibat dalam penyalahgunaan zat,


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

yang berhubungan dengan outcome yang buruk pada fungsi pasien

(Sadock et al., 2010). Sekitar 90% pasien skizofrenia diketahui memiliki

ketergantungan nikotin. Selain meningkatkan risiko mortalitas, nikotin

juga menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam darah. Prevalensi

ketergantungan alkohol pada skizofrenia adalah 40%. Penyalahgunaan

alkohol ini meningkatkan risiko rehospitalisasi dan gejala psikotik

(Weinberger et al., 2011).

Faktor psikodinamik dijelaskan oleh Freud dengan teori

psikoanalisisnya yang beranggapan bahwa skizofrenia terjadi karena

fiksasi pada fase awal perkembangan, yang mengakibatkan kerusakan

ego. Kerusakan ego ini mempengaruhi intepretasi terhadap realitas dan

kontrol terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi (Bauml,

2006). Gangguan tersebut terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal

balik ibu dan anak (bayi). Simtom yang muncul memiliki makna simbolis

dari kehancuran ego. Pandangan psikodinamik mementingkan

hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi

stimulus mengakibatkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan dan

mengakibatkan stres dalam hubungan interpersonal (Corey, 2009).

Faktor sosial dan lingkungan dapat memicu stres pada individu

dengan skizofrenia, terutama karena urbanisasi, industrialisasi, situasi

politik, dan kesulitan ekonomi (Bustillo et al., 2016). Sebaliknya,

lingkungan yang baik dapat menjadi faktor protektif yang mencegah

manifestasi skizofrenia atau memperbaiki prognosisnya. Faktor


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

kebudayaan dan agama, seperti kepercayaan mengenai penyebab

skizofrenia mempengaruhi perjalanan penyakit dan prognosis gangguan

(Chan, 2011).

d. Perjalanan Penyakit

Onset skizofrenia biasanya terjadi pada usia produktif, namun pada

laki-laki seringkali muncul lebih awal yaitu 10-25 tahun sedangkan

wanita onset puncak adalah usia 25-35 tahun. Skizofrenia jarang terjadi

pada usia kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. Skizofrenia yang

terjadi pada usia lebih dari 45 tahun disebut dengan skizofrenia late onset

(Lieberman et al., 2014).

Pasien skizofrenia sebagian besar memiliki riwayat kepribadian

premorbid skizoid atau skizotipal. Antara lain pasien tampak pendiam,

pasif, introvert, sehingga hanya mempunyai sedikit teman, tidak punya

teman akrab, tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis,

menghindari aktivitas olahraga dan aktivitas sosial. Mereka lebih suka

aktivitas yang menyendiri seperti menonton tv, mendengarkan musik,

membaca buku, dll (Kirkbride et al., 2012). Sebelum memasuki fase

aktif, pasien seringkali sudah menunjukkan gejala prodromal sejak

beberapa bulan bahkan beberapa tahun sebelumnya. Fase prodromal ini

ditandai dengan adanya deteriorasi yang jelas dalam fungsi sebelum fase

aktif penyakit dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan

penggunaan zat (Weinberger et al., 2011). Fase prodromal setidaknya

menunjukkan 2 dari gejala di bawah ini :


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

 Penarikan diri atau isolasi dari hubungan sosial.

 Hendaya yang nyata dari fungsi peran.

 Tingkah laku aneh yang nyata (mengumpulkan sampah, berbicara

sendiri di tempat umum, mengumpulkan makanan, dan lain-lain)

 Hendaya yang nyata dalam kebersihan diri dan berpakaian.

 Afek tumpul, datar, atau tidak serasi.

 Pembicaraan melantur, kabur, sirkumstansial, atau metaforik.

 Ide yang aneh atau tidak lazim, pikiran magis seperti takhayul,

telepati, indra ke enam, ide referensi.

 Persepsi yang tidak lazim, seperti ilusi berulang, merasa hadirnya

suatu kekuatan atau seseorang yang sebenarnya tidak ada.

Perawatan pertama kali di rumah sakit sering ditentukan sebagai

permulaan fase aktif gangguan skizofrenia. Fase ini ditandai dengan

gejala positif dan negatif skizofrenia. Setelah onset fase aktif, perjalanan

gejala psikotik pada skizofrenia sangat bervariasi, dapat terjadi periode

bebas gejala pada waktu yang lama, eksaserbasi akut yang sering, dan

psikosis tanpa remisi pada sebagian pasien (Arguello, 2016). Klinisi

dapat membedakan gejala skizofrenia ini kedalam 3 kluster yang

berbeda, yaitu kluster gejala psikotik positif (atau distorsi realitas),

disorganisasi pikiran dan perilaku, dan gejala negatif. Kluster gejala

positif paling berespon terhadap pengobatan, diikuti kluster disorganisasi

pikiran dan gejala negatif. Fase aktif dapat terjadi beberapa bulan hingga

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

tahun. Penggunaan antipsikotik akan mempersingkat durasi fase aktif

(Sadock et al., 2010).

Fase residual adalah fase yang terjadi setelah fase aktif. Fase ini

memiliki gejala-gejala yang menyerupai fase prodromal. Intensitas gejala

positif sudah berkurang dan didominasi oleh gejala negatif dan gangguan

kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa,

kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial)

(Ritsner, 2011).

e. Diagnosis

Diagnosis skizofrenia sulit dilakukan karena tidak ada gejala tunggal

yang khas pada skizofrenia dan tidak ada tes darah definitif atau scan

untuk gangguan tersebut. Membuat diagnosis saat ini membutuhkan

mengenali konstelasi gejala setidaknya selama 6 bulan. Melihat

memburuknya tingkat fungsi orang dengan gejala, serta

'mengesampingkan' penjelasan lain yang mungkin untuk gangguan yang

diamati (Ayano, 2016).

Gangguan skizofrenia ditandai secara fundamental dan memiliki

karakteristik umum berupa distorsi dalam fikiran, persepsi, dan adanya

afek yang tumpul. Kesadaran dan kapasitas intelektual biasanya masih,

meskipun defisit kognitif tertentu dapat berkembang dalam perjalanan

waktu. Gangguan ini melibatkan fungsi yang paling dasar yang

memberikan perasaan individualitas, keunikan, dan pengarahan diri

sendiri (PPDGJ III, 1993).


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

Kriteria Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III


Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas sebagai
kelompok (a) sampai (d) atau setidaknya dua gejala dari kelompok (e)
sampai (i) dan harus jelas ada untuk sebagian besar waktu selama periode
1 bulan atau lebih.
a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau “thought
insertion or withdrawal” = isi yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi
pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” =
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus); “delusional perception” = pengalaman
indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasnya bersifat mistik atau mukjizat;
c) Halusinasi auditorik. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal
pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya. Waham yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain)
e) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan
terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor
commit
h) Gejala-gejala “negatif”, to usersikap sangat apatis, bicara yang
seperti
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,


biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i) Adanya suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
keseluruhan kualitas kehidupan (overall quality) dan beberapa aspek
perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ III
(Kemenkes RI, 1993).
f. Penatalaksanaan

Penanganan pada penderita skizofrenia mencakup berbagai

modalitas dan menggabungkan pendekatan farmakologis, psikologis, dan

rehabilitasi. Terapi utama adalah pemberian obat antipsikotik yang

bertujuan terutama untuk mengendalikan gejala positif, terapi

elektrokonvulsif pada beberapa kasus, dan intervensi psikososial (Ayano,

2016). Terapi farmakologis menggunakan antipsikotik, secara garis besar

dibagi menjadi antipsikorik generasi I atau antipsikotik tipikal dan

antipsikotik generasi II atau antipsikotik atipikal (Lieberman et al.,

2014).

Antipsikotik tipikal efektif untuk mengendalikan gejala positif pada

skizofrenia, namun menimbulkan efek samping yang banyak yaitu

penurunan fungsi kognitif, Extra Pyramidal Syndrome (EPS), tardive

diskinesia, peningkatan kadar prolaktin serum, serta tidak efektif untuk

gejala negatif. Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan

memblok reseptor dopamine 2 (D2) khususnya di mesolimbik dopamine


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan antagonis reseptor

dopamin (Ritsner, 2011).

Antipsikotik atipikal selain berikatan dengan reseptor D2 di

mesolimbik, juga berikatan dengan reseptor 5HT2A sehingga disebut

"antagonis serotonin-dopamin" (Meltzer, 2013). Reseptor 5HT2A

bersifat sebagai menghambat sekresi dopamin, sehingga antagonisme

antipsikotik atipikal pada reseptor ini di jalur mesokorteks,

tuberoinfundibular, dan nigrostriatal akan membalikkan blokade reseptor

dopamin, sehingga mengurangi gejala negatif, serta efek samping

ekstrapiramidal dan peningkatan prolaktin serum. Antipsikotik atipikal

yang tersedia di Indonesia saat ini adalah clozapine, risperidone,

olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole (Leucht et al.,

2016).

Electroconvulsive Therapy (ECT) adalah prosedur yang dilakukan

dengan menggunakan arus listrik kecil yang melewati otak, dengan

sengaja memicu kejang singkat. ECT menyebabkan perubahan kimia

otak yang dapat dengan cepat membalikkan gejala penyakit mental

tertentu. ECT sering bermanfaat bila pengobatan lain tidak berhasil.

Dengan bekerja bersama dokter anestesi, saat ini ECT jauh lebih aman

dengan efek samping yang minimal (Lieberman et al., 2014).

Selain terapi biologis, diperlukan integrasi terapi psikososial yang

valid secara empiris ke dalam standar perawatan. Terapi psikososial yang

terbukti efektif dalam berbagai penelitian acak terkontrol dan meta


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

analisis, serta telah dikembangkan sebagai intervensi praktek kedokteran

berbasis bukti adalah community assertive therapy, cognitive behaviour

therapy (CBT) untuk psikosis, psikoedukasi keluarga (PEK), remediasi

kognitif, pelatihan keterampilan sosial, pekerjaan yang mendukung, dan

manajemen pelatihan diri pada penyakit Mueser et al., 2013).

2. Fungsi Kognitif

a. Definisi Kognitif

Kognitif adalah keseluruhan proses mental yang terjadi dalam

rangka untuk memperoleh pengetahuan dan membuat kita menyadari

tentang lingkungan di sekitar kita, sehingga memungkinkan kita dalam

membuat penilaian yang tepat. Pengertian mengenai kognitif menurut

behaviour neurology dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana

semua input sensoris baik dalam bentuk taktil, visual, dan auditorik,

nantinya akan diubah, diolah, dan kemudian disimpan, dan selanjutnya

digunakan melalui hubungan interneuron secara lengkap sehingga

individu dapat memberikan respon terhadap input-input tersebut.

Kognitif meliputi aktifitas untuk memperoleh informasi, memproses

informasi yang diperoleh, dan membuat kesimpulan tertentu dalam

mengambil tindakan (Saddock et al., 2010).

Kognitif dapat juga dijelaskan sebagai sebuah istilah psikologis.

Berkaitan dengan psikologi, kognitif merupakan sebuah kegiatan yang

mencakup proses pembelajaran, ingatan dan perhatian, serta persepsi,

bahasa, kecerdasan, dan penalaran. Keseluruhan aktifitas kognitif pada


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

dasarnya merupakan sebuah proses psikologis internal yang, jika dilihat

dari sudut pandang eksperimental, berasal dari perilaku yang

diperlihatkan oleh suatu organisme atau individu (Driscoll, 2017).

b. Profil Fungsi Kognitif

Pengertian fungsi kognitif mengacu pada domain. Fungsi kognitif

terbagi atas berbagai bidang seperti persepsi, ingatan, pemikiran,

penalaran, dan kesadaran pada suatu individu. Fungsi kognitif akan

berkembang sesuai dengan perkembangan fisik, dan akan mengalami

penurunan seiring dengan penurunan fisik. Kemandirian seseorang dalam

menjalankan fungsi di kehidupan sehari-hari ditentukan oleh kemampuan

kognitif dan kemampuan fisik. Fungsi kognitif yang memadai diperlukan

untuk melakukan aktivitas sederhana sehari-hari seperti berpakaian dan

mandi dan tugas-tugas yang lebih kompleks seperti mengelola uang,

membayar tagihan dan mengambil obat. Fungsi kognitif juga

memengaruhi kemampuan individu untuk bekerja dan memainkan peran

dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (O‟Regan et al., 2014).

Kognitif melibatkan proses belajar. Proses belajar (learning) dapat

didefinisikan sebagai perubahan yang menetap dalam mekanisme

perilaku yang dihasilkan dari pengalaman dengan peristiwa di

lingkungan sekitar atau perubahan yang relatif permanen dalam potensi

organisme untuk sebagai hasil dari pengalaman atau praktik sebelumnya.

Kesimpulan dalam definisi ini adalah gagasan bahwa belajar adalah

sesuatu yang terjadi secara internal; hal ini disimpulkan dari perubahan
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

perilaku atau kemungkinan perilaku; dan itu relatif persisten. Artinya,

kognitif memiliki basis saraf yang dapat diukur secara perilaku, dan lebih

abadi daripada perubahan perilaku karena gairah, kelelahan, adaptasi,

atau penyakit (Driscoll, 2017). Dari berbagai konsep mengenai domain

dalam bidang kognitif, secara umum domain fungsi kognitif terbagi atas

lima domain.

1) Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian

informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat yang

berpengaruh pada fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga

tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus

dengan recall.

2) Atensi

Perhatian mengacu pada kemampuan untuk berkonsentrasi dan

fokus pada rangsangan khusus (Harada et al., 2013). Atensi

merupakan kemampuan untuk bereaksi terhadap satu stimulus

dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan

sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan

mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Atensi merupakan

hasil hubungan antara batang otak, aktifitas limbik dan aktifitas

korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan

mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi

merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori dan bahasa.

3) Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif dari otak dapat didefinisikan sebagai suatu

proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah/persoalan

baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah,

mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan/mencari jalan

keluar suatu persoalan.

4) Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas

dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Bila dijumpai

adanya gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori

verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak

dapat dilakukan.

5) Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan

konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam

gambar dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam

kemampuan konstruksi dengan lobus parietal hemisfer kanan

berperan paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk

skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana

berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

c. Neurosirkuit Fungsi Kognitif

Pada prefrontal cortex, terdapat berbagai sirkuit yang mengatur

fungsi kognitif, yaitu sirkuit orbitofrontal, sirkuit angulata anterior, dan

sirkuit dorsolateral prefrontal. Masing-masing dari sirkuit tersebut

memiliki peranannya sendiri terhadap fungsi kognitif (Ruiz et al., 2013).

Dorsolateral prefrontal cortex membentuk proporsi terbesar korteks

frontal, terletak rostral ke bidang mata frontal dan superior ke

orbitofrontal cortex. Sirkuit prefontal dorsolateral dimulai pada area

Broadmann 9 dan 10 di permukaan lateral korteks prefrontal, yang

kemudian diproyeksikan ke kepala dorsolateral dari nukleus kaudatus,

globus pallidus interna dan sustantia nigra pars reticulate, berakhir di

nukleus thalamus ventroanterior dan mediodorsal dan akhirnya kembali

ke lokasi kortikalnya. Fungsi wilayah otak ini berada dalam wilayah

proses-proses "eksekutif", yang dalam arti umum melibatkan

kemampuan untuk memanfaatkan masukan sensorik dari berbagai

modalitas (misalnya visual, pendengaran) dalam menghasilkan respons

yang tepat. Hubungannya dengan bagian otak lainnya luas, tetapi satu

sirkuit yang sangat penting melibatkan masukan dari talamus (terutama

nukleus anterior dan mediodorsal ventral) dan keluaran ke nukleus

kaudatus ganglia basal.

Cingulate cortex terletak di bagian medial dari korteks dengan posisi

lebih tinggi dari corpus callosum. Area motor tambahan terletak medial

ke korteks premotor hanya anterior ke medial. Wilayah otak ini memiliki


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

fungsi yang terlibat dengan dorongan dan motivasi bersama dengan

eksplorasi lingkungan. Hubungan area ini dengan struktur limbik dalam

otak (mis. nucleus accumbens). Sirkuit cingulated anterior dimulai di

cingulated cortex (area Broadmann 24), mengirimkan serat-serat aferen

ke striatum (kaudatus, putamen dan nucleus accumbens) melewati

globus pallidus internal, berakhir di locus nigger. Banyak dari input

tersebut terhubung ke area motor tambahan dan korteks asosiasi, di lobus

parietal. Sirkuit ini mengatur pemrosesan spasial dari gerakan, yang

diperlukan untuk kinerja yang benar dari aktivitas motorik, dan lesi dari

daerah otak ini menghasilkan kelainan pada komponen kognitif kontrol

gerakan (Ezequil, 2016). Disfungsi pada cingulate cortex terkait dengan

beberapa karakteristik unik yang aneh, termasuk apatis dan akinetic

mutism (mencerminkan hilangnya dorongan dan motivasi) bersama

dengan defisit yang kompleks dalam atensi dan tertundanya adaptasi

terhadap rangsangan eksternal.

Sirkuit orbitofrontal secara monumental menghubungkan sistem

frontal dengan struktur limbik. Disfungsi di daerah otak ini menghasilkan

perubahan dalam kepribadian, disinhibisi dan labilitas emosional,

menunjukkan interpretasi yang tidak tepat dari elemen sosial, serta saat

dilakukan penilaian menggunakan Wisconsin Test didapatkan hasil yang

memperlihatkan adanya kinerja yang buruk (untuk mengevaluasi memori

kerja dan ketekunan). Sirkuit orbitofrontal dimulai dari gyrus orbital

medial (daerah Broadmann 11), dan menghubungkan daerah nukleus


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

accumbens, globus pallidus medial, lobus temporal dan nukleus

medialamus mediosa, kembali ke gyrus orbital medial. Sirkuit

orbitofrontal medial terkait dengan kemampuan dalam menebak (yaitu

sebuah proses yang lebih tinggi dari tugas perencanaan), di mana tidak

ada dasar rasional untuk memilih satu jawaban atas yang lain, memaksa

subjek untuk membuat asosiasi, yang merupakan proses mental yang

baru-baru ini terlibat dalam formasi delusi (Palaniyapan, 2017).

Korteks frontal memiliki koneksi ke struktur subkortikal seperti

thalamus dan ganglia basal yang berfungsi dalam pengaturan perilaku.

Seperti yang disinggung sebelumnya, korteks prefrontal dorsolateral

adalah bagian dari sirkuit dengan input dari talamus dan output ke

striatum (inti otak depan basal). Striatum kemudian memproyeksikan ke

globus pallidus / substantia nigra (struktur otak depan basal lain), yang

memproyeksikan ke thalamus untuk melengkapi sirkuit. Sambungan

paralel tetapi berbeda lainnya ada antara daerah frontal

orbitofrontal/cingulate dan struktur subkorteksnya masing-masing.

Dalam pengertian yang sangat umum, frontal: subkortikal: sirkuit frontal

dapat dianggap sebagai "filter" yang berfungsi untuk memodulasi output

dari korteks frontal ke daerah otak yang terlibat dalam kontrol motorik

perilaku. Lesi subkortikal kecil yang mempengaruhi salah satu dari

sirkuit ini dapat meniru lesi kortikal yang besar.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Gambar 2.1. Neurosirkuit Kognitif (Ezequil, 2016)

3. Kognitif pada Skizofrenia

a. Karateristik Disfungsi Kognitif pada Skizofrenia

Sejak awal skizofrenia meruapakan sebuah gangguan yang memiliki

hubungan dengan kognitif. Pada awalnya, deskripsi paling awal

mengenai skizofrenia yang dikemukakan oleh Kraeplin sebagai

"dementia precox", telah menegaskan mengenai defisit kognitif sebagai

komponen inti dari skizofrenia. Gejala kognitif pada skizofrenia

dianggap sebagai gejala utama skizofrenia, yang menyebabkan persepsi

bahwa skizofrenia mungkin seperti demensia dengan onset yang

prematur; oleh karena itu, Benedict Morel dan Emil Kraepelin mengakui

gangguan ini sebagai "demence precoce" atau "dementia praecox".

Namun dalam perkembangan selanjutnya (pada bagian awal abad ke-19),


commit to user
persepsi ini kemudian ditolak dan skizofrenia disajikan sebagai gangguan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

mental yang berbeda, selain itu juga memiliki patofisiologi dan

psikopatologi yang cukup berbeda. Sehingga kemudian disimpulkan

bahwa gejala kognitif yang diamati pada pasien skizofrenia dianggap

sebagai sebuah gejala sekunder yang diakibatkan oleh atau sebagai

dampak dari gejala positif atau negative (Tripathi et al., 2018).

Telah banyak penelitian yang dilakukan baru-baru ini mengungkap

bahwa gangguan kognitif merupakan karakter inti dari skizofrenia.

Penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan bahwa gangguan kognitif

ditemukan pada sebagian besar pasien dengan skizofrenia. Sangat

penting untuk dicatat bahwa gangguan kognitif merupakan dimensi yang

berbeda dengan gejala psikotik. Gangguan kognitif merupakan point

penting yang menentukan berbagai outcome yang sifatnya fungsional

pada orang dengan skizofrenia, misalnya, memori verbal dikaitkan

dengan semua jenis hasil fungsional yang diperiksa (Kaneko, 2018).

Disfungsi dalam memori kerja, perhatian, kecepatan pemrosesan,

pembelajaran visual dan verbal dengan defisit substansial dalam

penalaran, perencanaan, pemikiran abstrak dan pemecahan masalah telah

banyak didokumentasikan dalam skizofrenia. Menurut beberapa

perkiraan, hampir 98% pasien yang menderita skizofrenia memiliki

gangguan seperti itu dan mereka diprediksi mengalami kemunduran

fungsi kognitif, setelah sebelumnya dibandingkan dengan kecerdasan

pada periode premorbid dan tingkat pendidikan orang tua. Penelitian

retrospektif skala besar menunjukkan defisit kognitif menjadi salah satu


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

tanda pertama pada individu yang memiliki resiko tinggi dan ke

depannya didiagnosis dengan skizofrenia. Defisit kognitif, oleh karena

itu menjadi sebuah penanda atau marker khusus pada skizofrenia.

Selanjutnya, bukti gangguan kognitif baik pada fase prodromal maupun

sepanjang perjalanan penyakit skizofrenia membenarkan tentang

dimasukkannya penurunan kognitif sebagai elemen inti dari penyakit ini.

Korelasi yang signifikan ditunjukkan antara hasil fungsional dari defisit

dengan pekerjaan, kehidupan mandiri, kognisi dan fungsi sosial dan

komunitas (Tripathi et al., 2018).

Alasan yang menyebabkan kognitif dalam skizofrenia diberi

perhatian khusus sebagai domain yang berbeda dari gejala lainnya

adalah, karena pola karakteristik dari gejala kognitif di skizofrenia. Ada

dua alasan utama yang mendorong gangguan kognitif dipandang sebagai

karakteristik atau fitur inti dari skizofrenia. Yang pertama berpusat pada

fakta bahwa banyak penelitian menemukan bahwa defisit kognitif ada

sebelum munculnya kejadian psikosis dan karenanya dapat dijadikan

sebagai tolak ukur dalam memprediksi terjadinya skizofrenia dalam

kelompok orang dengan risiko tinggi. Alasan kedua adalah defisit

kognitif tetap bertahan selama periode remisi gejala dan relatif stabil di

seluruh waktu pada pasien skizofrenia (Nuechterlein et al., 2014).

b. Patofisiologi Disfungsi Kognitif pada Skizofrenia

Skizofrenia diyakini sebagai gangguan abnormal perkembangan

saraf. Dalam skizofrenia, pencitraan secara anatomi telah menyoroti grey


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

matter, white matter, dan seluruh brain matter bersama dengan adanya

peningkatan volume ventrikel. Skizofrenia kronis hadir dengan

pengurangan volume yang lebih luas di korteks, khususnya di korteks

prefrontal medial dan kiri dorsolateral, serta di girus temporal superior

kiri. Data pencitraan lebih lanjut telah berkorelasi otak skizofrenia

dengan volume yang menurun di hippocampus, thalamus dan daerah

amygdala kiri, seperti bersama dengan insula bilateral dan anterior

cingulata cortex. Terdapat hubungan yang inheren antara kelainan

struktural makroskopis yang ditemukan pada otak pasien skizofrenia dan

mikrokircuit neuronal pada domain tertentu (Jacob et al., 2013).

Dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) telah diidentifikasi sebagai

sebuah area yang mungkin mengalami perubahan pada skizofrenia.

DLPFC telah terbukti memiliki peran yang penting terhadap memori

verbal, memori kerja,fungsi eksekutif, konsentrasi, atensiserta proses-

proses yang mengalami gangguan dalam skizofrenia. Berbagai perubahan

telah dicatat dalam DLPFC pasien skizofrenia, termasuk perubahan

dalam kepadatan sel secara keseluruhan, dalam jumlah reseptor spesifik,

perubahan ekspresi gen, serta perubahan yang ditemukan menggunakan

fMRI selama tugas-tugas tertentu (Guillozet-Bongaarts et al., 2014).

Skizofrenia ditandai dengan disosiasi atau disorganisasi proses

berpikir dan defisit dalam fungsi perencanaan dan perhatian. Gejala

positif seperti delusi dan halusinasi dan gejala negatif termasuk flattening

affect dan anhedonia adalah aspek penting dari simtomatologi.


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

Skizofrenia telah dikaitkan dengan disfungsi lobus frontal serta regulasi

abnormal sistem DA subkortikal. Studi pencitraan fungsional pada pasien

dengan skizofrenia, menunjukkan penurunan aliran darah serebral di

korteks prefrontal dorsolateral selama berbagai tugas kognitif.

Penggunaan dari glukosa lobus frontal juga menurun pada pasien

skizofrenia dengan gejala negatif yang menonjol. Dorsolateral dan

hipofusi frontal medial telah ditunjukkan pada pasien Alzheimer dan

pasien yang mengalami gangguan psikosis berupa delusi. Hal ini

diperlihatkan melalui perubahan neuroanatomical, postmortem dan studi

pencitraan struktural yang mengungkapkan penurunan volume kortikal

pada pasien dengan skizofrenia.

Adanya disfungsi neuroplastisitas juga mempengaruhi kepadatan sel

di daerah interneuron. Populasi interneuron terpengaruh secara negatif

pada otak penderita skizofrenia. Pada otak normal, neuron piramidal dari

prefrontal cortex merupakan sumber utama neurotransmisi yang mana

pada orang dengan skizofrenia, jumlah dan ukuran dari sel-sel tersebut

berkurang. Jika pada otak normal, spinal dendritik dan axon terminal,

tersebar secara merata di ruang interneuron, namun pada pasien

skizofrenia, jumlah dari kedua struktur tersebut berkurang, yang

dibuktikan dengan memadatnya sel-sel piramidal pada area tertentu di

otak. Interneuron di korteks prefrontal yang mengandung parvalbumin

menunjukkan tanda-tanda yang konsisten mengurangi transmisi saraf

GABAergic (Kaskie et al., 2018).


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

Marker neurokimia di korteks prefrontal dorsolateral dan daerah

hippocampal menurun pada pasien skizofrenia, menunjukkan disfungsi

sirkuit limbik frontal. Karena korteks mengatur fungsi dopaminergik

kortikal dan subkortikal, telah disarankan bahwa hipofrontalitas pada

skizofrenia dapat menyebabkan hiperaktivitas sistem dopaminergik

subkortikal. Untuk mendukung hipotesis ini, para peneliti menunjukkan

bahwa lesi di korteks prefrontal meningkatkan responsivitas sistem

dopaminergik subkortikal terhadap stressor dan stres farmakologis.

Demikian pula, augmentasi transmisi dopaminergik di korteks frontal,

menekan pergantian dan pelepasan dopamin subkortikal.

Selain itu, hipofungsi reseptor NMDA yang menjadi tumpuan pada

proses inhibitori GABAergic pada daerah interneuron akan menimbulkan

pengurangan tonus inhibitor GABAergic. Defisit pada neurotransmisi

NMDAR menentukan penurunan aktivitas interneuron GABAergic dan

konsekuensi disinhibition sel piramidal, sehingga mengurangi sintesis

dan pelepasan GABA (Kaskie et al., 2018). Dalam jangka panjang,

neuron target ini dapat mengalami disregulasi yang disebabkan oleh

peningkatan neurotransmisi ionotropic glutamatergic AMPA (a-amino-3-

hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionoc acid), kainite, dan reseptor

kolinergik. Pada akhirnya akan terjadi dengan kerusakan sel-sel neuron

dan kondisi hipoglutamatergik. Dengan demikian, hipofungsi reseptor

NMDA dan defisit dari GABAergic di daerah interneuron dapat

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

menyebabkan terganggunya sirkuit kognitif pada tingkat molekuler dan

seluler (Dauverman et al., 2014).

Nucleus accumbens, yang menerima masukan rangsang dari

beberapa korteks frontal dan struktur limbik, juga dianggap disfungsional

pada pasien dengan skizofrenia. Nucleus accumbens terlibat baik dalam

neurotransmission glutamatergic dan dopaminergic. Daerah cangkang

nucleus accumbens adalah lokus penting untuk efek terapeutik obat

antipsikotik. Fungsi saraf di daerah ini diubah oleh penggunaan agen

antipsikotik berulang. Defisit penyaringan sensorik pada pasien dengan

skizofrenia menunjukkan keterlibatan ventral pallidum dan thalamus

dalam patogenesis penyakit (Dauverman et al., 2014).

c. Dampak Gangguan Kognitif pada Orang dengan Skizofrenia

Dalam beberapa tahun terakhir, gangguan kognitif dalam

skizofrenia telah dikonseptualisasikan sebagai defisit dalam fungsi

kontrol terhadap kognitif yang sifatnya proaktif. Adanya disfungsi

kognitif pada skizofrenia dapat menyebabkan hambatan atau gangguan

pada kemampuan yang secara aktif dan mandiri dilakukan untuk

mempertahankan tujuan dalam memandu perilaku yang sedang

berlangsung. Kesulitan mempertahankan hubungan kerja dan sosial,

hidup mandiri dan memperoleh keterampilan atau skill menjadi pencetus

terbentuknya disabilitas yang dialami oleh orang-orang dengan

skizofrenia, serta gangguan afektif. Korelasi yang signifikan ditunjukkan

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

antara hasil fungsional dari defisit dengan pekerjaan, kehidupan mandiri,

kognisi dan fungsi sosial dan komunitas (Tripathi et al., 2018).

Dalam sebuah penelitian ditemukan hasil bahwa keparahan

skizofrenia dan gangguan dalam domain kognitif tertentu dikaitkan

dengan penurunan fungsi yang terdapat di dalam Instrumental Activities

of Daily Living (IADL) berupa: hambatan dalam mencapai tempat-

tempat yang dapat dicapai dengan berjalan kaki‟; „ kesulitan untuk pergi

berbelanja bahan makanan‟; 'hambatan dalam menyiapkan makanan

sendiri'; ' tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah'; „Tidak mampu

melakukan pekerjaan tangan‟; „ Tidak mampu mencuci pakaian‟;

'Kesulitan dalam mengatur perilaku minum obat sesuai aturan' dan

'ketidak mampuan dalam mengelola uang'. Mereka juga menemukan

bahwa skor abnormal dalam fungsi kognitif inisiasi adalah gangguan

kognitif yang mempengaruhi sebagian besar IADL, dan terutama

mengganggu kemampuan berbelanja makanan, menyiapkan makanan,

minum obat dan mengelola uang. Penjelasan potensial mungkin bahwa

IADL ini memerlukan perencanaan, organisasi, dan inisiatif; fungsi yang

dikompromikan pada individu dengan disfungsi kognitif dan kondisi

kesehatan mental (Tripathi et al., 2018).

Kesulitan sosial dan pekerjaan secara luas diakui sebagai fitur inti

skizofrenia yang mempengaruhi interaksi sosial, keterampilan fungsi

vokasional, rekreasi dan kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) termasuk

perawatan diri. Kinerja yang buruk pada tugas-tugas neurokognitif telah


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

diamati terkait dengan kinerja yang buruk pada ukuran fungsi

masyarakat, akuisisi keterampilan psikososial, dan pemecahan masalah

sosial (Mohamed et al., 2008). Defisit kognitif dapat memicu gejala

psikotik dan negatif dan menentukan karakteristik gangguan fungsional

individu yang mengalami gangguan tersebut (Tripathi et al., 2018).

4. Disfungsi Atensi dan Fungsi Eksekutif pada Skizofrenia

a. Disfungsi Atensi pada Skizofrenia

Perhatian dapat dipahami sebagai kondisi kesadaran selektif yang

mengatur jangkauan dan kualitas interaksi seseorang dengan lingkungan

seseorang. Perhatian mengacu pada pemrosesan atau pemilihan beberapa

informasi dengan mengorbankan informasi lain (Fougnie, 2008).

Perhatian adalah kesadaran di sini dan sekarang dengan cara yang fokal

dan perseptif. Perhatian menentukan isi kesadaran dan mempengaruhi

kualitas pengalaman sadar. Perhatian adalah pola aktivasi yang menyebar

di antara korteks yang berbeda selama kinerja tugas-tugas motorik

sensori dan nyata seperti mengendarai mobil

Banyak penelitian yang menemukan gangguan mempertahankan

perhatian tidak hanya pada pasien skizofrenia, namun juga pada keluarga

dari pasien skizofrenia, dan pada individu yang berisiko tinggi menderita

skizofrenia. Dalam deskripsi awal mengenai skizofrenia, gangguan atensi

telah diakui sebagai aspek mendasar dari skizofrenia jauh sebelum

munculnya pengujian neuropsikologis formal atau psikologi


commit to user
eksperimental modern (Bhattacharya,2015).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Dari berbagai penelitian, diperoleh hasil bahwa atensi terbagi atas

tiga fungsi utama alerting, orienting, dan selecting atau executive

control. Alerting didefinisikan sebagai proses untuk mencapai dan

mempertahankan suatu kondisi yang membutuhkan sensitivitas tinggi

terhadap rangsangan yang masuk. Orienting adalah proses pemilihan

informasi dari stimulus indrawi. Selecting atau executive control adalah

mekanisme untuk memantau dan menyelesaikan konflik di antara

pikiran, perasaan, dan tanggapan. Bidang selecting atau executive

control, merupakan bagian yang terkena dampak langsung dari

skizofrenia. Executive control merupakan sebuah sistem metakognitif

dengan proses pengaturan berada pada level yang lebih tinggi lagi dan

terkait dengan kesan subyektif dari usaha mental. Bentuk pengawasan

atau perhatian dari fungsi executive control ini terdiri dari mekanisme

untuk memantau dan menyelesaikan konflik di antara pikiran, perasaan,

dan tanggapan. Oleh karena itu, sistem perhatian ini berkaitan dengan

tugas-tugas seperti memori kerja, perencanaan, pengalihan, dan kontrol

penghambatan (Fuster,2002).

Disebabkan pada area frontalis dari pasien skizofrenia kurang

mampu mengimplementasikan serangkaian tujuan yang diinstruksikan,

maka dapat disimpulkan bahwa area frontal orbital merupakan sebuah

petunjuk penting bagi executive control ini. Penting untuk diingat bahwa

gangguan atensi dapat mengganggu banyak fungsi kognitif lainnya.

Seseorang dapat berasumsi bahwa atensi yang buruk akan mencegah


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

banyak jenis informasi diproses secara tepat. Namun, studi korelasional

secara umum menunjukkan bahwa disfungsi atensi menjelaskan hanya

sebagian kecil dari varians dalam fungsi kognitif lainnya di skizofrenia

(Bhattacharya, 2015).

Tes umum digunakan untuk menilai atensi secara selektif berupa

Stroop color-word task, di mana kata (mis., Merah) dapat dicetak dalam

warna tidak selaras (mis., Hijau). Tergantung pada instruksi, tugasnya

adalah menyebutkan kata yang sebenarnya atau menamai warna tinta di

mana kata tersebut ditulis. Tes ini membutuhkan subjek untuk fokus

secara selektif pada satu dimensi stimulus dan mengabaikan atau

menghambat kecenderungan respons yang tidak sesuai konteks. Individu

yang normal akan mengalami perlambatan ketika mereka harus

menyebutkan warna tinta yang tidak sesuai dengan kata karena mereka

harus menghambat kecenderungan mereka untuk terlalu banyak

membaca kata. Pasien skizofrenia mungkin memiliki masalah diferensial

pada tugas ini terkait dengan waktu reaksi atau akurasi, sebuah temuan

yang telah disimpulkan menunjukkan hasil bahwa orang yang menderita

skizofrenia memiliki kesulitan yang tidak proporsional dalam

menghambat kecenderungan belajar (membaca kata), dan mungkin

rentan terhadap kegagalan dalam kondisi konflik kognitif. lebih umum,

karena mereka tidak dapat menggunakan informasi kontekstual dengan

tepat (Fuller et al., 2006).

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

Menggunakan continous performance test (CPT), yang diujikan pada

pasien skizofrenia, gangguan bipolar dengan dan tanpa psikotik, dan

depresi berat tanpa ciri psikotik. Pasien skizofrenia menunjukkan

gangguan yang paling berat, diikuti oleh pasien bipolar tanpa psikotik

dan pasien bipolar dengan psikotik. Pasien depresi non psikotik dan

pasien bipolar dengan remisi menunjukkan fungsi yang normal. Data ini

menunjukkan bahwa gangguan mempertahankan perhatian yang diukur

dengan CPT merupakan penanda ciri yang stabil (stable trait markers)

dan bersifat tergantung status penyakit pada pasien bipolar. Penelitian ini

penting karena menunjukkan spesifitas mempertahankan perhatian dalam

membedakan skizofrenia dari gangguan psikotik lain. Kinerja tugas CPT

juga berhubungan dengan kemampuan pasien skizofrenia dalam

mempelajari prinsip penyortiran yang benar dengan Wisconsin Card

Sorting Test (WCST), menunjukkan bahwa proses kognitif dasar

berpengaruh terhadap fungsi kognitif yang lebih tinggi. Oleh karena

spesifitas yang besar pada gangguan mempertahankan perhatian, dan

hubungannya dengan kemampuan kognitif yang penting, aspek kognitif

ini merupakan target intervensi yang penting di masa mendatang

(Bhattacharya, 2015).

Disfungsi atensi pada skizofrenia telah diduga memiliki kaitan

dengan berbagai kelainan struktural pada berbagai area di otak, termasuk

hipokampus, ACC, amygdala, dan insular cortex. Kelainan pada berbagai

area di otak ini terutama mempengaruhi perhatian aktif yang aktif


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

sementara dalam perhatian pasif mengakibatkan adanya gangguan dalam

hal penentuan proses sensorimotor (Barnes et al., 2014).

b. Disfungsi Fungsi Eksekutif pada Skizofrenia

Fungsi eksekutif adalah istilah umum untuk proses kognitif seperti

perencanaan, memori kerja, perhatian, pemecahan masalah, penalaran

verbal, penghambatan, fleksibilitas mental, multi-tasking, dan inisiasi dan

pemantauan tindakan. Sistem eksekutif adalah sistem kognitif berteori

dalam psikologi yang mengontrol dan mengelola proses kognitif lainnya.

Bertanggung jawab untuk proses yang kadang-kadang disebut sebagai

fungsi eksekutif, keterampilan eksekutif, sistem atensi pengawasan, atau

kontrol kognitif.

Fungsi eksekutif merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menunjukkan sekelompok fungsi kognitif lebih tinggi pada korteks

prefrontal. Penjelasan lebih baru mengenai fungsi eksekutif memasukkan

beberapa kegiatan pada tingkatan yang lebih rendah, dan menyebutkan

bahwa tidak semua proses dari fungsi eksekutif secara unik ditopang oleh

korteks frontal. Secara khusus, beberapa proses eksekutif dapat ditopang

oleh distribusi jaringan kortikal, bukan oleh wilayah frontal tertentu yang

mungkin atau mungkin tidak terkait dengan lobus frontalis

(Bhattacharya, 2015).

Fungsi eksekutif mengacu pada volition, planning, purposive action,

dan self-monitoring of behavior. Ini menggambarkan berbagai macam

proses kognitif tingkat tinggi yang memungkinkan modifikasi fleksibel


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

pemikiran dan perilaku dalam menanggapi perubahan konteks kognitif

atau lingkungan. Pasien skizofrenia menunjukkan defisit fungsi eksekutif

dan defisit ini dikaitkan dengan gejala refrakter pengobatan seperti gejala

negatif, dan hasil fungsional atau outcome yang buruk. Disfungsi pada

fungsi eksekutif mungkin berkontribusi pada gangguan dalam memori

dan atensi (Kerns et al., 2009).

Fungsi eksekutif meliputi sejumlah kemampuan yakni kemampuan

memulai, merencanakan, mengurutkan, kemampuan berpikir abstrak,

menyusun strategi pemecahan masalah, dan kemampuan berpindah

secara fleksibel dari satu fungsi kognitif ke fungsi yang lain. Fungsi

eksekutif banyak disokong oleh korteks frontalis, juga berhubungan

dengan bagian otak lain yang memiliki hubungan erat dengan korteks

frontalis, misalnya kompleks temporal limbik. Pasien skizofrenia

diketahui kehilangan daya berpikir abstrak dan menunjukkan pemikiran

kongkret (Hoff et al., 2003).

Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam menyusun rencana,

memulai rencana, dan memperbaiki kesalahan jika rencana tersebut telah

dilakukan (yakni menggunakan umpan balik secara efisien). Selain itu

pasien kadang mengalami kesulitan jika perilaku mereka diinterupsi.

Mereka lupa apa yang sebelumnya sedang mereka lakukan, sekalipun

hanya tertunda sebentar. Perilaku tersebut dapat ditunjukkan dengan test

formal. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pasien skizofrenia

mengalami defisit pada tugas WCST, yakni berpindah dari satu domain
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

kognitif ke domain yang lain, berespon terhadap umpan balik, dan

abstraksi. Pasien mengalami kesulitan dalam konsep abstraksi dan

memberikan respon yang benar. Terdapat bukti bahwa WCST

berhubungan erat dengan pemeriksaan lain yang melibatkan sistem

memori kerja. Memori kerja secara teoritis melibatkan penyimpanan dan

pemrosesan informasi secara simultan, sementara komponen eksekutif

sentral membagi, menyediakan, atau menyebarkan domain kognitif lain

untuk membantu mengerjakan tugas komputasional atau yang melibatkan

penyimpanan memori jangka pendek (Goldberg et al., 2000).

Bersama dengan atensi dan memori, fungsi eksekutif (yang termasuk

fleksibilitas kognitif, pemikiran abstrak, kemampuan untuk

merencanakan ke depan dan membuat keputusan, dan pemilihan

rangsangan yang relevan) adalah salah satu bidang kognitif utama yang

terganggu pada pasien skizofrenia bila dibandingkan dengan kontrol

yang sehat. Ini termasuk pasien yang menderita episode psikotik pertama

dan mereka yang menolak menggunakan antipsikotik; bahkan kerabat

sehat pasien skizofrenia telah ditemukan memiliki gangguan fungsi

eksekutif bila dibandingkan dengan subjek kontrol. Pentingnya fungsi

eksekutif juga telah dicatat dalam penelitian terbaru yang telah menyoroti

relevansi mereka mengenai hasil fungsional dan menyarankan

penggunaan potensial mereka sebagai kriteria diagnostik untuk

skizofrenia (Bagney et al., 2012).

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

5. Penilaian fungsi kognitif Digit Symbol Substitution Test (DSST)

Digit Symbol Substitution Test (DSST) mungkin tes yang paling umum

digunakan di semua permasalahan neuropsikologi, karena beberapa sifat yang

melekat pada tes ini, berupa keringkasan, kehandalan, dan minimalnya

halangan dalam hal bahasa, budaya, dan pendidikan pada kinerja tes. DSST

pada awalnya dikembangkan sebagai sebuah instrumen eksperimental yang

bertujuan untuk meneliti tentang proses pembelajaran asosiatif pada manusia

(Jaeger, 2018). DSST adalah sebuah tes menggunakan pensil dan kertas

dalam kaitannya dengan kinerja psikomotor di mana pasien akan diberikan

kisi-kisi kunci angka dan simbol kemudian diminta untuk mencocokkanya

pada angka dan kotak kosong di kertas yang tersedia. Tes ini meminta untuk

pasien atau subjek mengisi sebanyak mungkin kotak kosong dengan simbol

yang cocok dengan setiap angka. Skor yang dinilai adalah jumlah pencocokan

simbol angka yang benar dalam setiap sesi yang dicapai dalam 90 detik

dengan tingkat kecocokan simbol 35 sampai dengan 55. (Rosano et al.,

2016).

DSST digunakan untuk mengukur berbagai operasi kerja dari kognitif.

Kinerja tes yang baik pada DSST membutuhkan fungsi yang baik pada

domain tertentu, yaitu kecepatan motorik, perhatian, fungsi visuoperceptual,

dan fungsi yang terkait dengan menulis atau menggambar (yaitu ketangkasan

manual dasar). Kinerja pada DSST juga dapat dipengaruhi oleh pembelajaran

asosiatif: Jika proses mencocokkan dipelajari dengan cepat setelah beberapa

percobaan pertama, kecepatan kinerja akan meningkat karena pasien tidak


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

perlu memeriksa keakuratan pada setiap fase tes. Keputusan untuk secara

sadar terlibat dalam strategi pembelajaran ini untuk meningkatkan kecepatan

kinerja dalam proses dari fungsi eksekutif berupa perencanaan dan menyusun

strategi. Memori kerja, fungsi eksekutif lain, mungkin diperlukan untuk

mengingat aturan-aturan tugas dan untuk pembaruan berkelanjutan dari

pasangan simbol-digit yang diperlukan. Pada sebagian besar populasi, kinerja

pada DSST memiliki korelasi yang baik dengan kinerja kognitif secara

keseluruhan (Jaeger et al., 2006).

DSST adalah sebuah pengukuran dari "Complex Attention", namun jika

membandingkan dengan berbagai literatur yang mempelajari kognitif dan

proses penuaan, diperlihatkan adanya pengaruh yang kuat dari kecepatan

motor pada kinerja dalam menjalankan tes ini. Sebuah penelitian

memperlihatkan kemungkinan mengenai kontribusi fungsi eksekutif terhadap

kinerja pada saat menjalankan DSST. Peneliti dalam penelitian tersebut

menggunakan tes Simbol Digit untuk menguji hubungan antara variabel

kuantitatif electroencephalography (QEEG) dan kinerja kognitif. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa kinerja tes dikaitkan dengan indeks QEEG,

termasuk kekuatan relatif dan koherensi pada beberapa pita frekuensi,

khususnya di wilayah frontal otak. Korelasi indeks QEEG yang spesifik

dengan aktivasi di lobus frontal mendukung teori bahwa fungsi eksekutif

berperan dalam kinerja DSST (Thornton et al., 2012).

Paradigma dalam coding simbol yang sebanding dengan DSST (dengan

simbol yang berbeda) dimasukkan sebagai bagian dari tes dalam Brief
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Assessment of Cognition in Schizophrenia dan Repeatable Battery for the

Assessment of Neuropsychological Status. Dalam sebuah penelitian

menggunakan DSST pada skizofrenia, ditemukan adanya 3 domain kognitif

utama yang bisa dinilai menggunakan tes ini yaitu, kecepatan pemrosesan,

atensi dan memori kerja, dan fungsi eksekutif. Setelah dilakukaan

perbandingan melalui analisis faktor dari MATRICS Consensus Cognitive

Battery dan BAC, DSST berkorelasi dengan masing-masing faktor pada nilai

r melebihi 0,80 (Jaeger, 2018).

6. Neurofeedback

a. Definisi

Neurofeedback adalah sebuah metode pelatihan gelombang otak

menggunakan biofeedback (Hammond, 2011). Jika dijabarkan maka

dapat dijelaskan bahwa neurofeedback adalah sebuah teknik yang

mengukur sinyal EEG pada subjek, memprosesnya dalam waktu yang

bersamaan, kemudian melakukan ekstraksi sesuai dengan parameter dan

kemudian menyajikan informasi tersebut dalam bentuk visual atau

auditorik (Micolaud Franchi et al., 2010). Dapat disimpulkan bahwa

neurofeedback merupakan pengembangan dari biofeedback, yang

mengajarkan tentang pengendalian oleh diri sendiri terhadap fungsi otak

kepada subjek dengan melakukan pengukuran gelombang otak dan

menyediakan sinyal umpan balik berupa audio dan atau video, dimana

umpan balik ini dapat bernilai positif atau negatif tergantung dari hasil

kegiatan otak yang diinginkan atau tidak diinginkan (Marzbani et al.,


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

2016). Teknik pelatihan otak menggunakan neurofeedback telah

mengungkapkan efek terapinya untuk mengobati berbagai gangguan

neurologis dan psikologis, dan telah menunjukkan kelayakannya untuk

meningkatkan kemampuan kognitif tertentu pada orang yang sehat

(Escolano et al., 2011).

b. Mekanisme Kerja

Neurofeedback didasarkan pada pengukuran aktivitas otak dan

menghasilkan sinyal yang kemudian diarahkan untuk membantu,

meningkatkan atau memperbaiki fungsi kognitif atau sensorik-motorik.

Dalam neurofeedback, representasi sensoris aktivitas otak diberikan

kembali kepada pengguna secara real-time dengan tujuan membantu

pengaturan diri dari aktivitas otak. Pemantauan aktivitas otak dapat

digunakan untuk memandu penerapan stimulasi otak. Dengan demikian

rangsangan yang sebenarnya tergantung pada keadaan otak tertentu

(Enriquez-Geppert et al., 2017). Dalam neurofeedback, aktifitas yang

terjadi di otak, jika disesuaikan dengan prinsip-prinsip pada teori belajar,

merupakan hal yang dapat dimodifikasi. Dengan memodifikasi stimulasi

yang diberikan kepada otak, maka modulasi aktifitas otak juga akan

berubah. Modifikasi stimulasi dilakukan melalui pengkondisian subjek,

berupa sebuah mekanisme operant learning. Melalui konsep

pengendalian stimulus ini nantinya subjek menjadi mampu meningkatkan

keadaan atau perilaku yang diinginkan dan mengurangi yang tidak

diinginkan (Micolaud-franchi et al., 2015).


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

Mekanisme kerja neurofeedback terletak pada modifikasi dari

gelombang otak yang berasal dari gambaran EEG (Hammond, 2011).

Seperti yang diketahui bahwa saat neuron-neuron di otak beraktifitas,

maka akan dihasilkan electronic pulse (pulsa elektrik/listrik). Pulsa listrik

ini merupakan hasil aktifitas sinkronisasi dari sel-sel neuronal khusus

yang ada di otak yang disebut dengan sel piramid. Pulsa atau hantaran

listrik ini kemudian dapat dinilai atau direkam menggunakan elektroda

pada kulit kepala, hasil perekaman ini disebut dengan EEG. EEG pada

otak dihasilkan setelah adanya aktifitas neuron yang sinkron oleh sel

piramidal. Berbagai pola aktivitas listrik, yang dikenal sebagai

gelombang otak, dapat dikenali dari amplitudo dan frekuensinya.

Frekuensi menunjukkan seberapa cepat gelombang berosilasi yang

diukur oleh jumlah gelombang per detik (Hz), sedangkan amplitudo

mewakili kekuatan dari gelombang ini yang diukur oleh microvolt (μV)

(Marzbani et al., 2016).

c. Gelombang Otak

Gelombang otak adalah sinyal listrik yang muncul ketika otak

bertukar informasi, dan memiliki informasi penting tentang aktivitas

otak, menunjukkan perubahan spesifik sesuai dengan status mental dan

aktivitas (Kim et al., 2014). Telah diukur dan ditetapkan berbagai pita

frekuensi yang berbeda didasarkan dari perekaman EEG terhadap

aktifitas gelombang otak. Komponen frekuensi yang berbeda

dikategorikan ke dalam delta (kurang dari 4 Hz), theta (4-8 Hz), alfa (8-
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

13 Hz), beta (13-30 Hz), dan gamma (30-100 Hz) di mana masing-

masing mewakili fungsi fisiologis tertentu.

Gelombang otak gamma adalah aktivitas EEG yang sangat cepat di

atas 30 Hz. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan pada frekuensi

ini, kita tahu bahwa beberapa kegiatan ini terkait dengan perhatian yang

sangat terfokus dan dalam membantu otak untuk memproses dan

mengikat bersama informasi dari berbagai area otak. Gelombang beta

adalah gelombang otak yang kecil dan relatif cepat (di atas 13-30 Hz)

diduga memiliki hubungan dengan keadaan mental, aktivitas intelektual

dan konsentrasi. Gelombang otak alpha (8–12 Hz) lebih lambat dan lebih

besar. Mereka umumnya dikaitkan dengan keadaan relaksasi. Aktivitas

theta (4-8 Hz) umumnya mewakili keadaan pikiran yang lebih seperti

mimpi, agak lalai yang dikaitkan dengan inefisiensi mental. Gelombang

otak delta (0,5 - 3,5 Hz) adalah gelombang otak yang sangat lambat,

beramplitudo tinggi (magnitude) dan adalah apa yang kita alami dalam

tidur yang dalam dan memulihkan. Secara umum, tingkat kesadaran yang

berbeda terkait dengan keadaan gelombang otak yang dominan

(Hammond, 2011).

d. Efikasi dan Kegunaan Klinis

Neurofeedback dikembangkan awalnya di Amerika Serikat pada

1960-an dan 1970-an tetapi sekarang sedang dipraktekkan di banyak

negara di seluruh dunia. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa

perbaikan yang signifikan terjadi pada 75% hingga 80% kasus.


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

Meningkatkan fungsi otak dalam berbagai kondisi seperti attention

deficit hyperactivity disorder (ADHD), ketidakmampuan belajar,

kecemasan, depresi, cedera kepala, insomnia, autisme, dan kecanduan

(Hammond, 2011). Neurofeedback juga digunakan dalam populasi

nonklinis dan tampaknya menghasilkan kinerja dan peningkatan kognitif.

Dalam tinjauan sistematis baru-baru ini tentang biofeedback untuk

gangguan psikiatri, 14 dari 20 (70%) termasuk penelitian yang telah

menyelidiki biofeedback EEG melaporkan ameliorasi klinis yang

signifikan secara statistik. Sebagian besar telah mengobati depresi atau

gangguan kecemasan (Schoenberg dan David, 2014). Meskipun hasil ini

umumnya optimis, hanya dalam pengobatan ADD / ADHD bahwa

neurofeedback memenuhi kriteria untuk diklasifikasikan sebagai

pengobatan yang efektif dan spesifik (Gruzelier, 2014).

e. Protokol Terapi neurofeedback

1) Protokol Alfa

Gelombang alfa biasanya berhubungan dengan relaksasi yang

disadari. Suasana yang muncul pada aktifasi gelombang alpha

digambarkan sebagai situasi yang tenang dan menyenangkan. Semua

frekuensi alpha merupakan gambaran mengenai aktivitas kreatif dari

otak, sehingga digunakan dalam proses relaksasi (melemaskan otot-

otot), yang akhirnya mengarah pada tidur. Bukti menunjukkan

bahwa gelombang alfa meningkat selama meditasi. Penggunaan

protokol alfa biasanya digunakan sebagai terapi untuk memperbaiki


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

nyeri (dengan simulasi 9 Hz), mengurangi stres dan kecemasan

(dengan simulasi 10 dan 30 Hz), peningkatan memori, meningkatkan

kinerja mental, dan perbaikan aktifitas otak yang disebabkan cedera

otak (oleh 10.2 Simulasi Hz). Rentang gelombang frekuensi yang

paling umum digunakan dalam terapi dengan protokol alfa adalah

rentang frekuensi 7-10 Hz, yang digunakan untuk meditasi, tidur,

mengurangi stres dan kecemasan. Juga frekuensi 10 Hz

menyebabkan relaksasi otot dalam, pengurangan nyeri, mengatur

laju pernapasan, dan penurunan denyut jantung (Dempster, 2012;

Vernon, 2005).

2) Protokol Beta

Aktivitas beta adalah indikator yang baik untuk kinerja mental

dan aktivitas beta yang tidak sesuai mewakili gangguan mental dan

fisik seperti depresi, ADHD, dan insomnia (Egner et al., 2004).

Gelombang otak beta dikaitkan dengan ketepatan sadar, fokus yang

kuat, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Obat-obatan

yang digunakan untuk merangsang kewaspadaan dan konsentrasi

seperti Ritalin dan Adderall juga menyebabkan otak memproduksi

gelombang otak beta. Pelatihan beta digunakan untuk meningkatkan

fokus dan perhatian (simulasi peningkatan beta 12-14 Hz),

meningkatkan kemampuan membaca (simulasi 7-9 Hz), dan

memperkenalkan perubahan positif dalam kinerja sekolah. Ini juga

meningkatkan kinerja komputasi, proses kognitif, pengurangan


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

kekhawatiran, over-thinking, gangguan obsesif kompulsif (OCD),

alkoholisme, dan insomnia (simulasi 14-22 Hz dan 12-15 Hz).

Sementara itu, jenis neurofeedback ini meningkatkan kinerja kognitif

tidur serta mengurangi kelelahan dan stres (simulasi cahaya dan

suara beta). Gelombang beta dalam kisaran 12-15 Hz (SMR)

mengurangi kecemasan, epilepsi, kemarahan dan stres (Egner et al.,

2004; Vernon, 2005).

3) Protokol Alfa/Theta

Alpha / theta adalah indikator antara kesadaran dan tidur.

Pelatihan Alpha / theta adalah salah satu pelatihan neurofeedback

paling populer untuk pengurangan stres (Gruzelier, 2014; Raymond

et al., 2005). Juga, perawatan ini digunakan untuk tingkat depresi,

kecanduan, kecemasan yang mendalam sementara itu meningkatkan

kreativitas, relaksasi, kinerja musik, dan mempromosikan

penyembuhan dari reaksi trauma. Elektroda biasanya terletak di O1,

O2, CZ dan PZ. Rentang frekuensi alfa / theta adalah 7-8,5 Hz

dengan nilai khas 7,8 Hz. Perawatan ini dilakukan di bawah kondisi

mata tertutup yang meningkatkan rasio theta ke gelombang alfa

menggunakan umpan balik pendengaran (Egner et al., 2003).

4) Protokol Delta

Gelombang Delta adalah gelombang otak paling lambat, yang

terkait dengan tahap 3 dan 4 dari tidur (Sürmeli & Ertem, 2007).

Mereka mewakili peningkatan kenyamanan, mengurangi rasa sakit,


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

dan tidur. Dengan demikian, mereka digunakan untuk meringankan

sakit kepala, cedera otak traumatis, gangguan belajar, dan untuk

pengobatan kontraksi otot yang keras dan tajam (dengan simulasi

gelombang delta 1-3 Hz). Mereka juga mengurangi kekhawatiran

dan memperbaiki tidur (Vernon, 2005).

5) Protokol Gamma

Gelombang gamma memiliki frekuensi tertinggi, dan mereka

terkait dengan proses kognitif dan memori (Staufenbiel, Brouwer,

Keizer, & Van Wouwe, 2014). Jadi, ketika gelombang ini lebih

cepat, kecepatan mengingat memori lebih cepat. Gelombang gamma

adalah ritme cepat yang bertanggung jawab untuk koneksi saraf otak

dan transfer data ke dunia luar. Mereka terutama diamati di

hippocampus (area otak yang bertanggung jawab untuk mengubah

jangka pendek ke memori jangka panjang). Juga, ritme cepat ini

diamati dalam serangan mendadak seperti kejang dan kejang. Oleh

karena itu, pelatihan gamma digunakan untuk mempromosikan

kognisi, ketajaman mental, aktivitas otak, dan tugas pemecahan

masalah. Ini tidak hanya meningkatkan perhitungan yang buruk,

tetapi juga mengatur otak, meningkatkan kecepatan pemrosesan

informasi, memori jangka pendek, dan mengurangi jumlah serangan

migrain (Vernon, 2005).

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

6) Protokol Theta

Gelombang otak Theta terkait dengan sejumlah aktivitas otak

seperti memori, emosi, kreativitas, tidur, meditasi, dan hipnosis.

Gelombang ini juga dikaitkan dengan fase tidur pertama ketika tidur

ringan dan orang tersebut mudah bangun. Perlakuan Theta

mengurangi kecemasan, depresi, bermimpi hari, distractibility,

gangguan emosional, dan ADHD (Vernon, 2005).

7. Neurofeedback Untuk Gangguan Atensi dan Fungsi Eksekutif pada

Skizofrenia

a. Gelombang Otak pada Gangguan Atensi dan Fungsi Eksekutif dari

Skizofrenia

Berbagai penelitian menemukan adanya abnormalitas EEG yang

berpusat pada area Broadman 46 dan 9 (area dorsolateral prefrontal

cortex), sehingga disimpulkan bahwa gangguan kognitif pada skizofrenia

secara predominan berpusat pada area frontal. Seperti yang telah

disebutkan sebelumnya bahwa berbagai faktor telah mendorong

terjadinya gangguan kognitif pada skizofrenia, termasuk di dalamnya

abnormalitas aktifitas GABA, penurunan jumlah sel-sel piramidal pada

area frontal, dan adanya gangguan neuroplastisitas. Adanya disfungsi ini

dapat membantu menjelaskan mengenai hasil temuan pada EEG yang

memperlihatkan gambaran tidak konsisten dan kadang kontradiktif pada

orang dengan skizofrenia. Dalam berbagai penelitian, perubahan hasil


commit to user
EEG pada pasien skizofrenia saat dibandingkan dengan subyek sehat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

ditemukan di semua segmen spektrum EEG. Abnormalitas dalam EEG

pada banyak area otak dari pasien skizofrenia diperkirakan memiliki

hubungan dengan terganggunya neurosirkuit pada skizofrenia. Adanya

temuan ini menjelaskan bahwa selain disfungsi pada area frontal,

dikaitkan dengan neurosirkuit pada otak, maka dipastikan juga terdapat

disfungsi pada sirkuit yang melibatkan fronto-limbik pada pasien dengan

skizofrenia. Pengamatan ini bisa menjelaskan banyak perubahan qEEG

atas daerah frontal yang ditemukan pada pasien ini dalam penelitian ini.

Studi menggunakan Positron Emission Topografy (PET) pada pasien

dengan skizofrenia menemukan kemungkinan penyebab dari gangguan

pada area frontal, berupa penurunan metabolisme di daerah otak frontal

dan peningkatan metabolisme di basal ganglia. Perubahan volume basalis

basal telah diamati terjadi pada pasien skizofrenia, selain itu ditemukan

adanya. pengurangan aktifitas GABA pada komplek amygdala – anterior

hippocampal di skizofrenia. Dengan demikian, diyakini bahwa disfungsi

pada aktifitas neurotransmitter memiliki keterkaitan dengan disfungsi

pada neurosirkuit dalam kaitannya dengan fungsi kognitif pada

skizofrenian (Begic et al., 2011).

Penurunan aktifitas metabolik pada area frontal menyebabkan

terjadinya perfusi abnormal yang disebut dengan "hypofrontality".

Perubahan yang terjadi dari semua aktivitas EEG di atas daerah frontal

pada pasien dengan skizofrenia kompatibel dengan "hypofrontality".

Selain itu, telah banyak studi yang menggunakan berbagai metode


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

pencitraan otak melaporkan adanya temuan yang sesuai dengan

"hypofrontality" dalam skizofrenia.. Diperkirakan bila perfusi pada area

frontal ditingkatkan maka fungsionalitas DLPFC dapat diperbaiki..

Dengan kata lain, modulasi gelombang otak yang sesuai dapat

memodulasi fungsionalitas DLPFC yang diyakini mendukung kontrol

kognitif, nantinya akan mendukung peningkatan kinerja fungsi kognitif

(Naimijoo et al., 2015).

Abnormalitas pada fungsi eksekutif diketahui berkaitan dengan

adanya gangguan pada fungsi dari sirkuit ACC, hal ini diketahui melalui

penemuan abnormalitas dari gelombang theta yang diproduksi oleh ACC.

Daerah otak prefrontal medial termasuk anterior cingulate cortex (ACC)

telah disepakati menjadi lokus dari produksi gelombang theta. Peran

penting dari berbagai bagian ACC untuk memproduksi theta di daerah

pusat otak juga telah dilaporkan. Terdapat korelasi terbalik yang telah

dipelajari antara aktivasi area ini dengan produksi theta. Kelebihan yang

diamati dari aktivitas theta dalam skizofrenia di satu sisi dan fungsi ACC

yang abnormal dengan kontribusinya terhadap kemampuan kontrol dari

tugas-tugas kognitif menyebabkan adanya konflik pada fungsi kognitif,

di sisi lain, menyebabkan spekulasi bahwa neurofeedback dapat

digunakan dengan bertujuan untuk menghambat kelebihan aktifitas theta

mungkin telah memberikan peningkatan aktivasi area ACC yang diyakini

terlibat dalam mengatur fungsi kognitif. Ini mungkin memuncak ke

kinerja tugas yang lebih baik dalam dirinya sendiri.


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

Beberapa analisis menunjukkan pada anterior cingulate berperan

pada regulasi fungsi kognitif sedangkan pada bagian ventral cingulate

terlibat dalam regulasi emosi. Hal ini sejalan dengan prediksi oleh

Kouijzer (2008) yang menyatakan bahwa kinerja yang lebih baik dari

mekanisme yang membutuhkan eksekutif berasal dari peningkatan

aktivasi Acc dan down-regulation kegiatan theta.

Disfungsi pada sirkuit dorsolateral prefrontal memperlihatkan

adanya gangguan pada pemberian argumentasi dan mental flexibility.

Ditemukan adanya ketidakmampuan untuk mempertahankan dan

mengarahkan atensi dari orang yang memiliki disfungsi pada area

DLPFC yang diperlihatkan selama tes neurofisiologis. Sirkuit prefrontal

dorsolateral berasal dari area Broadmann 9 dan 10 pada permukaan

lateral lobus frontal anterior dan proyek ke area dorsolateral dari nukleus

caudatus. Neuron dari situs ini memproyeksikan ke bagian lateral globus

pallidus internodorsal interna dan substantia rostrolateral nigra pars

reticulata sebagai jalur langsung. Serabut dari proyek basal ganglia ke

bagian parvocellular dari ventral anterior dan mediodorsal thalamus.

Mereka menyatakan bahwa sel piramidal di korteks prefrontal pasien

skizofrenia menerima input penghambatan dari sel paravalbumin neuron

GABAergic. GABA ini sangat penting untuk fungsi kognitif yang tepat.

Gangguan pada GABA ini di korteks prefrontal, menyebabkan gangguan

fungsi kognitif. GABA berasal dari thalamus dan hipokampus, yang telah

disepakati dapat dipelajari menggunakan gelombang beta. Adanya


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

perubahan dalam temuan gelombang beta, menunjukkan gangguan pada

atensi. Menurunnya aktivitas beta pada pasien dengan skizofrenia

termasuk dalam penelitian kami konsisten dengan yang dilaporkan

sebelumnya. Salah satu alasan penurunan aktivitas beta pada pasien

dengan skizofrenia bisa merusak struktur otak yang lebih dalam.

b. Neurofeedback untuk memperbaiki fungsi eksekutif dan atensi

Selama tiga dekade terakhir, penelitian yang dilakukan telah

menunjukkan hasil bahwa prosedur operant conditioning yang dilakukan

pada protokol theta/beta serta SMR dapat memperbaiki focused attention

pada individu dengan gangguan belajar. Berbagai penelitian telah

mengungkapkan bahwa protokol dari neurofeedback secara signifikan

meningkatkan skor pada atensi secara berkelanjutan untuk individu yang

didiagnosis dengan gangguan defisit perhatian dan ADHD. Pada

penelitian yang lebih baru dan berfokus pada orang sehat, dalam

menyelidiki pengaruh pelatihan SMR pada individu yang sehat, peneliti

menemukan bahwa peningkatan aktivitas SMR memiliki hubungan

dengan pengurangan kesalahan dan meningkatkan sensitivitas perseptual

pada 'Test Of Variables Of Attention' (TOVA), serta adanya potensi

dalam meningkatkan atensi terkait dengan sebuah kejadian atau event

yang sedang dialami oleh subjek. Ini mendorong para peneliti untuk

berkesimpulan bahwa protokol SMR termasuk theta/beta pada

neurofeedback dapat meningkatkan kemampuan dalam proses atensi

(Nan et al., 2012).


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

Dalam sebuah penelitian yang melibatkan pasien skizofrenia, pasien

ditugaskan untuk menjalani terapi neurofeedback menggunakan operant

conditioning pada pita frekuensi 10-13 Hz dan 13-15 Hz. Penguat

NeXus-10 portabel dan sistem pencatatan (Mindmedia) digunakan untuk

pelatihan neurofeedback. Elektroda diletakkan pada bidang C4 (referensi

di A1) dan kemudian di FCz (referensi pada A2), sambil dilakukan

protokol theta dan beta. Intervensi pada pita frekuensi 12 atau 13-15Hz

(SMR) pada C4 sambil menghambat theta (4-7Hz, yang secara konsisten

ditambah dalam skizofrenia) adalah protokol standar yang efektif untuk

meningkatkan keterampilan atensi dan fungsi eksekutif dalam

pelaksanaan terapi neurofeedback. Peneliti kemudian melanjutkan

dengan protokol SMR antara Cz dan Fz (FCz), yang dilakukan pada sesi

terakhir. Rangsangan yang digunakan untuk umpan balik adalah musik

(misalnya, musik pop), video (misalnya, film, kartun) dan permainan.

Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa penghambatan

frekuensi beta tinggi beta dapat digunakan untuk meningkatkan fokus

dan perhatian (simulasi peningkatan beta 12-14 Hz), meningkatkan

kemampuan membaca (simulasi 7-9 Hz), dan memperkenalkan

perubahan positif dalam kinerja sekolah. Ini juga meningkatkan kinerja

komputasi, proses kognitif, pengurangan kekhawatiran, over-thinking,

gangguan obsesif kompulsif (OCD), alkoholisme, dan insomnia (pada

simulasi dengan frekuensi 14-22 Hz dan 12-15 Hz). Sementara itu, jenis

neurofeedback ini meningkatkan kinerja kognitif tidur serta mengurangi


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

kelelahan dan stres (simulasi cahaya dan suara beta) (Cothran et al.,

2012).

c. Neurofeedback pada Skizofrenia

Sejauh ini, belum ada penelitian RCT yang dilakukan untuk

membuktikan adanya manfaat dari pemberian neurofeedback terhadap

pasien skizofrenia. Meskipun belum ada, namun menariknya, beberapa

penelitian menemukan bahwa pasien dengan skizofrenia mampu

melakukan pembelajaran dan pengendalian diri menggunakan EEG

meskipun mengalami defisit kognitif dan motivasi. Sebuah studi kasus

klinis menunjukkan adanya efikasi dari pemberian neurofeedback secara

personal pada gejala psikotik, dan memperlihatkan potensi terapi dari

neurofeedback pada skizofrenia terhadap pengobatan halusinasi

(Micoulaud-Franchi et al., 2014).

Dengan mengadopsi model functional hemispheric imbalance,

penelitian yang dilakukan dengan melatih 16 pasien skizofrenia

menggunakan biofeedback memperlihatkan adanya perbaikan dari gejala-

gejala negatif dalam gambaran gejala yang mereka tunjukkan (Schummer

et al., 2011). Sebuah penelitian pendalaman menggunakan metode studi

kasus, menemukan efek yang menguntungkan dari penggunaan operant

conditioning dalam terapi neurofeedback terhadap gejala negatif yang

berlangsung dalam periode cukup lama saat pasien dipulangkan.

Penelitian tentang neurofeedback yang mengikutsertakan sembilan

pasien skizofrenia dengan melakukan pengaturan sendiri dalam


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

merangsang proses regulasi up-down aktivitas anterior insular cortex

anterior dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pengenalan terhadap

emosi wajah, memperlihatkan hasil yang positif (Ruiz et al, 2011).

Sebuah studi kasus memberikan bukti sugestif bahwa peningkatan alfa

dan penghambatan delta dan pengurangan beta secara cepat mengurangi

beberapa gejala pada gangguan skizofrenik (Bolea, 2010). Penelitian

lebih lanjut menunjukkan perbaikan signifikan dari gejala klinis dan

gangguan atensi dengan protokol yang telah dipersonalisasi pada

neurofeedback (Surmelli et al., 2011). Pada kerangka laporan

sebelumnya dan pengamatan tentang fitur-fitur neuropsisophysiological

dan konsekuensi disfungsi neurobehavioral pada skizofrenia, sebuah

penelitian menawarkan arah baru untuk penggunaan protokol dari

neurofeedback. Sebuah penelitian pada tahun 2011 dalam pengaturan

eksperimental, menghasilkan manfaat kognitif yang terukur setelah

dilakukan pelatihan neurofeedback pada 3 pasien skizofrenia. Dalam

penelitian tersebut, pasien-pasien itu dilatih untuk menghambat theta dan

high beta dengan diselingi SMR (Naimijoo et al., 2015).

8. Studi Kualitatif

a. Definisi

Studi kualitatif adalah sebuah bidang penelitian yang melibatkan

berbagai disiplin, dimana penelitinya berkomitmen pada perspektif

naturalistik dan pemahaman interpretatif mengenai pengalaman manusia.

Bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan memberi makna adalah inti


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

dari penelitian kualitatif (Denzin et al., 2008). Secara praktis, definisi

pendekatan kualitatif menunjuk pada metode yang menggunakan bahasa,

bukan angka, dan pendekatan interpretatif, naturalistik. Pendekatan

kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang

berdasarkan metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan

masalah manusia. Pada pendekatan ini peneliti membuat suatu gambaran

yang kompleks, meneliti kata-kata, membuat laporan terinci dari

pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.

Metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-

orang dan perilaku yang diamati (Sugiyono,2016).

Ruang lingkup dalam penelitian kualitatif mencakup konsep

intersubjektivitas yang biasanya merujuk pada pemahaman mengenai

bagaimana orang-orang dapat menyepakati atau membangun makna:

mungkin dalam hal pemahaman, emosi, perasaan, atau persepsi suatu

situasi, yang digunakan untuk menafsirkan dunia sosial yang mereka

tempati (Nerlich et al, 2004). Para peneliti yang menggunakan

pendekatan kualitatif merupakan orang-orang yang lebih memilih untuk

bekerja di dunia nyata, dan dalam lingkungan yang sifatnya alamiah,

dibandingkan menggunakan pendekatan eksperimental berbasis

laboratorium. Peneliti kualitatif mencoba memahami fenomena sosial

dan makna yang dibawa orang kepada mereka (Denzin et al., 2008).

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

Metode penelitian kualitatif melibatkan pengumpulan yang

sistematis, penyusunan, dan interpretasi dari materi yang diteliti dan

dibentuk secara tekstual baik dari wawancara atau observasi. Hal-hal ini

digunakan dalam eksplorasi makna fenomena sosial seperti yang dialami

oleh individu itu sendiri, dalam konteks alaminya. tudi kualitatif terdiri

atas investigasi untuk mencari jawaban atas pertanyaan, secara sistematis

menggunakan seperangkat prosedur untuk menjawab pertanyaan,

mengumpulkan bukti-bukti, menghasilkan temuan yang tidak ditentukan

di awal, menghasilkan temuan yang dapat diaplikasikan lebih dari batas

studi. Studi kualitatif efektif untuk mendapatkan informasi yang spesifik

tentang nilai, opini, perilaku dan konteks sosial pada populasi tertentu

(Denzin et al, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa studi kualitatif

secara umum adalah sebuah metode dalam melakukan investigasi

bagaimana sebuah hal bisa terjadi (Stake, 2010).

b. Karakteristik

Studi kualitatif memiliki karakteristik studi sebagai berikut, yaitu:

interpretatif, eksperensial, situasional, personal, triangulasi, terdapat

pilihan strategis untuk berkembang. Pertama, studi bersifat interpretatif,

artinya bahwa kunci untuk memahami manusia adalah dengan cara

memandang hal tersebut dari banyak sudut pandang dan intuisi.

Pengamatan dilakukan dengan penuh perhatian sehingga mudah

menangkap perkembangan yang tak terduga. Kedua, studi bersifat

eksperensial berarti studi bersifat empiris dan berorientasi pada


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

kenyataan. Studi menekankan pada observasi pada klien dan perasaan

klien. Studi bersifat naturalistik tanpa ada intervensi atau urutan tertentu

untuk mendapatkan data. Laporan studi merupakan hasil pengamatan

langsung terhadap klien. Hasil studi selaras dengan realitas yang terjadi

pada klien (Stake, 2010).

Ketiga, studi bersifat situasional, berarti studi berorientasi terhadap

klien, objek, dan aktivitasnya yang nyata dengan masing-masing

keunikannya. Studi ini menganggap setiap tempat dan waktu mempunyai

keunikannya sendiri yang berbeda dengan generalisasi. Studi bersifat

holistik dan mendasar, bukan analisis reduktif. Desain studi jarang

menekankan pada perbandingan langsung antar variabel. Hasil

pengamatan studi dilaporkan secara detil (Stake, 2010). Keempat, studi

bersifat personal, berarti studi bersifat empatik dan dilakukan untuk

memahami persepsi perseorangan. Studi tersebut mencari keunikan klien

dan bukan persamaannya serta menghormati adanya perbedaan. Proses

studi melibatkan pandangan, kerangka pikir dan nilai yang dianut

masing-masing klien. Hasil studi bersifat emic (muncul dari klien) lebih

dari etic (muncul dari peneliti). Peneliti sendiri merupakan intrumen studi

yang utama. Kelima, adanya triangulasi. Studi kualitatif yang baik adalah

adanya triangulasi terhadap bukti kunci, pernyataan, dan interpretasi.

Keenam, terdapat informasi yang jelas. Studi kualitatif menekankan pada

studi literatur yang sesuai. Peneliti dianggap sebagai salah satu sumber

informasi dan dianggap kompeten secara metodologi dan studi yang


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

relevan. Ketujuh, Studi kualitatif mempunyai tujuan strategis (Stake,

2010).

c. Tujuan

Tujuan studi kualitatif adalah sebagai berikut, yaitu: (1)

Menghasilkan atau memproduksi pengetahuan baru atau membantu

perkembangan ilmu yang sebelumnya telah ada; (2) Merepresentasikan

kasus yang sifatnya tipikal atau memaksimalkan pemahaman tentang

kasus yang spesial; (3) Menganjurkan suatu sudut pandang atau

membantu pembentukan sudut pandang baru; (4) Menekankan

pendangan yang paling logis atau memandang dari beberapa perspektif

realitas yang ada; (5) Dilakukan untuk mendukung generalisasi atau

dilakukan untuk memunculkan kekhususan; (6) Studi berhenti setelah

tujuan studi tercapai atau membuat studi baru yang memungkinkan

perubahan (Stake, 2010).

d. Tipe Penelitian dengan Pendekatan Kualitatif

Jenis penelitian kualitatif terdiri dari: (1). Biografi, yaitu sebuah

studi yang menjelaskan tentang tentang individu dan pengalamannya,

kemudian dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-

arsip; (2). Fenomenologi, menjelaskan atau mengungkap makna konsep

atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi

pada beberapa individu; (3). Grounded Theory, bertujuan menghasilkan

atau menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu.

Inti pendekatan Grounded Theoryadalah pengembangan suatu teori yang


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

berhubungan erat dengan konteks peristiwa dipelajari; (4). Etnografi,

merupakan uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok

sosial. Etnografi adalah suatu proses dan hasil dari sebuah penelitian.

Sebagai proses etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang

terhadap suatu kelompok. Dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat

dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu persatu

dengan anggota kelompok. Peneliti mempelajari arti atau makna setiap

perilaku, bahasa dan interaksi dalam kelompok; (5). Studi kasus,

merupakan studi yang mengekplorasi suatu masalah dengan batasan

terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan

berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat,

dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau

individu (Sugiyono, 2016).

9. Studi Kasus dengan Pendekatan Kualitatif (Qualitative Case Study)

a. Definisi

Studi kasus adalah metodologi penelitian yang biasanya

diaplikasikan dalam ilmu sosial dan kehidupan. Tidak ada satu definisi

yang dapat benar-benar menggambarkan tentang penelitian studi kasus.

Namun, beberapa peneliti menjelaskan dengan sangat sederhana berupa

sebuah studi yang dilakukan secara intensif dalam mempelajari tentang

seseorang, sekelompok orang atau unit, yang bertujuan untuk

menyamakan persepsi terhadap beberapa unit. Sebuah studi kasus juga

telah digambarkan sebagai penyelidikan intensif dan sistematis dari satu


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

individu, kelompok, komunitas atau beberapa unit lain di mana peneliti

memeriksa data mendalam terkait dengan beberapa variabel (Heale et al.,

2017).

Studi kasus dapat dijelaskan sebagai sebuah penyelidikan yang

sistematis pada suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang saling

berkaitan dengan tujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan

fenomena-fenomena tertentu yang menarik. Unit analisis yang diteliti

atau diselidiki bervariasi, mulai dari individu hingga ke suatu lembaga

atau institusi. Meskipun ditemukan adanya manfaat dalam penggunaan

metode ini secara retrospektif, namun dalam kenyataan di lapangan,

metode ini paling sering digunakan secara prospektif. Data sebagian

besar berasal dari dokumentasi, arsip arsip, wawancara, observasi

langsung, observasi partisipan dan artefak fisik (Yin, 2009).

b. Landasan Filosofis

Para peneliti awal yang menggunakan studi kasus menekankan dasar

pendekatan mereka terhadap studi kasus dari paradigma konstruktivis.

Pendekatan-pendekatan dalam suatu studi melibatkan asumsi-asumsi

filosofis dan metode atau prosedur yang berbeda-beda. Salah satu asumsi

filosofis adalah pandangan dunia konstruktivis yang dalam

pelaksanaannya sering bersamaan dengan intepretivisme. Konstruktivis

mengklaim bahwa kebenaran itu relatif dan bergantung pada perspektif

seseorang. Paradigma ini memfokuskan pada pengakuan dari pentingnya

penciptaan makna manusia secara subjektif, tetapi tidak menolak mentah-


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

mentah beberapa gagasan tentang objektivitas (Creswell, 2013).

Dilakukan penekanan terhadap konsep pluralisme, bukan relativisme,

namun meletakkan fokus pada stresor dinamis yang melingkupi subjek

dan objek. Konstruktivisme dibangun di atas premis konstruksi sosial

realitas. Gagasan konstruktivis meyakini bahwa individu selalu berusaha

memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka akan

mengembangkan makna-makna dari pengalaman yang dialami sehari-

hari dan diarahkan pada objek-objek tertentu (Kohlbacher, 2006).

Salah satu keuntungan dari pendekatan ini adalah kolaborasi erat

antara peneliti dan peserta, sementara memungkinkan peserta untuk

menceritakan kisah mereka. Melalui cerita tersebut, para peserta mampu

menggambarkan pandangan mereka tentang realitas dan ini

memungkinkan peneliti untuk lebih memahami tindakan para peserta

(Kohlbacher, 2006). Peneliti akan menggali sebanyak mungkin pendapat

dari partisipan tentang situasi yang tengah diteliti. Makna-makna yang

kemudian diintepretasikan secara subjektif oleh penulis dibuat melalui

interaksi dengan partisipan, sebab itu pendekatan ini disebut dengan

pendekatan konstruktivis. Pendekatan ini juga memperhatikan nilai-nilai

historis dan sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari (Creswell,

2013).

c. Tujuan

Pendekatan studi kasus berada di bawah potensi yang digunakan dan

kurang dieksplorasi, dengan aplikasi penelitian yang luas dan fleksibilitas


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

metodologis. Studi kasus memiliki kapasitas untuk mengeksplorasi,

mendeskripsikan dan/atau menjelaskan kasus yang menarik, dan

memungkinkan pemahaman dan pemahaman yang mendalam, bermakna,

dan berdasarkan konteks tentang peristiwa kehidupan nyata. Studi kasus

sebagai sebuah desain dari suatu penelitian dapat dipertimbangkan untuk

digunakan ketika: (a) fokus penelitian adalah untuk menjawab

pertanyaan “why” dan “how”; (b) Anda tidak dapat memanipulasi

perilaku mereka yang terlibat dalam penelitian; (c) Anda ingin menutupi

kondisi kontekstual karena Anda yakin mereka relevan dengan fenomena

yang diteliti; atau (d) ditemukan batasan yang tidak jelas antara

fenomena dengan konteks (Crowe et al., 2011).

d. Metode Pengumpulan Data

Studi kasus dengan pendekatan kualitatif menggunakan beberapa

metode pengumpulan data pada penelitian kualitatif. Beberapa metode

pengumpulan data yang dapat digunakan, yaitu: wawancara, observasi,

penggunaan dokumen, focused group discussion (FGD), dan survey

menggunakan kuesioner.

1) Wawancara, menggunakan teknik wawancara mendalam;

Untuk peneliti kualitatif, tujuan dilakukan wawancara adalah: (1)

Memperoleh informasi atau interpretasi dari klien yang

diwawancarai; (2) Mengumpulkan kumpulan informasi dari

beberapa klien; (3) Menemukan sesuatu hal yang tidak dapat

ditemukan dalam pengamatan saja (Stake, 2012). Wawancara dapat


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

secara terstruktur, tidak terstruktur dan semi terstruktur atau fokus

tertentu (Sugiyono 2008; Herdiansyah, 2010). Dalam metode

wawancara dan survei, peneliti juga dapat menanyakan kepada klien

tentang respon dan pandangan tentang pernyataan tertentu, artifak,

cerita dan sebagainya (Stake, 2012).

2) Observasi,

Informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat),

pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu,

dan perasaan. Tujuan observasi adalah untuk menyajikan gambaran

realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk

membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi dengan

melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu dan melakukan

umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Bentuk observasi yang

dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi

partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak

terstruktur; Metode pencarian data yang sering digunakan adalah

observasi baik langsung maupun tak langsung. Observasi dilakukan

agar peneliti mampu untuk memahami klien tanpa harus ada praduga

sebelumnya. Dalam observasi, peneliti akan lebih bisa terbuka

tentang temuan yang ada dan melakukan intepretasi studi secara

induktif. Beberapa bentuk observasi yang dilakukan yaitu observasi

partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak

terstruktur (Sugiyono, 2008; Stake, 2010). Peneliti dalam studi


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

kualitatif dapat menggunakan beragam media untuk observasi.

Penggunaan rekaman suara dan video serta media lain dapat

digunakan. Hal ini dapat berguna saat peneliti belum memahami

muatan observasi awal dan harus melakukan pengulangan beberapa

kali (Schutt, 2012).

3) Dokumen

Bahan dokumen terbagi beberapa macam, yaitu autobiografi, surat-

surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, dokumen

pemerintah atau swasta, data deserver atau flashdisk, data tersimpan

di website, dan lain-lain;

4) Focused group discussion (FGD)

Merupakan teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada

penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema

menurut pemahaman sebuah kelompok (Emsir, 2010).

5) Survei

Metode pengambilan data juga bisa dilakukan dengan survei dengan

menggunakan kuesioner. Survei biasanya dilakukan pada studi

sosial. Data yang didapat pada survei bisa dihitung secara kuantitatif.

Pada studi kualitatif, pendekatan secara kuantitatif dilakukan untuk

memperkuat hasil analisis kualitatif (Stake, 2010). Dokumentasi juga

dilakukan pada dokumen yang berhubungan dengan klien. Dokumen

dapat berbentuk catatan harian, surat pribadi, autobiografi, dokumen

pemerintah/swasta, rekam medik, dan lain-lain (Herdiansyah, 2010).


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

Diskusi kelompok dengan memakai fokus tertentu atau Focus Group

Discussion (FGD) juga dipakai dalam mengumpulkan data kualitatif.

Tujuan dilakukan FGD adalah untuk menemukan pemahaman

bersama atas tema yang diajukan (Herdiansyah, 2010).

e. Pemilihan Subjek

Dalam penelitian kualitatif tidak relevan bila peneliti membatasi

informan dengan menentukan besaran ukuran informan dengan

menggunakan perhitungan statistik karena belum tentu yang terjaring

dalam perhitungan tersebut dapat menjawab permasalahan penelitian atau

bahkan terlalu banyak orang yang tidak diperlukan turut terlibat dalam

penelitian. Ada tiga cara pengambilan sampel yang sering digunakan

dalam penelitian kualitatif, yaitu: purposive sampling, quota sampling

dan snowball sampling. Pemilihan ini berdasarkan alasan untuk memakai

masing-masing metode (Sugiyono, 2008).

f. Uji Keabsahan Data

Pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi

credibility, transferability, dependability dan confirmability. Credibility

(validitas internal) dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,

peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi, analisis

kasus negatif, dan membercheck. Transferability (validitas eksternal)

dilakukan dengan membuat laporan penelitian dalam uraian yang rinci,

jelas, sistematis, dan dapat dipercaya sehingga pembaca dapat mengerti

dan memahami hasil penelitian. Dependability (reliabilitas) dilakukan


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.

Confirmability (objektivitas) adalah menguji hasil penelitian, prosesnya

mirip dengan uji dependability sehingga dapat dilakukan secara

bersamaan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian

yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar

confirmability (Faisal, 1998 cit. Sugiyono, 2008).

Langkah penting dari studi kualitatif selanjutnya adalah validasi

untuk menilai tingkat kepercayaan temuan. Validasi dilakukan dengan

beberapa cara. Metode yang sering dipakai adalah triaangulasi.

Triangulasi dilakukan dengan pencarian bukti dari berbagai sumber dan

membandingkan hasil tersebut dari sumber yang berbeda. Cara lain untuk

validasi adalah dengan pengecekan anggota atau member checking

(Sugiyono, 2016).

Triangulasi dapat diartikan sebagai teknik untuk menguji kredibilitas

data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber

(Sugiyono, 2016). Triangulasi menggunakan dua atau lebih sumber

tentang suatu fenomena sehingga bisa menggambarkan fenomena

tersebut secara menyeluruh. Triangulasi dalam studi kualitatif terdiri atas

triangulasi teori, triangulasi metode, triangulasi data dan triangulasi

pengamat. Triangulasi teori menggunakan lebih dari satu teori disamping

teori utama atau beberapa sudut pandang untuk melakukan intepretasi

data. Triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan beberapa

metode untuk menguji metode yang digunakan dalam studi. Triangulasi


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

data dilakukan dengan dengan menggunakan lebih dari satu cara

pengumpulan data pada kasus tunggal. Triangulasi pengamat dilakukan

dengan menggunakan lebih dari satu pengamat pada kasus tunggal

(Denzin, 1978 cit. Herdiansyah, 2010).

Pada studi kualitatif juga diperlukan telaah literatur untuk

memperkaya pembahasan dari data yang diperoleh. Telaah literatur

digunakan untuk mendapatkan literatur dasar yang sesuai dengan tema

studi. Telaah literatur bersifat studi kritis termasuk di dalamnya untuk

memperluas pertanyaan dalam studi. Studi kualitatif menggunakan

literatur untuk membantu interpretasi mengenai pernyataan klien dan

temuan dalam proses studi. Telaah literatur bisa berasal dari berbagai

macam sumber seperti buku teks, jurnal ilmiah, disertasi, tesis, laporan

pemerintah atau institusi, kuliah, presentasi konferensi, dan juga beragam

sumber lain yang terpercaya untuk membuka wawasan mengenai tema

studi kualitatif (Stake, 2010).

g. Analisis dan Sintesis Data

Analisis data bertujuan untuk mengorganisasikan data. Data yang

dikumpulkan kemudian diatur, diurutkan, dikelompokkan, diberikan

kode, dan dikatagorikan. Pengorganisasian dan pengelolaan data

bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat

menjadi teori substantive. Analisis data dilakukan dalam suatu proses,

yang pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan

dikerjakan secara intensif. Terdapat 3 model dalam analisis data, yaitu:


commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

metode perbandingan tetap (constant comparative method) oleh Glasser

& Strauss; metode analisis data menurut Spradley; dan metode analisis

menurut Miles & Huberman (Emsir, 2010).

Menurut metode perbandingan tetap (constant comparative method),

secara umum proses analisis data mencakup reduksi data, kategorisasi

data, sintesis, dan diakhiri menyusun hipotesis kerja, dengan penjabaran

sebagai berikut: (1). Reduksi data, mencakup identifikasi satuan (unit).

Pada mulanya diidentifikasi adanya satuan, yaitu bagian yang terkecil

yang ditemukan pada suatu data yang memiliki makna bila dikaitkan

dengan fokus penelitian. Sesudah satuan diperoleh, langkah berikutnya

adalah membuat koding, yang artinya memberikan kode pada setiap

“satuan” agar tetap dapat ditelusuri data atau satuannya, berasal dari

sumber yang mana; (2). Kategorisasi, merupakan upaya memilah setiap

satuan ke dalam bagian yang memiliki kesamaan. Setiap kategori diberi

nama yang disebut label; (3). Sintesis, yaitu mencari kaitan antara satu

kategori dengan kategori lainnya. Kaitan antara satu kategori dengan

kategori lainnya diberi nama/label lain; (4). Menyusun hipotesis kerja,

penyusunan ini dilakukan dengan merumuskan suatu pernyataan yang

proporsional. Hipotesis kerja ini sudah merupakan “teori substanstif”

yaitu teori yang berasal dan masih terkait dengan data. Hipotesis kerja ini

harus terkait dan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian (Sugiyono,

2008).

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

Analisis data dilakukan untuk mengorganisir data-data yang

diperoleh di dalam wawancara, observasi, dokumentasi, dan yang lain

sehingga dihasilkan sesuatu yang bermakna. Teknik analisis yang

digunakan adalah teknik analisis kualitatif, yaitu data dianalisis sesuai

dengan tujuan studi yang sudah ditentukan. Analisis data kualitatif bisa

menggunakan pendekatan yang bersifat tematik, deskriptif, atau metode

yang lebih mendalam. Sebagian besar analisis data dilakukan dengan

analisis tematik. Analisis tematik dilakukan dengan mengidentifikasi

tema utama dari data yang diperoleh. Kunci dari analisis tematik adalah :

(1) Membaca dan memberi catatan penting pada transkrip wawancara,

observasi, dan dokumentasi serta temuan lain di lapangan; (2)

Mengidentifikasi tema yang ada; (3) Pengembangan atau skema untuk

mengode data yang ditemukan; (4) Pengodean data. Pembuatan kode

disesuaikan dengan langkah analisis yang akan dilakukan (Sugiyono,

2016).

Pengodean data dilakukan untuk memudahkan analisis sesuai dengan

tema yang ada. Pengkodean dilakukan pada awal wawancara dan

observasi, untuk kemudian dapat dikembangkan selama proses studi.

Pengkodean juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti sebagai umpan balik

dalam proses observasi dan wawancara. Analisis data penelitian kualitatif

dapat menggunakan tiga model analisis, yaitu : metode perbandingan

tetap (constant comperative method) oleh Glasser dan Strauss; metode

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

analisis data menurut Spradley; dan metode analisis menurut Miles dan

Huberman (Sugiyono, 2008).

B. Kerangka Konsep
Skizofrenia Kronis

Gangguan Abnormalitas
Neuroplastisitas Neurotransmiter

Disfungsi Sruktur Korteks


dan Subkorteks Daearah
Frontalis

Disfungsi Hypofrontality
Thalamus

Abnormalitas Abnormalitas
DLPFC Cingulate Cortex
Neurofeedback

Protokol beta/theta
Hipoaktifitas Hiperaktifitas
gelombang Beta Gelombang Theta

Gangguan Atensi Modulasi Inhibisi Gangguan Fungsi


Beta Theta Eksekutif

Naimijoo et al., 2015, Vernon, 2005

Gambar 2.2. Kerangka Konsep


commit to user

Anda mungkin juga menyukai