SKIZOFRENIA
Pembimbing:
dr. Christie Indira, Sp.KJ.
Oleh:
Fladinish Sinta Aurora Pambudi
Naufal Faris Irfandio
Devanico Yuangga Duta Maulana
Umi Latifah
Joevan Jusuf Bachtiar
Syifa Galih Ardina
Referat dengan judul “Skizofrenia” telah disusun, dipresentasikan, diperiksa, dan disetujui
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.
Pembimbing
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck,
2018). Pengertian yang lebih ringkas diungkapkan oleh Hawari (2018), dimana skizofrenia
berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (spilt), dan “frenia” yang artinya
jiwa. Dengan demikian skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau
keretakan kepribadian (splitting of personality).
Skizofrenia adalah penyakit mental yang melibatkan tiga kelompok gejala, yaitu
positif, negatif dan kognitif, dan memiliki implikasi kesehatan masyarakat yang besar.
Menurut berbagai sumber, itu mempengaruhi hingga 1% dari populasi. Patomekanisme
skizofrenia tidak sepenuhnya dipahami dan antipsikotik saat ini memiliki keterbatasan.
Pertama, perawatan ini hanya efisien untuk sekitar setengah dari pasien. Kedua, mereka
memperbaiki sebagian besar gejala positif (misalnya, halusinasi dan gangguan pikiran yang
merupakan inti dari penyakit) tetapi gejala negatif (misalnya, afek datar dan penarikan sosial)
dan kognitif (misalnya, gangguan belajar dan perhatian) tetap tidak terobati. Ketiga, mereka
melibatkan efek samping neurologis dan metabolik dan dapat menyebabkan disfungsi seksual
atau agranulositosis (clozapine). Secara umum disepakati bahwa interaksi antipsikotik dengan
berbagai reseptor neurotransmitter bertanggung jawab atas efeknya untuk mengobati gejala
skizofrenia (Stepnicki, et al. 2018).
Skizofrenia merupakan masalah kesehatan yang dialami di seluruh dunia, dan
memerlukan perhatian terutama dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Diagnosis tersebut
berdasarkan pengamatan pada perilaku dan pengalaman seseorang. Skizofrenia bukanlah
penyakit jiwa yang tidak dapat disembuhkan, dukungan keluarga sangat diperlukan guna
penyembuhan penyakitnya. Peningkatan angka relapse pada penderita Skizofrenia pasca
perawatan dapat mencapai 25-50 persen yang pada akhirnya dapat menyebabkan
keberfungsian sosialnya menjadi terganggu. Pada saat relapse peranan keluarga diperlukan
untuk menekan sekecil mungkin angka relapse dan mengembalikan keberfungsian sosial.
Keluarga dapat mewujudkannya dengan memberi bantuan berupa dukungan emosional,
materi, nasehat, informasi, dan penilaian positif yang sering disebut dengan dukungan
keluarga. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa salah satu faktor yang dapat
meningkatkan keberfungsian sosial penderita Skizofrenia pasca perawatan rumah sakit adalah
dukungan keluarga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya ditandai penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta afek yang tidak wajar atau tumpul (Maslim, 2013).
2.2 Epidemiologi
Menurut World Health Organization (2019), prevalensi pasien skizofrenia sekitar 20 juta
orang di dunia. Menurut data Riskesdas tahun 2013, sekitar 236 juta jumlah penduduk
Indonesia yang mengalami skizofrenia dan berdasarkan hasil Riskesdas (2018) didapatkan
estimasi prevalensi orang yang pernah menderita skizofrenia sebesar 1,8 per 1000
penduduk (Nuruddani, 2021). Prevalensi (permil) rumah tangga dengan ART (anggota rumah
tangga) gangguan jiwa skizofrenia/psikosis tertinggi pada daerah Bali (11,1 ‰), DI
Yogakarta (10,4 ‰), dan Nusa Tenggara Barat (9,6 ‰). Prevalensi (permil) rumah tangga
dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis menurut tempat tinggal menunjukkan yang
mengalami gangguan jiwa skizofrenia/psikosis lebih banyak di perdesaan (7,0 ‰) daripada
perkotaan (6,4 ‰) (Riskesdas, 2018).
2.6 Patofisiologi
Abnornalitas dari anatomi, Neurotransmisi, dan sistem imun dipercaya memiliki peran
terhadap parofisiologi dari skizofrenia
1. Abnormalitas anatomi
Menurut studi, pada pasien skizofrenia ditemukan ventrikel otak yang lebih besar, penurunan
volume otak temporal media, perubahan pada hipokampus. Di Edinburgh High-Risk Study,
17 dari 146 subject yang secara genetik memiliki risiko mengalami skisofrenia ditmuman
penurunan volume keseluruhan otak, lobus prefrontal dan temporal kanan. Perubahan pada
lobus prefrontal berhubungan dengan keparahan dari gejala psikotik yang dimiliki. Menurut
meta analisis dalam membandingkan pasien skizofrenia dengan subjek kontrol, MRI
menunjukan abnormalitas otak yang memburuk seiring berjalanya waktu. Abnormalitas yang
ditemukan meliputi berkurangnya volume keseluruhan otak pada grey matter dan white
matter serta peningkatan volume ventrikel lateral.
2. Abnormalitas sistem neurotransmiter
Dipercaya telah terjadi kelainan pada sistem dopaminergik pada pasien skizofrenia, maka dari
itu obat antipsikotik seperti chlorpromazine dan reserpine efektif untuk mengobati pasien
skizofrenia karena memiliki sifat antidopaminergik. Gejala negatif muncul akibat kondisi
hipodopaminergik di sistem mesokortikal, sedangkan gejala positif muncul akibat kondisi
hiperdopaminergik di sistem mesolimbik.
3. Fungsi imun dan inflamasi Fungsi imun terganggu pada pasie skizofrenia. Aktivasi
berlebih dari sistem imun mungkin mengakibatkan produksi berlebih dari sitokin dan
perubahan pada struktur serta fungsi dari otak. Resisten insulin dan gangguan metabolik,
dimana umum ditemukan pada pasien skizofrenia,dipercaya berhubungan dengan kondisi
inflamasi yang terjadi (Frankenburg, 2021).
2.7 Patogenesis
Predisposisi genetik untuk skizofrenia terbukti dari studi keluarga, saudara kembar, dan
adopsi. Sementara faktor genetik berkontribusi pada mekanisme fundamental atau
kerentanan terhadap skizofrenia, pengaruh tambahan termasuk faktor lingkungan jelas terlibat
dalam manifestasi penuh gejala skizofrenia. Jadi saat ini skizofrenia paling baik
dikonseptualisasikan sebagai penyakit "multiple hit" yang mirip dengan kanker. Kelainan
perkembangan saraf berkontribusi terhadap kerentanan terhadap skizofrenia. Pertama, studi
klinis menunjukkan bahwa pasien dengan skizofrenia menunjukkan kelainan perilaku minor
di masa kanak-kanak bahkan sebelum timbulnya skizofrenia. Kedua, teknik pencitraan
canggih baru-baru ini seperti pencitraan resonansi magnetik memberikan bukti yang dapat
diandalkan tentang kelainan selama perkembangan sistem saraf pusat. Abnormalitas tersebut
termasuk peningkatan ukuran ventrikel yang konsisten pada permulaan skizofrenia, dengan
perubahan penting di beberapa area termasuk korteks serebral prefrontal dan hipokampus.
Ketiga, studi neuropatologis menunjukkan tidak ada kerugian keseluruhan dalam jumlah
neuron tetapi pengurangan ukuran neuron. Kelainan sitoarsitektonik meliputi variabilitas
orientasi sel dan penurunan struktur sinaptik. Berbeda dengan penyakit neurodegeneratif, di
mana proliferasi sel glial meningkat seiring degenerasi neuron, tidak ada proliferasi glial
yang terjadi pada otak pasien skizofrenia, yang menyiratkan bahwa gangguan utama pada
skizofrenia adalah perkembangan saraf daripada neurodegeneratif. Kelainan pada protein
yang merupakan penentu utama perkembangan dan struktur otak sering diamati pada otak
yang diotopsi dari pasien dewasa dengan skizofrenia. Misalnya, perubahan dilaporkan dalam
microtubule associated protein 2 (MAP2), growth associated protein-43 (GAP-43), post-
synaptic density protein 95 (PSD 95), dan reelin. Reelin adalah protein matriks besar yang
disekresikan yang terlibat dalam migrasi neuron, memfasilitasi arsitektur otak normal selama
perkembangan, dan otak pasien dengan skizofrenia menunjukkan pengurangan 30-50%
protein reelin terutama di korteks serebral prefrontal dan hipokampus. Mutasi pada gen reelin
juga dikaitkan 10 dengan jenis lissencephaly dengan hipoplasia serebelar. Asosiasi molekuler
seperti itu dengan gangguan perkembangan kortikal menyiratkan implikasi perkembangan
saraf untuk skizofrenia. Selain defisit dalam perkembangan saraf, beberapa aspek patogenesis
skizofrenia telah dipelajari, termasuk disfungsi neurotransmisi glutamatergik dan
dopaminergik. Kemungkinan faktor lingkungan yang ditumpangkan pada kerentanan genetik
termasuk infeksi virus serta komplikasi kehamilan dan kelahiran. Dengan mempelajari tikus
rekayasa genetika dengan faktor kerentanan seperti DISC-1 (Disrupted in schizophrenia-1)
dalam kombinasi dengan tekanan lingkungan, dimungkinkan untuk memberikan model yang
lebih definitif dan terintegrasi untuk patogenesis skizofrenia di masa depan (Sawa and
Kamiya, 2003).
2.8 Klasifikasi
2.9 Diagnosis
Menurut (PPDGJ, 2013) tentang skizofren harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini
yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas) :
1) Thought echo, Thought insertion atau withdrawal, Thought broadcasting
a) Thought echo adalah isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda.
b) Thought insertion or withdrawal adalah isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal).
c) Thought broadcasting adalah isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umumnya mengetahuinya
2) Delusion of control , Delusion of influence ,Delusion of passivity, Delusion perception
a) Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar.
b) Delusion of influenceadalahwaham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar.
c) Delusion of passivity adalah waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya secara jelas, merujuk ke pergerakan tubuh serta
anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
d) Delusion perception adalah pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik dan mukjizat.
3) Halusional Auditorik : - suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
prilaku pasien, atau - mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu
bagian tubuh).
4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain). *Atau paling sedikit dua gejala
dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
5) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
6) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
7) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), negativisme, mutisme, dan stupor.
8) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang
menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neureptika.
*Adanya gejala - gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
*Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek prilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri
(self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara social
Berikut Kriteria Diagnostik Skizofrenia dalam DSM-V : (APA, 2013)
Karakteristik Gejala
A. Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi dalam kurun waktu
yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah
satunya harus (1), (2), atau (3):
a)Delusi/Waham
b)Halusinasi
c)Bicara Kacau (sering melantur atau inkoherensi)
d)Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
e) Gejala negatif, (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)
B. Disfungsi Sosial/Pekerjaan
Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih
disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan
diri, yang berada jauh 18 di bawah tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan
pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat
pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
C. Durasi
Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini
harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang
memenuhi kriteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau
residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat
bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam
kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaan
perseptual yang tidak lazim).
D. Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif
Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri psikotik telah
disingkirkan baik karena 1) Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang
terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, maupun 2) Jika episode mood terjadi selama
gejala fase aktif durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual
E. Eksklusi kondisi medis umum/zat
Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (obat yang
disalahgunakan, obat medis) atau kondisi medis umum.
F.Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global
Jika terdapat riwayat gangguan autistik atau keterlambatan perkembangan global
lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang
prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).
2.10 Tatalaksana
Farmakoterapi
Efektivitas antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan oleh
berbagai penelitian buta ganda yang terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau
generasi pertama, tidak ada bukti bahwa obat yang satu lebih baik daripada yang lain
untuk gejala-gejala tertentu. Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit
apakah akut atau kronis. Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru
dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan di sini
adalah mengurangi gejala psikotik yang parah. Dengan fenotiazin biasanya waham
dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Biarpun tetap masih ada waham dan
halusinasi, penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau
ikut serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau tumt terapi kerja.
Setelah 4-8 minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala
sedikit banyak sudah teratasi, tetapi risiko relaps masih tinggi, apalagi bila
pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereda,
maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu bam yang
pertama kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah
gejalagejala mereda, obat diberi tems selama satu atau dua tahun. Setelah 6 bulan,
pasien masuk fase mmatan (maintenance) yang bertujuan untuk mencegah
kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi dalam
jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik-turun sesuai
dengan keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan penyakit
badaniah yang menahun, misalnya diabetes melitus, hipertensi, payah jantung, dan
sebagainya). Senantiasa kita hams waspada terhadap efek samping obat.
Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat
memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu fungsi
psikososial pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik 20 bila antipsikotik mulai diberi
dalam dua tahun pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi
dosis ditetapkan secara individual. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil
efek samping dan respons pasien pada pengobatan sebelumnya. Ada beberapa kondisi
khusus yang perlu diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan
haloperidol, karena obat ini mempunyai data keamanan yang paling baik. Pada pasien
yang sensitif terhadap efek samping ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik
atipik, demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala
negatif yang menonjol. Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode
skizofrenia, pemberian obat hams diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek
samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi
ketaatberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk
menggunakan antipsikotik atipik atau antipsikotik tipikal, tetapi dengan dosis yang
rendah (Maramis and Maramis, 2012).
A. Indikasi penggunaan obat antipsikotik
- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.
- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF :
gangguan asosiasi pikiran (inkohherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF :
gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran
yang stereotip dan tidak ada insiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri (abulia).
- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala :
tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
B. Pengggolongan obat antipsikotik
Penggolongan obat ati-psikotik didasarkan dari mekanisme kerjanya. Prinsip kerja
obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di Otak, khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2
receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala POSITIF. Sedangkan Obat
anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors”, juga
terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonindopamine antagonists), sehingga
efektif juga untuk gejala NEGATIF (Maslim, 2007).
C. Efek samping penggunaan antipsikotik
- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun). - Gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat,
mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung). - Gangguan
ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas).
- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (Jaundice), hematologik
(agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Efek samping dapat juga “irreversible” : tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur
gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi
pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis
obat anti-psikosis (non dose related). Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis
perlahan-lahan dihentikan, bisa dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h, (dopamine
depleting agent), pemberian obat antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk keadaan.
Obat pengganti anti-psikosis yang paling baik adalah Clozapine 50-100 mg/h. Pada
penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium : darah rutin, urine lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini
perubahan akibat efek samping obat. Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan
kematian akibat overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat
yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lavage lambung” bila obat belum lama
dimakan (Maslim, 2007).
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah
mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5 – 10 menit. Bila dibutuhkan dapat
diberikan Norepinephrine bitartrate (LEVOPHED Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau
VasconFahrenheit) Ampul 4 mg/4 cc dalam infus 1000 ml dextrose 5% dengan kecepatan
infus 2-3 cc/menit. Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejala
Ekstrapiramidal / Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya dengan tablet Trihexyphenidyl
(Artane) 3 – 4 x2 mg/hari, sulfas atropine 0,50 – 0,75 mg (im). Apabila sindrom parkinson
sudah terkendali diusahakan penurunan dosis secara bertahap, untuk menentukan apakah
masih dibutuhkan penggunaan obat anti parkinson.
D. Kontra Indikasi penggunaan obat antipsikotik
- Penyakit hati (hepato-toksik)
- Penyakit darah (hemato-toksik)
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang)
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung)
- Febris yang tinggi (thermoregulator di SSP) Ketergantungan alkohol (penekanan SSP
meningkat)
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak, dll)
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin memburuk)
Psikoterapi
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang diharapkan, bahkan
ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita dengan skizofrenia karena justru
dapat menambah isolasi dan autisme. Yang dapat membantu penderita adalah psikoterapi
suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan maksud
mengembalikan penderita ke masyarakat. Teknik terapi perilaku kognitif (Cognitive
Behaviour Therapy) belakangan dicoba pada penderita skizofrenia dengan hasil yang
menjanjikan. Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan
orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri
lagi, karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. Pemikiran masalah 24 filsafat atau
kesenian bebas dalam bentuk melukis bebas atau bermain musik bebas, tidak dianjurkan
sebab dapat menambah autisme. Bila dilakukan juga, maka harus ada pemimpin dan ada
tujuan yang lebih dahulu sudah ditentukan.
Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin, diatur sedemikian rupa
sehingga ia tidak mengalami stres terlalu banyak. Bila mungkin, sebaiknya ia dikembalikan
ke pekerjaan sebelum sakit, dan tergantung pada tingkat kesembuhannya apakah tanggung
jawabnya dalam pekerjaan itu akan penuh atau tidak. Lingkungan sekitar yang tidak stabil
serta hostilitas dan ikut campur emosional (expressed emotion yang tinggi) yang dialami
pasien dari orang-orang yang dekat dengannya (biasanya keluarga) akan membawa risiko
tinggi untuk kambuh. Untuk ini terapi keluarga dapat bermanfaat (Maramis dan Maramis,
2012).
Terapi Elektro Konvulsi (TEK)
Seperti juga terapi konvulsi yang lain, cara kerja elektrokonvulsi belum diketahui
dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek serangan
skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat
mencegah serangan yang akan datang. Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka
dengan TEK lebih sering terjadi serangan ulang. Akan tetapi TEK lebih mudah diberikan,
dapat dilakukan secara ambulant, bahaya lebih sedikit, lebih murah dan tidak memerlukan
tenaga yang khusus seperti pada terapi koma insulin. TEK baik hasilnya pada jenis katatonik
terutama stupor. Terhadap skizofrenia simplex efeknya mengecewakan: bila gejala hanya
ringan lantas diberi TEK, kadang-kadang gejala menjadi lebih berat (Maramis and Maramis,
2012).
2.11 Prognosis
Dahulu bila doagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak
ada lagi harapan bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju ke
kemunduran mental (deteriorasi mental). Dan bila seorang dengan skizofrenia kemudian
menjadi sembuh, maka diagnosisnya harus diragukan. Sekarang dengan pengobatan modern,
ternyata bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama,
maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery).
Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit
dan mereka masih hams sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery). Yang
sisanya biasanya mempunyai prognosis yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi di dalam
masyarakat dan menuju ke kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di
mmah sakit jiwa. Dengan intervensi dini yang komprehensif, yang antara lain meliputi
pemberian antipsikotik secara optimal, terapi kognitif perilaku, pelibatan keluarga, perawatan
di masyarakat dan manajemen kasus yang baik, angka kesembuhan skizofrenia dapat
ditingkatkan (Maramis and Maramis, 2012).
Untuk menetapkan prognosis kita hams mempertimbangkan semua faktor di bawah
ini:
● Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antarmanusia memang kurang
memuaskan, maka prognosis lebih jelek. ✓ Bila skizofrenia timbul secara akut, maka
prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
● Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita
dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik.
Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat
dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia hebefrenik dan skizofrenia simplex
mempunyai prognosis yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia
ini menuju ke arah kemunduran mental.
● Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.
● Pengobatan: Makin lekas diberi pengobatan, makin baik prognosisnya.
● Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres
psikologis, maka prognosis lebih baik.
● Faktor ketumnan: prognosis menjadi lebih berat bila di dalam keluarga terdapat
seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
BAB III
KESIMPULAN