Anda di halaman 1dari 49

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK URIN

“URIN KEMERAHAN”

KELOMPOK B3

Ketua : Rajiv Andika Mustapa (1102017187)

Sekretaris : Nurul Aulia (1102017172)

Anggota : Hasna Salsabila (1102017103)

Maulino Hastien (1102017133)

Muhammad Irfan Efendi (1102017152)

Prayoga Aryandika (1102017174)

Rahma Hazfani Hasibuan (1102017185)

Rizky Ayu Purbosari (1102017203)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

TAHUN AJARAN 2018/2019

Jl. Letjen Suprapto Kav. 13, Jakarta Pusat, 10510

Telp 62.21.4244574

Fax. 62.21.424457

1
SKENARIO 1

URIN KEMERAHAN

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan buang air
kecil kemerahan seperti air cucian daging sejak dua hari yang lalu. Keluhan disertai dengan
buang air kecil menjadi sedikit. Satu minggu yang lalu pasien mengalami demam dan nyeri
tenggorokan, sudah diperiksa ke dokter, diberi obat antibiotic dan sembuh. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi
100x/menit, suhu 37,5 °C, frekuensi napas 34/menit, edema tidak ada, jantung dan paru
dalam batas normal. Urinalisis didapatkan proteinuria dan hematuria.

2
Kata sulit

1. Hematuria : kondisi dimana urin mengandung eritrosit. Secara mikrokopis ditemukan


lebih dari 5 sel darah merah jika disentrifugasi dan lebih dari 6 sel darah merah jika
tidak.
2. Urinalisis : tes urin yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi penyakit
infeksi saluran kemih, penyakit ginjal dan diabetes.
3. Proteinuria : yaitu adanya protein dalam urin yang melebihi nilai normal, lebih dari
150 mg/ 24 jam.

3
Pertanyaan

1. Mengapa dapat terjadi urin kemerahan ?


2. Mengapa buang air kecil menjadi sedikit ?
3. Apa hubungan keluhan pasien dengan riwayat penyakit pasien sebelumnya?
4. Apakah penyebab adanya protein dan darah di dalam urin?
5. Mengapa tekanan darah pada pasien tersebut meningkat ?
6. Apa kemungkinan diagnosis sementara pasien ?
7. Apa pemeriksaan penunjang lainya yang dapat dilakukan ?
8. Bagaimana pandangan islam tentang urin ?
9. Bagaimana warna normal pada urin ?
10. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan ?

Jawaban

1. Kemungkinan adanya kerusakan dari nefron karna hematuria terjadi bersamaan


dengan proteinuria kususnya glomerolus.Karna bisa juga adanya darah atau bisa karna
makanan atau obat obatan.
2. Terjadi karna penurunan onkotik plasma yang menyebabkan retensi na dan air
menjadi sedikit.
3. Infeksi tengorokan disebabkan oleh bakteri streptococcus, bakteri ini menyebabkan
terbentuknya antibodi, antibodi ini kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang nantinya akan kebawa oleh aliran darah ke glomerolus, kompleks antigen
antibodi ini yang menyebabkan reaksi inflamasi jadi glomerolus rusak.
4. Karna kerusakan filtrasi di ginjal.
5. Karna adanya kerusakan pada glomerulus menyebabkan arteri aferon berkontraksi
sehingga mempengaruhi tekanan darah. Kenapa bisa arteri nya berkontraksi karna
didalam glomerolus ada yang namanya aparatus jukstaglomerolus itu fungsinya untuk
sekresi renin, renin ini fungsi nya mengubah angiotensin menjadi angiotensin 1 lalu
diubah menjadi angiotensin II oleh ACE itulah yang menyebabkan divasokontriksi.
6. Glomerulonefritis.
7. LED cepat, titer asto hasilnya biasa meningkat , kadal komplemen C3 juga
meningkat, tes fungsi ginjal, USG, MRI.
8. Najis.
9. Warna normal urin kuning cerah.
10. Meminum antibiotik sampai tuntas, minum air yang banyak, menjaga asupan nutrisi
tubuh, istirahat yang cukup.

4
HIPOTESIS

Glomerulonefritis disebabkan oleh kompleks antigen antibodi bakteri streptococcus


yang menyebabkan kerusakan pada membrana basalis, menimbulkan proteinuria,
hematuria, oliguria dan tekanan darah meningkat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
berupa LED cepat, titer ASTO yang hasilnya biasa meningkat , kadar komplemen C3
juga meningkat, tes fungsi ginjal, USG, dan MRI. Pencegahan dapat dilakukan
dengan meminum antibiotik sampai tuntas, meminum air yang banyak, menjaga
asupan nutrisi tubuh, istirahat yang cukup. Dalam pandangan islam urin merupakan
najis.

5
Sasaran belajar

1. MM anatomi ginjal
1.1 makroskopis
1.2 mikroskopis
2. MM fisiologi ginjal
2.1 mekanisme pembentukan urin
2.2 mekanisme keseimbangan cairan tubuh
2.3 mekanisme pengaturan tekanan darah (RAA)
3. MM Glomerulonefritis akut.
3.1 definisi
3.2 etiologi
3.3 epidemiologi
3.4 patofisiologi
3.5 manifestasi klinis
3.6 diagnosis dan diagnosis banding
3.7 tatalaksana
3.8 komplikasi
3.9 pencegahan
3.10 prognosis
4. MM pandangan islam terhadap urin dan darah

6
HASIL SASARAN BELAJAR

LI.1 Mempelajari dan Memahami Anatomi Ginjal

LO.1.1 Makroskopis

Ginjal (Ren)
Letak :

Gambar 1.1.a letak anatomi ginjal (sumber: prometeus)

- Bagian belakang (posterior) abdomen bagian atas


- Retroperitonium
- Di depan dua costae terakhir (11 dan 12) dan tiga otot-otot besar M. transversus
abdominalis, M. quadratus lumborum dan M. psoas major.
- Di sebelah posterior dilindungi oleh costae dan otot yang meliputi costae, di
anterior dilindungi bantalan usus yang tebal
- Di belakang ginjal terdapat tiga nervi yaitu N. Subcostalis, N. iliohypogastricus,
N. ilioinguinalis sehingga bila terjadi radang maka bisa menekan ketiga nervi
tersebut.
Ukuran : 12 x 6 x 2 cm Berat : 120-150 gram

7
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal
ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri
adalah setinggi vertebra thoracal 11 sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah setinggi
vertebra thoracal 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan
adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal
kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

a. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus


renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan
tubulus kontortus distalis.

b. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

c. Columna renalis bertini, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal.

d. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks.

e. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau
duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

f. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan
calix minor.

g. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

h. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.

i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara
calix major dan ureter.

j. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Ginjal diliputi oleh suatu capsula cribosa tipis mengkilat yang berikatan dengan
jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal yang

8
disebut fascia renalis. Fascia renalisdibagi menjadi dua yaitu lamina anterior dan
lamina posterior. Kearah kiri dan kana bersatu dengan fascia transversa abdominalis
membentuk rongga yang diisi oleh lemak yang disebut corpus adiposum. Ginjal juga
memiliki selubung, yang langsung membungkus ginjal disebut capsula fibrosa,
sedangkan yang membungkus lemak-lemak disebut capsula adipose.

Posisi ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal tidak jatuh karena
ada A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari craniolateral ke caudomedial. Di puncak
atas ginjal terdapat topi yang disebut glandula supra renalis, yang kanan berbentuk
pyramid sedangkan kiri berbentuk bulan sabit.

 VASKULARISASI GINJAL

a. Medulla : dari Aorta abdominalis bercabang A.renalis sinistra dan dekstra setinggi
VL 1, masuk melalui hilum renalis menjadi A.segmentalis (A.lobaris) lanjut
menjadi A. interlobaris terus A.arquata lanjut lagi menjadi A.interlobularis terus
A.afferen dan selanjutnya masuk ke bagian korteks renalis ke dalam glomerulus
(capsula bowman), disini terjadi filtrasi darah.
b. Korteks : A.efferen berhubungan dengan V.interlobularis bermuara ke V.arcuata
bermuara ke V.interlobaris bermuara ke V.lobaris (V.segmentalis) bermuara ke
V.renalis sinistra dan dekstra dan selanjutnya bermuara ke V.cava inferior dan
berakhir ke atrium dekstra.

9
 INEVARSI GINJAL

Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal
melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus
dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan
persarafan simpatis melalui n.vagus.

LO.1.2 Mikroskopis

Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak dan simpai
jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan medula yang satu sama
lain tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke
korteks dan ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bangunan-bangunan yang
terdapat pada korteks dan medula ginjal adalah :

Korteks ginjal terdiri atas beberapa bangunan yaitu

a. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan berbentuk cangkir)


dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).
b. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan tubulus
kontortus distal.

Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian sistim tubulus
yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle, bagian tipis ansa Henle, duktus
ekskretorius (duktus koligens) dan duktus papilaris Bellini.

10
Korpus Malphigi

Korpus Malphigi terdiri atas 2 macam bangunan yaitu kapsul Bowman dan
glomerulus. Kapsul Bowman sebenarnya merupakan pelebaran ujung proksimal
saluran keluar ginjal (nefron) yang dibatasi epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh jumbai
kapiler (glomerulus) sampai mendapatkan bentuk seperti cangkir yang berdinding
ganda. Dinding sebelah luar disebut lapis parietal (pars parietal) sedangkan dinding
dalam disebut lapis viseral (pars viseralis) yang melekat erat pada jumbai glomerulus .
Ruang diantara ke dua lapisan ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan ultrafiltrasi.
Dari ruang ini cairan ultra filtrasi akan masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal.

Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar dengan warna yang
lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih padat. Glomerulus
merupakan gulungan pembuluh kapiler. Glomerulus ini akan diliputi oleh epitel pars
viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar terdapat ruang Bowman yang akan
menampung cairan ultra filtrasi dan meneruskannya ke tubulus kontortus proksimal.
Ruang ini dibungkus oleh epitel pars parietal kapsul Bowman.

Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus kontortus
proksimal yang membentuk kutub tubular, sedangkan pada kutub yang berlawanan
bertautan dengan arteriol yang masuk dan keluar dari glomerulus. Kutub ini disebut
kutub vaskular. Arteriol yang masuk disebut vasa aferen yang kemudian bercabang-
cabang lagi menjadi sejumlah kapiler yang bergelung-gelung membentuk kapiler.
Pembuluh kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut sel podosit yang
merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit ini dapat dilihat dengan
mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi membentuk arteriol
yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut vasa eferen, yang berupa sebuah
arteriol.

11
Apartus Juksta-Glomerular

Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah sifatnya menjadi sel
epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam sitoplasmanya terdapat granula yang
mengandung ensim renin, suatu ensim yang diperlukan dalam mengontrol tekanan
darah. Sel-sel ini dikenal sebagai sel yuksta glomerular. Renin akan mengubah
angiotensinogen (suatu peptida yang dihasilkan oleh hati) menjadi angiotensin I.
Selanjutnya angiotensin I ini akan diubah menjadi angiotensin II oleh ensim
angiotensin converting enzyme(ACE) (dihasilkan oleh paru). Angiotensin II akan
mempengaruhi korteks adrenal (kelenjar anak ginjal) untuk melepaskan hormon
aldosteron. Hormon ini akan meningkatkan reabsorpsi natrium dan klorida termasuk
juga air di tubulus ginjal terutama di tubulus kontortus distal dan mengakibatkan
bertambahnya volume plasma. Angiotensin II juga dapat bekerja langsung pada sel-sel
tubulus ginjal untuk meningkatkan reabsopsi natrium, klorida dan air. Di samping itu
angiotensin II juga bersifat vasokonstriktor yaitu menyebabkan kontriksinya dinding
pembuluh darah.

Sel-sel juksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel makula densa,
yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal yang berjalan berhimpitan
dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel dinding tubulus tersusun lebih padat
daripada bagian lain. Sel-sel makula densa ini sensitif terhadap perubahan konsentrasi
ion natrium dalam cairan di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah sistemik
akan menyebabkan menurunnya produksi filtrat glomerulus yang berakibat
menurunnya konsentrasi ion natrium di dalam cairan tubulus kontortus distal.
Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus kontortus distal akan
merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai osmoreseptor) untuk memberikan

12
sinyal kepada sel-sel yuksta glomerulus agar mengeluarkan renin. Sel makula densa
dan yuksta glomerular bersama-sama membentuk aparatus yuksta-glomerular.

Di antara aparatus yuksta glomerular dan tempat keluarnya vasa eferen glomerulus
terdapat kelompokan sel kecil-kecil yang terang (Gb-6) disebut sel mesangial
ekstraglomerular atau sel polkisen (bantalan) atau sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih
belum jelas, tetapi diduga sel-sel ini berperan dalam mekanisma umpan balik
tubuloglomerular. Perubahan konsentrasi ion natrium pada makula densa akan memberi
sinyal yang secara langsung mengontrol aliran darah glomerular. Sel-sel mesangial
ekstraglomerular di duga berperan dalam penerusan sinyal di makula densa ke sel-sel
yuksta glomerular. Selain itu sel-sel ini menghasilkan hormon eritropoetin, yaitu suatu
hormon yang akan merangsang sintesa sel-sel darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.

Tubulus Ginjal (Nefron)

a. Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran


yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Dindingnya disusun oleh
selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar dilihat. Inti sel bulat, bundar, biru
dan biasanya terletak agak berjauhan satu sama lain. Sitoplasmanya bewarna
asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang menghadap ke lumen mempunyai paras
sikat (brush border). Tubulus ini terletak di korteks ginjal.

Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85
persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa natrium. Glukosa, asam
amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

13
b. Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars asendens), bagian
tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars asendens). Segmen tebal turun
mempunyai gambaran mirip dengan tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen
tebal naik mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis ansa
henle mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya sekalipun
hanya terdiri atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga sitoplasmanya lebih
jelas terlihat. Selain itu lumennya tampak kosong. Ansa henle terletak di medula
ginjal. Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan atau mengencerkan urin.

c. Tubulus kontortus distal

Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh selapis


sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus
proksimal. Inti sel bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan.
Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap
lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi
bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.

14
d. Duktus koligen

Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai gambaran mirip tubulus
kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan
lebih pucat. Duktus koligen tidak termasuk ke dalam nefron. Di bagian medula yang
lebih ke tengah beberapa duktus koligen akan bersatu membentuk duktus yang lebih
besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini).
Muara ke permukaan papil sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil tampak
seperti sebuah tapisan (area kribrosa). Fungsi duktus koligen adalah menyalurkan
kemih dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh
hormon antidiuretik (ADH).

Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian korteks yang
menjorok masuk ke dalam medula membentuk kolom mengisi celah di antara
piramid ginjal yang disebut sebagai kolumna renalis Bertini. Sebaliknya ada juga
jaringan medula yang menjorok masuk ke dalam daerah korteks membentuk berkas-
berkas yang disebut prosessus Fereni.

Sawar Ginjal

Sawar ginjal adalah bangunan-bangunan yang memisahkan darah kapiler glomerulus


dari filtrat dalam rongga Bowman. Sawar ini terdiri atas endotel kapiler bertingkap
glomerulus, lamina basal dan pedikel podosit yang dihubungkan dengan
membran celah (slit membran). Sel podosit adalah sel-sel epitel lapisan viseral
kapsula Bowman. Sel-sel ini telah mengalami perubahan sehingga berbentuk bintang.
Selain badan sel sel-sel ini mempunyai beberapa juluran (prosessus) mayor (primer)

15
yang meluas dari perikarion dengan cara seperti tentakel seekor gurita. Sebuah
prosessus primer mempunyai beberapa prosessus sekunder yang kecil atau pedikel.
Pedikel podosit yang berdekatan saling berselang-seling dalam susunan yang rumit
dengan sistem celah yang disebut celah filtrasi (Slit pores) di antara pedikel. Pedikel-
pedikel ini berhubungan dengan suatu membran tipis disebut membran celah (Slit
membran). Di bawah membran slit ini terdapat membran basal sel-sel sel endotel
kapiler glomerulus.

Guna sawar ginjal ini adalah untuk menyaring molekul-molekul yang boleh melewati
lapisan filtrasi tersebut dan molekul-molekul yang harus dicegah agar tidak keluar dari
tubuh. Molekul-molekul yang dikeluarkan dari tubuh adalah molekul-molekul yang
sudah tidak diperlukan oleh tubuh, sisa-sisa metabolisma atau zat-zat yang toksik bagi
tubuh. Molekul-molekul ini selanjutnya akan dibuang dalam bentuk urin (air kemih).
Proses filtrasi ini tergantung kepada tekanan hidrostatik darah dalam kapiler
glomerulus.

Perdarahan Ginjal

2. Memahami dan Mempelajari Fisiologi Ginjal.

2.1 mekanisme pembentukan urin

1. Filtrasi Glomerolus
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti pada
kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerolus secara relatif bersifat impermeable

16
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeable terhadap air dan larutan
yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran
darah ginjal (RBF; Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung
(cardiac output) atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerolus ke kapsula Bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerolus (GFR; Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula Bowman disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerolus dan kapsula Bowman,
tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerolus mempermudah filtrasi dan
kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta
tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerolus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.

2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian, yaitu: non elektrolit, elektrolit
dan air. Pasca filtrasi fase yang kedua adalah reabsorpsi selektif terhadap zat-zat
yang masih diperlukan oleh tubuh.

3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus ke dalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (contoh: penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distal, transport aktif natrium sistem carrier yang juga terlibat dalam
sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carrier
membawa natrium keluar dari cairan tubular, carrier dapat berupa hidrogen atau
ion kalium ke dalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion
natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan
ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).

17
2.2 mekanisme keseimbangan cairan tubuh

Mekanisme Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

1. Keseimbangan Donnan
Keseimbangan Gibbs–Donnan adalah keseimbangan antara cairan intra dan
ekstrasel yang timbul akibat peran membran sel. Protein yang merupakan
suatu molekul besar bermuatan negatif, bukan hanya ukuran molekulnya yang
besar namun merupakan suatu partikel aktif yang berperan mempertahankan
tekanan osmotik. Keseimbangn Gibbs–Donnan menjelaskan perpindahan
cairan dari intrasel ke interstisium akibat pergerakan muatan ion yang
dipengaruhi oleh protein. Hasil akhir dari keseimbangan ini adalah
berpindahnya cairan dari kompartemen yang kurang mengandung protein ke
kompartemen yang lebih banyak mengandung protein.

2. Osmolalitas dan Osmolaritas


Osmolalitas digunakan untuk menampilkan konsentrasi larutan osmotik
berdasarkan jumlah partikel, sehubungan dengan berat pelarut. Lebih khusus,
itu adalah jumlah osmol disetiap kilogram pelarut. Sedangkan osmolaritas
merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan konsentrasi larutan
osmotik. Hal ini didefinisikan sebagai jumlah osmol zat terlarut dalam satu
liter larutan. Osmolaritas adalah properti koligatif, yang berarti bahwa
tergantung pada jumlah partikel terlarut dalam larutan. Selain itu osmolaritas
juga tergantung pada perubahan suhu

3. Tekanan Koloid Osmotik


Tekanan koloid osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan oleh molekul
koloid yang tidak dapat berdifusi, misalnya protein, yang bersifat menarik air
ke dalam kapiler dan melawan tekanan filtrasi. Koloid merupakan molekul
protein dengan berat molekul lebih dari 20.000-30.000. Walaupun hanya
merupakan 0,5% dari osmolalitas plasma total, namun mempunyai arti yang

18
sangat penting. Karena, hal ini menyebabkan permeabilitas kapiler terhadap
koloid sangat kecil sehingga mempunyai efek penahan air dalam komponen
plasma, serta mempertahankan air antar kompartemen cairan di tubuh. Bila
terjadi penurunan tekanan koloid osmotik, akan menyebabkan timbulnya
edema paru .

4. Kekuatan Starling (Starling’s Forces)


The Persamaan Starling menggambarkan aliran cairan melintasi membran
semipermeabel.. Ini menggambarkan keseimbangan antara tekanan kapiler ,
tekanan interstisial, dan tekanan osmotik .  Prinsip Starling pertukaran cairan
adalah kunci untuk memahami bagaimana cairan plasma ( pelarut ) di
dalam aliran darah ( cairan intravaskular  ) bergerak ke ruang di luar aliran
darah (ruang ekstravaskular ).

Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar
ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal :

1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.


2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, + - + 3- 2+ 2+ 2-
2- + termasuk Na , Cl , K ,HCO , Ca , Mg , SO4 , PO4 , dan H . Bahkan
fluktuasi minor pada konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
menimbulkan pengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+
di CES dapat menimbulkan disfungsi jantung yang fatal.
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan
melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.
4. Membantu memelihara keseimbangan asam–basa tubuh dan + 3-
menyesuaikan pengeluaran H dan HCO melalui urin.
5. Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui pengaturan
keseimbangan H2O.
6. Mengekskresikan produk–produk sisa dari metabolisme tubuh, misalnya
urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat–zat sisa
tersebut bersifat toksik bagi tubuh, terutama otak.

19
7. Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat penambah pada
makanan, pestisida, dan bahan–bahan eksogen non nutrisi lainnya yang
berhasil masuk ke dalam tubuh.
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah.
9. Mensekresikan renin, suatu hormonn enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001).

2.3 mekanisme pengaturan tekanan darah (RAA)


System hormone terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam regulasi Na +
adalah system renin-angiotensin-aldosteron(SRAA).

Sel glanular apparatus juxtaglomerulus mengeluarkan suatu hormone enzimatik,


renin, kedalam darah sebagai respon terhadap penurunan NaCl, volume CES, dan
tekanan darah arteri. Fungsi ini adalah tambahan terhadap peran sel macula densa
apparatus juxtaglomerulus dalam autoregulasi. Secara spesifik, tiga masukan
berikut ke sel granular meningkatkan sekresi renin:

1. sel granular itu sendiri berfungsi sebagai baroresptor intrarenal. Sel ini peka
terhadap perubahan tekanan di dalam arteriol aferen. Keitka mendeteksi
penurunan tekanan darag, sel granular ini mengeluarkan lebih banyak renin.
2. Sel macula densa di bagian tubulus aparatur juxtaglomerulus peka terhadap
NaCl yang melewatiya melalui lumen tubulus. Sebagai respon terhadap
penurunan NaCl, sel macula densa memicu sel granular untuk mengeluarkan
lebih banyak renin.
3. Sel granular disarafi oleh system saraf simpatis. Ketika tekanan darah turun
dibawah normal, reflex baroresptor meningkatkan aktivitas simpatis. Sebagai
bagian dari reflex ini, peningkatan aktivitas simpatis merangsang sel granular
mengeluarkan lebih banyak renin.

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh
filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.

20
Bahan-bahan esensial yang terfiltrasi dikembalikan ke tubuh melalui reabsorpsi
tubulus, bahan-bahan ini bersifat penting bagi tubuh, misalnya glukosa, asam amino,
dan nutrien organik lainnya, serta Na+ dan elektrolit lain seperti PO4 3- . Natrium
direabsorpsi di sepanjang tubulus kecuali di pars desenden ansa henle. Sistem Renin
Angiotensin Aldosteron merupakan sistem hormon berperan dalam regulasi Na+ ,
dimana enzim renin dihasilkan sel granular jukstaglomerulus. Enzim dihasilkan
sebagai respon terhadap penurunan NaCl, volume CES, dan tekanan darah arteri.
Sehingga apabila terjadi peningkatan sekresi renin maka menyebabkan peningkatan
reabsorpsi Na+ .
 Setelah diekskresikan ke dalam darah, renin bekerja sebagai enzim untuk
mengaktifkan angiotensinogen (protein plasma yang disintensis oleh hati dan
konseterasinya tinggi di dalam darah) menjadi angiotensin I.
 Kemudian angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) yang banyak terdapat di kapiler paru. Angiotensin II
adalah perangsang utama sekresi hormone Aldosteron, dimana aldosterone
meningkatkan reabsorpsi Na+ dengan cara menambahkan pompa N+-K+ ke
dalam membran basolateral. Sehingga meningkatkan perpidahan pasif Na+ dan
peningkatan reabsorpsi Na+ disertaI Cl-.
 Sehingga sistem RAA mendorong retensi garam yang menyebabkan retensi H2O
dan peningkatan tekanan darah arteri.

21
 Selain merangsang sekresi aldosteron angiotensin II juga dapat mengaktifkan
vasokontriksi arteriol, merangsang rasa haus dan merangsang vasopressin.

Fungsi SRAA

Dua jenis sel tubular yang berbeda berlokasi di bagian tubulus distal dan
kolingentes: sel principal dan sel interkalasi. Semakin banyak sel principal
merupakan tempat kerja aldosterone dan vasopressin dan karenanya terlibat dalam
reabsorbsi H2O (diatur oleh vasopressin). sel interkalasi berkaitan dengan
keseimbangan asam basa.

Aldosteron meningkatkan reabsorbsi Na+ oleh tubulus distal dan kolingentes.


Selain aldosterone, angiotensin II adalah konstriktor poten arteriol sistemik, yang
secara langsung meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan retensi perifer
total, merangsang rasa haus (meningkatkan asupan cairan) dan merangsang
vasopressin (suatu hormone yang meningkatkan retensi H2O oleh ginjal),
keduanya ikut berperan dalam menambah volume plasma dan meningkatkan
tekanan arteri. Jika beban Na, volume CES dan plasma, dan tekanan darah arteri
di atas normal. Sekresi renin di hambat.

Peran SRAA dalam berbagai penyakit

Sebagian kasus hipertensi (tekanan darah tinggi) disebabkan oleh peningkatan


abnormal aktivitas SRAA. System ini juga menyebabkan retensi cairan dan edema
yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Karena jantung mengalami kepayahan,
curah jantung berkurang dan tekanan darah arteri menjadi rendah meskipun
volume plasma normal atau bahkan meningkat. Jika penurunan tekanan darah
disebabkan oleh gagal jantung dan bukan penurunan beban garam/cairan di tubuh,
reflex-refleks untuk menahan garam dan cairan yang terpicu oleh rendahnya
tekanan darah merupakan hal yang kurang tepat. Ekresi Na dapat turun hingga
nyaris nol meskipun ingesti garam berlanjut dan terjadi akumulasi di tubuh.
Ekspansi CES yang terjadi menimbulkan edema dan memperparah gagal jantung
kongestif karena jantung yang telah melemah tidak dapat memompa volume
plasma tambahan.

22
LI.3 Mempelajari dan Memahami Glomerulonefritis Akut

LO.3.1 Definisi

Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu yang dikarakterisasi oleh cedera glomerular dengan onset mendadak.
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah
setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, yaitu glomerulonefritis akut
pasca infeksi streptokokus (GNAPS).

LO.3.2 Etiologi

GNAPS didahului infeksi saluran nafas atas (termasuk telinga tengah) atau kulit/piodermi
oleh Streptokokus β hemolitikus grup A tertentu yang bersifat nefritogenik. Pada infeksi
tenggorokan, serotipe yang paling sering diditeksi adalah serotipe M12. Dan juga terdeteksi
serotipe M1, 3, 4, 12, 25 dan 49. Sedangkan pada infeksi kulit, yang tersering adalah serotipe
M49, disamping adanya infeksi oleh serotype 2, 55, 57 dan 60. Infeksi kuman streptokokus
beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus
berkisar 10-15%.

Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan:

1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina


2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.

Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari
streptokokus, penyebab lain diantaranya:

1. Bakteri :streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,


Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll.

23
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika dll.

3.  Parasit : malaria dan toksoplasma.

LO.3.3.Epidemiologi

GNAP dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya kasus terjadi pada
kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari
tempat pelayanan kesehatan.2-4 Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang
menyerang kulit (pioderma),2 sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko terjadinya
nefritis 10-15%.3 Rasio terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit
ini terutama menyerang kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2 tahun kejadiannya
kurang dari 5%.3.

Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju,
namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS berkaitan
banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan lebih mudah oleh
pelayanan kesehatan yang kompeten.2 Di beberapa negara berkembang, glomerulonefritis
pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling sering ditemui. Attack
rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.

Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau
sporadik,15 paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun.5
Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1. Di Indonesia, penelitian multisenter
selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak
menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%). Dari seluruh kasus, 95% diperkirakan akan sembuh
sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis
kronis.

LO.3.4.Patofisiologi

Secara morfologis maupun berdasarkan atas adanya penurunan kadar C3 serum,


menunjukkan patogenesis dari GNAPS adalah oleh karena terbentuknya komplex imun yang
bersirkulasi dan pembentukan komplex imun in situ. Hipotesis lain yang sering juga

24
dibicarakan adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus tersebut yang
mengubah IgG endogen, sehingga menjadi autogenik. Akibatnya, terbentuklah autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut, yang mengakibatkan pembentukan komplex imun
yangbersirkulasi, yang kemudian mengendap dalam ginjal.

. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap di membran


basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran
basalis glomerulus. Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-
kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran
basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi
epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan
imunologis dengan komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron
cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan
karateristik paa mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop
imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi
seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan
C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang
dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh


Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam
sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya


GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin.
Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari
sistem komplemen.

Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi
perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt
meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi
simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon
25
cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel.
Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan
proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur
menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks


imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari
kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks
kecil cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi
sepanjang dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran
sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke
mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.

Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi
spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus
terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada
glomerulonefritis akut post steroptokokus.

Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan


adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik
mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis


glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana
basalis ginjal.

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau

26
alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli,
menyebabkan terjadinya :

1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)


2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG)
juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam
akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia,
kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi,
kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia,
dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2
yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan
perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping
timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek
adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan
garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.

27
LO.3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis GNAPS bervariasi mulai dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas.
Bentuk asimtomatik lebih banyak dari pada bentuk simtomatik. Manifestasi klinis yang khas
yaitu berupa SNA yang terdiri atas kumpulan gejala berupa hematuria, edema, hipertensi,
dapat disertai proteinuria dan penurunan fungsi ginjal. Sindrom nefritik ini didahului oleh
infeksi saluran napas akut atau infeksi kulit. Sebanyak 45,8% kasus GNAPS didahului oleh
infeksi saluran napas akut dan 31,6% oleh infeksi kulit. Onset gejala timbul secara tiba-tiba,
terjadi 1-2 minggu setelah pasien menderita faringitis atau infeksi saluran napas akut, atau 3-
6 minggu setelah infeksi kulit (pioderma).

GNAPS simtomatik

28
1. Periode laten : Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara
infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang
terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu,
maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein
atau Benign recurrent haematuria.
2. Edema : Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat,
maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.

Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan
lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi,
karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang
pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena
gaya gravitasi. Kadangkadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak
dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema
bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan
interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria

Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5 sedangkan


hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46- 100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.1 Urin tampak coklat kemerah-
merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola.
Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung
beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria
mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6
bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa

29
menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan
terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat
kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.

4. Hipertensi : Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain.
Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg).
Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang
teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat
menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral,
seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- kejang.
Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-
50%.
5. Oliguria Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan
produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal
menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria
umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria
yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang
jelek.
6. Gejala Kardiovaskular : Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan
sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga
terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa
bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu
pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan
urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-
kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang
bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik
toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan

30
radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero
Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).
7. Gejala-gejala lainSelain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise,
letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan
akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

LO.3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

DIAGNOSIS

 Anamnesis: didapatkan adanya riwayat infeksi saluran nafas/infeksi kulit 2-3


minggu sebelumnya, adanya kencing merah (berwarna seperti air cucian daging),
udem sekitar mata yang kemudian menjalar ke tungkai, kencing berkurang atau tidak
kencing sama sekali, sakit kepala serta sesak nafas. Keluhan spesifik yang juga
sering timbul adalah malaise, lethargi, nyeri di daerah abdomen atau flank area, serta
demam.
 Pemeriksaan fisik: ditemukan tekanan darah sering meningkat, udem pada
palpebra/tungkai, dan infeksi/bekas infeksi kulit. Fase akut penyakit ini pada
umumnya telah membaik dalam waktu 1 bulan setelah onset, namun kelainan pada
urinnya dapat masih berlanjut sampai lebih dari 1 tahun.
 Penunjang diagnosis
1. Urin : hematuria nyata/mikroskopis, piuria, proteinuria.
2. Darah : LED meninggi, ureum dan kreatinin meninggi atau penurunan laju
glomerulus, C3 (B1C globulin) menurun pada fase akut pemeriksaan C3 untuk
menegakkan diagnosis dan ASTO meningkat.
3. Uji klirens ureum dan kreatinin menurun.
4. Foto toraks dapat ditemukan nephritic lung.
5. Biakan hapus tenggorok dapat ditemukan kuman streptokokus β hemolitikus grup
A.
Deteksi infeksi streptokokus dapat dilakukan dengan pemeriksaan antibodi
terhadap antigen streptokokus seperti antistreptolisin O, streptokinase,
hialuronidase, DNAase B, dan NADase. Pada pasca infeksi streptokokus pada
saluran nafas akut didapatkan peningkatan ASO pada 80-90%, sedangkan pasca
infeksi kulit didapatkan peningkatan ASO pada 50%.
Laboratorium:

31
a. Darah (complete blood count)
 Titer ASTO meningkat
Bila ditemukan kenaikan ≥250 U. Peningkatan ini dimulai pada minggu 1-3,
puncak pada 3-5 minggu, dan kembali normal dalam 6 bulan. Pada pasien dengan
infeksi kulit, anti-DNase B (ADB) titer lebih sensitif dibandingkan titer ASO
untuk infeksi Streptococcus .
 Kadar komplemen ( C3) turun,C4 dan C5 normal
Turun pada 2 minggu pertama masa sakit,dan kembali normal lagi 6-8 minggu
kemudian.
 Kadar nitrogen ureum darah (BUN) dan kreatinin plasma meningkat.
Kreatinin merupakan zat hasil metabolisme otot yang diekskresikan lewat urin
melalui proses filtrasi glomerulus. Kadar normal kreatinin serum 0.7-1.5
mg/100ml.
Kadar BUN normal 20mg/100ml. Keadaan meningkatnya kadar BUN dan
kreatinin disebut azotemia.
 LED cepat
Menunjukkan adanya infeksi saluran kemih.
 Lekositosis
Menunjukkan adanya infeksi.
 Anemia normokrom normositik
Adanya anemia yang diakibatkan bocornya glomerulus,penurunan eritropoietin
dan tidak adanya gangguan keseimbangan as.folat,b12 dan besi.
 Kadar Albumin plasma menurun
Menunjukkan adanya kebocoran yang terjadi di glomerulus sehingga albumin
banyak yang diekskresikan bersama urin.
 Gangguan ekskresi kalium, air bebas, dan hasil asam dalam hiperkalemia,
hiponatremia, dan rendah kadar bikarbonat serum, masing-masing.
 Gangguan hasil produksi hormon vitamin D-3 di hypocalcemia,
hiperfosfatemia, dan tingkat tinggi hormon paratiroid
b. Biopsi Ginjal
Prosedur ini melibatkan penggunaan jarum khusus untuk mengekstrak potongan-
potongan kecil jaringan ginjal untuk pemeriksaan mikroskopis untuk membantu

32
menentukan penyebab dari peradangan,derajat penyakit dan proses keparahan
inflamasi.
c. Urinalisis (menggunakan urine 24 jam)
 Proteinuria (<1g/dl)
Protein normal di urin <10mg/dL atau <100mg/hari yang terdiri dari albumin dan
tamm-horsfall (protein tubulus). Uji yang digunakan ada 2,pertama dengan
menggunakan uji strip reagent(dipstick) yaitu dengan menggunakan carik celup
dengan membandingkan warna pada label yang nilainya 0-4+.
Tingkatan dipstick Konsentrasi protein(mg/dl)

0 0-5
Samar 5-20
1+ 30
2+ 100
3+ 300
4+ 1000

Kedua dengan cara konvensional menggunakan metode presipitasi (panas dan


asam) dengan asam sulfosalisilat dan asam asetat.
 Hematuria setiap berkemih
Eritrosit normal di urin 0-1/lpb. Uji dipstick untuk mengetahui adanya darah
samar. Bila hasilnya positif maka dilakukan uji mikroskopis urine.
 BJ meningkat
Diukur dengan kapasitas pengapungan hidrometer dan urinometer dalam suatu
silinder urine. BJ norma 1003-1030. Cara ini tergantung dengan besarnya berat
dan jumlah partikel terlarut. Menunjukkan adanya proteinuria
 Silinder : eritrosit, granula dan lilin
Normal silinder di urin 0-2/lpk. Merupakan cetakan protein yang dibentuk di
tubulus con.distal dan ductus coligens
 Sedimen : jumlah eritrosit, leokosit, epithel tubulus renal meningkat
d) Kultur darah dan kultur jaringan
Kultur darah diindikasikan pada pasien dengan demam, imunosupresi, intravena
(IV) sejarah penggunaan narkoba, shunts berdiamnya, atau kateter. Kultur darah

33
dapat menunjukkan hipertrigliseridemia, penurunan laju filtrasi glomerulus, atau
anemia. Kultur dari tenggorokan dan lesi kulit untuk menyingkirkan
spesies Streptococcusdapat diperoleh.

e) Radiografi

Radiografi dada diperlukan pada pasien dengan batuk, dengan atau tanpa hemoptysis
(misalnya, Wegener granulomatosis, sindrom Goodpasture, kongesti
paru). Pencitraan radiografi perut (yaitu, computed tomography [CT]) diperlukan
jika abses viseral diduga; juga mencari abses dada.

CT scan kepala tanpa kontras mungkin diperlukan dalam setiap pasien dengan
hipertensi ganas atau perubahan status mental.
Ultrasonografi ginjal samping tempat tidur mungkin tepat untuk mengevaluasi
ukuran ginjal, serta untuk menilai echogenicity dari korteks ginjal, mengecualikan
obstruksi, dan menentukan tingkat fibrosis. Sebuah ukuran ginjal kurang dari 9 cm
adalah sugestif dari jaringan parut yang luas dan rendah dan kemungkinan
reversibilitas.
Echocardiography dapat dilakukan pada pasien dengan murmur jantung baru atau
kultur darah positif untuk menyingkirkan endokarditis atau efusi perikardial.

Gambaran patologi

Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan
pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat
disebut glomerulonefritis difusa.
34
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen
kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel
epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop
elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan
humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan
antigen Streptococcus.

Gambar 8. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya


pembesaran 20×

Keterangan gambar :

Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya (hematosylin dan eosin


dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan glomerular yang membuat
pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler terjadi karnea proliferasi dari
sel endogen dan infiltasi lekosit PMN.

35
Gambar 10. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop elektron

keterangan gambar :

Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron. Gambar menunjukjan


proliferadi dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi lekosit yang bergabung
dnegan deposit electron di subephitelia.(lihat tanda panah).

Gambar 11. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi

keterangan gambar :

Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop immunofluoresensi dengan


pembesaran 25×. Gambar menunjukkan adanya deposit immunoglobulin G (IgG)
sepanjang membran basalis dan mesangium dengan gambaran ”starry sky appearence”.

36
DIAGNOSIS BANDING

Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS.
1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda.
Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal
sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu
adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu
timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.

b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria


Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom
Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria.
Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopik
yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas
tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat.

c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)


RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Kelainan ini
sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya
oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada GNAPS,
sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada
GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan
prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.

2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-
Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini dapat
menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria dan
kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif dan titer ASO
normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan
pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE
positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE

37
tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas
perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan
ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal.

3. Penyakit-penyakit infeksi : GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus
tertentu selain oleh Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan
melaporkan gejala GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis,
varicella, dan virus ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat
penyakit dasarnya.

LO.3.7 Tatalaksana

1. Istirahat

Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam
minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi
istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya
perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest
sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum
hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan
syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya,
sehingga dapat memberikan beban psikologik.

2. Diet

Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan
tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1
g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau
anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti
asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).

38
3. Antibiotik

Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak
satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk
streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan
negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi
oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode
laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10
hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30
mg/kgbb/hari.

Diberikan antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau


eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin.

4. Simptomatik

a. Bendungan sirkulasi

Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata
lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda
edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka
dilakukan dialisis peritoneal.

b. Hipertensi

Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan
istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal
dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral
dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya.
Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga
diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi
dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara
intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3
mg/kgbb).

39
c. Gangguan ginjal akut

Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang
cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat
dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat
kalium.

PEMANTAUAN

Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejalagejala seperti
edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala
laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia
memperlihatkan bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%,
proteinuria 98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%. Kadar C3 yang menurun
(hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan
hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat
menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1
tahun.

Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang


berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat
hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun
atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu
atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.

40
Rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak

Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease, masih terdapat
kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai GNAPS, sehingga memerlukan
rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk tindakan khusus (antara lain biopsi ginjal).

Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS :

- Periode laten pendek

- Adanya penyakit ginjal dalam keluarga

- Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya

- Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun

2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS :

- Hematuria makroskopik > 3 bulan

- Hematuria mikroskopik > 12 bulan - Proteinuria > 6 bulan

- Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan

- Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan

- Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau anti GBM (+).

3.8 Komplikasi Glomerilonefritis Akut

Komplikasi yang sering dijumpai adalah :

1. Ensefalopati hipertensi (EH).

EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan nifedipin
(0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan kesadaran
menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali.

41
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun
sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau
hingga normal.

2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)


Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan kalori
secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
• Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
• NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
• K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
• Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang,
halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

LO.3.9 Pencegahan

Tidak ada cara untuk mencegah kebanyakan bentuk glomerulonefritis. Namun, berikut
adalah beberapa langkah yang mungkin bermanfaat:

 Mencari pengobatan yang tepat dari infeksi tenggorokan menyebabkan sakit


tenggorokan atau impetigo.
 Untuk mencegah infeksi yang dapat menyebabkan beberapa bentuk
glomerulonefritis, seperti HIV dan hepatitis, ikuti aman-seks pedoman dan
menghindari penggunaan narkoba suntikan.
 Kontrol tekanan darah Anda, yang mengurangi kemungkinan kerusakan ginjal dari
hipertensi.

42
 Kontrol gula darah anda untuk membantu mencegah nefropati diabetes.

LO.3.10 Prognosis

Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain umur saat
serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau
epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus.11,24 Anak
kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau orang dewasa
oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus.

Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik.25
Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10
%; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam
beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.18 Angka kematian pada
GNAPS bervariasi antara 0-7 %.2,21 Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak,
maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal.
Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan
mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit
ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.

4.Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Urin dan Darah

Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara
yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222

َ‫إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ التَّوَّابِينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.

Macam-macam Thaharah

Thaharah terbagi dalam 2 bagian :

43
a. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau
tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
Macam – macam Hadats dibagi 2 :
- Hadats besar ialah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci, maka ia
harus mandi atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan
seseorang berhadats besar ialah :
- Bersetubuh baik keluar mani ataupun tidak.
- Keluar mani, baik karena bermimpi atu sebab lain.
- Meninggal dunia
- Haid, nifas, dan wiladah
- Hadats kecil adalah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci maka ia
harus wudhu atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan
seseorang berhadats kecil ialah :
- Karena keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur
- Karena hilang akalnya disebabkan mabuk, gila atau sebab lain seperti tidur
- Karena persentuhan antara kulit laki – laki dan perempuan yang bukan mahramnya
tanpa batas yang menghalanginya. Karena menyentuh kemaluan.
-

b. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan
najis dengan air.
Najis terbagi menjadi 3, yaitu :
a. Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau jilatan
anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7x dengan air dan salah satunya
dengan tanah.
b. Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum makan atau
minum apa-apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air sedangkan air seni
anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir hingga hilang zat atau
sifatnya.
C. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air kencing,
kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikkannya dibasuh dengan air di tempat
yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.

Darah

44
Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang
besar dari dalam tubuh. Dan dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah.” (QS  An-Nahl:
115).

Selain itu juga ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pakaian yang terkena darah dan
benda-benda najis lainnya harus dicuci.

Dari Ammar bin Yasir radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda,”Sesungguhnya pakaian itu harus dicuci bila terkena mani, air kencing
dan darah”. (HR. Ad Daruquthny)

Dari Asma’ binti Abu Bakar berkata bahwa ada seorang wanita mendatangi Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya,”Aku mendapati pakaian salah seorang kami
terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab,” ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan ujung jari dan
kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat dengannya”. (HR. Bukhari)

a. Bukan Najis: Darah Dalam Tubuh


Darah yang mengalir di dalam tubuh hukumnya tidak najis, yang najis adalah darah
yang mengalir keluar dari tubuh, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

…”atau darah yang mengalir.” (QS  Al An’am: 145)

Termasuk yang menjadi pengecualian adalah organorgan yang terbentuk atau menjadi
pusat berkumpulnya darah seperti hati, jantung dan limpa dan lainnya. Semua organ itu
tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir.

Maka orang yang menerima sumbangan donor darah dari luar, ketika darah itu masih
berada di dalam kantung, hukumnya najis dan tidak boleh shalat sambil membawa
kantung berisi darah. Tetapi bila darah itu sudah disuntikkan ke dalam tubuh seseorang,
maka darah yang sudah masuk ke dalam tubuh itu tidak terhitung sebagai benda najis.

Kalau masih tetap dianggap najis, maka seluruh manusia pun pasti mengandung darah
juga. Apakah tubuh manusia itu najis karena di dalamnya ada darahnya?

45
Jawabannya tentu saja tidak najis, karena darah yang najis hanyalah darah yang keluar
dari tubuh seseorang.

b. Bukan Najis: Darah Syuhada’


Darah yang juga hukumnya bukan darah najis adalah darah yang mengalir dari tubuh
muslim yang mati syahid (syuhada’). Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa
darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis.

Dasar dari kesucian darah para syuhada adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam:”

Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darahdarahnya juga.


Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya
warna darah namun aromanya seharum kesturi. (HR. An-Nasai dan Ahmad)

Namun para ulama mengatakan darah syuhada yang suci itu hanya bila darah itu masih
menempel di tubuh mereka. Sedangkan bila darah itu terlepas atau tercecer dari tubuh,
hukumnya tetap hukum darah seperti umumnya, yaitu najis.

c. Bukan Najis: Darah Yang Dimaafkan


Para ulama juga mengenal istilah kenajisan darah yang dimaafkan. Artinya meski pun
wujudnya memang darah, namun karena jumlahnya sedikit sekali, kenajisannya
dianggap tidak berlaku. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari
sedikitnya darah yang dimaafkan kenajisannya itu.
-Al Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa batasannya adalah darah itu tidak terlalu besar
mengalir ke luar tubuh melebihi lebarnay lubang tempat keluarnya darah itu. Mazhab
ini juga memaafkan najis darah dari kecoak dan kutu busuk, karena dianggap sulit
seseorang untuk bisa terhindar dari keduanya.
Terkait dengan darah, hewan air atau hewan yang hidup di laut yang keluar darah dari
tubuhnya secara banyak tidak najis. Hal itu disebabkan karena ikan itu hukumnya tidak
najis meski sudah mati.
- Al Malikiyah
Dalam pandangan mazhab Al Malikiyah, darah yang kenajisannya dimaafkan adalah
darah yang keluar dari tubuh, tapi ukurannya tidak melebihi ukuran uang dirham,

46
bila terlepas dari tubuh.

- Asy-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa darah yang kenajisannya dimaafkan adalah
darah yang jumlahnya sangat sedikit sekali. Namun mazhab ini tidak menyebutkan
ukurannya secara tepat. Ukurannya menurut ‘urf masingmasing saja.
Selain itu yang juga termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh seseorang
karena lecet atau sisa pengeluaran darah dalam donor darah. Demikian juga darah
kecoak dan kutu busuk, termasuk yang dimaafkan. Juga darah yang tidak nampak oleh
mata kita, bila terjadi pendarahan pada bagian tubuh tertentu, termasuk yang
dimaafkan.

Kotoran dan Kencing

Kotoran manusia dan air kencing (urine) adalah benda yang najis menurut jumhur ulama.
Abu Hanifah mengatakan kotoran manusia termasuk najis ghalizhah (najis berat). Sementara
Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan najis ringan (khafifah).

Dasarnya kenajisan kotoran (tinja) adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta kepada Ibnu Mas’ud sebuah batu untuk istinja’,
namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau
mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,”Yang ini najis”. (HR. Bukhari)

Selain itu juga ada dalil dari hadits yang lain dimana disebutkan bahwa kotoran manusia
harus dicuci dari baju.

“Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al Baihaqi dan Ad-
Daruquthny).

47
DAFTAR PUSTAKA

Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC

Ilmu Kesehatan Nelson, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut pasca
streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta

(Dr. Achmad Sofwan dan Dr. Edward Syam. 2019. Buku Diktat Sistem Urinarius)

(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 6, Hal 2074)

Hasan Sadikin. 2013. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


GLOMERULONEFRITIS AKUT. Dedi Rachmadi Bagian Ilmu Kesehatan FK. UNPADRS.
Bandung.

Dr. Maniur Sondang. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. Sari Pediatri.
2003. Vol 5 (2).

(DonnaJ.Lager, .D.http;//www.vh.org/adult/provider/pathologi/GN/GNHP.html)

Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut
pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta)

Rauf S, Albar H, Aras J. 2012. Konsensus glomerulonefritis akut paska streptokokus. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

CR, Leeson TS, Paparo AA. 1996. Buku Ajar Histologi. Ed 5. Jakarta : EGC.

(Arunagirinathanm A, Arayanaswamy DK, Thirunavukaransu B,Raghavan


A,Raghavendhran VD. Clinical spectrum and outcome of acute post-infectious glomerulo-
nephritis in children: A Hospital Based Study. International Journal of Scientific Study.
2015;3:164)

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar


Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009)
48
buku sherwood edisi 8 , lauralee sherwood

(Buku Ilmu Kesehatan Anak. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
SANGLAH DENPASAR 2017, Hal 119-120)

(Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC,


Jakarta)

(Markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P,1990, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit Dalam II, 274-
281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta)

49

Anda mungkin juga menyukai