Anda di halaman 1dari 34

Nama : Hening Ciptiany Pertiwy

NIM : 30101700072
SGD : 10
Modul : Urogenital
Skenario : LBM 3
Seorang anak laki laki usia 3 tahun 11 bulan dibawa ibunya datang ke RS Islam Sultan Agung
Semarang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh selama 10 hari. Bengkak muncul terutama
pagi hari di daerah mata, dan kemudian menjadi bengkak pada kedua lengan dan tungkai pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Tanda
vital : tekanan darah 95/60, pernafasan 24x/m, nadi 90-100x/m, suhu 37 C. Pemeriksaan fisik
konjungtiva anemis, edema palpebra dan wajah, abdomen tampak cembung, perkusi shifting
dullness positif, edema ekstremitas bawah, edema pada skrotum. Pada urinalisis ditemukan
proteinuria masif 4+ disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan: protein total
4,9g/dL, albumin 1,5 g/dL, kolesterol 450mg/dL, globulin 2g/dL, ureum 35mg/dL, kreatinin
0,4ml/dL.

STEP 1
 Shifting Dullness : Pekak alih, pemeriksaan cairan pada perut dimana bila positif berarti
adanya perpindahan cairan
 Pitting edema : suatu keadaan dimana saat ada kulit yang membengkak ditekan maka
akan membentuk suatu cekungan pada permukaan kulit yang ditekan

STEP 2
1. Mengapa terjadi bengkak pada mata dipagi hari lalu bengkak kedua lengan dan tungkai
pada siang hari ?
2. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan ttv ?
3. Mengapa pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil seperti pada diskenario ?
4. Apa interpretasi dari pemeriksaan Lab ?
5. Bagaimana alur diagnosisnya ?
6. Apa diagnosis dan DD dari kasus diskenarionya ?
7. Apa yang dimaksud dengan sindroma nefrotik ?
8. Apa saja etiologi dan factor resiko pada kasus di scenario tersebut ?
9. Apa pathofisiologi dari penyakit yang ada di scenario tersebut ?
10. Bagaimana tatalaksana dari kasus di scenario tersebut ?
11. Apa pemeriksaan penunjang dari kasus diskenario ?
12. Apa saja komplikasi pada kasus diskenario tersebut ?

STEP 3
1. Mengapa terjadi bengkak pada mata dipagi hari lalu bengkak kedua lengan dan tungkai
pada siang hari ?
Jawab :
Bengkak  terjadinya perpindahan cairan dari kapiler ke intersitial, ini dipengerahui oleh 2
tekanan :
1. Tekanan hidrostatik kapiler (tergantung air dalam tubuh)
2. tekanan onkotik plasmanya (tekanan dari protein dari kapiler)
Pada kasus ini yang berpengaruh adalah proteinnya. Albumin mempengaruh tekanan
intravascular dan ekstravaskular.
Kenapa bengkaknya di mata pada pagi hari dan kedua lengan dan tungkai : dipengaruhi
oleh tekanan gravitasi (posisi supine (tiduran) dipengaruhi tek. Aliran darah  aliran darah
merata ke seluruh tubuh  posisi jadi horizontal jadi mengalir ke arah mata, lalu bila posisi
berdiri (saat terbangun)  posisi darah akan deras mengalir kebawah), jadi kapiler itu ada
pada terminal didarah jadi bagian-bagian yang edema adalah bagian-bagian yang banyak
kapilernya, mata termasuk banyak kapilernya.
Perpindahan air akan berhenti bila gradiennya sama.
Patogenesis edem :
1. Peningkatan tek. hidrostatik kapiler
2. Penurunan tek. onkotik kapiler
3. Permeabilitas kapiler meningkat
4. Retensi air dan natrium
5. Obstruksi dari pembuluh limfe (limfe fungsinya untuk drainase cairan)
#Patogenesis edema

2. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan ttv ?


Jawab :
Tanda vital :
- tekanan darah 95/60 : pada SN  kadar albumin turun  tek. Onkotik turun (menjaga
perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskular)  sehingga terjadi
perpindahan cairan  volume plasma turun  tek. Darah turun
- pernafasan 24x/m : adanya pembengkakan ditubuh  perpindahan cairan dirongga
tubuh  manifestasi efusi pleura, asites, perfusi kardii  peningkatan dari RR karena
gangguan dari pengembangan paru.
- nadi 90-100x/m : turun (karena ada hipovalemiknya, cairan intravaskulernya sedikit)
dicurigai tubuh anak sudah tidak bisa mengkompensasi dari penurunan tek.darah dan
RR. #berapa lama kompensasi terjadi ?
- suhu 37 C : normal
# Cari perbedaan nilai normal untuk anak-anak dan dewasa
3. Mengapa pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil seperti pada diskenario ?
Jawab :
Pemeriksaan fisik
- konjungtiva anemis, : salah satu etiologi dari SN, ginjal  menghasilkan eritropoietin 
pada keadaan SN eritropoietin menurun/tidak ada  anemi
- edema palpebra dan wajah, : penjelasan di no.1
- abdomen tampak cembung, : cairan berpindah di intravaskuler  ekstravaskuler
- perkusi shifting dullness positif, : karena ascites
- edema ekstremitas bawah : dipengaruhi dengan tek. gaya gravitasi dan juga aliran balik
vena. Saat Arteri kontraksi  tek.arteri lebih kuat  dan aliran vena akan
menyeimbangan dari tekanan tsb.
Kontraksi otot  membantu menaikkan darah balik ke jantung
Tek.intraabdomen  membantu menaikkan darah balik ke jantung
Udem sifatnya pitting, lunak  tempatnya di seluruh tubuh anasarca jadi memiliki sifat
yang beda.
- edema pada skrotum :
#bengkak yang fisiologis dan patologis ?

4. Apa interpretasi dari pemeriksaan Lab ?


Jawab :
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif 4+ disertai hematuria. : kerusakan pada sawar
filtrasinya : kenapa proteinuria masif  karena lolos dan keluar di urin  dialiran darah
turun. Ketika 50-150 mg/KgBB/hari dicari
Hematuria  kerusakan dari glomerulus  glomerulus adalah kumpulan kapiler  jadi sel
darah merah juga lolos ke urin.
Pada pasien SN banyak kerusakan pada podosit  akan tembus pada kapsula bowman
Pada pemeriksaan darah didapatkan:
protein total 4,9g/dL, : nilainya turun karena adanya pengeluaran protein ke urin
albumin 1,5 g/dL, : albumin ini mempertahankan tek.onkotik. albumin akan di filter di
glomerulus  dibagian membrane basal albumin lolos karena kerusakan seharusnya
albumin tidak lolos dan melanjutkan ke kapsula bowman
kolesterol 450mg/dL, : gara-gara ada kolesterol yang keluar  hepar memiliki stimulus utk
memproduksi lipid dan glikoprotein  karena kekurangan kolesterol  maka hepar akan
meningkatkan produksi dari lipid dan glikoprotein. Normal : < 200 mg/dl. Karena albumin
turun jadi hepar memproduksi albumin lebih banyak. Lalu hepar juga menghasilkan
kolesterol, pada saat albumin diproduksi maka kolesterol juga diproduksi. Ketika albumin
menurun akan adanya penurunan dari enzim yang memecah kolesterol.
globulin 2g/dL, :
ureum 35 mg/dL, :
kreatinin 0,4ml/dL : kreatinin menurun  karena terdapat ekskresi protein
5. Apa pemeriksaan penunjang dari kasus diskenario ?
Jawab :
- Pemeriksaan Urinalisa
- Pemeriksaan darah
- X-Photo Thorax
- USG
- Renal biopsy (mengambil bagian kecil dari ren) : light mikroskopik, imunoflouresense,
electron mikroskopik

6. Apa DD dan diagnosis nya ?


Jawab :
DD :
- CHF
- Hepatitis
- SN
Dx :
SN ada berapa tipe

7. Apa yang dimaksud dengan sindroma nefrotik ?


Jawab :
Ada 4 :
Dyslipidemia
Hipoalbuminemia
Proteinuria massif
Edema perifer

8. Apa saja etiologi dan factor resiko pada kasus di scenario tersebut ?
Jawab :
Ada 2
Kongenital :
Primer : glomerolusnefritis lesi minimal, GSFS,
Sekunder : karena penyebab lain : infeksi, autoimun, amyloidosis
9. Apa pathofisiologi dari penyakit yang ada di scenario tersebut ?
10. Bagaimana tatalaksana dari kasus di scenario tersebut ?
11. Apa saja komplikasi pada kasus diskenario tersebut ?
STEP 7

1. Mengapa terjadi bengkak pada mata dipagi hari lalu bengkak kedua lengan dan tungkai
pada siang hari ?
Jawab :
Mekanisme terjadinya bengkak Secara umum.
Efek berlawanan antara tekanan hidrostatik (gaya yang mendorong cairan keluar kapiler ke
cairan interstisium) vaskular dan tekanan osmotik koloid plasma merupakan faktor utama
yang mengatur pergerakan cairan antara ruang vaskular dan ruang interstitial. Biasanya
keluarnya cairan ke dalam interstitial mikrosirkulasi hampir diimbangi oleh aliran masuk
pada venula; kelebihan cairan interstitial yang tersisa dalam jumlah yang kecil dialirkan
melalui saluran limfa. Meningkatnya tekanan hidrostatik jaringan dan tekanan osmotik
koloid plasma pada akhirnya akan mencapai suatu keseimbangan ekuilibrium yang baru,
dan air kembali memasuki venula. Cairan edema interstitial yang berlebihan dibuang
melalui saluran limfe, kembali terutama ke dalam darah melalui aliran duktus torasikus.
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam
berbagai rongga tubuh. Meningkatnya tekanan kapiler yang ataupun berkurangnya
tekanan osmotik koloid dapat menyebabkan meningkatnya cairan interstitial. Edema
terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan
cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang menyebabkan retensi
natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema. Cairan
edema yang terjadi pada kekacauan hidrodinamik, secara khas merupakan suatu transudat
yang miskin protein dengan BJ di bawah 1,012. Sebaliknya, karena peningkatan
permeabilitas vaskular, edema akibat radang merupakan suatu eksudat kaya protein
dengan berat jenis di atas 1,020.

Etiologi penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum:


Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic
plasma.
Penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi,
sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal. Dengan demikian
terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang – ruang interstisium. Edema
yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi protein plasma dapat terjadi melalui
beberapa cara :
a. Pengeluaran berlebihan protein plasma di urin akibat penyakit ginjal.
b. Penurunan sintesis protein plasma akibat penyakit hati ( hati mensintesis
hampir semua protein plasma );
c. Makanan yang kurang mengandung protein.
d. Pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas

Peningkatan tekanan vena


Misalnya darah terbendung di vena, akan disertai peningkatan tekanan darah
kapiler, karena kapiler mengalirkan isinya ke dalam vena. Peningkatan tekanan
kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang terjadi pada gagal
jantung kongestif. Edema regional juga dapat terjadi karena restriksi lokal aliran
balik vena. Salah satu contoh adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki
yang sering terjadi pada masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena-
vena besar yang mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena
tersebut masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini
menyebabkan kaki yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas
bawah.
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler
Menyebabkan protein plasma yang keluar dari kapiler ke cairan interstisium
disekitarnya lebih banyak. Sebagai contoh, melalui pelebaran pori-pori kapiler yang
dicetuskan oleh histamin pada cedera jaringan atau reaksi alergi. Terjadi
penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan ke arah dalam
sementara peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstisium yang diseabkan
oleh kelebihan protein di cairan interstisium meningkatkan tekanan ke arah luar.
Ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan edema lokal yang berkaitan
dengan cedera (misalnya, lepuh) dan respon alergi (misalnya, biduran).
Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema
Karena kelebihan cairan yang difiltrasi keluar tertahan dicairan interstisium dan
tidak dapat dikembalikan ke darah melalui sistem limfe. Akumulasi protein di
cairan interstisium memperberat masalah melalui efek osmotiknya. Penyumbatan
limfe lokal dapat terjadi, misalnya di lengan wanita yang saluran-saluran drainase
limfenya dari lengan yang tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe selama
pembedahan untuk kanker payudara. Penyumbatan limfe yang lebih meluas terjadi
pada filariasis, suatu penyakit parasitic yang ditularkan melalui nyamuk yang
terutama dijumpai di daerah-daerah tropis. Apapun penyebab edema,
konsenkuensi pentingnya adalah penurunan pertukaran bahan-bahan antara darah
dan sel. Sering dengan akumulasi cairan interstisium, jarak antara sel dan darah
yang harus ditempuh oleh nutrient, O2, dan zat-zat sisa melebar sehingga
kecepatan difusi berkurang. Dengan demikian, sel-sel di dalam jaringan yang
edematosa mungkin kurang mendapat pasokan darah.

Etiologi terjadinya bengkak Ada lima mekanisme yang berhubungan secara umum :
penurunan tekanan osmotic koloid, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler, obstruksi limfatik, dan kelebihan natrium dan
air tubuh. Beberapa bentuk edema diakibatkan oleh lebih dari satu mekanisme.
1. Penurunan tekanan osmotic koloid. Bila protein plasma di dalam darah menipis,
kekuatan ke dalam menurun, yang memungkinkan gerakan ke dalam jaringan.
Ini menimbulkan akumulasi cairan dalam jaringan dengan penurunan volume
plasma sentral. Ginjal berespons terhadap penurunan volume sirkulasi melalui
aktivasi sistem aldosteron-renin-angiotensin, yang mengakibatkan reabsorbsi
tambahan terhadap natrium dan air. Volume intravaskuler meningkat
sementara. Namun, karena defisit protein plasma belum diperbaiki, penurunan
tekanan osmotic koloid tetap rendah dalam proporsi terhadap tekanan
hidrostatik kapiler. Akibatnya cairan intravaskuler bergerak kedalam jaringan,
memperburuk edema dan status sirkulasi.

2. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler.


Penyebab paling umum dari peningkatan tekanan kapiler adalah gagal jantung
kongestif dimana peningkatan tekanan vena sistemik dikombinasi dengan
peningkatan volume darah. Manifestasi ini adalah karakteristik untuk gagal
ventrikel kanan, atau gagal jantung kanan. Bila tekanan ini melebihi 30 mmHg
terjadi edema paru. Penyebab lain dari peningkatan tekanan hidrostatik adalah
gagal ginjal dengan peningkatan volume darah total, peningkatan kekuatan
gravitasi akibat dari berdiri lama, kerusakan sirkulasi vena, dan obstruksi hati.
Obstruksi vena biasanya menimbulkan edema local dari pada edema umum
karena hanya satu vena atau kelompok vena yang terkena.

3. Peningkatan permeabilitas kapiler.


Kerusakan langsung pada pembuluh darah, seperti pada trauma luka bakar,
dapat meyebabkan peningkatan permeabilitas hubungan endothelium. Edema
local dapat terjadi pada respons terhadap allergen, seperti sengatan lebah.
Pada individu tertentu, allergen ini dapat mencetuskan respons anafilaktik
dengan edema luas yang ditimbulkan oleh reaksi tipe histamine. Inflamasi
menyebabkan hyperemia dan vasodilatasi, yang menyebabkan akumulasi
cairan, protein, dan sel pada area yang sakit. Ini mengakibatkan pembengkakan
edema (eksudasi) area yang terkait.

4. Obstruksi limfatik.
Penyebab paling umum dari obstruksi limfatik adalah pengangkatan limfonodus
dan pembuluh darah melalui pembedahan untuk mencegah penyebaran
keganasan. Terapi radiasi, trauma, metastasis keganasan, dan inflamasi dapat
juga menimbulkan obstruksi luas pada pembuluh darah. Obstruksi limfatik
menimbulkan retensi kelebihan cairan dan protein plasma dalam cairan
interstisial. Pada saat protein mengumpul dalam ruang interstisial, lebih banyak
air bergerak ke dalam area. Edema biasanya lokal.

5. Kelebihan air tubuh dan natrium.


Pada gagal jantung kongestif, curah jantung menurun pada saat kekuatan
kontraksi menurun. Untuk mengkompensasi, peningkatan jumlah aldosteron
menyebabkan retensi natrium dan air. Volume plasma meningkat, begitu juga
tekanan kapiler intervaskular vena. Jantung yang gagal ini tidak mampu
memompa peningkatan aliran balik vena ini, dan cairan dipaksa masuk ke
dalam interstisial.
Price, Sylvia A. 2003. Patofisiologi Volume II Edisi 6. Jakarta: EGC

Pembentukan Edema pada Sindrom Nefrotik


Sindrom Nefrotik adalah kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan
protein melalui urin ≥ 3,5 g/hari), hypoproteinemia, edema dan hyperlipidemia. Pasien
sindrom nefrotik juga mengalami peningkatan volume plasma sehubungan dengan defek
intrinsic ekskresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan
dengan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotic menyebabkan
perpindahan cairan intravascular ke interstitium dan memperberat pembentukan edema.
Pada kondisi tertentu, kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat sehingga
volume plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga
merangsang retensi natrium dan air.

Ada 2 mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik :


Mekanisme underfilling
Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar
albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotic plasma, kemudian
akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai
dengan hokum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang
(underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder system renin-
angiotensin-aldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis.
Hipotesis ini menempatkan albumin dan volume plasma berperan penting pada
proses terjadinya edema.
Mekanisme overfilling
Pada beberapa pasien sindrom nefrotik terdapat kelainan yang bersifat primer yang
mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan volume darah, penekanan system renin-angiotensi dan vasopressin.
Kondisi volume darah yang meningkat (overfilling) yang disertai dengan rendahnya
tekanan osmosis plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke interstitial
sehingga terjadi edema.
Braunwald E. Edema In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauster, Longo, Jameson, editors.
Horrison’s princples of internal medicine. 16 edition. New York: Me Graw-Hill
companies: 2004. p. 217-22.

2. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan ttv ?


Jawab :
Tanda vital : tekanan darah 95/60, pernafasan 24x/m, nadi 90-100x/m, suhu 37 C
Bahwa hasil didapatkan TTV pada anak masih didalam batas wajar.
3. Mengapa pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil seperti pada diskenario ?
Jawab :
Pemeriksaan fisik konjungtiva anemis, edema palpebra dan wajah, abdomen tampak
cembung, perkusi shifting dullness positif, edema ekstremitas bawah, edema pada
skrotum. Merupakan manifestasi dari sindrom nefrotik  breathing, blood, bladder dll.
4. Apa interpretasi dari pemeriksaan Lab ?
Jawab :
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif 4+ disertai hematuria :
Diakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas glomerulus  protein & SDM
terlepas ikut keluar bersama urin dalam jumlah banyak sindrom nefrotik.
Pada pemeriksaan darah didapatkan:
Protein total 4,9g/dL, :
Nilai protein serum menurun  peningkatan permeabilitas glomerulus  sindrom
nefrotik
Nilai Rujukan
 DEWASA : protein total : 6.0 - 8.0 g/dl; albumin : 3.5 - 5.0 g/dl
 ANAK : protein total : 6.2 - 8.0 g/dl; albumin : 4.0 - 5.8 g/dl
 BAYI : protein total : 6.0 - 6.7 g/dl; albumin : 4.4 - 5.4 g/dl
 NEONATUS : protein total : 4.6 - 7.4 g/dl; albumin : 2.9 - 5.4 g/dl
Albumin 1,5 g/dL, :
albumin menurun akibat dari pengeluaran protein plasma yang meningkat keluar dari
tubuh karena peningkatan permeabilitas glomerulus  sindrom nefrotik. Sehingga
terjadi retensi air dan Na. Albumin dapat meningkatkan tekanan osmotik yang penting
untuk mempertahankan cairan vaskular. Penurunan albumin serum dapat
menyebabkan cairan berpindah dari dalam pembuluh darah menuju jaringan sehingga
terjadi edema.
Kolesterol 450mg/dL, :
Mengalami peningkatan dan masuk kategori resiko tinggi. Peningkatan kadar
kolesterol dapat dijumpai pada : infak miokardial (MCI) akut, aterosklerosis,
hiperkolesterolemia keluarga, hiperlipoproteinemia tipe II, III dan V, diet tinggi
kolesterol (lemak hewani). Selain itu juga dijumpai pada : hipotiroidisme, obstruksi
bilier, sirosis bilier, miksedema, hepatitis infeksiosa, DM yang tidak terkontrol, sindrom
nefrotik, pankreatektomi, kehamilan trimester III, periode stress berat. Peningkatan
kadar kolesterol (hiperkolesterolemia) menyebabkan penumpukan kerak lemak di
arteri koroner (arteriosklerosis) dan risiko penyakit jantung (infark miokardial). Kadar
kolesterol serum tinggi dapat berhubungan dengan kecenderungan genetik
(herediter), obstruksi bilier, dan/atau asupan diet.
Nilai normal :
Anak usia 2 – 19 tahun : nilai ideal 130 – 170 mg/dl, risiko sedang 171 – 184 mg/dl,
risiko tinggi > 185 mg/dl.
Globulin 2g/dL,
Ureum 35mg/dL, :
Terjadinya Peningkatan kadar ureum pada darah. Peningkatan kadar urea disebut
uremia. Azotemia mengacu pada peningkatan semua senyawa nitrogen berberat
molekul rendah (urea, kreatinin, asam urat) pada gagal ginjal. Penyebab uremia dibagi
menjadi tiga, yaitu penyebab prarenal, renal, dan pascarenal. Uremia prarenal terjadi
karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus. Mekanisme
tersebut meliputi : 1) penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan
darah, dan dehidrasi; 2) peningkatan katabolisme protein seperti pada perdarahan
gastrointestinal disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein
dalam makanan, perdarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis,
leukemia (pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar, demam,.
Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tersering) yang menyebabkan
gangguan ekskresi urea. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis,
hipertensi maligna, obat atau logam nefrotoksik, nekrosis korteks ginjal. Gagal ginjal
kronis disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus,
arteriosklerosis, amiloidosis, penyakit tubulus ginjal, penyakit kolagen-vaskular.
Uremia pascarenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian bawah ureter,
kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi urin. Obstruksi ureter bisa
oleh batu, tumor, peradangan, atau kesalahan pembedahan. Obstruksi leher kandung
kemih atau uretra bisa oleh prostat, batu, tumor, atau peradangan. Urea yang tertahan
di urin dapat berdifusi masuk kembali ke dalam darah.
Beberapa jenis obat dapat mempengaruhi peningkatan urea, seperti : obat nefrotoksik;
diuretic (hidroklorotiazid, asam etakrinat, furosemid, triamteren); antibiotic (basitrasin,
sefaloridin (dosis besar), gentamisin, kanamisin, kloramfenikol, metisilin, neomisin,
vankomisin); obat antihipertensi (metildopa, guanetidin); sulfonamide; propanolol,
morfin; litium karbonat; salisilat. Sedangkan obat yang dapat menurunkan kadar urea
misalnya fenotiazin.
Nilai Rujukan
 Dewasa : 5 – 25 mg/dl
 Anak-anak : 5 – 20 mg/dl
 Bayi : 5 – 15 mg/dl
 Lanjut usia : kadar sedikit lebih tinggi daripada dewasa.
Kreatinin 0,4ml/dL. : Hasil masih dalam batas nilai normal
Nilai Rujukan
 DEWASA : Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dl. 
 Perempuan : 0,5-1,0 mg/dl. (Wanita sedikit lebih rendah karena massa otot yang
lebih rendah daripada pria).
 ANAK : Bayi baru lahir : 0,8-1,4 mg/dl. 
 Bayi : 0,7-1,4 mg/dl. 
 Anak (2-6 tahun) : 0,3-0,6 mg/dl. 
 Anak yang lebih tua : 0,4-1,2 mg/dl. Kadar agak meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, akibat pertambahan massa otot.
 LANSIA : Kadarnya mungkin berkurang akibat penurunan massa otot dan
penurunan produksi kreatinin.
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif 4+ disertai hematuria. : kerusakan pada sawar
filtrasinya : kenapa proteinuria masif  karena lolos dan keluar di urin  dialiran darah
turun. Ketika 50-150 mg/KgBB/hari dicari
5. Apa pemeriksaan penunjang dari kasus diskenario ?
Jawab :
1) Pemeriksaan Laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk memastikan
apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena hipoalbuminemia
dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing enteropathy), dan edema
dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti pada angioedema, insufisiensi
venosa, gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis
sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan: proteinuria,
hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan
diantaranya:
Pemeriksaan darah rutin
 Red blood cell
 Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan adanya
hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular.
 Leukosit
 Nilai platelet biasanya meningkat.
Urinalisis
 Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus.
 Hematuria makroskopik jarang ditemukan.
Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau dengan
protein urin 24 jam.
 Dikatakan proteinuria jika adanya protein di dalam urine manusia yang melebihi
nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140
mg/m2.
 Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi
proteinuria orthostatic (dimana protein baru muncul di urin setelah penderita
berdiri cukup lama).
 Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau dengan dipstick +2---+4, dapat pula
nilai protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.
 Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.
Albumin serum
 Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5 g/dL.
 Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
 Jarang mencapai 0.5 g/dL
Pemeriksaan lipid
 Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density lipoprotein).
 Kadar serum kolesterol >400mg/dl.
 Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.
 Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau menurun
Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor.
 Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena deplesi
volume intravascular.
 Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia.
 Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.
Tes HIV, hepatitis B dan C
 Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN.
Pemeriksaan C3
 Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi, SN tipe
membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.
2) Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia 1-8 tahun,
kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil dari pemeriksaan
laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN primer selain
tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun, dimana SN
kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular
kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila
riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN sekunder.
3) Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya trombosis vena
ginjal.
Staf Pengajar IKA FK UI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI. Vol.2. Edited by
Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas. Infomed Jakarta; 2007.h.2015-30.
Yasavati K, Mardi S, Johanna S P, Gracia W, et al. Buku panduan keterampilan
medik.Jakarta : FK UKRIDA;2010.h.28-40.
Sri. Ilmu kesehatan anak: Pemeriksaan fisik pada anak. Diunduh dari : ikextx.weebly.com.
25 Oktober 2014.

6. Apa DD dan diagnosis nya ?


Jawab :
SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan GNA karena gejala klinis yang ditimbulkan
sama yakni berupa edema. Pada anak ini ditemukan adanya hipertensi. Sesuai dengan teori
di atas hipertensi lebih sering terjadi pada GNA. Namun pada literatur lain dinyatakan
bahwa hipertensi ringan sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi normotensi
bersamaan dengan peningkatan diuresis. Hal ini berbeda dengan hipertensi pada GNA, di
mana sering terjadi hipertensi berat sehingga memerlukan terapi anti hipertensi.
NEPHROTIC SYNDROME IN 2 YEARS OLD CHILD Rahma Putri Kinasih Faculty of Medicine,
Universitas Lampung n. [J Agromed Unila 2014; 1(3):216-221]
1. Sindrom Nefrotik Sekunder8
SN sekunder adalah SN berhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, atau
disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin.
 Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema.
 Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial
Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
 Toksin dan alergen: logam berat (Hg), trimethadion, paramethadion, probenecid,
penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
 Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
 Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, leukemia, tumor gastrointestinal.

2. Sindrom Nefrotik kongenital9


Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia.
Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif autosomal. Biasanya anak lahir premature
(90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Lesi patognomonik
adalah dilatasi kistik pada tubulus proksimal ginjal. Gejala asfiksia dijumpai pada 75%
kasus. Gejala pertama berupa edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau
dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia,
proteinuria masif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan
congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga letaknya
lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal Karena infeksi sekunder atau
kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara
dini adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang  biasanya meninggi.
3. Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post
sterptokokus  (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai
glomerulus, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe
nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap
bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai
untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut pasca streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedangkan tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala
klinis.

7. Apa yang dimaksud dengan sindroma nefrotik ?


Jawab :
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan
hilangnya protein urine secara masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia,
hipoalbumin dan mengakibatkan edema. Berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia,
hiperkolesterolemia dan lipiduria.
SN pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1−2
tahun dan 8 tahun.2 Pada anak-anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, ratio antara
anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2:1 hingga 3:2. Pada anak yang lebih tua,
remaja dan dewasa, prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama. Data dari
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 66% pasien
dengan minimal change adalah laki-laki dan untuk membrano proliferative
glomerulonephritis (MPGN) 65% nya adalah perempuan.
SN primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan SN
sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di
indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun.
Insidensi SN sebesar 2-7 per 100.000 anak per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per
100.000 anak. Di Indonesia dilaporkan, 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-
laki dan perempuan 2:1 Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas SN pada anak masih
tinggi yaitu melebihi 50%.

SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu petunjuk awal
adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal, di mana urine
dibentuk.2 Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya
scar atau deposit pada glomerulus. Seorang anak yang lahir dengan kondisi tersebut akan
menyebabkan terjadinya SN.
NEPHROTIC SYNDROME IN 2 YEARS OLD CHILD Rahma Putri Kinasih Faculty of Medicine,
Universitas Lampung : 2014

8. Apa saja etiologi dan factor resiko pada kasus di scenario tersebut ?
Jawab :
9. Apa pathofisiologi dari penyakit yang ada di scenario tersebut ?
Patofisiologi Sindrom Nefrotik
Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membrane filtrasi
glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah dalam,
membrane basalis dan sel epitel khusus di bagian luar yang dikenal dengan podosit, seperti
terlihat pada Gambar 1. Podosit memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai kaki (foot
processes), di antara tonjolan-tonjolan tersebut terdapat celah diafragma (slit diaphragm),
yang berperan penting dalam pemeliharaan fungsi filtrasi glomerulus.
Terdapat dua mekanisme yang berperan pada pathogenesis SN, yaitu pertama secara
imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor (VPF)
yang merupakan asam amino identic dengan vascular endhotelial growth factor (VEGF). Hal
ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi
kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barrier filtrasi
glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar. Mekanisme pathogenesis SN
dapat dilihat pada gambar 2.

Zat-zat terlarut yang dapat melewati sawar glomerulus ditentukan oleh besarnya molekul,
molekul >10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut (size-
selectivity barrier). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan proteinuria baik
protein dengan berat molekul kecil maupun protein dengan berat molekul besar
(proteinuria nonselektif). Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah adanya daya
elektrostatik dari muatan negative permukaan molekul pada epitel foot processes yang
dibentuk oleh sialoprotein kapiler, berperan sulfat membrane basalis glomerulus, dan
podokaliksin (charge selectivity barrier). Gangguan pada daya elektrostatik tersebut
menyebabkan proteinuria selektif (protein dengan berat molekul ≤ berat molekul albumin
daoat melewati membrane filtrasi glomerulus). Kerusakan struktur dan sawar elektrostatik
ini menyebabkan banyaknya protein plasma yang melewati filtrasi glomerulus.
Hilangnya atau pendataran foot processes podosit yang tampak dengan mikroskop
electron memperlihat peran kunci podosit dalam pathogenesis sindrom nefrotik idiopatik.
Perubahan pada foot processes ini sebagai target circulating factor atau bagian dari
perubahan strukttur akibat adanya mutase gen. Pada focal segmental glomerulosclerosis
(FSGS) selain hilangnya foot processes podosit, juga terjadi peningkatan dari matriks
ekstraselular dalam glomerulus disertai dengan menghilangnya lumen kapiler glomerulus.
Lesi sklerotik ini terjadi secara fokal dan dalam beberapa segmen glomeruli serta secara
tipikal tidak berhubungan dengan deposit kompleks imun. Rusaknya podosit terjadi melalui
empat mekanisme utama, yaitu: perubahan komponen slit diaphragm atau gangguan pada
struktur, disregulasi aktin sitoskeleton, perubahan membrane basalis glomerulus atau
interaksinya dengan podosit dan perubahan muatan negative permukaan podosit.
Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Dedi Rachmadi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung : MKB, Volume 42 No. 1, Tahun 2010

10. Bagaimana tatalaksana dari kasus di scenario tersebut ?


Jawab :
Medika Mentosa

Terapi edema:
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat

Furosemide 1-3 mg/kgBB/hari (max 5 mg/kgBB/hari) dapat dikombinasi dengan


spironolakton (2-4 mg/kgBB/hari)

Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada


pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit
untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada


kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

Terapi Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children) adalah
diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari selama 28 hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam 3 dosis/hari. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Kalau 4 minggu tidak remisi berarti sindrom nefrotik
resisten steroid. Bila remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating
(selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi selama 4-12 minggu. Bila tidak remisi dalam
4 minggu terapi prednisone full dose selama 6 minggu dilanjutkan alternate dose selama 6
minggu.
Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30mg, 20mg, 10mg
sampai akhirnya dihentikan.

Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik.
Remisi Proteinuria negatif, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari
  berturut-turut.
Kambuh
  Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
Kambuh tidak berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
  bulan.
Kambuh sering
  Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali
Responsif-steroid kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Dependen-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
  Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
Resisten-steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
  Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
Responder lambat mg/m2/hari selama 4 minggu.
  Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
Nonresponder tambahan terapi lain.
awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid.

Sindrom nefrotik serangan pertama


1. Perbaiki keadaan umum penderita :
 Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Protein 1-2
gr/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberi protein 0,5-1 gr. Kalori
rata-rata 100 kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat. Bila tanpa edema,
diberi 1-2 mg/hari. Pembatasan cairan bila terdapat gejala-gejala gagal ginjal.
Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal.
 Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat.
 Berantas infeksi.
 Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
 Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Metode
yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema ialah merangsang diuresis
dengan pemberian albumin (salt poor albumin) 0,5-1 mg/kgBB selama 1 jam disusul
kemudian oleh furosemid IV 1-2 mg/kbBB/hari. Pengobatan ini dapat diulang setiap
6 jam kalau perlu. Diuretik yang biasa dipakai ialah diutetik jangka pendek seperti
furosemid atau asam etakrinat. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami
remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison
tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
b. Perbaiki keadaan umum penderita.
Cara pemberian pada relapse seperti pada serangan I, hanya CD diberikan sampai
remisi (tidak perlu menunggu sampai 4 minggu)

Sindrom Nefrotik Nonresponder


Tidak ada respons sesudah 8 minggu pengobatan prednisone. Setelah 8 minggu
pengobatan prednisone tidak berhasil, pengobatan selanjutnya dengan gabungan
imunosupresan lain (endoxan secara CD dan prednisone 40 mg/m2/hr secara ID)

Sindrom Nefrotik Frequent Relapser


Iinitial responder yang relaps ≥ 2 kali dalam waktu 6 bulan pertama.
CD imunosupresan + CD prednisone 0,2 mg/kg/hr
Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednisone 0,2 mg/kgBB/hr,
keduanya secara CD.

Sindrom nefrotik kambuh tidak sering


Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa
12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan
dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

Sindrom nefrotik kambuh sering


Merupakan sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam
masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan
dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison
diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m 2/48
jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m 2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48
jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid atau untuk biopsi ginjal.

Non Medika Mentosa13

Dietetik

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi). Bila diberi
diet rendah protein akan terjadi Malnutrisi Energi Protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema. Kolesterol dibatasi < 300mg.

Muhammad SN, Ninik S. Sindrom nefrotik. Diunduh dari : www.pediatrik.com. 25


Oktober 2014. Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu kesehatan anak. Ed.12.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2007.h.1987-98.

11. Apa saja komplikasi pada kasus diskenario tersebut ?


Jawab :
Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hypoalbuminemia
Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang
menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok.
Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi
di system vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
Muhammad SN, Ninik S. Sindrom nefrotik. Diunduh dari : www.pediatrik.com. 25
Oktober 2014. Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu kesehatan anak. Ed.12.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2007.h.1987-98.

Anda mungkin juga menyukai