Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN TUTORIAL

KELOMPOK 5A
BLOK 5.2

Dosen Pengampu:
dr. Patrick William Gading, Sp. KFR

Disusun oleh :
Sania Zahira Rahman G1A117035
Winiesti Melani Putri G1A117036
Sonia Zahira Rahman G1A117037
Lisa Rahayu Pratiwi G1A117038
Tassa Firdha Indrawan G1A117039
Farhan Alkhairi G1A117040
Zulfahmi Tri Wiratmoko G1A117041
Garbha J.M.R.S G1A117042

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019/2020
Skenario 2

Seorang anak N, perempuan, usia 12 tahun dibawa ayahnya ake IGD RS Raden Mattaher
dengan keluhan muntah-muntah sejak 2 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengkonsumsi
udang dan kerang yang dibelikan oleh ayahnya. Setelah mengkonsumsi makanan tersebut
pasien tiba-tiba merasa pusing dan lemas, kemudian muntah-muntah. Timbul kemerahan
dan bentol di wajah dan badan. Pasien segera dilarikan ke RS oleh ayahnya.

Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum : tampak gelisah , teragitasi. Tanda vital : frekuensi nadi 130x/menit,
frekuensi napas 36x /menit, suhu 37,5o C, tekanan darah 90/70 mmHg. Kepala dan wajah
: mesosefal, pembengkakan jaringan di sekitar kelopak mata dan bibir . Thorax : jantung :
bunyi jantung I-II normal, bising (-), gallop (-). Paru : vesikuler, ronkhi (-), mengi (-).
Abdomen : supel, bising usus meningkat, tidak teraba massa, turgor kembali lambat.
Ekstremitas : akraldingin , erupsi kulit berbatas tegas, kemerahan.

Apa yang terjadi pada anak N tersebut?

Pemeriksaan tambahan:

BB : 35 kg, TB : 135 cm, darah rutin : Hb : 11 gr/dl, Ht : 35%, leukosit : 14.000/mm3,


trombosit : 350.000/mm3, hitung jenis 0/10/23/35/32/0, LED : 9 mm/jam, urin rutin :
macros warna kuning pekat, micros white blood cell (-), protein (-), leukosit esterase (-).
A. Klarifikasi Istilah
Teragitasi : Keadaan gaduh atau gelisah
Mesosefal : Suatu ukuran kepala dalam batas yang normal atau simetris
Turgor : Keadaan yang menyebabkan non elastis
Erupsi : Suatu lesi pada kulit akibat pengikisan karena penyakit tertentu
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana mekanisme muntah?
2. Penyakit apa saja yang ditandai dengan muntah?
3. Apa hubungan mengkonsumsi udang dengan keluhan yang diderita pasien N?
4. Bagaimana mekanisme setiap keluhan pada pasien N?
5. Apa saja penyakit yang ditandai dengan keluhan penyerta (pusing dan lemas,
kemerahan dan bentol di wajah dan badan)?
6. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada pasien N?
7. Apa diagnosis banding untuk keluhan pasien N?
8. Bagaimana sintesis penyakit pada pasien N?
C. Curah Pendapat
1. Bagaimana mekanisme muntah?
Jawab : Proses muntah terdiri dari tiga fase, yaitu : nausea, retching, ekplusif
2. Penyakit apa saja yang ditandai dengan muntah?
Jawab : Muntah pada anak terbagi 2, yaitu : organik dan non organik
3. Apa hubungan mengkonsumsi udang dengan keluhan yang diderita pasien N?
Jawab : Karena udang dan kerang merupakan faktor penyebab keluhan timbul
4. Bagaimana mekanisme setiap keluhan pada pasien N?
Jawab : adanya patogen masuk lalu diserap di usus, kemudian terjadi respon (imun
dan non imun) lalu timbullah gejala.

5. Apa saja penyakit yang ditandai dengan keluhan penyerta (pusing dan lemas,
kemerahan dan bentol di wajah dan badan)?
Jawab :
a) Bentol dan kemerahan : urtikari, dermatitis atopik, angioderma
b) Pusing dan lemas : dehidrasi, hipotensi, hipoglikemi, anemia
6. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada pasien N?
Jawab :

a) Anamnesis : keluhan
b) Pemeriksaan fisik : tanda vital, keadaan umum, head to toe
Interpretasi pemeriksaan fisik : takipnea, takikardi, hipotensi, teragritasi,
bising usus meningkat, turgor lambat, akral dingin, erupsi kulit
c) Pemeriksaan penunjang : darah rutin, urin rutin
Interpretasi penunjang : leukositosit, basofil meningkat
7. Apa diagnosis banding untuk keluhan pasien N?
Jawab : Syok anafilatik, alergi makanan, syok kardiogenik
8. Bagaimana sintesis penyakit pada pasien N?
Jawab : Diagnosis sementara : syok anafilatik et causa alergi makanan
D. Analisis Masalah

1. Bagaimana mekanisme muntah?


Jawab :
Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat
adanya kontraksi abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah dan dilatasi esofagus.1 Muntah merupakan respon somatik
refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam
rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernafasan, otot abdomen dan diafragma.
Proses muntah terdiri dari 3 fase, yaitu nausea, retching, dan ekspulsi.
a. Nausea
Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirinth dan
emosi, tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai
dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut,
seringkali disertai gejala hipersalivasi, pucat. berkeringat, takhikardia daii
anoreksia. Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus
dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang. sedangkan bulbus
duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung.
Pada fase nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan inrrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak
didahului oleh fase nausea.
b. Retching
Retching dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase retching terjadi kekejangan
dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis tertutup. Otot
pemafasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan intratorakal menjadi
negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung,
fundus dilatasi sedangkan antrum dan pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus
bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masih menutup menyebabkan chyme
masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching, terjadi relaksasi otot dinding
perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk ke dalam esofagus
kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.
c. Fase ekspulsif (muntah).
Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot abdomen
dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah jika tekanan tersebut dapat
mengatasi mekanisme anti refluks dari Lower Esophagus sphingter (LES). Pada
fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan fundus dan esofagus
relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi perubahan tekanan
intratorakal dan intraabdoininal serta kontraksi dari diafragma. Pada episode
ekspulsi tunggal terjadi tekanan negatif intratorakal dan tekanan positif
intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari
diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam
esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan
diafragma kembali ke posisi normal.
Neuroanatomi yang Mengatur Muntah
Muntah sebenarnya merupakan perilaku yang komplek, dimana pada manusia
muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea (mual), retching, pengeluaran isi
lambung. Ada 2 regio anatomi di medulla yang mengontrol muntah, 1)
chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan central vomiting centre (CVC). CTZ yang
terletak di area postrema pada dasar ujung caudal ventrikel IV diluar blood brain
barrier (sawar otak). Reseptor didaerah ini diaktivasi oleh bahan-bahan proemetik
didalam sirkulasi darah atau di cairan cerebrospinal (CSF). Eferen dari CTZ dikirim
ke CVC selanjutnya terjadi serangkaian kejadian yang dimulai melalui vagal eferen
splanchnic. CVC terletak dinukleus tractus solitarius dan disekitar formatio
retikularis medulla tepat dibawah CTZ. CTZ mengandung reseptor reseptor untuk
bermacam-macam senyawa neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah. Reseptor
untuk, dopamine ( titik tangkap kerja dari apomorphine ), acethylcholine,
vasopressine, enkephalin, angiotensin, insulin serotonin, endhorphin, substance P,
dan mediator-mediator yang lain. Mediator adenosine 3’,5’ cyclic monophosphate
(cyclic AMP) mungkin terlibat dalam respon eksitasi untuk semua peptide
stimulator oleh karena theophylline dapat menghambat aktivitas proemetik dari
bahan neuropeptic tersebut.
Emesis sebagai respons terhadap gastrointestinal iritan misalnya copper, radiasi
abdomen, dilatasi gastrointestinal adalah sebagai akibat dari signal aferen vagal ke
central pattern generator yang dipicu oleh pelepasan lokal mediator inflamasi, dari
mukosa yang rusak, dengan pelepasan sekunder neurotransmitters eksitasi yang
paling penting adalah serotonin dari sel entrochromaffin mukosa. Pada mabuk
(motion sickness), signal aferen ke central pattern generator berasal dari organ
vestibular, visual cortex, dan cortical centre yang lebih tinggi sebagai sensory input
yang terintegrasi lebih penting dari pada aferen dari gastrointestinal.
Rangsangan muntah berasal dari, gastrointestinal, vestibulo ocular, aferen
cortical yang lebih tinggi, yang menuju CVC dan kemudian dimulai nausea,
retching, ekpulsi isi lambung. Gejala gastrointestinal meliputi peristaltik, salivasi,
takhipnea, tachikardia.1-2 Respons stereotipik vomiting dimediasi oleh eferen
neural pada vagus, phrenic, dan syaraf spinal. Input untuk syaraf ini berasal dari
brain stem “ vomiting centre”. Centre ini tampaknya bukan merupakan struktur
anatomi tunggal, tetapi merupakan jalur akhir bersama dari reflex yang diprogram
secara sentral melalui interneuron medular di nukleus soliter dan berbagai-macam
tempat disekitar formatio retikularis. Interneuron tersebut menerima input dari
cortical, vagal, vestibular, dan input lain terutama dari area postrema. Area
postrema adalah chemorceptor trigger zone yang terletak didasar ventrikel IV diluar
sawar otak dan diidentifikasi sebagai sumber yang crucial untuk input yang
menyebabkan vomiting, terutama respons terhadap obat atau toksin.1

2. Penyakit apa saja yang ditandai dengan muntah?


Jawab : Penyakit yang ditandai muntah pada anak2

No. PenyebabMuntah Penyakit

1. Infeksi (jikaadademampadaanak) 1. Gastroenteritis


2. Otitis media
3. Sinusitis
4. ISK
2. Anatomi atau obstruksi 1. Intususepsi
2. Hernia inguinal
3. Bezoar
3. Gastrointestinal 1. Gastritis
2. Apendisitis
3. Pankreasitis
4. Hepatitis
4. Neurologis (pikirkan jika ada 1. Cederakepala
gangguan kesadaran/deficit 2. Neoplasma
neurologis) 3. Migren

5. Metabolik endokrin Diabetes melitus

3. Apa hubungan mengkonsumsi udang dengan keluhan yang diderita pasien N?


Jawab :
Keluhan yang dirasakan anak N dicurigai akibat dari alergi makanan yang
sebelumnya dikonsumsi, yaitu udang dan kerang. Golongan kerang-kerang
merupakan alergen utama yang mengenai sekitar 250.000 orang di Amerika.6
Tercatat dalam APA (Asia Pacific Allergy) dalam ‘The Management of food
allergy in Indonesia’ kerang adalah alergen utama di masa kanak-kanak.
Berdasarkan hasil meta-analysis prevalensi alergi makanan yang dilaporkan
bervariasi, untuk kerang 0-10%. Prawirohartono di Yogyakarta menemukan bahwa
diantara ibu yang berpendidikan sedang hingga tinggi, beranggapan bahwa telur,
udang, ikan dan kerang adalah jenis makanan hewani yang dikenal sebagai alergen
utama pada alergi makanan.17
Golongan kerang-kerangan yaitu remis, tiram, keong/siput, gurita, dan cumi-cumi.
Sedangkan udang, lobster, dan kepiting termasuk dalam golongan Crustacea.
Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen utama.
Otot udang mengandung glikoprotein yang mengandung tropomiosin. Tropomiosin
dapat menyebabkan reaksi silangg antara crustacea, molluscum, dan beberpa
antropoda.3

4. Bagaimana mekanisme setiap keluhan pada pasien N?


Jawab :
Anafilaksis di golongkan pada Hipersensitivitas tipe 1 oleh coombs dan gell.
Timbul segera setelah tubuh terpajan oleh alergen. Anafilaksis di perantarai oleh
interaksi antara antigen dan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi. Paparan antigen dalam kasus pasien dalam hal ini adalah zat
yang terkandung di dalam udang dan kerang, di mana zat yang terkandung dalam
makanan tersebut masuk ke dalam tubuh yang selanjutnya di tangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T,
di mana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi limfosit B
berproliferasi menjadi sel plasma.

Limfosit B yang telah berproliferasi menjadi sel plasma tadi akan memproduksi
IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada permukaan sel mast dan
basofil, tahap ini di sebut sebagai tahap sensitisasi. Jika terjadi paparan ulang
terhadap antigaen yang sama, maka alergen tersebut akan di ikat oleh IgE spesifik
dan memicu reaksi segera berupa pelepasan mediator-mediator vasoaktif berupa
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain, tahap ini di sebut
sebagai tahap aktivasi.

Setelah terjadi pelepasan mediator-mediator vasoaktif tadi, akan terjadi respon


yang kompleks sebagai efek mediator yang di lepaskan oleh mastosit dan basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos, hal ini memberikan efek pada kulit seperti
kemerahan dan bentol-bentol, sedangkan kontraksi otot polos yang terjadi terutama
pada GIT menyebabkan sensasi mual dan akhirnya muntah-muntah. Platelet
Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebab kan sesak.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi secara mendadak menyebabkan
maldistribusi volume dan aliran darah. Yang selanjutnya menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung ikut menurun, hal ini mengakibatkan
penurunan tekanan perfusi oksigen ke jaringan yang nantinya menyebabkan
hipoksia jaringan, hal ini akan menyebabkan pasien merasa gelisah, lemas, dan
pusing.4,5

5. Apa saja penyakit yang ditandai dengan keluhan penyerta (pusing dan lemas,
kemerahan dan bentol di wajah dan badan)?
Jawab :
a. Kemerahan dan bentol
1. Dermatitis atopik
2. Angioderma
3. Urtikaria
4. Eritema
5. Prositus
b. Pusing dan lemas
1. Hipotensi
2. Anemia
3. Infark Miokard Akut (IMA)
4. Reaksi histeris
5. Reaksi fasofagal
6. Syok hipovolemik
7. Syok kardiogenik
8. Leukimia dengan produk : histamin berlebih6,7

6. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada pasien N?


Jawab :
Anamnesis
Ditanyakan makanan gejala yang timbul seperti pusing dan lemas , dan ada bentol di
daerah wajah dan badan. Ada riwayat alergi dan pernah mengalami hal serupa, ada
riwayat alergi dalam keluarga,. Keadaan lingkungan sekitar nya.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak gelisah , teragitasi.
Tanda vital : frekuensi nadi 130x / menit.
frekuensi napas 36x / menit, suhu 37,5o C .
tekanan darah 90/70 mmHg.
Kepala dan wajah : mesosefal, pembengkakan jaringan di sekitar kelopak mata dan
bibir .
Thorax : jantung : bunyi jantung I-II normal, bising (-) , gallop (-).
Paru : vesikuler , ronkhy (-) , mengi (-).
Abdomen : supel, bising usus meningkat, tidak teraba massa, turgor kembali lambat.
Ekstremitas : akral dingin , erupsi kulit berbatas tegas , kemerahan.
Pemeriksaan tambahan
BB = 35
TB = 135
darah rutin : Hb : 11 gr/dl
Ht = 35%, leukosit : 14.000/mm3
trombosit : 350.000/mm3
hitung jennies 0/10/23/35/32/0
LED = 9 mm/jam ,
urin rutin : macros warna kuning pekat, micros white blood cell (-) , protein (-), leukosit
esterase (-) .

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi
alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi. Eosinofilia
sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien.
IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu
secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim
Linked Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak
dapat dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis
yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease
yang berasal dari sel mast.
Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien
yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit.
Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes
tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen
dan kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan
tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20
menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema yang muncul. Tes tempel
dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen.
Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.
Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala.

7. Apa diagnosis banding untuk keluhan pasien N?


Jawab : Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaksis. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat
pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-
masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada
sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok
anafilaktik adalah sebagai berikut :
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat, dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik,
pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-
tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai danya tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan
tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5. Syndrome angioderma neurotic herediter
Syndrome angioderma neurotic herediter merupakan salah satu keadaan yang
menyerupai anafilaksis. Syndrome ini ditandai dengan angioderma saluran nafas
bagian atas dna sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit
vaskuler atau kolaps vaskuler. Adanya riwwayat keluarga yang mempunyai
syndroma ini disertai penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya
syndrome angioderma neurotic herediter.3
8. Bagaimana sintesis penyakit pada pasien N?
Jawab :
1) Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme lgE maupun
melalui non-lgE seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Tentu saja selain obat ada
juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan (kacang, crustacea), kegiatan
jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada
kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.3

Tabel: Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis.3

2) Epidemiologi
Epidemiologi anafilaksis pada populasi umum di dunia adalah 4 dari 100.000 jiwa.
Global

Prevalensi anafilaksis dari populasi umum di dunia adalah 4 dari 100.000 jiwa.
Lebih dari 30% orang yang mengalami reaksi anafilaksis, mengalami serangan
ulangan. Pemicu tersering reaksi anafilaksis adalah makanan. Kelompok tersering
yang terkena anafilaksis adalah kelompok usia muda 0-19 tahun.
Anafilaksis berkontribusi terhadap 500-1000 kematian per tahun di Amerika
Serikat.Di benua Australia, anafilaksis paling sering dipicu oleh gigitan serangga.
Dalam penelitian terhadap 2458 kematian anafilaksis dari tahun 1999 sampai 2010,
obat-obatan (58,8%) merupakan pemicu yang paling umum diikuti oleh induser
lain yang tidak spesifik (19,3%), racun serangga (15,2%) dan makanan (6,7%).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa perempuan lebih sering terkena anafilaksis.
Episode anafilaksis terhadap pelemas otot IV, aspirin, dan lateks lebih sering terjadi
pada wanita, sedangkan anafilaksis gigitan serangga lebih sering terjadi pada pria.
Perbedaan jenis kelamin ini kemungkinan merupakan efek dari frekuensi paparan.
[4,5]

Indonesia

Insidens syok anafilaksis di Indonesia diketahui 40–60% adalah akibat gigitan


serangga, 20–40% akibat zat kontras radiografi, dan 10–20% akibat pemberian obat
penisilin. Laki-laki lebih rentan terkena. Anafilaksis lebih sering terjadi pada
wanita dewasa (60%) pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia dibawah
15 tahun, reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pejanan
parenteral biasanya menimbulkan reaksi yang lebih berat.8

3) Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana
reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi
tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Fase sensitisasi
dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun non
spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan
merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE.
Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil,
dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen
yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari
sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi. Pada fase aktivasi, terjadi interaksi
antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil dengan antigen spesifik pada
paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil
akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang
penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi
granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya
degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin,
trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan
degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ
organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.9

4) Tatalaksana
Penatalaksaan pada kasus syok anafilaksis dilakukan tanpa memandang beratnya
gejala anafilaksis. Hal ini dikarenakan cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala
anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Selain pemberian epinefrin, hal
yang harus diperhatikan dalam memberikan terapi pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan system pernafasan yang lancer agar oksigenasi berjalan baik serta
system kardiovaskular harus berfungsi baik agar perfusi ke jaringan memadai.
Sistem pernapasan sangat penting diperhatikan karena penyebab tersering kematian
pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Bila saluran napas tertutup sama sekali, petugas medis hanya
memiliki waktu 3 menit untuk bertindak. Suntikan epinefrin, trakeostomi, intubasi
trakea, dan pungsi membrane krikokortikoid dapat dilakukan untuk menangani
masalah saluran pernapasan. Pemberian oksigen 4-6 Liter per menit. Pasien
hipoksia atau dengan gangguan pernapasan diberikan pengiriman oksigen
konsentrasi tinggi menggunakan masker nonrebreather. Pasien yang sadar dengan
kesulitan napas diberikan jalur napas nasofaring lebih baik daripada orofaring.
CPAP atau continuous positive airway pressure dipertimbangkan pada pasien
dengan penurunan saturasi oksigen, penurunan kesadaran, sebelum intubasi
endoktrakeal. Pasien dengan tanda hipoksia dipertimbangkan untuk tindakan
pemasangan alat pernapasan supraglotik dan intubasi endotrakeal. Bronkodilator
diperlukan bila terjadi obsturksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala
asma atau status asmatikus. Larutan Salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25
ml-0,5 ml dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulasi atau aminofilin 5-6
mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% perlahan
selama 15 menit. Bila pasien tidak respon terhadap epinefrin juga dapat diberikan
nebulasi albuterol 2,5-5 mg/dosis pemberian.
Sistem kardiovaskular dengan gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil
dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravascular. Cairan IV NaCl 0,9% atau Dextran. Dianjurkan memberikan cairan
koloid 0,5-1 liter dan sisanya kristaloid. Cairan koloid menggantikan cairan
intravascular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di
jaringan tetapi dapat juga menarik cairan ekstravaskular kembali ke intravascular.
Oksigen mutlak diberikan dengan natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolic. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure) untuk
memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan cairan, serta pemberian
obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya. Pemberian vasopressor
melalui cairan infus IV dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1 : 1000 dalam 250
ml dekstrosa (konsentrasi 4 mg/ml) dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit infus, bila diperlukan dapat dinaikkan maksimum 10 mg/ml.
Pemberian epinefrin awal 1 : 1000 0,01 ml/kgBB maksimal 0,3 ml subkutan setiap
15-20 menit 3 sampai 4 kali kadang Intra Muskular 0,5 ml sepanjang pasien tidak
mengidap kelainan jantung. Pemberian epinefrin 1 : 1000 0,1-0,3 ml di bekas lesi
akibat allergen penisilin, imunoterapi, sengatan serangga
AHA (American Heart Association) menganjurkan pemberian epinefrin 1 : 10.000
endotrakeal 10 ml melalui jarum panjang atau kateter pipa endotrakeal (anak 5 ml
epinefrin 1 : 10.000). Kortikosteroid sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi
anafilaksis yang berat, prednisone tablet atau IV 5 mg/kgBB atau hidrokortison
setiap 4-6 jam. Antihistamin oral atau parentral, simetidin 300 mg atau ranitidine
150 mg diencerkan dengan 20 ml NaCl 0.,9% dalam 5 menit. Pemberian tambahan
inhalasi agonis beta 2 atau sui;fas atropine juga akan memberikan manfaat
disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid secara intravena.3,10

5) Prognosis
Dubia ad bonam pada penanganan yang tepat dan sesuai.
Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya mendapat
pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila telah 10 mendapat
pengobatan biasanya kematian terjadi pada 30 menit pertama. Prognosis pada
penderita reaksi anafilaksis biasanya baik bila telah mendapat pengobatan yang
adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan penyakit
kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit pernapasan dan
penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat.11

Daftar Pustaka

1. Dodge JA. 1991. Vomiting and Regurgitation. Pediatric Gastrointestinal Disease.


Pathophysilogy, Diagnosis, Management. Ed by Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins.
Black and Daker Inc. h: 32-41.
2. TantoChris, LiwangFrans, Hanifati Sonia, Pradipta EA. KapitaSelektaKedokteranedisi
4 jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.2014. hal : 47
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing. hal : 4133, 4134, 4135
4. Jhonson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylaxis syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, medscape

5. Ewan, PW, 1998. Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ. Vol 316, P:1442-1445
6. Abdullah, Murdani. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
7. Price, A Sylvia,dkk. 2012. PATOFISIOLOGI. Jakarta : EGC
8. I gusti bagus oka wijaya 2018. Syok anifilaksis. Denpasar
9. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2006 Jul. 97(1):39-43

10. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.

11. Linzer JF, Bechtel KA, Windle ML, Wolfram Wayne. Anaphylaxis Syok: Pediatric
Anaphylaxis [internet]. Medscape. 2016. [cited 29 October 2019]. Available from
https://emedicine.medscape.com/article/799744-overview
12. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10

Anda mungkin juga menyukai