KELOMPOK 5A
BLOK 5.2
Dosen Pengampu:
dr. Patrick William Gading, Sp. KFR
Disusun oleh :
Sania Zahira Rahman G1A117035
Winiesti Melani Putri G1A117036
Sonia Zahira Rahman G1A117037
Lisa Rahayu Pratiwi G1A117038
Tassa Firdha Indrawan G1A117039
Farhan Alkhairi G1A117040
Zulfahmi Tri Wiratmoko G1A117041
Garbha J.M.R.S G1A117042
Seorang anak N, perempuan, usia 12 tahun dibawa ayahnya ake IGD RS Raden Mattaher
dengan keluhan muntah-muntah sejak 2 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengkonsumsi
udang dan kerang yang dibelikan oleh ayahnya. Setelah mengkonsumsi makanan tersebut
pasien tiba-tiba merasa pusing dan lemas, kemudian muntah-muntah. Timbul kemerahan
dan bentol di wajah dan badan. Pasien segera dilarikan ke RS oleh ayahnya.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : tampak gelisah , teragitasi. Tanda vital : frekuensi nadi 130x/menit,
frekuensi napas 36x /menit, suhu 37,5o C, tekanan darah 90/70 mmHg. Kepala dan wajah
: mesosefal, pembengkakan jaringan di sekitar kelopak mata dan bibir . Thorax : jantung :
bunyi jantung I-II normal, bising (-), gallop (-). Paru : vesikuler, ronkhi (-), mengi (-).
Abdomen : supel, bising usus meningkat, tidak teraba massa, turgor kembali lambat.
Ekstremitas : akraldingin , erupsi kulit berbatas tegas, kemerahan.
Pemeriksaan tambahan:
5. Apa saja penyakit yang ditandai dengan keluhan penyerta (pusing dan lemas,
kemerahan dan bentol di wajah dan badan)?
Jawab :
a) Bentol dan kemerahan : urtikari, dermatitis atopik, angioderma
b) Pusing dan lemas : dehidrasi, hipotensi, hipoglikemi, anemia
6. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada pasien N?
Jawab :
a) Anamnesis : keluhan
b) Pemeriksaan fisik : tanda vital, keadaan umum, head to toe
Interpretasi pemeriksaan fisik : takipnea, takikardi, hipotensi, teragritasi,
bising usus meningkat, turgor lambat, akral dingin, erupsi kulit
c) Pemeriksaan penunjang : darah rutin, urin rutin
Interpretasi penunjang : leukositosit, basofil meningkat
7. Apa diagnosis banding untuk keluhan pasien N?
Jawab : Syok anafilatik, alergi makanan, syok kardiogenik
8. Bagaimana sintesis penyakit pada pasien N?
Jawab : Diagnosis sementara : syok anafilatik et causa alergi makanan
D. Analisis Masalah
Limfosit B yang telah berproliferasi menjadi sel plasma tadi akan memproduksi
IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada permukaan sel mast dan
basofil, tahap ini di sebut sebagai tahap sensitisasi. Jika terjadi paparan ulang
terhadap antigaen yang sama, maka alergen tersebut akan di ikat oleh IgE spesifik
dan memicu reaksi segera berupa pelepasan mediator-mediator vasoaktif berupa
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain, tahap ini di sebut
sebagai tahap aktivasi.
5. Apa saja penyakit yang ditandai dengan keluhan penyerta (pusing dan lemas,
kemerahan dan bentol di wajah dan badan)?
Jawab :
a. Kemerahan dan bentol
1. Dermatitis atopik
2. Angioderma
3. Urtikaria
4. Eritema
5. Prositus
b. Pusing dan lemas
1. Hipotensi
2. Anemia
3. Infark Miokard Akut (IMA)
4. Reaksi histeris
5. Reaksi fasofagal
6. Syok hipovolemik
7. Syok kardiogenik
8. Leukimia dengan produk : histamin berlebih6,7
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi
alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi. Eosinofilia
sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien.
IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu
secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim
Linked Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak
dapat dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis
yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease
yang berasal dari sel mast.
Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien
yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit.
Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes
tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen
dan kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan
tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20
menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema yang muncul. Tes tempel
dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen.
Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.
Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala.
2) Epidemiologi
Epidemiologi anafilaksis pada populasi umum di dunia adalah 4 dari 100.000 jiwa.
Global
Prevalensi anafilaksis dari populasi umum di dunia adalah 4 dari 100.000 jiwa.
Lebih dari 30% orang yang mengalami reaksi anafilaksis, mengalami serangan
ulangan. Pemicu tersering reaksi anafilaksis adalah makanan. Kelompok tersering
yang terkena anafilaksis adalah kelompok usia muda 0-19 tahun.
Anafilaksis berkontribusi terhadap 500-1000 kematian per tahun di Amerika
Serikat.Di benua Australia, anafilaksis paling sering dipicu oleh gigitan serangga.
Dalam penelitian terhadap 2458 kematian anafilaksis dari tahun 1999 sampai 2010,
obat-obatan (58,8%) merupakan pemicu yang paling umum diikuti oleh induser
lain yang tidak spesifik (19,3%), racun serangga (15,2%) dan makanan (6,7%).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa perempuan lebih sering terkena anafilaksis.
Episode anafilaksis terhadap pelemas otot IV, aspirin, dan lateks lebih sering terjadi
pada wanita, sedangkan anafilaksis gigitan serangga lebih sering terjadi pada pria.
Perbedaan jenis kelamin ini kemungkinan merupakan efek dari frekuensi paparan.
[4,5]
Indonesia
3) Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana
reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi
tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Fase sensitisasi
dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun non
spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan
merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE.
Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil,
dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen
yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari
sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi. Pada fase aktivasi, terjadi interaksi
antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil dengan antigen spesifik pada
paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil
akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang
penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi
granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya
degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin,
trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan
degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ
organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.9
4) Tatalaksana
Penatalaksaan pada kasus syok anafilaksis dilakukan tanpa memandang beratnya
gejala anafilaksis. Hal ini dikarenakan cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala
anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Selain pemberian epinefrin, hal
yang harus diperhatikan dalam memberikan terapi pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan system pernafasan yang lancer agar oksigenasi berjalan baik serta
system kardiovaskular harus berfungsi baik agar perfusi ke jaringan memadai.
Sistem pernapasan sangat penting diperhatikan karena penyebab tersering kematian
pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Bila saluran napas tertutup sama sekali, petugas medis hanya
memiliki waktu 3 menit untuk bertindak. Suntikan epinefrin, trakeostomi, intubasi
trakea, dan pungsi membrane krikokortikoid dapat dilakukan untuk menangani
masalah saluran pernapasan. Pemberian oksigen 4-6 Liter per menit. Pasien
hipoksia atau dengan gangguan pernapasan diberikan pengiriman oksigen
konsentrasi tinggi menggunakan masker nonrebreather. Pasien yang sadar dengan
kesulitan napas diberikan jalur napas nasofaring lebih baik daripada orofaring.
CPAP atau continuous positive airway pressure dipertimbangkan pada pasien
dengan penurunan saturasi oksigen, penurunan kesadaran, sebelum intubasi
endoktrakeal. Pasien dengan tanda hipoksia dipertimbangkan untuk tindakan
pemasangan alat pernapasan supraglotik dan intubasi endotrakeal. Bronkodilator
diperlukan bila terjadi obsturksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala
asma atau status asmatikus. Larutan Salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25
ml-0,5 ml dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulasi atau aminofilin 5-6
mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% perlahan
selama 15 menit. Bila pasien tidak respon terhadap epinefrin juga dapat diberikan
nebulasi albuterol 2,5-5 mg/dosis pemberian.
Sistem kardiovaskular dengan gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil
dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravascular. Cairan IV NaCl 0,9% atau Dextran. Dianjurkan memberikan cairan
koloid 0,5-1 liter dan sisanya kristaloid. Cairan koloid menggantikan cairan
intravascular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di
jaringan tetapi dapat juga menarik cairan ekstravaskular kembali ke intravascular.
Oksigen mutlak diberikan dengan natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolic. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure) untuk
memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan cairan, serta pemberian
obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya. Pemberian vasopressor
melalui cairan infus IV dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1 : 1000 dalam 250
ml dekstrosa (konsentrasi 4 mg/ml) dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit infus, bila diperlukan dapat dinaikkan maksimum 10 mg/ml.
Pemberian epinefrin awal 1 : 1000 0,01 ml/kgBB maksimal 0,3 ml subkutan setiap
15-20 menit 3 sampai 4 kali kadang Intra Muskular 0,5 ml sepanjang pasien tidak
mengidap kelainan jantung. Pemberian epinefrin 1 : 1000 0,1-0,3 ml di bekas lesi
akibat allergen penisilin, imunoterapi, sengatan serangga
AHA (American Heart Association) menganjurkan pemberian epinefrin 1 : 10.000
endotrakeal 10 ml melalui jarum panjang atau kateter pipa endotrakeal (anak 5 ml
epinefrin 1 : 10.000). Kortikosteroid sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi
anafilaksis yang berat, prednisone tablet atau IV 5 mg/kgBB atau hidrokortison
setiap 4-6 jam. Antihistamin oral atau parentral, simetidin 300 mg atau ranitidine
150 mg diencerkan dengan 20 ml NaCl 0.,9% dalam 5 menit. Pemberian tambahan
inhalasi agonis beta 2 atau sui;fas atropine juga akan memberikan manfaat
disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid secara intravena.3,10
5) Prognosis
Dubia ad bonam pada penanganan yang tepat dan sesuai.
Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya mendapat
pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila telah 10 mendapat
pengobatan biasanya kematian terjadi pada 30 menit pertama. Prognosis pada
penderita reaksi anafilaksis biasanya baik bila telah mendapat pengobatan yang
adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan penyakit
kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit pernapasan dan
penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat.11
Daftar Pustaka
5. Ewan, PW, 1998. Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ. Vol 316, P:1442-1445
6. Abdullah, Murdani. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
7. Price, A Sylvia,dkk. 2012. PATOFISIOLOGI. Jakarta : EGC
8. I gusti bagus oka wijaya 2018. Syok anifilaksis. Denpasar
9. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2006 Jul. 97(1):39-43
10. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
11. Linzer JF, Bechtel KA, Windle ML, Wolfram Wayne. Anaphylaxis Syok: Pediatric
Anaphylaxis [internet]. Medscape. 2016. [cited 29 October 2019]. Available from
https://emedicine.medscape.com/article/799744-overview
12. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10