DOSEN PEMBIMBING :
Dr.dr.Herlambang,Sp.OG,KFM
KELOMPOK VII :
LIDIA TERESIA SINAGA G1A117046
KARINA RHAMA YANDA G1A117073
ANAS TASIA K. TARIGAN G1A117084
BILLI BRIAN GENIRO G1A117091
QANITA TIFAL TAZQIYA G1A117095
TRIYAN IHZA MAHENDRA G1A117109
ATIQAH KHAIRI MUJAHIDAH G1A117112
MUHAMMAD DHANDY ARDHISYAH G1A117117
1
SKENARIO
Tn. B, 52 tahun dibawa keluarganya ke IGD rumah sakit dengan keluhan utama nyeri
perut hebat sejak 2 hari yang lalu. Nyeri saat ini dirasakan diseluruh bagian perut sehingga
perut terasa tegang. Keluhan ini juga disertai panas tinggi dan mengigau serta Tn. B sudah
tidak BAB maupun flatus selama 2 hari terkhir ini. Keluhan diawali oleh muntah kemudian
timbul nyeri perut mendadak di daerah epigastrik yang menyebar ke daerah perut kanan
bawah dan dirasakan terus memberat serta bertambah luas. Seminggu sebelumnya Tn. B
mengeluh merasa tidak enak di daerah epigastrik yang disertai suhu badan subfebris perut
kembung, mual dan tidak nafsu makan. Sejak 1 tahun yang lalu, Tn. B sering mengkonsumsi
obat anti nyeri yang dibeli sendiri di apotek dan rutin meminum jamu untuk mengobati nyeri
pada kedua lututnya dan semakin sering mengonsumsi dalam 3 bulan terakhir. Riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga disangkal.
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Mengigau : Berkata-kata tanpa disadari seperti pada waktu sakit atau tidur;
meracau.1
2. Nyeri : Pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dapat
2
berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai penderitaan.2
3. Flatus : Gas atau udara dalam saluran cerna yang dikeluarkan melalui anus.3
4. Epigastrik : Daerah abdomen bagian tengah atas yang terletah di dalam angulus
infrasternal.3
5. Kembung : Terdapatnya udara atau gas dalam jumlah yang berlebihan dalam
IDENTIFIKASI MASALAH
ANALISIS MASALAH
1. Jelaskan Anatomi, histologi dan fisiologi dari sistem pencernaan!
Jawab:
ANATOMI SISTEMA DIGESTIVUS4
REGIO ABDOMEN
Berikut urutan anatomi dan mekanisme sistem pencernaan, mulai dari pada saat
makanan masuk ke rongga mulut :
5
Gambar 2: Anatomi pencernaan mulut – anus4
Pada saat makanan masuk kedalam cavum oris, bibir mempunyai fungsi
spesifik yaitu sebagai pembantu untuk memperoleh , mengarahkan serta menampung
makanan. Di dalam cavum oris, makanan mengalami 2 perlakuan yaitu :
6
Gambar 3: Cavum oris potongan sagitalis- lingua permukaan anterior et posterior 4
Dalam cavum oris juga terdapat lidah yang berfungsi sebagai pengecap.
Hijau = hit
Biru = asam
Merah = asin
Orange = manis
Setelah itu bolus terdorong ke arah posterior dari lidah dan secara otomatis bolus akan
terdorong untuk memasuki faring. Di dalam cavum oris juga terdapat kelenjar
pencernaan seperti yang sudah disebutkan diatas secara lengkap, yaitu :
– Glandula parotidea
– Glandula sublingualis
– Glandula submandibularis
7
– Glandula Labiale
– Glandula Buccales
– Glandula Lingualis
– Glandula palatini
Faring
Oesophagus
Terdapat 3 penyempitan:
– Angustia superior pangkal / leher
– Angustia medialis persilangan dengan bronchus primarius sinister
– Angustia inferior menembus diafragma
8
Gambar 6: Esofagus dilihat dari arah anterior dan lateral 4
Di cranial dan caudal oesophagus terdapat sphincter yang bernama sphincter
oesophagus. Di oesophagus makanan akan mengalami gerak peristaltik yang terjadi
sekitar 6-10 deik. Apabila peristaltik pertama (peristaltik primer) tidak bisa
mengantarkan makanan ke gaster, maka akan terjadi gerakan peristaltik sekunder
sehingga mendorong makanan ke gaster.
Gaster / ventriculus
• Duodenum:
– Retroperitoneal
– panjang 6-7m, batas tidak tegas 2/5 proximal jejenum dan 3/5 distal ileum
• Vascularisasi:
– A. mesenterica superior
– V. porta
10
Di usus halus juga terjadi absorbs nutrisi dan zat-zat yang berguna untuk tubuh.
Sebagai nutrisi yang diserap disalurkan ke hati untuk diolah.
11
– Colon descendens – rectum
– Penggantung: mesocolon sigmoideum
Organ Retroperitoneal:
• Gaster
• Oesophagus
• Duodenum pars ascendens
dan descendens • Duodenum pars superior
• Jejenum • Pancreas
• Colon sigmoid
13
Gambar 9: Rongga Perotineum, omentum dan organ didalamnya4
HISTOLOGI5
Secara histologi, umumnya saluran cerna dilapisi oleh empat lapisan :
1). Tunika mukosa,dibagi menjadi 3 lapisan:
-membran mukosa : dilapisi oleh epitel
-lamina propria : jaringan ikat longgar,pembuluh darah, glandula
b) AREA RUBRA
Lapisan epitel squamous complex non cornificatio yang tampak transparan.
Terdapat papila vaskuler tampak lebih tinggi.
2. P H A R Y N X
Panjang : 12.5 – 15 cm
Terdiri atas : Nasopharynx, Oropharynx, dan Laryngopharynx
Tunica Mucosa :
Epitel Nasopharynx dan Laryngopharynx : Pseudocomplex columnar (+), Cilia (-)
Epitel Oropharynx : Squamous complex non cornification.
Lamina Propria : Jaringan ikat padat, fibroelastis dengan serat-serat
elastis yang berkembang baik.
Muscularis Mucosa : Tidak ada.
Tunica Submucosa : Tidak ada.
Tunica Muscularis : Otot striata ireguler.
Tunica Fibrosa : Lapisan fibroelastis yang melekatkan dengan jaringan
sekitarnya .
3. ESOPHAGUS
Tunica Mucosa
Epitel : Squamous complex non cornificatio.
Lamina Propria : Serat jaringan ikat halus dan tipis.
Muscularis Mucosa : Terdiri dari dua jenis lapisan otot yaitu sirkular dan
longitudinal.
Tunica Submucosa : Jaringan ikat longgar berupa serat-serat kolagen kasar,
serat-serat elastis kasar, pembuluh darah, lhymfe,
ganglion saraf parasymphatis.
Tunica Muscularis : Berupa serat otot striata dan serat otot polos. Serat otot
striata. Dijumpai sampai dengan pertengahan
oesophagus. Sedangkan serat otot polos , dimulai dari
Pertengahan oesophagus.
Tunica Fibrosa : Jaringan ikat longgar .
4. GASTER
Tunica Mucosa : Columnair simplex inti oval/ spheris .
Lamina Propria : Jaringan ikat longgar .
Muscularis mucosa : Lapisan otot sirkular : bagian dalam.
: Lapisan otot longitudinal : bagian luar.
Tunica Submucosa : Jaringan ikat longgar. Dijumpai pembuluh darah besar
dan serat-serat saraf.
Tunica Muscularis : Stratum Obliqus, Stratum Sirkular, Stratum
Longitudinal.
Tunica Serosa : Jaringan ikat longgar yang dilapisi sel mesothel.
5. INTESTINUM TENUE
Tunica Mucosa : Epitel = Columnair absorbing cell.
: Tinggi dan sempit.
: Tinggi dan lebar sel dapat berubah-ubah.
: Tampak Striated Free Border.
: Sel Goblet makin ke distal makin banyak.
Lamina Propria : Nodulus limfatikus solitari, Terdapat sepanjang
intestinum tenue. Plakat Peyer Berupa agregasi
nodulus
limfatikus.
Muscularis Mucosa : Lapisan otot sirkular : bagian dalam.
: Lapisan otot longitudinal : bagian luar.
Tunica Submucosa : Jaringan ikat longgar , dan glandula, Kecuali dibagian
proximal pada duodenum.
Tunica Muscularis : Lapisan otot sirkular : bagian dalam.
: Lapisan otot longitudinal : bagian luar.
Tunica Serosa : Jaringan Ikat yang dilapisi mesothelium.
6. I N T E S T I N U M C R A S S U M
Tunica Mucosa :
Permukaan licin, terdapat vilus intestinal dan plica tidak dijumpai.
Lamina propria : Terdapat kriptus Lieberkühn
Striated Free Border : Lebih tipis bila dibandingkan dengan
intestinum tenue
Sel Paneth : Sedikit, terkadang tidak ada karena mulai
menghilang.
Sel Goblet : Hampir memenuhi seluruh tunika mukosa.
Tunica Muscularis : Stratum sirkular lebih tebal dan stratum longitudinal
tersusun dalam 3 berkas berbentuk pita yang disebut
Taenia Coli. s . dan Linea Coli .
Tunica Serosa : Banyak dijumpai jaringan ikat longgar.
FISIOLOGI7,8
4. Absopsi yaitu penyerapan, yang terjadi di usus halus berupa pemindahan zat-
zat dari lumen saluran cerna ke dalam darah atau limfe.
b) Potensial paku, disebut sebagai potensial aksi yang sebenarnya. Setiap kali
tercapainya potensial ambang, dimana puncak gelombang menjadi lebih
positive dari -40mV. Frekuensinya 1-10gel paku/detik.
3. Plexus saraf ekstrinsik, mempengaruhi motilitas dan sekresi saluran cerna. Terdiri
dari saraf simpatis (memperlambat fungsi saluran cerna) dan saraf parasimpatis
(merangsang fungsi saluran cerna).
4. Hormonal, menimbulkan efek eksitatorik dan inhibitorik pada otot polos dan
kelenjar eksokrin. Hormon yang mempengaruhi gastrointestinal diantaranya yaitu
gastrin, CCK, sekretin, peptida penghambat asam lambung dan motilin.
b) Refleks panjang, mecakup jalur yang panjang antara SSP dan saluran cerna .
contohnya : refleks nyeri , refleks defekasi.
Sel endokrin
1. Sel ECL, menstimulasi sel parietal, menghasilkan histamine.
3. Sel D, menghasilkan somatostatin yang dapat menghambat sel parietal, sel ECL.
Faktor faktor dasar yang merangsang sekresi lambung adlaah asetilkolin, gastrin,
dan histamin. Asetilkolin dilepaskan oleh adanya rangsangan parasimpatis
merangsang sekresi pepsinogen oleh sel-sel peptik, asam hidroclorida oleh sel parietal
dan mukus oleh sel-sel mukus. Sebgai pembanding keduanya gastrin dan histamin
secara kuat merangsang sekresi asam oleh sel-sel parietal tetapi memiliki sedikit efek
terhadap sel-sel lain.
a. Nyeri visceral
Nyeri visceral di transduksi pada sumbernya oleh ujung saraf telanjang yang
tidak memiliki struktur khusus seperti kapsul yang ditemukan di ujung saraf
somatik. Nyeri visceral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau strukur
dalam rongga perut, misalnya karena cidera atau radang. Peritoneum visceral
yang menyelimuti organ perut diprsarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak
peka terhadap rabaan, atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau
pemotongan pada usus dapat dilakukan tanpa terasa oleh pasien. Aan tetapi bila
dilakukan tarikan atau regangn organ atau terjadi kontraksi yang berlebihan
pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya kolik atau radang , seperti
apendisitis kan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri visceral biasanya tak
dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan
seluruh telapak tangan nya untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri visceral
kadang disebut nyeri sentral.
1) Kemonociseptor.
Saraf ini biasanya ditemukan pada daerah mukosa. Saraf ini sensitif
terhadap isi lumen berbahaya.
2) Mekanoreseptor tonik
Saraf ini juga dikenal sebagai "wide-range" reseptor, memiliki aktivitas
yang relatif tinggi pada saat istirahat dan menanggapi peningkatan
ketegangan dinding dengan peningkatan linier dalam kegiatan.
4) "silent" nociceptors
Nosiseptor ini hanya aktif jika terjadi inflamasi.
Nyeri dari organ abdomen terutama akibat dari peregangan dan distensi
ditransduksi oleh mekanoreseptor dan dalam situasi yang lebih parah munculnya
mediator inflamasi terdeteksi oleh ujung saraf diam. Pemotongan dan
pembakaran pada bagian abdomen tidak dianggap berbahaya. Hal ini menjelaskan
mengapa distensi gas selama kolonoskopi sering terasa nyeri, sedangkan
polipektomi tidak.
b. Nyeri somatik-parietal
Nyeri somatik-parietal dimediasi oleh serat A-delta, didistribusikan
terutama di kulit dan otot. Pada sistem pencernaan yang dapat mengalami nyeri
seperti ini yaitu peritoneum parietal. Nyeri ini bersifat tajam, tiba-tiba, well-
localized. Serat ini menyampaikan sensasi rasa sakit melalui nervus spinalis
somatik. Nyeri somatik-parietal biasanya diperburuk oleh gerakan atau getaran.
Serat mencapai sumsum tulang belakang pada saraf perifer yang sesuai dengan
dermatom (T6) ke (L1) segmen vertebra. Nyeri parietal jauh lebih tajam dan
terlokalisir daripada nyeri viseral, karena aferen somatik serat nyeri tidak
melewati garis tengah di sumsum tulang belakang.
Nyeri somatic terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh
saraf tepi , misalnya regangan pada peritoneum parietalis , dan luka pada dinding
perut . nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat . dan pasien dapat
menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan
nyeri ini dapat berupa rabaan , tekanan, rangsangan kimiawi, atau proses radang.
Gesekan peritoneum visceral yang meradang akan menimbulkan nyeri.
Pergesekan nya pun dapat membuat perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah
yang menyebabkan nyeri konttralateral pada pasien apendisitis akut.
a. Nausea : merupakan sensasi psikis yang dapat ditimbulkan akibat rangsangan pada
organ dalam, dimana nausea tidak selalu diikuti dengan muntah.
b. Retching : merupakan fase dimana terjadi gerak napas spasmodic dengan glottis
tertutup, bersamaan dengan adanya usaha inspirasi dari otot dada dan diafragma
sehingga menimbulkan tekanan intratoraks yang negative.
c. Emesis : terjadi bila fase retching mencapai puncaknya yang ditandai dengan
kontraksi kuat otot perut, diikuti dengan bertambah turunnya diafragma disertai
dengan penekanan mekanisme antirefluks. Pada fase ini pylorus dan antrum
berkontraksi, spinchter esophagus terbuka, lalu isi lambung keluar melalui mulut.
7. Apa makna klinis dari nyeri perut mendadak di epigastrium dan menyebar ke perut
kanan bawah?
Jawab:
Nyeri pada daerah peritoneum merupakan nyeri visceral dimana nyeri ini
ditransmisikan oleh serabut saraf tipe C. Biasanya nyeri ini seperti nyeri tumpul, kram,
seperti sensasi terbakar dan lokalisasinya jelek. Nyeri visceral sering dipersepsikan di
daerah tengah abdomen (epigastrik, umbilikal, dan hipogastrik). Hal ini dikarenakan
organ abdomen mentransmisikan sinyal kepada serabut saraf aferen melalui kedua bagian
dari spinal cord. Selain itu pada pola perpindahan nyeri yang meluas dan menyebar
dimulai dari epigastrik disebabkan oleh penjalaran nyeri oleh saraf berdasarkan neural
crest (embrional saraf) saat organogenesis ketika janin berkembang. Hal ini merupakan
ciri khusus dari nyeri visceral12
keluar.8
9. Apa pengaruh konsumsi obat nyeri dan jamu terhadap penyakit Tn.b?
Jawab:
Obat analgetik (pereda nyeri) dibagi menjadi dua, yaitu golongan opiat dan
non opiat. Golongan opiat akan merangsang langsung pada saraf pusat sedangkan
golongan non opiat (NSAID) akan merangsang saraf perifer dan sebagian saraf pusat.
Menurut teori dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung
yang tebal dan liat merupakan garis depan terhadap autodigesti. Lapisan ini
memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dengan agen kimia. Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (NSAID), termasuk aspirin, menyebabkan perubahan kualitif
mukus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mukusoleh pepsin.
Prostaglandin terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mukus gastrik dan tampaknya
berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung. Beberapa obat tertentu, seperti
aspirin, alkohol, indometasin, fenilbutazon, kortikosteroid mungkin memiliki efek
langsung terhadap mukosa lambung menyebabkan terbentuknya ulkus.
Obat anti inflamasi NSAIDs selektif dan non-selektif yang penggunaan klinis
nya adalah nyeri peradangan sendi (osteoarthritis), peradangan local, nyeri otot
skeletal kornik. Efek samping yang terjadi pada penggunaan NSAIDs non-selektif
adalah iritasi lambung. Hal ini dikarenakan mekanisme kerjad NSAIDs non-selektif
yang memblok COX-1. Peran COX-1 adalah pembentukan prostaglandin yang
melindungi mukosa lambung. Bila COX-1 dihambat, maka prostaglandin yang
menjadi perlindungan lambung tidak terbentuk. Terjadilah iritasi atau tukak
lambung. Untuk memperkecil resiko efek samping ini, maka sebaiknya NSAIDs
diminum setelah makan (1 jam setelah makan) dan bisa dikombinasi dengan
gastroprotektif agent seperti proton pump inhibitor (PPI). PPI memiliki efektivitas
yang sama dengan misoprostol (analog prostaglandin, PGE1). Bila dibandingkan
dengan antagonis reseptor H2 (simetidin, famotidine, ranitidin), PPI lebih efektif.
2. Membran Permeabilisasi
OAINS juga memiliki efek sitotoksik langsung pada sel mukosa
lambung yang menyebabkan lesi dan luka. Kerusakan topikal pada jenis ini
telah diobservasi pada kasus keasaman dari OAINS, seperti aspirin yang
menghasilkan akumulasi dari OAINS yang terionisasi, suatu fenoma
dinamakan “ion trapping”. Aspirin menurunkan ketidaklarutan air dan
+
menyebabkan difusi kembali dari ion H dan pepsin (Schellack, 2012). Hal
itu menunjukkan bahwa OAINS menyebabkan permeabilisasi membran
membawa kepada kerusakan sawar epitel. OAINS juga dapat menginduksi
baik nekrosis dan apoptosis pada mukosa sel lambung.
Pada kasus Tn. B yang mengkonsumsi jamu untuk meredakan nyeri. Diperkirakan
jamu yang dikonsumsi adalah jamu plus obat kimia atau disebut juga jamu oplosan.
Menurut uji laboratorium zat zat tambahan yang terdapat dalam jamu tersebut ialah
golongan Non-Steroid Anti Inflamatory Drug (NSAID) / Obat Anti Inflamasi Non-
Steroid (OAINS) seperti fenilbitazon, antalgin, natrium diclofenac. Dan juga terdapat
kandungan zat golongan steroid seperti Dexametason dan prednisone.15
Zat zat yang tedapat dalam jamu ini termasuk dalam Obat keras yang jika tidak
digunakan dengan dosis dan takaran yang seharusnya akan menimbulkan efek buruk
yaitu memberikan pengaruh terutama ke gaster dapat berupa luka (ulserasi) dan akan
memperparah penyakit lambung yang sudah diderita sebelumnya. Sudah di bahas di atas
tentang efek dari pemakaian OAINS, dan di jamu terdapat obat golongan steroid yang
meruoakan imunosupressor, hal ini justru akan memperparah keadaan karena OAINS
menyebabkan luka sehingga rentan infeksi ditambah dengan ditekannya sistem imun
menjadikan individu mudah terserang infeksi.16
10. Apakah makna klinis dari perut kembung dan mual dan tidak nafsu makan?
Jawab:
Adanya infeksi pada peritonium mengakibatkan peristaltik usus menurun , hal ini
menyebabkan penumpukan makanan dan timbulnya obstruksi , karena usus yg sudah
penuh, makanan dan udara tidak bisa masuk ke dalam usus halus yang menyebabkan
mual dan tidak nafsu makan serta perut kembung9,10
1. Peritonitis kimia,
misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu,
cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik,
merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan
menimbulkan peradangan.
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya
adalah:
1. invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
2. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
3. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
3. Peritonitis tersier
biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab
biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus,
S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus.
Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya
terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan
antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan
berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang,
abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis
dilepaskan.
Untuk kasus Tn. B, causa peritonitisnya ialah karena perforasi gaster, adapun etiologi
dari perforasi gaster ialah18:
1. Perforasi non-trauma, misalnya :
a. akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia
b. spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer.
c. Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid (NSAID), dan steroid : terutama pada
pasien usia lanjut.
d. Adanya faktor predisposisi : termasuk ulkus peptic
e. Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
f. Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus,
gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.
FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu18:
a. penyakit hati dengan ascites
b. kerusakan ginjal
c. compromised immune system
d. pelvic inflammatory disease
e. appendisitis
f. ulkus gaster
g. infeksi kandung empedu
h. colitis ulseratif / chron’s disease
i. trauma
j. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
k. pankreatitis
PATOFISIOLOGI
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ
abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum
terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah
(abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga
menimbulkan obstruksi usus.18
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal
dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan
tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis
yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis
generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan
peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.18
Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah.18
2. Nyeri bersifat tumpul dan terlokalisir (peritoneum viseral) dan berlanjut ke arah
nyeri terlokalisir (peritoneum parietal)
Dari hasil anamnesis bisa didapatkan diagnosis sementara dari keluhan Tn.A
dimana keluhan Tn.A mengarah ke peritonitis untuk memastikan lebih lanjut
apakah ini benar peritonitis atau tidak dilakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
14. Apa diagnosis banding dari penyakit Tn.B?
Jawab:
Tabel 1. Diagnosa Perbandingan
Diagnosa
Diagnosa Banding
Sementara
Peritonitis et causa Peritonitis et causa
Appendisitis
Perforasi appendisitis Perforasi Gaster
Etiologi Karena kebocoran
Karena kebocoran dari
Peradangan pada usus dari gaster
usus buntu buntu (berawal dari
ulkus)
Nyeri Nyeri dari umbilikus Nyeri dari ulu hati
menjalar ke perut
menjalar ke perut kanan Nyeri dari umbilikus
kanan bawah
menjalar ke perut
bawah dan menyebar kemudian ke
kanan bawah
keseluruh permukaan perut seluruh
permukaan perut
Gejala Demam febris, mual,
Demam sebfebris, Mual, muntah,
anoreksia mual, anoreksia anoreksia, demam
inspeksi Perut terlihat kembung Tak ada gambaran Perut terlihat
spesifik kembung
palpasi Terdapat nyeri di titik Mc Nyeri tekan,
burney, dan perut tegang/ Terdapat nyeri di titik tegang pada
Mc burney seluruh
keras
permukaan perut
Auskutasi
Melemah dan bahkan Melemah dan
(Bisisng Normal-melemah
hilang bahkan hilang
Usus)
PEMERIKSAAN FISIK9,10
Pada pemeriksaan tanda vital perlu diperhatikan status gizi, kemungkinan adanya
gangguan kesadaran, dehidrasi, syok, anemia, dan gangguan napas. Penderita dengan
perdarahan, perforasi, atau obstruksi lambung duodenum sering datang dalam keadaan
gawat.
1. Inspeksi
Pasien tampak dalam mimik menderita
Tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih kecoklatan
Pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak
karena dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan
peritoneum.
Distensi perut
2. Palpasi
4. Auskultasi
6. Perkusi
Redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga udara
akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan
suara redup menjadi timpani Pada rectal touche akan terasa nyeri di semua
arah, dengan tonus muskulus sfingter ani menurun dan ampula recti berisi
udara
7. Rectal touche akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani
menurun dan ampula recti berisi udara.
1. Pemeriksaan Radiologis19
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos
abdomen 3 posisi, yaitu :
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
peritoneal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan
pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien
imunokompromais dapat terjadi lekopenia, hematocrit yang meningkat
BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar karbondioksida yang
disebabkan oleh hiperventilasi.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari
3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur.
Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.
Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu dikoreksi cairan,
elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok hipovolemik.
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT
Jawab: Penatalaksanaan19
A. Konservatif
A. Memuasakan pasien
Pemberian oksigen
Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh pulse
oximetri atau BGA.
Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus
dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral
dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien
dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit
bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam
ruang vaskuler.
Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau
yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan
meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga
harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.
B. Definitif
Pembedahan
Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.
Tujuannya untuk :
D. Peritoneal lavage
Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam absorbsi
karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi, belum dapat
dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus
duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi
ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.
Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak kejadian
yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.
Jawab:
Jika tidak segera diobati, infeksi dapat memasuki aliran darah Anda,
menyebabkan syok dan kerusakan organ-organ lain. Hal ini dapat berakibat fatal.
Potensi komplikasi peritonitis primer meliputi:9,10
Ensefalopati, merupakan hilangnya fungsi otak yang terjadi ketika hati
tidak bisa lagi membuang zat beracun dari darah Anda
Sindrom hepatorenal, yaitu gagal ginjal yang progresif akibat
kegagalan hati
Sepsis, merupakan reaksi parah yang terjadi ketika aliran darah
menjadi kewalahan oleh bakteri.
Komplikasi peritonitis sekunder meliputi:
Abses intra-abdominal, merupakan kumpulan nanah
Usus gangren, merupakan jaringan usus yang mati
Adhesi intraperitoneal, merupakan pita dari jaringan fibrosa
menempel dengan organ perut dan dapat menyebabkan
penyumbatan usus
Syok septik, yang ditandai dengan tekanan darah sangat rendah.
MIND MAPPING
Kelainan Pada
Anatomi, Histologi , Saluran Cerna
Fisiologi Saluran
Cerna
Sebab/Penyakit
Appendisitis Ulkus Gaster
Lain
Perfor
Periton
Etiologi Patofisiologi
Manifestasi
Pemeriksaan
Klinis
Fisik
Pemeriksaan
Penunjang Tata Laksana
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
3. Elsevier. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2014. Hal. 1782
7. Guyton, Arthur C dan Jonh E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC;2008. Hal. 813 - 844
9. Setiasi, S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Volume II. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. Hal.1896-1897
10. Isselbacher, dkk. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed-13. Jakarta:
EGC; 2012
11. Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
12. Sjamsuhidajat, R, Wim de jong. Buku Ajaran Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2004.
13. Ramadanika, T. Muntah [serial online] dapat diunduh di:
http://skp.unair.ac.id/repository/web-
pdf/web_Mual_dan_Muntah_THIEARA_RAMADANIKA.pdf. Diunduh pada 15
September 2017.
14. Selvan, D. 2012. Mekanisme Muntah [serial online]. Dapat Diakses di:
https://www.scribd.com/doc/94488866/Mekanisme-Muntah-Dan-Mual. Diakses pada
15 September 2017.
15. Anonim. Gastropati karena OAINS. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada
tanggal 13 september 2017.
16. Andimarlinasyam. 2009. Perforasi Gaster [serial online]. Dapat diakses di:
https://andimarlinasyam.wordpress.com/2009/08/27/perforasi-gaster/. Diakses pada
17 September 2017.
18. Warsinggih. Bahan Ajar: Peritonitis dan Illeus [serial online]. Dapat diunduh di:
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/PERITONITIS-DAN-
ILUES.pdf diunduh pada: 12 September 2017.
19. Anonim. Peritonitis dan Ileus. Universitas Hasanuddin. .Diakses dari URL :
https://med.unhas.ac.id