Anda di halaman 1dari 63

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

PSIKIATRI
RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................. 1


Daftar Isi ....................................................................................................................... 2
Penyusun ...................................................................................................................... 3
Peraturan Direktur Nomor : 559.3/PER/RSISA/V/2019 tentang Panduan
Praktik Klinis (PPK) Psikiatri ......................................................................................... 5
Pendahuluan ................................................................................................................ 7
Panduan Praktik Klinik Delirium .................................................................................. 8
Panduan Praktik Klinik Demensia ................................................................................ 12
Panduan Praktik Klinik Gangguan Mental & perilaku Akibat Alkohol Zat Psikoaktif ... 16
Panduan Praktik Klinik Skizofrenia .............................................................................. 22
Panduan Praktik Klinik Afektif Bipolar ......................................................................... 27
Panduan Praktik Klinik Panik ....................................................................................... 33
Panduan Praktik Klinik Ansietas Menyeluruh .............................................................. 36
Panduan Praktik Klinik Gangguan Depresi Mental ...................................................... 39
Panduan Praktik Klinik Retardasi Mental .................................................................... 47
Panduan Praktik Klinik Somatoform ............................................................................ 53
Panduan Praktik Klinik Psikotik Akut ........................................................................... 59
Disclaimer ..................................................................................................................... 63
Penutup ........................................................................................................................ 64

2
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019

tentang

PANDUAN PRAKTIK KLINIS PSIKIATRI


DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

bismillahirrahmanirrahim

DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

MENIMBANG : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah


Sakit Islam Sultan Agung perlu disusun Panduan Praktik Klinis bagi dokter
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
b. bahwa dalam Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit Islam
Sultan Agung bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter dalam
memberikan pelayanan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan
c. bahwa buku panduan praktik klinis tersebut digunakan sebagai bahan
acuan kegiatan pelayanan medis
d. bahwa untuk kepentingan tersebut diatas perlu ditetapkan dalam surat
keputusan

MENGINGAT : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang


Rumah Sakit;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang
Praktik Kedokteran;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Jabatan Fungsional Umum Di Lingkungan Kementerian
Kesehatan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 /Menkes/PER/IV/2011
tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010

3
tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menker/SK II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis
(Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit;
9. Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 445/01/BPMD/07/2014 tentang Perpanjangan Izin Operasional
Rumah Sakit Islam Sultan Agung;
10. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor :
107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit
Berdasarkan Prinsip Syariah;
11. Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor
: 008.55.09/DSN-MUI/VIII/2017 tentang Penetapan Layanan dan
Manajemen Rumah Sakit Islam Sultan Agung telah memenuhi prinsip
syariah;
12. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM, M.Kes
sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Masa Bakti 2018
– 2022.
13. Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
70/SK/YBW-SA/VI/2018 tentang Pengesahan Struktur Oragnisasi RSI
Sultan Agung
14. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama RSI Sultan
Agung Masa Bhakti 2018 – 2022;

MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :
KESATU : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Nomor : 3426/
PER/RSI-SA/II/2017 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Psikiatri Rumah Sakit
Islam Sultan Agung.

4
5
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019
TANGGAL : 15 Mei 2019

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan; lingkup pelayanan adalah
segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Substansi pelayanan medis adalah pratik ilmu pengetahuan dan
teknologi medis yang telah ditapis secara sosio – ekonomi –budaya yang mengacu pada aspek
pemerataan, mutu dan efsiensi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
akan pelayanan medis.
Untuk menyelenggarakan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien dan
berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas,
prafasilitas, peralatan, dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai
Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan
disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan
Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter Psikiatri, serta
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter Psikiatri
Panduan praktik klinis (Clinical practice guidelines) merupakan panduan yang
berupa rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter Psikiatri dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Panduan ini berbasis bukti (berdasarkan penelitian saat ini) dan tidak
menyediakan langkah-pendekatan untuk perawatan dan pengobatan, namun memberikan
informasi tentang pelayanan yang paling efektif. Dokter atau dokter Psikiatri menggunakan
panduan ini sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana
pelayanan yang tepat kepada pasien

B. Dasar Hukum
1. Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 44 ayat ( 1 ) ,
pasal 50 dan 51
2. Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang – undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan No 147 / MENKES/PER / 2010 tentang Perizinan RS
5. PERMENKES No 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
C. Tujuan
1. Meningkatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Mamberikan tata laksana dengan biaya yang memadai

6
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
DELIRIUM

I. DEFINISI
Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut atau
mendadak. Kata delirium berasal dari bahasa latin “de lira” yang berarti keluar dari jalurnya.
Delirium merupakan suatu gangguan mental organik akut dengan gejala utama adanya
gangguan kesadaran berupa kesadaran berkabut, yang disertai dengan gangguan atensi,
orientasi, memori, persepsi, delusi, kegelisahan dan agitasi.

II. ANAMNESIS
Anamnesis sulit dilakukan pada pasien delirium. Anamnesis dilakukan dengan
keluarga atau orang lain yang mengetahui kondisi pasien. Pasien biasanya bingung, tidak
bisa bercerita, dan tidak mengenali masalah yang terjadi. Anamnesis harus fokus pada
riwayat psikiatri, penggunaan zat dan penyakit medis.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


1. Pemeriksaan status mental Pasien delirium didapatkan gangguan kesadaran dan
perhatian
2. Gangguan kognitif secara umum :
a. Distorsi persepsi berupa ilusi dan halusinasi seringkali visual
b. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek
d. Disorientasi waktu pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan
orang
3. Gangguan psikomotor :
a. Hipo atau hiper aktivitas
b. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang.
4. Gangguan siklus tidur bangun
5. Gangguan emosional :
Misalnya depresi anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis, atau rasa
kehilangan aksi

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai penyakit medis umum yang mendasarinya .
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis lengkap, Tanda vital, MMSE,
pemeriksaan medikasi dan kadar obat,

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan sesuai penyakit medis umum yang ada, bisa dilakukan pemeriksaan berikut
ini bila diperlukan : Skrining darah dan urin untuk alcohol, obat-obatan, dan logam berat,
pemeriksaan fisiologis (Elektrolit/glukosa/Ca/Mg serum, tes fungsi hati dan ginjal, kimia
serum, urinalisis, tes darah lengkap, TSH, skrinining HIV), pemeriksaan radiologi ,
elektrokardiogram, EEG, CT-SCAN, MRI kepala, SPECT, pungsi lumbal, tes neuropsikologis.

7
VI. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria Diagnostik Delirium menurut PPDGJ III :
F05 Delirium bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainya
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :
a. Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma
b. Menurunya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan
mengalihkan perhatian.
2. Gangguan kognitif secara umum :
a. Distorsi persepsi, ilusi, dan halusinasi seringkali visual
b. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang bersifat
sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang
relatif masih utuh.
d. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan
orang
3. Gangguan psikomotor :
a. Hipo atau hiper aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke
yang lain.
b. Waktu bereaksi yang lebih panjang.
c. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang.
d. Reaksi terperanjat meningkat.
4. Gangguan siklus tidur bangun :
a. Insomnia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya
siklus tidur-bangun, mengantuk pada siang hari
b. Gejala yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi
setelah bangun tidur
5. Gangguan emosional :
Misalnya depresi anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis, atau rasa
kehilangan aksi
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan keadaan
itu berlangsung kurang dari 6 bulan
a. F05.0 Delirium, Tak Bertumpang tindih dengan Demensia
Delirium yang tidak bertumpang tindih dengan demensia yang sudah ada
sebelumnya
b. F05.1 Delirium, Bertumpang tindih dengan Demensia
Kondisi yang memenuhi kriteria delirium diatas tetapi terjadi pada saat sudah
ada demensia
c. F05.8 Delirium Lainnya
d. F05.9 Delirium YTT

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Multiaksial pada PPDGJ III :
Axis 1
Memenuhi criteria diagnosis F05 Delirium

8
F05 Delirium bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainya
F05.0 Delirium, Tak Bertumpang tindih dengan Demensia
F05.1 Delirium, Bertumpang tindih dengan Demensia
F05.8 Delirium Lainnya
F05.9 Delirium YTT
Axis 2
Sesuai kasus pasien ada atau tidak
Gangguan kepribadian
Retadasi Mental
Axis 3
Kondisi Medis Umum (sesuai yang di temukan)
Axis 4
Masalah psikososial dan Lingkungan (sesuai yang di temukan)
Axis 5
Penilaian Fungsi secara Global (sesuai yang di temukan)

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada Delirium menurut PPDGJ III antara lain :
1. F00-F03 Sindroma organik lainya, Demensia
2. F23 Gangguan psikotik akut dan sementara
3. F20 Skizofrenia dalam keadaan akut
4. F30-F39 Gangguan Afektif + confusional features
5. F1x.4 F1x.03 Delirium akibat Alkohol/Zat Psikoaktif Lain

IX. TERAPI
Penatalaksanaan delirium sesuai penyakit yang mendasari dan sesuai sindroma atau
tanda gejala klinis yang ditemukan, bisa diberikan pendekatan terapi sebagai berikut :
1. Terapi Psikososial
2. Farmakoterapi
1 Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
2 Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
3 Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
4 Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10
- 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
5 Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg

9
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
Penting diberikan perawatan yang baik dan tenang secara umum diberikan cairan
dan elektrolit yang cukup, desaign ruagan diberikan sedemikian rupa yang nyaman seperti
tv, penerangan sedikit redup dll.

X. EDUKASI
Edukasi diberikan pada pasien dan keluarganya mengenai pentingnya bantuan fisik,
sensorik, dan lingkungan. Bantuan fisik sangat diperlukan sehingga pasien dilirium tidak
masuk kedalam situasi dimana mereka mengkin mengalami kecelakaan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengobatan umum merupakan pengobatan suportif, bantuan emosional bagi
pasien penting diberikan oleh keluarga (Kaplan, 2010).

XI. PROGNOSIS
Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan
ditemukan, biasanya berlangsung kurang dari satu minggu. Setalah identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya menghilang dalam periode tiga
sampai tujuh hari. Beberapa gejala bisa berlangsung dalam waktu sampai 2 minggu.
Prognosis delirium biasanya sesuai dan mengikuti penyakit penyebab yang mendasarinya.

XII. KEPUSTAKAAN
Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III, Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta : 2001
Sadock, Kaplan, Sinopsis Psikiatri Jilid I, Binarupa aksara publisher, Tangerang:2010
Buku Ajar PSIKIATRI Edisi 2

10
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
“DEMENSIA”

I. DEFINISI
Demensia merupakan sindrom yang bersifat kronik-progresif ditandai oleh
berbagai gangguan fungsi kognitif yang multiple seperti : daya ingat, daya pikir,
orientasi, daya tangkap, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai.
ada kalanya diawali dengan kemerosotan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi hidup. Umumnya tanpa gangguan kesadaran (Kaplan S,2010,Depkes RI
2003).

II. ANAMNESIS
Anamnesis demensia biasanya ditemukan beberapa gangguan : gangguan
daya ingat, gangguan daya nilai, gangguan daya pikir abstrak, gangguan fungsi luhur,
kemampuan visuospatial, kesulitan dalam bekerja, cenderung gagal memecahkan
masalah. Ketidakmampuan melakukan tugas tersebut akan semakin memburuk
hingga ke tugas harian. (Kaplan, 2010)

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


Pemeriksaan status mental ditemukan gangguan daya ingat, gangguan daya
nilai, gangguan daya pikir abstrak, gangguan fungsi luhur, kemampuan visuospatial.,
gangguan bicara, gangguan perilaku, gangguan mood/afek atau gangguan suasana
perasaan (Kaplan, 2010).

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik pada demensia biasanya tidak ditemukan kelainan. Bisa juga
ditemukan adanya penyakit yang mendasarinya seperti penyakit vaskuler, infark,
penyakit metabolic, HIV, Parkinson, Huntington, trauma kepala.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai kebutuhan bisa pemeriksaan rutin
sampai pemeriksaan penunjang tertentu sesuai penyakit yang mendasarinya, seperti
: EKG, EEG, tes neurologi, pungsi lumbal , CT-scan, MRI kepala, SPECT.

VI. KRITERIA DIAGNOSIS


Kriteria Diagnostik Demensia menurut PPDGJ III :
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai mengganggu
kegiatan harian seseorang seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, BAB dan
BAK.
2. Tidak ada gangguan kesadaran
3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.
F00 DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

11
F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer peyakit dini
F00.1 Demensia pada penyakit alzheimer onset lambat
F00.2 Demensia pada penyakit alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit alzheimer YTT
F01 DEMENSIA VASKULER
F01.0 Demensia vaskuler onset akut
F01.1 Demenia multiinfark
F01.2 Demensia vakuler subkortikal
F01.3 Demensia vakuler campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia vakuler lainnya
F01.9 Demensia vakuler YTT
F02 DEMENSIA PADA PENYAKIT LAIN YDK
F02.0 Demensia pada penyakit Pick
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia paa penyakit lain YDT YDK
F03 DEMENSIA YTT

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Multiaksial pada PPDGJ III :
Axis 1
F00 Demensia pada penyakit alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer peyakit dini
F00.1 Demensia pada penyakit alzheimer onset lambat
F00.2 Demensia pada penyakit alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit alzheimer YTT
Axis 2 Sesuai kasus pasien bila ditemukan: Gangguan kepribadian
Retadasi Mental
Axis 3 Sesuai Kondisi Medis yang ditemukan pada pasien
Axis 4Sesuai masalah psikososial dan Lingkungan
Axis 5Sesuai Fungsi Global pasien
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Demensia adalah : TIA, Delirium, Depresi, Skizofrenia,
Gangguan buatan (Factitious Disorders) dan penuaan normal

12
IX. TERAPI
Terapi Psikososial
Farmakoterapi
1 Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
2 Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg
3 Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
4 Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 -
20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
5 Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna
lagi,namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
PsychologicalSymptoms of Dementia):
1 Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
2 Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse

13
o Pantoyl-GABA
3 Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg

X. EDUKASI
Pasien demensia memerlukan pengawasan dan bantuan yang terus-menerus
untuk melakukan tugas yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pengobatan umum pada pasien demensia merupakan pengobatan suportif saja,
bantuan emosional bagi pasien dan keluarga sangat pemnting dalam hal ini.
Perhatian khusus diberikan kepada pengasuh atau anggota keluarga yang merawat
untuk tidak sedih dan frustasi karena perawatan pasien demensia yang memerlukan
waktu yang lama (Kaplan, 2010).

XI. PROGNOSIS
Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah
sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan
bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat
(Kaplan, 2010).

KEPUSTAKAAN

------, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta : 2001
National Demensia Group, Apa itu demensia?, Alzheimer’s Australia, Jakarta : 2005
Sadock, Kaplan, Sinopsis Psikiatri Jilid I, Binarupa aksara publisher, Tangerang:2010
S Marlina, Demensia, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD
dr.Soetomo Edisi III, Surabaya : 2004

14
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN MENTAL DAN PRILAKU AKIBAT ALKOHOL DAN ZAT PSIKOAKTIF

I. DEFINISI/ PENGERTIAN

Yang dimaksud gangguan mental perilaku akibat alkohol dan zat psikoaktif adalah
gangguan mental perilaku yang timbul karena penggunaan alkohol dan zat psikoaktif bisa
berupa intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan
putus zat, keadaan putus zat dengan delirium, gangguan psikotik, sindrom amnestik,
gangguan psikotik residual atau onset lambat.

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan melalui alloanamnesis dan autoanamnesis yaitu dilakukan


dengan keluarga atau orang lain yang mengetahui tentang penderita dan penderita
sendiri. Meliputi alkohol dan jenis zat psikoaktif yang digunakan atau disalahgunakan,
berapa lama menggunakan alkohol dan zat psikoaktif tersebut, frekuensi penggunaan
dalam kurun waktu tertentu, juga dilakukan anamnesis keluhan-keluhan yang timbul dan
dirasakan oleh penderita baik keluhan mental perilaku maupun keluhan fisik atau medis
umum akibat penggunaan zat tersebut berupa keluhan akibat intoksikasi akut,
penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan putus zat, keadaan putus
zat dengan delirium, gangguan psikotik, sindrom amnestik, gangguan psikotik residual
atau onset lambat.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

Pemeriksaan status mental pasien akibat penggunaan alkohol dan zat psikoaktif
bisa ditemukan penampilan umum terlihat sehat atau bisa juga sakit, sadar atau
mengantuk, tampak tua atau tampak muda, marah, bingung, ketakutan, tidak nyaman,
apatis, sikap rendah diri, tidak berharga, feminine, maskulin, dll. Sikap terhadap
pemeriksa bisa kooperatif, bermusuhan, defensive, merayu, suka mengelak, mencari
muka, dll. Gangguan Persepsi seperti halusinasi, depersonalia/derealisasi bisa ada atau
tidak. Gangguan kesadaran bisa ada bisa tidak.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada pasien penggunaan alkohol dan zat psikoaktif biasanya tak
didapatkan kelainan. Terkadang bisa juga ditemukan adanya penyakit fisik umum lainnya
sebagai penyakit komorbid (sesuai kasus).

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang bisa dilakukan terutama terkait jenis alkohol dan zat psikoaktif
yang digunakan atau juga bisa dilakukan sesuai kondisi dan penyakit lain yang ditemukan,
seperti pemeriksaan sebagai berikut :
1. Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
2. AGD, K, Na, Ca T3, T4, TSH, sesuai indikasi
3. Foto thorak bila perlu

15
4. EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
5. Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu

VI. KRITERIA DIAGNOSIS


Kriteria diagnosis sesuai PPDGJ-III sebagai berikut
1. Intoksikasi Akut
a. Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan : tingkat dosis zat yang digunakan (dose-
dependent), individu dengan kondisi organic tertentu yang mendasarinya
(misalnya insufiensiginjal atau hati ) yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan
efek intoksikasi berat yang tidak proposional.
b. Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks social social perlu
dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara
keagamaan ).
c. Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat
penggunaan alcohol atau zat psikotif lain, sehingga terjadi gangguan kesadaran,
fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan respons
psikofisiologis lainnya.
d. Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya
efeknya menghilang bila tidak trerjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian
orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang
rusak atau terjadi komplikasi lainnya.
2. Penggunaan Yang Merugikan
a. Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat
berupa fisik ( seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui
suntikan diri sendiri ) atau mental ( misalnya episode gangguan depresi sekunder
karena konsumsi berat alkohol)
b. Pola penggunaan yang merugikan sering di kecam oleh pihak lain dan seringkali
disertai berbagai konsekuensi social yang tidak diinginkan.
c. Tidak ada sindrom ketergantungan (F1x.2) gangguan psikotik (F1x.5) atau bentuk
spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan obat atau alkohol.
3. Sindrom Ketergantungan
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan 3 atau lebih gejala di
bawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya :
a. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulensi) untuk
menggunakan zat psikoaktif;
b. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak
mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang menggunakan
c. Keadaan putus zat secara fisiologis
d. Terbukti ada toleransi
e. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat
f. Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya

4. Keadaan Putus Zat


a. Salah satu indicator dari sindrom ketergantungan

16
b. Dicatat sebagai diagnosis utama
c. Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang di gunakan
5. Keadaan Putus dengan Dilirium
a. Putus zat disertai dengan komplikasi delirium
b. Termasuk Delirium Tremens, akibat putus alkohol secara absolute pada pengguna
ketergantungan berat.
c. Gejala prodomal khas : insomnia, gemetar dan ketakutan
6. Gangguan psikotik
a. Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan zat
psikotik
b. Gejalanya dengan pola yang bervariasi
7. Sindrom Amnesik
a. Harus memenuhi criteria umum
b. Syarat utama :
a. Gangguan daya ingat jangka pendek.
b. Tidak ada gangguan daya ingat
c. Adanya riwayat atau bukti yang objektif
6. Gangguan Psikotik Residual atau Onset Lambat
a. Onset langsung
b. Gangguan funsi kognitif, afek, kepribadian atau perilaku
c. Harus dibedakan dengan peristiwa putus obat

VII. DIAGNOSIS
Aksis I Sesuai kasus dan memenuhi kriteria diagnosis
- F10-F19 Gg. Mental dan perilaku akibat zat psikoaktif
-Kondisi Lain Yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis
Aksis II Sesuai kasus dan memenuhi kriteria diagnosis
-Gangguan Kepribadian
-Retardasi Mental
Aksis III Sesuai kasus dan memenuhi kriteria diagnosis
-Kondisi Medik Umum/penyakit fisik
Aksis IV Sesuai jenis stressor yang ditemukan berupa
-Masalah Psikososial dan Lingkungan
Aksis V Sesuai kondisi pasien
-Penilaian Fungsi Secara Global
-
VIII. DIAGNOSA BANDING
IX. TERAPI
Terapi gangguan mental perilaku akibat alkohol dan zat psikoaktif bervariasi menurut
jenis zat, pola penggunaan, karakteristik individual pasien dan tersedianya sistem
pendukung. Tujuan utama terapi adalah abstinensi zat serta mencapai kesehatan fisik psikiatri
dan kondisi psikososial. Bisa dilakukan terapi rawat inap pada gangguan yang berat atau pada
pengobatan rawat jalan yang gagal, tidak adanya dukungan psikososial atau penggunaan zat
yang parah dan berlangsung lama.

17
Terapi Intoksikasi alkohol
Terapi umum:
1. Perkenalkan diri dan jelaskan bahwa terapi adalah bantuan (bukanlah hukuman) dan
yakinkan bahwa pasien dalam keadaan aman, terapis tetap menjaga rahasia.
2. Tunjukkan perhatian terhadap masalah yang membahayakan kehidupan pasien.
3. Seringkali pasien datang dalam keadaan ketakutan, cemas ataupun panik. Sikap terapi
harus tenang dan penuh percaya diri. Tenangkan pasien dengan mengajak bicara dan
berilah pengertian bahwa terapis akan memberi bantuan, dengan harapan keadaan
membaik.
4. Usahakan agar jalan nafasnya lancar. Pertahankan saluran nafas yang bebas, bila perlu
dengan pernapasan buatan
5. Tujukan pemeriksaan pada tanda-tanda vital
6. Usahakan peredaran darahnya lancar.
7. Pasang alat infus, berikan cairan yang adekuat.
8. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau
trauma fisik yang membahayakan.
9. Atasi koma, hipotensi, dan hipotensi
10. Kosongkan lambung dengan emetika atau kuras lambung (bila konsumsi alkhol banyak
sekali dan dalam 30 menit yang lalu)
11. Berikan 60-100 mg norit (activated charcoal) per oral (tidak boleh diberikan bila pasien
stupor, koma atau kejang, kecuali personde dan saluran pernapasan telah dipertahankan
dengan cuff endotracheal tube)

Terapi khusus:
1. Berikan suntikan diazepam bila pasien kejang (5-10 mg i.v, bila perlu diulang sampai
kejang hilang. Bilamana diazepam tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital/luminal
100-200 mg i.m
2. Berikan 100 mg thiamin i.m atau i.v.
3. Berikan suntikan i.v 50-100 ml dextrose 50% bila dicurigai hipoglikemia
4. Berikan suntikan i.v 0,4
5. Berikan haloperidol 5-10 mg i.m bila pasien agitatif. Bilamana haloperidol tidak tersedia
dapat diberikan lorazepam, hydroxyzine,sulpiride

Terapi keadaan putus alkohol


1. Karena berpotensi kegawatan pasien harus dirawat inapkan dan diberikan dosis yang
cukup salah satu penekan s.s.p. (misalnya benzodiazepin) untuk menetralisasi eksitabilitas
yang diakibatkan oleh penghentian mendadak konsumsi alkohol.
2. Tanda-tanda vital dan kondisi elektrolit serta cairan tubuh harus dipantau secara ketat
3. Obat-obat antipsikotik seperti khlorpromazin, fenotiazin tidak boleh diberikan karena
menurunkan ambang kejang
4. Pilihan obat sedatif yang digunakan tidak teramat pentingdibandingkan dosis yang cukup
untuk menimbulkan sedasi bertaraf sedang.

18
Terapi sindrom ketergantungan alkohol
1. Pasien ketergantungan alkohol ringan cukup berobat jalan dengan medikasi
benzodiazepin oral jangka pendek atau fenobarbital.
2. Pasien ketergantungan alkohol sedang sampai berat harus dirawat inapkan. Berikan per
oral 10-15 mg diazepam setiap jam bergantung kebutuhan klinis yang ditentukan oleh
gejala-gejala putus alkohol.
3. Pasien ketergantungan alkohol berat diberikan medikasi diazepam secara i.v. Sesudah
tercapai stabilisasi, dosis diazepam yang diperlukan untuk mempertahankan pasien dalam
keadaan sedasi dapat diberikan peroral setiap 8-12 jam. Bila kegelisahan, tremor dan
tanda-tanda putus alcohol lainnya menetap, disis diazepam dinaikkan sampai terjadi
sedasi taraf sedang. Kemudian dosis dikurangu 20% setiap 24 jam sampai gejala putus
obat selesai.
4. Alternatif lain, dapat diberikan chlordiazepoxide sebagai dosis tunggal per oral sebanyak
200-400 mg atau diazepam 20-40 mg. sampai didapat didapat dosis total per 24 jam yang
membuat pasien stabil. Dosis chlordiazepoxide dapat mencapai 600 mg per hari dan
ditapering off dapat sampai 10 hari
5. Pasien lanjut usia, pasien dengan penyakit hati, delirium, demensia atau gangguan
kognitif lain sebaiknya diberikan benzodiazepine masa kerja singkat, tapi harus diberikan
lebih sering
6. Untuk mengatasi hiperaktivitas otonom dapat diberikan beta bloker. Bila dikombinasi
dengan benzodiazepin, maka dosis benzodiazepine dapat dikurangi
7. Pemberian klonidin 2-3 kali sehari 0,5 mg dapat menekan tanda tanda kardiovaskuler
keadaan putus alkohol.
8. Pemberian klonidin oral 400-800 mg karbamazepin setara dibandingkan benzodiazepin
untuk prevensi kejang putus alcohol
9. Alternatif lain untuk prevensi kejang dengan magnesium sulfat
10. Fenitoin tampaknya tidak efektif untuk mengelola kejang putus alcohol
11. Pemeriksaan seksama jika ada penyakit medis lain
12. Vitamin dosis tinggi
13. Larutan glukosa tidak boleh diberikan sebelum pemberian tiamin karena adanya
kemungkinan timbul sindrom Wernike.
14. Sindrom otak organik yang kronis akibat konsumsi alkohol yang lama tidak jelas
responnya terhadap pemberian tiamin maupun vitamin lain
15. Halusinasi alkoholik ditangani dengan pemberian obat anti psikosis
16. Terapi psikologis, sosial, dan tingkah laku
17. Pemberian naltrexone sampai 1 tahun dapat mengatasi alkoholisme tanpa menimbulkan
efek yang tidak diinginkan. Dosis naltrexone 50 mg sehari.
18. Disulfiram 250 mg/hari (kontraindikasi pada penyakit jantung, trombosis serebral dan
diabetes mellitus) untuk meningkatkan sensitivitas terhadap alkohol yang tujuannya
memberikan rasa tidak nyaman pada penggunaan alkohol (sebagai shock terapi).
19. Acamprosate 2000 mg/hari untuk menekan gejala craving alkohol.
20. Rehabilitasi.

Terapi keadaan putus alkohol dengan delirium


1. Sedasi harus cukup

19
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus diawasi
3. Metabolisme karbohidrat
4. Suplemen vitamin B tiamin
5. Regimen anti kejang
6. Penggunaan antibiotika
7. Terapi terhadap trauma penyerta

Terapi amnesia
a. Suplemen tinggi vitamin terutama tiamin 50-100 mg/hari

Terapi ansietas
a. Modifikasi tingkah laku
b. Pengobatan: Benzodiazepin

Terapi gangguan afektif


a. Edukasi
b. Terapi kognitif
c. Antidepresan, antimania atau antipsikotik bila diperlukan

X. EDUKASI
Dokter yang menangani harus memulai memberikan dorongan, semangat dan motivasi
agar pasien tidak menjadi depresi. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien perihal kondisi
pasien agar keluarga pasien dapat membantu menciptakan suasana keluarga yang teraupetik.
Diharapkan pasien mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya sehingga
tidak membuat keluarga merasa tidak nyaman akan kehadiran pasien. Pasien diupayakan
untuk dapat lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan keluarga dan sekitar
rumah.
XI. PROGNOSIS
Prognosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi tinggi, onset gejala yang tiba-
tiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medik non psikiatri yang
menyertai.
Pasien dengan prognosis terburuk, dengan atau tanpa pengobatan, memiliki masalah
karakterologi sebelumnya, khusunya pasivitas yang menonjol; terlibat dalam kewajiban atau
mendapatkan kompensasi finansial; menggunakan zat adiktif; dan memiliki riwayat nyeri yang
lama.
XII. KEPUSTAKAAN
1. Maslim, R. 2003. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III. PT Nuh Jaya:
Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
3. Kaplan. I Harold, Sadock. J Benjamin, Grebb. A Jack. Kaplan dan Sadock. Buku Sinopsis
Psikiatri Klinis. Edisi 2. EGC. 2010. Hal 68.
4. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012

20
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
SKIZOFRENIA

I. DEFINISI
Skizofrenia berasal dari kata schism dan phrenia yang berarti perpecahan jiwa
meliputi pikiran, emosi/perasaan, dan perilaku. Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang
ditandai dengan adanya gangguan dalam menilai realita.

II. MANIFESTASI KLINIS


a. Gangguan proses pikir : asosiasi longgar, inkoherensi,tangensial, terhambat/ bloking,
asosiasi bunyi, ekolalia, neologisme, mutisme
b. Gangguan isi pikir : waham, adalah keyakinanyang salah,yang menetap, tidak sesuai
realita dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain, waham kejar, waham
kebesaran, waham rujukan, waham dikendalikan, waham disiarkan,waham penyiaran
pikiran, waham penyisipan pikiran, waham cemburu, dll
c. Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi
d. Gangguan emosi : ada tiga afek yang sering, yaitu : afek tumpul atau datar, afek tak serasi,
dan afek labil
e. Gangguan perilaku; berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapatterlihat seperti gerakan
tubuh yang aneh dan menyeringai,perilaku ritual, sangatketolol-tololan,dan
agresifsrtaperilaku seksual yang takpantas.
f. Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau hilang pada orang
dengan skizofrenia. misalnya kehilangan kehendak dan tidak adaaktivitas.
g. Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya kemampuan untuk
menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya,memori kerja, spasialdan verbal)
sertafungsi eksekutif.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan seperti umumnya pemeriksaan fisik lainnya antara lain
berat badan, suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pemeriksaan jantung, paru-paru dan
abdomen, namun pada umumnya tidak ada kelainan dan dalam batas normal.

IV. KRITERIA DIAGNOSTIK


Kriteria Diagnostik menurut PPGDJ-III
1. Agorafobia:
 Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diaghnosis pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietas dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Ansietas yang timbul tebatas pada setidaknya dua dari situasi berikut:
banyakorang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian
sendiri dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol
(penderita menjadi house bound)

21
2. Fobia Sosial
 Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diaghnosis pasti:
a) Gejala psikologis,perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietas dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Ansietas yang timbul harus mendominasi atau terbatas pada situasi social
tertentu (outside thefamily circle) ; dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol

3. Fobia Khas (terisolasi):


 Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diaghnosis pasti:
a) Gejala psikologis,perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Ansietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu(highlyspesific situations) ; dan
c) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya

F.20.0 Skizofrenia Paranoid


a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
b. Halusinasi dan/ waham arus menonjol
- Suara-suara yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit
- Halusinasi pembauan atau pengecapan, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
- Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata/tidak menonjol.

F20.1 Skizofrenia Hebefrenik


a. Memenuhi Kriteria umum diagnosis skizofrenia
b. Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa
muda (onset biasanya 15-25 tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukan pemalu dan senang menyendiri (solitary), namun
tidak harus demikian untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
d. Untuk meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan selama 2 atau 3 bulan lamanya,
untuk memastikan bahwa gambaran yang khas: perilaku yang tidak bertanggung jawab
dan tidak dapat diramalkan, serta manerisme, ada kecenderungan untuk menyendiri.
Afek dangkal, tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan,

F 20.2 Skizofrenia Katatonik


a. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosa skizofrenia
b. Satu atau lebih dari perilaku harus mendominasi gambaran klinsnya
1) Stupor atau mutisme
2) Gaduh gelisah

22
3) Menampilkan postur tubuh tertentu
4) Negativisme
5) Rigiditas
6) Fleksibilitas cerea
c. Pasien yang tidak komunikatif dengan perilaku dari gangguan katatonik, diagnosa skizofren
harus ditunda sampai diperoleh bukti
F20.3 Skizofrenia Tak terinci (undifferentiated )
a. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosa skizofrenia
b. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik.’
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skiszofrenia

F20.5 Skizofrenia Residual


 Untuk diagnostik yang menyakinkan persyaratan berikut harus di penuhi semua:
o Gejala negative menonjol misalnya aktifitas menurun, afek yang menumpul, sikap
pasif dan ketidak adaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan.
o Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosa skizofrenia
o Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana gejala yang nyata
seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom negatif dari skizofrenia
o Tidak terdapat dementia, atau penyakit/gangguan otak organik lainnya

F20.6 Skizofrenia Simpleks


 Skizofrenia simpleks sulit dibuat tergantung pada pemantapan perkembangan yang
berjalan berlahan dan progresif dari:
o gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi,
waham, atau manifestasi lain
o disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu tanpa
tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

V. DIAGNOSIS BANDING
1.Gangguan kondisi medis umum, misal epilepsy lobus temporalis, tumor lobus temporalis
atau frontalis, stadium awal sclerosis multiple dan sindrom lupus eritematosus
2.Penyalahgunaan alcohol dan zat psikoaktif
3.Gangguan skizoafektif
4.Gangguan afektif berat
5.Gangguan waham menetap
6.Gangguan perkembangan pervasive
7.Gangguan kepribadian skizotipal
8.Gangguan kepribadian skizoid
9.Gangguan kepribadian paranoid

23
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk penderita skizofrenia. Bila ada
indikasi/curiga organik maka bisa dilakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan seperti:
1. Pemeriksaan Laboratorium lengkap, darah tepi lengkap, Fungsi hati, profil lipid, fungsi
ginjal, glukosa sewaktu
2. PANSS,
3. CT-Scan dan lain-lain.

VII. TERAPI
Dasar pengobatan secara holistik, yaitu:
1. Somatoterapi
 Perbaiki keadaan umum
 Pemberian anti psikotik dan monitoring efek samping obatseperti table berikut
a. Neuroleptik tipikal (Konvensional)
Neuroleptik Dosis Dosi rata- sedasi EPS Anti- Hipotensi
tipikal ekivalen rata(mg/hr) (Ekstra- kolinergik Ortostatik
(mg) piramidal)
Chlorpromazine 100 200-800 +++ ++ ++ ++
Thioridazine 100 150-800 +++ + +++ +++
Pherpenazine 10 8-64 + +++ + +
Flupenazine 2 0,5-40 + +++ + +
HCL
Trifluoiperazine 5 2-40 + +++ + +
Haloperidol 2 2-20 + +++ + +
b. Neuroleptik atipikal
Neuroleptik Dosi rata- sedasi EPS Anti- Hipotensi
Atipikal rata(mg/hr) kolinergik Ortostatik
Risperidone 1-6 + -/+ -/+ +
Clozapine 300-900 +++ -/+ +++ +++
Quetiapine 150-600 + -/+ -/+ +
Olanzapine 5-20 + -/+ +++ +
Pemberian antipsikotika perlu waktu yang lama. Serangan akut pertama kali
diperlukan terapi rumatan 1-2 tahun setelah remisi.untuk kekambuhan kedua kali
diperlukan terapi rumatan 5 tahun setelah remisi
c. Terapi Elektrokonvulsi kalau perlu (gaduh-gelisah atau stuporyang berat)
2. Psikoterapi
- Untuk memperkuat fungsi ego dengan cara psikoterapi suportif
- Agar penderita dapat bersosialisas
- Manipulasi lingkungan dilakukan agarlingkungan dapat;
- Memahami dan menerima keadaan penderita
- Membimbing pasien dalam kehidupan sehari-hari,memberi kesibukan atau pekerjaan
- Mengawasi minum obat secara teratur dan terus menerus serta membawa pasien
untuk pemeriksaan ulang

24
Kesembuhan pasien Skizofrenia dapat berupa:
1. Kesembuhan total (totalrecovery):mungkin sembuh seterusnya,mungkin sembuh
seterusnyamungkin kambuh 1-2 kali
2. Kesembuhan social (social recovery)
3. Keadaan kronis yang stabil(stable cronicity)
4. Terjadi deteriorasi

VIII. EDUKASI
Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dan diberi informasi tentang cara-cara
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negative secara
jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.

IX. PROGNOSIS
Secara umum prognosis skizofrenia bergantung pada : usia pertamakali timbul (onset);
mula timbulnya akut atau kronik; tipe/jenis skizofrenia; cepat, tepat serta teraturnya
pengobatan; ada atau tidak ada faktor keturunan; ada atau tidak ada faktor pencetus;
kepribadian pre-psikotik; keadaan sosio-ekonomi; jenis kelamin; status perkawinan; gejala
positif/negative.

X. KEPUSTAKAAN
1. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan R.I., 1993 Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Depkes RI., Jakarta hlm 450-
489.
2. Kaplan, H.l., Sadock BJ, 1998. Synopsis of Psikiatry, behavioral sciences Clinical psichiatry,
8thed. William&Wilkins, USA
3. Kaplan, Hl, Sadock BJ, Grebb JA, skizofrenia, dalam : Sinopsis psikiatri, ed 7, vol 1, 1997 :
685-729.
4. Maramis,WF,. CAtatn Ilmu Kedokteran Jiwa,Cetakan I. Airlangga University Press,
Surabaya
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
6. Sudiyanto, Maramis WF, skizofrenia, dalam : Catatan ilmu kedokteran jiwa, ed 7,
Surabaya, 2004 :215-235.
7. Surilena, lntervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia, dalam : majalah psikiatri,
Jakarta 2005 :69-83.
8. Sutatminingsih,, Pendekatan holistik terhadap skizofrenia, dalam majalah psikiatri,
Jakarta, 2002:1.

25
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

I. DEFINISI
Gangguan Bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada
fungsi otak yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan
proses berfikir. Disebut Bipolar karena didominasi adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni
kondisi manik (bergairah tinggi yang tidak terkendali) dan depresi.

II. MANIFESTASI KLINIK


Episode manik:
Paling sedikit satu minggu (bias kurang, kalau dirawat) pasien mengalami mood yang elasi,
ekspansif atau iritabel. Pasien memiliki secara menetap tiga atau lebih gejala berikut ( empat
atau lebih bila hanya mood iritabel), yaitu :
1. Grandiositas atau percaya diri berlebihan
2. Berkurangnya kebutuhan tidur
3. Pembicaraan yang cepat dan banyak
4. Lompatan gagasan atau pikiran berlomba
5. Perhatian mudah teralih
6. Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor
7. Meningkatnya aktivitas bertujuan ( social, seksual, pekerjaan dan sekolah)
8. Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa perhitungan yang matang
Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengan penderitaan, gambaran psikotik, hospitalisasi
untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya gangguan fungsi social dan pekerjaan.

Gangguan Depresi mayor


Paling sedikit dua minggu pasien mengalami lebih dari empat symptom/tanda, yaitu:
1. Mood depresif atau hilang minat atau rasa senang
2. Menurun/meningkatnya berat badan atau nafsu makan
3. Sulit/banyak tidur
4. Agitasi atau retardasi psikomotor
5. Kelehalahan/ berkurangnya tenaga
6. Menurunnya harga diri
7. Ide-ide rasa bersalah , ragu-ragu dan menurunnya konsentrasi
8. Pesimis
9. Pikiran berulang tentang kematian, bunuh diri (dengan/tanpa rencana)atau tindakan
bunuh diri
Gejala-gejala di atas menyebabkan penderitaan atau mengganggu fungsi personal, social
atau pekerjaan.

Episode Campuran
Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi yang terjadi secara
bersamaan.Kadang-kadang gejala cukup berat sehingga memerlukan perawatan untuk

26
melindungipasien dan orang lain, dapat disertai gambaran psikotik dan mengganu fungsi
personal, social dan pekerjaan.

Episode Hipomanik
Paling sedikit empat hari, secara menetap, pasien mengalami peningkatan mood,
ekspansifatau iritabel yang ringan, paling sedikit tiga gejala (empat gejala bila mood iritabel),
yaitu:
1. Grandiositas atau menigkatnya percaya diri
2. Berkurangnya kebutuhan tidur
3. Meningkatnya pembicaraan
4. Lompat gagasan/pikiran berlomba
5. Perhatian mudah teralih
6. Meningkatnya aktivitas/agitasi psikomotor
7. Pikiran menjadi lebih tajam
8. Daya nilai kurang
Tidak ada gambaran psikotik, tidak memerlukan hospitalisasi dan tidak mengganggu
fungsi personal dan social, dan pekerjaan. Seringkali dilupakan pasien, tetapi dikenali
oleh keluarga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan berat badan, suhu tubuh,
tekanan darah, nadi, pemeriksaan jantung, paru-paru dan abdomen, namun pada umumnya
tidak ada kelainan dan dalam batas normal.

IV. KRITERIA DIAGNOSTIK ( menurut PPDGJ III)


F31 Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang
menunjukkan suasana perasaan (mood) pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan
gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan (mood) serta
peningkatan enersi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa
penurunan suasana perasaan (mood) serta pengurangan enersi dan aktivitas (depresi).

F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini hipomanik


Pedoman diagnostik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk hipomania (F30.0) dan,
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau campuran
di masa lampau.

F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala psikotik
(F30.1) dan,
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.

27
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala psikotik
(F30.2) dan,
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.

F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, episode kini Depresif Ringan atau Sedang
Pedoman diagnostik
Untuk mendiagnosis pasti :
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
ringan(F32.0) ataupun sedang (F32.1), dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik ataucampuran
di masa lampau.

F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
Untuk mendiagnosis pasti :
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat tanpa
gejala psikotik (F32.2), dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.

F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
Untuk mendiagnosis pasti :
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3), dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atauc
ampuran di masa lampau.

F31.6 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran


Pedoman diagnostic
a. Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik, hipomanik dan depresif
yang tercampur atau bergantian dengan cepat (gejala mania/hipomania dan depresi
sama-sama mencolok selama masa terbesar dari episode penyakit yang sekarang,
dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu) dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.

28
F31.7 Gangguan Afektif Bipolar, Kini dalam Remisi
Sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama beberapa bulan terakhir ini,
tetapi pernah mengalami sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau dan ditambah sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif atau campuran).
F31.8 Gangguan Afektif Bipolar Lainnya
F31.9 Gangguan Afektif Bipolar YTT

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan psikotik akibat kondisi medis umum
2. Gangguan psikotik akibat zat
3. Skizofrenia
4. Skizoafektif
5. Depresi
6. Gangguan waham menetap

VI. TERAPI
Gangguan Bipolar merupakan gangguan yang kronik dan siklik, sehingga pengobatan
diperlukan di fase akut, pemeliharaan maupun jangka panjang, untuk :
1. Mengatasi gejala-gejala perilaku yang mengganggu
2. Mengurangi frekuensi siklus
3. Mencegah relaps

 Farmakologi
1. Terapi gangguan bipolar, agitasi akut
Injeksi

Lini 1 :
Injeksi IM aripripizol 9,75mg/mL dosisi maksimum 29,25/hari (3x per hari imterval 2jam)
Injeksi IM olanzapine 10mg/injeksi, dosis maksimum 30mg/hari, interval pengulangan
injeksi 2 jam

Lini 2 :
Injeksi IM haloperidol 5mg/injeksi, diulang setelah 30menit, dosis maksimum 15mg/hari
Injeksi IM diazepam 10mg/injeksi, dosisi 20-30mg/hari dapat diberi bersamaan dengan
haloperidol IM (jangan dicampur dalam satu jarum suntik)

29
2. Terapi gangguan bipolar, episode mania akut
Oral

Lini 1: lithium, divalproat, olanzapine, risperidon, quetiapin, aripripizol, litium/devalproat


+ risperidon, lithium/devalproat+quetiapin, lithium/devalproat + olanzapine,
lithium/divalproat + aripiprazol
Lini 2: karbamazepin, terapi kejang listrik (TKL), lithium+divalproat,paliperidon
Lini 3: haloperidol, clorpromazin, litium atau divalproat+haloperidol, litium dan
karbamazepin, clozapine

3. Terapi gangguan bipolar, episode depresi akut


Lini 1: litium, lamotrigin, quetiapin, lithium/divalproat+SSRI, olanzapine + SSRI
Lini 2: quetiapin+SSRI, divalproat,litium atau divalproat+lamotrigin
Lini 3: karbamazepin, olanzapin, litium+karbamazepin, litium, atau divalproat atau
karbamazepin+SSRI+lamotrigin, penambahan topiramat

4. Terapi rumatan pada gangguan bipolar I


Lini 1: litium, lamotrigin monoterapi, divalproat,olanzapine, quetiapin, litium atau
divalproat+quetiapin, risperidone injeksi janka panjang
Lini 2: karbamazepin, litium+divalproat,litium+karbamazepin, litium atau
divalproat+olanzapine
Lini 3: oenambahan fenitoin,olanzapine, ECT,topiramat, asam lemak omega 3 dan
okskarbamazepin.

5. Terapi gangguan bipolar II, episode depresi akut


Lini 1: quetiapin
Lini 2: litium, lamotrigin, divalproat, litium atau divalproat+antidepresan,
litium+divalproat, antipsikotika atipik+antidepresan
Lini 3: antidepresan monoterapi (terutama hipomania)

6. Terapi rumatan ga ngguan bipolar


Lini 1: litium, lamotrigin
Lini 2: divalproat, litium atau divalproat atau antipsikotika atipik+antidepresan,kombinasi
dua
Lini 3: karbamazepin, antipsikotik atipik, ECT

Pemeriksaan Tambahan untuk memonitor efek samping pengobatan


1. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan fungsi organ tubuh penting yang dapat
dipengaruhi oleh pengobatan jangka pendek/panjang
2. Litium , Kadar Li,
3. asam valproat dan antipsikotik potensi rendah : test fungsi hati
4. Antipsikotik atipikal : gula darah dan lipid
5. Pemeriksaan BB, TB, BMI, lingkar pinggang, tekanan darah

30
Terapi Non Farmakologi
Bagi banyak pasien , farmakoterapi tidak cukup untuk mengurangi gejala sepenuhnya dan
memperbaiki fungsi psikososial. Sehingga diperlukan terapi non farmakologi, yaitu:
1. Psikoedukasi
2. Psikoterapi suportif
3. Psikoterapi interpersonal
4. Terapi kognitif perilaku ( CBT)

VII. EDUKASI
Memberikan informasi : Gejala penyakit, perjalanan penyakit, pengobatan, kepatuhan
berobat, mengenali tanda-tanda kekambuhan, menghindari faktor pencetus, strategi coping,
dan mengatur aktivitas sosial.

VIII. PROGNOSIS
1. Prognosis gangguan bipolar I lebih buruk dibandingkan gangguan depresi mayor. Sekitar
40-50% pasien dengan gangguan bipolar I mengalami kekambuhan dalam 2 tahun setelah
episode pertama.
2. Hanya 50-60% pasien dengan gangguan bipolar I yang dapat diatasi gejalanya dengan
lithium.
3. 7% pasien dengan gangguan bipolar tidak mengalami kekambuhan, 45% pasien
mengalami lebih dari satu episode dan lebih dari 40% menjadi kronik

IX. KEPUSTAKAAN
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis
Edisi Ketujuh Jilid Dua. Jakarta. Binarupa Aksara. 1997.809-816
2. Depkes RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta. Departemen Kesehatan. 1993. 145-156.
3. Maslim, R. 2003. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III. PT Nuh Jaya:
Jakarta
4. Konsensus Nasional Terapi Gangguan Bipolar. Panduan Tatalaksana Gangguan Bipolar
Pokja SPM& Seksi Bipolar PDSKJI. 2010
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
6. Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Gangguan Bipolar bagi Psikiater. 2012

31
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN PANIK

I. Pengertian
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tak
diperkirakan. Serangan panik sendiri adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu
seperti palpitasi dan takipneu.

II. Anamnesis
Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan ancaman
kematian dan kiamat. Pasien biasanya tak dapat menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien
mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian.

III. Pemeriksaan Status Mental


Selama serangan panik, pasien dapat mengungkapkan perenungan (rumination),
kesulitan bicara (misalnya kegagapan) dan gangguan daya ingat. Pasien mungkin mengalami
depresi atau depersonalisasi selama serangan. Gejala mungkin menghilang dengan cepat atau
secara bertahap.

IV. Pemeriksaan Fisik


Pada serangan panik bisa didapatkan: palpitasi, jantung berdebar, berkeringat,
gemetar, rasa sesak napas, perasaan tercekik, nyeri dada atau perasaan tak nyaman, mual
atau gangguan perut, rasa takut mati dan lain-lain.

V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan indikasi, seperti: hitung darah,
pemeriksaan elektrolit, gula darah, fungsi hati dan EKG

VI. Kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III


F41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik): 1
Pedoman Diagnostik
 Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tak ditemukan adanya
gangguan anxietas fobik (F40.-)
 Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali anxietas berat (severe
attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan:
(a) Pada keadaan-keadaan yang mana sebenarnya secara objektif tak ada
bahaya;
(b) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situasions);
(c) Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala -gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian,
umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas yang

32
terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi).

VII. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dari gangguan panik.:
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
- Sesuai kriteria F41.0
- Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis sesuai kasus pasien
Aksis II
- Sesuai kasus pasien, jika ditemukan
Aksis III
- Sesuai kasus pasien, jika ditemukan
Aksis IV
- Sesuai kasus pasien
Aksis V
- Sesuai kondisi pasien

VIII. Diagnosis Banding


Gangguan panik bisa didiagnosis banding dengan penyakit medis umum seperti
infark miokard dan vertigo. Selain itu, juga bisa didiagnosis banding dengan gangguan mental
lain seperti gangguan buatan, hipokondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia sosial dan
spesifik, gangguan stres pasca trauma, gangguan depresif dan skizofrenia.

IX. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gangguan panik bisa digunakan dengan pendekatan terapi somatik
atau terapi obat dan terapi psikososial atau terapi kombinasi keduanya
A. Terapi somatik/terapi psikofarmaka:
a. Trisiklik dan tetrasiklik
Clomipramin dan imipramin efektif untuk pengobatan gangguan panik. Harus dimulai
dengan dosis rendah 10 mg sehari.
b. Inhibitor monoamin oksidase (MAOIs)
Beberapa penilitan menyatakan bahwa MOAIs lebih efektif dibanding trisiklik.
c. Inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRI)
d. Benzodiazepin, terbatas karena ada ketergantungan, gangguan kognitif dan
penyalahgunaan.
B. Terapi Psikososial
a. Terapi kognitif
b. Instruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang serangan
panik.
c. Relaksasi
d. Latihan pernapasan
e. Pemaparan in vivo
f. Memaparkan stimulus yang ditakuti pasien hingga pasien mengalami desensitisasi.
g. Terapi psikososial lain: terapi keluarga, terapi berorientasi-tilikan.

33
X. Kepustakaan
1. Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI : Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
3. Kaplan. I Harold, Sadock. J Benjamin, Grebb. A Jack. Kaplan dan Sadock. Buku Sinopsis
Psikiatri Klinis. Edisi 2. EGC. 2010. Hal 68.
4. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
5. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta
6. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia: Gangguan Somatoform. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta
Barat.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
8. Tomb, D. A. 2004.Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta

34
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

I. PENGERTIAN
kekhawatiran yang berlebih dan meresap disertai oleh berbagai gejala somatik
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau
penderitaan yang jelas bagi pasien

II. ANAMNESIS
Gejala-gejala nya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk seperti berada di ujung tanduk, sulit
berkonsentrasi, dll)
2. Ketegangan motorik (gelisah, gemetaran, sakit kepala, tidak dapat santai, dsb)
3. Overaktivitas otonomik (terasa ringan, berkeringat, takikardi, takipnea, jantung
berdebar-debar, sesak napas, epigastrik, pusing kepala, mulut kering, dan gangguan
lainnya)

III. KRITERIA DIAGNOSTIK


Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III
Penderita harusmenunjukkan ansietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampirsetiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan,yang tidak tebatas
atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “freefloating”
atau “mengambang”). Gejala-gejala tersebut tersebut biasanya mencakup unsusr-unsur
berikut:
a) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
berkonsentrasi, dan sebagainya);
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai), dan ;
c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebara-debar,
sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol. Adanya
gejala-gejala lainnya yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari, khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnosis utama. Gangguan ansietas menyeluruh,
selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (*F32,-),
gangguan ansietas fobik (F40,-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesi
kompulsif (F42.-)

IV. DIAGNOSIS BANDING


1. Gangguan cemas akibat zat
2. kecemasan akibat kondisi medis umum
3. komorbiditas dengan gangguan ansietas lain. Antara lain gangguan panic, ansietas
fobik, gangguan obsesi kompulsif dan gangguan stress pasca trauma.

35
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
b. AGD, K, Na, Ca T3, T4, TSH, sesuai indikasi
c. Foto thorak bila ada indikasi
d. EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila ada indikasi
e. Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila curiga organic

VI. PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi:mPsikodinamik/insight,CBT (Cognitif behavioral therapy) dan
suportif.terapi psikodinamikditujukan untuk mengungkapkonflik masa lalu yang
mendasari dan merupakan sumber kecemasan yang sebenarnya.
Program terapi yang dapat dilakukan adalah:
- Cognitif restructuring: mengidentifikasi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan
kecemasan dan menggantinya dengan respons’coping’ yang lebih positif.
- Relaxation training: latihan untuk menurunkan bangkitan fisiologik yang
berlebihan
Nama Obat Dosis (mg/hari) Efek samping
Lini Pertama Escitalopram 10-20 Gangguan sistim
Sertralin 25-50 pencernaan;
Venlafaksin-XR 75-150 mual,muntah,diare,konsti
pasi,dll
Lini Kedua Alprazolam Sedasi,pusing,sakit kepala
Bromazepam
Klobazam
Lorazepam
Buspiron
Buspiron

Imipramin Antikolinergik
Pregabalin Sedasi, somnolens
Lini ketiga Mirtazapin Antihistamin
Adjunctive Peningkatan BB
Olanzapine
Adjunctive Sindrome ekstrapiramidal
Risperidone
Tidak direkomendasikan betabloker (propanolol)

VII. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baikbila mendapat penatalaksanaan yang sesuai. Sekitar
50% pasien mendapat perbaikan dalam tiga minggu pertamapengobatan.sekitar 77%
membaik dalam sembilan bulan pengobatan.

36
VIII. KEPUSTAKAAN
1. American Psychiatry Association. Anxiety Disorder. Diagnosticand Statistical Manual
of Mental Disorders, 4th Ed. Text Revision, DSM-IV-TR. American Psychiatric
Association,2000, hal. 429-455.
2. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.Pedoman
penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwadi Indonesia III. Cetakan Pertama. 1993
3. Maslim, Rusdi. D, SpKJ. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Cetakan Pertama..
Jakarta. 2001.
4. Maslim, Rusdi. Dr, SpKJ. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga., Jakarta.
2007.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
6. Sadock BJ, Sadock JA. General Anxiety Disorder. Dalam: Kaplan & Sadock’s synopsis of
Psyciaty Behavioral Science /Clinical Psiciatry, 10th Ed. Wolters cluwer, Lippincott
Williams & Wilkins, philadelpia 2007, hal 622-626

37
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN DEPRESI

I. DEFINISI
Episode depresi dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar.
Jika berdiri sendiri disebut gangguan depresi unipolar. Simptom terjadi sekurang-
kurangnya 2 minggu dan terdapat perubahan dari derajat fungsi sebelumnya.

II. MANIFESTASI KLINIK


Depresi ditandai dengan perasaan sedih, murung, dan iritabilitas. Pasien mengalami
distorsi kognitif, seperti mengeritik diri sendiri, , timbul rasa bersalah, perasaan tidak
berharga, kepercayaan diri turun, pesimis dan putus asa. Terdapat rasa malas, tidak
bertenaga, retardasi psikomotor, dan menarik diri dari hubungan social. Pasien
mengalami gangguan tidur, seperti sulit masuk tidur atau terbangun dini hari. Nafsu
makan berkurang, begitu pula dengan gairah seksual.

III. KRITERIA DIAGNOSTIK

F 32 EPIDOSE DEFRESIF

Gejala utama ( pada derajat ringan , sedang, dan berat) :


1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah ( rasa lelah
yang nyata sesuadah kerja sedikit saja) dan menurunkan aktivitas.

Gejala lainya :
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. Gagasan atau berbuatan mambahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif dari ketiga tiggkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang
kurangnya 2 minggu untuk menegakan diagnosis, akan tetapi lebih pendek dibenarkan
jika gejala luar biasa berat nya dan berlangsung cepet.

Kategori didagnosis episode depresif ringan ( F 32. 0), sedang (f32.1), dan berat( F32.2),
hanya digunakan untuk depsesif tunggal ( yang pertama).episde depresif berikutnya harus
diklasifiaksi dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33).
F32.0 Epeside depresif ringan
Pedoman diagnostik

38
sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gelaja utama depresif seperti tersebut diatas
ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainya : (a)sampai dengan (g).
Tidak boleh ada gelaja yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
Hanya sedikit keluhan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.

Karakter kelima : F32.00 = tanpa gelaja somatik


F32.01= dengan gelaja somatik
F32.1 episode depresif sedang
Pedoman diagnosis
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gelaja utama depresi seperti pada
episode depresif ringan (F30.0)
Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gelaja lainya
Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
Menghadapi keulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan
urusan rumah tangga.

Karakter kelima : F 32.10 = tanpa gejala somatik


F32.11= dengan gejala somatik
F 32.2 episode berat tanpa gelaja psikotik
Pedoman diagnostik
Semua 3 gelaja utama depresi harus ada
Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gelaja lainya, dan beberapa diantaranya
harus beritensitas berat
Bila ada gelaja penting ( misalnya agitasi atau retarrdasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gelajanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilainya
secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat
dibenarkan
Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya2 minggu,
akan tetapi jika gelaja amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibrnarkan untuk menegakan diagnosid dalam kurun waktuk urang dari 2
minggu.
Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekejaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada tarap yang sangat
terbatas.

F32.3 episode depresi berat dengan gejala psikotik


Pedoman diagnosis
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut diatas;
Disertai waham, halusinasi atau setupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien meraa bertangung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfaktorik biasanya suara yang menghina atau menuduh,
atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang
berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi

39
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek ( mood-
congruent).

F32.8 Episode depresif lainya


F32.9 episede depresif YTT

F33 gangguan depresif berulang


Pedoman diagnostik
Gangguan ini bersifat dengan episode berulang lain :
 Episode depresif ringan (F32.0)
 Episode depresif sedang (F32.1)
 Episode deepresif berat (F32.2) dan F (F32.3);
Episode masing – masing rata- rata lamanya 6 bulan, akan tetapi
frekuensinnya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar
Tanpa riwayat adannya episode tersendiri dari peninggian afek dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F 30.2).
Namun katagori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode
singkat dari peninggian afek dan hiperaktifitas ringan yang memenuhi
kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif
(kadang- kadang nampaknya di cetuskan oleh tindakan depresif).
Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun sebagian
kecil pasien mungkin mendapat depresif yang akhirnya
menetap,terutama pada usia lanjut(untuk keadaan ini,kataori ini tetap
digunakan).
Episode masing – masing,dalam berbagai ktingkat keparahan ,sering kali di
cetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma mental
lain(adanya stress tida esensial untuk menegakkan diagnosis).

Diagnosis banding : episode depresif singkat berulang (F38.1)


F33.0 Gangguan depresif berulang episode kini ringan.
Pedoman diagnostik
 Untuk diagnostik pasti :
a. Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F 33.-) harus di penuhi ,
dan epesode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif ringan (F32.0);dan
b. Sekurang-kurangnya 2 episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna.

Karakter ke lima :F33 .00 = tanpa gejala somatik


F33.01 = dengan gejala somatik
F33.1 gangguan depresif berulang, episode kini sedang
Pedoman diagnostik
 Untuk diagnostik pasti :

40
a. Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-)harus dipenuhi,
dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif sedang (F32.1); dan
b. Sekurang – kurangnya episode telah berlangsung masing- masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan
tanpa gangguan afektif yang bermakna.

Karakter ke lima : F33.10 = tanpa gejala somatik


F33. 11 = dengan gejala somatik
F32.2 gangguan depresif berulang,episode kini berat tanpa gejala
psikotik.
Pedoman diagnostik
 Untuk diagnostik pasti :
a. Kreteria untuk gangguan depresif berulang (F33-) harus di penuhi
dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif berat untuk gejala psikotik (F32.2);dan
b. Sekurang – kurangnya 2 episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 bulan dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afek tif yang bermakna.

F33.3 gangguan depresi berulang,episode kini berat dengan gejala


psikotik
Pedoman diagnostik
 Untuk diagnostik pasti :
a. Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus di
penuhi,dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3);dan
b. Sekurang – kurangnya 2 episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 bulan dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afek tif yang bermakna.

F33.4 gangguan depresif berulan ,kini dalam remisi


Pedoman diagnostik :
 Untuk diagnostik pasti :
a. Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus pernah di
penuhi di masa lampau,tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak
memenuhi kriteria untuk episode depresif dengan gejala
keparahan apapun atau gangguan lain apapun dalam F30-F39;dan
b. Sekurang – kurangnya 2 episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 bulan dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afek tif yang bermakna.

F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya.


F33.9 Gangguan depresif berulang YTT.

41
F 32 EPIDOSE DEFRESIF

 Gejala utama ( pada derajat ringan , sedang, dan berat) :


 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
( rasa lelah yang nyata sesuadah kerja sedikit saja) dan menurunkan
aktivitas.
 Gejala lainya :
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau berbuatan mambahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresif dari ketiga tiggkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang kurangnya 2 minggu untuk menegakan diagnosis, akan tetapi lebih
pendek dibenarkan jika gejala luar biasa berat nya dan berlangsung cepet.
 Kategori didagnosis episode depresif ringan ( F 32. 0), sedang (f32.1), dan
berat( F32.2), hanya digunakan untuk depsesif tunggal ( yang pertama).episde
depresif berikutnya harus diklasifiaksi dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33).

F32.0 Epeside depresif ringan

 Pedoman diagnostik
 sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gelaja utama depresif seperti tersebut
diatas
 ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainya : (a)sampai dengan (g).
 Tidak boleh ada gelaja yang berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
 Hanya sedikit keluhan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan.

Karakter kelima : F32.00 = tanpa gelaja somatik

F32.01= dengan gelaja somatik

F32.1 episode depresif sedang

Pedoman diagnosis

 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gelaja utama depresi seperti pada


episode depresif ringan (F30.0)
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gelaja lainya
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
 Menghadapi keulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan
urusan rumah tangga.

42
F 32.0 Episode Depresif Ringan
F 32.1 Episode Depresif Sedang
F 32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
F 32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
F 32.8 Episode Depresif Lainnya
F 32.9 Episode Depresif YTT

IV. DIAGNOSIS BANDING


1. Gangguan mood disebabkan oleh karena kondisi medis umum (tumor otak, gangguan
metabolic, HIV AIDS, penyakit Parkinson, dan penyakit Chusing)
2. Gangguan mood diinduksi zat
3. Skizofrenia, terutama katatonik
4. Skizoafektif
5. Berduka
6. Gangguan kepribadian ambang dan histrionik
7. Dementia/ Pseudodepresi
8. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi
9. Ganggguan tidur primer

V. TERAPI
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi yaitu mengakhiri episode depresi saat ini dan mencegah tim
bulnya episode penyakit di masa yang akan datang. Untuk itu dibagi menjadi tiga fase :
 Terapi Fase Akut
Dimulai dari keputusan untuk terapi dan berakhir dengan remisi. Skala
penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat membantu
menentukan beratnya penyakit dan perbaikan gejala. Target pengobatan pada
fase akut tercapainya respons atau remisi (lebih baik). Lama terapi pada fase
akut 2-6 minggu.
Indikasi yang pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah:
o Prosedur diagnostic
o Risiko bunuh diri atau pembunuhan
o Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan dan
perlindungan
o Cepatnya perburukan gejala
o Hilangnya system dukungan yang biasa didapatnya
Kombinasi terapi psikososial dan farmakoterapi memberikan hasil yang baik. Untuk
kasus ringan terapi psikososial saja juga memberikan hasil yang baik.
Pedoman memilih medikasi:
o Riwayat respons pengobatan
o Prediksi respons gejala terapi
o Adanya gangguan psikiatri atau medic lain
o Keamanan
o Potensi

43
o Efek samping
Tabel Jenis Obat Antidepresan, Dosis dan Efek Samping

Nama Obat Dosis Harian Efek samping


(mg)
SSRI
Escitalopram 10-60 Semua SSRI bias menimbulkan
Fluoksetin 10-40 insomnia, agitasi, sedasi, gangguan
Sertraline 50-150 saluran cerna dan disfungsi seksual
Fluvoksamin 150-300

Trisiklik / Tetrasiklik
Amitriptilin 75-300 antikolinergik
Maprotilin 100-225
Imipramine 75-300

 Trisiklik
SNRI
Duloksetin 40-60 Mengantuk, kenaikan BB, hipertensi,
venlavaksin 150-375 gangguan saluran cerna
RIMA
Moklobermid 150-300 Pusing, sakit kepala, mulut kering,
berkeringat, mata kabur
NaSSA
Mirtazapine 15-45 Somnolen, mual
SSRE
Tianeptine 12.5-37.5 Somnolen, mual, gangguan
kardiovaskular
Melatonin Agonis
Agomelatin 25-50 Sakit kepala

 Terapi Fase Lanjutan


Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah
relaps. Remisi yaitu bila HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling sedikit 3
minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.

 Terapi Fase Pemeliharaan


Tujuan untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah risiko
rekuren (kekambuhan), biaya dan keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang
telah tiga kali atau lebih mengalami episode depresi atau dua episode berat
dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang telah
berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama masa
pemeliharaan

44
Terapi Psikososial
 CBT
 Terapi Keluarga

Terapi Lainnya
ECT untuk depresi katatonik,tendensi bunuh diri berulang,refrakter.

Prognosis
Prognosis tiap episode adalah baik, akan tetapi gangguan ini bersifat kronis
sehingga psikiater harus menganjurkan strategi terapi untuk mencegah
kekambuhan dimasa yang akan datang

VI. KEPUSTAKAAN
1. Amir Nurmiati. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. FK UI, 2005
2. Dadang Hawari, Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta : FK UI, 2001
3. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Psiatri Klinis. Jakarta : Binarupa Aksara.
4. Maslim R, editor. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012

45
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
RETARDASI MENTAL

I. DEFINISI
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga mempengaruhi tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. (Depkes RI, 1993)
II. ANAMNESIS
Anamnesis pada retardasi mental biasanya dilakukan pada orang tua atau pun
pengasuh, ditemukan penurunan tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Penting juga anamnesis terhadap
kehamilan ibu dan persalinan, adanya riwayat keluarga dengan retardasi mental, orang tua
dengan perkawinan sedarah, dan gangguan herediter. (Kaplan, 2010)

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


Pemeriksaan status mental pada retardasi mental didapatkan penurunan tingkat
kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan
sosial yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptif terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial biasa sehari-hari.
Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat,
dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian
dapat menetap sampai dewasa. Kesulitan utama biasanya tampak dalam pekerjaan
sekolah yang bersifat akademik, dan banyak masalah khusus dalam membaca dan
menulis
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit dibandingkan
pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif pada umumnya
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Keadaan lain yang menyertai seperti autisme ,
epilepsy, gangguan tingkah laku atau disabilitas fisik.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada retardasi mental dengan tes intelegensia. Biasanya
tes intelegensia di bawah rata-rata normal (IQ di bawah 70). Pemeriksaan penunjang yang
lain dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada.

VI. KRITERIA DIAGNOSIS


RETARDASI MENTAL SECARA UMUM
Pedoman diagnosis
1. Tingkat kecerdasan ( intelingensia ) bukan satu – satunya karaterisktik, melainkan
harus dinilai berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik yang berbeda.
Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua ketrampilan ini akan
berkembang pada tingkat yang sama pada setiap individu, namun dapat terjadi suatu
ketimpangan yang besar, khususnya pada penyandang retardasi mental.

46
Orang tersebut mungkin memperlihatka hentaya berat dalam satu bidang tertentu (
misalnya budaya), atau mungkin mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang
lebih tinggi (misalnya tugas visuo spasial sederhana) yang berlawanan dengan latar
belakang adanya retardasi mental berat. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada
saat menentukan kategori diagnosis.
2. Penilain tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,
termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar
belakang budanya), dan hasil tes tpsikometrik.
3. Untuk diagnosis yang pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial biasa sehari hari.
4. Gangguan jiwa dan fisik yang menyerta retardasi mental, mempunyai pengaruh besar
pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua ketrampilannya.
5. Penilaian diagnostik adalah terhadap kemampuan umum
F70 RETARDASI MENTAL RINGAN
Pedoman Diagnostik
 Bila penggunaan ter IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50 sampai 69
menunjukkan retardasi mental ringan.
 Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat,
dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan
kemandirian dapat menetap sampai dewasa.
Walaupun mengalami keterlambatan dalam kemampuan bahasa bahasa tetapi
sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-
hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan
mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walaupun tingkat
perkembangan agak lambat dari pada normal.
Kesulitan autama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat
akademik, dan banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.
 Etiologi organic hanya dapatdiidentifikasi padasebagian kecil penderita
 Keadaan lain yang menyertai seperti autisme , gangguan perkembangan lain,
epilepsy, gangguan tingkah laku atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam
berbagai proporsi. Bila terdapat gangguan demikian, maka harus diberikan kode
diagnosis tersendiri.
F71 RETARDASI MENTAL SEDANG
Pedoman diagnosis
 IQ biasanya didalam rentang 35 sampai 49
 Umumnya ada profil kesenjangan (discrepancy) dari kemampuan, beberapa dapat
mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam ketrampilan visuo-spasialdari pada
tugas-tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang lain sangat sangat
canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapn sederhana.
Tingkat perkembangan bahasa bervariasi: ada yang dapat mengikuti percakapan
sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk
kebutuhan dasar mereka.
 Suatu etiologi organic dapat diidentifikasi pada kebanyakan penyandang retardasi
mental sedang.

47
 Autisme pada anak atau gangguan perkembangan pervasive lainnya erdapat
padasebagian kecil kasus, dan mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis
dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan.
Epilepsy,disabilitas neurologic dan fisik juga lazim ditemukan meskpun
kebanyakan penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa
bantuan. Kadang-kadang didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat
perkembangan bahasanya yang sangat terbatas sehingga sulit menegakkan
diagnosis dan harus tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang
mengenalnya. Setiap gangguan penyerta harus diberi kode diagnosis sendiri.

F72 RETARDASI MENTAL BERAT


Pedoman Diagnostik
 IQ biasanya berad dalam rentang 20 sampai 34
 Pada umumnya mirip dengan retardasi mental sedang dalam hal :
 Gambaran klinis,
 Terdapatnya etiologi orgsnik, dan
 Kondisi yang menyertainya,
 Tingkat perstasi yang rendah
 Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan motorik yang
mencolok atau defisit lain yang menyertainya, menujukkan adanya kerusakan atau
penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat.

F73 RETARDASI MENTAL SANGAT BERAT


Pedoman Diagnostik
 IQ biasanya dibawah 20
 Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas, paling banter mengerti perintah
dasar dan mengajukan permohonan sederhana.
 Keterampilan visuo – spasial yang paling dasar dan sederhana tentang memilih dan
mencocokkan mungkin dapat dicapainya, dan dengan pengawasan dan petunjuk
yang tepat penderita mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas praktis dan rumah
tangga.
 Suatu etiologi organic dapat di-identifikasi pada sebagian besar kasus.
 Biasanya ada disabilitas neurologic dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi
mobilitas, seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada
gangguan perkembangan prevasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme
yang tidak khas (atypical autism), terutama pada penderita yang dapat bergerak.
F78 RETARDASI MENTAL LAINYA
 Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan
memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta , bisu tuli, dan penderita yang
perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
F79 RETARDASI MENTAL YTT
 Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
KRITERIA DIAGNOSTIK DSM-VI-TR Retardasi Mental.
48
 Fungsi intelektual secara sigfnifikan di bawah rerata : IQ kira – kira 70 atau kurang pada
tes IQ yang diberikan secara individual (untuk bayi, penilain klinis berupa fungsi
intelektual yang secara signifikan di bawah rerata).
 Defisit atau hendaya yang terjadi bersamaan di dalam fungsi adaptif saat ini (yi.,
evektifitas seseorang didalam memenuhi standar yang diharapkan oleh kelompok budaya
untuk usianya) dalam sedikitnya dua area berikut ini : komunikasi, perawatan diri,
kehidupan di rumah, keterampilan sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunikasi,
pengarahan diri, keterampilan akademik fungsional, bekerja, bersantai, kesehatann dan
keamanan.
 Onset Sebelum usia 18 tahun.
 Kode ini didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat hendaya
intelektual :
 Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 hingga kira-kira 70
 Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
 Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
 Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
 Retardasi mental, keparahan tidak dirinci : ketika terdapat anggapan kuat adanya
retardasi mental tetapi intelegensi orang tersebut tidak dapat diuji dengan uji
standar.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Multiaksial pada PPDGJ III :
Axis 1 : Sesuai kasus
 Gangguan klinis
 Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis.
F70 RETARDASI MENTAL RINGAN
F71 RETARDASI MENTAL SEDANG
F72 RETARDASI MENTAL BERAT
F73 RETARDASI MENTAL SANGAT BERAT
F78 RETARDASI MENTAL LAINNYA
F79 RETARDASI MENTAL YTT
Axis 2 : Sesuai kasus pasien bila ditemukan
 Gangguan kepribadian
 Retadasi Mental
Axis 3 : Sesuai Kondisi Medis yang ditemukan pada pasien
Axis 4 : Sesuai masalah psikososial dan Lingkungan
Axis 5 : Sesuai Fungsi Global pasien

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding retardasi mental adalah : demensia, gangguan kompulsif,
cerebral palsi.

IX. TERAPI
Terapi yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah terutama
untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki
keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin,

49
flufenazin, fluoksetin kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan
kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat,
amfetamin, asam glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA)
 Occupasional therapy (terapi gerak)
Terapi ini diberikan kepada anak retardasi mental untuk melatih gerak fungsional
anggota tubuh (gerak kasar dan halus).
 Play therapy (terapi bermain)
Terapi yang diberikan pada anak retardsi mental dengan cara bermain, misalnya
memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama,
bermain jual-beli.
 Activity daily Living (ADL) atau kemampuaan merawat diri
Untuk memandirikan anak retardasi mental, mereka harus diberikan pengetahuan
dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat
merawat diri sendiri tanpa bantuan rng lain dan tidak tergantung kepada orang lain.

a. Life skill (keterampilan hidup)


a. Nanak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah
rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator, bagi anak
retardasi mental yang memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan
untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, unutk bekal hidup mereka diberikan
pendidikan keterampilan.Mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga
dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.

 Vocational Therapy (terapi bekerja)


Selain diberikan latihan keterampilan.Anak retardasi mental juga diberikan latihan
kerja. Dengan bekal keterampilan yang telah dimilikinya, anak retardasi mental
diharapkan dapat bekerja.
X. EDUKASI
Pasien retardasi mental memerlukan pengawasan dan bantuan yang terus-
menerus untuk melakukan tugas yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari.
Edukasi untuk anak
1. Memberikan pelatihan ketrampilan adaptif
2. Pelatihan ketrampilan sosial
3. Pelatihan kejuruan
4. Pelatihan komunikasi
Edukasi keluarga
Perhatian khusus diberikan kepada pengasuh atau anggota keluarga yang merawat untuk
tidak sedih dan frustasi dalam merawat pasien retardasi mental.
XI. PROGNOSIS
Seorang anak yang mengalami retardasi mental yang berat, prognosis kedepannya
ditentukan oleh keadaan anak tersebut pada masa awal kanak-kanaknya. Retardasi
mental yang ringan bisa jadi terjadi hanya sementara. Anak-anak mungkin akan
didiagnosa sebagai retardasi mental pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia
berikutnya, mungkin kelainannya akan dapat lebih dispesifikan, contohnya gangguan
komunikasi dan autism.

50
XII. KEPUSTAKAAN
1. Sadock BJ, Sadock VA. Mental Retardation in Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry, Lippincott & William, London. p:1161-79
2. Maramis WF. Retardasi Mental dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga
University Press, Surabaya, 1994. Hal: 385-402
3. Maslim R. Retardasi Mental.dalam Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa-Rujukan
Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta. Hal.119-21

51
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
GANGGUAN SOMATOFORM

I. DEFINISI/PENGERTIAN
Istilah somatoform berasal dari bahasa yunani soma artinya tubuh; dan gangguan
somatoform dapat diartikan sebagai suatu kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan somatoform
yaitu suatu kelompok yang memiliki gejala fisik dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing.

II. ANAMNESIS
Anamnesis gangguan somatoform yaitu adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali
terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan
kelainan yang menjadi dasar keluhannya.
Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan
antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya,
bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau
ada yang “menekan di dalam tenggorokan”. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam
bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki. Dalam kasus-
kasus lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan
bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang
dapat ditemukan.
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik pada gangguan somatoform menurut Kaplan (2010) antara lain :
pemeriksaan neurologis lengkap, tanda vital dan pemeriksaan status mental, namun pada
pemeriksaan tersebut tidak ditemukan adanya kelainan meskipun pasien mengeluh adanya
kelainan.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada gangguan somatoform yang bias dilakukan yaitu : CT, MRI
kepala, SPECT, pungsi lumbal, EEG, tes neuropsikologis tetapi hasilnya normal/negative. Juga
sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar
keluhannya. V

VI. KRITERIA DIAGNOSIS MENURUT PPDGJ-III


Gangguan somatoform meliputi sebagai berikut: 1

52
F45.0 Gangguan Somatisasi
Pedoman Diagnostik
 Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
(a) adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun;
(b) tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
(c) t e r d a p a t d i s a b i l i t a s d a l a m f u n g s i n y a d i m a s y a r a k a t d a n
k e l u a r g a , y a n g berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari
perilakunya.

F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci


Pedoman Diagnostik
 Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi
gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi;
 Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyeb ab psikologis belum jelas,
akan tetapi tidak boleh ada penyeba fisik dari keluhan-keluhannya.

F45.2 Gangguan Hipokondrik


Pedoman Diagnostik
 Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
(a) k e y a k i n a n y a n g m e n e t a p a d a n y a s e k u r a n g - k u r a n g n y a s a t u
p e n y a k i t f i s i k yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya,
meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan
fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap
kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak
sampai waham);
(b) tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.

F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform


Pedoman Diagnostik
 Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
(a) adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor,
muka panas/ ”flushing”, yang menetap dan mengganggu;
(b) gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala tidak
khas);
(c) preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya
gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu,
yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan-pemeriksaan berulang, maupun
penjelasan-penjelasan dari para dokter;
(d) tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem/atau organ yang dimaksud.

53
Karakter kelima: F45.30 = Jantung dan sistem kardiovaskuler
F45.31 = Saluran pencernaan bagian atas
F45.32 = Saluran pencernaan bagian bawah
F45.33 = Sistem pernapasan
F45.34 = Sistem genito-urinaria
F45.38 = Sistem atau organ lainnya

F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap


Pedoman Diagnostik
 Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa, dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik.
 Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi
terjadinya gangguan tersebut.
 Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun
medis, untuk yang bersangkutan.

F45.8 Gangguan Somatoform Lainnya


Pedoman Diagnostik
 Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan
terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda
dengan Gangguan Somatisasi (F45.0) dan Gangguan Somatoform Tak Terinci (F45.1)
yang menunjukkan keluhan yang banyak dan berganti-ganti.
 Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
 Gangguan-gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:
(a) ”globus hystericus” (perasaan ada benjolan di kerongkongan yang menyebabkan
disfagia) dan bentuk disfagia lainnya
(b) tortikolis psikogenik, dan gangguan gerakan spasmodik lainnya (kecuali sindrom
Tourette);
(c) pruritus psikogenik;
(d) dismenore psikogenik;
(e) ”Teeth grinding”.

F45.9 Gangguan Somatoform YTT

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dari gangguan somatoform1.:
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
-Gangguan Klinis
-Kondisi Lain Yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis
Aksis II
-Gangguan Kepribadian
-Retardasi Mental

54
Aksis III
-Kondisi Medik Umum
Aksis IV
-Masalah Psikososial dan Lingkungan
Aksis V
-Penilaian Fungsi Secara Global

VIII. DIAGNOSIS BANDING


a. Gangguan somatisasi
Sklerosis mutipel, miastenia gravis, SLE, AIDS, infeksi sitemik kronik,
hiperparatiroidisme, hipertiroidisme. Diantara gangguan somatoform lainnya,
hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan nyeri perlu dibedakan dengan
gangguan somatisasi.3

b. Gangguan hipokondriasis
Hipokondriasi harus dibedakan dari kondisi medis nonpsikiatrik, khususnya gangguan
yang tidak mudah didiagnosis. Penyakit-penyakit itu adalah AIDS, endokrinopati,
miastenia gravis, sklerosis multipel, penyakit degeneratif pada sistem saraf, lupus
eritematosus sistemik, dan gangguan neoplastik yang tidak jelas. Perlu dibedakan pula
dengan gangguan konversi dimana gangguan konversi biasanya akut dan melibatkan
satu gejala.3

c. Gangguan nyeri
Pasien hipokondrial mungkin mengeluh nyeri, dan aspek presentasi klinis dari
hipokondriasis, seperti preokupasi tubuh dan keyakinan akan penyakit, dapat juga
ditemukan pada pasien dengan gangguan nyeri. Tetapi, pasien hipokondriakal
cenderung memiliki lebih banyak gejala dibandingkan pasien pasien dengan gangguan
nyeri. Kemudian pada gangguan konversi biasanya terjadi singkat, sedangkan
gangguan nyeri adalah kronis.

d. Gangguan konversi
Gangguan neurologis (seperti demensia, dan penyakit degeneratif lainnya), tumor
otak, dan penyakit ganglia basalis harus dipertambangkan di dalam diagnosis banding.
Gejala sensorimotorik juga terjadi pada gangguan somatisasi.3

e. Gangguan dismorfik tubuh


Gangguan dismorfik tubuh perlu dibedakan dari permasalahan normal tentang
penampilan seseorang. Ciri yang membedakan adalah bahwa pada gangguan
dismorfik tubuh orang mengalami penderitaan emosional dan gangguan fungsional
yang bermakna akibat permasalahan tersebut.3

IX. TERAPI/PENANGANAN
Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan somatoform adalah
sebagai berikut2,6,7:
A. Terapi Psikososial, bisa diberikan sebagai berikut:

55
1. Kognitif-Behavioral
Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement
sekunder (keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping
untuk mengatasi stres, dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi
mengenai kesehatan atau penampilan seseorang.
Untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral,
terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform,
membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan
cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang
terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk
mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.

B. Terapi Somatik/terapi psikofarmaka, bisa diberikan sebagai berikut:


1. Obat Anti-Depresan
Golongan SSRI (Serotonin-Selective Re-Uptake Inhibitors)
Macam- macam SSRI antara lain :
- Fluoxetine (Prozac),
- Sertraline (Zoloft),
- Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR),
- Citalopram (Celexa)
2. Anti-Anxietas
Golongan Benzodiazepin, antar lain:
- Lorazepam (Ativan)
- Clonazepam (Klonopin)
- Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
- Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol)

X. EDUKASI
Dokter yang menangani harus memulai memberikan dorongan, semangat dan motivasi
agar pasien tidak menjadi depresi. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien perihal
kondisi pasien agar keluarga pasien dapat membantu menciptakan suasana keluarga yang
teraupetik. Diharapkan pasien mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial
sekitarnya sehingga tidak membuat keluarga merasa tidak nyaman akan kehadiran pasien.
Pasien diupayakan untuk dapat lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan
keluarga dan sekitar rumah.

XI. PROGNOSIS
a. Gangguan somatisasi
Gangguan somatisasi adalah suatu gangguan yang kronis dan sering menyebabkan ketidak
mampuan. Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stres atau stres baru
dan eksaserbasi gejala somatik.
b. Gangguan hipokondriasis
Prognosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi tinggi, onset gejala yang tiba-
tiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medik non psikiatri
yang menyertai.

56
c. Gangguan nyeri
Prognosisnya bervariasi, walaupun gangguan nyeri seringkali dapat kronis, menakutkan,
dan sangat menimbulkan ketidakberdayaan. Pasien dengan prognosis terburuk, dengan
atau tanpa pengobatan, memiliki masalah karakterologi sebelumnya, khusunya pasivitas
yang menonjol; terlibat dalam kewajiban atau mendapatkan kompensasi finansial;
menggunakan zat adiktif; dan memiliki riwayat nyeri yang lama.

d. Gangguan konversi
Sebagian besar pasien, kemungkinan 90-100 persen dengan gangguan konversi
mengalami pemulihan gejala pertamanya dalam beberapa hari atau kurang dari satu
bulan. Semakin lama terdapat gejala konversi, semakin buruk prognosisnya.
e. Gangguan dismorfik tubuh
Onset gangguan dismorfikb tubuh biasanya bertahap. Tingkat keprihatinan tentang
masalah mungkin hilang timbul dengan berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik
tubuh biasanya merupakan suatu gangguan kronis jika dibiarkan tidak diobati.
XII. KEPUSTAKAAN
1. Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI : Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
3. Kaplan. I Harold, Sadock. J Benjamin, Grebb. A Jack. Kaplan dan Sadock. Buku Sinopsis
Psikiatri Klinis. Edisi 2. EGC. 2010. Hal 68.
4. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
5. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta
6. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia: Gangguan Somatoform. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta
Barat.
7. Tomb, D. A. 2004.Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta

57
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
PSIKOTIK AKUT
I. DEFINISI
Psikotik akut adalah suatu perubahan dari keadaan tanpa gejala psikotik ke
keadaan psikosik yang jelas abnormal ( gangguan daya nilai realita dan gejala-gejala
positif serta penurunan fungsi global) dalam periode 2 minggu atau kurang, durasinya
belum di ketahui berapa lama akan berlangsung, biasanya kurang 1 bulan.

II. ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan sekurang-kurangnya satu (1) gejala psikotik dengan onset
mendadak.. Gejala karakteristik adalah perubahan pikiran, emosional, dan prilaku yang
aneh dan tidak wajar.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


Pemeriksaan status mental pada pasien psikotik akut biasanya ditemukan perilaku
aneh, tidak kooperatif, agresif fisik atau verbal, berbicara kacau, berteriak atau membisu,
emosi labil mudah berubah gangguan pikiran, persepsi, daya ingat, perhatian, konsentrasi
dan orientasi.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ada kelainan. Bila terbukti ditemukan
adanya penyakit medis umum atau akibat zat maka bukan gangguan psikotik akut tetapi
gangguan mental organik atau akibat zat.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang tidak ada yang khusus, dilakukan sesuai dengan kondisi
fisik dan sesuai indikasi.

VI. KRITERIA DIAGNOSIS


Kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III F23 Gangguan Psikotik Akut dan Sementara adalah:
a. Onset akut (dalam masa 2 minggu atau kurang sama dengan jangka waktu
gejala-gejala psikotik menjadi nyata dan mengganggu sedikitnya beberapa
aspek kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, tidak termasuk periode prodormal
yang gejalanya sering tidak jelas) sebagai ciri khas yang menentukan seluruh
kelompok.
b. Adanya sindrom yang khas (berupa polimorfik = beraneka ragam dan
berubah cepat, atau schizophrenia-like = gejala skizofrenik yang khas)
c. Adanya stress akut yang berkaitan (tidak selalu harus ada, sehingga dispesifikasi
dengan karakter kelima)
d. Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung
Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi kriteria episode manic
atau episode depresif, walaupun perubahan emosional dan gejala-gejala afektif
individual dapat menonjol dari waktu ke waktu
Tidak ada penyebab organik, seperti trauma kapitis, delirium atau demensia.
Tidak merupakan intoksikasi akibat penggunaan alcohol atau obat-obatan

58
Bentuk-bantuk psikosis akut (PPDGJ III)
1. F 23.0 Gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia
a. Onset harus akut (dari suatu keadaan nonpsikotik sampai keadaan
psikotik yang jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang);
b. Harus ada beberapa jenis halusinasi atau waham yang berubah dalam jenis
dan intensitasnya dari hari ke hari atau dalam hari yang sama.
c. Harus ada keadaan emosional yang sama beranekaragamnya;
d. Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala itu ada
secara cukup konsisten dapat memenuhi kriteria skizofrenia atau episode
manik atau episode depresif.
2. F 23.1 Gangguan psikotik polimorfik akut dengan gejala skizofrenia
a. Memenuhi kriteria (a), (b), dan (c) yang khas untuk gangguan psikotik
polimorfik akut;
b. Disertai gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
yang harus sudah ada untuk sebagian besar waktu sejak munculnya
gambaran klinis psikotik itu secara jelas;
c. Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk lebih dari 1 bulan maka
diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia.
3. F 23.2 Gangguan psikotik lir-skizofrenia (schizophrenia-like akut)
a. Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari nonpsikosis
psikosis);
b. Memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi lamanya kurang dari 1 bulan;
c. Tidak memenuhi kriteria psikosis polimorfik akut.
4. F 23.3 Gangguan psikotik akut lainnya dengan predominan waham
a. Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari nonpsikosis
psikosis);
b. Waham dan halusinasi;
c. Baik kriteria skizofrenia maupun gangguan psikotik polimorfikakut tidak
terpenuhi.
5. F 23.8 Gangguan psikotik akut dan sementara lainnya
Gangguan psikotik akut lain yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kategori
manapun.
6. F 23.9 Gangguan psikotik akut dan sementara YTT
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis menggunakan diagnosis multiaksial
Aksis I
F23 Gangguan Psikotik Akut dan Sementara
Aksis II sesuai kasus pasien
Gangguan Kepribadian
Retardasi Mental
Aksis III sesuai kasus pasien
Kondisi Medik Umum
Aksis IV sesuai kasus pasien
Masalah Psikososial dan Lingkungan

59
Aksis V
Penilaian Fungsi Secara Global

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Gangguan Mental Organik
2. Gangguan akibat zat
3. Gangguan Delirium
4. Gangguan mental psikotik lainnya

IX. TERAPI
Terapi diberikan pendekatan sebagi berikut:
1. Penatalaksanaan Non medikamentosa atau terapi psikososial
2. Penatalaksanaan medis
1. Penatalaksanaan Medis
a. Obat antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik :
Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau Chlorpromazine 100-200 mg, 1
sampai 3 kali sehari. Dosis diberikan serendah mungkin untuk mengurangi efek
samping, beberapa pasien mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi.
b. Obat antiansietas juga bisa diberikan untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya:
lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari)
c. Obat antipsikotik diberikan selama sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah gejala
hilang.
d. Apabila didapatkan ganggua atau gejala sebagai berikut dilakukan kolaborasi
dengan tim untuk mengatasinya.
 Kekakuan otot (Distonia atau spasme akut), diberikan suntikan
benzodiazepine atau obat antiparkinson.
 Kegelisahan motorik berat (Akatisia), ditanggulangi dengan pengurangan
dosis terapi atau pemberian beta-bloker.
 Gejala parkinson (tremor/gemetar, akinesia), ditanggulangi dengan obat
antiparkinson oral (misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari).
Add : ECT dilakukan sesuai kondisi dan indikasi, misalnya penggunaan terapi
obat sulit diberikan atau tidak berespon.

X. EDUKASI
Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya, hal yang dapat dilakukan yaitu:
a. Keluarga atau teman harus mendampingi pasien
b. Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan
kebersihan)
c. Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera
Konseling pasien dan keluarga.
a. Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan
psikiatrik antara lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam
pengobatan pasien
b. Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan kontak dengan
stressor

60
c. Motivasi pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala membaik

XI. PROGNOSIS
Gangguan psikotik akut biasanya prognosisnya baik biasanya dalam waktu 1-3 bulan dapat
terjadi remisi sempurna dan hanya sebagian kecil yang berkembang menetap menjadi
gangguan lain.
Ciri prognosis yang baik untuk gangguan psikotik singkat
a. Penyesuaian premorbid yang baik
b. Sedikit trait schizoid pramorbid
c. Stressor pencetus yang berat
d. Onset gejala mendadak
e. Gejala afektif
f. Konfusi selama psikosis
g. Sedikit penumpulan afektif
h. Gejala singkat
i. Tidak ada saudara yang skizofrenik

XII. KEPUSTAKAAN
a. Kaplan, HI dan Sadock, BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
Jilid satu. Binapura Aksara Publisher. Jakarta; 2010
b. Ingram, dkk. 1993. Catatan Klinik Psikiatri. Jakarta: EGC
c. Katona, Cornelius Dn Robertson Mary. 2005. Psychiatry at a Glance. 3 th edition.
London: Blackwall Publishing
d. Muslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta; Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2003

61
DISCLAIMER
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PSIKIATRI

Dokumen tertulis PPK Psikiatri serta perangkat implementasinya ini disertai dengan
disclaimer (wewanti/penyangkalan) untuk :
1. Menghindari kesalah-pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang
dimaknai harus melakukan sesuatu tanpa kecuali
2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai
orang yang dipercaya pasien

Adapun disclaimer tersebut :


1. Disclamer Utama yaitu :
a. PPK dibuat untuk average patient
b. PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
c. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi
d. PPK dianggap valid pada saat dicetak
e. Praktek Kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan
keluarga
2. Disclaimer tambahan, yang dapat disertakan pada disclaimer :
a. PPK dimaksudkan untuk tatalaksana pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap
tentang penyakit
b. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila merasa tidak menguasai atau
ragu dalam menegakkan diagnose dan memberikan terapi
c. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apapun yang terjadi akibat penyalah
gunaan PPK dalam tatalaksana pasien

62
PENUTUP

Dengan telah tersusunnya Panduan Praktik Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar Prosedur
Operasional bagi dokter spesialis Psikiatri yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dan
fasilitas pelayanan kesehatan di RSI Sultan Agung.

Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien , bermutu dan
merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai. Semoga bermanfaat.

63

Anda mungkin juga menyukai