PSIKIATRI
RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019
1
DAFTAR ISI
2
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019
tentang
bismillahirrahmanirrahim
3
tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menker/SK II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis
(Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit;
9. Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 445/01/BPMD/07/2014 tentang Perpanjangan Izin Operasional
Rumah Sakit Islam Sultan Agung;
10. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor :
107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit
Berdasarkan Prinsip Syariah;
11. Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor
: 008.55.09/DSN-MUI/VIII/2017 tentang Penetapan Layanan dan
Manajemen Rumah Sakit Islam Sultan Agung telah memenuhi prinsip
syariah;
12. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM, M.Kes
sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Masa Bakti 2018
– 2022.
13. Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
70/SK/YBW-SA/VI/2018 tentang Pengesahan Struktur Oragnisasi RSI
Sultan Agung
14. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama RSI Sultan
Agung Masa Bhakti 2018 – 2022;
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :
KESATU : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Nomor : 3426/
PER/RSI-SA/II/2017 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Psikiatri Rumah Sakit
Islam Sultan Agung.
4
5
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019
TANGGAL : 15 Mei 2019
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan; lingkup pelayanan adalah
segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Substansi pelayanan medis adalah pratik ilmu pengetahuan dan
teknologi medis yang telah ditapis secara sosio – ekonomi –budaya yang mengacu pada aspek
pemerataan, mutu dan efsiensi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
akan pelayanan medis.
Untuk menyelenggarakan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien dan
berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas,
prafasilitas, peralatan, dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai
Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan
disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan
Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter Psikiatri, serta
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter Psikiatri
Panduan praktik klinis (Clinical practice guidelines) merupakan panduan yang
berupa rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter Psikiatri dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Panduan ini berbasis bukti (berdasarkan penelitian saat ini) dan tidak
menyediakan langkah-pendekatan untuk perawatan dan pengobatan, namun memberikan
informasi tentang pelayanan yang paling efektif. Dokter atau dokter Psikiatri menggunakan
panduan ini sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana
pelayanan yang tepat kepada pasien
B. Dasar Hukum
1. Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 44 ayat ( 1 ) ,
pasal 50 dan 51
2. Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang – undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan No 147 / MENKES/PER / 2010 tentang Perizinan RS
5. PERMENKES No 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
C. Tujuan
1. Meningkatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Mamberikan tata laksana dengan biaya yang memadai
6
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
DELIRIUM
I. DEFINISI
Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut atau
mendadak. Kata delirium berasal dari bahasa latin “de lira” yang berarti keluar dari jalurnya.
Delirium merupakan suatu gangguan mental organik akut dengan gejala utama adanya
gangguan kesadaran berupa kesadaran berkabut, yang disertai dengan gangguan atensi,
orientasi, memori, persepsi, delusi, kegelisahan dan agitasi.
II. ANAMNESIS
Anamnesis sulit dilakukan pada pasien delirium. Anamnesis dilakukan dengan
keluarga atau orang lain yang mengetahui kondisi pasien. Pasien biasanya bingung, tidak
bisa bercerita, dan tidak mengenali masalah yang terjadi. Anamnesis harus fokus pada
riwayat psikiatri, penggunaan zat dan penyakit medis.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan sesuai penyakit medis umum yang ada, bisa dilakukan pemeriksaan berikut
ini bila diperlukan : Skrining darah dan urin untuk alcohol, obat-obatan, dan logam berat,
pemeriksaan fisiologis (Elektrolit/glukosa/Ca/Mg serum, tes fungsi hati dan ginjal, kimia
serum, urinalisis, tes darah lengkap, TSH, skrinining HIV), pemeriksaan radiologi ,
elektrokardiogram, EEG, CT-SCAN, MRI kepala, SPECT, pungsi lumbal, tes neuropsikologis.
7
VI. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria Diagnostik Delirium menurut PPDGJ III :
F05 Delirium bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainya
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :
a. Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma
b. Menurunya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan
mengalihkan perhatian.
2. Gangguan kognitif secara umum :
a. Distorsi persepsi, ilusi, dan halusinasi seringkali visual
b. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang bersifat
sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang
relatif masih utuh.
d. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat dan
orang
3. Gangguan psikomotor :
a. Hipo atau hiper aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke
yang lain.
b. Waktu bereaksi yang lebih panjang.
c. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang.
d. Reaksi terperanjat meningkat.
4. Gangguan siklus tidur bangun :
a. Insomnia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya
siklus tidur-bangun, mengantuk pada siang hari
b. Gejala yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi
setelah bangun tidur
5. Gangguan emosional :
Misalnya depresi anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis, atau rasa
kehilangan aksi
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan keadaan
itu berlangsung kurang dari 6 bulan
a. F05.0 Delirium, Tak Bertumpang tindih dengan Demensia
Delirium yang tidak bertumpang tindih dengan demensia yang sudah ada
sebelumnya
b. F05.1 Delirium, Bertumpang tindih dengan Demensia
Kondisi yang memenuhi kriteria delirium diatas tetapi terjadi pada saat sudah
ada demensia
c. F05.8 Delirium Lainnya
d. F05.9 Delirium YTT
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Multiaksial pada PPDGJ III :
Axis 1
Memenuhi criteria diagnosis F05 Delirium
8
F05 Delirium bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainya
F05.0 Delirium, Tak Bertumpang tindih dengan Demensia
F05.1 Delirium, Bertumpang tindih dengan Demensia
F05.8 Delirium Lainnya
F05.9 Delirium YTT
Axis 2
Sesuai kasus pasien ada atau tidak
Gangguan kepribadian
Retadasi Mental
Axis 3
Kondisi Medis Umum (sesuai yang di temukan)
Axis 4
Masalah psikososial dan Lingkungan (sesuai yang di temukan)
Axis 5
Penilaian Fungsi secara Global (sesuai yang di temukan)
IX. TERAPI
Penatalaksanaan delirium sesuai penyakit yang mendasari dan sesuai sindroma atau
tanda gejala klinis yang ditemukan, bisa diberikan pendekatan terapi sebagai berikut :
1. Terapi Psikososial
2. Farmakoterapi
1 Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
2 Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
3 Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
4 Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10
- 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
5 Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
9
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
Penting diberikan perawatan yang baik dan tenang secara umum diberikan cairan
dan elektrolit yang cukup, desaign ruagan diberikan sedemikian rupa yang nyaman seperti
tv, penerangan sedikit redup dll.
X. EDUKASI
Edukasi diberikan pada pasien dan keluarganya mengenai pentingnya bantuan fisik,
sensorik, dan lingkungan. Bantuan fisik sangat diperlukan sehingga pasien dilirium tidak
masuk kedalam situasi dimana mereka mengkin mengalami kecelakaan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengobatan umum merupakan pengobatan suportif, bantuan emosional bagi
pasien penting diberikan oleh keluarga (Kaplan, 2010).
XI. PROGNOSIS
Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan
ditemukan, biasanya berlangsung kurang dari satu minggu. Setalah identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya menghilang dalam periode tiga
sampai tujuh hari. Beberapa gejala bisa berlangsung dalam waktu sampai 2 minggu.
Prognosis delirium biasanya sesuai dan mengikuti penyakit penyebab yang mendasarinya.
XII. KEPUSTAKAAN
Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III, Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta : 2001
Sadock, Kaplan, Sinopsis Psikiatri Jilid I, Binarupa aksara publisher, Tangerang:2010
Buku Ajar PSIKIATRI Edisi 2
10
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
“DEMENSIA”
I. DEFINISI
Demensia merupakan sindrom yang bersifat kronik-progresif ditandai oleh
berbagai gangguan fungsi kognitif yang multiple seperti : daya ingat, daya pikir,
orientasi, daya tangkap, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai.
ada kalanya diawali dengan kemerosotan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi hidup. Umumnya tanpa gangguan kesadaran (Kaplan S,2010,Depkes RI
2003).
II. ANAMNESIS
Anamnesis demensia biasanya ditemukan beberapa gangguan : gangguan
daya ingat, gangguan daya nilai, gangguan daya pikir abstrak, gangguan fungsi luhur,
kemampuan visuospatial, kesulitan dalam bekerja, cenderung gagal memecahkan
masalah. Ketidakmampuan melakukan tugas tersebut akan semakin memburuk
hingga ke tugas harian. (Kaplan, 2010)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai kebutuhan bisa pemeriksaan rutin
sampai pemeriksaan penunjang tertentu sesuai penyakit yang mendasarinya, seperti
: EKG, EEG, tes neurologi, pungsi lumbal , CT-scan, MRI kepala, SPECT.
11
F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer peyakit dini
F00.1 Demensia pada penyakit alzheimer onset lambat
F00.2 Demensia pada penyakit alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit alzheimer YTT
F01 DEMENSIA VASKULER
F01.0 Demensia vaskuler onset akut
F01.1 Demenia multiinfark
F01.2 Demensia vakuler subkortikal
F01.3 Demensia vakuler campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia vakuler lainnya
F01.9 Demensia vakuler YTT
F02 DEMENSIA PADA PENYAKIT LAIN YDK
F02.0 Demensia pada penyakit Pick
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia paa penyakit lain YDT YDK
F03 DEMENSIA YTT
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Multiaksial pada PPDGJ III :
Axis 1
F00 Demensia pada penyakit alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer peyakit dini
F00.1 Demensia pada penyakit alzheimer onset lambat
F00.2 Demensia pada penyakit alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit alzheimer YTT
Axis 2 Sesuai kasus pasien bila ditemukan: Gangguan kepribadian
Retadasi Mental
Axis 3 Sesuai Kondisi Medis yang ditemukan pada pasien
Axis 4Sesuai masalah psikososial dan Lingkungan
Axis 5Sesuai Fungsi Global pasien
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Demensia adalah : TIA, Delirium, Depresi, Skizofrenia,
Gangguan buatan (Factitious Disorders) dan penuaan normal
12
IX. TERAPI
Terapi Psikososial
Farmakoterapi
1 Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
2 Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg
3 Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
4 Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1x 10 -
20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
5 Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna
lagi,namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
PsychologicalSymptoms of Dementia):
1 Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
2 Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
13
o Pantoyl-GABA
3 Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg
X. EDUKASI
Pasien demensia memerlukan pengawasan dan bantuan yang terus-menerus
untuk melakukan tugas yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pengobatan umum pada pasien demensia merupakan pengobatan suportif saja,
bantuan emosional bagi pasien dan keluarga sangat pemnting dalam hal ini.
Perhatian khusus diberikan kepada pengasuh atau anggota keluarga yang merawat
untuk tidak sedih dan frustasi karena perawatan pasien demensia yang memerlukan
waktu yang lama (Kaplan, 2010).
XI. PROGNOSIS
Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah
sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan
bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat
(Kaplan, 2010).
KEPUSTAKAAN
------, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta : 2001
National Demensia Group, Apa itu demensia?, Alzheimer’s Australia, Jakarta : 2005
Sadock, Kaplan, Sinopsis Psikiatri Jilid I, Binarupa aksara publisher, Tangerang:2010
S Marlina, Demensia, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD
dr.Soetomo Edisi III, Surabaya : 2004
14
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN MENTAL DAN PRILAKU AKIBAT ALKOHOL DAN ZAT PSIKOAKTIF
I. DEFINISI/ PENGERTIAN
Yang dimaksud gangguan mental perilaku akibat alkohol dan zat psikoaktif adalah
gangguan mental perilaku yang timbul karena penggunaan alkohol dan zat psikoaktif bisa
berupa intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan
putus zat, keadaan putus zat dengan delirium, gangguan psikotik, sindrom amnestik,
gangguan psikotik residual atau onset lambat.
II. ANAMNESIS
Pemeriksaan status mental pasien akibat penggunaan alkohol dan zat psikoaktif
bisa ditemukan penampilan umum terlihat sehat atau bisa juga sakit, sadar atau
mengantuk, tampak tua atau tampak muda, marah, bingung, ketakutan, tidak nyaman,
apatis, sikap rendah diri, tidak berharga, feminine, maskulin, dll. Sikap terhadap
pemeriksa bisa kooperatif, bermusuhan, defensive, merayu, suka mengelak, mencari
muka, dll. Gangguan Persepsi seperti halusinasi, depersonalia/derealisasi bisa ada atau
tidak. Gangguan kesadaran bisa ada bisa tidak.
Pemeriksaan fisik pada pasien penggunaan alkohol dan zat psikoaktif biasanya tak
didapatkan kelainan. Terkadang bisa juga ditemukan adanya penyakit fisik umum lainnya
sebagai penyakit komorbid (sesuai kasus).
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang bisa dilakukan terutama terkait jenis alkohol dan zat psikoaktif
yang digunakan atau juga bisa dilakukan sesuai kondisi dan penyakit lain yang ditemukan,
seperti pemeriksaan sebagai berikut :
1. Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
2. AGD, K, Na, Ca T3, T4, TSH, sesuai indikasi
3. Foto thorak bila perlu
15
4. EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
5. Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu
16
b. Dicatat sebagai diagnosis utama
c. Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang di gunakan
5. Keadaan Putus dengan Dilirium
a. Putus zat disertai dengan komplikasi delirium
b. Termasuk Delirium Tremens, akibat putus alkohol secara absolute pada pengguna
ketergantungan berat.
c. Gejala prodomal khas : insomnia, gemetar dan ketakutan
6. Gangguan psikotik
a. Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan zat
psikotik
b. Gejalanya dengan pola yang bervariasi
7. Sindrom Amnesik
a. Harus memenuhi criteria umum
b. Syarat utama :
a. Gangguan daya ingat jangka pendek.
b. Tidak ada gangguan daya ingat
c. Adanya riwayat atau bukti yang objektif
6. Gangguan Psikotik Residual atau Onset Lambat
a. Onset langsung
b. Gangguan funsi kognitif, afek, kepribadian atau perilaku
c. Harus dibedakan dengan peristiwa putus obat
VII. DIAGNOSIS
Aksis I Sesuai kasus dan memenuhi kriteria diagnosis
- F10-F19 Gg. Mental dan perilaku akibat zat psikoaktif
-Kondisi Lain Yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis
Aksis II Sesuai kasus dan memenuhi kriteria diagnosis
-Gangguan Kepribadian
-Retardasi Mental
Aksis III Sesuai kasus dan memenuhi kriteria diagnosis
-Kondisi Medik Umum/penyakit fisik
Aksis IV Sesuai jenis stressor yang ditemukan berupa
-Masalah Psikososial dan Lingkungan
Aksis V Sesuai kondisi pasien
-Penilaian Fungsi Secara Global
-
VIII. DIAGNOSA BANDING
IX. TERAPI
Terapi gangguan mental perilaku akibat alkohol dan zat psikoaktif bervariasi menurut
jenis zat, pola penggunaan, karakteristik individual pasien dan tersedianya sistem
pendukung. Tujuan utama terapi adalah abstinensi zat serta mencapai kesehatan fisik psikiatri
dan kondisi psikososial. Bisa dilakukan terapi rawat inap pada gangguan yang berat atau pada
pengobatan rawat jalan yang gagal, tidak adanya dukungan psikososial atau penggunaan zat
yang parah dan berlangsung lama.
17
Terapi Intoksikasi alkohol
Terapi umum:
1. Perkenalkan diri dan jelaskan bahwa terapi adalah bantuan (bukanlah hukuman) dan
yakinkan bahwa pasien dalam keadaan aman, terapis tetap menjaga rahasia.
2. Tunjukkan perhatian terhadap masalah yang membahayakan kehidupan pasien.
3. Seringkali pasien datang dalam keadaan ketakutan, cemas ataupun panik. Sikap terapi
harus tenang dan penuh percaya diri. Tenangkan pasien dengan mengajak bicara dan
berilah pengertian bahwa terapis akan memberi bantuan, dengan harapan keadaan
membaik.
4. Usahakan agar jalan nafasnya lancar. Pertahankan saluran nafas yang bebas, bila perlu
dengan pernapasan buatan
5. Tujukan pemeriksaan pada tanda-tanda vital
6. Usahakan peredaran darahnya lancar.
7. Pasang alat infus, berikan cairan yang adekuat.
8. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau
trauma fisik yang membahayakan.
9. Atasi koma, hipotensi, dan hipotensi
10. Kosongkan lambung dengan emetika atau kuras lambung (bila konsumsi alkhol banyak
sekali dan dalam 30 menit yang lalu)
11. Berikan 60-100 mg norit (activated charcoal) per oral (tidak boleh diberikan bila pasien
stupor, koma atau kejang, kecuali personde dan saluran pernapasan telah dipertahankan
dengan cuff endotracheal tube)
Terapi khusus:
1. Berikan suntikan diazepam bila pasien kejang (5-10 mg i.v, bila perlu diulang sampai
kejang hilang. Bilamana diazepam tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital/luminal
100-200 mg i.m
2. Berikan 100 mg thiamin i.m atau i.v.
3. Berikan suntikan i.v 50-100 ml dextrose 50% bila dicurigai hipoglikemia
4. Berikan suntikan i.v 0,4
5. Berikan haloperidol 5-10 mg i.m bila pasien agitatif. Bilamana haloperidol tidak tersedia
dapat diberikan lorazepam, hydroxyzine,sulpiride
18
Terapi sindrom ketergantungan alkohol
1. Pasien ketergantungan alkohol ringan cukup berobat jalan dengan medikasi
benzodiazepin oral jangka pendek atau fenobarbital.
2. Pasien ketergantungan alkohol sedang sampai berat harus dirawat inapkan. Berikan per
oral 10-15 mg diazepam setiap jam bergantung kebutuhan klinis yang ditentukan oleh
gejala-gejala putus alkohol.
3. Pasien ketergantungan alkohol berat diberikan medikasi diazepam secara i.v. Sesudah
tercapai stabilisasi, dosis diazepam yang diperlukan untuk mempertahankan pasien dalam
keadaan sedasi dapat diberikan peroral setiap 8-12 jam. Bila kegelisahan, tremor dan
tanda-tanda putus alcohol lainnya menetap, disis diazepam dinaikkan sampai terjadi
sedasi taraf sedang. Kemudian dosis dikurangu 20% setiap 24 jam sampai gejala putus
obat selesai.
4. Alternatif lain, dapat diberikan chlordiazepoxide sebagai dosis tunggal per oral sebanyak
200-400 mg atau diazepam 20-40 mg. sampai didapat didapat dosis total per 24 jam yang
membuat pasien stabil. Dosis chlordiazepoxide dapat mencapai 600 mg per hari dan
ditapering off dapat sampai 10 hari
5. Pasien lanjut usia, pasien dengan penyakit hati, delirium, demensia atau gangguan
kognitif lain sebaiknya diberikan benzodiazepine masa kerja singkat, tapi harus diberikan
lebih sering
6. Untuk mengatasi hiperaktivitas otonom dapat diberikan beta bloker. Bila dikombinasi
dengan benzodiazepin, maka dosis benzodiazepine dapat dikurangi
7. Pemberian klonidin 2-3 kali sehari 0,5 mg dapat menekan tanda tanda kardiovaskuler
keadaan putus alkohol.
8. Pemberian klonidin oral 400-800 mg karbamazepin setara dibandingkan benzodiazepin
untuk prevensi kejang putus alcohol
9. Alternatif lain untuk prevensi kejang dengan magnesium sulfat
10. Fenitoin tampaknya tidak efektif untuk mengelola kejang putus alcohol
11. Pemeriksaan seksama jika ada penyakit medis lain
12. Vitamin dosis tinggi
13. Larutan glukosa tidak boleh diberikan sebelum pemberian tiamin karena adanya
kemungkinan timbul sindrom Wernike.
14. Sindrom otak organik yang kronis akibat konsumsi alkohol yang lama tidak jelas
responnya terhadap pemberian tiamin maupun vitamin lain
15. Halusinasi alkoholik ditangani dengan pemberian obat anti psikosis
16. Terapi psikologis, sosial, dan tingkah laku
17. Pemberian naltrexone sampai 1 tahun dapat mengatasi alkoholisme tanpa menimbulkan
efek yang tidak diinginkan. Dosis naltrexone 50 mg sehari.
18. Disulfiram 250 mg/hari (kontraindikasi pada penyakit jantung, trombosis serebral dan
diabetes mellitus) untuk meningkatkan sensitivitas terhadap alkohol yang tujuannya
memberikan rasa tidak nyaman pada penggunaan alkohol (sebagai shock terapi).
19. Acamprosate 2000 mg/hari untuk menekan gejala craving alkohol.
20. Rehabilitasi.
19
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus diawasi
3. Metabolisme karbohidrat
4. Suplemen vitamin B tiamin
5. Regimen anti kejang
6. Penggunaan antibiotika
7. Terapi terhadap trauma penyerta
Terapi amnesia
a. Suplemen tinggi vitamin terutama tiamin 50-100 mg/hari
Terapi ansietas
a. Modifikasi tingkah laku
b. Pengobatan: Benzodiazepin
X. EDUKASI
Dokter yang menangani harus memulai memberikan dorongan, semangat dan motivasi
agar pasien tidak menjadi depresi. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien perihal kondisi
pasien agar keluarga pasien dapat membantu menciptakan suasana keluarga yang teraupetik.
Diharapkan pasien mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya sehingga
tidak membuat keluarga merasa tidak nyaman akan kehadiran pasien. Pasien diupayakan
untuk dapat lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan keluarga dan sekitar
rumah.
XI. PROGNOSIS
Prognosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi tinggi, onset gejala yang tiba-
tiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medik non psikiatri yang
menyertai.
Pasien dengan prognosis terburuk, dengan atau tanpa pengobatan, memiliki masalah
karakterologi sebelumnya, khusunya pasivitas yang menonjol; terlibat dalam kewajiban atau
mendapatkan kompensasi finansial; menggunakan zat adiktif; dan memiliki riwayat nyeri yang
lama.
XII. KEPUSTAKAAN
1. Maslim, R. 2003. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III. PT Nuh Jaya:
Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
3. Kaplan. I Harold, Sadock. J Benjamin, Grebb. A Jack. Kaplan dan Sadock. Buku Sinopsis
Psikiatri Klinis. Edisi 2. EGC. 2010. Hal 68.
4. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
20
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
SKIZOFRENIA
I. DEFINISI
Skizofrenia berasal dari kata schism dan phrenia yang berarti perpecahan jiwa
meliputi pikiran, emosi/perasaan, dan perilaku. Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang
ditandai dengan adanya gangguan dalam menilai realita.
21
2. Fobia Sosial
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diaghnosis pasti:
a) Gejala psikologis,perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietas dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Ansietas yang timbul harus mendominasi atau terbatas pada situasi social
tertentu (outside thefamily circle) ; dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol
22
3) Menampilkan postur tubuh tertentu
4) Negativisme
5) Rigiditas
6) Fleksibilitas cerea
c. Pasien yang tidak komunikatif dengan perilaku dari gangguan katatonik, diagnosa skizofren
harus ditunda sampai diperoleh bukti
F20.3 Skizofrenia Tak terinci (undifferentiated )
a. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosa skizofrenia
b. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik.’
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skiszofrenia
V. DIAGNOSIS BANDING
1.Gangguan kondisi medis umum, misal epilepsy lobus temporalis, tumor lobus temporalis
atau frontalis, stadium awal sclerosis multiple dan sindrom lupus eritematosus
2.Penyalahgunaan alcohol dan zat psikoaktif
3.Gangguan skizoafektif
4.Gangguan afektif berat
5.Gangguan waham menetap
6.Gangguan perkembangan pervasive
7.Gangguan kepribadian skizotipal
8.Gangguan kepribadian skizoid
9.Gangguan kepribadian paranoid
23
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk penderita skizofrenia. Bila ada
indikasi/curiga organik maka bisa dilakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan seperti:
1. Pemeriksaan Laboratorium lengkap, darah tepi lengkap, Fungsi hati, profil lipid, fungsi
ginjal, glukosa sewaktu
2. PANSS,
3. CT-Scan dan lain-lain.
VII. TERAPI
Dasar pengobatan secara holistik, yaitu:
1. Somatoterapi
Perbaiki keadaan umum
Pemberian anti psikotik dan monitoring efek samping obatseperti table berikut
a. Neuroleptik tipikal (Konvensional)
Neuroleptik Dosis Dosi rata- sedasi EPS Anti- Hipotensi
tipikal ekivalen rata(mg/hr) (Ekstra- kolinergik Ortostatik
(mg) piramidal)
Chlorpromazine 100 200-800 +++ ++ ++ ++
Thioridazine 100 150-800 +++ + +++ +++
Pherpenazine 10 8-64 + +++ + +
Flupenazine 2 0,5-40 + +++ + +
HCL
Trifluoiperazine 5 2-40 + +++ + +
Haloperidol 2 2-20 + +++ + +
b. Neuroleptik atipikal
Neuroleptik Dosi rata- sedasi EPS Anti- Hipotensi
Atipikal rata(mg/hr) kolinergik Ortostatik
Risperidone 1-6 + -/+ -/+ +
Clozapine 300-900 +++ -/+ +++ +++
Quetiapine 150-600 + -/+ -/+ +
Olanzapine 5-20 + -/+ +++ +
Pemberian antipsikotika perlu waktu yang lama. Serangan akut pertama kali
diperlukan terapi rumatan 1-2 tahun setelah remisi.untuk kekambuhan kedua kali
diperlukan terapi rumatan 5 tahun setelah remisi
c. Terapi Elektrokonvulsi kalau perlu (gaduh-gelisah atau stuporyang berat)
2. Psikoterapi
- Untuk memperkuat fungsi ego dengan cara psikoterapi suportif
- Agar penderita dapat bersosialisas
- Manipulasi lingkungan dilakukan agarlingkungan dapat;
- Memahami dan menerima keadaan penderita
- Membimbing pasien dalam kehidupan sehari-hari,memberi kesibukan atau pekerjaan
- Mengawasi minum obat secara teratur dan terus menerus serta membawa pasien
untuk pemeriksaan ulang
24
Kesembuhan pasien Skizofrenia dapat berupa:
1. Kesembuhan total (totalrecovery):mungkin sembuh seterusnya,mungkin sembuh
seterusnyamungkin kambuh 1-2 kali
2. Kesembuhan social (social recovery)
3. Keadaan kronis yang stabil(stable cronicity)
4. Terjadi deteriorasi
VIII. EDUKASI
Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dan diberi informasi tentang cara-cara
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negative secara
jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.
IX. PROGNOSIS
Secara umum prognosis skizofrenia bergantung pada : usia pertamakali timbul (onset);
mula timbulnya akut atau kronik; tipe/jenis skizofrenia; cepat, tepat serta teraturnya
pengobatan; ada atau tidak ada faktor keturunan; ada atau tidak ada faktor pencetus;
kepribadian pre-psikotik; keadaan sosio-ekonomi; jenis kelamin; status perkawinan; gejala
positif/negative.
X. KEPUSTAKAAN
1. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan R.I., 1993 Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Depkes RI., Jakarta hlm 450-
489.
2. Kaplan, H.l., Sadock BJ, 1998. Synopsis of Psikiatry, behavioral sciences Clinical psichiatry,
8thed. William&Wilkins, USA
3. Kaplan, Hl, Sadock BJ, Grebb JA, skizofrenia, dalam : Sinopsis psikiatri, ed 7, vol 1, 1997 :
685-729.
4. Maramis,WF,. CAtatn Ilmu Kedokteran Jiwa,Cetakan I. Airlangga University Press,
Surabaya
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
6. Sudiyanto, Maramis WF, skizofrenia, dalam : Catatan ilmu kedokteran jiwa, ed 7,
Surabaya, 2004 :215-235.
7. Surilena, lntervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia, dalam : majalah psikiatri,
Jakarta 2005 :69-83.
8. Sutatminingsih,, Pendekatan holistik terhadap skizofrenia, dalam majalah psikiatri,
Jakarta, 2002:1.
25
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR
I. DEFINISI
Gangguan Bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada
fungsi otak yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan
proses berfikir. Disebut Bipolar karena didominasi adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni
kondisi manik (bergairah tinggi yang tidak terkendali) dan depresi.
Episode Campuran
Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi yang terjadi secara
bersamaan.Kadang-kadang gejala cukup berat sehingga memerlukan perawatan untuk
26
melindungipasien dan orang lain, dapat disertai gambaran psikotik dan mengganu fungsi
personal, social dan pekerjaan.
Episode Hipomanik
Paling sedikit empat hari, secara menetap, pasien mengalami peningkatan mood,
ekspansifatau iritabel yang ringan, paling sedikit tiga gejala (empat gejala bila mood iritabel),
yaitu:
1. Grandiositas atau menigkatnya percaya diri
2. Berkurangnya kebutuhan tidur
3. Meningkatnya pembicaraan
4. Lompat gagasan/pikiran berlomba
5. Perhatian mudah teralih
6. Meningkatnya aktivitas/agitasi psikomotor
7. Pikiran menjadi lebih tajam
8. Daya nilai kurang
Tidak ada gambaran psikotik, tidak memerlukan hospitalisasi dan tidak mengganggu
fungsi personal dan social, dan pekerjaan. Seringkali dilupakan pasien, tetapi dikenali
oleh keluarga.
F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala psikotik
(F30.1) dan,
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.
27
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala psikotik
(F30.2) dan,
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, episode kini Depresif Ringan atau Sedang
Pedoman diagnostik
Untuk mendiagnosis pasti :
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
ringan(F32.0) ataupun sedang (F32.1), dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik ataucampuran
di masa lampau.
F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
Untuk mendiagnosis pasti :
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat tanpa
gejala psikotik (F32.2), dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.
F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik
Untuk mendiagnosis pasti :
a. Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3), dan
b. Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atauc
ampuran di masa lampau.
28
F31.7 Gangguan Afektif Bipolar, Kini dalam Remisi
Sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama beberapa bulan terakhir ini,
tetapi pernah mengalami sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau dan ditambah sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif atau campuran).
F31.8 Gangguan Afektif Bipolar Lainnya
F31.9 Gangguan Afektif Bipolar YTT
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan psikotik akibat kondisi medis umum
2. Gangguan psikotik akibat zat
3. Skizofrenia
4. Skizoafektif
5. Depresi
6. Gangguan waham menetap
VI. TERAPI
Gangguan Bipolar merupakan gangguan yang kronik dan siklik, sehingga pengobatan
diperlukan di fase akut, pemeliharaan maupun jangka panjang, untuk :
1. Mengatasi gejala-gejala perilaku yang mengganggu
2. Mengurangi frekuensi siklus
3. Mencegah relaps
Farmakologi
1. Terapi gangguan bipolar, agitasi akut
Injeksi
Lini 1 :
Injeksi IM aripripizol 9,75mg/mL dosisi maksimum 29,25/hari (3x per hari imterval 2jam)
Injeksi IM olanzapine 10mg/injeksi, dosis maksimum 30mg/hari, interval pengulangan
injeksi 2 jam
Lini 2 :
Injeksi IM haloperidol 5mg/injeksi, diulang setelah 30menit, dosis maksimum 15mg/hari
Injeksi IM diazepam 10mg/injeksi, dosisi 20-30mg/hari dapat diberi bersamaan dengan
haloperidol IM (jangan dicampur dalam satu jarum suntik)
29
2. Terapi gangguan bipolar, episode mania akut
Oral
30
Terapi Non Farmakologi
Bagi banyak pasien , farmakoterapi tidak cukup untuk mengurangi gejala sepenuhnya dan
memperbaiki fungsi psikososial. Sehingga diperlukan terapi non farmakologi, yaitu:
1. Psikoedukasi
2. Psikoterapi suportif
3. Psikoterapi interpersonal
4. Terapi kognitif perilaku ( CBT)
VII. EDUKASI
Memberikan informasi : Gejala penyakit, perjalanan penyakit, pengobatan, kepatuhan
berobat, mengenali tanda-tanda kekambuhan, menghindari faktor pencetus, strategi coping,
dan mengatur aktivitas sosial.
VIII. PROGNOSIS
1. Prognosis gangguan bipolar I lebih buruk dibandingkan gangguan depresi mayor. Sekitar
40-50% pasien dengan gangguan bipolar I mengalami kekambuhan dalam 2 tahun setelah
episode pertama.
2. Hanya 50-60% pasien dengan gangguan bipolar I yang dapat diatasi gejalanya dengan
lithium.
3. 7% pasien dengan gangguan bipolar tidak mengalami kekambuhan, 45% pasien
mengalami lebih dari satu episode dan lebih dari 40% menjadi kronik
IX. KEPUSTAKAAN
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis
Edisi Ketujuh Jilid Dua. Jakarta. Binarupa Aksara. 1997.809-816
2. Depkes RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta. Departemen Kesehatan. 1993. 145-156.
3. Maslim, R. 2003. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III. PT Nuh Jaya:
Jakarta
4. Konsensus Nasional Terapi Gangguan Bipolar. Panduan Tatalaksana Gangguan Bipolar
Pokja SPM& Seksi Bipolar PDSKJI. 2010
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
6. Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Gangguan Bipolar bagi Psikiater. 2012
31
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN PANIK
I. Pengertian
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tak
diperkirakan. Serangan panik sendiri adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu
seperti palpitasi dan takipneu.
II. Anamnesis
Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan ancaman
kematian dan kiamat. Pasien biasanya tak dapat menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien
mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian.
V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan indikasi, seperti: hitung darah,
pemeriksaan elektrolit, gula darah, fungsi hati dan EKG
32
terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi).
VII. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dari gangguan panik.:
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
- Sesuai kriteria F41.0
- Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis sesuai kasus pasien
Aksis II
- Sesuai kasus pasien, jika ditemukan
Aksis III
- Sesuai kasus pasien, jika ditemukan
Aksis IV
- Sesuai kasus pasien
Aksis V
- Sesuai kondisi pasien
IX. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gangguan panik bisa digunakan dengan pendekatan terapi somatik
atau terapi obat dan terapi psikososial atau terapi kombinasi keduanya
A. Terapi somatik/terapi psikofarmaka:
a. Trisiklik dan tetrasiklik
Clomipramin dan imipramin efektif untuk pengobatan gangguan panik. Harus dimulai
dengan dosis rendah 10 mg sehari.
b. Inhibitor monoamin oksidase (MAOIs)
Beberapa penilitan menyatakan bahwa MOAIs lebih efektif dibanding trisiklik.
c. Inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRI)
d. Benzodiazepin, terbatas karena ada ketergantungan, gangguan kognitif dan
penyalahgunaan.
B. Terapi Psikososial
a. Terapi kognitif
b. Instruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang serangan
panik.
c. Relaksasi
d. Latihan pernapasan
e. Pemaparan in vivo
f. Memaparkan stimulus yang ditakuti pasien hingga pasien mengalami desensitisasi.
g. Terapi psikososial lain: terapi keluarga, terapi berorientasi-tilikan.
33
X. Kepustakaan
1. Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI : Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
3. Kaplan. I Harold, Sadock. J Benjamin, Grebb. A Jack. Kaplan dan Sadock. Buku Sinopsis
Psikiatri Klinis. Edisi 2. EGC. 2010. Hal 68.
4. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
5. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta
6. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia: Gangguan Somatoform. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta
Barat.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
8. Tomb, D. A. 2004.Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta
34
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH
I. PENGERTIAN
kekhawatiran yang berlebih dan meresap disertai oleh berbagai gejala somatik
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau
penderitaan yang jelas bagi pasien
II. ANAMNESIS
Gejala-gejala nya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk seperti berada di ujung tanduk, sulit
berkonsentrasi, dll)
2. Ketegangan motorik (gelisah, gemetaran, sakit kepala, tidak dapat santai, dsb)
3. Overaktivitas otonomik (terasa ringan, berkeringat, takikardi, takipnea, jantung
berdebar-debar, sesak napas, epigastrik, pusing kepala, mulut kering, dan gangguan
lainnya)
35
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
b. AGD, K, Na, Ca T3, T4, TSH, sesuai indikasi
c. Foto thorak bila ada indikasi
d. EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila ada indikasi
e. Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila curiga organic
VI. PENATALAKSANAAN
1. Psikoterapi:mPsikodinamik/insight,CBT (Cognitif behavioral therapy) dan
suportif.terapi psikodinamikditujukan untuk mengungkapkonflik masa lalu yang
mendasari dan merupakan sumber kecemasan yang sebenarnya.
Program terapi yang dapat dilakukan adalah:
- Cognitif restructuring: mengidentifikasi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan
kecemasan dan menggantinya dengan respons’coping’ yang lebih positif.
- Relaxation training: latihan untuk menurunkan bangkitan fisiologik yang
berlebihan
Nama Obat Dosis (mg/hari) Efek samping
Lini Pertama Escitalopram 10-20 Gangguan sistim
Sertralin 25-50 pencernaan;
Venlafaksin-XR 75-150 mual,muntah,diare,konsti
pasi,dll
Lini Kedua Alprazolam Sedasi,pusing,sakit kepala
Bromazepam
Klobazam
Lorazepam
Buspiron
Buspiron
Imipramin Antikolinergik
Pregabalin Sedasi, somnolens
Lini ketiga Mirtazapin Antihistamin
Adjunctive Peningkatan BB
Olanzapine
Adjunctive Sindrome ekstrapiramidal
Risperidone
Tidak direkomendasikan betabloker (propanolol)
VII. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baikbila mendapat penatalaksanaan yang sesuai. Sekitar
50% pasien mendapat perbaikan dalam tiga minggu pertamapengobatan.sekitar 77%
membaik dalam sembilan bulan pengobatan.
36
VIII. KEPUSTAKAAN
1. American Psychiatry Association. Anxiety Disorder. Diagnosticand Statistical Manual
of Mental Disorders, 4th Ed. Text Revision, DSM-IV-TR. American Psychiatric
Association,2000, hal. 429-455.
2. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.Pedoman
penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwadi Indonesia III. Cetakan Pertama. 1993
3. Maslim, Rusdi. D, SpKJ. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Cetakan Pertama..
Jakarta. 2001.
4. Maslim, Rusdi. Dr, SpKJ. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga., Jakarta.
2007.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
6. Sadock BJ, Sadock JA. General Anxiety Disorder. Dalam: Kaplan & Sadock’s synopsis of
Psyciaty Behavioral Science /Clinical Psiciatry, 10th Ed. Wolters cluwer, Lippincott
Williams & Wilkins, philadelpia 2007, hal 622-626
37
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
GANGGUAN DEPRESI
I. DEFINISI
Episode depresi dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar.
Jika berdiri sendiri disebut gangguan depresi unipolar. Simptom terjadi sekurang-
kurangnya 2 minggu dan terdapat perubahan dari derajat fungsi sebelumnya.
F 32 EPIDOSE DEFRESIF
Gejala lainya :
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. Gagasan atau berbuatan mambahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tiggkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang
kurangnya 2 minggu untuk menegakan diagnosis, akan tetapi lebih pendek dibenarkan
jika gejala luar biasa berat nya dan berlangsung cepet.
Kategori didagnosis episode depresif ringan ( F 32. 0), sedang (f32.1), dan berat( F32.2),
hanya digunakan untuk depsesif tunggal ( yang pertama).episde depresif berikutnya harus
diklasifiaksi dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33).
F32.0 Epeside depresif ringan
Pedoman diagnostik
38
sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gelaja utama depresif seperti tersebut diatas
ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainya : (a)sampai dengan (g).
Tidak boleh ada gelaja yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
Hanya sedikit keluhan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.
39
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek ( mood-
congruent).
40
a. Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-)harus dipenuhi,
dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif sedang (F32.1); dan
b. Sekurang – kurangnya episode telah berlangsung masing- masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan
tanpa gangguan afektif yang bermakna.
41
F 32 EPIDOSE DEFRESIF
Pedoman diagnostik
sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gelaja utama depresif seperti tersebut
diatas
ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainya : (a)sampai dengan (g).
Tidak boleh ada gelaja yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
Hanya sedikit keluhan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan.
Pedoman diagnosis
42
F 32.0 Episode Depresif Ringan
F 32.1 Episode Depresif Sedang
F 32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
F 32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
F 32.8 Episode Depresif Lainnya
F 32.9 Episode Depresif YTT
V. TERAPI
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi yaitu mengakhiri episode depresi saat ini dan mencegah tim
bulnya episode penyakit di masa yang akan datang. Untuk itu dibagi menjadi tiga fase :
Terapi Fase Akut
Dimulai dari keputusan untuk terapi dan berakhir dengan remisi. Skala
penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat membantu
menentukan beratnya penyakit dan perbaikan gejala. Target pengobatan pada
fase akut tercapainya respons atau remisi (lebih baik). Lama terapi pada fase
akut 2-6 minggu.
Indikasi yang pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah:
o Prosedur diagnostic
o Risiko bunuh diri atau pembunuhan
o Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan dan
perlindungan
o Cepatnya perburukan gejala
o Hilangnya system dukungan yang biasa didapatnya
Kombinasi terapi psikososial dan farmakoterapi memberikan hasil yang baik. Untuk
kasus ringan terapi psikososial saja juga memberikan hasil yang baik.
Pedoman memilih medikasi:
o Riwayat respons pengobatan
o Prediksi respons gejala terapi
o Adanya gangguan psikiatri atau medic lain
o Keamanan
o Potensi
43
o Efek samping
Tabel Jenis Obat Antidepresan, Dosis dan Efek Samping
Trisiklik / Tetrasiklik
Amitriptilin 75-300 antikolinergik
Maprotilin 100-225
Imipramine 75-300
Trisiklik
SNRI
Duloksetin 40-60 Mengantuk, kenaikan BB, hipertensi,
venlavaksin 150-375 gangguan saluran cerna
RIMA
Moklobermid 150-300 Pusing, sakit kepala, mulut kering,
berkeringat, mata kabur
NaSSA
Mirtazapine 15-45 Somnolen, mual
SSRE
Tianeptine 12.5-37.5 Somnolen, mual, gangguan
kardiovaskular
Melatonin Agonis
Agomelatin 25-50 Sakit kepala
44
Terapi Psikososial
CBT
Terapi Keluarga
Terapi Lainnya
ECT untuk depresi katatonik,tendensi bunuh diri berulang,refrakter.
Prognosis
Prognosis tiap episode adalah baik, akan tetapi gangguan ini bersifat kronis
sehingga psikiater harus menganjurkan strategi terapi untuk mencegah
kekambuhan dimasa yang akan datang
VI. KEPUSTAKAAN
1. Amir Nurmiati. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. FK UI, 2005
2. Dadang Hawari, Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta : FK UI, 2001
3. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Psiatri Klinis. Jakarta : Binarupa Aksara.
4. Maslim R, editor. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran jiwa/Psikiatri (PNPK JIWA/PSIKIATRI). 2012
45
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
RETARDASI MENTAL
I. DEFINISI
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga mempengaruhi tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. (Depkes RI, 1993)
II. ANAMNESIS
Anamnesis pada retardasi mental biasanya dilakukan pada orang tua atau pun
pengasuh, ditemukan penurunan tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Penting juga anamnesis terhadap
kehamilan ibu dan persalinan, adanya riwayat keluarga dengan retardasi mental, orang tua
dengan perkawinan sedarah, dan gangguan herediter. (Kaplan, 2010)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada retardasi mental dengan tes intelegensia. Biasanya
tes intelegensia di bawah rata-rata normal (IQ di bawah 70). Pemeriksaan penunjang yang
lain dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada.
46
Orang tersebut mungkin memperlihatka hentaya berat dalam satu bidang tertentu (
misalnya budaya), atau mungkin mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang
lebih tinggi (misalnya tugas visuo spasial sederhana) yang berlawanan dengan latar
belakang adanya retardasi mental berat. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada
saat menentukan kategori diagnosis.
2. Penilain tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,
termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar
belakang budanya), dan hasil tes tpsikometrik.
3. Untuk diagnosis yang pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial biasa sehari hari.
4. Gangguan jiwa dan fisik yang menyerta retardasi mental, mempunyai pengaruh besar
pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua ketrampilannya.
5. Penilaian diagnostik adalah terhadap kemampuan umum
F70 RETARDASI MENTAL RINGAN
Pedoman Diagnostik
Bila penggunaan ter IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50 sampai 69
menunjukkan retardasi mental ringan.
Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat,
dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan
kemandirian dapat menetap sampai dewasa.
Walaupun mengalami keterlambatan dalam kemampuan bahasa bahasa tetapi
sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-
hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan
mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walaupun tingkat
perkembangan agak lambat dari pada normal.
Kesulitan autama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat
akademik, dan banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.
Etiologi organic hanya dapatdiidentifikasi padasebagian kecil penderita
Keadaan lain yang menyertai seperti autisme , gangguan perkembangan lain,
epilepsy, gangguan tingkah laku atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam
berbagai proporsi. Bila terdapat gangguan demikian, maka harus diberikan kode
diagnosis tersendiri.
F71 RETARDASI MENTAL SEDANG
Pedoman diagnosis
IQ biasanya didalam rentang 35 sampai 49
Umumnya ada profil kesenjangan (discrepancy) dari kemampuan, beberapa dapat
mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam ketrampilan visuo-spasialdari pada
tugas-tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang lain sangat sangat
canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapn sederhana.
Tingkat perkembangan bahasa bervariasi: ada yang dapat mengikuti percakapan
sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk
kebutuhan dasar mereka.
Suatu etiologi organic dapat diidentifikasi pada kebanyakan penyandang retardasi
mental sedang.
47
Autisme pada anak atau gangguan perkembangan pervasive lainnya erdapat
padasebagian kecil kasus, dan mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis
dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan.
Epilepsy,disabilitas neurologic dan fisik juga lazim ditemukan meskpun
kebanyakan penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa
bantuan. Kadang-kadang didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat
perkembangan bahasanya yang sangat terbatas sehingga sulit menegakkan
diagnosis dan harus tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang
mengenalnya. Setiap gangguan penyerta harus diberi kode diagnosis sendiri.
IX. TERAPI
Terapi yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah terutama
untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki
keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin,
49
flufenazin, fluoksetin kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan
kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat,
amfetamin, asam glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA)
Occupasional therapy (terapi gerak)
Terapi ini diberikan kepada anak retardasi mental untuk melatih gerak fungsional
anggota tubuh (gerak kasar dan halus).
Play therapy (terapi bermain)
Terapi yang diberikan pada anak retardsi mental dengan cara bermain, misalnya
memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama,
bermain jual-beli.
Activity daily Living (ADL) atau kemampuaan merawat diri
Untuk memandirikan anak retardasi mental, mereka harus diberikan pengetahuan
dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat
merawat diri sendiri tanpa bantuan rng lain dan tidak tergantung kepada orang lain.
50
XII. KEPUSTAKAAN
1. Sadock BJ, Sadock VA. Mental Retardation in Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry, Lippincott & William, London. p:1161-79
2. Maramis WF. Retardasi Mental dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga
University Press, Surabaya, 1994. Hal: 385-402
3. Maslim R. Retardasi Mental.dalam Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa-Rujukan
Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta. Hal.119-21
51
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
GANGGUAN SOMATOFORM
I. DEFINISI/PENGERTIAN
Istilah somatoform berasal dari bahasa yunani soma artinya tubuh; dan gangguan
somatoform dapat diartikan sebagai suatu kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan somatoform
yaitu suatu kelompok yang memiliki gejala fisik dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing.
II. ANAMNESIS
Anamnesis gangguan somatoform yaitu adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali
terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan
kelainan yang menjadi dasar keluhannya.
Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan
antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya,
bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada gangguan somatoform yang bias dilakukan yaitu : CT, MRI
kepala, SPECT, pungsi lumbal, EEG, tes neuropsikologis tetapi hasilnya normal/negative. Juga
sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar
keluhannya. V
52
F45.0 Gangguan Somatisasi
Pedoman Diagnostik
Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
(a) adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun;
(b) tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
(c) t e r d a p a t d i s a b i l i t a s d a l a m f u n g s i n y a d i m a s y a r a k a t d a n
k e l u a r g a , y a n g berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari
perilakunya.
53
Karakter kelima: F45.30 = Jantung dan sistem kardiovaskuler
F45.31 = Saluran pencernaan bagian atas
F45.32 = Saluran pencernaan bagian bawah
F45.33 = Sistem pernapasan
F45.34 = Sistem genito-urinaria
F45.38 = Sistem atau organ lainnya
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dari gangguan somatoform1.:
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
-Gangguan Klinis
-Kondisi Lain Yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis
Aksis II
-Gangguan Kepribadian
-Retardasi Mental
54
Aksis III
-Kondisi Medik Umum
Aksis IV
-Masalah Psikososial dan Lingkungan
Aksis V
-Penilaian Fungsi Secara Global
b. Gangguan hipokondriasis
Hipokondriasi harus dibedakan dari kondisi medis nonpsikiatrik, khususnya gangguan
yang tidak mudah didiagnosis. Penyakit-penyakit itu adalah AIDS, endokrinopati,
miastenia gravis, sklerosis multipel, penyakit degeneratif pada sistem saraf, lupus
eritematosus sistemik, dan gangguan neoplastik yang tidak jelas. Perlu dibedakan pula
dengan gangguan konversi dimana gangguan konversi biasanya akut dan melibatkan
satu gejala.3
c. Gangguan nyeri
Pasien hipokondrial mungkin mengeluh nyeri, dan aspek presentasi klinis dari
hipokondriasis, seperti preokupasi tubuh dan keyakinan akan penyakit, dapat juga
ditemukan pada pasien dengan gangguan nyeri. Tetapi, pasien hipokondriakal
cenderung memiliki lebih banyak gejala dibandingkan pasien pasien dengan gangguan
nyeri. Kemudian pada gangguan konversi biasanya terjadi singkat, sedangkan
gangguan nyeri adalah kronis.
d. Gangguan konversi
Gangguan neurologis (seperti demensia, dan penyakit degeneratif lainnya), tumor
otak, dan penyakit ganglia basalis harus dipertambangkan di dalam diagnosis banding.
Gejala sensorimotorik juga terjadi pada gangguan somatisasi.3
IX. TERAPI/PENANGANAN
Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan somatoform adalah
sebagai berikut2,6,7:
A. Terapi Psikososial, bisa diberikan sebagai berikut:
55
1. Kognitif-Behavioral
Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement
sekunder (keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping
untuk mengatasi stres, dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi
mengenai kesehatan atau penampilan seseorang.
Untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral,
terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform,
membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan
cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang
terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk
mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.
X. EDUKASI
Dokter yang menangani harus memulai memberikan dorongan, semangat dan motivasi
agar pasien tidak menjadi depresi. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien perihal
kondisi pasien agar keluarga pasien dapat membantu menciptakan suasana keluarga yang
teraupetik. Diharapkan pasien mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial
sekitarnya sehingga tidak membuat keluarga merasa tidak nyaman akan kehadiran pasien.
Pasien diupayakan untuk dapat lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan
keluarga dan sekitar rumah.
XI. PROGNOSIS
a. Gangguan somatisasi
Gangguan somatisasi adalah suatu gangguan yang kronis dan sering menyebabkan ketidak
mampuan. Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stres atau stres baru
dan eksaserbasi gejala somatik.
b. Gangguan hipokondriasis
Prognosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi tinggi, onset gejala yang tiba-
tiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medik non psikiatri
yang menyertai.
56
c. Gangguan nyeri
Prognosisnya bervariasi, walaupun gangguan nyeri seringkali dapat kronis, menakutkan,
dan sangat menimbulkan ketidakberdayaan. Pasien dengan prognosis terburuk, dengan
atau tanpa pengobatan, memiliki masalah karakterologi sebelumnya, khusunya pasivitas
yang menonjol; terlibat dalam kewajiban atau mendapatkan kompensasi finansial;
menggunakan zat adiktif; dan memiliki riwayat nyeri yang lama.
d. Gangguan konversi
Sebagian besar pasien, kemungkinan 90-100 persen dengan gangguan konversi
mengalami pemulihan gejala pertamanya dalam beberapa hari atau kurang dari satu
bulan. Semakin lama terdapat gejala konversi, semakin buruk prognosisnya.
e. Gangguan dismorfik tubuh
Onset gangguan dismorfikb tubuh biasanya bertahap. Tingkat keprihatinan tentang
masalah mungkin hilang timbul dengan berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik
tubuh biasanya merupakan suatu gangguan kronis jika dibiarkan tidak diobati.
XII. KEPUSTAKAAN
1. Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI : Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
3. Kaplan. I Harold, Sadock. J Benjamin, Grebb. A Jack. Kaplan dan Sadock. Buku Sinopsis
Psikiatri Klinis. Edisi 2. EGC. 2010. Hal 68.
4. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
5. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta
6. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia: Gangguan Somatoform. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta
Barat.
7. Tomb, D. A. 2004.Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta
57
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
PSIKOTIK AKUT
I. DEFINISI
Psikotik akut adalah suatu perubahan dari keadaan tanpa gejala psikotik ke
keadaan psikosik yang jelas abnormal ( gangguan daya nilai realita dan gejala-gejala
positif serta penurunan fungsi global) dalam periode 2 minggu atau kurang, durasinya
belum di ketahui berapa lama akan berlangsung, biasanya kurang 1 bulan.
II. ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan sekurang-kurangnya satu (1) gejala psikotik dengan onset
mendadak.. Gejala karakteristik adalah perubahan pikiran, emosional, dan prilaku yang
aneh dan tidak wajar.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang tidak ada yang khusus, dilakukan sesuai dengan kondisi
fisik dan sesuai indikasi.
58
Bentuk-bantuk psikosis akut (PPDGJ III)
1. F 23.0 Gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia
a. Onset harus akut (dari suatu keadaan nonpsikotik sampai keadaan
psikotik yang jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang);
b. Harus ada beberapa jenis halusinasi atau waham yang berubah dalam jenis
dan intensitasnya dari hari ke hari atau dalam hari yang sama.
c. Harus ada keadaan emosional yang sama beranekaragamnya;
d. Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala itu ada
secara cukup konsisten dapat memenuhi kriteria skizofrenia atau episode
manik atau episode depresif.
2. F 23.1 Gangguan psikotik polimorfik akut dengan gejala skizofrenia
a. Memenuhi kriteria (a), (b), dan (c) yang khas untuk gangguan psikotik
polimorfik akut;
b. Disertai gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
yang harus sudah ada untuk sebagian besar waktu sejak munculnya
gambaran klinis psikotik itu secara jelas;
c. Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk lebih dari 1 bulan maka
diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia.
3. F 23.2 Gangguan psikotik lir-skizofrenia (schizophrenia-like akut)
a. Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari nonpsikosis
psikosis);
b. Memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi lamanya kurang dari 1 bulan;
c. Tidak memenuhi kriteria psikosis polimorfik akut.
4. F 23.3 Gangguan psikotik akut lainnya dengan predominan waham
a. Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari nonpsikosis
psikosis);
b. Waham dan halusinasi;
c. Baik kriteria skizofrenia maupun gangguan psikotik polimorfikakut tidak
terpenuhi.
5. F 23.8 Gangguan psikotik akut dan sementara lainnya
Gangguan psikotik akut lain yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kategori
manapun.
6. F 23.9 Gangguan psikotik akut dan sementara YTT
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis menggunakan diagnosis multiaksial
Aksis I
F23 Gangguan Psikotik Akut dan Sementara
Aksis II sesuai kasus pasien
Gangguan Kepribadian
Retardasi Mental
Aksis III sesuai kasus pasien
Kondisi Medik Umum
Aksis IV sesuai kasus pasien
Masalah Psikososial dan Lingkungan
59
Aksis V
Penilaian Fungsi Secara Global
IX. TERAPI
Terapi diberikan pendekatan sebagi berikut:
1. Penatalaksanaan Non medikamentosa atau terapi psikososial
2. Penatalaksanaan medis
1. Penatalaksanaan Medis
a. Obat antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik :
Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau Chlorpromazine 100-200 mg, 1
sampai 3 kali sehari. Dosis diberikan serendah mungkin untuk mengurangi efek
samping, beberapa pasien mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi.
b. Obat antiansietas juga bisa diberikan untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya:
lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari)
c. Obat antipsikotik diberikan selama sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah gejala
hilang.
d. Apabila didapatkan ganggua atau gejala sebagai berikut dilakukan kolaborasi
dengan tim untuk mengatasinya.
Kekakuan otot (Distonia atau spasme akut), diberikan suntikan
benzodiazepine atau obat antiparkinson.
Kegelisahan motorik berat (Akatisia), ditanggulangi dengan pengurangan
dosis terapi atau pemberian beta-bloker.
Gejala parkinson (tremor/gemetar, akinesia), ditanggulangi dengan obat
antiparkinson oral (misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari).
Add : ECT dilakukan sesuai kondisi dan indikasi, misalnya penggunaan terapi
obat sulit diberikan atau tidak berespon.
X. EDUKASI
Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya, hal yang dapat dilakukan yaitu:
a. Keluarga atau teman harus mendampingi pasien
b. Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan
kebersihan)
c. Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera
Konseling pasien dan keluarga.
a. Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan
psikiatrik antara lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam
pengobatan pasien
b. Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan kontak dengan
stressor
60
c. Motivasi pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala membaik
XI. PROGNOSIS
Gangguan psikotik akut biasanya prognosisnya baik biasanya dalam waktu 1-3 bulan dapat
terjadi remisi sempurna dan hanya sebagian kecil yang berkembang menetap menjadi
gangguan lain.
Ciri prognosis yang baik untuk gangguan psikotik singkat
a. Penyesuaian premorbid yang baik
b. Sedikit trait schizoid pramorbid
c. Stressor pencetus yang berat
d. Onset gejala mendadak
e. Gejala afektif
f. Konfusi selama psikosis
g. Sedikit penumpulan afektif
h. Gejala singkat
i. Tidak ada saudara yang skizofrenik
XII. KEPUSTAKAAN
a. Kaplan, HI dan Sadock, BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
Jilid satu. Binapura Aksara Publisher. Jakarta; 2010
b. Ingram, dkk. 1993. Catatan Klinik Psikiatri. Jakarta: EGC
c. Katona, Cornelius Dn Robertson Mary. 2005. Psychiatry at a Glance. 3 th edition.
London: Blackwall Publishing
d. Muslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta; Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2003
61
DISCLAIMER
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PSIKIATRI
Dokumen tertulis PPK Psikiatri serta perangkat implementasinya ini disertai dengan
disclaimer (wewanti/penyangkalan) untuk :
1. Menghindari kesalah-pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang
dimaknai harus melakukan sesuatu tanpa kecuali
2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai
orang yang dipercaya pasien
62
PENUTUP
Dengan telah tersusunnya Panduan Praktik Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar Prosedur
Operasional bagi dokter spesialis Psikiatri yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dan
fasilitas pelayanan kesehatan di RSI Sultan Agung.
Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien , bermutu dan
merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai. Semoga bermanfaat.
63