Seorang anak N , perempuan , usia 12 tahun dibawa ayahnya ke IGD RS Raden Mattaher
dengan keluhan muntah-muntah sejak 2 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengkonsumsi
udang dan kerang yang dibelikan ayahnya. Setelah mengkonsumsi makanan tersebut pasien
tiba-tiba merasa pusing dan lemas kemudian muntah-muntah. Timbul kemerahan dan bentol
di wajah dan badan. Pasien segera dilarikan ke RS oleh ayahnya.
Pemeriksaan fisik : Keadaan umum : tampak gelisah , teragitasi. Tanda vital : frekuensi nadi
130x / menit, frekuensi napas 36x / menit, suhu 37,5o C , tekanan darah 90/70 mmHg.
Kepala dan wajah : mesosefal, pembengkakan jaringan di sekitar kelopak mata dan bibir .
Thorax : jantung : bunyi jantung I-II normal, bising (-) , gallop (-). Paru : vesikuler , ronkhy
(-) , mengi (-). Abdomen : supel, bising usus meningkat, tidak teraba massa, turgor kembali
lambat. Ekstremitas : akral dingin , erupsi kulit berbatas tegas , kemerahan
Pemeriksaan tambahan:
1. Teragitasi : gelisah1
2. Mesosefal : suatu ukuran kepala dalam batas ukuran yang normal atau
simetris1
3. Turgor : keadaan yang menyebabkan non elastis (turgid)1
4. Supel : tidak ada kelainan atau normal1
5. Gallop : irama jantung dimana terdengar S3 atau S4 secara jelas pada
fase dyastolik1
6. Erupsi : suatu lesi pada kulit akibat pengikisan karena penyakit
tertentu.1
IDENTIFIKASI MASALAH
4. Apa hubungan makanan yang dimakan dengan keluhan yang dialami pasien?
Jawab :
Pada kasus, An. N mengalami reaksi alergi akibat makanan yang dia makan.
Kerang yang dia makan mengandung protein yang menginduksi pelepasan
histamin dan leukotrien pada sel mast dan basofil. Histamin tersebut
menyebabkan beberapa respon dalam tubuh An. N.
a. BB : 35 kg
b. TB : 135 cm
c. Darah rutin
f. Urin rutin
b. Etiologi alergi
1. Genetik
2. Reaksi hipersensitivitas
a) Reaksi tipe I
b) Reaksi tipe II
c) Reaksi tipe III
d) Reaksi tipe IV
1. Fase Sensitisasi
2. Fase Aktivasi
3. Fase Efektor
Terapi yang dilakukan pertama kali kepada pasien ini adalah terapi
keluhan utamanya misalkan di keluhkan sesak nafas bisa kita berikan oksigen,
kemudian setelah itu bisa di berikan terapi farmakologi seperti epinefrin untuk
syok anafilaktik. Untuk reaksi alergi ringan bisa di berikan antihistamin4,5
a. BB : 35 kg
b. TB : 135 cm
c. Darah rutin
Deskripsi:
1) Metode Westergreen:
Laki-laki : 0 - 15 mm/jam
Perempuan : 0 - 20 mm/jam
2) Metode Wintrobe :
Laki-laki : 0 - 9 mm/jam
Perempuan 0 - 15 mm/jam
f. Urin rutin
1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema
generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2. Sedang (melibatkan system respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti :
sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak
enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis
(SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan
kesadaran dan inkontinensia. Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai
reaksi hipersensitifitas akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat
merupakan gambaran klinis anafilaksis.
b. Etiologi alergi9
1) Genetik
a) Jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi : 40%-60%
b) Jika kedua orang tua memiliki manifestasi sama : 60%-80%
c) Jika saudara kandung memiliki riwayat alergi : 25%-30
d) Jika salah satu orang tua memiliki riwayat alergi : 20%-30%
e) Jika orang tua tidak memiliki riwayat alergi : 5%-15%
2) Reaksi hipersensitivitas
a. Reaksi tipe I
IgE sendiri akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel mast,
basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang
sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang berada di
permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel mast.
Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang
akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin,
mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari
metabolisme asam arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi
tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala
yang segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma bronkial,
rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat
adanya endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh
darah. Antibodi yang berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM.
Kompleks tersebut akan mengaktifkan komplemen yang kemudian
melepaskan berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor.
Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut nantinya akan merusak
jaringan sekitar. Antigen sendiri dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten seperti malaria, bahan yang terhirup seperti spora jamur, atau
bahkan dari jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun.
d. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen,
sehingga disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi
ini dibagi menjadi delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi
melalui peran CD4+dan T cell mediated cytolysis dengan peran
CD8+Pada DTH, sel CD4+Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan
sebagai sel efektor. Sel tersebut melepas sitokin interferon gamma yang
nantinya akan mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi.
Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk makrofag
yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet,
oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi
tuberkulin, dermatitis kontak, dan reaksi granuloma.
Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons
imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut :
Fase Sensitisasi
Fase Aktivasi
Fase ini adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang
disebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien
(LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang
disebut Newly formed mediators.
Fase Efektor
Fase ini adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
yang dihasilkan menyebabkan
Terapi
Sistem Pernapasan
Sistem Kardiovaskular
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid
(NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberi kan
cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid
ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh
darah atau yang terkumpul di jaringan sp langnikus, tetapi juga dapat menarik
cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP
ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan
pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor
dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cai ran, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intrave na.
Dengan cara melarutkan 1 ml epineprin 1: 1000 dalam 250 ml dektrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 -4 mg/menit atau 15 - 60
mikrodrip/ menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang
berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotra
keal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotra keal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000). Tindakan di
atas kemudian dikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang
cepat.
Gejala anafilaksis
Pertimbangkan :
Intervensi segera
- Posisi
Penilaian airway, breathing, - Jalan napas
circulation, mentation - Oksigen
- Cairan i.v.
Epinephrine segera
Pertimbangkan :
Komplikasi
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamus Saku Kedokteran. Dorland. Edisi 29. Elsevier
2. Suraatmaja, Sudaryat. 2010. Gastroenterology anak. Jakarta : Sagung Seto
3. Abdullah, Murdani. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakiy Dalam. Jakarta : EGC
4. Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
5. Sudoyo, Aru W, Dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014.
6. Akib, Arwin AP, dkk. 2010. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Jakarta :
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Panduan Interpretasi Data Klinik.
Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
8. 3. Gandasoebrata R. 2009. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian Rakyat. hal.
11-42.
9. Karnen garna, iris renggang. 2016. Imunologi Dasar.Jakarta : Fakultas Kedokter
Universitas Indonesia
10. Santoso, Dicky. Patomekanisme muntah : muntah pada anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung. Bandung.2011.
11. Mahan, L.K., Stump, S.E., Raymond J.L. Krause’s Food & The Nutrition Care
Process,. Thirteenth Edition. 2012
12. Estelleet.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis.
2011;4:13-37.
13. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of
The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.
14. Food intolerance - Early childhood services. Australia: Healthy Eating Advisory
Service,2016.Dapat di akses https ://heas.health.vic.gov.au/sites/default/files/E
Csfood % 20 intolerance.pdf
15. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley,
Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.
16. Subani W. 1978. Perikanan Udang Barong (spiny lobster) dan Prospek Masa
Depannya. Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang 15-18 Maret 1977. Lembaga
Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian Pengembangan Perikanan, Jakarta. Hal
39–53
17. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI;
2009.hal.459-92.
18. Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442-1445
19. Rengganis I, Sundaru H, 2009, RenjatanAnafilaktik, Buku Ajar IlmuPenyakitDalam,
Interna Publishing, Jakarta