Anda di halaman 1dari 4

Editorial

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011


Penggunaan Obat yang Rasional
Zunilda Dj Sadikin
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
145
Tanggal 7 April yang lalu adalah hari kesehatan sedunia
yang tahun ini bertema Antibiotic Resistance. Tema ini
dengan sengaja diperkaya di Indonesia sehingga hari
kesehatan sedunia ini dirayakan di Jakarta dalam bentuk semi-
nar sehari bertema Antimicrobial Resistance - Containment
and Prevention. Menteri Kesehatan, setelah membuka semi-
nar itu, menyerahkan buku Pedoman Penggunaan
Antibiotik yang baru saja rampung disusun oleh tim yang
dipimpin oleh Prof. DR. dr. Iwan Dwiprahasto, guru besar
Farmakologi UGM. Sementara seminarnya sendiri diawali
dengan sajian ilmiah utama oleh Prof. DR. dr. Rianto
Setiabudy, SpFK, guru besar Farmakologi UI. Apa yang
disajikan oleh Prof. Rianto dan para pembicara berikutnya
sungguh merisaukan: tanpa terasa kita telah menggali lubang
yang akan menjerumuskan kita sendiri dengan menggunakan
antibiotik secara tidak rasional. Lubang tempat kita terjerumus
itu bernama Post-antibiotic era, yaitu masa ketika keba-
nyakan mikroba penyebab infeksi telah resisten terhadap
hampir semua antibiotik yang tersedia.
1
Pada kenyataannya antibiotik (AB) adalah obat yang
sangat dikenal, bukan hanya oleh kalangan medis, tetapi
juga oleh masyarakat. Sayangnya, hampir semuanya
mengenal AB secara salah, dan ini terbukti dalam kenyataan
bahwa AB merupakan obat yang paling banyak digunakan
secara salah (misused). Masalah inappropriate use of AB
merupakan masalah irrational prescribing yang paling besar
di dunia, dari dahulu sampai sekarang, di rumah sakit maupun
di komunitas.
2,3
Tak mengherankan kalau salah satu indikator
penggunaan obat yang tidak rasional di suatu sarana
pelayanan kesehatan adalah angka penggunaan AB.
4
Penggunaan Obat yang Tidak Rasional: Apa dan Mengapa
Istilah irrational prescribing mestinya diperkenalkan
kepada mahasiswa kedokteran karena, tentu saja, mereka
kelak adalah pihak yang akan menuliskan resep obat, dan
melalui resep dokter itu pula masyarakat belajar meng-
gunakan obat, termasuk yang tidak rasional. Dulu di masa
pendidikan konvensional istilah ini diperkenalkan kepada
mahasiswa dalam mata ajaran Farmakologi sambil sedikit
digambarkan betapa peliknya masalah irrational prescrib-
ing.
5
Kini, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
harus ada cara yang membuat calon dokter siap menghadapi
masalah ini kelak dalam karirnya. Tampaknya tidak banyak di
antara kita yang menaruh perhatian pada masalah ini.
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan
obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam
jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya
yang terendah.
6
Bila pasien menerima obat atau menggunakan
obat TIDAK sebagaimana dinyatakan dalam definisi di atas,
itulah pengobatan yang tidak rasional. Dari sisi obatnya,
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011 146
Penggunaan Obat yang Rasional
dikenal istilah misuse yang berbeda dengan abuse
(penyalahgunaan obat, menyangkut psikotropika dan
narkotik). Ada pengertian yang berbeda untuk drug misuse
di negara barat yang menggunakan istilah itu untuk
pengertian yang sama dengan apa yang kita maksud dengan
abuse, karena istilah drug bagi mereka adalah psikotropika
dan narkotika.
7
Dalam konteks tulisan ini kita memusatkan
bahasan pada misuse dalam pengertian kita, yaitu peng-
gunaan obat yang tidak bijak.
Irrational prescribing dapat kita lihat dalam bentuk
pemberian dosis yang berlebihan (overprescribing) atau
tidak memadai (underprescribing), penggunaan banyak jenis
obat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi),
menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada yang lebih
aman, penggunaan AB untuk infeksi virus, menggunakan
injeksi padahal dapat digunakan sediaan oralnya, memberikan
beberapa obat yang berinteraksi, menggunakan obat tanda
dasar.
6,8
Bentuk lain irrational prescribing adalah extrava-
gant prescribing, kebiasaan meresepkan obat mahal padahal
tersedia obat yang sama efektifnya dan lebih murah, baik
dalam kelompok yang sama atau berbeda kelompok. Contoh
penggunaan obat yang tidak bijak dan sangat merusak adalah
penggunaan kuinolon dan sefalosporin generasi 3 untuk
mengatasi ISPA di komunitas, padahal semua sepakat bahwa
penyebab ISPA umumnya adalah virus. Di RS, AB profilaksis
digunakan berlama-lama,
9
padahal bukti ilmiah menunjukkan
bahwa AB profilaksis cukup diberikan perioperatif. Itulah
salah satu bentuk overprescribing.
Penggunaan berlebihan ini terjadi juga untuk obat yang
dijual bebas semacam obat flu kombinasi. Sebuah situs
kedokteran bagi masyarakat awam di AS, www.doctor.oz.com,
menyatakan bahwa obat OTC (over the counter) yang pal-
ing banyak digunakan secara salah, berturut-turut, adalah
NSAID, antihitamin, PPI (proton pump inhibitor), para-
setamol, dan obat flu. Dampak penggunaan berlebihan ini
pun tampak di sana: NSAID merupakan penyebab kedua
gangguan lambung, PPI menyebabkan ketergantungan
karena obat ini memang menimbulkan rebound phenomene,
sedangkan parasetamol ternyata merupakan penyebab acute
liver disease.
10
Underprescribing antara lain terjadi karena dokter
khawatir akan efek samping obat tanpa mempertimbangkan
manfaat obat, misalnya trombolisis pada pasien usia lanjut.
Pengobatan yang tidak memadai juga tampak pada
penggunaan morfin untuk penderita kanker lanjut karena
dokter underestimate terhadap persepsi nyeri pasien.
11
Banyak faktor yang berperanan menyebabkan irratio-
nal prescribing, faktor ini dapat dibedakan dalam 5
komponen yaitu unsur instrinsik sang dokter, unsur kelompok
kerja dokter, unsur tempat kerja dokter, unsur informasi yang
diterima dokter, dan unsur sosial budaya masyarakat.
12
Intriksik faktor mencakup pengetahuan dokter tentang pasien,
penyakitnya, dan obat yang akan diresepkannya. Dalam hal
AB, misalnya, pengetahuan tentang kuman yang paling
mungkin sebagai penyebab infeksi yang dihadapi sangat
penting untuk menghindari pilihan yang salah. Pendekatan
ini dikenal sebagai educated guess. Kemudian, pengetahuan
tentang AB-nya sendiri untuk menghindari penggunaan
dalam dosis, interval, dan durasi yang tidak tepat. Ini
dipengaruhi oleh perolehan ilmu kedokteran termasuk ilmu

Pilihan
Terapi
Informasi
Ilmiah
Pengetahuan
Sebelumnya
Kebiasaan
Faktor
Sosial dan
Budaya
Fakta
Ekonomi dan
Hukum
Otoritas
dan
Pengawasa
Hubungan
dengan
Sejawat
Infrastruktur
Beban Kerja
dan SDM
Pengaruh
Industri Obat
Gambar 1. Berbagai Faktor yang Menentukan Keputusan Dokter dalam Meresepkan Obat
(Diambil dari: WHO-SEARO Technical Publication Series. The role of education in the rational use of medicine.
New Delhi: 2007 dengan modifikasi).
Intrinsik
Kemasyarakatan
Informasi
Tempat Kerja
Kelompok Kerja
n
Penggunaan Obat yang Rasional
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011 147
terapeutik yang diterima sang dokter di masa pendi-
dikannya.
13
Salah satu faktor yang menentukan keputusan dokter
memberikan obat (lihat Gambar 1.) adalah informasi obat yang
diperoleh dokter dalam masa karirnya yang, jujur saja,
umumnya disediakan oleh pihak industri. Banyak bukti
anekdot yang menunjukkan bahwa pola penggunaan obat
berubah sesuai dengan aktivitas promosi obat. Hal serupa
terjadi juga di masyarakat untuk obat nonresep. Penggunaan
yang tidak bijak atas siproheptadin sebagai obat perangsang
nafsu makan pada anak, dan PPI untuk keluhan dispepsia
merupakan contoh yang baik tentang peranan berbagai
faktor tersebut. Dibandingkan plasebo siproheptadin
memang memperlihatkan efektivitas dalam mengatasi
anoreksia nervosa,
14
tetapi tidak pernah ada bukti ilmiah
manfaatnya untuk meningkatkan nafsu makan pada anak
yang sehat sehingga indikasi tersebut tidak pernah ada untuk
obat tersebut. Selain itu, dengan tersedianya multivitamin
yang dikombinasi dengan siproheptadin tersebut, ditambah
pula dengan kesan seolah-olah obat ini tak ada efek sam-
pingnya, terjadilah misuse itu. Ini menunjukkan pentingnya
peranan badan POM.
Penggunaan PPI punya riwayat serupa: obat ini
sebenarnya diterima oleh FDA dan Badan POM untuk
digunakan pada tukak peptik yang berkomplikasi karena
kekuatannya menekan sekresi asam lambung puluhan kali
lebih kuat daripada antihistamin H2. Obat ini juga dibutuhkan
untuk gastroesophagus reflux disease (GERD) dan sindrom
Zollinger Ellison. Namun, penegakan diagnosis semua
keadaan itu memang membutuhkan banyak usaha dan biaya
sehingga biasanya dokter potong kompas (ini contoh faktor
habit) dengan meresepkan PPI, sering dengan mengabaikan
bahwa penggunaannya hanya boleh paling lama 4 minggu.
Dipasarkannya PPI sebagai OTC pada dasarnya bertujuan
menolong sebagian pasien yang akan memerlukannya untuk
jangka panjang, tetapi gencarnya promosi telah mendorong
overprescribing PPI untuk sekedar dispepsia fungsional.
Penggunaan Obat yang Tidak Rasional: Dampaknya
Dampak buruk penggunaan AB yang berlebihan sudah
dikemukakan di awal tulisan ini, tetapi selain mengubah
ekologi kuman dan menimbulkan seleksi kuman resisten,
penggunaan AB yang tidak bijak juga menimbulkan masalah
infeksi nosokomial khususnya oleh kuman yang resisten
terhadap beberapa AB sekaligus.
3
Konsekuensi logis
berikutnya adalah meningkatnya morbiditas dan mortalitas
yang diikuti dengan meningkatnya lama dan biaya rawat.
Dampak penggunaan yang tidak rasional atas obat lainnya
selain meningkatnya kejadian efek samping dan interaksi
obat, tentu merupakan pemborosan.
8,11
Penggunaan Obat: Tantangan Bagi Profesionalisme
Obat, ibarat pistol bagi seorang prajurit, merupakan
salah satu senjata bagi dokter dalam memerangi penyakit.
Tetapi tanpa disadari, dokter telah mengajari masyarakat
menggunakan senjata secara tidak bijak. Sekarang ini, ada
budaya dalam interaksi dokter-pasien yang berperanan
menimbulkan penggunaan obat yang tidak rasional. Baik
dokter maupun pasien memandang bahwa memberikan resep
obat dipandang sebagai (1) bukti bahwa diagnosis telah
ditegakkan, (2) cara untuk menutup sesi konsultasi, dan (3)
sarana untuk memperpanjang interaksi dokter-pasien. Dokter
merasa tidak nyaman kalau perpisahan dengan pasien tidak
disertai dengan pemberian resep obat, sebaliknya ada
kecenderungan pada pasien untuk memanfaatkan fasilitas
kesehatan karena ia menggunakan sistem pembiayaan
prabayar. Keduanya telah mendorong overprescribing.
Dalam sistem asuransi yang belum sempurna, direct-to-con-
sumer advertising

memperparah keadaan.
15
Semua ini merupakan tantangan bagi profesionalisme
dokter. Kemauan mengubah kebiasaan potong kompas,
kesediaan berkomunikasi lebih baik, kerelaan menyediakan
lebih banyak waktu untuk setiap pasien merupakan contoh
dari komponen profesialisme yang dapat memperbaiki kondisi
peresepan ini. Apa yang dilakukan oleh MKI dengan rubrik
CPD dan dengan menampilkan artikel penelitian yang bermutu
dimaksudkan untuk memperbaiki komponen informasi dengan
memberikan penyegar pengetahuan bagi dokter pada
umumnya serta informasi yang objektif agar ia dapat
menggunakan obat dengan dasar yang benar.
Daftar Pustaka
1. Alanis AJ. Resistance to antibiotics: Are we in the post-antibiotic
era?. Arch Med Res. 2005;36:697-705.
2. Kunin CM, Tupasi TT, Craig WA. Use of antibiotics: a brief
exposition of the problem and some tentative solutions. Ann
Intern Med. 1973;79:555-60.
3. MacDaugall C, Polk RE. Antimicrobial stewardship programs in
health care system. Clin Microbiol Rev. 2005;18(4):638-56.
4. Hardon A, Brudon-Jakobowicz, Reeler A. How to investigate use
of drug use in the community. WHO Drug Action Programme on
Essential Drugs, Geneve, 1992.
5. Departemen Farmakologi FKUI. Penuntun Diskusi Masalah Obat
dan Pengobatan. Tahun 2004.
6. World Health Organization. WHO Policy Perspectives on Medi-
cines. Promoting rational use of medicines: core components.
Geneva: 2002.
7. Barrett SP, Meisner JR, Stewart SH. What Constitutes Prescrip-
tion Drug Misuse? Problems and Pitfalls of Current Concep-
tualizations. Curr Drug Abuse Rev. 2008;1:255-62.
8. Nierenberg DW, Melmon K. Introduction to clinical pharmaco-
logy. In: Carruthers SE, Hoffman BB, Melman KL, Nierenberg
DW (eds). Melmon and Morrellis Clinical Pharmacology. 4
th
ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2000.p.275-88.
9. Sadikin ZD, Rudyanto S, Rosa Y. Monitoring and quality assu-
rance of Antibiotic USAGE in ICU RSCM. Presented in 6
th
Na-
tional Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch.
July 2010.
10. http://www.doctoroz.com/videos/most-misused-over-counter-
drugs diunduh 27 April 2011.
11. Vestal RE, Gurwitz JH. Geriatric Pharmacology. In: Carruthers
SE, Hoffman BB, Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon
and Morrellis Clinical Pharmacology. 4
th
ed. New York: McGraw-
Hill Medical; 2000:1151-77.
Penggunaan Obat yang Rasional
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011 148
12. WHO-SEARO Technical Publication Series. The role of educa-
tion in the rational use of medicine. New Delhi: 2007.
13. Guide to good prescribing. Diunduh dari http://libdoc.who.int/hq/
1994/WHO DAP 94.11.pdf
14. Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists Clinical
Practice. Guidelines Team for Anorexia Nervosa. Australian and
New Zealand clinical practice guidelines for the treatment of
anorexia nervosa. Aust New Zea J Psy. 2004;38:659-70.
15. Avorn J, Solomon DH. Cultural and economic factors that
(mis)shape antibiotic use: the nonpharmacologic basis of thera-
peutics. Ann Intern Med. 2000;133:128-35.
MS

Anda mungkin juga menyukai