Anda di halaman 1dari 89

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
pekerjaan kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi. Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi
standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, serta pelayanan farmasi klinik. Pelayanan kefarmasian tersebut harus
dilakukan dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien dan terjangkau bagi seluruh masyarakat (Kemenkes
RI, 2016).
Pelayanan kefarmasian pada era globalisasi ini telah bergeser
orientasinya dari obat ke pasien (patient oriented). Kegiatan pelayanan
kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai
komoditi menjadi pelayanan komperhensif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Konsekuensi perubahan orientasi tersebut
terjadi terutama pada bidang klinik dan komunitas, tenaga kefarmasian
dituntut untuk meningkatkan profesionalisme yang meliputi pengetahuan,
keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian
(Kemenkes RI, 2009).

Pendidikan dan pelatihan sejak dini bagi mahasiswa farmasi melalui


Praktek Belajar Lapangan (PBL) merupakan salah satu upaya agar kelak
mahasiswa Farmasi dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik.
Sebagai calon apoteker, mahasiswa perlu memahami dan mengenal bagaimana
peranan apoteker di apotek, sehingga memperoleh gambaran mengenai
praktek farmasi klinik dan komunitas yang ada di lapangan. Praktek Belajar
Lapangan (PBL) ini dilakukan di Apotek Karya Sehat yang dilaksanakan
tanggal 29 Januari-10 Februari 2018.
2

B. Tujuan
a. Meningkatkan penetahuan dan skills mahasiswa sebagai calon tenaga
teknis kefarmasian khususnya di bidang farmasi klinik dan komunitas.
b. Meningkatkan kemampuan problem solving mahasiswa dalam masalah-
masalah yang terjadi dalam praktek farmasi klinik dan komunitas.

c. Meningkatkan interaksi mahasiswa dengan praktisi farmasi klinik dan


komunitas.

C. Manfaat
Memahami pekerjaan kefarmasian khususnya dalam bidang manajemen,
administrasi, dan pelayanan kepada pasien.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Bidang Manajemen Apotek


1. Perencanaan Obat
Perencanaan merupakan proses pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat. Tujuan perencanaan adalah agar proses
pengadaan perbekalan farmasi atau obat yang ada di apotek menjadi lebih
efektif dan efisien dan sesuai dengan anggaran yang tersedia (Hartini, et
al. 2007). Pembuatan perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit,
pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
2. Pengadaan Obat
Kegiatan pengadaan dipengaruhi oleh ketersediaan obat dan total
biaya kesehatan. Tujuan dari pengadaan barang adalah memperoleh obat
yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman obat
terjamin, tepat waktu, serta proses berjalan lancar dengan tidak
memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Bogadenta, 2012). Apotek
memperoleh obat dan perbekalan farmasi harus bersumber dari pabrik
farmasi. Obat yang dipesan harus memenuhi dalam ketentuan daftar obat
dan dipesan melalui Surat Pesanan (SP) obat dan perbekalan kesehatan
(Hartono, 2003).
Pengadaan dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan
disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang
meliputi pemesanan, cara pemesanan, mengatasi kekosongan dan
pembayaran.
a. Pemesanan barang dilakukan oleh asisten apoteker berdasarkan catatan
yang ada dalam buku defecta.
b. Cara pemesanan barang dilakukan dengan menuliskan Surat Pesanan
(SP).
c. Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan melalui Pedagang Besar
Farmasi (PBF). Pesanan narkotika bagi apotek ditandatangani oleh
APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap empat, dimana tiap
4

jenis pemesanan narkotika menggunakan satu surat pesanan yang


dilengkapi dengan nomor SIK apoteker dan stempel apotek.
d. Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat
Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan
mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua
dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis
psikotropika.
e. Mengatasi kekosongan obat akibat waktu antara pemesanan dan
kedatangan barang yang lama.
f. Pembayaran dapat dilakukan dengan cara COD (Cash on delivery)
atau kredit.
(Depkes RI, 2004).
3. Penerimaan Obat
Standar prosedur operasional dari penerimaan menurut pedoman
praktek apoteker tahun 2013 meliputi :
a. Dicocokkan antara SP dan faktur meliputi nama PBF, jenis sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang dipesan, jumlah yang dipesan dan
harga, bila tidak sesuai segera konfirmasi dengan PBF.
b. Dicocokkan antara isi faktur sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
datang meliputi jumlah sediaan, jenis sediaan dan nomor batch.
Apabila jumlah dan jenis yang diminta tidak sama, maka segera
dikonfirmasi pada petugas PBF.
c. Diperiksa kondisi fisiknya meliputi wadah, tanggal kadaluarsa dan
sediaan rusak atau tidak. Bila pemeriksaan sudah selesai, faktur
ditandatangani oleh pihak apotek, yang asli diberikan kepada PBF dan
faktur copy disimpan sebagai arsip.
4. Pencatatan Obat
Kegiatan pencatatan obat di apotek merupakan rangkaian kegiatan
dalam rangka penatausahaan obat-obatan dan perbekalan lain secara tertib
baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan, maupun yang
digunakan di unit pelayanan kesehatan lainnya. Pencatatan obat dapat
dilakukan secara komputerisasi dan/atau pencatatan di buku secara
manual. Secara umum pencatatan obat memiliki fungsi dan tujuan antara
lain:
a. Mencatat mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau
kadaluarsa)
5

b. Menyusun laporan, perencanaan, pengadaan, distribusi, dan sebagai


pembanding terhadap keadaan fisik obat dalam tempat
penyimpanannya
c. Mengetahui obat-obatan yang tergolong ke dalam fast moving atau
slow moving
d. Bukti bahwa suatu kegiatan telah dilakukan
e. Melakukan pencataatan terhadap proses pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi surat pesanan,
faktur, nota penjualan, dan pencatataan lainnya yang sesuai dengan
keebutuhan.
Kegiatan pencatatan pada kartu stok dilakukan secara rutin setiap
kali terjadi mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau
kadaluarsa). Pencatatan pada kartu stok akan mempermudah untuk
memperoleh informasi mengenai jumlah obat yang tersedia (sisa stok),
jumlah obat yang diterima, jumlah obat yang keluar, jumlah obat yang
hilang/rusak atau kadaluarsa, serta jangka waktu kekosongan obat
(Hartono, 2003).
Sedangkan pencatatan pada buku defecta dilakukan untuk mencatat
obat atau perbekalan lain yang tinggal sedikit atau yang sudah habis untuk
selanjutnya dilakukan pemesanan. Tujuan pencatatan stock opname, yaitu
untuk mencatat dan menghitung stok yang masih dimiliki oleh apotek baik
yang ada di gudang penyimpanan maupun yang di etalase. Manfaat
dilakukannya stock opname antara lain, yaitu:
a. Membandingkan nilai persediaan barang tahun ini dengan tahun-
tahun sebelumnya, apakah terjadi kenaikan atau penurunan
sehingga dapat diketahui perkembangan usahanya secara sederhana
b. Mengetahui jumlah persediaan obat/ perbekalan lain
c. Mencari HPP (Harga Pokok Penjualan) pada pembuatan laporan
keuangan
d. Mencocokan data dan menghitung apakah ada barang yang hilang
atau tidak (Ulfayani, 2008).
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen
apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya (Kemenkes RI,
2014).
6

5. Penataan Obat
Penataan dan penyimpanan obat harus diperhatikan dan diatur
sebaik-baiknya, hal ini untuk memudahkan bagian gudang atau tempat
penyimpanan dalam pengendalian dan pengawasan. Penataan perbekalan
farmasi di apotek dapat digolongkan berdasarkan :
a. Alphabetis.
Obat-obat yang tersedia disusun berdasarkan alphabet dari hurup A
sampai Z.
b. Kriteria antara barang regular dan askes.
Barang regular dan barang askes penempatannya dipisah untuk
memudahkan dalam pengambilan obat sehingga tidak terjadi kesalahan
pengambilan antara barang regular dan askes.
c. Golongan obat.
Obat bebas dan obat bebas terbatas biasanya disimpan di etalase
bagian depan. Golongan narkotika dan psikotropika disimpan pada
lemari khusus dan terkunci sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Prinsip FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out)
Prinsip FIFO yaitu obat-obat yang pertama masuk atau datang yang
akan pertama dikeluarkan, sedangkan prinsip FEFO, yaitu obat-obat
yang memiliki tanggal kadaluarsa lebih cepat yang akan pertama
dikeluarkan.
e. Efek farmakologis.
Penataan obat didasarkan pada efek atau khasiat yang sama dari obat.
Hal ini dapat memudahkan untuk pencarian obat yang apabila salah
satu obat dengan khasiat tertentu kosong, akan digantikan dengan obat
merek lain yang memiliki khasiat sama.
f. Bentuk sediaan
- Sediaan Padat.
- Sediaan Suppositoria
- Sediaan Cair
- Sediaan Tetes.
- Sediaan Salep.
- Sediaan Injeksi
(Oscar dan Jauhar, 2016).
6. Penyimpanan Obat
Penyimpanan adalah kegiatan menata dan memelihara dengan cara
menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada
tempat yang dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik yang dapat
merusak mutu obat. Penyimpanan harus menjamin stabilitas dan
7

keamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pengawasan mutu terhadap


sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima dan disimpan, sehingga
terjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Apoteker harus memperhatikan obat-obat yang harus disimpan
secara khusus seperti narkotika, psikotropika, obat yang memerlukan suhu
tertentu, obat yang mudah terbakar, sitostatik dan reagensia. Penyimpanan
obat digolongkan berdasarkan bentuk bahan baku, seperti bahan padat
dipisahkan dari bahan yang cair atau bahan yang setengah padat. Hal
tersebut dilakukan untuk menghindarkan zat-zat yang bersifat higroskopis,
atau mudah terbakar. Obat-obat yang mudah rusak atau meleleh pada suhu
kamar disimpan dalam lemari es (Hartini dan Sulasmono, 2006).
Berdasarkan Kemenkes RI (2016) penyimpanan obat, meliputi:
a. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
b. Semua Obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai,
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
c. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
d. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expired First Out) dan
FIFO (First In First Out).
Narkotika yang berada di apotek wajib disimpan secara khusus
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam
UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat 1. Adapun tata cara penyimpanan
narkotika diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
28/Menkes/per/1978 pasal 5 yaitu apotek harus memiliki tempat khusus
untuk menyimpan narkotika. Tempat khusus tersebut harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
c. Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang
berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin,
petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan
bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang
dipakai sehari-hari.
d. Apabila tempat tersebut berukuran 40 x 80 x 100 cm, maka lemari
tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.
8

Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan No.


28/Menkes/Per/I/ 1978 dinyatakan bahwa:
a. Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan No.
28/Menkes/Per/1978.
b. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain
selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
c. Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau
pegawai lain yang diberi kuasa.
d. Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh terlihat
oleh umum.
Obat golongan psikotropika disimpan terpisah dengan obat-obat lain
dalam suatu rak atau lemari khusus. Pemasukan dan pengeluaran
psikotropika dicatat dalam kartu stok psikotropika.
7. Pemusnahan Obat
Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pada pemusnahan dengan bentuk yang telah
ditentukan dalam rangkap lima yang ditandatangani oleh Apoteker
Pengelola atau Apoteker Pendamping dan saksi. Pemusnahan obat-obat
narkotika dan psikotropika yang sudah kadaluarsa dilaksanakan oleh
apoteker dengan disaksikan oleh petugas Dinas Kesehatan dan sekurang-
kurangnya seorang karyawan apotek. Sedangkan untuk obat non
narkotika-psikotropika dilaksanakan oleh apoteker dibantu oleh sekurang-
kurangnya seorang karyawan apotek yang disaksikan oleh petugas Dinas
Kesehatan (Kemenkes RI, 2016). Prosedur tetap pemusnahan sediaan
farmasi:
a. Melaksanakan inventarisasi terhadap sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan yang akan dimusnahkan
b. Menyiapkan administrasi (berupa laporan dan berita acara
pemusnahan).
c. Mengkoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada
pihak terkait
d. Menyiapkan tempat pemusnahan
e. Melakukan pemusnahan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan
f. Membuat laporan pemusnahan obat dan perbekalan kesehatan.
9

g. Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekaln kesehatan


ditandatangani apoteker dan saksi.

B. Bidang Administrasi Apotek


1. Kelengkapan Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter
hewan kepada apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik
untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan bagi pasien (Kemenkes RI, 2017). Resep umumnya ditulis
dalam bahasa latin. Apabila tidak jelas atau tidak lengkap, apoteker harus
menanyakan kepada dokter penulis resep tersebut. Resep yang lengkap
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama, alamat dan nomor izin praktik, hari dan jam praktik dokter,
dokter gigi atau dokter hewan
b. Tanggal penulisan resep (inscriptio)
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio)
d. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio/ordonatio)
e. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura)
f. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (subscription)
g. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter
hewan
h. Tanda seru dan/atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis
maksimalnya.

Dokter dapat menghendaki untuk resepnya diulang dengan cara


menuliskan kata iter/iteratie beserta jumlah pengulangannya. Resep yang
mengandung narkotik dan psikotropik tidak boleh ada tulisan iter yang
berarti diulang, mihi ipsi yang berarti untuk dipakai sendiri, atau usus
cognitus yang berarti pemakaiannya diketahui. Apabila dokter
menghendaki resep ditangani segera, maka dapat diberikan tanda cito
(segera), statim (penting), urgent (sangat penting), atau periculum in mora
(berbahaya jika ditunda) (Syamsuni, 2006).
2. Penyimpanan Resep
10

Resep disimpan dan ditata menurut urutan tanggal dan nomor


penerimaan/pembuatan resep. Resep-resep yang mengandung narkotik dan
psikotropik harus disimpan terpisah dari resep-resep yang lain dan
disimpan di Apotek paling singkat 5 tahun (Kemenkes RI, 2017). Resep
yang telah disimpan melebihi 3 tahun dapat dimusnahkan dengan cara
dibakar atau cara lain yang memadai (Syamsuni, 2006).

Penyaluran obat ke apotek dilaksanakan oleh PBF atau PBF cabang


hanya berdasarkan surat pesanan (SP) yang ditandatangani apoteker
pengelola apotek, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis
kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan mencantumkan
nomor SIPA, SIKA, atau SIKTTK (Kemenkes RI, 2014). SP ada 5 jenis,
yaitu SP obat non narkotika-psikotropika, SP narkotika, SP psikotropika,
SP obat-obat tertentu, dan SP prekursor (Kemenkes RI, 2015; BPOM,
2016). SP dan faktur pembelian/penjualan diarsipkan secara terpisah
menurut jenisnya dan disimpan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun setelah kedaluwarsa atau paling singkat 3 tahun (BPOM,
2013; Kemenkes RI, 2015).
3. Pembuatan Copy dan Etiket Resep
Resep asli tidak dapat diberikan kembali kepada pasien setelah
obatnya diambil, hanya dapat diberikan copy resep atau salinan resep
(Syamsuni, 2006). Pasien berhak meminta salinan resep. Salinan resep
harus ditulis sesuai dengan resep asli dan disahkan oleh apoteker
(Kemenkes RI, 2016).
Penyerahan obat berdasarkan resep maupun obat bebas dan obat
bebas terbatas tanpa resep harus disertai dengan etiket berwarna putih
untuk obat dalam atau ditelan dan etiket berwarna biru untuk obat luar.
Etiket merupakan aturan pakai penggunaan obat sesuai dengan resep yang
ditulis dokter untuk diinformasikan kepada pasien (Anief, 2012). Etiket
harus mencantumkan:
a. Nama dan alamat apotek
b. Nama dan nomor SIPA Apoteker Pengelola Apotek (APA)
c. Nomor dan tanggal pembuatan
d. Nama pasien
e. Aturan pemakaian
11

f. Tanda lain yang diperlukan, seperti kocok dahulu (Syamsuni, 2006).

C. Bidang Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Berdasarkan Kemenkes RI (2016) pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Konsekuensi perubahan orientasi
tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan mengubah perilaku agar dapat melakukan interaksi langsung dengan
pasien. Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek bertujuan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi
tenaga kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan
obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Apoteker tidak diizinkan unttuk mengganti nama obat yang tertulis dalam
resep dengan obat paten. Bila pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis
dalam resep, maka apoteker harus berkonsultasi dengan dokter untuk
pemilihan obat yang tepat. Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi sebagai
berikut:
1. Pengkajian Resep
Pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis. Administrasi resep berkaitan dengan identitas pasien
meliputi, identitas dokter, dan tanggal penulisan resep. Kesesuaian
farmasetik meliputi bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas, dan
kompatibilitas (ketercampuran obat). Pertimbangan Klinis meliputi,
ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan, cara dan lama penggunaan obat;,
duplikasi dan/atau polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi,
efek samping obat, manifestasi klinis lain, kontra indikasi dan, interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
apoteker harus menghubungi dokter penulis resep (Kemenkes RI, 2014).
2. Dispensing Obat
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Langkah-langkah dalam melakukan kegiatan dispensing
obat dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep,
12

b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan,


c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: warna putih untuk
obat dalam/oral; warna biru untuk obat luar dan suntik; menempelkan
label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspense atau emulsi,
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindaripenggunaan
yang salah.
Dalam melakukan pelayanan kefarmasian apoteker di apotek juga dapat
melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus
memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep
untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas
yang sesuai (Kemenkes RI, 2016).
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk
obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk
sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada
ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan,
harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain (Kemenkes RI, 2016).
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan (Kemenkes RI,
2016). Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat
pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi (Depkes RI, 2004).
13

5. Home Pharmacy Care


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis pelayanan kefarmasian yang dilakukan di rumah pasien meliputi
penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan, identifikasi kepatuhan pasien, pendampingan pengelolaan
obat dan/atau alat kesehatan di rumah, konsultasi masalah obat atau
kesehatan secara umum, monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan
penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien, dokumentasi
pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah (Kemenkes RI, 2016).
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan proses yang memastikan
bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau
dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping
(Kemenkes RI, 2016).
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Kegiatan yang dilakukan meliputi mengidentifikasi obat dan pasien
yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat, mengisi
formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan melaporkan ke
Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional (Kemenkes RI, 2016).
8. Masalah Terkait Obat (Drug Related Problem/DRP)
Dalam pelayanan kefarmasian di apotek terkadang terjadi
kondisi/permasalahan tertentu yang berhubungan dengan obat disebut
dengan Drug Related Problem (DRP). DRP merupakan kejadian atau
keadaan membutuhkan terapi obat yang sebenarnya atau berpotensi
mengganggu pencapaian outcome optimum dalam perawatan medis). DRP
ini berupa kategori masalah obat dalam pharmaceutical care yang dapat
terjadi antara dokter, apoteker dan pasien. Masalah ini diidentifikasi,
dicegah, dan diselesaikan oleh apoteker, tetapi dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan lain yang memberikan pharmaceutical care (Cipolle, dkk.,
2004). Masalah yang banyak dihadapi adalah resiko pasien mengalami
toleransi obat (seperti morfin untukmengontrol nyeri) yang menyebabkan
pasien membutuhkan dosis lebih tinggi namun dapat menyebabkan pasien
14

mendapat dosis obat berlebih (overdose). Kategori DRP menurut Cipolle,


dkk. (2004) antara lain:

Jenis DRP Kemungkinan penyebab DRP


Membutuhan 1. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang
terapi membutuhkan terapi awal pada obat.
tambahan 2. Pasien mempunyai penyakit kronik yang
obat membutuhkan terapi obat berkisinambungan.
3. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang
membutuhkan farmakoterapi kombinasi untuk
mencapai efek sinergis atau potensiasi.
4. Pasien dalam keadaan risiko pengembangkan kondisi
kesehatan baru yang dapat dicegah dengan
penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat
dan/atau tindakan pra medis.
Terapi obat 1. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang
yang tidak tidak tepat indikasi pada waktu itu.
perlu 2. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan
sejumlah racun dari obat atau kimia, sehingga
menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.
3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol
dan rokok.
4. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan
terapi tanpa obat.
5. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk
kondisi yang mana hanya satu terapi obat yang
terindikasi.
6. Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk
pangobatan yang tidak dapat dihindarkan dari reaksi
efek samping yang disebabkan dengan pengobatan
lainnya.
Terapi salah 1. Pasien dimana obat tidak efektif.
obat 2. Pasien yang mempunyai riwayat alergi.
3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk
indikasi pengobatan.
4. Pasien dengan faktor risiko pada kontraindikasi
penggunaan obat.
5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly.
6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman.
7. Pasien yang tekena infeksi resisten terhadap obat yang
digunakan.
8. Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu
dimana single drug dapat memberikan pengobatan
yang tepat.
Dosis terlalu 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat
rendah yang digunakan.
2. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
15

menimbulkan respon.
3. Konsentrasi obat dalam serum dibawah range
teraupetik yang diharapkan.
4. Waktu prophylaxis (presugikal) antibiotik diberikan
terlalu cepat.
5. Dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk pasien.
6. Terapi obat berubah sebelum teraupetik percobaan
cukup untuk pasien.
7. Pemberian obat terlelu cepat.
Reaksi obat 1. Pasien yang faktor risiko yang berbahaya bila obat
yang digunakan.
merugikan 2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi
dengan obat lain/makanan pasien.
3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan
pasien.
4. Efek dari obat dapat diubah penghambat enzim/
pemacu obat lain.
5. Efek dari obat dapat diubah dengan pemindahan obat
dari binding site oleh obat lain.
6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan
obat lain.
Dosis terlalu 1. Pasien dengan dosis tinggi
tinggi 2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas range
terapuetik obat yang diharapkan.
3. Dosis obat meningkat terlalu cepat.
4. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak
tepat.
5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Kepatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan pakai obat yang tepat
(penulisan, obat, pemberian, pemakaian)
2. Pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan
untuk pengobatan.
3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena
mahal.
4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang
diresepkan karena tidak mengerti.
5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang
diresepkan secara konsisten karena merasa sudah
sehat.

9. Pelayanan Swamedikasi
Swamedikasi adalah upaya seseorang untuk megobati dirinya
sendiri. Menurut WHO self medication/swamedikasi didefinisikan sebagai
pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan
tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat
16

dikenali sendiri. Kriteria obat yang dapat diserahkan kepada pasien tanpa
resep dokter (Permenkes No.919/Menkes/Per/X/1993) yaitu :
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
di bawah dua tahun dan orang tua lebih dari 65 tahun.
b. Tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
c. Pengguanaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi
di Indonesia.
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Pelayanan swamedikasi memiliki keuntungan dan resiko.
Keuntungan dari pelayanan swamedikasi ini adalah :
a. Lebih mudah, cepat, tidak membebani sistem pelayanan kesehatan dan
dapat melakukan pengobatan untuk diri sendiri.
b. Menghemat biaya dan waktu untuk ke dokter dan segera dapat
beraktivitas kembali
Resiko dari pelayanan swamedikasi ini adalah tidak dapat mengenali
keseriusan gangguan, keseriusan dapat dinilai salah satu atau mungkin
tidak dikenali, sehingga pengobatan sendiri dapat dilakukan terlalu lama,
gangguan bersangkutan dapat memperhebat keluhan, sehingga dokter
perlu menggunakan obat-obat yang lebih keras, penggunaan obat yang
kurang tepat ( Tjay dan raharja, 1993).

BAB III
PEMBAHASAN
17

A. Bidang Manajemen Apotek Karya Sehat


1. Perencanaan Obat
Perencanaan obat di Apotek Karya Sehat menggunakan pola
konsumsi obat yang paling banyak dikonsumsi oleh pasien di sekitar
apotek. Dari data kartu stok obat diperoleh obat-obat yang bersifat fast
moving, yaitu obat yang paling banyak dikonsumsi oleh pasien dan slow
moving, yaitu obat yang jarang dikonsumsi oleh pasien. Jadi, setiap bulan
akan diurutkan mana obat yang paling dibutuhkan dan dibeli oleh
konsumen, sehingga stok obat di apotek tidak akan habis.
Hal yang dilakukan untuk perencanaan adalah melihat catatan pada
buku defecta. Pencatatan ini dapat dilakukan dengan melihat stok barang
yang ada di apotek, baik melalui pengecekan secara langsung maupun
dengan melihat kartu stok obat atau data dalam komputer. Dengan adanya
pencatatan ini mempermudah untuk melihat barang-barang atau obat mana
saja yang harus dipesan agar tidak terjadi kekosongan di Apotek Karya
Sehat.
2. Pengadaan Obat
Pengadaan obat di Apotek Karya Sehat termasuk di dalamnya
golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, obat psikotropik dan
narkotik dapat berasal langsung dari PBF setempat. Kebanyakan
pemesanan dilakukan di PBF yang berada di Purwokerto dan sekitar
Banyumas tetapi untuk obat tertentu pemesanannya dilakukan di luar PBF
Purwokerto. Pengadaan obat di Apotek Karya Sehat terdiri dari pengadaan
obat non-Prolanis, Prolanis, narkotika, psikotropika, dan prekursor.
a. Pengadaan obat Non-BPJS
Pengadaan obat di Apotek Karya Sehat dilakukan setiap hari Senin dan
Rabu. Pengadaan dilakukan dengan cara menulis stok barang yang
kosong atau mulai menipis pada buku defecta, lalu dilakukan
pengadaan sesuai jumlah kebutuhan. Selanjutnya, mengirimkan Surat
Pesanan (SP) yang ditandatangani Apoteker Pengelola Apotek (APA)
ke PBF yang dituju. Komponen yang harus dicantumkan dalam SP
adalah tanggal, nomor pesanan, nama barang, satuan barang, dan
jumlah barang. SP akan diambil oleh karyawan dari masing-masing
PBF. Apabila karyawan PBF tidak datang, maka pemesanan dapat
dilakukan melalui telepon (untuk obat selain narkotika dan
18

psikotropika). Sistem pengadaan di apotek ini juga sesuai dengan


standar pelayanan kefarmasian di apotek bahwa pengadaan barang
melalui jalur resmi untuk menjamin kelegalan obat.
b. Pengadaan obat Prolanis
Apotek Karya Sehat melayani resep prolanis. Pemesanan obat-obat
Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) atau PRB (Program
Rujuk Balik) harus mendapatkan persetujuan dari BPJS, sehingga
perlu dibuktikan dengan stampel BPJS terlebih dahulu. Pengadaan
obat resep BPJS dilakukan setiap akhir bulan dengan mengacu pada e-
katalog, sehingga dapat diklaim oleh BPJS. Surat pemesanan untuk
BPJS dan PRB dibuat rangkap tiga, yaitu untuk BPJS, untuk apotek
dan untuk pihak distributor.

Gambar 3.1. Insulin Levemir Untuk Prolanis


c. Pengadaan Prekursor, Narkotika, dan Psikotropika
Apotek Karya Sehat melakukan pemesanan bahan yang mengandung
prekursor kepada PBF dengan SP format khusus. Surat pemesanan
obat narkotika dibuat rangkap empat dengan warna yang berbeda yaitu
putih untuk PBF, biru untuk BPOM, merah untuk Dinas Kesehatan
Kabupaten atau kota setempat, dan kuning untuk arsip apotek.
Pemesanan psikotropika dengan surat pemesanan rangkap 2,
diperbolehkan lebih dari 1 item obat dalam satu surat pesanan.
19

Gambar 3.2 Surat Pesanan Narkotika Gambar 3.3 Surat Pesanan Psikotropika

Gambar 3.4. Surat Pesanan Prekursor


3. Penerimaan Obat
Obat yang dipesan, diantar ke apotek oleh petugas pengantar obat
atau sales dari PBF yang bersangkutan. Ketika barang datang, maka
petugas apotek akan mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk
penerimaan barang yang telah ditetapkan. Proses penerimaan obat di
Apotek Karya Sehat dilakukan oleh apoteker maupun tenaga teknis
kefarmasian dan berasal dari PBF resmi, sehingga menjamin keaslian
barang di Apotek. Standar Operasional Prosedur (SOP) dilakukan sebagai
berikut:
a. Barang datang.
b. Dilakukan pengecekan kesesuaian barang yang datang antara faktur
dan surat pesanan.
c. Dilakukan pengecekan kesesuaian pengiriman dengan Surat Pesanan
atau copy Surat Pesanan dan faktur yang disertakan, tujuan, nama,
jumlah serta Expired Date obat (kecuali dinyatakan lain, barang yang
diterima memiliki ED minimal 1 tahun). Barang atau perbekalan
farmasi yang datang juga dicek kondisinya (rusak, pecah, tersegel atau
20

tidak) Tujuannya untuk menghindari kekurangan atau kelebihan


barang. Jika jumlah obat kurang, maka petugas apotek yang menerima
saat itu harus mencatatnya di dalam faktur pembelian jumlah obat yang
kurang. Sementara jika obat yang datang berlebih (bukan bonus) maka
barang dapat langsung dikembalikan.
d. Jika barang telah sesuai dengan pesanan maka faktur kiriman
ditandatangi oleh Apoteker maupun TTK yang memiliki SP atau SIK
dan diberi cap stampel apotek.
e. Faktur asli diberikan kepada PBF sedangkan faktur copy disimpan di
apotek sebagai arsip apotek. Faktur diambil satu lembar untuk
distributor dan dua lembar untuk apotek meliputi arsip untuk
pendataan di komputer dan bagian keuangan apotek. Apabila
pembayaran obat sudah lunas, maka faktur asli yang berada di PBF
diserahkan kepada apotek. Setelah itu barang dimasukkan ke dalam
gudang obat. Masing-masing harga barang diinput ke dalam software
komputer. Data yang diinput tersebut seperti nama obat, nama
distributor atau PBF, bentuk kemasan obat, jumlah obat, satuan obat,
diskon, harga asli obat, harga dengan PPN, harga jual, serta tanggal
kadaluarsa obat. Setelah diinput datanya, kemudian faktur disimpan
berdasarkan nama distributor atau PBF yang tercantum di lembar
faktur tersebut. Faktur diurutkan berdasarkan tanggal faktur untuk
mempermudah mencari faktur yang harus dilunasi terlebih dahulu.

Gambar 3.5. Surat Pesanan Obat OTC Gambar 3.6. Faktur


4. Pencatatan Obat
Pencatatan obat di Apotek Karya Sehat dilakukan secara
komputerisasi (Software Online IAAS) dan pencatatan manual (di buku
21

defacta, stock opname, dan kartu stok). Obat yang telah diterima dan
sudah diperiksa berdasarkan faktur dan surat pesanan, kemudian diinput
kedalam komputer pusat di gudang oleh petugas apotek. Pencatatan
tersebut bertujuan untuk memudahkan administrasi, mengetahui jumlah
stok yang masih tersisa, serta memudahkan dalam pencarian harga.
Adapun yang diinput kedaalam software memuat hal berikut:
- Nama Supplier
- Nomor Faktur Supplier
- Nomor Pembelian
- Tanggal Pembelian
- Identitas barang, seperti Nama item, Tanggal kadaluwarsa, Kuantitas,
Satuan, Harga satuan, Pajak, Jumlah harga)
- Tanggal Pengiriman
- Waktu Jatuh Tempo
- Lokasi Penyimpanan
- Nama Penginput

Gambar 3.7 Pencatatan persediaan barang di Software Online IAAS


Obat tersebut kemudian ditata di dalam gudang. Setiap terjadi mutasi
obat dari gudang ke bagaian depan, maka harus dilakukan pencatatan di
komputer pusat. Selain itu, dilakukan juga pencatatan di kartu stok
terhadap pengeluaran dan penerimaan obat di dalam gudang. Tujuannya
adalah sebagai double checker jumlah obat riil (obat di gudang) dengan
jumlah ketersediaan obat di komputer, sehingga ketidaksesuaian data dapat
dihindari. Kartu stok memuat informasi berupa tanggal, nama obat, jumlah
obat yang diambil, dan jumlah obat yang tersisa di gudang. Kartu stok
diletakkan berdekatan dengan obat bersangkutan dirak dalam gudang obat.
22

Pencatatan komputerisasi dan pada kartu stok harus selalu dilakukan setiap
perpindahan obat dari dalam gudang.

Gambar 3.8. Gudang Obat Gambar 3.9. Kartu Stok


Setiap adanya transaksi obat dan/ataau perbekalan farmasi lainnya,
baik pada obat-obat resep umum, resep pro lanis, obat wajib apotek, dan
obat bebas lainnya dicatat secara komputerisasi. Sehingga, persediaan obat
dapat selalu terekam dengan baik. Untuk resep umum dan resep pro lanis,
juga dilakukan penginputan data diri pasien, nama dokter, tanggal
transaksi, nama obat, satuan, kuantitas, haraga satuan, serta harga total.
Hal tersebut digunakan untuk memudahkan apoteker dalam mengontrol
kepatuhan pasien pro lanis dalam menjalankan pengobatan rutinnya per
bulan. Selain itu juga memudahkan dalam melakukan pencarian riwayat
pengambilan obat yang diterima oleh pasien.

Gambar 3.10 Pencatatan transaksi penjualan obat di software IAAS

Apabila stok barang di lemari stok sudah berkurang atau kosong


maka harus dicatat di buku defecta yang digunakan untuk mencatat barang
yang habis atau stoknya tinggal sedikit, dan setelah itu dilakukan
pemesanan barang ke PBF. Pembuatan buku defecta barang di Apotek
Karya Sehat dilakukan sebagai berikut:
- Setiap hari petugas memeriksa barang yang kosong atau hampir habis.
23

- Pencatatan dalam buku defecta meliputi nama barang, dosis, satuan, dan
jumlah yang dibutuhkan.
- Menyerahkan buku defecta ke karyawan PBF untuk konfirmasi barang
apa saja yang tersedia di PBF tersebut.
- Membuat surat pesanan obat yang ditujukan ke distributor.
Pemesanan narkotika di Apotek Karya Sehat membuat surat sebanyak
empat rangkap surat pemesanannya. Satu ditujukan ke distributor,, satu
untuk pabrik, satu sebagai arsip apotek, dan satu lagi sistem komputerisasi
dengan penerapan software Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika
(SIPNAP) untuk dilaporkan ke Kemenkes.

Gambar 3.11. Buku Defecta

5. Penataan Obat
Penataan obat di Apotek Karya Sehat dilakukan secara alphabetis
dan didasarkan sesuai bentuk sediaan. Tujuan dari penataan obat
berdasarkan aspek/hal tertentu yaitu untuk memudahkan saat
pencarian/pengambilan obat dan untuk estetika apotek. Penataan obat di
Apotek Karya Sehat juga menggunakan metode kombinasi antara FIFO
(First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out). Oleh karena itu,
barang yang baru datang saat disimpan di gudang maupun di etalase akan
di letakkan di belakang barang lama yang sudah datang sebelumnya.
Selain itu barang yang baru datang dengan tanggal kadaluarsa akan
dikeluarkan dari gudang lebih cepat.
24

Apotek Karya Sehat memiliki beberapa tempat penyimpanan obat,


yaitu etalase bagian depan, etalase bagian tengah sekaligus tempat untuk
peracikan obat, dan gudang. Etalase bagian depan untuk menyimpan obat
bebas dan obat bebas terbatas, obat herbal/obat dari bahan alam, kosmetika
dan produk makanan seperti susu serta beberapa alat kesehatan dan
perbekalan farmasi lainnya. Produk tersebut ditata sesuai dengan jenisnya
dan dengan sistem FIFO dan FEFO. Penataan Obat bebas dan obat bebas
terbatas berdasarkan efek farmakologi dan disusun secara alfabetis. Etalase
bagian tengah yaitu untuk menyimpan obat prekursor, obat fast moving,
obat generik, obat paten, obat prolanis (obat - obatan program
penanggulangan penyakit kronis). Obat-obat tersebut ditata berdasarkan
alfabetis dan bentuk sediaan. Untuk obat narkotika dan psikotropika ditata
di lemari khusus yang sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur
penyimpanan obat untuk narkotika dan psikotropika, diletakkan di gudang.
6. Penyimpanana Obat
Penyimpanan obat dan perbekalan farmasi yang ada di Apotek Karya
Sehat disimpan di rak yang tidak langsung menyentuh lantai atau dinding,
disimpan pada suhu yang tidak lembab serta bebas dari hewan pengerat.
Obat disimpan sesuai alfabetis, efek farmakologis, dan bentuk sediaan.
Selain itu, penyimpanan obat di Apotek Karya Sehat juga sesuai dengan
kondisi obat dan sesuai wadah aslinya. Untuk obat-obatan yang ada di
gudang, dilakukan penyimpanan sesuai sistem FIFO (First In First Out)
dan FEFO (First Expired First Out). Penyimpanan obat di gudang
dilengkapi dengan kartu stok.
Penyimpanan obat dipisahkan antara obat Prolanis, obat generik dan
obat paten. Penyimpanan obat narkotik dan psikotropik diletakkan pada
lemari khusus yang terkunci dan diletakkan di dalam gudang. Kunci
lemari hanya dipegang oleh APA dan TTK. Penyimpanan obat narkotik
dan psikotropika ini harus dipisahkan dari obat-obat yang lain, agar
keamanan obat ini terjaga dengan baik. Selain itu, obat termolabil juga
disimpan menurut stabilitasnya terhadap pengaruh suhu dan udara, seperti
insulin, suppositoria, dan ovula seta beberapa sediaan tetes mata yang
diletakkan pada lemari pendingin. Sediaan ini tidak stabil dalam suhu
25

ruangan. Sediaan jenis ini harus disimpan dengan suhu diantara 2-8oC,
sehingga harus disimpan di dalam lemari pendingin. Sementara untuk obat
bebas dan OTC yang harus disimpan pada suhu ruang dan tidak
memerlukan aturan khusus. Biasanya penyimpanan obat ini di dalam
etalase yang bersih dan kering untuk menghindari kerusakan fisik obat,
sehingga obat akan terjaga kualitasnya dan tidak mempengaruhi kestabilan
dan keamanan obat. Penyimpanan obat untuk resep Prolanis dipisahkan
dari obat-obat lain. Hal ini untuk memudahkan petugas apotek dalam
melayani resep prolanis. Selain itu agar tidak tercampur antara obat milik
apotek dan milik BPJS. Sistem penyimpanan yang dilakukan di Apotek
Karya Sehat sudah sesuai dengan Permenkes No 73 tahun 2016 tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek bahwa dalam penyimpanan obat
perlu memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi.

Gambar 3.12 Etalase Penyimpanan Obat


OTC

Gambar 3.13 Rak Penyimpanan


Obat Generik dan Paten
26

Gambar 3.14 Gudang Penyimpanan Obat

Gambar 3.15.Tempat Penyimpanan Obat Termolabil Gambar 3.16. Penyimpanan Sediaan Cair

Gambar 3.17. Penyimpanan Obat Prolanis

7. Pemusnahan Obat
Obat yang dibeli oleh apotek dapat dikembalikan ke PBF jika telah
kadaluarsa sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara kedua
belah pihak (return). Batas waktu pengembalian obat yang kadaluarsa
yang ditetapkan oleh PBF biasanya 3-4 bulan sebelum tanggal kadaluarsa,
ada pula yang bertepatan dengan waktu kadaluarsa obat dengan syarat
harus menyertakan faktur yang sesuai dengan obat yang di order. Selain itu
27

obat masih tertera batch dan tanggal kadaluarsa (ED), kemudian masih
dikemas utuh.
Sediaan Farmasi di Apotek Karya Sehat yang sudah tidak
memenuhi syarat sesuai standar yang ditetapkan harus dimusnahkan.
Penghapusan dan Pemusnahan sediaan farmasi yang tidak dapat atau
tidak boleh digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Prosedur
pemusnahan obat dibuat mencakup pencegahan pencemaran di
lingkungan dan mencegah jatuhnya obat tersebut di kalangan orang
yang tidak berwenang. Sediaan farmasi yang akan dimusnahkan supaya
disimpan terpisah dan dibuat daftar yang mencakup jumlah dan identitas
produk. Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang dilakukan
sendiri maupun oleh pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apotek Karya Sehat telah melakukan pemusnahan obat sesuai
dengan prosedur tetap dan aturan berdasarkan Permenkes Nomor 73 tahun
2016. Pemusnahan obat sesuai dengaan bentuk sediaan. Tablet dengan cara
digerus atau dihaluskan lalu ditimbun pada galian tanah. Kapsul dengan
acaaraa dipisahkan dengan kemasan primernya kemudian ditimbun pada
galian tanah. Krim dimusnahkan dengan cara dikubur di tempat yang
sudah disediakan. Obat dalam bentuk sediaan cair dan dry syrup
diencerkan terlebih dahuu dan dipisahkan dari kemasannya. Seluruh
kemasan primer obat dirusak daahulu (digunting/dihancurkan) kemudian
ditimbun bersama dengan obat lainnya.

B. Bidang Administrasi Apotek Karya Sehat


1. Kelengkapan Resep
Resep di Apotek Karya Sehat ada 2 macam, yaitu resep umum dan
resep BPJS yang disebut PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit
Kronis). Resep Prolanis di Apotek Karya Sehat ini ditujukan untuk pasien
penyakit kronis, yaitu hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, dan
asma. Obat-obat yang diberikan pada pasien prolanis ditujukan untuk
28

pemakaian selama 1 bulan. Pasien yang menebus resep prolanis harus


menyertakan salinan kartu BPJS/KIS/ASKES/JAMKESMAS peserta dan
atau wakil apabila diwakilkan. Setelah syarat terpenuhi, apoteker
melakukan skrining resep dan menginput informasi dalam resep ke
komputer. Kemudian obat dan etiket disiapkan sesuai dengan resep.
Sebelum obat diberikan ke pasien, apoteker memeriksa kembali
kesesuaian etiket dan obat dengan resep. Setelah sesuai, apoteker
memberikan obat tersebut dan memberikan informasi seperti aturan
pemakaian, hal-hal yang harus dihindari selama pemakaian obat tersebut,
dan kemungkinan efek samping yang akan timbul. Selanjutnya apoteker
meminta pasien untuk menandatangani resep.
Secara umum Standar Operational Prosedur (SOP) penerimaan resep
di Apotek Karya Sehat meliputi:
a. resep dibawa oleh pasien dan diterima oleh karyawan apotek
b. pasien diberi nomor antrian
c. dilakukan skrining resep
d. ketersediaan obat dicek
e. dilakukan konfirmasi harga kepada pasien
f. informasi dalam resep, meliputi tanggal, nama dokter, nama pasien,
dan nama serta jumlah obat, dicatat di komputer
g. etiket obat dibuat
h. obat disiapkan dan dimasukkan ke dalam bungkus obat
i. obat diberikan kepada apoteker untuk pengecekan ulang
j. apoteker menyerahkan obat berserta memberikan informasi dan
edukasi kepada pasien
k. pasien mengembalikan nomer antrian.
Menurut Kemenkes RI (2016) kegiatan skrining resep atau pengkajian
resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan
klinis. Kajian administratif meliputi:
a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
b. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf
c. tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. bentuk dan kekuatan sediaan
b. stabilitas
c. kompatibilitas (ketercampuran obat).

Pertimbangan klinis meliputi:


a. ketepatan indikasi dan dosis obat
29

b. aturan, cara dan lama penggunaan obat


c. duplikasi dan/atau polifarmasi
d. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain)
e. kontra indikasi
f. interaksi.

Secara keseluruhan kegiatan pengkajian resep Apotek Karya Sehat


sudah memenuhi kelengkapan resep, tetapi pada resep sering tidak
tercantum alamat pasien, umur, berat badan sehingga apoteker atau
pegawai apotek biasanya akan menanyakan umur ketika akan menyiapkan
obat serta alamat pasien pada saat penyerahan obat. Selain itu, pada resep
juga sering tidak tercantum diagnosa dokter sehingga apoteker perlu
menanyakan keluhan pasien agar pengkajian resep yang meliputi
pertimbangan klinis dapat terlaksana dengan tepat. Apabila dalam suatu
resep terdapat kejanggalan atau kecurigaan, seperti tidak adanya informasi
lengkap identitas dokter, meliputi nama, nomor SIP, alamat, nomor
telepon, serta paraf dan/atau obat-obatan dalam resep meliputi narkotika
dan psikotropika dalam jumlah banyak, maka apoteker tidak akan
melayani resep tersebut. Apabila dalam suatu resep terdapat kekeliruan
atau penulisan resep yang tidak tepat, maka apoteker menanyakan kepada
dokter penulis resep dan jika tidak dapat dihubungi penyerahan obat dapat
ditunda.
2. Penyimpanan Resep
Pengelolaan resep yang telah dikerjakan yaitu, resep yang telah
dibuat, disimpan menurut urutan tanggal dan nomor
penerimaan/pembuatan resep. Resep yang mengandung narkotik harus
dipisahkan dari resep lainnya, tandai dengan garis merah dibawah nama
obatnya. Resep yang telah disimpan melebihi tiga tahun dapat
dimusnahkan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai
(Anief, 2010).
Penyimpanan resep di Apotek Karya Sehat yaitu, resep yang telah
diterima dilakukan skrining resep yang meliputi persyaratan administratif,
kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Setelah itu, resep
30

dikumpulkan berdasarkan urutan tanggal penerimaan resep dan


disesuaikan dengan jenis resep ( resep umum, resep prolanis, resep yang
mengandung narkotika, dan resep yang mengandung psikotropika). Resep
yang sudah dikumpulkan dan dipisahkan berdasarkan tanggal dan
jenisnya, kemudian disimpan rapi di dalam kotak khusus penyimpanan
resep. Untuk resep prolanis disimpan didalam lemari berdasarkan jenis
resep dari dokter keluarga, puskesmas, dan klinik. Tujuan dari
penyimpanan resep yaitu untuk memudahkan penelusuran resep kembali
jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Gambar 3.18. Penyimpanan Resep


3. Pembuatan Copy dan Etiket Resep
Copy resep adalah salinan tertulis dari suatu resep. Copy resep
digunakan untuk resep obat yang pemberiannya diulang (iter) atau untuk
resep yang belum diambil seluruhnya oleh pasien. Copy resep umumnya
juga disebut apograph, xemplum, atau afschrift. Selain memuat semua
keterangan yang terdapat dalam resep asli juga harus memuat (Anief,
2012):
a. Nama dan alamat apotek.
b. Nama dan nomer S.I.K. apoteker pengelola apotek.
c. Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek.
d. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan dan tanda nedet
(nedetur) untuk obat yang belum diserahkan.
e. Nomor resep dan tanggal pembuatan.
f. Cap apotek pembuat copy resep.
Proses penyerahan obat atas dasar resep maupun penyerahan obat
bebas dan obat bebas terbatas tanpa resep harus disertai dengan etiket
berwarna putih untuk obat yang melewati saluran cerna dan etiket
berwarna biru untuk obat yang tidak melalui saluran cerna. Etiket
merupakan aturan pakai penggunaan obat sesuai dengan resep yang ditulis
31

dokter untuk diinformasikan kepada pasien. (Anief, 2012). Etiket terdiri


dari nama dan alamat apotek, nama dan nomor SIPA Apoteker Pengelola
Apotek, nomor dan tanggal pembuatan, nama pasien, aturan pemakaian
dan tanda lain yang diperlukan, misalnya : kocok dahulu, tidak boleh
diulang tanpa resep baru dari dokter. Penulisan etiket dilakukan dengan
cara menulis no resep, tanggal dan nama pasien, kemudian menulis aturan
pakai obat dan informasi lain yang diperlukan (Syamsuni, 2006).

Gambar 3.19. Etiket Biru Gambar 3.20. Etiket Putih

Gambar 3.21. Plastik Klip Gambar 3.22. Copy Resep

C. Bidang Pelayanan Kefarmasian di Apotek Karya Sehat


Pelayanan kefarmasian yang disediakan di Apotek Karya Sehat meliputi
pelayanan obat secara langsung, pelayanan swamedikasi, pelayanan resep,
pelayanan resep BPJS, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan Pelayanan
Informasi Obat (PIO).
1. Pelayanan Obat Secara Langsung/OTC (Over The Counter)
Pelayanan OTC di Apotek Karya Sehat dilakukan sesuai dengan SOP
yang dibuat oleh apotek yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan
pelayanan obat kepada pasien yang ingin melakukan swamedikasi. Berikut
32

ini standar prosedur operasional pelayanan sediaan farmasi tanpa resep di


Apotek Karya Sehat :
a. Memberikan senyuman dan mengucapkan salam kepada pasien.
b. Menanyakan keperluan pasien, apabila pasien langsung menyebutkan
jenis obat di apotek, tanyakan sakit apa, untuk siapa, dan dicarikan
barangnya. Jika pasien meminta dipilihkan (swamedikasi), ditanyakan
keluhan pasien.
c. Memberikan beberapa pilihan obat yang tepat untuk pasien (tepat
pasien, indikasi, dosis, ekonomi/harga obat, dan penggunaan), namun
keputusan terakhir ada di tangan pasien.
d. Menyerahkan obat kepada pasien dengan informasi sejelas mungkin,
aturan pakai, cara pemakaian, dosis, efek samping yang mungkin
timbul.
e. Jika memungkinkan langsung menuliskan jenis obat yang dibeli
pasien. Obat yang keluar dicatat dengan metode komputerisasi yang
tersedia meliputi nama obat, jumlah, dan harga.
f. Menghitung jumlah harga dengan tepat.
g. Menegaskan nominal uang ketika pasien membayarkan.
h. Memberikan uang kembalian dengan menegaskan nominal uang
kembalian dan pasien menghitung kembali.
i. Mengucapkan terima kasih.
Pelayanan obat OTC yang dilakukan di Apotek Karya Sehat sudah sesuai
dengan SOP yang dibuat, namun pada saat menyerahkan obat tidak semua
informasi (aturan pakai, cara pemakaian, dosis, efek samping yang
mungkin timbul) diberitahukan kepada pasien, karena sebagian besar
pasien yang datang ke Apotek terkadang terburu-buru atau sudah
mengetahui informasi tersebut. Pelayanan obat OTC ini dapat dilakukan
tidak hanya oleh Apoteker, namun juga dapat dilakukan oleh karyawan
yang ada di apotek. Apabila pasien meminta informasi lebih detail
mengenai pengobatannya, apoteker dapat melayani pasien dengan senang
hati dan juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien.
33

Gambar 3.23. Pelayanan Obat OTC Gambar 3.24. Ruang Tunggu Pasien
2. Pelayanan Swamedikasi
Alur pelayanan swamedikasi di Apotek Karya Sehat yaitu:
a. Pasien datang.
b. Menyapa pasien dengan senyum ramah dan menanyakan keperluan
pasien
c. Menanyakan informasi yang berkaitan dengan pasien (nama, umur,
alamat)
d. Menanyakan keluhan sedetail mungkin, dengan menggali informasi
berdasarkan cerita pasien.
e. Menanyakan pada pasien apakah sebelumnya pernah menggunakan
obat tertentu, atau alergi terhadap obat tertentu atau tidak dan
bagaimana hasilnya (kondisi membaik atau bertambah parah).
f. Bila pasien telah menggunakan obat sebelumnya dan hasilnya tidak
memuaskan, maka memberikan rekomendasi atau alternatif obat lain
yang sesuai dengan kondisi pasien.
g. Menghitung harga dan minta persetujuan pasien terhadap nominal
harga.
h. Setelah pasien setuju dengan harga obat maka obatnya langsung
diambilkan.
i. Menyerahkan obat kepada pasien disertai dengan informasi tentang
obat meliputi dosis, frekuensi pemakaian sehari, waktu penggunaan
obat, cara penggunaan dan efek samping obat yang mungkin timbul
setelah penggunaan obat.
j. Pasien membayar obat di kasir
Pelaksanaan swamedikasi di Apotek Karya Sehat sudah memenuhi standar
dan sesuai dengan Permenkes No.919/Menkes/Per/X/1993.
3. Pelayanan Resep Umum dan BPJS
 Pelayanan Penyiapan dan Peracikan Obat
Apotek Karya Sehat melayani resep, yaitu resep umum dan BPJS atau
Prolanis. Standar Operasional Pelaksanaan pelayanan resep, meliputi:
a. pasien datang dan disambut dengan ramah
b. resep diterima oleh karyawan apotek
c. dilakukan cek kelengkapan resep, terutama untuk resep BPJS diperiksa
kelengkapan fotokopi KTP dan kartu bpjs
d. pasien diberi nomor antrian
34

e. resep diserahkan kepada apoteker di meja administrasi untuk di


skrining (administrasi, farmakologi dan farmasetika)
f. dilakukan penghitungan harga dan konfirmasi harga kepada pasien,
terutama untuk resep umum. Apabila pasien tidak bersedia membayar
sesuai harga yang disampaikan, maka apoteker memberikan pilihan
obat lain yang sama komponen aktifnya dengan persetujuan pasien.
g. disiapkan etiket dan copy resep (apabila obat tidak ada di apotek,
hanya diambil separuhnya, atau permintaan pasien).
h. obat disiapkan sesuai dengan resep. Apoteker akan menyiapkan dan
meracik obat setelah dilakukan pembayaran. Ketika obat dalam resep
merupakan sediaan obat yang sudah jadi, maka penyiapannya cukup
dilakukan dengan mengambil obat yang diperlukan dari rak obat,
kemudian memasukkannya ke dalam wadah yang telah diberi etiket,
namun jika obat yang diperlukan dalam resep merupakan obat yang
perlu diracik terlebih dahulu menjadi bentuk sediaan lain, maka
apoteker perlu melakukan peracikan obat terlebih dahulu (akan
dijelaskan dibagian peracikan).
i. obat diperiksa kembali sebelum diserahkan pada pasien termasuk
salinan resep dan kwitansi (untuk obat yang tidak masuk dalam BPJS
atau umum dan jika diminta oleh pasien)
j. pasien akan membayar obat ke kasir (untuk obat non BPJS), kemudian
obat diserahkan kepada pasien disertai dengan pemberian KIE.
Standar Operasional Pelaksanaan meracik obat, meliputi:
a. langkah awal yang dilakukan seperti pelayanan resep non-racikan (a-h)
b. obat, etiket, resep atau copy resep, serta kwitansi (jika ada) diserahkan
ke bagian peracikan
c. meja dibersihkan
d. alat dan bahan disiapkan
e. bahan diracik oleh asisten apoteker atau tenaga teknis kefarmasian
dibawah pengawasan apoteker
f. obat yang sudah selesai diracik kemudian dimasukkan dalam wadah
yang sesuai dan diberi etiket.
g. peralatan dan meja untuk meracik dibersihkan kembali setelah selesai.
35

h. hasil racikan diberikan kepada apoteker untuk diperiksa kembali


homogenitasnya (salep, krim, dan larutan sirup kering), jumlahnya
(kapsul dan pulveres), dan kesesuaian etiket dengan resep
i. obat racikan diserahkan kepada pasien oleh apoteker dengan
memberikan KIE.
SOP pelayanan resep di Apotek Karya Sehat telah sesuai dengan
tahapan pelayanan resep yang dibuat oleh Kemenkes RI (2016) dan
dengan Kemenkes RI (2017) dalam hal mengganti obat merek dagang
dengan generik. Menurut Menkes (2016) ruang peracikan di apotek harus
diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat
dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner) serta sekurang-
kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan obat, air minum (air
mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label
obat. Apotek Karya Sehat hampir memenuhi semua ketentuan tersebut,
hanya termometer ruangan yang belum ada di apotek tersebut. Kegiatan
peracikan obat di apotek Karya Sehat diantaranya:
1) Peracikan salep
Peracikan yang paling sering dilakukan di Apotek Karya Sehat adalah
sediaan salep. Contoh resep:
R/ Desoximethasone 0,2% krim II
Acdat 5 gr krim II
As. Salisilat 3%
Soft U Derm 10% krim II
Vaseline album ad 200
m.d.s.us. ext
Salep digunakan untuk mengobati kulit yang kering, bersisik, dan
infeksi. Salep berisi krim desoximethasone 0,2% krim digunakan untuk
indikasi corticosteroid-responsive dermatoses, Acdat 5 gr krim dengan
zat aktif asam fusidik sebagai antibiotik topikal, asam salisilat sebagai
agen keratolitik, Soft U Derm 10% krim dengan zat aktif karbamida
atau urea sebagai emolien untuk kulit kering, dan vaseline album
sebagai basis (MIMS, 2017). Bahan-bahan tersebut diracik dan dibuat
sebanyak 200 gr. Pencampuran tersebut dilakukan secara bertahap
sesuai dengan tingkat kelarutannya (dispersi) agar dihasilkan
campuran yang homogen. Hasil racikan kemudian dimasukkan
36

kedalam 2 pot salep 100 gr. Salep kemudian diberi etiket biru dengan
keterangan dioleskan tipis pada yang luka dan diberikan ke apoteker
untuk diperiksa dan diserahkan kepada pasien.
2) Peracikan Kapsul
Contoh resep:
R/ Provelyn 37,5 mg
Diazepam 1 mg
m. f. caps. dtd No. XX
S2ddI
Obat digunakan untuk atasi nyeri neuropati perifer serta untuk
mencegah atau atasi kejang. Kapsul berisi Provelyn dengan zat aktif
pregabalin dengan dosis 75 mg/hari pada pasien dewasa untuk indikasi
nyeri neuropati perifer dan kejang, diazepam dengan dosis 2 mg/hari
pada pasien dewasa untuk indikasi kejang dan menimbulkan efek
sedasi (MIMS, 2017). Pasien yang menebus resep tersebut meminta
untuk dibuatkan setengah saja sehingga dibuat sebanyak 10 kapsul.
Provelyn yang tersedia di Apotek adalah sediaan kapsul 75 mg
sehingga diperlukan 5 kapsul. Diazepam yang tersedia di Apotek
adalah sediaan tablet 2 mg sehingga diperlukan 5 tablet. Semua bahan
disiapkan, dimasukkan kedalam mortir seluruhnya, lalu digerus secara
bersamaan sampai homogen. Jika dalam resep terdapat sediaan kapsul,
maka cangkang kapsul dibuka dan isinya dimasukkan kedalam mortir
dengan urutan paling terakhir. Setelah peracikan, bahan-bahan tersebut
dimasukkan ke dalam cangkang kapsul yang sesuai. Kemudian, diberi
etiket putih dan diberikan kepada apoteker untuk diperiksa dan
diserahkan kepada pasien.
3) Peracikan sirup kering
Sirup kering yang tersedia di Apotek Karya Sehat adalah Amoxicillin
125 mg / 5 ml dan Cefadroxil 125 mg / 5 ml. Sebelum dilakukan
proses pencampuran, apoteker harus menanyakan terlebih dahulu
kepada pasien untuk membuka segel tutup botol didepan pasien agar
pasien mengetahui bahwa obat tersebut masih tersegel sebelumnya.
Setelah itu air mineral ditambahkan ke dalam botol sirup sesuai
takaran yang ditentukan. Kemudian sirup digojog hingga homogen dan
diberi etiket putih. Sirup diserahkan kepada apoteker untuk diperiksa
37

homogenitasnya dan kesesuaian etiket dengan resep dan diserahkan


kepada pasien serta disampaikan informasi mengenai pemakaian dan
penyimpanan sirup.

4) Peracikan pulveres
Contoh resep :
R/ Captopril 6,25 mg
m. f. l. a. pulv. dtd. No LX
S2dd pulv I
Resep tersebut untuk pasien gagal jantung pada anak usia diatas 2
tahun dengan berat badan 14,5 kg (Jayaprasad, 2016). Captopril di
Apotek Karya Sehat tersedia dalam sediaan tablet 25 mg, sehingga
yang dibutuhkan untuk membuat resep tersebut adalah sebanyak 15
tablet. Semua bahan disiapkan, dimasukkan ke dalam mortir
seluruhnya, lalu digerus secara bersamaan sampai homogen, kemudian
dibagi kedalam kertas perkamen sesuai dengan jumlah dalam resep.
Setelah obat selesai diracik, kemudian diberi etiket putih dan diberikan
kepada apoteker untuk diperiksa dan diserahkan kepada pasien.

Gambar 3.25. Tempat Peracikan Gambar 3.26. Proses Peracikan Puyer

 Kegiatan Pelayanan Apoteker di Apotek


Menurut Kemenkes RI (2016), tahapan yang harus dilakukan
setelah penyiapan dan peracikan obat meliputi:
a. pemeriksaan kembali mengenai penulisan kesesuaian informasi
dalam resep dengan etiket
38

b. memanggil nama dan nomor tunggu pasien serta menyesuaikan


identitas dan alamat pasien. Selain itu memastikan bahwa yang
menerima obat adalah pasien atau keluarganya
c. obat diserahkan dan disertai pemberian informasi obat mengenai
cara penggunaan obat, manfaat obat, makanan dan minuman yang
harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan,
dan lain-lain. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan
dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat
mungkin emosinya tidak stabil
d. salinan resep dibuat sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan)
e. resep asli disimpan pada tempatnya
f. apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan formulir yang telah dibuat oleh Kemenkes RI.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada
pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan
memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai (Kemenkes RI,
2016). Apoteker di Apotek Karya Sehat telah melakukan hampir semua
tahapan yang tercantum dalam peraturan Kemenkes RI tersebut.
Tahapan yang belum dilaksanakan secara maksimal adalah tahapan
dokumentasi pengobatan pasien menggunakan formulir yang terlampir
dalam peraturan Kemenkes RI. Dokumentasi yang dilakukan di
Apotek Karya Sehat meliputi informasi mengenai nama pasien, jenis
kelamin, tangal, nama dokter, nama obat, dan dosis kemudian
disimpan dalam komputer. Informasi yang belum masuk dalam
dokumentasi di komputer adalah usia pasien, alamat, nomor telepon,
cara pemberian obat, dan catatan pelayanan apoteker. Informasi usia,
alamat, dan nomor telepon pasien hanya dituliskan dalam resep.
Dokumentasi menggunakan formulir seperti dalam peraturan
Kemenkes RI tahun 2016 sulit dilaksanakan karena tingginya jumlah
pasien yang datang ke apotek, baik resep umum, resep prolanis,
maupun pasien non resep sehingga akan membutuhkan waktu yang
39

lama mencatat informasi pelayanan yang diberikan oleh apoteker


untuk setiap pasien.
4. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
Konseling di apotek seharusnya dilakukan oleh apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan
obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Kriteria
pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
a. pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
b. pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
c. pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
d. pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
e. pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Termasuk pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
obat.
f. pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Apabila tingkat kepatuhan
pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief
Model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga
pasien sudah memahami obat yang digunakan serta mendokumentasi dan
meminta tanda tangan pasien dalam formulir yang terdapat dalam
peraturan Kemenkes tahun 2016. Tahapan konseling, seringkali kurang
diperhatikan di Apotek Karya Sehat sehingga beberapa pasien, terutama
pasien resep prolanis kurang patuh terhadap pengobatan dan jarang
melakukan pemeriksaan kondisi secara rutin. Dokumentasi konseling
kepada pasien juga tidak mencantumkan semua informasi sesuai dengan
formulir dalam peraturan Kemenkes tahun 2016. Kekurangan dalam hal
dokumentasi selama pelayanan resep dan konseling yang dilakukan
apoteker kepada pasien dapat dibenahi apabila menambah aplikasi atau
40

perangkat lunak yang dapat menyimpan informasi pengobatan dalam


komputer sehingga semua informasi dapat tersimpan dengan baik.
KIE yang dilakukan di Apotek Karya Sehat yaitu :
a. Komunikasi
Komunikasi yang dilakukan di Apotek Karya Sehat dilakukan untuk
pelayanan obat langsung, pelayanan obat swamedikasi dan pelayanan
jika ada obat resep. Komunikasi kepada pasien dilakukan untuk
mengetahui berbagai keluhan pasien, serta hal-hal yang terkait dengan
kondisi pasien, seperti sejak kapan keluhan tersebut terjadi, riwayat
penyakit, riwayat pengobatan, serta hal-hal lain yang akan menunjang
pemilihan pengobatan yang akan dipilih apoteker untuk pasien
tersebut.
b. Informasi
Informasi yang dilakukan di Apotek Karya Sehat dilakukan untuk
pelayanan obat langsung, pelayanan obat swamedikasi dan pelayanan
jika ada obat resep. Informasi ini terkait dengan hal-hal yang
menyangkut keluhan pasien serta pengobatannya. Informasi mengenai
pengobatan disini misalnya mengenai cara pemakaian dan lainnya,
sehingga apoteker bisa memastikan bahwa pasien dapat menggunakan
obat dengan baik dan benar selama proses penyembuhannya.
c. Edukasi
Edukasi kepada pasien biasanya terkait dengan hal-hal yang dapat
membantu mengurangi gejala penyakit, mencegah penyakit tersebut
datang kembali dengan memberikan edukasi mengenai bagaimana cara
menjaga diri agar tidak terserang penyakit yang sama untuk kedua
kalinya.
5. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat di Apotek Karya Sehat dilakukan dengan
pemberian informasi obat dan evaluasi penggunaan obat kepada
masyarakat. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus,
rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan
alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui,
41

efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau


kimia dari obat dan lain-lain. Keuntungan dalam pelaksanaan PIO adalah
apoteker dapat membangun kepercayaan pasien terhadap tenaga farmasi
komunitas dan peningkatan pemasukan, baik moral maupun material.
Pasien pun mendapatkan keuntungan berupa penggunaan obat yang
rasional, biaya yang terjangkau, dan edukasi tentang kesehatan.
PIO tidak selalu dilakukan di Apotek Karya Sehat, dikarenakan
minimnya keingintahuan dari masyarakat terkait informasi obat. Pelayanan
PIO di Apotek Karya Sehat biasa dilakukan melalui poster yang tertempel
di mading ruang tunggu pasien, atau bisa melalui langsung dengan
apoteker yang sedang bertugas. Apotek Karya Sehat masih terdapat
keterbatasan pelayanan, dibandingkan dengan Permenkes nomor 73 tahun
2016. Apotek Karya Sehat belum terdapat pelayanan Pemantauan Terapi
Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dikarenakan tidak
adanya keluhan masyarakat terkait hal tersebut. Apotek Karya Sehat
pernah melakukan pelayanan Home Pharmacy di rumah pasien, tetapi saat
ini sudah tidak berjalan lagi, dikarenakan masih belum jelas batasan Home
Pharmacy untuk apoteker.
Berikut ini merupakan beberapa kasus pelayanan swamedikasi dan
kasus drug related problem pada resep yang terjadi di Apotek Karya Sehat.
A. Kasus Swamedikasi
Kasus 1
Keluhan:
Seorang wanita datang ke Apotek Karya Sehat dengan keluhan gatal,
bentol, biduran terus menerus. Keluhan berhenti ketika minum obat Cetirizine,
apabila tidak sedang konsumsi obat akan kambuh kembali.
Analisis kasus:
Subjektif Objektif Assesment Rekomendasi
Gatal, bentol, - Urtikaria Cetirizine untuk mengurangi
biduran terus atau biduran keluhan.
menerus
Sebelum memberikan penanganan pada pasien, sebaiknya ditanyakan
terlebih dahulu beberapa pertanyaan, seperti:
42

a. Ada atau tidak gejala lain yang menyertai, seperti sesak nafas, demam,
atau mual muntah? Hal ini untuk memastikan tingkat keparahan pasien
b. Dimana pertama kali masalahnya timbul? Apakah menyebar atau tidak?
Hal ini untuk menggali informasi daerah tubuh mana saja yang mengalami
gangguan serta untuk mengetahui penyebabnya, bisa secara sistemik atau
nonsistemik
c. Seperti apa lukanya atau masalah kulitnya? Apabila terasa gatal atau sakit,
maka bisa disimpulkan masalah kulit karena infeksi. Apabila tidak sakit
atau gejala yang lain, maka bisa ditanyakan mengenai warna, tekstur,
ukuran, dan suhu daerah luka
d. Apakah ada perubahan warna, bentuk, ukuran, dan konsistensi? Hal ini
penting ditanyakan untuk evaluasi adanya risiko melanoma
e. Gali informasi mengenai riwayat alergi dan pengobatan (Dipiro, 2008).
Urtikaria merupakan penyakit yang ditandai dengan bentol yang besar
dan terasa gatal pada kulit. Faktor yang bisa menjadi pencetus terjadinya
urtikaria, yaitu diet, obat-obatan, alkohol, infeksi virus, gesekan, dan stress
(Godse, 2009). Gatal-gatal pada urtikaria biasanya berlangsung selama
beberapa minggu dan dapat hilang tanpa penanganan khusus. Namun pada
kronik urtikaria, gatal-gatal dapat terjadi hingga 6-12 minggu. Terdapat dua
subtipe utama urtikaria, meliputi urtikaria idiopatik (spontan) kronis dan
urtikaria yang dapat diinduksi (fisik). Urtikaria kronis dapat menunjukkan
adanya pelepasan atau autoantibodi antibodi sel punca ke IgE atau FcεRI,
reseptor afinitas tinggi pada sel mast dan basofil. Beberapa biopsi
menunjukkan vaskulitis leukositoklastik (infiltrat seluler hadir dengan
kerusakan dinding pembuluh darah, bentol hangat, dan ekstravasasi darah
merah) (Greenberger, 2014).
Penanganan pada pasien urtikaria adalah menghindari faktor pencetus.
Apabila gagal dalam pengobatan dengan H1 antihistamin reseptor bloker,
maka perlu menggali gaya hidup sehari-hari dan menghindari kemungkinan
pencetus urtikaria. Jika masih terjadi dengan durasi 6 bulan atau lebih, maka
perlu untuk melakukan tes alergi atau tes penyakit autoimun (Greenberger,
2014). Terapi farmakologi. Terapi farmakologi yang pertama adalah H1
43

antihistamin generasi pertama atau kedua. Biasanya terapi dimulai dengan


antihistamin nonsedasi atau generasi kedua, dan dapat dikombinasikan dengan
antihistamin sedasi pada malam hari apabila gejala sangat mengganggu.
Apabila antihistamin tidak memberikan efek, maka dapat diberikan
antidepresan trisiklik di malam hari. Selain itu, dapat diberikan Prednisolone
untuk kontrol serangan yang parah, namun tidak disarankan untuk terapi
jangka panjang. Pilihan terakhir adalah Methotrexate atau Cyclosporine
(Godse, 2009).
Terapi yang diberikan saat swamedikasi:
Apoteker menyarankan periksa ke dokter dan melakukan test alergi
sehingga dapat menghindari faktor pencetus biduran. Apoteker hanya
memberikan cetirizine sebagai anti alergi untuk mengatasi keluhan gatal dan
bentol yang diderita pasien. Kemudian apoteker memberikan penjelasan
mengenai informasi obat, seperti berikut:
Indikasi : Mengatasi kondisi alergi
Kontraindikasi: Pasien hipersensitif terhadap cetirizine. Harus
menghindari alkohol dan obat-bat sedasi, serta mengurangi
kegiatan yang membutuhkan kewaspadaan tinggi karena
obat dapat sebabkan depresi saraf pusat.
Dosis : 10 mg, 1 tablet 1x dalam sehari. Pengaturan dosis
diperlukan untuk pasien gangguan hati dan ginjal serta
lansia.
Efek samping : Pusing, insomnia, lelah, mulut kering, mual, dan
bronkospasma.
Kasus 2
Keluhan:
Seorang bapak datang ke Apotek Karya Sehat dengan keluhan:
Usia : 40-50 tahun
Keluhan : pusing sejak beberapa hari yang lalu, sakit kepala, dan
telinga berdengung. Pasien sebelumnya mengalami vertigo.
Analisis Kasus:
Vertigo adalah suatu bentuk gangguan orientasi berupa ilusi atau
halusinansi gerakan dimana perasaan dirinya bergerak berputar atau
bergelombang terhadap ruangan di sekitarnya atau ruangan sekitarnya yang
bergerak terhadap dirinya (Strorper et al., 2010). Menurut Kerns et al. (2009)
berdasarkan etiologinya vertigo dapat dikategorikan ke dalam empat jenis
44

yaitu otologik, sentral, medikal dan tak terlokalisir. Vertigo otologik


disebabkan oleh disfungsi telinga bagian dalam. Tujuan umum
penatalaksanaan vertigo adalah untuk mengeliminasi gejala vertigo,
meningkatkan kompensasi sistem vestibuler dan mengontrol gejala
neurovegetatif dan psikoafektif yang menyertai vertigo (Weber, 2008).
Terapi yang diberikan saat swamedikasi:
Apoteker menyarankan untuk mengkonsumsi Betahistin. Betahistine
merupakan analog dari histaminergik.Betahistine di indikasikan sebagai
vasodilator spinchter prekapiler sehingga mampu meningkatkan aliran darah
pada telinga bagian dalam, mengatur permeabilitas kapiler pada telinga bagian
dalam.Dan memperbaiki sirkulasi serebral.Menurut beberapa penelitian
penggunaan betahistine untuk mengurangi keluhan vertigo dan gangguan yang
terjadi pada telinga serta menunjukan bahwa penggunaan betahistine efektif
untuk mengurangi keparahan dari Miniere’s disease/vertigo (Lacour, 2007).
Sebuah penelitian randomized trial yang dilakukan oleh Fraysse et al. (1991)
juga menyatakan bahwa betahistine memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibanding flunarizine pada pasien vertigo dengan atau tanpa penyakit
Meniere. Betahistine secara signifikan mampu menurunkan durasi dan
keparahan serangan serta mengurangi gejala vertigo dibanding flunarizine.
Indikasi : Mengatasi vertigo
Kontraindikasi: Pasien penderita feokromositoma
Dosis : Mertigo tablet 6 mg diminum 1-2 tablet 3x dalam sehari.
Efek samping : kemerahan pada kulit, gangguan ringan GI, konstipasi

Gambar 4. 1 Guideline Tatalaksana Terapi Vertigo (Abes, 2011).


45

Kasus 3
Keluhan:
Ada seorang ibu-ibu datang ke Apotek Karya Sehat, kemudian
menanyakan obat yang cocok untuk diberikan kepada anaknya, dengan
kondisi:
Usia : 3 tahun
Keluhan : Sulit BAB selama 3 hari.
Namun, sang ibu tidak ingin jika diberikan obat laksatif penggunaan dubur,
karena khawatir anaknya akan menangis. Sehingga, sang ibu meminta untuk
diberikan obat pencahar oral saja.
Analisis kasus:
Subjektif Objektif Assesment Rekomendasi
Balita berusia 3 tahun - Konstipasi Laksatif pembentuk massa
sulit BAB selama 3 yang aman untuk balita
hari (Microlax®).
Konstipasi adalah pembuangan tinja yang keras dengan frekuensi yang
kurang dari biasanya. Penggunaan pencahar pada anak sebaiknya dihindari
kecuali diresepkan oleh dokter yang ahli dalam tata laksana konstipasi pada
anak. Buang air besar yang jarang mungkin normal pada bayi yang masih
menyusu atau akibat kurangnya masukan cairan atau serat. Penundaan buang
air besar lebih dari 3 hari dapat meningkatkan rasa nyeri saat pengeluaran tinja
yang keras (BPOM RI, 2015).

Berdasarkan algoritma terapi pada (Dipiro, 2008), bahwa penanganan


non farmakologi konstipasi dapat dilakukan dngan meningkatkan konsumsi
serat dan cairan. Selain itu, terapi farmakologis dapat diberikan laksatif
sebagai bulk forming agent (agen pembentuk massa).
46

Gambar 4.2 algoritma terapi konstipasi (Dipiro, 2008).


Obat pencahar laksatif dapat digolongkan sebagai berikut:
- Lanksansia kontak
Pencahar jeis ini terdiri dari bahan seperti bisakodil dan oleum ricini
yang merangsang secara langsung dinding usus, sehingga terjadi
peningkatan peristaltic dan pengeluaran isi usus secara cepat.
- Laksansia osmotik
Pencahar jenis ini terdiri dari garam-garam anorganik, seperti
magnesium sulfat, sorbitol, mannitol, laktulosa, dan gliserol yang
bekerja dengan cara melunakkan tinja dan memperbesar volumenya
sebagai suatu rangsangan mekanis pada dinding usus.
- Emollient
Terdiri dari Na-Lauril sulfat yang berfungsi untuk melunakkan tinja
dengan jalan menurunkan tegangan permukaan feses sehingga feses
lebih mudah terbasahi.
Terapi yang diberikan saat swamedikasi:
47

Apoteker tidak menyarankan obat pencahar oral, karena anak ibu


tersebut masih berusia 3 tahun. Kemudian, apoteker memberikan penjelasan
kepada ibu tersebut bahwa Microlax® bekerja cepat, sekitar 30 menit setelah
pemakaian dan menjelaskan beberapa cara penggunaannya yang sederhana.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari (Mediskus, 2018), Microlax®
mengandung Na-lauril sulfoasetat, PEG, sorbitol, asam sorbat, dan air murni
yang mampu memperbaiki gerakan usus dan membantu pengosongan usus
tanpa mengiritasinya. Obat ini mudah digunakan dan langsung bekerja setelah
penggunaan 30 menit pada orang dewasa maupun anak kecil. Lalu ibu tersebut
mengiyakan atas apa yang disarankan oleh apoteker. Berikut KIE yang
diberikan apoteker kepada ibu tersebut:
A. Cara penggunaan obat
- Bagian pipa aplikator sudah dioleskan dengan obat.
- Posisi anak menungging, kemudian dimasukkan ppipa aplikator ke
bagian dubur anak, jangan sambal mengejan.
- Dipencet perlahan kedalam dubur.
- Diberikan ½ tube saja untuk anak berusia 1-3 tahun.
- Bila sudah, ditarik pipa aplikatornya sambil tetap dipencet untuk
menghindari tersedotnya cairan kembali kedalam tube.
- Ditunggu obat bekerja kurang lebih 30 menit.
B. Menyarankan ibu tersebut untuk tetap memberikan buah-buahan dan air
putih yang banyak kepada anaknya.
C. Menanyakan kemungkinan adanya ketidakcocokan dalam penggunaan
susu, jika iya lebih baik diganti.
D. Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat yang diberikan:
- Sensasi sedikit perih dan penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan diare atau kekurangan cairan.

Kasus 4
Keluhan:
Seorang ibu-ibu datang ke Apotek Karya Sehat dengan keluhan:
Usia : 30-40 tahun
Keluhan : Nyeri di bagian punggung, sedang menyusui, tidak ada
alergi, dan tidak maag.
Analisis Kasus:
Nyeri punggung adalah sensasi sensorik yang tidak menyenangkan
sehubungan dengan kerusakan jaringan atau kemungkinan adanya kerusakan
jaringan di sepanjang tulang belakang, dari dasar leher hingga ke tulang ekor.
Gejalanya bisa berupa rasa sakit yang datang dan pergi, serta cenderung
48

memburuk di kala malam. Nyeri punggung dapat terpicu oleh postur tubuh
yang tidak ideal saat duduk, berdiri, atau membungkuk. Kondisi ini juga bisa
diakibatkan oleh efek mengangkat benda yang terlalu berat (Alodokter, 2018).
Pemberian vitamin B12 dapat menjadi pilihan yang layak untuk
pengobatan terhadap nyeri punggung kronis, karena beberapa penelitian
menyatakan nyeri berkurang setelah pemberian vitamin B12. Vitamin B12
dipercaya dapat memberikan manfaat dalam regenerasi saraf yang cedera
seperti pada penekanan saraf tulang belakang. Namun butuh penelitian lebih
lanjut terhadap efek antinyeri dan cara kerja vitamin B12 dalam mengatasi
nyeri punggung (Alodokter, 2018).

Terapi yang diberikan saat swamedikasi:


Apoteker menyarankan untuk mengkonsumsi Neuropiron-V®.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari (VMedika, 2018), bahwa
Neuropiron-V® mengandung metampiron, Vit. B1, Vit B6, dan Vit B12 yang
dapat mengurangi rasa nyeri dan tidak menimbulkan iritasi pada lambung.
Selain itu, apoteker juga menyarankan untuk mengkonsumsi obat ini setiap
pagi ketika sedang tidak menyusui anaknya.
Indikasi : Meredakan nyeri sedang sampai dengan berat.
Kontraindikasi: Pasien dengan Tekanan Darah sistolik <100 mmHg,
depresi pernapasan, gangguan paru akut, glaukoma sudut
sempit, kondisi psikotik akut.
Dosis : 1 kaplet 3x dalam sehari.
Efek samping : Reaksi hipersensitivitas seperti kemerahan pada kulit,
reaksi alergi, agranulositosis, perdarahan ginjal.

Kasus 5
Keluhan :
Ny. A datang ke Apotek Karya Sehat menceritakan keluhannya yang
mengalami gatal-gatal bintik merah pada sekitar tangan sudah 3 hari ini.
Apoteker menanyakan adanya penyebab gatal tersebut, apakah akibat
keringat, alergi atau akibat penyebab lain seperti terkena serangga dll. Ny. A
mengakui bahwa gatal tersebut mungkin diakibatkan oleh keringat atau debu
karena ia tidak punya riwayat alergi. Apoteker diminta untuk memberikan
obat topikal gatal tersebut.
Rekomendasi Terapi Yang Disarankan :
49

Apoteker merekomendasikan krim kulit Denomix.


Penyelesaian Kasus :
Apoteker menanyakan terlebih dahulu kepada pasien terkait riwayat
penggunaan dan alergi obat, karena pasien tidak memilliki riwayat kemudian
diberikan krim kulit Denomix. Denomix memiliki kandungan yang terdiri dari
zat aktif desoxymethasone 0.05% dan neomycin sulfate 0,5%. Denomix yaitu
obat yang dipakai untuk mengobati manifestasi inflamasi serta pruritis di
dermatitis yang peka dengan kortikosteroid disertai dengan infeksi oleh
bakteri jenis tertentu. Denomix memiliki kandungan desoxymethasone 0.05%
merupakan kortikosteroid yang dapat meringankan inflamasi (bintik-bintik
merah), sedangkan neomycin sulfate 0.5% merupakan antibiotik golongan
aminoglikosida yang memiliki efek sebagai anti infeksi spektrum luas untuk
mencegah atau mengobati infeksi yang diakibatkan bakteri pada daerah yang
gatal.
Efek Samping :
 Pada penggunaan jangka panjang, denomix bisa menyebabkan atrofi, striae,
telangiectasias, sensasi kulit seperti terbakar, iritasi, kulit kering, folikulitis,
jerawat, hipopigmentasi, dermatitis perioral, dermatitis kontak alergi,
infeksi sekunder, dan miliaria.
 Pada beberapa orang yang peka, obat ini kadang menimbulkan reaksi
hipersensitif.
KIE Kepada Pasien :
Ny. A menyetujui obat yang direkomendasikan oleh apoteker,
kemudian apoteker memberikan informasi mengenai cara pemakaian krim
Denomix. Krim Denomix dioleskan tipis-tipis pada daerah yang gatal dengan
arah yang searah bukan melingkar. Krim Denomix digunakan 2-3 kali sehari.
Saat memakainya alangkah baiknya bagian kulit yang gatal tidak dalam
keadaaan tertutup karena dapat menimbulkan efek samping sistemik.
Pengobatan yang dilakukan tidak boleh lebih dari 4 minggu.

Kasus 6
Keluhan :
Tn. B datang ke Apotek dengan keluhan sakit gigi, setelah ditelusuri
pasien juga mengalami gusi bengkak selama 2 hari namun tidak bolong.
Apoteker diminta untuk memberikan obat oral yang ampuh untuk mengatasi
sakit gigi pasien tersebut.
50

Rekomendasi Terapi Yang Disarankan :


Apoteker merekomendasikan obat Cataflam tablet 50 mg.

Penyelesaian Kasus :
Apoteker menanyakan terlebih dahulu kepada pasien terkait riwayat
penyakit, penggunaan dan alergi obat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
dan obat. Pasien dengan keluhan nyeri dan radang pada gusi dapat disebebkan
oleh beberapa faktor salah satunya yaitu gigi berlubang Lubang kecil pada
email gigi selanjutnya dapat menjadi celah dan menyebabkan tumbuhnya
bakteri. Bakteri akan membuat lubang semakin besar. Pada saat lubang
semakin besar akan terasa linu pada gigi saat makan. Bila dibiarkan, lubang
akan sampai pada pulpa gigi, sehingga mulai merasakan nyeri atau sakit gigi
yang berat. Gigi yang berlubang mengakibatkan gusi di sekitarnya bengkak
karena infeksi yang terjadi pada gigi (Tatro, 2003). Namun dalam kasus ini
pasien belum mengeluhkan gigi berlubang, sehingga belum dapat disimpulkan
penyebabnya karena infeksi bakteri, sehingga pengobatan sebatas mengarah
kepada pengatasan gejala yaitu menggunakan NSAID.
Cataflam merupakan obat dengan kandungan zat aktif Kalium
Diklofenak 50 mg. Diklofenak adalah Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug
(NSAID) dengan nama kimia 2- (2,6-dichloranilino) asam fenilasetat. NSAID
(Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug) adalah golongan obat yang berperan
dalam mengatasi nyeri (analgetik) dan peradangan (antiinflamasi). Analgetik
atau obat yang mengurangi rasa sakit diperlukan karena pasien terganggu
aktivitasnya yang disebabkan oleh sakit gigi, obat pereda rasa sakit bekerja
dengan menghambat enzim siklooksigenase (mengurangi nyeri). Antiinflamasi
diperlukan untuk mengatasi gusi yang bengkak dengan menghambat enzim
fosfolipase A2, sehingga tidak terbentuk asam arakhidonat. Tidak adanya asam
arakhidonat berarti tidak terbentuknya prostaglandin yang menyebabkan
terjadinya gusi bengkak (Gunawan, 2007).
Cara kerja diklofenak adalah menghambat kerja enzim siklooksigenase
(COOX). Enzim ini berfungsi untuk membantu pembentukan prostaglandin
saat terjadinya luka dan menyebabkan rasa sakit dan peradangan. Dengan
menghalangi kerja enzim COOX, prostaglandin lebih sedikit diproduksi, yang
berarti rasa sakit dan peradangan akan mereda.Obat ini biasanya diberikan
51

dalam bentuk garamnya, berupa natrium diklofenak atau kalium diklofenak.


Cataflam Digunakan sebagai pereda nyeri, mengurangi gangguan inflamasi
(radang), nyeri ringan sampai sedang pasca operasi khususnya ketika pasien
juga mengalami peradangan.
Menurut Guideline dari Management Acute Dental Problem, dalam
penanganan kasus ini dapat diatasi dengan terapi analgesik :

Gambar 4.3 Algoritma Terapi Pada Sakit Gigi (SDCEP, 2013)


Penatalaksanaan terapi dilakukan berdasarkan algoritma tersebut,
karena pada kasus ini tidak diketahui penyebab nyeri yang muncul, maka
evaluasi yang perlu dilakukan adalah apakah sakit gigi menyebabkan gigi
berlubang atau tidak, pada kasus ini gigi tidak mengalami berlubang dan
belum diberi obat apapun sebelumnya, maka terapi yang diberikan adalah obat
analgesik-antiinflamasi (SDCEP, 2013). Rekomendasi terapi yang diberikan
oleh apoteker kepada kasus pasien tersebut sudah sesuai dengan guideline
terapi sakit gigi.
52

Efek Samping : Mengantuk, pusing, gatal, hidung tersumbat, keringat


berlebih, dan sakit kepala (Gunawan, 2007).

KIE Kepada Pasien : Tn.B menyetujui obat yang direkomendasikan oleh


apoteker, kemudian apoteker memberikan informasi mengenai cara pemakaian
obat. Cataflam tablet 50 mg diminum 2 kali sehari setelah makan. Diusahakan
untuk selalu meminum obat pada jam yang sama setiap hari agar dapat
mendapatkan interval antardosis yang sama. Apoteker juga menyarankan
kepada pasien untuk mengurangi makanan yang manis, makanan dan
minuman yang terlalu panas atau terlalu dingin, menggosok gigi dan
berkumur secara rutin.

Kasus 7
Keluhan pasien:
Seorang ibu datang ke Apotek Karya Sehat ingin membeli obat untuk
anaknya. Ibu tersebut menyampaikan bahwa anaknya yang baru berumur tiga
tahun mengalami gatal-gatal dibagian anus atau dubur. Ketika malam hari
anak susah untuk tidur karena gejala tersebut.Anak tersebut tidak memiliki
riwayat alergi. Pasien meminta kepada apoteker untuk diberikan obat dengan
sediaan sirup.
Penyelesaian Kasus:
Dari keluhan seorang anak yang berusia tiga tahun tersebut dapat disimpulkan
bahwa ia menderita cacingan. Pasien tidak memiliki riwayat alergi, tidak
hamil, dan tidak berusia dibawah dua tahun, sehingga sudah sesuai untuk
diberikan obat Combantrin Syrup. Mekanisme kerja obat Combantrin Syrup
yang mengandung pirantel pamoat yaitu memiliki efek anthelmintik
depolarisasi pada otot cacing untuk melumpuhkan cacing, kemudian
melepaskan asetilkolin dan menghambat kolinesterase, sehingga mengganggu
hubungan neouromuskular. Hal ini akan menyebabkan spasmus dan
pengerutan otot cacing, sehingga cacing mudah dikeluarkan oleh gerakan
usus. Pirantel pamoat merupakan pilihan obat untuk penyakit askariasis,
anskilostomiasis, dan enterobiasis. Pemberian pirantel pamoat tidak memiliki
efek samping yang serius, sehingga obat ini tepat sebagai pilihan untuk
penderita cacingan dan dijual bebas di Indonesia (Katzung, 2004).
Terapi yang disarankan:
Apoteker menyarankan untuk diberikan Combantrin Syrup.
53

 Combantrin Syrup
Combantrin Syrup mengandung pirantel pamoat yang setara dengan
pirantel base 125 mg. Pirantel Pamoat merupakan obat golongan
antihelmintes. Antihelmintes adalah golongan obat yang dapat mematikan
atau melumpuhkan cacing dalam usus manusia atau hewan sehingga
cacing dapat dikeluarkan bersama-sama dengan kotoran.
Indikasi:
Combantrin syrup diindikasikan untuk pengobatan infeksi (infeksi tunggal
ataupun ganda) yang disebabkan oleh parasit-parasit saluran pencernaan
seperti cacing kremi (Enterobius vermicularis), cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale), cacing tambang
(Necator americanus), Trichostrongilus colubriformis, dan Trichostrongilus
orientalis. Adanya infeksi yang disebabkan salah satu dari kelima parasit pada
salah satu anggota keluarga atau kelompok orang yang berdekatan dapat
menjadi pertanda adanya juga infeksi pada anggota keluarga lainnya.
Sehingga, dianjurkan pemberian pirantel pamoat kepada seluruh anggota
keluarga (pemberian menyeluruh), lingkungan dan pakaian untuk
memusnahkan telur-telur cacing dan mencegah terjadinya infeksi berulang.
Kontraindikasi:
Combantrin syrup tidak boleh digunakan untuk penderita yang
hipersensitifitas atau alergi terhadap pirantel pamoat.
Efek Samping:
Efek samping dari Combantrin syrup diantaranya adalah:
a) Susunan syaraf pusat: Demam, sakit kepala, pusing
b) Kulit: Rash
c) Saluran cerna: Kram abdomen, diare, mual, muntah, anoreksia dan
tenesmus.
d) Hepatik: Gangguan enzim hepar
e) Neuromuskuler: Letih dan lesu.
Peringatan:
Hati-hati penggunaan pada pasien dengan gangguan hati, anemia, malnutrisi,
ibu hamil, faktor risiko C pada kehamilan, dan tidak boleh diberikan pada usia
<2 tahun.

Dosis:
54

Dosis untuk anak dan dewasa yaitu 10 mg/kg BB, tetapi tidak lebih dari 1 gr.
Combantrin cukup diminum sekali sebelum atau sesudah makan, tidak ada
pantangan atau larangan untuk memakan sesuatun, dan tidak perlu obat
pencahar. Jumlah sendok takar yaitu 5 mL untuk sekali minum : Usia 2-6
tahun (1-2 sendok takar), usia 6-12 tahun (2-3 sendok takar), usia > 12 tahun
( 3-4 sendok takar)
( BPOM RI, 2008).

KIE untuk pasien:


1) Memberikan informasi tentang cara pemakaian, indikasi, kontraindikasi,
larangan, dan dosis obat combantrin syrup.
2) Memberikan edukasi tentang faktor-faktor penyebab cacingan agar pasien
berusaha untuk menghindari, yaitu rendahnya tingkat sanitasi pribadi
(perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan
dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku jajan di
sembarang tempat yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku
BAB tidak di WC yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan
oleh feses yang mengandung telur cacing serta ketersediaan sumber air
bersih ( Winata, dkk, 2012).
3) Memberikan informasi untuk patuh meminum obat cacing, karena efek
jangka panjang dari infeksi cacing usus berpengaruh terhadap pemasukan,
pencernaan, penyerapan, serta metabolisme makanan, yang dapat
menyebabkan hilangnya protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan darah
dalam jumlah yang besar. Juga dapat menimbulkan ganguan respon imun,
menurunkan plasma insulin like growth factor (IGF)-1, meningkatkan
kadar serum tumor necrosis factor a (TNF), konsentrasi rerata hemoglobin
rendah, sintesis kolagen menurun. Disamping itu, juga menimbulkan
berbagai gejala penyakit seperti anemia, diare, sindroma disentri dan
defisiensi besi (Siregar, 2006).

Kasus 8
55

Seorang ibu dating ke Apotek Karya Sehat ingin membeli obat untuk
sakit tenggorokan. Keluhan pasien yaitu tenggorokannya sakit sudah dua hari,
dan beliau sedang dalam keadaan menyusui.
Penyelesaian Kasus:
Degirol merupakan golongan obat bebas yang dapat dikonsumsi tanpa resep
dokter. Obat ini mengandung dequalinium klorida yang termasuk golongan
antiseptik turunan ammonium kuarterner. Dequalinium chloride berefek secara
lokal atau sistemik dengan membunuh atau memusnahkan dengan segera
bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif, dibiarkan kontak sesering
mungkin dengan tempat infeksi. Keuntungan penggunaan antiseptik turunan
ammonium kuarterner dibandingkan dengan obat sakit tenggorokan lainnya
yaitu memiliki toksisitas yang rendah, kelarutan dalam air besar, dan stabil
(Siswandono dan Soekardjo, 1995). Berdasarkan keluhan pasien, radang
tenggorokan yang dialami termasuk radang tenggorokan ringan karena tidak
o
ada tanda-tanda radang tenggorokan berat/kronis yaitu demam lebih dari 38
C, nyeri saat menelan makanan, pembesaran kelenjar getah bening di leher
(tampak dari pembengkakan leher), bengkak atau adanya nanah di amandel,
sakit kepala, mual, atau muntah, radang tidak sembuh lebih dari seminggu.
Untuk radang tenggorokan ringan dapat diobati dengan obat tanpa resep
dokter. Ibu tersebut dalam keadaan menyusui, dan degirol aman untuk ibu
menyusui dibandingkan dengan FG Troches yang mengandung antibiotik
golongan aminoglikosida yang memiliki efek samping mengurangi
pendengaran dan bahkan gangguan ginjal. Alasan lain dipilih degirol karena
merupakan obat tunggal, obat tunggal untuk ibu hamil lebih aman
dibandingkan dengan obat kombinasi yang memiliki resiko lebih kepada bayi
yang disusui ( Soleh, 2013).
Terapi yang disarankan:
Apoteker menyarankan FG Troches Meiji dan Degirol. Akan tetapi ibu
tersebut tidak memiliki resep dokter, jadi tidak dapat diberikan FG Troches
Meiji karena mengandung antibiotik Fradiomisin sulfat 2,5 mg dan
Gramisidin-S HCl 1 mg, sehingga diberikan Degirol. Degirol hanya tersedia
dalam bentuk tablet hisap, dalam setiap tabletnya mengandung Dequalinium
56

Klorida 0,25 mg dalam bentuk 1,1′-Decamethylenebis-4-aminoquinaldinum


chloride.
Indikasi:
Tablet hisap Degirol diindikasikan untuk sakit tenggorokan akibat peradangan,
sariawan, radang gusi (gingivitis), periodontitis, laryngitis atau radang pada
laring, angina vincent (radang selaput lendir mulut dengan tukak-tukak
berselaput), dan infeksi selaput lendir mulut, misalnya stomatitis.
Kontraindikasi:
Degirol tidak boleh digunakan untuk penderita yang hipersensitifitas atau alergi
terhadap Dequalinium chloride.
Efek Samping:
Umumnya Degirol ditoleransi dengan baik dan jarang menimbulkan efek
samping. Meskipun begitu, segera hentikan pengobatan apabila ada tanda-tanda
alergi seperti gatal-gatal, ruam kemerahan, dan sesak nafas. Efek samping
ringan yang dapat muncul seperti rasa panas atau sakit pada lidah.
Peringatan:
Degirol tidak boleh digunakan dalam jangka panjang Obat ini harus digunakan
dengan hati-hati selama kehamilan dan menyusui. Sebaiknya berkonsultasi
terlebih dahulu dengan dokter. Jika gejala penyakit yang diobati menetap
meskipun telah dilakukan pengobatan, maka carilah nasihat medis dari dokter
atau apoteker.
Dosis:
Degirol dikonsumsi tiga kali sehari, satu tablet dibiarkan melarut perlahan-
lahan di dalam mulut. Ulangi setiap 3-4 jam, atau sesuai dengan petunjuk
dokter. Dan ingat, jangan melebihi 8 tablet sehari.
(Alodokter, 2018).

KIE untuk pasien:


1) Memberikan informasi pemakaian obat yaitu jika ibu menyusui memerlukan
terapi obat dan obat yang diberikan merupakan obat yang relatif aman maka
obat tersebut sebaiknya dikonsumsi 30 – 60 menit setelah menyusui dan 3 –
4 jam sebelum waktu menyusui berikutnya. Waktu tersebut umumnya sudah
57

mencukupi dimana darah ibu sudah relatif bersih dari obat dan konsentrasi
obat dalam ASI juga sudah relatif rendah.
2) Memberikan edukasi kepada pasien untuk menghindari makanan yang
berminyak, mengandung es, dan makanan lain yang menyebabkan radang
tenggorokan.
3) Memberikan edukasi tentang daftar obat yang kontraindikasi terhadap ibu
menyusui seperti amfetamin, kokain, heroin, antibiotic golongan
aminoglikosida, metronidazole, ciprofloxacin, dan tetrasiklin.
(Riordan, 2000).

B. Kasus Resep
Kasus 1
Dokumen farmasi pasien:

Nama : An. Latif


Jenis Kelamin : Laki-laki
Problem medik: Bronkopneumonia
A. Subjektif
Tidak digali informasi mengenai keluhan pasien oleh apoteker.
B. Objektif
Tidak ada data objektif yang didapatkan dari pasien.
C. Assessment
58

Pada resep ini tidak ditemukan DRP, yaitu overdosis pada resep
ambroxol. Dosis ambroxol sebagai mukolitik pada anak usia 2 hingga 5
tahun adalah 7,5 mg 2 atau 3 kali sehari sedangkan pada resep diberikan
sirup ambroxol 15mg/5ml 3 kali sehari 1 sendok the (5 ml) (MIMS,
2017).
D. Plan
1) Tujuan Terapi
Dilihat dari obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien,
diduga pasien menderita bronkopneumonia yang disertai dengan
batuk berdahak dan adanya infeksi sehingga perlu diberikan terapi
untuk bronkopneumonia menggunakan antibiotik. Algoritma
Bronkopneumonia mengikuti saran (WHO,2014).

Gambar 4.4 Algoritma Terapi Pneumonia


Berdasarkan algoritma, seharusnya pasien bronkopneumonia
usia 2 hingga 59 bulan mendapat terapi amoxicillin sirup dengan
dosis 125 mg/5 ml tiap 8 jam. Namun dalam resep belum tertera
jelas diagnosa pasien, sehingga indikasi bronkopneumonia belum
tentu tepat. Selain itu, Cefixime memiliki efikasi sedikit lebih
rendah pada kasus yang disebabkan oleh S.pneumoniae
59

dibandingkan dengan amoksisilin namun cefixime juga menjadi


altenatif yang efektif dalam mengatasi infeksi yang lain pada anak,
seperti otitis media (Tan, 1995).
2) Terapi yang diberikan
a. Cefixime
Cefixime adalah antibiotik spectrum luas golongan sefalosporin
generasi ke tiga yang bekerja dengan berikatan pada 1 atau
lebih protein penicillin binding dan menghentikan sintesis
dinding sel bakteri. Cefixime terdistribusi dengan baik dalam
jaringan dan cairan tubuh, termasuk pleura.
Indikasi : Antibiotik
Dosis : 100mg/5ml 2 kali sehari 1 sendok takar
Efek samping : Diare
KIE : Harus dihabiskan dan sebelum diminum
harus dikocok terlebih dahulu. Obat digunakan 2 kali sehari 1
sendok takar setelah makan
(MIMS, 2017).
b. Ambroxol
Ambroxol adalah obat golongan mukolitik yang berfungsi
untuk mengencerkan dahak agar lebih mudah dikeluarkan
melalui batuk sehingga melegakan saluran pernapasan. Obat ini
digunakan dalam beberapa kondisi yang menghasilkan banyak
dahak seperti pneumonia bronkhitis.
Indikasi : Mukolitik
Dosis : 3 kali sehari ½ sendok takar
Efek samping : Reaksi alergi dan gangguan GI ringan
KIE : Diminum harus menggunakan sendok takar setelah
makan.
(MIMS, 2017).
60

Kasus 2

Dokumen farmasi pasien:


Nama : Tn. Kristiono
Jenis Kelamin : Laki-laki
Problem medik: Hipertensi dan dyslipidemia
a. Subjektif
Tidak digali informasi mengenai keluhan pasien oleh apoteker.
b. Objektif
Tidak ada data objektif yang didapatkan dari pasien.
c. Assessment
Dalam resep, terdapat kombinasi obat dalam pengobatan hipertensi
dan dislipidemia. Untuk terapi HT, digunakan obat Amlodipin (golongan
Ca-Channel Blocker) dan Candesartan (golongan Angiotensin II Reseptor
Blocker). Tidak ada DRP pada pemberian obat untuk HT karena sudah
sesuai dengan kebutuhan pasien dengan tekanan darah 150/100 mmHg
(JNC, 2004). Sedangkan untuk terapi dislipidemia digunakan simvastatin.
Namun obat tidak diserahkan karena tidak ditanggung oleh BPJS.
Sehingga hanya diberikan salinan resep saja (Kemenkes R.I., 2014).
61

Gambar 4.5 Algoritma terapi hipertensi


d. Plan
Tujuan terapi hipertensi, diantaranya adalah untuk menjaga tekanan
darah sesuai dengan target tekanan darah (140/90 mmHg). Menerapkan
gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan
darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan
hipertensi. Langkah awal untuk terapi hipertensi, yaitu harus melakukan
perubahan gaya hidup. Adapun terapi farmakologi pada penyakit
hipertensi dapat dilihat melalui algoritma berikut (James, et al., 2014).
62

Gambar 4.6 algoritma terapi penderita hipertensi (James et al., 2014).


Obat yang dipilih dalam terapi ini adalah candesartan (golongan
Angiotensin Receptor Blocker) dan amlodipine (golongan Calsium Channel
Blocker). ARB bekerja dengan memblokadi Angoitensin secara aktif agar
tidak berikatan dengan reseptor, sehingga tidak menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Sedangkan CCB bekerja dengan memblokade kanal ion
kalsium, sehingga tidak menyeebabkan kontraksi otot jantung dan dapat
mengontrol tekanan darah normal (Binfar, 2006).
e. Monitoring dan KIE
Monitoring: Tekanan darah setiap bulannya perlu dipantau dan usahakan
hingga tetap pada target, yaitu tekanan darah <140/90mmHg (James et al,
2014).
KIE: Konsumsi obat harus teratur, agar efek terapi tercapai dan hati-hati
adanya efek samping yang tidak diinginkan, berupa hipotensi.
63

Kasus 3

Dokumen farmasi pasien:


Nama : Ny. Ngatiyan
Jenis Kelamin : Perempuan
Problem medik: PPOK
a. Subjektif
Tidak digali informasi mengenai keluhan pasien oleh apoteker.
b. Objektif
Tidak ada data objektif yang didapatkan dari pasien.
c. Assessment
Pada resep ini tidak ditemukan DRP yang muncul karena pemilihan obat
sudah tepat sesuai kebutuhan pasien.
d. Plan
1) Tujuan Terapi
Dilihat dari obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien,
diduga pasien menderita PPOK yang disertai dengan batuk berdahak.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran
kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi
64

otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Obstruksi saluran


napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas. Tujuan utama terapi pada pasien PPOK adalah mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, dan meningkatkan kualitas hidup penderita
(PDPI, 2003). Obat dalam resep berrujuan untuk mencegah eksaserbasi
akut dan mengurangi gejala batuk berdahak, karena adanya
asetilsistein sebagai mukolitik (Drugs.com, 2018). Selain itu juga
terdapat Spiriva® yang mengandung tiotropium bromide sebagai
brokodilator golongan Long Acting Anti-cholinergic (Dipiro, 2008).
2) Terapi yang diberikan
a. Asetilsistein
Acetylcysteine adalah obat golongan ekspektoran/mukolitik
yang berfungsi untuk mengencerkan dahak yang menghalangi
saluran pernapasan. Dahak kental yang menempel dan
menghambat saluran pernapasan biasanya muncul akibat penyakit
pada paru-paru yang meliputi bronkitis, tuberkulosis, pneumonia,
serta sistik fibrosis. Penggunaan obat pengencer dahak dapat
memperlancar pernapasan (Drugs.com, 2018).
Indikasi : Mukolitik (Pengencer dahak)
Dosis : 200mg 2-3kali sehari
Efek samping : Mengantuk, mual, muntah, sariawan.
KIE : Digunakan 3xsehari 1 tablet bersama dengan
makanan. Konsumsi asetilkolin pada jam yang sama untuk
memaksimalkan efeknya.
(Alodokter, 2018).
b. Spiriva®
Spiriva mengandung tiotropiumbromide, merupakan
bronkodilator golongan Long Acting Anti-cholinergic sebagai
terapi pemeliharaan pada terapi penderita PPOK sehingga
mengurangi gejala eksaserbasi berulang yang dialami pasien.
Digunakan sehari sekali, karena dapat memelihara bronkodilator
selama 24 jam (Dipiro, 2008).
65

Indikasi : Bronkodilator (terapi pemelliharaan jangka


panjang) pada penderita PPOK
Dosis : 1 kali sehari, 1 puff (setara dengan 18mcg)
Efek samping : Dehidrasi, pusing, sakit kepala, insomnia,
penglihatan kabur.
KIE : Digunakan 1xsehari 1 puff. Jangan digunakan
lebih dari 1x dalam sehari!
(Dipiro, 2008).
Kasus 4

Dokumen farmasi pasien:


Nama : Ny. Yuni
Jenis Kelamin : Perempuan
Problem medik: Diabetes Melitus dan Hipertensi
a. Subjektif
Tidak digali informasi mengenai keluhan pasien oleh apoteker.
b. Objektif
Tidak ada data objektif yang didapatkan dari pasien.
c. Assessment
Dalam resep, terdapat kombinasi obat dalam pengobatan DM dan
Hipertensi. Untuk terapi HT, digunakan obat Amlodipin (golongan Ca-
Channel Blocker) dan Irbesartan (golongan Angiotensin II Reseptor
Blocker). Tidak ada DRP pada pemberian obat untuk HT, karena sudah
sesuai dengan kebutuhan pasien (Drugs.com, 2018). Sedangkan untuk
66

terapi DM, digunakan metformin, injeksi insulin Novorapid® (injeksi


insulin golongan prandial yang bekerja fast acting) dan Lantus® (injeksi
insulin golongan basal yang bekerja long acting). Metformin bekerja
untuk menurunkan kadar gula di hati dan tidak merangsang sekresi
insulin oleh kelenjar pankreas (Binfar, 2005). Sedangkan Lantus® dan
Novorapid®, keduanya merupakan injeksi insulin untuk memproduksi
insulin dari luar tubuh penderita jika penggunaan metformin oral saja
belum cukup untuk mengontrol kadar gula darah untuk agar tetap normal
(NDEI, 2016). Novorapid® (insulin kerja cepat yang mempertahankan
insulin selama 3-5 jam) perlu dikombinasikan dengan Lantus® (insulin
kerja panjang yang dapat mempertahakan insulin selama 24 jam) (NDEI,
2016). Sehingga, kombinasi antara obat hipoglikemik oral dengan injeksi
insulin dikhawatirkan akan terjadi adverse drug reaction berupa
hipoglikemik, karena menurunnya gula darah secara berlebihan dibawah
batas norma (Binfar, 2005). Berdasarkan drug interection checker pada
Drugs.com juga menyebutkan bahwa adanya kemungkinan hipoglikemik
pada pemberian obat tersebut.

Gambar 4.7 Interaksi obat hipoglikemik oral dengan injeksi insulin


d. Plan
67

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
Tujuan utama terapi Diabetes Melitus, diantaranya adalah menjaga kadar
glukosa darah agar tetap di kisaran normal (80-120mg/dl) serta mencegah
terjadinya kemungkinan komplikasi akibat DM (Binfar, 2005).
Pada dasarnya, penatalaksanaan terapi pada DM ada dua, yaitu
terapi tanpa obat dan terapi dengan obat. Terapi tanpa obat, dengan
pengaturan diet makan yang mencukupi kebutuhan serta olahraga untuk

menjaga kadar gula darah tetap normal. Terapi dengan obat, dapat
digunakan injeksi insulin dan/atau obat hipoglikemik oral (Binfar, 2005).
Pasien telah mengalami resistensi, sehingga membutuhkan 3 jenis terapi
obat (hipoglikemik oral + insulin prandial + insulin basa) untuk mencapai
target A1C dalam keadaan normal (NDEI, 2016). Namun perlu dilakukan
monitoring kadar gula darah agar tidak terjadi adverse drug reaction.
Gambar 4.8 Algoritma terapi penderita diabetes mellitus (NDEI, 2016).
68

Hipertensi adalah keadaan dimaana meningkatnyaa tekanan darah.


Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan
fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-
rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk
mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis
dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya. Diabetes mellitus
merupakan salah satu faktor resiko penyebab hipertensi, seperti yang
dialami oleh pasien ini. Tujuan utama terapi hipertensi adalah penurunan
angka kejadian kematian karena hipetensi, serta mengurangi resiko
terjadinya komplikasi lain. Target nilai tekanan darah pada penderita DM
adalah <130/80mmHg (Binfar, 2006).
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting
untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting
dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan
hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Adapun terapi
farmakologi pada penyakit hipertensi dapat dilihat melalui algoritma
berikut (James, et al., 2014):
69

Gambar 4.9 algoritma terapi penderita hipertensi (James et al., 2014).


Obat yang dipilih dalam terapi ini adalah irbesartan (golongan
Angiotensin Receptor Blocker) dan amlodipine (golongan Calsium
Channel Blocker). ARB bekerja dengan memblokadi Angoitensin secara
aktif agar tidak berikatan dengan reseptor, sehingga tidak menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Sedangkan CCB bekerja dengan memblokade
kanal ion kalsium, sehingga tidak menyeebabkan kontraksi otot jantung
dan dapat mengontrol tekanan darah normal (Binfar, 2006). Kombinasi
obat hipertensi oral golongan ARB dan CCB diharapkan mampu menjaga
tekanan darah normal pada penderita yang juga menderita DM.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ortega (2015), bahwa untuk
mencapai tekanan darah <130/80mmHg atau 15mmHg diatasnya perlu
70

dikombinasikan obat hipertensi oral golongan CCB + RAS blocker (ARB)


atau golongan tiazid + RAS blocker (ARB).

Gambar 4.10 Kombinasi obat oral hipertensi (Ortega, 2015).


e. Monitoring dan KIE
Monitoring: Kadar gula darah setiap bulannya perlu dipaantau dan
usahakan untuk tetap normal, yaitu 80-120mg/dl (Binfar, 2005). Serta
tekanan darah <130/80mmHg (Binfar, 2006).
KIE:
- Konsumsi obat harus teratur, agar efek terapi tercapai.
- Hati-hati adanya efek samping yang tidak diinginkan, berupa
hipoglikemik.

Kasus 5
71

Resep di atas merupakan resep prolanis yang ditulis oleh dokter


untuk pasien yang didiagnosa hipertensi dan jantung. Pasien tersebut
diberikan obat clopidogrel, digoxin, candesartan, bisoprolol, furosemid, dan
spironolakton untuk pemakaian 1 bulan. Obat yg diberikan menimbulkan
DRP (Drug Related Problem) yaitu interaksi obat antara digoxin dengan
bisoprolol dan spironolakton. Digoxin (glikosida jantung) obat dengan batas
keamanan yang sempit (Indeks Terapi Sempit) yang dapat menimbulkan
interaksi seperti meningkatkan toksisitas dan mengurangi efektifitas obat.
Digoxin mempunyai khasiat sebagai kontraksi otot jantung yang ditujukan
untuk mengobati gagal jantung kongestif akut dan kronik dan takikardi
supraventrikuler paroksismal. Bisoprolol mempunyai efek kontraktilitas
jantung lewat pengeblokan reseptor beta-1 di jantung. Dilihat dari segi
mekanisme aksi antara digoxin dan bisoprolol keduanya terjadi interaksi
obat antagonisme mekanisme obat, yaitu digoksin memicu kontraksi otot
jantung, sedangkan bisoprolol mengurangi kontaksi otot jantung (Frank,
1985).
Spironolakton merupakan obat diuretik yang berkhasiat untuk hipertensi
esensial, edema akibat payah jantung kongestif, sirosis hati dengan atau tanpa asites,
sindroma nefrotik, hiperaldosteronisme primer, pencegahan hipokalemia pada
72

penderita dengan digitalis terapi. Namun, Kombinasi digoxin dan spironolakton dapat
merugikan jantung. Interaksi spironolakton dengan digoksin terjadi, karena indeks
terapi dari digoxin yang sempit. Spironolakton dapat meningkatkan konsentrasi
plasma digoxin dengan menghambat sekresi tubular digoxin, sehingga menurunkan
clirens digoxin (Frank, 1985).
Problem Subjective Objective Assesment Plan
Medik
Hipertensi - - Potensial ADR Solusi yang dapat
dan (Adverse Drug dilakukan adalah
Jantung Reaction) pada melakukan
kasus tersebut adjustment dose
terdapat DRP digitalis atau
(Drug Related memberikan KIE
Problem) berupa kepada pasien
interaksi antara untuk
furosemid dengan menghubungi
digoxin. dokter apabila
Penggunaan terjadi gejala
furosemid dapat toksisitas digoxin
menurunkan seperti detak
kadar kalium jantung melemah
dalam darah, yang atau tidak
mana dapat beraturan, mual,
meningkatkan muntah, diare,
efek digitalis dan kekakuan dan nyeri
meningkatkan otot (Drugs.com,
toksisitasnya. 2017).
Interaksi tersebut
bersifat
moderate.
Potensial ADR
Penggunaan
furosemid dengan
digoxin akan
meningkakan efek
digoxin. Digoxin
merupakan obat
dengan jendela
terapi sempit,
sehingga resiko
efek toksiknya
meningkat.
Direkomendasikan
Potensial ADR dengan melakukan
(Adverse Drug monitoring
Reaction) terhadap nilai
DRP (Drug kalium pasien dan
73

Related Problem) mengetahui tanda-


yang terjadi pada tanda dari keadaan
resep ini adalah hiperkalemia.
adanya potensial Pasien diberikan
ADR antara KIE untuk
candesartan, menghubungi
bisoprolol dan dokter apabila
spironolakton. terjadi gejala
Ketiganya hiperkalemia
diketahui dapat seperti mual, badan
berinteraksi dan otot terasa
menyebabkan lemah serta
peningkatan kadar kesemutan
kalium dalam (Alodokter, 2017).
darah. Interaksi
tersebut bersifat
moderate.
Menggunakan
Potential ADR alternatif yang
(Adverse Drug tersedia serta
Reaction) antara monitoring secara
digoxin dan ketat efek samping
bisoprolol. penggunaan
Penggunaan digoxin (Alodokter,
bisoprolol dan 2017).
digoxin dapat
berinteraksi
secara signifikan
dengan
meningkatkan
efek digoxin,
sehingga
kemungkinan
terjadi toksisitas
digoxin dan dapat
menyebabkan
bradikardia
(Paramita, 2010)
KIE Kepada Pasien :
1. Pasien mengalami penyakit hipertensi dan jantung, sehingga perlu
dilakukan perubahan gaya hidup, seperti penurunan berat badan, tidak
merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, menghindari diri dari stress,
meningkatkan aktifitas fisik dengan olahraga 40 menit 3-4x per minggu.
2. Mengurangi konsumsi garam (natrium) dengan melakukan Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) yaitu mengkonsumsi natrium
maksimal 1500 mg/hari.
74

3. Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga aerobic secara teratur minimal


30 menit/hari.

Kasus 6

Resep di atas merupakan resep prolanis yang ditulis oleh dokter untuk
pasien yang didiagnosa hipertensi. Pasien diberikan obat amlodipin 5 mg
sebanyak 30 tablet untuk pemakaian 1 bulan.
75

Gambar 4.11. Guideline Terapi Penanganan Hipertensi (JNC 8, 2016)

Salah satu guideline terbaru yang dapat dijadikan acuan dalam


penanganan hipertensi di Indonesia adalah Guideline Joint National
Committee (JNC) 8 yang dipublikasikan pada tahun 2014. Guideline JNC 8
mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi. Obat Amlodipin 5 mg
yang diresepkan di atas tidak menimbulkan DRP (Drug Related Problem),
karena penanganan hipertensi menggunakan rekomendasi terapi obat sesuai
pada guideline JNC 8 yakni pasien berumur 60 tahun ke atas yang tidak
memiliki riwayat penyakit diabetes dan CKD (Chronic Kidney Disease)
direkomendasikan golongan CCB (Calcium Channel Blocker) seperti
amlodipin. CCB bekerja dengan menghambat influks (masuknya) kalsium
sepanjang membran sel. CCB menghambat arus ion kalsium masuk ke dalam
otot jantung dari luar sel, karena kontraksi otot polos tergantung pada ion
kalsium ekstraseluler, maka dengan adanya antagonis kalsium dapat
menimbulkan efek ionotropik negatif. Akibatnya pembuluh
darah mengendur/lebar, meningkatkan suplai darah dan oksigen ke jantung
76

yang membuat jantung lebih mudah memompa dan mengurangi beban


kerjanya. CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat
antihipertensi yang efektif pada lansia (Depkes RI, 2006).
KIE Kepada Pasien :
Amlodipin diminum satu kali sehari satu tablet pada malam hari 1 jam
sebelum makan. Diminum malam hari, karena mampu mengontrol tekanan
darah lebih efektif dan menurunkan risiko diabetes. Pasien diharapkan
meminum obat tersebut secara teratur dan rutin setiap hari dan tiap bulannya.
Pasien harus diet natrium, mengontrol berat badan dan olahraga teratur
berpotensi memperbaiki kontrol tekanan darah bahkan dapat mengurangi
kebutuhan akan obat.
Pasien mengalami penyakit hipertensi dan jantung, sehingga perlu
dilakukan perubahan gaya hidup, seperti penurunan berat badan, tidak
merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, menghindari diri dari stress,
meningkatkan aktifitas fisik dengan olahraga 40 menit 3-4x per minggu,
mengurangi konsumsi garam (natrium) dengan melakukan Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) yaitu mengkonsumsi natrium
maksimal 1500 mg/hari, dan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga aerobic
secara teratur minimal 30 menit/hari.

Kasus 7
77

Seorang pasien datang ke apotek Karya Sehat dengan membawa resep


dokter seperti diatas. Pasien mendapatkan resep Kaptopril 6,25 mg dibuat
pulveres sebanyak 60 bungkus. Kaptopril yang digunkan adalah kaptopril 25
mg sebanyak 15 tablet. Pasien merupakan anak-anak berusia 6 tahun dengan
berat badan 14,5 kg.

Dilihat dari umur pasien dan dosis kaptopril yang diberikan


sebanyak 6,25 mg, dapat didiagnosis bahwa pasien tersebut menderita
gagal jantung.

Jenis Penyakit Dosis (miligram)


Hipertensi 12,5
Gagal Jantung 6,25-12,5
Nefropati diabetes 75-100
(Alodokter,2018).

Gagal jantung didefinisikan sebagai keadaan patologis dimana


jantung tidak dapat memompa darah cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. Gagal jantung pada bayi dan anak merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai oleh miokardium tidak mampu memompa
78

darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme termasuk


kebutuhan untuk pertumbuhan (Bernstein, 2003).
Obat yang dapat digunakan untuk penyakit gagal jantung pada
anak adalah vasodilator. Menurut tempat kerjanya vasodilator
dikelompokkan sebagai vasodilator arteri misalnya hidralazin, vasodilator
vena misalnya nitrat atau kombinasi vasodilator arteri dan vena misalnya
nitroprusid, prazosin dan kaptopril. Pemilihan vasodilator disesuaikan
dengan keadaan hemodinamik pasien gagal jantung dan tujuan utama
pengobatan, apakah untuk menurunkan beban awal (preload) ataupun
beban akhir (afterload). Jika gejala kongesti yang mencolok dengan
tekanan pengisian yang tinggi dan gejala utama dispnea maka dipilih
venodilator, sedangkan pada keadaan curah jantung rendah yang lebih
dominan dan manifestasi klinik yang mencolok adalah fatigue maka
dipilih arteriodilator. Dalam praktek, seringkali digunakan obat kombinasi
arterio dan venodilator untuk mengurangi baik preload maupun afterload,
sehingga pasien diresepkan kaptopril (Sofyani, 2002). Mekanisme kerja
dari kaptopril yang termasuk dalam golongan ACE-inhibitor yaitu
menghambat sistem renin-angiotensin aldosteron dengan menghambat
perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II sehingga menyebabkan
vasodilatasi dan mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi
aldosteron.Oleh karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin maka
ACEinhibitor menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat
dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxyde. Peningkatan
bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE-
inhibitor dan juga mengurangi mortalitas hampir 20% pada pasien dengan
gagal jantung yang simptomatik serta mengurangi gejala. ACE-inhibitor
harus diberikan pertama kali dalam dosis yang rendah untuk menghindari
resiko hipotensi dan ketidakmampuan ginjal (Pasyanti dan Yonata,2017).

Menurut Soyani (2002), kaptopril memiliki keunggulan bila


dibandingkan dengan vasodilator lain karena obat ini dapat menurunkan
kenaikan aldosterone yang sering terjadi pada pasien gagal jantung
kongestif kronik. Beberapa manfaat kaptopril adalah:
79

1. Dampak hemodinamik. Kaptopril dapat meningkatkan indeks jantung


dan indeks pemompaan, menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri,
menurunkan konsumsi oksigen miokardium, sedang frekuensi jantung
normal atau turun.
2. Dampak pada ginjal. Kaptopril menurunkan tahanan vaskular ginjal,
menaikkan aliran darah ke ginjal, meningkatkan ekskresi natrium, dan
menyebabkan retensi kalium. Filtrasi glomerulus meningkat atau tetap.
3. Dampak fungsional. Kaptopril meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel,
mengurangi rasio jantung toraks, serta meningkatkan toleransi latihan.

Indikasi: Menangani hipertensi dan gagal jantung, mencegah komplikasi


setelah serangan jantung, dan menangani nefropati diabetic.
Kontraindikasi: Hipersensitifitas terhadap kaptopril dan obat ACE
inhibitor lainnya.
Dosis: Penentuan dosis kaptopril tergantung kepada kondisi yang diderita
pasien, tingkat keparahannya, serta respons tubuh terhadap obat.
Jenis Penyakit Dosis (miligram)
Hipertensi 12,5
Gagal Jantung 6,25-12,5
Nefropati diabetes 75-100
Untuk penderita hipertensi, gagal jantung, dan serangan jantung,
dokter akan meningkatkan dosis kaptopril secara bertahap hingga maksimal
25 mg per hari. Dosis dalam resep yaitu 60 bungkus kaptopril (6,25 mg)
diminum 2 kali sehari 1 jam sebelum makan. Pemberian kaptopril oral akan
diserap dengan cepat, adanya makanan akan mengurangi penyerapan, oleh
karena itu obat ini sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan. Puncak kadar
dalam plasma timbul dalam 1 jam, waktu paruh obat sekitar 2 jam, dan obat
diekskresikan melalui air seni ( Sofyani, 2002).

Interaksi Kaptopril dan Obat Lain: Terdapat sejumlah obat yang


berpotensi menimbulkan reaksi tidak diinginkan jika dikonsumsi bersama
dengan kaptopril. Beberapa di antaranya meliputi:
 Obat NSAID : dapat menurunkan keefektifan kaptopril dan
meningkatkan risiko kerusakan ginjal.
80

 Dextran sulfate, diuretik, atau nitrat: meningkatkan risiko hipotensi


(tekanan darah rendah).
 Everolimus atau sirolimus: berpotensi meningkatkan risiko
angioedema.
 Aliskiren atau angiotensin II receptor blockers: berisiko meningkatkan
potensi efek samping, seperti gangguan ginjal, hiperkalemia (kadar
kalium berlebih dalam darah), serta hipotensi.
 Eplerenone, diuretik hemat kalium, suplemen kalium,
atau trimethoprim; dapat meningkatkan risiko hiperkalemia.
 Obat-obatan yang mengandung emas: bisa meningkatkan risiko
hipotensi, mual, muntah, dan flushing (sensasi hangat, kulit memerah,
serta geli).
 Insulin atau obat diabetes lain: berpotensi menyebabkan hipoglikemia
(kadar gula darah yang rendah).
 Lithium atau thiopurine: efek sampingnya meningkat akibat kaptopril.
Efek Samping: Pusing terutama saat bangkit berdiri, batuk kering.
gangguan pada indera pengecap, detak jantung meningkat (takikardia),
ruam kulit, hipotensi, rambut rontok, sulit tidur, mulut kering,
konstipasi atau diare.
(Alodokter, 2018).
Dari semua uraian diatas, kaptopril sudah tepat diberikan untuk
pasien anak gagal jantung yang berusia 6 tahun. Karena penggunaan obat
tunggal sehingga tidak ada interaksi dengan obat lain dan aman digunakan,
jadi tidak ada DRP (Drug Related Problem) yang teramati.

KIE untuk pasien:


1) Memberikan informasi tentang cara penggunaan obat yang benar dan
menyarankan orangtua untuk selalu mengawasi anaknya agar patuh
minum obat, karena anak masih berusia 6 tahun
2) Memberikan informasi tentang efek samping obat serta interaksi obat
dengan obat lainnya seperti sudah tertera diatas
3) Menyarankan pasien untuk banyak istirahat dan tidak melakukan aktifitas
yang berlebih demi kesehatan jantungnya.
81

Kasus 8
Seorang pasien datang ke Apotek Karya Sehat dengan membawa resep

prolanis seperti diatas. Pasien mendapatkan resep Metformin 500 mg


sebanyak 60 tablet dan Glimepirid 2 mg sebanyak 30 tablet. Pasien
didiagnosis menderita penyakit Diabetes Melitus (DM). Tekanan darah pasien
yaitu 110/70 mmHg.

Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-
sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Diabetes Melitus tidak dapat
disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan melalui diet, olah
raga, dan obat-obatan. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis,
diperlukan pengendalian DM yang baik (Perkeni, 2011). Pada dasarnya ada
dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan
82

tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam
penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila
dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat
dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi
obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya. Dilihat dari obat yang
didaptakan pasien didalam resep, pasien tersebut menderita DM tipe II karena
obat yang digunakan adalah hipoglikemik oral, dan tekanan darah pasien yaitu
110/70 mmHg yang menunjukan bahwa pasien tidak hipertensi karena secara
umum kondisi tubuh sehat memiliki tekanan darah normal di bawah atau
setara 120/80 mmHg (Bare & Smeltzer, 2002). Menurut Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik (2005), obat-obat hipoglikemik oral terutama
ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat
hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.
Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,
farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan
rejimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara
umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.

Penggunaan kombinasi obat hipoglikemik oral antara Metformin dan


Glimepirid bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi dan mengurangi
efek samping dari obat. Karena efek samping lebih sering terjadi pada
penggunaan satu jenis obat antidiabetika dengan dosis maksimal. Sehingga
pemberian kombinasi obat tersebut dimaksudkan agar kadar gula dalam darah
segera diturunkan. Metformin merupakan obat golongan biguanida sedangkan
glimepiride golongan sulfonilurea. Mekanisme kerja kombinasi kedua obat
tersebut yaitu Metformin menstimulasi uptake glukosa, menekan produksi
glukosa hepatik berlebih, dan mengurangi absorpsi glukosa di usus. Golongan
biguanid ini juga memperbaiki resistensi insulin, memiliki kecepatan respons
awal yang tinggi, aman, tidak menyebabkan kenaikan berat badan, dan
menguntungkan terhadap profil lipid. Sulfonilurea dan biguanid memiliki
83

mekanisme kerja yang saling melengkapi, dengan efek antihiperglikemik yang


sinergis dan tidak meningkatkan reaksi simpang dari masing-masing
golongan. Sulfonilurea (glimepirid) menstimulasi sel Beta untuk melepaskan
insulin, sedangkan metformin mengurangi produksi glukosa hepatik,
menurunkan absorpsi glukosa di usus, serta memperbaiki sensitivitas insulin
melalui perbaikan uptake dan penggunaan glukosa perifer (Karnal, 2012).

Gambar 4.12. Mekanisme kerja metformin dan glimepiride (Karnal, 2012).

Kombinasi Metformin dan Glimepiride memiliki beberapa


keunggulan dibandingkan kombinasi lainnya yaitu Sebagai sulfonilurea
generasi ketiga, glimepiride memiliki keunggulan dari sulfonilurea
generasi sebelumnya. Adiponektin yang terdapat pada glimepiride
memberi nilai tambah tersendiri dalam perbaikan resistensi insulin.
Kombinasinya dengan biguanida akan memberikan efek komplementer
dan sinergis dengan sasaran ganda yakni perbaikan terhadap gangguan
sekresi insulin sekaligus terhadap aksi insulin di jaringan tubuh. Tidak
seperti glibenklamid, glimepiride terbukti tidak menghambat mekanisme
kardioprotektif yang bermanfaat dari ischemic preconditioning. Aksi
ganda dari glimepiride (terhadap disfungsi sel beta dan resistensi insulin),
menguntungkan dalam hal menekan kebutuhan sehingga insulin tidak
terlalu banyak disekresi, namun regulasi glukosa darah tercapai. Secara
klinis dampak penghematan sekresi insulin ini memberi nilai tambah
84

terthadap glimepiride dalam hal lebih rendahnya angka kejadian


hipoglikemia, mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, dan menekan
kenaikan berat badan. Demikian pula metformin, sebagai obat dengan efek
insulin sensitizer, metformin memberi efek yang baik terhadap regulasi
glukosa darah, tanpa peningkatan berat badan, serta terbukti baik untuk
kendali lipid dan komplikasi kardiovaskuler. Metformin juga mempunyai
khasiat dalam mencegah terjadinya kerusakan jaringan endotel dalam
keadaan hiperglikemia. Khasiat ini diperoleh tidak hanya karena sifat anti
hiperglikemia secara farmakologis, tapi juga efek inhibisi terjadinya
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kombinasi antara glimepiride
(sulfonilurea) dan metformin (biguanide) akan memberi dampak perbaikan
terhadap gangguan sensitivitas jaringan terhadap insulin dan defisiensi
insulin. Khasiat keduanya akan menjadi semakin optimal dalam menekan
hiperglikemia serta kelainan kardiovaskuler (Manaf, 2009).
Dari semua uraian diatas, kombinasi metformin dan glimepiride
untuk terapi Diabetes Melitus (DM) sudah tepat, aman dan tidak ada DRP
dari kombinasi antara kedua obat tersebut.
KIE untuk pasien:
1) Memberikan informasi cara penggunaan obat yang benar seperti yang
tertera dalam resep yaitu metformin diminum 2 kali sehari sesudah
makan dan glimepiride 1 kali sehari sebelum makan.
2) Memberikan informasi tentang efek samping yang mungkin terjadi
antara kombinasi kedua obat tersebut seperti gangguan penglihatan
sementara, gejala GI (diare, mual, muntah, nyeri perut, flatulen dan
anoreksia, perasan penuh di perut, sakit perut, kerusakan fungsi hati
kemungkinan terjadi, trombositopenia, anemia, leukositopenia.
3) Memberikan edukasi tentang makanan yang sebaiknya dihindari oleh
penderita DM seperti karbohidrat (roti putih, kentang goring, sereal
yang mengandung banyak gula tapi sedikit serat), protein (daging dan
ikan yang digoreng, keju )dan minuman yang mengandung gula (kopi,
the manis, minuman kemasan/bersoda).
85

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Apoteker Karya Sehat telah melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai tempat pengabdian profesi apoteker, ditunjukkan
dengan adanya sistematika yang jelas mengenai Manajemen Apotek,
Administrasi Resep, dan Pelayanan terhadap pasien. Sehingga, mahasiswa
mampu meningkatkan pengetahuan di bidang farmasi klinik dan
komunitas.
2. Pelaksanaan Prolanis (Program Pelayanan Penyakit
Kronis) dibawah naungan BPJS, pelayanan terhadap resep-resep umum,
serta pelayanan swamedikasi di Apotek Karya Sehat mampu meningatkan
kemampuan mahasiswa dalam pemecahan masalah di bidang farmasi
klinik dan komunitas.
3. Interaksi dan komunikasi mahasiswa dengan
seluruh karyawan dan praktisi farmasi klinik-komunitas di Apotek Karya
Sehat terjalin dengan baik.

B. Saran
1. Saran untuk Kegiatan Praktek Belajar
Lapangan (PBL) Unsoed, agar pelaksanaan PBL dilakukan di sarana
kesehatan lain, seperti Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit.
2. Saran untuk Apotek Karya Sehat, agar selalu
meningkatkan mutu pelayanan serta tetap mengedepankan patient
oriented.
86

DAFTAR PUSTAKA

Abes G. 2011. Clinical Practise Guideline Vertigo in Adults 2nd Edition.


Philipphine Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery. Departement
of Otolaryngology. ABBOT Product. Philipphine Inc. Vol. 29, Hlm: 1-16.
Alodokter. 2018. Acetylcisteine. diakses dalam web www.alodokter.com
Alodokter. 2018. http://www.alodokter.com/captopril. Diakses tanggal 17 Februari
2018.
Alodokter. 2018. http://www.alodokter.com/degirol. Diakses tanggal 17 Februari
2018.
Alodokter. 2018. Nyeri Punggung, diakses dalam web www.alodokter.com
Anief, Moh. 2012. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.
Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8. Jakarta :EGC
Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of Pediatric 17 th
Edition. USA: Elsivier Science (USA).
Binfar. 2005. Pharmaceutical Care untuk Diabetes Melitus. Jakarta: Depkes RI.
Binfar. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Depkes
RI.
Bogadenta, A. 2012. Managemen Pengelolaan Apotek. Yogyakarta: D-Medika.
BPOM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
BPOM RI. 2013. PerKBPOM Nomor 40 Tentang Pedoman Pengelolaan
Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi, Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta.
BPOM. 2016. PerKBPOM Nomor 7 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat
Tertentu yang Sering Disalahgunakan, Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Jakarta.
Depkes RI. 2004. Pharmaceutical care. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathhophysiologic Approach 7th Edition,
USA: Mc Graw Hill Company
Drugs.com. 2018. Drug Interactions Report. diakses dalam web www.drugs.com
Drugs.com., 2018, Acetylcisteine, diakses dalam web www.drugs.com
87

Frank, I.M., 1985. Pharmacocinetic interactions between digoxin and other drugs.
Sections of cardiologi, Arizona Health Science Center. JACC Vol.5
Godse, K.V. 2009. Chronic Urticaria And Treatment Options. Indian J. Dermatol.
54, 310–312.
Greenberger, P.A. 2014. Chronic Urticaria: New Management Options. World
Allergy Organ. J. Vol. 7, No. 70.
Gunawan S.G.,2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi
dan Terapeutik, FK UI, Jakarta
Hartini, Y.S, dan Sulasmono. 2006. Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-undangan Terkait Apotek. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Hartini, Yustina, S. 2009. Relevansi Peraturan Dalam Mendukung Praktek Profesi
Apoteker di Apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. VI, No. 2, Hlm: 97-106.
Hartono, H. 2003. Manajemen Apotik. Jakarta: Depot Informasi Obat.
James PA, Ortiz E, et al. 2014. Evidence-Based Guideline for the Management of
High Blood Pressure in Adults: (JNC8). JAMA 311 (5):507-20.
Jayaprasad, N. 2016. Heart Failure in Children, Heart Views : Official Journal of
the Gulf Heart Association, 17 (3) : 92–99.
Karnal, SK. 2012. Aggressive Treatment In Newly Diagnosed Diabetes With
Fixed Dose Combinations. Medicine Update. Vol.22, No.3, Hlm: 249-253.
Katzung, B. G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi XIII. Buku 3.
Translation of Basic and Clinical Pharmacology Eight Edition Alih bahasa
oleh Bagian Farmakologi Fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta:
Salemba Medika.
Kemenkes R.I. 2014. Permenkes Nomor 34 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang
Besar Farmasi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kemenkes R.I. 2015. Permenkes Nomor 3 Tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kemenkes R.I. 2016. Permenkes Nomor 73 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kemenkes R.I. 2017. Permenkes Nomor 9 Tentang Apotek, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kemenkes RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta .
88

Kerns SC, Stankiewicz, Marzo SJ. 2009. Biller J (ed). Practical Neurology.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Lacour M, et al. 2007. Betahistine Treatment of Meniere’s Disease,
Neurophyiciatric Disease and Treatment : France (4) 429-440.
Manaf, Asman. 2009. The FDC of Glimepiride and Metformin : Its
Cardioprotective Properties And Evidence Based Data. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas / RSUP Dr M. Jamil Padang.
Mediskus. 2018. Microlax: Kegunaan, Dosis, Efek Samping, diakses dalam
www.mediskus.com pada 12 Februari 2018.
MIMS. 2017. Petunjuk Konsultasi Edisi 16 Tahun 2016/2017. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer.
NDEI. 2016. Diabetes Management Guideline. USA: Ashfield Healthcare
Communications.
Ortega, et al. 2015. Hypertension in the African American Populationn: A Succint
Look at Its Epidemiology, Pathogenesis, and Therapy. Nefrologia Journal Vol.
35, No. 2, Hlm: 139-145.
Oscar, Lydianita dan Muhammad Jauhar. 2016. Dasar-Dasar Manajemen
Farmasi. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Pasyanti, N.I., dan Yonata, A. 2017. Congestif Heart Failure NYHA IV e.c.
Penyakit Jantung Rematik dengan Hipertensi Grade II. J Medula Unila. Vol. 7,
No. 2, Hlm: 1-6.
PDPI. 2003,.PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia
2011. Semarang: PB PERKENI.
SDCEP, 2013, Management of Acute Dental Problem, Guidiance for Healthycare
Proffesional, Scottish Dental Clinical Effectiveness Programme.
Syamsuni, A. 2006. Ilmu Resep. Yogyakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Tan, B.J. 1995. Cefixime Use In Children: When And Why. Can. J. Infect. Dis. (6)
204–205.
Tatro, David. S., 2003, A to Z Drug Facts, Facts and Comparisons, USA.
Tjay, T.H., dan Kirana Rahardja. 1993, Swamedikasi. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Ulfayani. 2008. Laporan Latihan Kerja Profesi di Apotek Buhamala, Medan..
VMedika. 2018. Neuropiron-V, diakses dalam web www.VMedika.com
89

Weber, PC. 2008. Weber PC (ed).Vertigo and Disequilibrium. New York: Thieme
Medical Publishers.
WHO. 2014. Reficed WHO Clasification and treatment of Chilhood Pneumonia at
Health Facilities : Evidence Summaries, WHO publication, Swizerland.

Anda mungkin juga menyukai