Anda di halaman 1dari 25

WRAP UP SKENARIO 3

“SESAK NAFAS JANTUNG”


BLOK KARDIOVASKULAR

Kelompok : B - 03
Ketua : Lulu Ah Janah (1102017129)
Sekretaris : Nanda Febylia (1102017167)
Anggota : Lulu Nuraviah Ahmad (1102017131)
Metti Herliani Putri (1102017136)
Mino Syahban (1102017138)
Muhammad Iqbal Thamrin (1102017151)
Qonita Fitri Martikasari (1102017181)
Shafira Herowati Febriyanti (1102017213)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.424457
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 2
SKENARIO ................................................................................................................................... 3
KATA SULIT ................................................................................................................................ 4
PERTANYAAN............................................................................................................................. 4
JAWABAN .................................................................................................................................... 4
HIPOTESIS ................................................................................................................................... 6
SASARAN BELAJAR .................................................................................................................. 7
1. Memahami dan menjelaskan Penyakit Jantung Rematik ................................................. 8
1.1 Definisi ............................................................................................................................. 8
1.2 Epidemiologi .................................................................................................................... 8
1.3 Etiologi ............................................................................................................................. 8
1.4 Faktor Resiko ................................................................................................................... 9
1.5 Klasifikasi....................................................................................................................... 10
1.6 Patogenesis ..................................................................................................................... 11
1.7 Manifestasi Klinis .......................................................................................................... 13
1.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding.................................................................................. 15
1.9 Tatalaksana ..................................................................................................................... 17
1.10 Komplikasi ..................................................................................................................... 20
1.11 Pencegahan ..................................................................................................................... 20
1.12 Prognosis ........................................................................................................................ 21
2. Memahami dan menjelaskan Demam Rematik ................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 24

2
SKENARIO
SESAK NAFAS JANTUNG
Seorang laki-laki berusia 18 tahun datang ke dokter dengan keluhan demam sejak 3 hari
yang lalu. Pasien sudah menderita penyakit jantung rematik sejak berusia 6 tahun. Dua minggu
terakhir pasien mengalami sesak nafas berat. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
kardiomegali, gallop, dan murmur sistolik derajat 4/6 pada area katup mitral yang menjalar ke
aksila.

3
KATA SULIT
1. Kardiomegali : Pembesaran jantung yang abnormal.
2. Penyakit Jantung Rematik : Peradangan jantung yang diakibatkan oleh adanya respon imun
terhadap Streptococcus beta-hemolytic group A.
3. Gallop : Bunyi jantung rangkap 3 yang menyerupai suara gerak lari kuda.
4. Murmur sistolik : Bising jannatung yang terdengar selama sistol, biasanya
disebabkan oleh resusitasi katup mitral atau trikuspid karena
obstruksi katup aorta atau pulmonal.
PERTANYAAN
1. Mengapa pasien mengalami sesak nafas?
2. Apakah sesak nafas berat bersifat menetap?
3. Apakah demam yanng di derita ada hubungannya dengan penyakit jantung?
4. Mengapa terjadi kardiomegali?
5. Apa saja faktor resiko penyakit jantung rematik?
6. Mengapa terdengar suara gallop dan murmur sistolik pada area katup mitral?
7. Apa diagnosis sementara pada skenario ini?
8. Apakah Streptococcus beta-hemolytic group A dapat menyebabkan penyakit lain?
9. Apakah penyakit ini sering menyerang anak-anak?
10. Apa penyebab penyakit ini?
11. Apa Penyakit Jantung Rematik ada hubungannya dengan jenis kelamin?
12. Bagaimana tatalaksananya?
13. Apa yang di maksud murmur sistolik derajat 4/6?
14. Apa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis?
JAWABAN
1. Karena aliran darah dari atrium kiri tidak bisa masuk ke ventrikel kiri kemudian menyebabkan
darah kembali ke paru-paru sehingga terjadi penumpukkan cairan di paru-paru. Lalu terjadi
kardiomegali sehingga mengakibatkan paru-paru tertekan.
2. Selama ada kardiomegali dan kerusakan pada jantung masih ada serta etiologi belum diatasi
maka akan terus timbul sesak nafas.
3. Demam menunjukkan adanya infeksi Streptococcus beta-hemolytic group A.
4. Terjadi regurgitasi sehingga darah berbalik ke ventrikel kanan, lalu cardiac output menurun
yang menyebabkan jantung memompa lebih kuat dan otot ventrikel kiri menebal.
5. - Genetik
- Status Gizi
- Lingkungan
- Usia
- Imunitas
6. Karena Streptococcus beta-hemolytic group A menginfeksi tenggorokan lalu bakteri tersebut
dibawa oleh pembuluh darah kemudian terjadi stenosis katu mitral yang menyebabkan darah
berbalik ke pulmonal sehingga timbul suara murmur dan gallop. Suara gallop menandakan
adanya gagal jantung karena pompa jantung menurun. Sedangkan suara murmur disebabkan
adanya regurgitasi sehingga darah berbalik.
7. Penyakit Jantung Rematik yang bersifat relaps dan infeksi lain.

4
8. Streptococcus beta-hemolytic group A menyebabkan demam rematik kemudian penyakit
jantung rematik. Selain itu bakteri tersebut dapat menyebabkan glomerulus nefristis pasca
infeksi, dapat menyerang kulit, dan infeksi tenggorokan.
9. Presentase lebih tinggi pada anak-anak karena sistem imun dan kesadaran menjaga kebersihan
masih rendah.
10. Penyebabnya reaksi autoimun akibat infeksi Streptococcus beta-hemolytic group A.
11. Tidak, yang mempengaruhi adalah faktor resiko.
12. Tirah baring, sesak nafas diberi oksigen. Lalu diberi antiradang yaitu salsilat atau prednison.
Jika disertai gagal jantung beri ACE inhibitor + diuretic. Jika tidak disertai gagal jantung beri
beta-blocker.
13. Suara bising yang cukup keras disertai getaran derajat 4/6. Bunyi suara tambahan ini terdengar
di antara bunyi jantung 1 dan 2 akibat turbulensi aliran darah karena penyempitan pada katup.
14. - Foto toraks
- EKG
- Ekokardiografi
- Hematologi rutin
- Kultur bakteri
- Pemeriksaann imunologi.

5
HIPOTESIS
Penyakit jantung rematik adalah Peradangan jantung yang diakibatkan oleh adanya respon
imun terhadap Streptococcus beta-hemolytic group A yang disebabkan oleh reaksi autoimun akibat
infeksi Streptococcus beta-hemolytic group A. Pada pemeriksaan fisik ditandai dengan adanya
suara gallop dan murmur sistolik pada katup mitral akibat dari Streptococcus beta-hemolytic group
A menginfeksi tenggorokan lalu bakteri tersebut dibawa oleh pembuluh darah kemudian terjadi
stenosis katu mitral yang menyebabkan darah berbalik ke pulmonal, lalu sesak nafas karena aliran
darah dari atrium kiri tidak bisa masuk ke ventrikel kiri kemudian menyebabkan darah kembali ke
paru-paru sehingga terjadi penumpukkan cairan di paru-paru lalu terjadi kardiomegali sehingga
mengakibatkan paru-paru tertekan, serta terdapat kardiomegali akibat terjadinya regurgitasi
sehingga darah berbalik ke ventrikel kanan, lalu cardiac output menurun yang menyebabkan
jantung memompa lebih kuat dan otot ventrikel kiri menebal. Untuk menegakkan diagnosis
penyakit ini dengan melakukan foto toraks, EKG, ekokardiografi, hematologi rutin, kultur bakteri,
dan pemeriksaan imunologi. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah Tirah baring, sesak nafas
diberi oksigen. Lalu diberi antiradang yaitu salsilat atau prednison. Jika disertai gagal jantung beri
ACE inhibitor + diuretic. Jika tidak disertai gagal jantung beri beta-blocker.

6
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan menjelaskan Penyakit Jantung Rematik
1.1 Definisi
1.2 Epidemiologi
1.3 Etiologi
1.4 Faktor Resiko
1.5 Klasifikasi
1.6 Patogenesis
1.7 Manifestasi Klinis
1.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.9 Tatalaksana
1.10Komplikasi
1.11Pencegahan
1.12Prognosis
2. Memahami dan Menjelaskan Demam Rematik

7
1. Memahami dan menjelaskan Penyakit Jantung Rematik
1.1 Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung
didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan
katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai
katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah
menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau
insufisiensi atau keduanya.1
1.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian bayi
premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung pada anak-
anak dan remaja di negara berkembang.2
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001
yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di
Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia
Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000
penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.3
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun
beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.3

1.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah
infeksi Streptococcus group A pada individu yang mempunyai factor predisposisi.
Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan
miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama
reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan
katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15
tahun.1

Morfolofi dan Identifikasi Streptococcus beta-hemolytic group A

Kuman berbentuk bulat atau bulat telur, kadang menyerupai batang, tersusun
berderet seperti rantai. Panjang rantai bervariasi dan sebagian besar ditentukan oleh faktor
lingkungan. Rantai akan lebih panjang pada media cair dibanding pada media padat. Pada
pertumbuhan tua atau kuman yang mati sifat gram positifnya akan hilang dan menjadi gram
8
negatif Streptococcus terdiri dari kokus yang berdiameter 0,5-1 μm. Dalam bentuk rantai
yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu rantai. Streptococcus patogen jika
ditanam dalam perbenihan cair atau padat yang cocok sering membentuk rantai panjang
yang terdiri dari 8 buah kokus atau lebih. Streptococcus yang menimbulkan infeksi pada
manusia adalah gram positif, tetapi varietas tertentu yang diasingkan dari tinja manusia dan
jaringan binatang ada yang gram negatif. Pada perbenihan yang baru kuman ini positif
gram, bila perbenihan telah berumur beberapa hari dapat berubah menjadi negatif gram.
Tidak membentuk spora, kecuali beberapa strain yang hidupnya saprofitik. Geraknya
negatif. Strain yang virulen membuat selubung yang mengandung hyaluronic acid dan M
type specific protein.

Gambar 1 Streptococcus

1.4 Faktor Resiko


a. Usia (5-15 tahun)
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam
rematik/penyakit jantung rematik. Penyakit ini sering pada anak umur 5-12 tahun,
dengan puncak sekitar 8 tahun.
b. Genetik (antigen HLA, kembar monozigot)
Adanya antigen limfosit manusia (HLA) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik
menunjukkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi
monoklonal dengan status reumatikus.
c. Golongan etnik dan ras.
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
rematik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan kulit putih. Tetapi
perlu ditinjau kembali mengenai faktor lingkungannya.
d. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel
streptokokus β hemolitik grup A dengan glikoprotein dalam katup jantung.
e. Keadaan sosial ekonomi yang buruk.

9
Ini mungkin faktor terpenting untuk terjadinya demam rematik/penyakit jantung
rematik. Insidens di negara maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam
keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah hunian
padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit yang sangat kurang. Pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kurang.
f. Iklim dan geografi
Penyakit terbanyak didapatkan di daerah iklim sedang, tetapi data terakhir menunjukkan
daerah tropis juga insidensnya tinggi
g. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insiden infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat.

1.5 Klasifikasi
Klasifikasi PJR memiliki 4 (empat) bagian,di antaranya insufisiensi mitral,stenosis
mitral, insufisiensi aorta, dan stenosis aorta.
Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral)
Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan
remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bisa juga terjadi pemendekan katup, sehingga
daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak
sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri
selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban volume
maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Hal ini bisa dikatakan bahwa
insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan,karena tidak terdapat kardiomegali yang
merupakan salah satu gejala gagal jantung.Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama
tergantung pada keparahannya.Pada penyakit ringan,tanda-tanda gagal jantung tidak akan
ada. Pada insufisiensi berat, terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi
kelelahan, lemah, berat badan turun, pucat.
Stenosis Mitral
Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR.
Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak
dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka
sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah,sehingga terjadi
hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan
terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi yang berat
Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)
PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini
terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan
oleh dilatasi aorta,yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal
10
perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik
pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu,
insufisiensi aorta juga bisa dikatakan sebagaiklasifikasi PJR yang ringan. Tetapi apabila
penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut
dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa
insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat,
karena dapat menyebabkan gagal jantung.
Stenosis aorta
Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi
obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler, dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis
aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan
kematian mendadak.Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan
nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat

1.6 Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif
misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut
yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan
leukositosis.4 Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung
per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya
faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.4,5

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang


melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic
fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.5 Adapun kerusakan yang
ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan
menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan
menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan
dapat berkembang menjadi valvular stenosis. 5

Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan
dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan
faktor sistem imun.

11
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki
peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan
berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat
berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang
terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan
eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-
ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.6
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga
menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang
mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi
reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.7

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang
identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul
yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas
antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik
dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.7

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-asetilglukosamin pada tubuh
manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada
terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang
mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T
anti miosin dan anti protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus beta
hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang
menyebabkan kerusakan valvular. 5,8

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan
dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi
terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen
human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan
penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak
pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan
dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem
imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan
dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.7

12
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang
disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi
mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus
berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.9

Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-70% kasus).4
Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang
masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan
berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan
kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan
berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.9

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari
sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan
dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri.11

Di sisi lain dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari
atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan
kelainan jantung kanan. 9

1.7 Manifestasi Klinis

Perjalanan klinis penyakit jantung rematik dapat dibagi dalam 4 stadium yaitu :

a. Stadium I :

Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A.
Gejala yang dirasakan diantaranya yaitu : Demam, batuk, rasa sakit waktu menelan,
muntah, diare, peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.

b. Stadium II :

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1 – 3 minggu,
kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian

c. Stadium III :

ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam
reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan
13
dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik / penyakit
jantung reumatik dan gejalanya diantaranya demam yang tinggi, lesu, anoreksia,
epistaksis, rasa sakit disekitar sendi, berat badan menurun, kelihatan pucat, lekas
tersinggung, athralgia, sakit perut.

d. Stadium IV :

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan
jantung / penderita penyakit jantung rematik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan
gejala apa-apa.Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan
katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase
ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu
dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever10

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.4,11

14
Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD11

Kategori diagnosis Kriteria

- Dua mayor
Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
pertama
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
ulang tanpa RHD
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua minor
 Rheumatic Fever serangan SBHG
- ditambah dengan bukti infeksi A
ulang dengan RHD
sebelumnya
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
 Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
 RHD
mendiagnosis sebagai RHD

1.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan keluhan
yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada sistem organ yang
terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa
sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu
sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah mengalami
sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit

15
kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat.
Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan
iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri
autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic
fever sebelumnya. 12

PEMERIKSAAN
PF : pada auslultasi terdengar suara bising, mumur sistolik dan gallop.

Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan


darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif,
namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive protein
(CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan
bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi
peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure atau
meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan
dalam diagnosis rheumatic fever aktif. 8

- Rapid Test Antigen Streptococcus

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara


tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis


rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
16
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan
akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi.
Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa.
Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan


kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik. 4

c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk


mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium,
dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan,
regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic
fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang
menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi
chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-lateral. 4

1.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan untuk
mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari
respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah
lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada
anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis
pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus
dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

17
Terapi Antibiotik Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk
mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup
A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya
diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat
pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat
alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap
dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium
lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam
lambung.
Untuk pasien yang alergi Penisilli.
a. Clindamisin
b. Clarithromycin
c. Azithromycin
d. cephalosporin (cephalexin, cefadroxil )

Profilaksis Sekunder

Antibiotik yang dianjurkan pada profilaksis sekunder DR (WHO 2004)


ANTIBIOTIK DOSIS
Benzathne Dewasa dan anak2 dg BB> 30 kg 1,200,000 unit
benzylpenicillin IM setiap 4 minggu sekali.
BB< 30kg 600,000 unit IM setiap 4 minggu sekali.

Penisillin V 250 mg 2x1


Sulfonamid Dewasa dan anak2 BB>30 kg: 1 gr per hari
(misal : BB<30 kg : 500 mg setiap hari
sulfadiazin,
sulfadoksin,
sulfidoksazol)

Eritromisin Setiap hari. 250 mg 2x1

Anjuran durasi profilaksis sekunder WHO 2004


Pasien tanpa bukti karditis Selama 5 tahun sampai usia 18
tahun

18
Pasien dengan karditis 10 tahun sampai usia 25 tahun
(regurgitasi mitral ringan atau
karditis yang sudah sembuh)

Kelainan katup yang lebih parah Seumur hidup

Setelah operasi katup Seumur hidup

Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap
terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien
dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih
adalah kortikosteroid. Kortikosteroid (prednisone) juga menjadi pilihan terapi pada pasien
yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.
Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring, restriksi
cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat,
terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus
melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik.

Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien
gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium
diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.

Tirah baring
Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi bertahap
selama 2 minggu

Karditis, tanpa Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi bertahap


kardiomegali selama 4 minggu

Karditis dengan Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi bertahap


kardiomegali selama 6 minggu

Karditis dengan Tirah baring selama gagal jantung, mobilisasi


kardiomegali dan bertahap selama 3 bulan
gagal jantung

19
Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan meskipun
telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi
untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan
nyawa pasien.Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami
gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.4
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon
mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat
ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak teratasi
dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan
balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan
lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.

1.10 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya adalah
gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung), pneumonitis
reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan
infark (kematian sel jantung).

1.11 Pencegahan
Pencegahan demam rematik meliputi pencegahan primer (primary prevention) untuk
mencegah terjadinya serangan awal demam rematik dan pencegahan sekunder (secondary
prevention) nuntuk mencegah terjadinya serangan ulang demam rematik.
a. Primary prevention: eradikasi Streptococcus dari pharynx dengan menggunakan
benzathine peniciline single dose IM.
b. Secondary prevention: AHA menyarankan pemberian 1,2 juta unit benzathine
peniciline setiap 4 minggu, atau setiap 3 minggu untuk pasien berisiko tinggi (pasien
dengan penyakit jantung atau berisiko mengalami infeksi ulangan).

20
c. Pemberian profilaksis secara oral dapat berupa penisilin V, namun efek terapinya tidak
sebaik benzathine penisilin.
d. AHA merekomendasikan pengobatan profilaksis selama minimal 10 tahun.
Penghentian pemberian obat profilaksis bila penderita berusia di sekitar dekade ke 3
dan melewati 5 tahun terakhir tanpa serangan demam rematik akut.Namun pada
penderita dengan risiko kontak tinggi dengan Sterptococcus maka pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan untuk seumur hidup ( Meador, 2009; Abdulah
Siregar, 2008 ).

1.12 Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko
kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda
rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic
fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup
lebih besar. 4

Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD
setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever
berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD
meningkat menjadi 60%.

2. Memahami dan menjelaskan Demam Rematik


Demam Rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang
digolongkan pada kelainan vascular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses reumatik ini
merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai vanyak organ tubuh terutama jantung, sendi
dan sistem syaraf pusat.
Manifestasi Klinis dari DR ini akibat kuman Streptococcus Group-A (SGA) beta hemolitik
pada tonsilofaringitis dengan masa laten 1- 3 minggu.
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran
klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.4

Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever10

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
21
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.4,11

Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD11

Kategori diagnosis Kriteria

- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
pertama
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya

- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
ulang tanpa RHD
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua minor
 Rheumatic Fever serangan
- ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
ulang dengan RHD
sebelumnya
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
 Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
22
 RHD
mendiagnosis sebagai RHD

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York, 2001;
p. 1657 – 65.

2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–64
3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29
October–1 November 2001.
4. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
5. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung sebagai
Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran
USU. 2005; 7 -16.
6. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 22 Desember 2018].

7. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis of


Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
8. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
9. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
10. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current
scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2. Jakarta:Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.

12. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia; 2013

24
25

Anda mungkin juga menyukai