Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN TUTORIAL BLOK 2.

3 – GANGGUAN KARDIOVASKULER

MODUL 1 – “Jantung Anto yang Sakit”

Kelompok 24-D
Hilary Priscilla (1910312053)
Adiiba Turfha Zahira (1910311059)
Athifa Alya Putri (1910313059)
Anisha Purnama Sari (1910311033)
Baihaqi Ahmad (1910312006)
Gita Kencana (1910312092)
ADHYCAHYO FREEGRAITO (1910313074)
Fachri Putra (1910312062)
Indah Umairah binti Abdul Rahim (1910318007)

Dosen Tutor :
dr. Biomechy Oktomalio Putri, M.Biomed

Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
2020/2021

i
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................................ .....i


Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
Skenario ................................................................................................................................ 1
Step 1 .................................................................................................................................... 2
Step 2 dan 3 ........................................................................................................................... 3
Step 4 .................................................................................................................................... 5
Step 5 .................................................................................................................................... 7
Step 6 dan 7 .......................................................................................................................... 8
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 85

ii
SKENARIO 1: JANTUNG ANTO YANG SAKIT

Anto seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa orang tuanya ke puskesmas dengan
keluhan sesak nafas disertai bengkak pada kedua lutut sejak 1 minggu terakhir. Anto juga
mengalami demam hilang timbul sejak 5 hari terakhir. Anto tidak pernah merasakan sesak
nafas sebelumnya. Dari anamnesis dokter menemukan bahwa Anto mengalami nyeri
tenggorok 3 minggu yang lalu, dan tidak pernah mengeluhkan sakit yang lain sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu Anto 38OC, TD 90/60mmHg, nadi 110x/menit, nafas
24 x/menit. Pada pemeriksaan status gizi Anto dalam rentang normal, tidak ditemukan
adanya sianosis pada bibir. Pada pemeriksaan thorax didapatkan bunyi S1 dan S2 normal
dengan adanya murmur pansistolik grade 4/6 di apex. Pada pemeriksaan EKG ditemukan
adanya pemanjangan PR interval. Dokter mengatakan kepada orang tua Anto, bahwa Anto
mengalami kelainan jantung, dilakukan tatalaksana awal dan dianjurkan untuk dirujuk ke RS
untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
Orang tua Anto bertanya kepada dokter apakah penyakit Anto sama dengan anak
tetangga yang dikatakan menderita kebocoran jantung, dimana anak tersebut sering
mengeluhkan sesak nafas hilang timbul disertai batuk sejak kecil, tanpa adanya kebiruan pada
ekstremitas dan bibir. Anak tersebut memiliki postur badan yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan teman sebayanya. Dokter sudah sering menganjurkan untuk dirujuk,
akan tetapi kedua orang tuanya belum bersedia.
Bagaimana Saudara menjelaskan tentang kedua kasus diatas?

1
STEP 1 – TERMINOLOGI

1. Sianosis : suatu kondisi patologis pada kulit dan membran mukosa yang terjadi
perubahan warna menjadi biru atau biru kehijauan karena adanya peningkatan
konsentrasi hemoglobin.
2. Bunyi S1 : bunyi yang dihasilkan katup mitral saat menutup dan kontraksi; terdengar
“lub”; terdengar pada awal sistol.
3. Bunyi S2 : penutupan katup semilunaris yang tertutup setelah proses kontraksi
ventrikel, terdengar pada akhir sistol dan sebelum katup mitral terbuka kembali.
4. Murmur pansistolik grade 4/6 : murmur regurgitasi yang meluas ke seluruh sistol dan
disebabkan oleh aliran darah antara dua ruang yang biasanya memiliki tekanan yang
sangat berbeda pada sistol; penyebab tersering adalah regurgitasi mitral atau trikuspid
dan defek septum ventrikel; disebut juga murmur holosistolik; grade 4/6 : bising
cukup keras disertai getaran. // bising 4 : bising cukup keras disertaigetaran bisng.
bising 6 : bising paling keras dan saat stetoskop diangkat sedikit masih terdengar.
5. Ekstremitas : anggota gerak, perpanjangan dari anggota tubuh utama; yang digunakan
untuk mencengkram, memegang, berjalan, dll.
6. EKG : pemeriksaan untuk mengatur dan merekam aktivitas listrik jantung; elektroda
diletakkan di dada untuk merekam aktivitas listrik jantung, bentuk rekaman seperti
garis.
7. PR interval : menunjukkan konduksi tertunda dari impuls sinoatrial, atau SA, nodal ke
ventrikel dan disebut blok AV derajat pertama; waktu dari awal gelombang P ke awal
kompleks QRS.
8. Kebocoran jantung : kelainan pada katup jantung; adanya lubang pada sekat jantung;
diakibatkan karena tidak tertutupnya katup jantung dan tidak berfungsi secara baik,
bisa juga karena tidak tertutupnya foramen ovale, duktus arteriosus, duktus venosus.

2
STEP 2 & 3 – IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH

1. Mengapa Anto mengeluhkan sesak napas disertai bengkak pada lutut sejak 1 minggu
terakhir?
 - Sesak napas : kemungkinan terjadi karena terinfeksi dari kuman
streptococcus beta hemolitik grup A yang menyebabkan demam reumatik.
Demam reumatik bergejala artritis, menyerang tenggorokan – nyeri
tenggorokan, dan bisa menyebabkan penyakit jantung reumatik (manifestasi
klinis karditis).
- Kuman menyebabkan artritis sehingga radang pada sendi.
- Bengkak juga bisa dikarenakan gagal jantung kanan → penumpukan darah
pada atrium, sehingga menyebabkan edema.
- Pembengkakan pada lutut terjadi akibat cairan yang mengumpul di
persendian lutut bisa oleh karena cedera pada ligament yang menyebabkan
terkilir atau keseleo, osteoarthritis, gout, rheumatoid arthritis, septic
arthritis, autoimun (demam reumatik oleh bakteri streptococcus b
hemoliticus grup A yang molecular mimikri dengan sarkolema miokard
jantung dan menyerang sendir besar seperti sendi di lutut, akhir dari
demam reumatik ini bisa menyebabkan PJR)
2. Apa kemungkinan penyebab Anto mengalami demam dan nyeri tenggorok?
 Kemungkinan, Anto mengalami penyakit jantung reumatik karena infeksi
bakteri streptococcus grup A sehingga akan menimbulkan gejala demam yang
tidak terlalu tinggi, lalu adanya radang tenggorokan yang ditandai nyeri dan
batuk-batuk.
 Adanya riwayat demam reumatik, kepadatan penduduk, genetik, Bakteri
masuk ke saluran napas sehingga mengalami faringitis. Jika sering terjadi
nyeri tenggorokan bisa menyebabkan anoreksia, dll.
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik Anto?
 Suhu : sedikit meningkat
 TD : di bawah normal
 Nadi : meningkat
 Napas : meningkat
 Tidak ada sianosis : tidak ada gangguan pada saturasi O2.

3
4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan toraks Anto?
 Murmur pansistolik grade 4/6 di apeks : terdengar abnormal, grade 4 : murmur
keras dan sensasi tidak teraba, terjadi pada regurgitasi katup mitral.
 I / VI: Hampir tidak terdengar
II / VI: Pingsan tapi mudah terdengar
III / VI: Murmur keras tanpa sensasi yang teraba
IV / VI: Murmur keras dengan sensasi yang teraba
V / VI: Murmur sangat keras terdengar dengan stetoskop ringan di dada
VI / VI: Murmur sangat keras yang dapat didengar tanpa stetoskop.
Murmur holosistolik (regurgitan) dimulai pada awal S1 (nadi) dan berlanjut ke
S2. Contoh: defek septum ventrikel (VSD), regurgitasi katup mitral dan
trikuspid
5. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan EKG Anto?
 Pemanjang interval PR : perlambatan di simpul AV nodes; di atas 0,2 detik →
blokade pada AV;
 AV blok : penyumbatan sebagian atau total konduksi impuls listrik, bisa
menyebabkan aritmia → PR interval memanjang
 PJR menyebabkan inflamasi pada katup mitral → jaringan parut → PR
interval memanjang
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan stasus gizi Anto?
 Jika gizi buruk, kemungkinan adanya penyakit jantung bawaan sejak lahir.
 Tidak terjadi kekurangan O2. Penyakit jantung bukan PJB.
7. Mengapa dokter mengatakan Anto mengalami kelainan jantung? Apa faktor yang
memungkinan Anto mengalami kelainan jantung?
 Anto mengalami kelainan jantung karena pada pemeriksaan thorax, terdengar
murmur pansistolik, pada pemeriksaan EKG adanya pemanjangan interval PR
→ tanda kelainan jantung.
 Pada pemeriksaan fisik dan anamnesis, kemungkinan Anto mengalami PJR
yang merupakan komplikasi dari DR.
 Faktor : karena infeksi bakteri streptococcus grup A, lifestyle.
 Faktor : usia → sering pada 5 – 19 tahun, jenis kelamin, genetik.
8. Bagaimana tatalaksana awal dan tatalaksana lanjut yang dilakukan kepada Anto?
 Tatalaksana awal : Tatalaksana awal yang disebabkan kerusakan jantung
akibat demam rematik mungkin perlu minum antibiotik setiap hari sampai

4
mereka berusia 25 sampai 30 tahun. Ini membantu mencegah serangan demam
rematik lainnya dan menghindari perkembangan endokarditis infektif - infeksi
pada katup jantung atau lapisan jantung.
Perawatan tambahan akan tergantung pada jenis kerusakan jantung. Selain itu
bagi menurunkan risiko terkena penyakit jantung dan stroke lainnya adalah
dengan mengetahui dan mengontrol tekanan darah, diabetes, dan kolesterol
darah.
 Antibiotik : penisilin
 Inflamasi → antiinflamasi : steroid. // paracetamol
 Sesak napas : bisa diberikan O2,
 Demam : antipiretik
 - Darah lengkap
- ASTO test yaitu suatu pemeriksaan darah untuk mengukur kadar antibodi
terhadap streptolisin O, yaitu suatu zat yang dihasilkan oleh bakteri
Streptococcus grup A.
- Rontgen dada
9. Mengapa anak tetangga Anto bisa mengalami kebocoran jantung?
 Faktor genetik, kelainan genetik → sindrom Down, kebiasaan ibu saat hamil:
merokok, mengonsumsi alkohol, dll.
10. Mengapa anak tersebut memiliki postur tubuh yang lebih kecil daripada anak
sebayanya sesuai diagnosis kebocoran jantung?
 Kemungkinan mengalami PJB, anak cenderung mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari pada anak seusianya.

5
STEP 4 – SKEMA

Anak Laki-laki Anak tetangga


9 tahun

Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang

- Suhu 38OC - Pemeriksaan EKG :


Keluhan :
- TD : 90/60 mmHg adanya
- Sesak napas
- Nadi : 110x/menit pemanjangan
- Bengkak pada lutut
- Napas : 24x/menit interval PR
- Demam hilang
timbul - Status gizi normal
- Nyeri tenggorok - Tidak ada sianosis

Pemeriksaan thorax :
Riwayat penyakit - Bunyi S1 dan S2
- Tidak pernah sesak normal - Sesak napas hilang
napas sebelumnya - Murmur pansistolik timbul disertai
- Tidak mengeluhkan grade 4/6 di apeks batuk
sakit yang lain - Tanpa sianosis
sebelumnya. - Postur badan yang
lebih kecil dari anak
seusia nya.

Kelainan jantung Kebocoran jantung

Tatalaksana Awal

Rujuk ke RS

6
STEP 5 – LEARNING OBJECTIVES

Mahasiswa mampu menjelaskan :


1. Definisi dan klasifikasi penyakit jantung bawaan, penyakit jantung struktural, dan
penyakit jantung infeksi
2. Epidemiologi, etiologi dan faktor risiko penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
struktural, dan penyakit jantung infeksi
3. Patogenesis dan patofisiologi penyakit jantung bawaan, penyakit jantung struktural,
dan penyakit jantung infeksi
4. Manifestasi klinis penyakit jantung bawaan, penyakit jantung struktural, dan penyakit
jantung infeksi
5. Pemeriksaan penunjang dan laboratorium penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
struktural, dan penyakit jantung infeksi
6. Prinsip diagnosis dan diagnosis banding penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
struktural, dan penyakit jantung infeksi
7. Penatalaksanaan komprehensif pada penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
struktural, dan penyakit jantung infeksi
8. Indikasi rujukan dan persiapan rujukan penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
struktural, dan penyakit jantung infeksi
9. Prognosis dan komplikasi penyakit jantung bawaan, penyakit jantung struktural, dan
penyakit jantung infeksi

7
STEP 6 & 7 – HASIL BELAJAR MANDIRI DAN DISKUSI KELOMPOK

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN - SIANOTIK


Tetralogi of Fallot
Definisi
Penyakit jantung bawaan yang terdiri dari Ventricular Septal Defect (VSD) tipe
perimembranus subaortik, over riding aorta, Pulmonal Stenosis (PS) infundibular dengan atau
tanpa PS valvular serta hipertrofi ventrikel kanan.

Epidemiologi
Global
Tetralogy of Fallot merupakan kelainan jantung sianotik kongenital yang paling sering terjadi
dengan perkiraan kejadian 1 per 3500 kelahiran hidup. Sebanyak 7-10% malformasi jantung
kongenital adalah Tetralogy of Fallot. Sebuah penelitian systematic review menyebutkan
bahwa prevalensi Tetralogy of Fallot lebih tinggi lagi yakni 421 per 1 juta kelahiran hidup
atau 1 per 2375 kelahiran hidup. Angka pasien Tetralogy of Fallot yang mengalami survival
hingga dewasa bervariasi 20-79%.
Berdasarkan estimasi Centers for Disease and Prevention (CDC), di Amerika Serikat
terdapat 1660 kelahiran bayi dengan Tetralogy of Fallot atau 1 kejadian per 2518 kelahiran
bayi per tahun.
Indonesia
Di Indonesia insidensi penyakit jantung kongenital adalah 8 per 1.000 kelahiran hidup.
Diasumsikan terdapat penambahan 32.000 kasus baru penyakit jantung kongenital tiap
tahunnya. Namun data insidensi tersebut hanya estimasi berdasarkan estimasi insidensi
penyakit jantung kongenital global. Data insidensi Tetralogy of Fallot di Indonesia tidak
tersedia.

Etiologi
Etiologi Tetralogy of Fallot bersifat multifaktorial. Faktor lingkungan dan genetika berperan
penting. Akhir-akhir ini penelitian terhadap kelainan genetika sebagai etiologi Tetralogy of
Fallot berkembang dengan cepat. Kelainan yang telah ditemukan dan diasosiasikan dengan
Tetralogy of Fallot antara lain:
● Trisomi 21 (Sindroma Down)
● Trisomi 18 (Sindroma Edward)

8
● Trisomi 13 (Sindroma Patau)
● Mikrodelesi 22q11.2
● Sindroma Di George
● Sindroma Shprintzen atau Sindroma Velokardiofasial (VCFS)
● Mutasi gen JAG1, menyebabkan sindroma Alagille
● Mutasi gen NK2.5 kromosom 5q35, pada pasien Tetralogy of Fallot tanpa sindroma
● Gen lain yang dihubungkan dengan varian genetik Tetralogy of Fallot, antara lain:
Zinc finger protein multitype 2 (ZFPM2)
○ Growth differentiation factor 1 (GDF1)
○ GATA4
○ Crypto, Frl 1, cryptic 1 (CFC1)
○ Forkhead transcription factor 1 FOXH1)
○ Teratocarcinoma-derived growth factor 1 (TDGF1)
○ Nodal (NODAL)
○ GATA6
Selain genetik, faktor lingkungan berperan besar sebagai menyebabkan Tetralogy of Fallot
yakni berkaitan dengan masa konsepsi dan pra konsepsi.

Faktor resiko
Risiko terjadinya rekurensi pada anggota keluarga diperkirakan 3%. Bila kelainan genetik
pada Tetralogy of Fallot telah diidentifikasi, sebaiknya dilakukan skrining untuk menilai
risiko terjadinya penyakit jantung kongenital pada keturunnya. Pada data penelitian terhadap
pasien kelainan jantung kongenital di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, terdapat 1 kasus
Tetralogy of Fallot dalam 12 kasus kelainan jantung kongenital familial.
Selain genetika, faktor risiko terbesar adalah faktor lingkungan terutama pada masa konsepsi
dan pra konsepsi, antara lain:
● Diabetes maternal,
● Kehamilan multifetal
● Infeksi rubela pada kehamilan
● Fenilketonuria
● Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
● Penggunaan talidomid, asam retinoat, lithium, mariyuana, alkohol, golongan SSRI
dan antikonsulvan

9
Patogenesis dan Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari terjadinya Tetralogy of Fallot adalah gangguan pembentukan
jantung janin pada masa kehamilan. Faktor lingkungan dan faktor genetika berperan penting.
Peran genetik semakin banyak diteliti sebagai faktor penyebab terjadinya Tetralogy of Fallot.
Gambaran terjadinya defek akibat genetik adalah sebagai berikut.
● Terjadi gangguan pada gen yang berperan meregulasi pembentukan jantung (mutasi,
delesi, metilasi) atau abnormalitas kromosom (trisomi 18 atau trisomi 21)
● Aktivitas gen yang meregulasi pembentukan jantung menghilang
● Terjadi defek tunggal perkembangan jantung yakni perpindahan bagian infundibular
(saluran keluar/outflow tract) dari septum intraventrikular ke arah anterior dan
sefalad.
● Outlet septum mengalami deviasi
Akibat defek tersebut terjadi empat anomali yang merupakan karakteristik Tetralogy of
Fallot, yaitu:
● Ventricular septal defect (VSD), yang disebabkan oleh septum intraventrikular yang
tidak sejajar atau deviasi sehingga terjadi defek pintas antara ventrikel kiri dan
ventrikel kanan
● Stenosis pulmonal subvalvular, yang diakibatkan pindahnya septum infundibular atau
deviasi outlet septum. Deviasi outlet septum menyebabkan salah satu sisinya
mengalami muskularisasi. Akibat muskularisasi, infundibulum pulmonal mengalami
penebalan. Bila terjadi penebalan yang progresif, atresia pulmonal komplit dapat
terjadi.
● Overriding aorta, yang mengakibatkan aorta mendapat aliran darah dari kedua
ventrikel baik ventrikel kiri maupun ventrikel kanan.
● Hipertrofi ventrikel kanan, diakibatkan oleh tingginya tekanan di ventrikel kanan.
Tekanan meningkat di ventrikel kanan karena adanya stenosis pulmonal
Tekanan yang meningkat di ventrikel kanan akibat stenosis pulmonal menyebabkan aliran
darah dari ventrikel kanan masuk ke ventrikel kiri melalui celah VSD. Aliran darah yang
berasal dari vena sistemik memiliki kadar oksigen yang rendah. Aliran darah tersebut
bercampur dengan darah kaya oksigen di ventrikel kiri dan dipompakan menuju aliran arteri
sistemik ke seluruh tubuh. Bercampurnya darah kaya oksigen dengan darah kurang oksigen
menghasilkan hipoksemia aliran darah sistemik. Hipoksemia aliran darah sistemik
menyebabkan sianosis.

10
Manifestasi Klinis
● Sianosis, terutama pada saat serangan tet spell atau blue spell.
● Sesak napas yang tidak membaik dengan pemberian oksigen (akibat bercampurnya
darah oksigen rendah dan oksigen tinggi)
● Posisi jongkok (squatting) yang dilakukan untuk mengkompensasi serangan
hipersianosis. Atau posisi jongkok dan istirahat setiap setelah berjalan beberapa blok
atau saat melakukan aktivitas.
● Pada pasien anak dan remaja yang tidak mendapatkan terapi dijumpai tanda
hipoksemia kronis yakni: clubbing fingers, warna kulit kehitaman, sklera kecoklatan
● Tanda defek kongenital lainnya dan kelainan khas suatu sindroma kelainan kromosom
dan gen seperti Sindroma Down, sindroma Turner, sindroma velokardiofasial,
sindroma Noonan, sindroma Holt-Oram.

Pemeriksaan Fisik
Hasil temuan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik pasien Tetralogy of Fallot antara
lain:
Inspeksi
Pada inspeksi dapat ditemukan :
● Sianosis, terutama pada bagian bibir dan ekstrimitas
● Peningkatan laju pernapasan akibat sesak napas
● Bulging pada hemitoraks kiri anterior akibat hipertropi ventrikel kanan yang terjadi
relatif cukup lama
Pada pasien yang telah menjalani operasi sebelumnya, tanda bekas operasi dapat terlihat.
Palpasi
Pada palpasi dapat ditemukan pulsasi arteri perifer yang umumnya normal, namun pada
palpasi parasternal kiri dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan dan thrill.
Auskultasi
Pada auskultasi, murmur sistolik biasanya terdengar kuat dan kasar terutama pada batas
sternum kiri atas dengan penjalaran yang luas. Pada bayi penjalarannya ke punggung.
Murmur dapat bersifat holosistolik.
Bunyi murmur diastolik pada batas sternum kanan atas menandakan adanya insufisiensi
aorta.
Bunyi jantung S2 biasanya tunggal hanya berasal dari katup aorta. Suara P2 dapat melemah
bahkan menghilang akibat obstruksi pulmonal.

11
Tanda Gagal Jantung
Pada pasien yang mengalami gagal jantung kanan, dapat ditemukan hepatomegali, distensi
vena jugular, asites, dan edema

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang utamanya dilakukan adalah pemeriksaan ekokardiografi untuk
melihat letak defek jantung.
1 . Elektrokardiogram
2. Foto Rontgen Toraks
3. Ekokardiogram
4. MSCT
5. MRI jantung
6. Sadap jantung /kateterisasi

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat gejala dan tanda penyakit bergantung pada beratnya kelainan anatomis dan fisiologis
dari Tetralogy of Fallot. Sianosis merupakan gejala yang paling sering muncul. Namun tidak
seluruhnya mengalami sianosis pada masa-masa awal kehidupan di luar kandungan. Riwayat
yang perlu digali melalui anamnesis dan dikombinasikan dengan data pemeriksaan fisik
antara lain:
● Riwayat sianosis atau kebiruan. Sianosis dapat terjadi sejak lahir hingga beberapa jam
sejak lahir, namun dapat juga muncul setelah beberapa minggu atau bulan setelah
lahir.
● Riwayat sesak napas pada saat beraktivitas (dyspnea on exertion)
● Riwayat serangan hipersianotik (blue spell atau tet spell) terutama pada bayi umur 1-2
tahun. Serangan dapat berlangsung selama beberapa menit hingga berjam-jam. Gejala
serangannya yakni: sesak napas, gelisah, sianosis meningkat, napas megap-megap,
dan sinkop. Pasien anak sering melakukan posisi jongkok (squatting) untuk
meringankan gejala serangan. Posisi jongkok bertujuan menekan arteri femoral
sehingga dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan resistensi
vaskular sistemik akan meningkatkan tekanan di jantung kiri sehingga akan
mengurangi pintas jantung kanan ke kiri dan meningkatkan aliran darah dari ventrikel
kanan ke paru.

12
● Keluhan pertumbuhan dan perkembangan yang lambat
Diagnosis berdasarkan :
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisis
3. Hasil pemeriksaan ekokardiografi
Diagnosis banding
1. VSD dengan PS
2. Double Outlet Right Ventricle (DORV) dengan VSD dan PS

Tatalaksana
Bayi dengan riwayat spel hipoksia. Propranolol (oral) dengan dosis 0,5–1,5 mg/kgBB/6-8
jam, sampai usia 6 bulan dalam rangka persiapan operasi paliatif Blalock Taussig Shunt
(BTShunt) atau definitif- reparasi. Bila spel hipoksia tidak teratasi: operasi BT shunt
2. Bayi tanpa riwayat spel hipoksia.
Pada bayi <6 bulan: observasi sampai usai 6 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan MCST
/ MRI / kateterisasi jantung untuk menentukan tindakan paliatif/ definitif.

Indikasi rujukan
Pasien Tetralogy of Fallot membutuhkan dukungan fasilitas layanan kesehatan yang tinggi
untuk kombinasi rawatan oleh ahli jantung dan ahli bedah jantung anak. Pasien harus dirujuk
ke rumah sakit yang mampu melakukan operasi.

13
Prognosis
Prognosis pasien Tetralogy of Fallot yang telah dilakukan operasi korektif adalah sebanyak
94% dapat mencapai usia 25 tahun.
Komplikasi
Pasien Tetralogy of Fallot sangat rentan mengalami komplikasi terutama pada pasien yang
belum mendapatkan koreksi secara bedah. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
● Trombosis serebral, akibat polisitemia dan dehidrasi.
● Abses otak, jarang terjadi
● Endokarditis bakterial, infeksi pada infundibulum dan pada katup-katup jantung.
Komplikasi ini sering terjadi akibat terapi bedah paliatif.
● Gagal jantung, gagal jantung bukanlah ciri khas pada Tetralogy of Fallot. Gagal
jantung terjadi atau memburuk bila terjadi peningkatan stenosis pulmonal

14
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN - ASIANOTIK

Definisi
Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa
sejak lahir dan sesuai dengan namanya, pasian ini tidak ditandai dengan sianosis. Penyakit
jantung bawaan ini merupakan bagian terbesar dari seluruh penyakit jantung bawaan

Epidemiologi PJB
Merupakan bentuk kelainan saat lahir yang paling sering ditemukan, juga penyebab kematian
pada tahun pertama kelahiran
8/1000 kelahiran hidup di Indonesia
12.000- 17.500 PJB kritis memerlukan intervensi dini

Etiologi
GENETIK :
 Syndromes ;
Noonan, Leopard, Ellis van Creveld, Kartagener, Alcapa, Alagille,
DiGeorge, Down, Scimitar, Holt- Oram, Turner, William, Shone complex
LINGKUNGAN
Maternal rubella : (PDA, PV,ASD)
Thalidomide and Isotretinoin (cardiac malformation) Lithium (TV)
Maternal alcohol abuse (VSD)
DM, hipertensi

Klasifikasi
Left to the Right Shunt
 Peningkatan aliran darah ke paru : ASD, VSD, PDA dan AVSD
Ventricular Outflow Obstruction
 Tanpa shunt, tidak ada ASD/VSD, pasien tidak biru : PS, AS, Co-A
Valvular Lession
 Atrioventricular valves stenosis : MS dan TS
 Valvular regurgitation : MR, AR, TR dan PR

15
PJB asianotik dengan pirau
Adanya celah pada septum mengakibatkan terjadinya aliran pirau (shunt) dari satu sisi
ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih
tinggi disbanding sisi kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan.
Akibatnya, aliran darah paru berlebihan. Aliran pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh
darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka Karena darah yang
mengalir dari sirkulasi darah yang kaya oksigen ke sirkulasi darah yang miskin oksigen,
maka penampilan pasien tidak biru (asianotik). Namun, beban yang berlebihan pada jantung
dapat menyebabkan gagal jantung kiri maupun kanan. Yang termasuk PJB asianotik dengan
aliran pirau dari kiri kanan ialah :

1. Atrial Septal Defect (ASD)


Defenisi
Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah kelainan akibat adanya lubang
pada septum intersisial yang memisahkan antrium kiri dan kanan.

Epidemiologi
Defek ini meliputi 7-10% dari seluruh insiden penyakit jantung bawaan dengan rasio
perbandingan penderita perempuan dan laki-laki 2:1. Prevalensi 1/1500 kelahiran
5-10 % dari seluruh PJB

16
Klasifikasi
Berdasarkan letak lubang defek ini dibagi menjadi defek septum atrium primum, bila lubang
terletak di daerah ostium primum, defek septum atrium sekundum, bila lubang terletak di
daerah fossa ovalis dan defek sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus,
serta defek sinus koronarius.
a. Sekundum (50-70%)
Fossa ovalis
b. Primum (15-30%)
Terdapat bersama defek endocardial cushion lain
c. Sinus Venosus (10%)
Superior and inferior vena cava besar, terdapat bersama anomalous pulmonary
venous drainage
d. Coronary sinus (jarang)
Terdapat bersama unroofed coronary sinus

Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita defek atrium sekundum tidak memberikan gejala (asimptomatis)
terutama pada bayi dan anak kecil, kecuali anak sering batuk pilek sejak kecil karena mudah
terkena infeksi paru.
Pemeriksaan fisik:
Fixed wide splitting of S2. Flow meningkat di trikuspid diastolic rumble di LLSB.
EKG: right axis deviation, RVH,
RBBB dengan rsR’ pattern di V1
RV volume overload RBBB incomplete, persistent S di V6

Diagnosis
 Pemeriksaan Fisik
Bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak napas. Diagnosa dapat
dilakukan dengan pemeriksaan fisik yakni dengan auskultasi ditemukan murmur ejeksi
sistolik di daerah katup pulmonal di sela iga 2-3 kiri parasternal.
Aliran paru berkurang : Jarang mengalami riwayat batuk berulang, Gangguan menyusui,
Gangguan tumbuh kembang.
Aliran paru meningkat : Riwayat batuk berulang, Gangguan menyusui, Gangguan tumbuh
kembang, Tidak ada Riwayat spel sianotik.

17
 Pemeriksaan Penunjang
Selain itu terdapat juga pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) atau alat
rekam jantung, foto rontgen jantung, MRI, kateterisasi jantung, angiografi koroner, serta
ekokardiografi. Pembedahan dianjurkan untuk semua penderita yang bergejala dan juga
yang tidak bergejala dan penutupan defek tersebut dilakukan pada pembedahan jantung
terbuka dengan angka mortalitas kurang dari 1%.

 EKG
Electrocardiography (bisa saja normal)
• Bergantung usia→ RV dominance pada Neonatus dan secara bertahap berubah ke
LV dominance pada usia dewasa
Irama Jantung
Situs solitus/inversus/ ambiguous ( gelombang P)
Aksis QRS
• LAD and LVD : VSD
• RAD and RVH : TOF
Superior kanan : ASD primum
RVH/LVH/BVH
Letak ventrikel kanan dan kiri ( Morfologi QRS di precordial lead)
Left to right shunt → Pulmonary hypertension
RV volume overload → RV hypertension
Dilated RA,RV,PA, → Pulmonary vascular disease
 Foto thorax
• Posisi PA :
• X –ray : kardiomegali (pembesaran RA dan RV), phletora
• LAA berupa pinggang, bila jantung membesar pinggang hilang
• Kalo bayi RV lebih dominan apex bisa terangkat
• Posisi Lateral :
• RV letaknya di anterior kanan
• LV ada di posterior

18
Tatalaksana

19
2. VENTRICULAR SEPTAL DEFECT ( VSD)

Definisi
Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan berupa
lubang atau celah pada septum di antara rongga ventrikal akibat kegagalan fusi atau
penyambungan sekat interventrikel.
Epidemiologi
Defek ini merupakan defek yang paling sering dijumpai, meliputi 20-30% pada penyakit
jantung bawaan. Berdasarkan letak defek, VSD dibagi menjadi 3 bagian:
Perimembraneous (70%)
Inlet (5-8%)
Outlet (infundibular) (5-7%)
Muscular (5-20%)
marginal, central, or apical
Manifestasi Klinis
A.VSD kecil
 asimtomatik
 Holosystolic murmur → shunt L - R
 EKG : normal
B. VSD moderate
 FTT, RRTI
 Holosystolic murmur
 Early diastolic murmur→ >>> flow di mitral valve
 EKG: LVH, LAH
C. VSD besar: PVR < SVR
 FTT, RRTI, CHF
 S2 mengeras (P2)
 Ejection systolic murmur → >>> flow di RVOT
 ECG: LVH + RVH, LAH
D. large VSD : PVR > SVR
 + cyanosis
 S2 mengeras (P2)
 Murmur (-) → shunt (-)
 EKG: RVH saja

20
Diagnosis
Pemerikssaan Fisik :
 terdengar intensitas bunyi jantung ke-2 yang menigkat
 murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri sternum
 murmur ejeksi sistolik pada daerah katup pulmonal
Pemeriksaan Penunjang :
EKG ;
 X –ray : kardiomegali (pembesaran RA dan RV), phletora
 Plethora vaskularisasi sampai ke pinggir
 Large left to the right shunt → Pulmonary hypertension
 LV volume overload → Bi-ventricular hypertrophy
 Dilated LA,LV,PA dan LV hypertrophy → Pulmonary vascular desease
Foto Thorax :
 segmen paru yang menonjol : pelebaran PA
 penurunan Apex : pelebaran LV
 plethoric paru : peningkatan aliran darah paru
Tatalaksana
Terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala gagal jantung serta memelihara tumbuh
kembang yang normal. Jika terapi awal berhasil, maka pirau akan menutup selama tahun
pertama kehidupan. Operasi dengan metode transkateter dapat dilakukan pada anak dengan
risiko rendah (low risk) setelah berusia 15 tahun

21
Prognosis
Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar kecilnya defek. Pada defek yang
kecil seringkali asimptomatis dan anak masih dapat tumbuh kembang secara normal.
Sedangkan pada defek baik sedang maupun besar pasien dapat mengalami gejala sesak napas
pada waktu minum, memerlukan waktu lama untuk menghabiskan makanannya, seringkali
menderita infeksi paru dan bahkan dapat terjadi gagal jantung.

PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)


Definisi
Patent Ductus Arteriosus (PDA) atau duktus arteriosus persisten adalah duktus arteriosus
yang tetap membuka setelah bayi lahir.1 Kelainan ini banyak terjadi pada bayi-bayi yang
lahir prematur.
Epidemiologi
Insiden duktus arteriosus persisten sekitar 10-15% dari seluruh penyakit jantung bawaan
dengan penderita perempuan melebihi laki-laki yakni 2:1. 5-10 % dari seluruh PJB
Perempuan: Laki 1 : 3.
Manifestasi Klinis

Histori :
Asimptomatik jika PDA kecil, Infeksi saluran napas berulang dan gagal jantung
EKG :
LVH ( PDA kecil-moderat), LVH +RVH ( PDA besar)
Mirip VSD

22
Ada Katz-Wachtel phenomenon
• Aorta sebelum PDA membesar
• Kadang dijumpai P pulmonal/P Mitral (LA yang membesar)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya murmur sinambung (continous murmur) di sela iga
2-3 kiri sternum menjalar ke infraklavikuler
Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorax

Tatalaksana
Pengetahuan tentang kapan tepatnya penutupan duktus terjadi penting dalam tatalaksana
penanganan PDA, karena pada kasus tertentu seperti pasien PDA yang diikuti dengan atresia
katup pulmonal, duktus arteriosus justru dipertahankan untuk tetap terbuka.18 Pada kasus
PDA pada umumnya penderita memerlukan penutupan duktus dengan pembedahan.

23
ENDOKARDITIS

1. Definisi dan Klasifikasi


Endokarditis, atau sering disebut endokarditis infektif, adalah infeksi pada
permukaan endokardium, yang dapat meliputi katup jantung (baik asli maupun
prostetik), perangkat jantung (cardiac device), maupun defek septum. Efek dari
infeksi ini di antaranya adalah terbentuknya abses, atau terjadi insufisiensi katup yang
dapat menyebabkan gagal jantung.

2. Epidemiologi, etiologi dan faktor risiko


a. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi, endokarditis merupakan penyakit yang
tergolong jarang namun mengancam nyawa, dengan insidensi global antara
2,6-7 kasus per 100.000 orang per tahun dan median usia pasien 58 tahun.
Data epidemiologi endokarditis di Indonesia hingga kini masih belum ada.
Berdasarkan data epidemiologi tahun 2009, insidensi endokarditis di Amerika
Serikat mencapai 12,7 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan rasio
hospitalisasi meningkat 2,4% setiap tahunnya sejak 1998-2009.
Selain itu, data epidemiologi menunjukkan pergeseran usia pasien
endokarditis di negara maju, di mana rata-rata usia yang sebelumnya <30
tahun (1926), menjadi 40 tahun (1980), dan sekarang bergeser >50 tahun
(2009). [1,4] Perubahan data epidemiologi endokarditis di negara maju pun
menunjukkan bahwa etiologi endokarditis yang mulanya paling sering
disebabkan penyakit jantung rematik (seperti di negara berkembang saat ini),
kini menjadi etiologi degeneratif dan nosokomial.
Hal ini diduga terkait dengan meningkatnya standar hidup dan
ketersediaan antibiotik untuk faringitis streptokokus (guna mencegah penyakit
jantung rematik), serta semakin bertambahnya pengguna alat bantu jantung,
penyalahgunaan obat intravena, dan infeksi HIV. Data epidemiologi
endokarditis di Indonesia masih belum ada hingga saat ini.
Saat ini mortalitas endokarditis dilaporkan 25% meskipun dengan
tatalaksana adekuat. Berdasarkan publikasi tahun 2016, mortalitas rawat inap
(in hospital) diperkirakan 20% dan meningkat antara 25-30% pada bulan ke-6,

24
meski angka ini bervariasi tergantung dari kondisi medis pasien dan patogen
penyebab infeksinya.
b. Etiologi
Etiologi endokarditis pada umumnya terkait infeksi mikroorganisme
patogen, tersering oleh bakteri gram positif Streptococcus sp (S. viridans, S.
bovis) atau Staphylococcus sp. (S.aureus atau coagulase-negative
staphylococci/CoNS) yang mencakup 80% kasus. Selain itu, endokarditis juga
dapat disebabkan infeksi enterococcus.
Etiologi lain yang lebih jarang adalah organisme HACEK
(Haemophilus sp, Aggregatibacter sp, Cardiobacterium hominis, Eikenlla
corrodens, Kingella sp), Pneumococcus, Candida, serta bakteri gram negatif
lainnya.
c. Faktor risiko
Faktor risiko endokarditis mencakup adanya kelainan jantung
struktural, penggunaan katup prostetik atau alat bantu jantung (pacemaker /
cardioverter defibrillator), penuaan, penggunaan obat intravena (intravenous
drug user / IVDU), kondisi imunosupresi, dan perawatan di rumah sakit.
A. Kelainan Jantung Struktural
Kelainan jantung struktural dalam bentuk apapun merupakan
salah satu faktor predisposisi endokarditis. Kelainan jantung struktural
dapat disebabkan karena prolaps katup mitral akibat penyakit jantung
rematik, atau penyakit jantung bawaan.
Prolaps katup mitral terkait penyakit jantung rematik (7-30%
kasus) dilaporkan sebagai faktor risiko tersering di negara
berkembang. Penyakit jantung bawaan ditemukan pada 12-15% pasien
endokarditis. Misalnya, patent ductus arteriosus, ventricular septal
defect, dan tetralogy of Fallot.
B. Katup Prostetik dan Alat Bantu Jantung
Katup prostetik dan penggunaan alat bantu jantung seperti
pacemaker dan cardioverter defibrillator juga menjadi faktor risiko
endokarditis. Penggunaanya ditemukan secara berturut-turut pada 20%
dan 7% pasien endokarditis. Endokarditis terkait penggunaan katup
prostetik, erat berhubungan dengan patogen CoNS (30%) namun dapat
juga disebabkan S.aureus atau S. epidermidis, bahkan methicillin-

25
resistant staphylococcus aureus (MRSA) bila terkait infeksi
nosokomial.
C. Penuaan
Penuaan juga menjadi salah satu faktor risiko endokarditis,
terutama di negara maju. Adanya lesi degeneratif jantung terkait
penuaan, dilaporkan ditemukan pada 30-40% kasus endokarditis di
negara maju. Lesi degeneratif dapat berupa stenosis aorta kalsifikasi
terkait katup aorta bikuspid, atau mitral valve annular calcification.
D. Intravenous Drug User / IVDU
Endokarditis pada pemakai obat intravena (IVDU) paling
sering disebabkan bakteri S.aureus. Namun bila pasien IVDU sudah
kecanduan jangka waktu lama hingga sering dirawat di rumah sakit,
endokarditis juga bisa disebabkan oleh MRSA, atau terkadang juga
bakteri gram negatif Pseudomonas aeruginosa dan kelompok HACEK.
Pada pasien IVDU yang sudah menerima antibiotik spektrum luas atau
kultur darah negatif, endokarditis juga dapat disebabkan infeksi jamur.
E. Kondisi Imunosupresi
Kondisi imunosupresi juga menjadi salah satu faktor
predisposisi endokarditis, misalnya akibat HIV atau pasien yang
dirawat di ICU. Pada pasien imunosupresi semacam ini, endokarditis
akibat jamur bisa ditemukan.
F. Perawatan di Rumah Sakit
Kontak dengan fasilitas kesehatan, misalnya sering dirawat
berulang atau lama di rumah sakit, juga meningkatkan risiko terjadinya
health care-associated endokarditis, yang erat terkait dengan bakteri
kokus gram positif (S.aureus, CoNS, enterococcus, atau non-
enterococcal streptococcus).

3. Patogenesis dan patofisiologi


Patofisiologi endokarditis pada dasarnya mencakup 3 proses yaitu kerusakan
endotel, bakteremia dan adhesi bakteri, serta invasi dan kolonisasi bakteri.
I. Kerusakan Endotel
Normalnya, sel-sel endotel pada jantung yang sehat akan resisten
terhadap bakteremia. Akan tetapi, adanya kerusakan endotel akan

26
menyebabkan infeksi lebih mudah terjadi. Kerusakan endotel dapat
disebabkan berbagai hal seperti sklerosis valvular, valvulitis rematik, atau
infeksi bakteri langsung terutama Staphylococcus aureus, misalnya akibat
penyalahgunaan obat intravena (intravenous drug user/IVDU). Selain itu,
trauma katup jantung akibat prosedur medis dari kateter intravena atau pacing
wire pun bisa menyebabkan kerusakan endotel.
II. Bakteremia dan Adhesi Bakteri
Masuknya bakteri ke dalam darah dan adanya kerusakan endotel
menyebabkan bakteri menempel pada dinding endotel yang rusak. Hal ini
dikarenakan dinding endotel yang rusak akan memicu aktivitas inflamasi oleh
sitokin proinflamasi dan tissue factor, yang akan memicu pembentukan protein
adhesi fibronectin sehingga menyebabkan terbentuknya thrombus platelet-
fibrin. Adanya protein adhesi fibronectin dan thrombus pada host, disertai
adanya staphylococcal clumping factors A dan B pada bakteri, akan
mempermudah adhesi bakteri.
III. Invasi dan Kolonisasi Bakteri
Bakteri yang menempel ke endotel juga memicu kerusakan endotel dan
deposisi thrombus berulang sehingga bakteri akhirnya akan menginvasi
(endoteliosis) dan berkolonisasi membentuk vegetasi. Vegetasi ini juga dapat
membentuk agregat polisakarida dan matriks protein yang disebut biofilm,
sehingga semakin tahan terhadap antibiotik. [1] Vegetasi yang terus
berkembang juga memicu aktivasi sel-sel polimorfonuklear yang
menyebabkan nekrosis hingga ruptur dari katup, chordae tendinae, dan
muskulus papilari.

4. Manifestasi klinis
Gejala yang kerap ditemukan pada pasien dengan endokarditis yaitu sebagai
berikut :
- Demam (86-96%)
- Murmur baru (48%)
- Perburukan murmur lama (20%)
- Hematuria (tidak nyeri) atau acute kidney injury (26%)
- Kejadian emboli – stroke, infark ginjal, limpa, paru, atau organ lainnya (17%)
- Splenomegali (11%)

27
Ada pula tanda khas/spesifik yang menandakan adanya endokarditis, yaitu
splinter haemorrhage, osler node, janewat lesion (manifestasi vaskulitis), dan roth
spot. Namun, tanda khas tersebut jarang ditemukan pada penderita endokarditis
dengan persentase hanya sekitar 2-8%

5. Pemeriksaan penunjang dan laboratorium


Pemeriksaan penunjang terpenting pada endokarditis yaitu kultur darah dan
pencitraan ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis endokarditis. Meskipun
pemeriksaan laboratorium lainnya masih digunakan untuk mengevaluasi manifestasi
klinis endokarditis untuk sistem organ lainnya, misalnya ginjal.
a. Kultur Darah
Pemeriksaan kultur darah untuk diagnosis endokarditis harus diambil
setidaknya 3 sampel terpisah dalam interval setidaknya 1 jam, dari 3 situs
pungsi vena berbeda, dan sebelum terapi antibiotik dimulai. Dengan cara
demikian, 96-98% bakteremia dapat terdeteksi. Oleh karena bakteremia pada
endokarditis terjadi kontinyu, pengambilan sampel darah tidak perlu
disesuaikan dengan waktu saat puncak demam.
Dikatakan “endokarditis kultur negatif” bila hasil 3 kultur sampel
darah terpisah masih negatif. 14% kasus endokarditis kultur negatif
dikarenakan sudah dimulainya terapi antibiotik, atau akibat bakteri tertentu
seperti Coxiella, Legionella, Bartonella, Mycoplasma, Brucella, Chlamydia,
atau akibat jamur.
b. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi adalah modalitas pencitraan paling
penting untuk menegakkan diagnosis endokarditis. Gambaran yang bisa
ditemukan antara lain: vegetasi atau abses, dehisensi katup prostetik, perforasi
katup, dan pseudoaneurisma.
Secara umum, terdapat 2 jenis ekokardiografi yang digunakan dalam
diagnosis endokarditis, yaitu ekokardiografi transtorakal (sensitivitas 75%;
spesifisitas >90%) dan transesofageal (sensitivitas 95%; spesifisitas 90%).
Umumnya pasien dengan kecurigaan endokarditis diperiksa dengan
ekokardiografi transtorakal lebih dulu. Namun, bila hasil negatif, terutama
pada pasien dengan katup prostetik dimana sensitivitas ekokardiografi

28
transtorakal menurun jadi 36-69%, pasien harus diperiksakan ekokardiografi
transesofageal.
Oleh karena ekokardiografi transesofageal lebih superior dibanding
dengan transtorakal dalam mendeteksi komplikasi abses, perforasi katup, dan
pseudoaneurisma, pemeriksaan ini masih tetap sering dilakukan meskipun
diagnosis sudah cukup ditegakkan hanya dengan ekokardiografi transtorakal.
c. Pemeriksaan Pencitraan Lainnya
Menurut publikasi terbaru tahun 2018, pemeriksaan pencitraan lainnya
yang dapat digunakan untuk kasus endokarditis adalah computed tomography
scan / CT scan, terutama CT scan angiografi atau dengan positron emission
tomographic scan / PET scan.
CT scan angiografi dapat memvisualisasikan komplikasi paravalvular
dengan baik (seperti abses atau aneurisma), namun masih kurang sensitif
dibanding ekokardiografi transesofageal untuk mendeteksi vegetasi kecil.
Sementara PET scan bermanfaat untuk mendeteksi emboli perifer serta
manifestasi infeksi kardiak serta ekstra kardiak.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lainnya pada pasien endokarditis mencakup
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kreatinin, blood urea nitrogen / BUN,
dan hemostasis. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan anemia,
leukositosis, peningkatan laju endap darah.
Oleh karena pada pasien endokarditis bisa terjadi acute kidney injury,
pemeriksaan elektrolit, kreatinin, BUN, menjadi penting.
Pemeriksaan spesifik lainnya berupa komplemen C3, C4, dan CH50
(kadar menurun pada endokarditis), serta faktor rheumatoid (positif pada 50%
kasus). Pemeriksaan urinalisis pun diperlukan untuk pasien endokarditis,
mengingat adanya manifestasi klinis hematuria dan proteinuria pada separuh
kasus endokarditis.

6. Prinsip diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis endokarditis mengacu pada kriteria diagnostik Duke, yang
mengkombinasikan temuan klinis, mikrobiologis, patologis, dan ekokardiografi, yang
tertuang dalam kriteria mayor dan minor. Interpretasi kriteria Duke membagi

29
kemungkinan diagnosis menjadi 3, yaitu definitif endokarditis, mungkin endokarditis,
dan bukan endokarditis.
Kriteria Duke membagi kriteria menjadi 2, yaitu kriteria mayor dan minor.
Kriteria Duke bertujuan mengelompokkan pasien yang dicurigai endokarditis ke 3
kategori:
- Definitif endokarditis: 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan 3 kriteria
minor, atau 5 kriteria minor.
- Mungkin endokarditis: belum mencapai kriteria “definitif endokarditis”
namun tidak termasuk kriteria “bukan endokarditis”
- Bukan endokarditis: adanya diagnosis alternatif yang kuat, resolusi
manifestasi endokarditis pasca terapi antibiotik ≤ 4 hari, tidak ada bukti
patologis dari operasi atau autopsi pasca terapi antibiotik ≤ 4 hari.
Untuk anamnesis, Gejala endokarditis seringkali nonspesifik. Pasien dapat
mengeluhkan demam, mual, muntah, pegal-pegal, atau memiliki gejala akibat emboli
(batuk, sesak, gejala neurologis/stroke), gejala jantung (nyeri dada, berdebar-debar,
gangguan irama), atau gejala ginjal (hematuria yang tidak nyeri).
Gali adanya riwayat penyakit sebelumnya, seperti faringitis streptokokus,
penyakit jantung rematik, sakit gigi, atau riwayat endokarditis sebelumnya. Tanyakan
riwayat operasi sebelumnya, seperti pemasangan katup prostetik, operasi gigi dan
mulut, serta paparan materi prostetik melalui intravaskular.
Pada pasien juga perlu ditanyakan riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya
jika dicurigai infeksi terkait fasilitas kesehatan. Faktor risiko lain yang perlu
ditanyakan adalah adanya tato dan penggunaan obat-obatan terlarang intravena.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya murmur, tanda acute kidney
injury, hingga Osler node atau Janeway lesion.
Endokarditis dapat didiagnosis banding dengan penyakit jantung rematik,
antiphospholipid syndrome, atrial myxoma, dan Lyme disease.

7. Penatalaksanaan komprehensif
Penatalaksanaan endokarditis dilakukan secara komprehensif, melibatkan
berbagai multidisiplin, dari spesialis kardiologi, spesialis bedah thorax, dan spesialis
penyakit infeksi. Pedoman penatalaksanaan endokarditis internasional sendiri
berdasarkan rekomendasi studi yang sebenarnya lemah, dimana tidak ada
rekomendasi level A dan hampir tidak ada yang berdasarkan randomized controlled

30
trial. Penatalaksanaan endokarditis secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu
medikamentosa dan pembedahan.
a. Penatalaksanaan Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa yang paling utama untuk pasien
endokarditis adalah antibiotik. Terapi antibiotik dilakukan secara empiris
sementara menunggu hasil kultur. Pada dasarnya, terapi antibiotik empiris
harus mencakup bakteri Staphylococcus, Streptococcus, dan Enterococcus.
Setelah hasil kultur didapat, antibiotik diberikan sesuai dengan bakteri
yang ditemukan dan sensitivitas bakteri tersebut terhadap antibiotik .Lama
pemberian antibiotik bervariasi, namun umumnya sekitar 4 hingga 6 minggu.
b. Penatalaksanaan Pembedahan
Pasien endokarditis yang memerlukan penatalaksanaan pembedahan
semasa hidupnya berkisar antara 40-50%. Pada dasarnya, penatalaksanaan
pembedahan pada endokarditis dilakukan untuk 2 tujuan, yaitu mengangkat
vegetasi infektif atau mengganti katup yang terlibat. Terdapat 3 indikasi
penatalaksanaan pembedahan pada endokarditis, yaitu :
- Komplikasi akut, seperti disfungsi katup yang menyebabkan gagal
jantung
- Infeksi tidak terkontrol
- Pencegahan emboli

Di lain sisi, untuk kasus infeksi prostetik, atau dikenal dengan infeksi
cardiac implantable electronic device (CIED), pedoman dari American Heart
Association merekomendasikan pengangkatan prostetik terinfeksi pada:
- Pasien dengan infeksi prostetik definitif : terbuktinya sepsis atau
endokarditis
- Pasien dengan pocket infection : adanya abses, erosi prostetik,
adherensi
- Pasien dengan endokarditis katup dengan atau tanpa keterlibatan
prostetik

Pasca perawatan di rumah sakit, pasien endokarditis direkomendasikan


untuk menjalani pemantauan lanjutan, berupa ekokardiografi transtorakal dan
cek darah untuk marker inflamasi pada bulan ke 1, 3, 6, dan 12. Selain itu,

31
pasien juga harus dipantau untuk adanya komplikasi dari endokarditis serta
efek samping terapi antibiotik (seperti ketulian akibat aminoglikosida, atau
infeksi Clostridium difficile).

8. Indikasi rujukan dan persiapan rujukan


Endokardits merupakan salah satu penyakit radang pada dinding jantung, yang
mana tercantum sebagai penyakit dengan tingkat kompetensi 2 pada SNPPDI 2019,
dimana pada tingkat kompetensi 2 lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
terhadap penyakit tersebut berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Maka dari
itu, pasien ang diduga mengalami endokarditis, dapat dirujuk segera pada ahli
kardiologi untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Sebelum pasien dirujuk,
pasien akan dibekali dengan edukasi seputar pemeriksaan dan kemungkinan
tatalaksana lanjutan ketika dirujuk nanti.

9. Prognosis dan komplikasi


a. Prognosis
Prognosis endokarditis sangat tergantung dari ada tidaknya komplikasi,
meskipun hingga kini endokarditis masih berdampak fatal. Deteksi dini dan
penatalaksanaan adekuat tentunya memperbaiki prognosis. Meskipun
demikian, publikasi tahun 2016 menunjukkan bahwa mortalitas masih berkisar
25%.
Pada dasarnya, kesintasan jangka panjang pasien endokarditis berkisar
antara 60%-90% pada follow up 10 tahun. Prognosis terkait luaran yang buruk
pada pasien endokarditis sangat tergantung dari:
- Faktor host: peningkatan usia pasien
- Endokarditis akibat katup prostetik atau health care-associated
- Adanya komplikasi paravalvular, jantung, sistem saraf pusat, atau
ginjal
- Infeksi aureus : terkait dengan kejadian mortalitas yang lebih tinggi
(30-40%)
- Adanya komorbid: diabetes mellitus, hemodialisis rutin

32
b. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien endokarditis, sebagai
berikut :
- Komplikasi paravalvular: abses, vegetasi, dehisensi katup prostetik,
insufisiensi katup
- Komplikasi jantung: infark miokard, pericarditis, aritmia, gagal
jantung
- Komplikasi sistem saraf pusat: stroke
- Komplikasi ginjal: glomerulonephritis, gagal ginjal akut

33
MIOKARDITIS
1. Definisi & Epidemiologi
● Miokarditis adalah inflamasi fokal atau menyebar dari miokardium. (Marylinn
E. Doengoes, 2000: 129).
● Miokarditis adalah peradangan jantung yang tidak berkaitan dengan penyakit
arteri koroner atau infark miokard. Miokarditis paling sering terjadi akibat
infeksi virus pada miokardium, tetapi dapat juga disebabkan oleh infeksi
bakteri atau jamur yang sering diduga adalah infeksi coxsackievirus.
(Elizabeth J. Corwin, 2009: 502)
● Epidemiologi miokarditis sulit diketahui secara pasti. Di Amerika Serikat,
epidemiologi miokarditis diperkirakan sebesar 1-10 kasus per 100.000 orang.
● Pada skala global, prevalensi tahunan miokarditis diduga sebesar 22:100.000
populasi. Infeksi virus merupakan etiologi tersering dari miokarditis.

2. Etiologi
a. Infeksi bakteri: difteri tuberculosis, typhoid, tetanus, staphylococcus,
pneumococcus, dan gonococcus.
b. Keracunan zat kimia: alcohol
c. Infeksi cacing: trichinosis
d. Hipersensitif reaksi imun: reumatik fever dan postcardiotomy syndrome
e. Infeksi parasit: trypanosomiasis, toxoplasmosis
f. Terapi radiasi dosis besar

3. Manifestasi Klinis
1) Dada terasa berat dan sesak napas
2) Demam, denyut jantung meningkat/ takikardi
3) Anoreksia
4) Gallop’s, bunyi jantung lemah
5) Tanda-tanda gagal jantung kanan

4. Patofisiologi
Kerusakan miokardium oleh kuman-kuman infeksius ini dapat melalui tiga
mekanisme dasar, meliputi :
· Invasi langsung ke miokard

34
· Proses imunologis terhadap miokard
· Mengeluarkan toksin yang merusak miokard
Proses miokarditis viral ada dua tahap, tahap pertama (akut) berlangsung kira-kira 1
minggu dimana terjadi invasi virus ke miokard, replikasi virus, dan lisis sel. Setelah itu,
terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan
bantuan makrofag dan natural killer cell (sel NK).
Tahap kedua miokardium akan diinfiltrasi oleh sel-sel radan dan sistem imun akan
diaktifkan, antara lain dengan terbentuknya antibodi terhadap miokard, akibat perubahan
permukaan sel yang terpajan oleh virus. Tahap ini berlangsung selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan diikuti dengan kerusakan miokardium dari yang minimal sampai
yang berat.
Enterovirus sebagai penyebab miokarditis viral juga merusak sel-sel endotel.
Terbentuknya antibodi endotel diduga sebagai penyebab spasme mikrovaskuler. Walaupun
etiologi kelainan mikrovaskuler belum pasti, tetapi sangat mungkin berasal dari imun atau
kerusakan endotel akibat infeksi virus.
Jadi, pada dasarnya terjadi spasme sirkulasi mikro menyebabkan proses berulang
antara obstruksi dan reperfusi yang mengakibatkan larutnya matriks miokardium dan
habisnya otot jantung secara fokal menyebabkan rontoknya serabut otot, dilatasi jantung, dan
hipertrofi miosit yang tersisa. Akhirnya proses ini mengakibatkan habisnya kompensasi
mekanis dan biokimiawi yang berakhir dengan payah jantung.

5. Pemeriksaan diagnostik
a. Laboratorium
Dijumpai leukosit dengan polimorfonuklear atau limfosit dominan, tergantung
pada penyebabnya. Pada infeksi parasit ditemukan eosinofilia. Laju endap darah
biasanya meningkat, enzim jantung dan kreatin kinase atau laktat dehidrogenase
(LDH) dapat juga meningkat tergantung pada luasnya nekrosis miokard.
Pemeriksaan berkelanjutan dapat juga menentukan progresivitas atau
penyembuhan miokarditis.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Kelainan yang didapat bersifat sementara dan lebih sering ditemukan dibandingkan
kelainan klinis jantungnya. Temuan yang paling sering adalah sinus takikardia,
perubahan segmen ST dan/ atau gelomabng T, serta low voltage. Kadang-kadang
ditemukan aritmia atrial atau ventrikel, AV block, infra ventricular conduction

35
defect, dan QT memanjang. Pada penyakit Chaga sering didapatkan right bundle
branch block yang lengkap. AV block total sifatnya sementara dan hilang tanpa
bekas, tetapi kadang-kadang dapat sebagai penyebab kematian mendadak pada
miokarditis.
c. Foto Dada
Ukuran jantung sering membesar walaupun dapat juga normal. Kadang-kadang
disertai kongesti paru.
d. Ekokardiografi
Sering didapatkan hipokinesia kedua ventrikel walaupun kadang-kadang bersifat
regional, terutama di apeks. Dapat juga ditemukan penebalan dinding ventrikel,
trombus ventrikel kiri, pengisian diastolik yang abnormal, atau efusi perikardial.

6. Penatalaksanaan
1. Pasien diberi pengobatan khusus terhadap penyebab yang mendasar (penisilin
untuk streptokokus hemolitikus)
2. Pasien dibaringkan ditempat tidur untuk mengurangi beban jantung. Berbaring
juga dapat membantu mengurangi kerusakan miokardial residual dan
komplikasi miokarditis.
3. Fungsi jantung dan suhu tubuh harus selalu dievaluasi.
4. Bila terjadi gagal jantung kongestif harus diberikan obat untuk memperlambat
frekuensi jantung dan meningkatkan kekuatan kontraksi.

7. Prognosis & Komplikasi


Miokarditis bergantung pada manifestasi klinis, berbagai parameter klinis, dan
temuan biopsi endomiokardial. Pasien dengan miokarditis akut dan fraksi ejeksi ventrikel
kiri yang baik memiliki prognosis yang lebih baik dengan kemungkinan perbaikan tanpa
sekuele lebih tinggi. Pasien dengan miokarditis viral fulminan dan gangguan hemodinamik
akan memiliki prognosis lebih baik jika terapi farmakologi agresif dan mechanical
circulatory support dilakukan secara dini.
Komplikasi miokarditis antara lain dilated cardiomyopathy, gagal jantung, dan
aritmia fatal. Pada miokarditis fulminan, gagal jantung dapat berlangsung dengan sangat
cepat dan pasien memiliki risiko mortalitas yang sangat tinggi.
· Kardiomiopati
· Payah jantung kongresif

36
· Efusi perikardial
· AV block total
· Trobi kardiak
· Gagal jantung

8. Indikasi Rujukan
● Tingkat kemampuan menurut SKDI 2019 - 2

37
PERIKARDITIS

1. Definisi dan Epidemiologi


Perikarditis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proses inflamasi pada
perikardium. Perikarditis sering kali bermanifestasi sebagai nyeri dada yang secara
tipikal bersifat tajam dan pleuritik, dapat membaik dengan posisi duduk atau condong
ke depan.
2. Etiologi
Etiologi perikarditis dapat dikategorikan menjadi penyebab infeksi dan
noninfeksi. Kebanyakan kasus perikarditis diduga disebabkan oleh proses infeksi,
terutama infeksi virus.
 Etiologi Infeksi
Diperkirakan sebesar 2/3 kasus perikarditis disebabkan oleh infeksi, terutama
virus. Virus yang berkaitan dengan perikarditis antara lain coxsackievirus, virus
influenza, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, adenovirus, virus varicella, virus
rubella, virus hepatitis B dan C, HIV, parvovirus B19, dan human herpesvirus 6.
Etiologi perikarditis lain adalah infeksi bakteri. Contoh bakteri yang
ditemukan berkaitan dengan perikarditis antara lain bakteri tuberkulosis, bakteri
pneumokokus, dan bakteri salmonela.
Perikarditis juga bisa disebabkan oleh jamur, walaupun kasusnya sangat
langka. Contoh infeksi jamur adalah infeksi histoplasma, aspergilosis, blastomikosis,
dan infeksi kandida. Penyebab infeksius lain yang sangat langka adalah infeksi
parasit, seperti toxoplasmosis.
 Etiologi Noninfeksi
Penyakit autoimun dapat melibatkan perikardium. Perikarditis akut merupakan
salah satu gejala reumatik pankarditis. Perikarditis dengan atau tanpa efusi dan
perikarditis konstriktif dapat ditemukan pada lupus eritematosus sistemik, rheumatoid
arthritis, skleroderma, dan vaskulitis.
Perikardium dapat terlibat pada penyakit neoplastik. Tumor primer tersering
adalah mesothelioma. Namun, tumor sekunder adalah penyebab maligna perikarditis
yang paling banyak.
Perikarditis juga bisa disebabkan oleh trauma tajam ataupun tumpul, misalnya
cedera tembus thoraks dan perforasi esofagus. Selain itu, perikarditis juga bisa

38
diakibatkan oleh penyebab iatrogenic, seperti kateter kardiak transseptal, injeksi
kontras intramiokardial, dan pemasangan alat epikardial.
Salah satu penyebab perikarditis lainnya adalah penyakit metabolik, seperti
penyakit ginjal kronis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa dialisis kronik dapat
dihubungkan dengan kejadian perikarditis.
 Perikarditis Idiopatik
Walaupun telah dilakukan investigasi klinis dan laboratorium, banyak kasus
perikarditis belum dapat diketahui penyebabnya (idiopatik). Secara umum, dipercaya
bahwa 90% kasus idiopatik disebabkan infeksi virus yang tidak terdeteksi.

3. Manifestasi Klinis (Bervariasi)


 Nyeri dada menusuk bertambah sakit bila bernapas yang dapat menyebar keleher dan
bahu
 Nyeri lebih baik jika duduk
 Nyeri perut/kaki(tidak khas)
 Batuk-batuk(tidak khas)
 Kelelahan(tidak khas)
 Demam ringan(tidak khas)

4. Patofisiologi
Pada episode akut perikarditis, terjadi infiltrasi sel leukosit polimorfonuklear
pada lapisan perikardium. Penanganan pada episode akut ini dapat berlangsung
selama 4-6 minggu, tergantung derajat keparahan serangan. Jika penderita tidak
mencapai remisi dan penyakit tetap berlangsung dalam beberapa minggu atau bulan
secara terus menerus, maka terjadi perikarditis incessant. Jika penyakit kembali
setelah periode bebas gejala selama 4-6 minggu, maka dinamakan perikarditis rekuren
atau relaps. Perikarditis yang berlangsung lebih dari 3 bulan dinamakan perikarditis
kronis.
Perikarditis yang berlangsung lama dapat menyebabkan jaringan parut dan
hilangnya elastisitas normal kantong perikardium yang kemudian mengganggu
pengisian jantung. Selain itu, perikarditis juga dapat menyebabkan efusi perikardium.
Efusi perikardium ini dapat kemudian berkembang menjadi tamponade jantung.

39
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang dapat membantu menegakkan diagnosis perikarditis.
Pada perikarditis akan didapatkan perubahan EKG pada 60% kasus.
Elektrokardiografi
Pada perikarditis, bisa didapatkan perubahan EKG berupa elevasi segmen ST
atau depresi PR yang luas. Secara khusus, perubahan EKG klasik pada perikarditis
terdiri dari 4 tahap antara lain:
1. Tahap 1 (Fase akut dalam hitungan jam atau hari) mempunyai karakteristik adanya
peningkatan segmen ST yang difus, umumnya berbentuk konkaf, dan depresi segmen
PR
2. Tahap 2 biasanya terjadi pada minggu pertama, dan mempunyai karakteristik
normalisasi segmen ST dan PR.
3. Tahap 3 mempunyai karakteristik terjadinya inversi gelombang T yang difus setelah
segmen ST menjadi isoelektrik.
4. Tahap 4 mempunyai karakteristik EKG menjadi normal atau gelombang T inversi
yang terjadi secara persisten.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada perikarditis juga bisa didapatkan peningkatan penanda inflamasi, seperti
C reactive protein, hitung leukosit, dan peningkatan laju sedimentasi eritrosit. Hal ini
bisa membantu penegakkan diagnosis dan memantau efikasi terapi.
Apabila terjadi keterlibatan miokardium, maka akan didapatkan peningkatan
penanda cedera miokardium, seperti troponin dan kreatinin kinase.
Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi transtoraks dapat bermanfaat untuk mendeteksi adanya efusi
perikardium dan tamponade jantung. Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah
kapasitasnya tergantung pada keterampilan operator.
Pemeriksaan Rontgen Dada
Rontgen dada tidak dapat mendiagnosis perikarditis secara spesifik. Rontgen
dada dapat menunjukkan kelainan berupa pembesaran siluet jantung (Water Bottle
Sign) jika sudah terjadi efusi perikardium yang melebihi 300 ml.

40
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan perikarditis dilakukan sesuai penyebab yang mendasari. Pada
perikarditis idiopatik atau yang disebabkan infeksi virus, tata laksana ditujukan untuk
meringankan gejala.
Pasien dengan nyeri dada, apapun etiologinya, harus ditata laksana dengan
pemberian oksigen dan monitor jantung.
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)
OAINS dapat digunakan untuk perikarditis akut, terutama pada perikarditis
idiopatik dan penyebab virus. Pedoman 2015 European Society of Cardiology (ESC)
menyarankan penggunaan aspirin 750-1000 mg atau ibuprofen 600 mg setiap 8 jam
selama 1-2 minggu.
Kolkisin
Kolkisin dapat diberikan sebagai terapi tambahan aspirin dan OAINS.
Kolkisin dapat diberikan dengan dosis 0,5 mg sebanyak 1-2 kali sehari selama 3
bulan. Kolkisin dilaporkan dapat membantu mengontrol penyakit dan mengurangi
insidensi rekurensi penyakit. Kolkisin diberikan jika tidak terdapat kontraindikasi
seperti hipersensitivitas terhadap kolkisin, gangguan ginjal berat, penyakit hati berat,
dan kehamilan.
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan apabila OAINS dan kolkisin
dikontraindikasikan atau gagal memperbaiki gejala. Sebelum menggunakan
kortikosteroid, pastikan terlebih dulu bahwa etiologi infeksius sudah dieksklusi.
Kortikosteroid yang dapat menjadi pilihan adalah prednison 0,2-0,5
mg/kg/hari dapat diberikan selama beberapa minggu sampai dengan gejala
menghilang dan penanda inflamasi kembali normal dengan penurunan dosis secara
bertahap setiap 2-4 minggu setelah remisi.
Pembedahan
Mayoritas pasien dengan perikarditis akut dapat ditangani secara efektif
dengan terapi medis saja. Namun pasien dapat memerlukan terapi invasif pada kondisi
berikut:
 Tamponade jantung
 Efusi perikardial dengan jumlah sedang sampai dengan banyak, terutama jika ada
gangguan hemodinamik yang signifikan dan refrakter terhadap terapi medis
 Kecurigaan penyebab neoplastik atau bakteri

41
 Bukti adanya perikarditis karena penyakit neoplastik atau bakterial
Pada pasien perikarditis dengan kondisi di atas intervensi perkutan dan
pembedahan dapat dipertimbangkan. Perikardiosentesis yang dipandu dengan
ekokardiografi atau fluoroskopi dapat dilakukan pada kondisi darurat. Ekokardiografi
dapat membantu mendeteksi tempat terbaik untuk perikardiosentesis di mana efusi
perikardial terbanyak.

7. Prognosis dan Komplikasi


Prognosis perikarditis bergantung pada etiologi dan keberadaan komplikasi seperti efusi
perikardial dan tamponade jantung.
Komplikasi
Perikarditis dapat menyebabkan komplikasi berupa efusi perikardial dan tamponade jantung.
Efusi Perikardial
Efusi perikardial didapatkan pada ≤ 60% kasus perikarditis akut. Efusi perikardial dalam
jumlah sedikit ini dapat diberikan terapi medis terlebih dulu. Jika efusi didapatkan dalam
jumlah banyak dan refrakter terhadap terapi medis, intervensi invasif dapat dilakukan. [2]
Tamponade Jantung
Tamponade jantung didapatkan pada 5% kasus perikarditis akut. Tamponade jantung terjadi
karena akumulasi cairan perikardial yang abnormal menyebabkan tekanan yang kemudian
mengganggu pengisian diastolik jantung.
Kriteria klinis klasik dari tamponade jantung adalah trias Beck, yaitu :
1. Hipotensi
2. Peningkatan tekanan vena jugular
3. Murmur
Gejala lain tamponade jantung adalah takipneu, takikardia, aritmia atrial seperti atrial
fibrilasi, refluks hepatojugular, edema perifer, pulsus paradoksus, dan sianosis.[9]
Prognosis
Prognosis perikarditis tergantung pada penyebab yang mendasari. Perikarditis viral dan
idiopatik bersifat swasirna, dan jarang menyebabkan sekuele. Faktor yang memperburuk
prognosis antara lain :
 Peningkatan suhu tubuh
 Perjalanan penyakit subakut
 Adanya efusi perikardium atau tamponade jantung

42
 Tidak adanya perbaikan klinis setelah terapi dengan aspirin dan obat antiinflamasi
nonsteroid selama 1 minggu
Faktor lain yang merupakan prediktor minor prognosis buruk adalah :
 Myoperikarditis
 Imunosupresi
 TraumaTerapi antikoagulan oral

8. Indikasi Rujukan
 Tingkat kemampuan menurut SKDI 2019- 2

43
KAWASAKI DISEASE

1. Pengertian dan Epidemiologi


Kawasaki Disease menyebabkan nyeri/inflamasi didinding arteri berukuran
medium ditubuh. Biasanya kawasaki disease ini menyerang anak-anak. Biasanya
inflamasi terjadi ti arteri koroner yang mensupply darah ke otot jantung
Nama lain dari penyakit ini adalah mucocutaneous lymph node syndrome
karena juga mempengaruhi kelenjar yang nyeri ketika infeksi, kulit, dan membran
mukus dimulut, hidung dan tenggorokan

2. Etiologi
Masih belum jelas/idiopatiik, yang jelas tidak menular walaupun ada teori
yang percaya disebabkan bakteri, virus dan lingkungan tapi belum terbukti.
Kemungkinan genetik juga mungkin jadi penyebab penyakit kawasaki

3. Patofisiologi
Etiologi yang belum jelas menyebabkan inflamasi di pembuluh darah kecil
dan medium, kemungkinan yang terjadi adalah pancarditis dan atau terinfeksi arteri
koroner lalu terjadilah aneurisme selama 7 hari. selanjutnya bisa terjadi myointimal
proliferation lalu luka dan kalsifikasi lalu trombosis koroner yang memnyebabkan
stenosis yang dapat menyebabkan kematian

4. Manifestasi Klinis
Biasanya ada 3 Fase
Fase 1
 Demam diatas 39 Derajat Celcius lebih dari 3 hari
 Mata merah
 Gatal-gatal ditubuh dan digenital
 Merah, kering dan bibir kering dan lidah merah parah
 Nyeri dan kulit merah di telapak tangan dan sol kaki
 Kelenjar nodus yang nyeri
Fase 2
 Kulit terkelupas ditangan dan kaki, terutama diujung tangan dan kaki
 Nyeri sendi

44
 Diare
 Muntah muntah
 Nyeri Abdomen

Fase 3
Mulai hilang perlahan, biasanya sampai 8 minggu agar normal lagi

5. Pemeriksaan diagnostik
 Pemeriksaan darah lengkap
Membantu untuk mencari kemungkinan penyakit lain. jika ditemukan sel
darah putih, anemia dan inflamasi, kemungkinan itu adalah penyakit kawasaki.
Lalu dapat dilakukan test substansi bernama B-type natriuretic peptide yang
dilepaskan ketika jantung dibawah tekanan.
 EKG
Pada anak dengan kawasaki disease dapat ditemukan ritme jantung abnormal.

6. Tatalaksana
 Gamma Globulin
Dapat menurunkan resiko dari masalah arteri koroner
 Aspirin
Dapat menurunkan inflamasi

7. Prognosis dan komplikasi


2-3% yang tidak dirawat bisa menjadi fatal, biasanya komplikasinya berhubungan
dengan jantung

8. Indikasi Rujukan
Menurut SKDI penyakit ini merupakan 3A, yang berarti harus dirujuk namun
kita cukup memberi tatalaksana awal

45
DEMAM REUMATIK - PENYAKIT JANTUNG REMATIK

A. Definisi
Demam rematik adalah penyakit sistemik yang disebabkan infeksi streptokokus beta
hemolitikus grup A (GAS) pada faring. Infeksi streptokokus ini terutama terjadi pada
anak dan dewasa muda. Demam rematik sebenarnya disebabkan oleh respons
autoimun yang ditentukan oleh faktor predisposisi genetik penderita; respons
autoimun ini terjadi karena antigen streptokokus menyerupai sel manusia, salah
satunya katup jantung, yang kemudian dapat menyebabkan komplikasi penyakit
jantung rematik.

B. Epidemiologi
Kejadian demam rematik telah menurun pada beberapa dekade terakhir,
namun di negara berkembang penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat.
Demam rematik terutama pada anak-anak ditemukan pada usia 5-15 tahun,
jarang pada anak di bawah 3 tahun. Setidaknya terdapat satu episode serangan
faringitis pada anak setiap tahunnya, 5-20% serangan disebabkan oleh streptokokus
beta hemolitik grup A (GAS). Komplikasi terberat demam rematik bila mengenai
organ jantung. Komplikasi jantung terjadi pada 30- 70% serangan demam rematik
pertama dan 73-90% seluruh serangan. Penyakit jantung rematik disebabkan oleh
kerusakan katup jantung, yaitu katup mitral (65-70%) dan katup aorta (25%).
Etiologi
Penyebab demam rematik adalah streptokokus beta hemolitik grup A (GAS),
bakteri kokus gram positif yang biasa berkoloni di kulit dan orofaring. Penularan
organisme ini melalui sekresi saluran pernapasan atas yang biasa terjadi di lingkungan
padat. Organisme ini menempel pada sel epitel saluran napas atas dan menghasilkan
enzim yang memungkinkan invasi ke sel manusia. Setelah terinfeksi, reaksi host
tubuh adalah inflamasi akut yang menyebabkan gejala supuratif seperti faringitis,
impetigo, selulitis, miositis, pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh streptokokus
grup A memiliki peranan pada terjadinya demam rematik dan penyakit jantung
rematik.

46
Faktor Risiko
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi adalah keadaan sosio-
ekonomi, kepadatan penduduk, dan malnutrisi.

C. Patogenesis dan Patofisiologi


Demam rematik akut adalah sekuel nonsupuratif setelah infeksi faringitis oleh
GAS. Mekanisme ini terjadi karena respons autoimun disebabkan oleh kemiripan
molekuler sel normal tubuh manusia dengan antigen streptokokus. Faktor predisposisi
demam rematik bergantung kepada histokompatibilitas antigen, potensi antigen
jaringan spesifik, dan antibodi yang terbentuk segera setelah infeksi streptokokus.2
Tercetusnya demam rematik dipengaruhi oleh gen kontrol respons imun yang
dihubungkan dengan HLA-DR7. Molekul HLA memproses antigen di sel tubuh dan
mempresentasikan ke permukaan sel. Pada reaksi autoimun, sel T mengenali antigen
sel manusia sebagai antigen streptokokus dan juga mengaktifkan sel B yang
memproduksi antibodi.
Streptokokus menginvasi sel epitel manusia dengan difasilitasi oleh protein
GRAB (alpha-2 macroglobulin-binding protein) dan sfb1 (streptococcal fibronectin-
binging portein 1). Selain itu, terdapat strepococcal C5a peptidase (SCPA) yang
mengaktivasi kemotaksin C5a sehingga memberikan kemampuan menempel pada
jaringan. Protein M merupakan komponen streptokokus yang bersifat antigenik,
menyerupai antigen sel pada beberapa organ tubuh manusia. Protein M memiliki 120
serotipe yang menentukan tingkat virulensi streptokokus, serta memiliki kemampuan
menginvasi dan melawan fagositosis sistem imun. Seseorang dapat terinfeksi
Streptokokus lebih dari sekali, namun kasus re-infeksi protein M dengan serotipe
sama jarang karena telah terbentuknya antibodi anti-M homologous pada setiap
infeksi. Selain itu, terdapat superantigen yang merupakan grup glikoprotein yang
disintesis oleh bakteri yang berperan dalam terikatnya kompleks histokompatibilitas
mayor kepada reseptor sel T limfosit. Sel T ini akan teraktivasi lalu melepaskan
sitokin dan akan menjadi autoreaktif terhadap stimulasi superantigen. Aktivasi
superantigen juga dapat terjadi pada sel B yang menghasilkan antibodi autoreaktif.

47
D. Manifestasi Klinis
Pada umumnya, manifestasi klinis demam rematik pada anak terjadi beberapa
minggu setelah terinfeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A (GAS). Manifestasi
klinis bervariasi dan secara garis besar dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor.

Tabel kriteria diagnosis demam rematik akut revisi kriteria Jones tahun 2015

KRITERIA MAYOR

Populasi Risiko Rendah Populasi Risiko Sedang - Tinggi

Karditis (klinis atau subklinis) Karditis (klinis atau subklinis)

Hanya poliartritis Poliartritis atau monoartritis, poliartralgia

Chorea Chorea

Eritema marginatum Eritema marginatum

Nodul subkutan Nodul Subkutan

KRITERIA MINOR

Populasi Risiko Rendah Populasi Risiko Sedang - Tinggi

Demam ≥ 38,5oC Demam ≥ 38,5oC

Poliartralgia Monoartralgia

LED ≥60 mm per-jam dan/atau CRP ≥3,0 LED ≥30 mm per-jam dan/atau CRP ≥3,0
mg/dL mg/dL

Interval PR memanjang (durasi interval Interval PR memanjang (durasi interval


sesuai usia, kecuali terdapat karditis) sesuai usia, kecuali terdapat karditis)

- Artritis
Artritis dialami 35-36% pasien, biasanya muncul sebagai gejala pertama dalam 21
hari setelah terinfeksi GAS. Gejala ini lebih sering dan lebih berat pada usia remaja dan
dewasa muda daripada anak-anak. Nyeri sendi lebih sering daripada bengkak sendi, dapat

48
menghambat pergerakan pasien. Sendi-sendi besar yang sering diserang adalah sendi lutut,
siku, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan. Pada umumnya radang dan nyeri bersifat
asimetris dan bermigrasi, pertama kali menyerang sendi lutut. Artritis dapat sembuh sendiri
tanpa terapi dalam 4 minggu dan tidak mengakibatkan deformitas sendi.
- Karditis
Manifestasi karditis paling sering terjadi, pada sekitar 50-70% pasien; biasanya
muncul 3 minggu setelah terinfeksi GAS. Pada umumnya karditis mengenai seluruh lapisan
jantung - perikardium, epikardium, miokardium, dan endokardium (pankarditis). Lapisan
endokardium katup yang sering terkena (valvulitis), terutama katup mitral dan aorta, yang
ditandai dengan adanya murmur pada katup mitral dan aorta; pada ekokardiografi dapat
dijumpai regurgitasi mitral dan aorta. Dampak kerusakan katup bersifat progresif dan kronis
sehingga dapat berakibat gagal jantung.
- Sydenham Chorea
Sydenham chorea adalah kelainan neurologis berupa gerakan involunter ireguler,
nonstereotipik, disertai kelemahan otot muskuler, dan gangguan emosional. Gejala chorea
sering unilateral, intermiten, dan berhenti selama pasien tidur. Chorea dialami 10-30%
pasien, lebih sering pada anak perempuan. Gejala chorea muncul paling akhir dibandingkan
gejala klinis lainnya; biasanya 1-8 bulan setelah terinfeksi GAS; sembuh sepenuhnya setelah
6 minggu sampai 6 bulan, jarang rekuren. Kelemahan otot muskuler biasanya diperiksa
dengan meminta pasien meremas tangan pemeriksa.
- Eritema Marginatum
Eritema marginatum tampak sebagai lesi nonpruritik merah muda di tubuh dan
ekstremitas, namun tidak di wajah. Lesi bersifat sentrifugal, tampak batas tegas di bagian luar
lesi dengan gambaran difus di bagian dalam lesi. Lesi tampak lebih jelas saat pasien mandi
atau berendam air hangat. Eritema marginatum mengenai <6% pasien dan pada beberapa
kasus dapat kambuh meskipun gejala lain sudah hilang. Eritema marginatum jarang muncul
sendiri tanpa disertai manifestasi lain.
- Nodul Subkutan
Nodul subkutan ditandai dengan lesi berbatas tegas berukuran 0,5-2 cm, padat, tidak nyeri.
Nodul subkutan biasanya muncul simetris pada siku, pergelangan tangan, lutut, pergelangan
kaki, dan dekat tendon. Timbul pada 0-10% pasien setelah 1-2 minggu onset penyakit. Nodul
ini bertahan kurang lebih 2-4 minggu.

49
Gambaran mikroskopis jantung dengan pewarnaan hematoxylin eosin pada penderita
penyakit jantung reumatik. Aschoff bodies ditunjukkan oleh panah.

E. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
● Pemeriksaan reaktan fase akut: Pemeriksaan LED dan CRP digunakan sebagai
pendukung diagnosis dan termasuk kriteria minor
● Kultur: Didapatkan hasil kultur swab tenggorokan positif
● Tes antibodi: didapatkan peningkatan titer antistreptolisin O (ASTO) atau
antidesoxyribonuclease
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dengan Doppler penting sebab pada karditis
subklinis regurgitasi mitral atau aorta terkadang tidak ditemukan hanya dengan
pemeriksaan fisik saja (auskultasi). Pada pemeriksaan ekokardiografi dengan Doppler
juga dapat terlihat patologi katup mitral atau aorta. Oleh sebab itu, pemeriksaan
ekokardiografi dengan Doppler sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang
dicurigai menderita demam rematik.

50
F. Prinsip Diagnosis
Demam rematik akut ditandai dengan infeksi GAS sebelumnya, diikuti gejala
di atas. Kriteria Jones diperkenalkan pada tahun 1944 sebagai pedoman klinis
diagnosis demam rematik.
American Heart Association/AHA (1992) melakukan revisi pertama kriteria
Jones. Berdasarkan revisi kriteria Jones tahun 1992, diagnosis demam rematik
ditegakkan jika ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor,
ditambah bukti infeksi GAS yang positif di tenggorokan dan peningkatan titer
antibodi streptokokus. Pada revisi kriteria Jones terbaru tahun 2015, manifestasi klinis
diklasifikasikan tidak hanya berdasarkan gejala mayor dan minor saja, namun juga
berdasarkan populasi risiko rendah atau populasi risiko sedang-tinggi. Populasi risiko
rendah yakni populasi dengan prevalensi ≤ 1 per 1000 populasi per tahun pada
seluruh usia, atau ≤ 2 per 100.000 anak usia sekolah. Pada seluruh populasi, diagnosis
demam rematik pertama ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor + 2 kriteria minor. Pada pasien yang mengalami kekambuhan, diagnosis
ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor atau 3 minor.
Penurunan kasus demam rematik secara global menyebabkan berkurangnya
pengalaman klinis tenaga medis dalam mendiagnosis demam rematik; tujuan revisi
kriteria diagnosis adalah untuk lebih mempertajam kemampuan diagnosis, sehingga
gejala awal lebih cepat terdeteksi dan pemberian tatalaksana lebih akurat. Pada
kriteria Jones revisi terbaru terdapat beberapa perubahan antara lain diperlukannya
pemeriksaan ekokardiografi pada kriteria mayor, konsep karditis subklinis dan
pembagian golongan risiko rendah, sedang-tinggi pada pasien demam rematik.
Pembagian kelompok risiko juga dapat digunakan untuk data epidemiologi. Selain itu,
tujuan kriteria diagnosis lama hanya untuk diagnosis episode pertama demam rematik;
sedangkan pada revisi kriteria Jones terbaru kekambuhan penyakit dapat didiagnosis
menggunakan tiga kriteria minor. Penambahan kriteria poliartralgia atau monoartritis,
serta penanda inflamasi dan parameter demam membuat kriteria Jones lebih akurat
dan mendeteksi penyakit lebih awal. Diagnosis lebih awal diharapkan dapat
mengatasi gejala fase akut dan mencegah gejala sisa penyakit jantung rematik laten.
Penerapan ekokardiografi pada kriteria demam rematik sangat bermanfaat untuk
mendiagnosis dan memantau perubahan katup jantung, terutama pada kasus karditis
subklinis. Pada penelitian Mahfouz, et al, didapatkan bahwa skrining ekokardiografi
anak tanpa gejala karditis, ternyata menemukan gangguan disinkronisasi sistolik

51
ventrikel kiri. Oleh karena itu, ekokardiografi dianjurkan pada skrining awal pasien
karditis subklinik. Di samping itu, ekokardiografi berperan sebagai alat diagnostik dan
memantau kerusakan katup serta sekuel kelainan katup yang dapat menentukan
prognosis. Ekokardiografi telah disarankan sebagai alat skrining oleh WHO pada
tahun 2004 di negara-negara dengan prevalensi tinggi. Modalitas alat pemeriksaan ini
ditambahkan pada kriteria Jones terbaru karena saat ini ekokardiografi sudah lebih
luas digunakan.

G. Penatalaksanaan
Tatalaksana demam rematik meliputi tirah baring, terapi anti-streptokokus
(profilaksis primer dan sekunder) serta terapi antiinflamasi dan anti-konvulsi. Pada
komplikasi gagal jantung diperlukan obat diuretik (furosemid, spironolakton),
kaptopril, digoksin, dan diet yang sesuai untuk gagal jantung.
- Terapi Anti-streptokokus
Profilaksis primer bertujuan untuk mengeradikasi bakteri streptokokus
pada faringitis. Obat yang dapat diberikan antara lain;
phenoxymethylpenicillin (Penicilline V) oral dengan dosis 50 mg/kgBB/hari
dibagi 4 kali sehari atau amoxicillin 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali sehari
selama 10 hari. Selain itu, dapat juga diberikan benzathine penicillin G
intramuskuler (IM) dengan dosis 1.200.000 U pada anak dengan berat badan
>20 kg; 600,000 U pada anak dengan berat badan <20 kg. Bila alergi terhadap
golongan penicillin, digunakan golongan sefalosporin seperti sefadroksil,
sefaleksin. Obat golongan makrolida seperti eritromisin, klaritromisin, dan
azitromisin juga dapat diberikan bila pasien memiliki riwayat alergi terhadap
obat golongan beta-laktam. Golongan tetrasiklin, suflonamid, ataupun
kloramfenikol sebaiknya tidak digunakan mengingat efek samping, resistensi,
dan toksisitas obat yang tinggi. Profilaksis sekunder adalah untuk mencegah
serangan ulangan atau kekambuhan demam rematik dengan pemberian obat
antistreprokokus jangka panjang. Obat pilihan antara lain
phenoxymethylpenicillin, benzathine penicillin G, atau golongan makrolida.
Lamanya pemberian profilaksis sekunder tergantung keadaan pasien seperti
usia, adanya karditis, riwayat komplikasi dari kelainan katup, dan lainnya.
Pemberian profilaksis sekunder biasanya dimulai 5-10 tahun setelah onset
serangan terakhir demam rematik atau sampai anak berusia 21 tahun.

52
Pemberian profilaksis pada pasien demam rematik yang mengalami karditis
direkomendasikan selama 10 tahun sejak onset serangan terakhir atau sampai
berusia 40 tahun. Obat untuk profilaksis sekunder antara lain benzathine
penicillin G IM dengan dosis 1.200.000 U pada anak dengan berat badan >20
kg; 600.000 U pada anak dengan berat badan <20 kg setiap 21 hari atau
penicilline 2 × 250 mg setiap hari.
- Terapi Anti-inflamasi
Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dapat membantu mengurangi
gejala nyeri dan peradangan. Gejala artritis memberikan respons baik pada
pemberian obat OAINS dalam 48 jam.5 Obat golongan OAINS yang aman
pada anak antara lain ibuprofen oral dengan dosis 30–40 mg/kgBB/hari,
naproxen oral dengan dosis 10–20 mg/kgBB/hari, dan asam asetil salisilat
(aspirin) oral dengan dosis 80–100 mg/kgBB/hari. Selain itu, paracetamol
dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pada artritis. Obat antiinflamasi
golongan kortikosteroid seperti prednison oral 1–2 mg/kgBB/hari, maksimum
60 mg/hari dapat digunakan pada kasus demam rematik dengan gejala karditis.
- Terapi Anti-konvulsi
Gejala chorea dapat sembuh sendiri. Mengingat potensi efek toksik
obat antikonvulsi dan obat sedatif, obat tersebut hanya digunakan bila
gejala chorea berpotensi menyebabkan kecacatan atau membuat stres.
Obat yang dapat digunakan antara lain asam valproat dan
karbamazepin. Untuk mengatasi gejala chorea dapat diberikan asam
valproat oral 30 mg/kgBB/hari.

H. Prognosis dan Komplikasi


- Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam yang berarti bila karditis
sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun
pertama perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik
tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang. Prognosis
memburuk bila gejala karditisnya lebih berat dan ternyata demam rematik akut
dengan

53
- Komplikasi
Komplikasi dari penyakit jantung rematik tersering adalah gagal jantung.
Selain itu, komplikasi lainnya adalah atrial fibrilasi, endokarditis, hipertensi
arteri pulmonal, stroke hingga kematian. Gagal jantung dapat disebabkan dari
dilatasi ventrikel kiri akibat lesi regurgitas pada katup mitral atau katup aorta,
atau disebabkan karena atrial fibrilasi akibat stenosis mitral. Stenosis katup
mitral akan menaikkan tekanan pengisian dan penurunan compliance dari
atrium kiri, sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Atrial
fibrilasi pada stenosis mitral juga dapat berakibat pada kejadian tromboemboli.

54
AORTIC REGURGITATION
A. DEFINISI
Adalah aliran balik dari aorta ke ventrikel kiri yang disebabkan oleh kelainan katup
aorta itu sendiri atau sebagai akibat kelainan geometri pangkal aorta. Dapat disertai
stenosis katup aorta tetapi derajat regurgitasi lebih dominan.

B. ETIOLOGI, FAKTOR RESIKO, EPIDEMIOLOGI


a. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi AR melibatkan akar aorta dan daun katup aorta. Penyebab paling
umum dari patologi daun katupnya yang menyebabkan AR diantaranya
bikuspid katup aorta, endokarditis infektif, penyakit pembuluh darah kolagen
(terutama lupus erythematosus), dan prolaps daun katup. Sedangakn patologi
akar aorta yang umum menyebabkan AR diantaranya sindrom Marfan, diseksi
aorta, annulo-aorta ektasia akibat hipertensi, sindrom Ehlers-Danlos, sindrom
Loeys-Dietz, sifilis, dan spondylitis ankilosa.

Hurs’t
b. Epidemiologi
i. Prevalensi AR secara internasional belum banyak diketahui. Namun,
prevalensi internasional dari kondisi yang mendasari telah dijelaskan di

55
tempat lain. Misalnya, penyakit jantung rematik tetap sangat umum
terjadi pada penduduk Asia, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
ii. Prevalensi terjadinya AR pada laki-laki lebih besar yaitu 13%
dibandingkan perempuan yaitu 8,5% berdasarkan studi Framingham.
Hal ini mencerminkan kondisi yang mendasari seperti sindrom Marfan,
katup aorta bicuspid yang lebih sering terjadi pada laki-laki.
iii. CAR sering dimulai pada pasien berusia akhir 50-an dan paling sering
didokumentasikan pada pasien yang berusia lebih dari 80 tahun.
Dengan pengecualian kondisi yang mendasari akan mempercepat
terjadinya keparahan.

C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Regurgitasi katup aorta,


katup tidak menutup rapat

Aliran darah balik


ke ventrikel kiri

↑ LVEDV (volume akhir Kongesti paru


diastolik ventrikel kiri) dan dyspnea

mempertahankan Kompensasi ventrikel;


SV dan CO hipertrofi dan dilatasi

apex ventrikel kiri Dilatasi ventrikel


terlalu dekat dengan yang berlebihan
dinding dada

rasa berdebar, detak jantung gagal jantung sistolik,


yang tidak nyaman teruama pada ↓ SV, ↓ forward
posisi decubitus lateral kiri blood flow

56
D. MANIFESTASI KLINIK
a. Sesak napas
b. Sianosis
c. Udem paru
d. Vasokontriksi perifer
e. Becker sign: Pulsasi sistolik yang terlihat dari arteriol retinal
f. de Musset sign: Gerakan kepala pasien mengangguk dengan setiap detak
jantung
g. Müller sign - Denyut sistolik yang terlihat dari uvula
h. Quincke sign - Pulsasi yang terlihat pada bantalan kuku dengan kompresi
ringan pada kuku
i. Berdebar-debar
E. PRINSIP DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
a. Kriteria Diagnosis
i. Anamnesis
ii. Pemeriksaan Fisik
1. TD sistolik tinggi & diastolic rendah; Korotkoff V berakhir
pada angka nol
2. Tekanan nadi (pulse pressure) sangat lebar.

57
3. Bila disertai stenosis aorta (AS) : teraba trill sistolik di area
aorta
4. Auskultasi:
- AR murni: murmur diastolic di area aorta, menjalar
sepanjang sisi sternal murmur diastolic Austin-Flint-low
pitch diapeks jantung murmur diastolic Dove - bunyi
seperti siulan (cooing)
- Bila disertai AS: S-2 lemah, bising ejeksi sistolik bruit
pada arteri karotis (menjalar ke leher)
5. Tanda-tanda stigmata AR: Corrigan Pulse, Quinkesign,
Duroziersign, Traube sign, De Muller sign, Hill sign, De
Musset Sign.
iii. Ekokardiografi : Kriteria beratnya derajat AR (sesuai referensi) lesi
katup lain yang umum terjadi pada AR rematik
b. Diagnosis Kerja
i. Regurgitasi Aorta Reumatik (ICD 10: I 06.1)
ii. Stenosis Aorta dengan Regurgitasi Aorta Rematik (ICD 10: I 06.2)
iii. Regurgitasi Aorta Non Reumatik (ICD 10: I35.1)
iv. Stenosis Aorta dengan Regurgitasi Aorta Non Rematik (ICD 10: I
35.2)
c. Diagnosis Banding
i. Pada AR murni
1. Patent Ductus Arteriosus
2. Regurgitasi Pulmonal
ii. Pada AR dengan AS
1. Regurgitasi Mitral
2. Ventricular Septal Defect
3. HOCM o Stenosis Pulmonal
4. Aneurisma arkus aorta
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG
b. Rontgen
c. Lab. : Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, SGOT, SGPT, Ur, Cr, Albumin/ globulin,
protein, TT/INR (untuk pengguna warfarin), ASTO, CRP

58
d. Ekokardiografi: trans-thoracal dan TEE (untuk pasien rencana operasi)
e. MSCT aorta (bila dicurigai ada kecurigaan aneurisma/diseksi
f. Angiografi Koroner (usia >40 tahun, wanita menopause, kecurigaan PJK)
g. Penyadapan jantung bila dicurigai ada lesi penyerta yang belum terdiagnosis
oleh pemeriksaan non invasif.
G. TATALAKSANA KOMPREHENSIF
a. Pengelolaan Medika mentosa
i. Vasodilator (bila gagal jantung):
- Penghambat ACE; captopril 3 x 12.5–100 mg atau
- Penyekat reseptor Angiotensin : valsartan 1-2 x 20 – 160 mg
- Arteri odilator langsung; hidralazin 4x 12.5–100mg
ii. Diuretik :
- Furosemid drip IV sampai 20 mg/jam atau sampai 3 x 80 mg
(oral)
- Kalium sparing diuretik; spironolakton sampai 1 x 100mg
iii. Anti aritmia :
- Amiodaron; dari 3 x 400mg sampai 1x 100 mg
- Digoksin oral ;1 x 0.125 -0.25mg tab
iv. Suplemen elektrolit :
- Kalium Chlorida oral sampai 3x 2 tablet
- KCl drip intravena (sesuai rumus koreksi– tidak boleh
>20mEq/jam)
v. Antikoagulan / anti trombositoral:
- Warfarin ; 1 - 6mg / hari (target kadar INR 2–3)
- Aspirin; 1x80-160mg (AF usia <65 tahun tanpa riwayat
hipertensi atau gagal jantung).
vi. Oksigen terapi
c. Pencegahan
i. Pencegahan sekunder reaktivasi rematik diberikan seumur hidup bila
penyebabnya rematik. Obat dan dosis dibawah ini untuk BB >30kg.
- Penisilin Benzatin G injeksi 1,2 juta IUim setiap 4 minggu
sekali/
- Penisilin V/ Phenoxy Methyl Penicilineoral (Ospen) 2x 250mg
setiap hari atau

59
- Sulfadiazine 1 gr (oral) sekali sehari
ii. Pencegahan primer terhadap EI
b. Tindakan Intervensi Bedah/Non Bedah
Ditentukan pada forum konferensi bedah oleh team valvular
i. Waktu Operasi
Prinsip penentuan waktu operasi adalah: tidak terlalu cepat dan tidak
terlambat, waktu operasi ditentukan oleh :
 AR akut operasi dilakukan segera, sedangkan AR kronik ada
beberapa pertimbangan sebelum diputuskan untuk dilakukan
operasi.
 Simtomatik merupakan indikasi waktu operasi
 Diameter Aortic root >45 mm, atau penembahan ukuran >2mm/
tahun d. Severitas AR: pada AR berate simptomatik merupakan
indikasi waktu operasi bila telah timbul kondisi pada butire di
bawah
 Disfungsi LV (secara ekokardiografi): ESD >55mm, EDD >75mm,
dan atau EF <50%
 Pasien yang akan menjalani operasi bedah pintas coroner atau bedah
manipulasi aorta atau operasi katup lainnya
ii. Tindakan pembedahan:
- Perbaikan/reparasi katup
- Penggantian katup bioprostetik/prostetik mekanik
H. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
a. Prognosis
Prognosis tergantung pada ada atau tidaknya disfungsi dan gejala ventrikel
kiri. Pada pasien asimtomatik dengan EF normal, hal berikut telah ditemukan:
- Tingkat perkembangan gejala atau disfungsi ventrikel kiri -
Kurang dari 6% per tahun
- Tingkat perkembangan menjadi disfungsi LV asimtomatik -
Kurang dari 3,5% per tahun
- Tingkat kematian mendadak - Kurang dari 0,2% per tahun
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam

60
Ad fungsionam : dubia ad bonam
b. Komplikasi
i. Gagal jantung
ii. aritmia
iii. endocarditis
iv. kematian

61
AORTIC STENOSIS
A. DEFINISI
adalah obstruksi katup aorta yang menyebabkan aliran darah dari ventrikel kirike
aorta terganggu, bisa karena rematik atau non rematik. Di antara pasien bergejala
dengan stenosis aorta sedang hingga berat yang dirawat secara medis, mortalitas sejak
timbulnya gejala adalah sekitar 25% pada 1 tahun dan 50% pada 2 tahun. Gejala
stenosis aorta biasanya berkembang secara bertahap setelah periode laten tanpa gejala
selama 10-20 tahun.

B. ETIOLOGI, FAKTOR RESIKO, EPIDEMIOLOGI


a. Etiologi dan Faktor Resiko

b. Epidemiologi
Stenosis aorta berat jarang terjadi pada masa bayi, terjadi pada 0,33%
kelahiran hidup, dan disebabkan oleh katup unikuspid atau bikuspid.
Kebanyakan pasien dengan katup aorta bikuspid kongenital yang mengalami
gejala tidak melakukannya sampai usia paruh baya atau lebih. Pasien dengan
stenosis aorta rematik biasanya datang dengan gejala setelah dekade keenam
kehidupan.

Sklerosis aorta (kalsifikasi katup aorta tanpa obstruksi aliran darah, dianggap
sebagai prekursor kalsifikasi degeneratif kalsifikasi aorta stenosis) meningkat
dalam insiden seiring bertambahnya usia dan terjadi pada 29% individu yang

62
berusia lebih dari 65 tahun dan pada 37% individu yang berusia lebih dari 75
tahun. Pada orang lanjut usia, prevalensi stenosis aorta antara 2% dan 9%.

Stenosis aorta kalsifikasi degeneratif biasanya bermanifestasi pada individu


yang berusia lebih dari 75 tahun dan paling sering terjadi pada laki-laki.

C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Regurgitasi aorta dapat menyertai stenosis aorta, dan sekitar 60% pasien> 60 tahun
dengan AS yang signifikan juga mengalami kalsifikasi annular mitral, yang dapat
menyebabkan regurgitasi mitral.
Peningkatan beban tekanan akibat stenosis aorta menyebabkan hipertrofi kompensasi
dari ventrikel kiri (LV) tanpa pembesaran rongga (hipertrofi konsentris). Seiring
waktu, ventrikel tidak dapat lagi mengkompensasi, menyebabkan pembesaran kavitas
ventrikel kiri sekunder, mengurangi fraksi ejeksi (EF), penurunan curah jantung, dan
gradien rendah yang menyesatkan di seluruh katup aorta (AS berat gradien rendah).
Pasien dengan gangguan lain yang juga menyebabkan pembesaran ventrikel kiri dan
penurunan EF (mis., Infark miokard, kardiomiopati intrinsik) dapat menghasilkan
aliran yang tidak mencukupi untuk membuka sepenuhnya katup sklerotik dan
memiliki area katup yang tampak kecil bahkan ketika AS mereka tidak terlalu parah
(AS pseudosevere). AS pseudosevere harus dibedakan dari AS berat gradien rendah
karena hanya pasien dengan AS berat gradien rendah yang mendapat manfaat dari
penggantian katup.

D. MANIFESTASI KLINIK
a. Pusing kepala
b. CHF
c. Sinkope
d. Angina pectoris
e. Gagal jantung
f. Diaforesis
g. Ortopnea
h. Pulsus alternans
i. hiperdinamik pada ventrikel kiri
j. Murmur sistolik

63
E. PRINSIP DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
a. Kriteria Diagnosis
i. Anamnesis
- Cepat lelah
- Nafas pendek atau sesak nafas (dispneu, takipneu, ortopneu)
- Sinkop / gangguan peredaran darah otak sepintas
- Sakit dada (angina pektoris)
ii. Pemeriksaan Fisik
1. Palpasi: thrill sistolik
2. Auskultasi: S2 lemah bising ejeksi sistolik di area aorta
menjalar ke leher bruit pada a. karotis
3. Parvus et tardus
4. Gallavardin phenomenon
iii. Ekokardiografi : Kriteria beratnya derajat AR dan AS (sesuai referensi)
lesi katup lain yang umum terjadi pada AR rematik

b. Diagnosis Kerja
Stenosis Aorta Rematik (ICD : I 06.0)
Stenosis Aorta Non Rematik (ICD : I35.0)
c. Diagnosis Banding
i. Mitral regurgitasi
ii. HOCM
iii. VSD
iv. Pulmonal stenosis
v. Aneurisma arkus aorta

64
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG
b. Rontgen
c. Lab.: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, SGOT, SGPT, Ur, Cr, Albumin/globulin,
protein, TT/INR (untuk pengguna warfarin), ASTO, CRP
d. Ekokardiografi: trans-thoracal dan TEE (untuk pasien rencana operasi
e. MSCT aorta (bila dicurigai ada kecurigaan aneurisma / diseksi
f. Angiografi Koroner (usia >40 tahun, wanita menopause, kecurigaan PJK)
g. Penyadapan jantung bila dicurigai ada lesi penyerta yang belum terdiagnosis
oleh pemeriksaan non invasive.

G. TATALAKSANA KOMPREHENSIF
a. Pengelolaan Medika Mentosa
i. Penyekat kalsium: (hati-hati tensi terlalu turun) sebaiknya gunakan non
dihidropiridin: verapamil 3x 40-80 mg, diltiazem 3x 30-60mg
ii. Vasodilator (bila gagal jantung):
− ACE-I: captopril 3 x6.25–50mg
− ARB : valsartan1-2 x 20– 160 mg
iii. Diuretik (pada kasus dengan gagal jantung)
− Furosemid : drip IV sampai 20mg/jam atau sampai 3 x 2 tab
(oral)
− Kalium sparing diuretik; spironolakton sampai 1 x 100mg
iv. Anti aritmia
- Amiodaron; dari 3x 400mg sampai 1x 100 mg
- Digoksin oral: 1 x 0,125-0.25mg tab
v. Beta blocker: metoprolol sampai 2x100mg atau bisoprolol sampai 1 x
1,25-10mg
vi. Suplemen elektrolit :
- Kalium Chloridaoral sampai 3 x 2 tabl,
- KCl drip intravena (sesuai rumus koreksi– tidak boleh >20
mEq/jam)
vii. Antikoagulan / antitrombositoral:
- Warfarin: 1- 6 mg /hari (target kadar INR 2- 3)

65
- Aspirin: 1x 80-160mg (AF usia <65 tahun tanpa riwayat hipertensi atau
gagal jantung)
viii. Oksigen terapi
c. Pencegahan
i. Pencegahan sekunder reaktivasi rematik diberikan seumur hidup bila
penyebabnya rematik. Obat dan dosis dibawah ini untuk BB >30kg.
- Penisilin Benzatin G injeksi 1,2 juta IUim setiap 4 minggu
sekali/
- Penisilin V/ Phenoxy Methyl Penicilineoral (Ospen) 2x 250mg
setiap hari atau
- Sulfadiazine 1 gr (oral) sekali sehari
ii. Pencegahan primer terhadap EI
d. Tindakan Intervensi Bedah/Non Bedah
i. Waktu Operasi
Prinsip penentuan waktu operasi adalah tidak terlalu cepat dan tidak
terlambat, waktu operasi ditentukan oleh :
 Simtomatik
 Disfungsi LV (secara ekokardiografi) : EF 0.3 m/s per tahun
 Untuk yang belum perlu intervensi, lakukan followup tiap 6-12
bulan atau jika timbul keluhan
ii. Intervensi Non Bedah
 Valvuloplasti Aorta dengan Balon (VAB) Sebagai jembatan untuk
operasi atau TAVI pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
atau pasien AS berat dengan simptom yang butuh tindakan urgensi
non-bedah
 Transcatheter Aortic ValveImplantation Dilakukan pada pasien
dengan risiko tinggi untuk operasi, dengan mempetimbangkan
kontra indikasi absolute dan relatif; keputusan tindakan ini harus
dibuat oleh tim/ poja valvular
iii. Tindakan pembedahan : Penggantian katup bioprostetik / prostetik
mekanik

H. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

66
a. Prognosis
i. Secara umum, adanya "stenosis berat" gradien rendah (didefinisikan
sebagai area katup aorta <1,0 cm2 dan gradien rata-rata 40 mmHg),
mewakili hingga 40% dari semua pasien dengan stenosis aorta,
dianggap terkait dengan prognosis yang buruk.
ii. Pasien asimtomatik, bahkan dengan stenosis aorta kritis, memiliki
prognosis yang sangat baik untuk bertahan hidup, dengan angka
kematian yang diharapkan kurang dari 1% per tahun; hanya 4% dari
kematian jantung mendadak pada stenosis aorta berat terjadi pada
pasien asimtomatik.
iii. Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
b. Komplikasi
i. Kematian jantung mendadak
ii. Gagal jantung
iii. Cacat konduksi
iv. Embolisasi kalsifikasi

67
MITRAL REGURGITATION & MITRAL STENOSIS

A. REGURGITASI MITRAL
a. Definisi
Regurgitasi mitral (MR) adalah insufisiensi katup mitral yang tidak menutup dengan
sempurna pada saat sistolik, sehingga menyebabkan aliran balik ke atrium kiri.

b. Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor Risiko


Etiologi
MR dapat disebabkan oleh proses rematik atau penyebab lain misalnya :
- Prolaps katup mitral (MVP) yaitu abnormalitas penutupan katup mitral pada
saat sistolik, dimana salah satu atau kedua daun katup terdesak lebih superior
ke ruang atrium; MVP berawal tanpa regurgitasi.
- Ruptur chordatendinae atau rupture muskulus papilaris sebagai komplikasi
infark miokard akut MR rematik sering terjadi bersama-sama dengan stenosis
mitral (MS) rematik.
Epidemiologi
Di daerah lain selain dunia Barat, penyakit jantung rematik adalah penyebab
utama dari MR. Di Amerika Serikat, mitral regurgitasi (MR) akut dan kronis
mempengaruhi sekitar 5 pada 10.000 orang. penyakit jantung rematik sebagai
penyebab utama kelainan katup mitral. Prolaps katup mitral telah diperkirakan untuk
hadir dalam 4% dari populasi normal. Dengan bantuan warna Doppler
echocardiography, ringan MR dapat dideteksi pada sebanyak 20% orang dewasa
setengah baya dan lebih tua. MR secara independen terkait dengan jenis kelamin
perempuan, lebih rendah indeks massa tubuh, usia lanjut, disfungsi ginjal, infark
miokard sebelumnya, stenosis mitral sebelumnya, dan prolaps katup mitral
sebelumnya. Hal ini tidak berhubungan dengan dislipidemia atau diabetes. Di
Indonesia 2-5% populasi, paling tinggi pada usia 20-40 tahun, dan paling banyak
terjadi pada wanita.
Faktor Risiko
1. Bertambah tua
2. Memiliki kerusakan jantung congenital
3. Sebelumnya pernah menderita demam rematik
4. Sebelumnya pernah menderita endokarditis

68
5. Sebelumnya pernah menderita prolaps katup mitral
6. Sebelumnya pernah menderita infark miocard
7. Sebelumnya pernah menderita stenosis katup mitral

c. Patofisiologi
Regurgitasi mitral disebabkan oleh perubahan dalam bentuk kalsifikasi katup mitral,
penebalan k distorsi distorsi daun mengakibatkan penutupan tidak yang lengkap pada
waktu sistol. Penutupan tidak sempurna katup mitral ke dalam aorta menyebabkan
aliran darah berkurang menyebabkan kelebihan volume dalam atrium dan ventrikel
kiri. Peningkatan tekanan atrium kiri ditransmisikan ke paru-paru yang
mengakibatkan edema paru akut dan dyspnea.

Jika pasien dapat mentolerir pada fase akut → fase kompensasi kronis dimulai.
Hasil fase kronis kompensasi → hipertrofi ventrikel kanan eksentrik.
Kombinasi peningkatan preload dan hipertrofi ventrikel → menghasilkan peningkatan
volume akhir diastolik ventrikel → disfungsi otot ventrikel kiri → tekanan atrium
kanan meningkat, menyebabkan kongesti paru.
Hipertensi paru dapat terjadi karena peningkatan tekanan vena paru dalam waktu lama
dan akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung kanan.

d. Manifestasi Klinis
- Berdebar,
- Batuk-batuk,
- Sesak napas saat aktivitas,
- Ortopnoe,
- Paroxysmal nocturnal dyspnoe,
- Cepat lelah,
- Beberapa gejala yang tidak khas
Pemeriksaan Fisik
- Facies mitral,
- Palpasi: trill diastolic (bila MS dominan)
- Auskultasi

69
o MR dominan: S-1 melemah, pada MVP terdengar midsistolik click. Bising
pansistolik frekuensi tinggi diapeks dengan penjalaran ke aksilla, pada MVP
bising pansistolik nyaring seperti suara burung camar (seagull murmur);
o Bila MS dominan : S-1 keras, opening snap, bising mid-diastolik
- Tanda-tanda gagal jantung dapat timbul tergantung perjalanan penyakit.

e. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Rontgen
3. Lab: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, SGOT, SGPT, Ur, Cr, Albumin/globulin,
protein, TT/INR (untuk pengguna warfarin), ASTO, CRP
4. Ekokardiografi trans-thoracal dan transesophageal (bila rencana operasi)
5. Angiografi Koroner bila usia >40 tahun atau dicurigai ada penyakit jantung
koroner, atau penyebabnya infark miokard akut.
6. Pemeriksaan penyadapan jantung bila ada dugaan lesi penyerta yang belum
terdiagnosis oleh pemeriksaan non invasive atau hipertensi pulmonal berat.

f. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Ekokardiografi
- Menilai derajat MR dan morfologi katup apakah sesuai mitral rematik
- Mengukur area katup mitral - kriteria derajat MS (sesuai referensi)

Diagnosis Banding
1. Ventricular Septal Defect (VSD)
2. Aortic Stenosis (AS)
3. Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (HOCM)
4. Regurgitasi (TR)
5. Kortriatriatum, myxoma (mirip MS)

70
g. Tatalaksana
1. Pengelolaan Medika mentosa
a. Vasodilator.
- ACE inhibitor : captopril 3x 12.5– 100 mg
- ARB : valsartan 1-2x 20 –160 mg - Arterio dilator langsung:
hidralazin 4x 12.5– 100mg

b. Diuretik
- Furosemid : drip IV sampai 20mg/jam, atau sampai 3x 80mg
(oral)
- Kalium sparing diuretik: spironolakton sampai 1x 100 mg
c. Antiaritmia
- Amiodaron : dari 3 x 400 mg dilanjutkan dengan 1 x100mg
- Digoksin oral :1 x 0.125 -0.25mg tab
- Beta blocker: metoprolol sampai 2x100mg atau bisoprolol
1x1,25-10 mg
d. Suplemen elektrolit :
- Kalium Chloridaoral sampai 3 x 2 tablet,
- KCl dripintravena (sesuai rumus koreksi– tidak boleh
>20mEq/jam)
e. Antikoagulan / antri trombositoral:
- Warfarin :1 - 6 mg / hari (target kadar INR2– 3)
- Aspirin: 1 x 80-160 mg cxxx (AF usia <65 tahun tanpa riwayat
hipertensi atau gagal jantung)
f. Pengobatan infark miokard akut pada rupture chorda/muskulus
papilaris sebagai komplikasi
g. Pengobatan syok kardiogenik bila terjadi (lihat bab syok kardiogenik)
2. Pencegahan
a. Pencegahan sekunder reaktivasi rematik diberikan seumur hidup. Obat
dan dosis di bawah ini dipakai untuk berat badan >30 kg.
- Penisilin Benzatin Ginjeksi 1,2 juta IUim setiap 4 minggu
sekali atau
- Penisilin V / Phenoxy Methy l Penicilineoral (Ospen) 2x250mg
setiap hari atau

71
- Sulfadiazine 1 gr (oral) sekali sehari
b. Pencegahan primer terhadap EI (lihat bab Endokarditis Infektif)
3. Pengelolaan
Bedah Ditentukan pada forum konferensi bedah oleh tim/ pokja valvular
a. Waktu Operasi Prinsip penentuan waktu operasi untuk kasus MR
adalah tidak terlalu cepat dan tidak terlambat; waktu operasi ditentukan
oleh:
- Waktu terjadinya MR :
o Bila akut – operasi segera,
o Bila kronik- ada beberapa pertimbangan.
- Simtomatik merupakan indikasi waktu operasi
- Severitas MR: asimptomatik MR berat merupakan indikasi
waktu operasi bila telah timbul disfungsi LV secara echo, AF,
HP
- Disfungsi LV secara ekokardiografi : LVESD > 45 mm, EF<
60%
- Adanya penyulit: Atrial Fibrilasi (AF) dan / atau hipertensi
pulmonal (tekanan sistolik arteri pulmonal > 50 mmHg)
- Perlu pertimbangan seksama apakah masih diperlukan operasi
bila LVESD >55 mm dan/atau EF <30%, mengingat risiko
operasi yang tinggi dan outcome yang kurang baik
- Adanya MS dengan area katup mitral <1.5 cm2.
b. Tindakan pembedahan :
- Perbaikan / reparasi katup
- Penggantian katup bioprostetik atau prostetik mekanik

h. Prognosis dan Komplikasi


Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Komplikasi
1. Dapat menyebabkan serangan stroke
2. Gagal jantung kongestif

72
3. Aritmia
4. Kematian mendadak

B. STENOSIS MITRAL
a. Definisi dan Klasifikasi
Definisi
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri
ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral.

Klasifikasi

b. Epidemiologi dan Etiologi


Epidemiologi
Prevalensi kejadian stenosis mitral tinggi di negara berkembang. Hal ini dapat terjadi
karena dua pertiga penduduk dunia tinggal di negara-negara berkembang yang
prevalensi demam rematik dan penyakit jantung rematiknya tinggi. Di India, tanda-
tanda stenosis mitral ditemukan pada dua pertiga penduduk yang menderita demam
rematik. Kejadian stenosis mitral 2-3 kali lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki.

Etiologi
Penyebab stenosis mitral paling sering demam rematik, penyebab lain adalah
karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid artritis, mukopolisakaridosis dan
kelainan bawaan

73
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis
Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses
ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura,
fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan
menimbulkan distorsi aparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral
menjadi seperti bentuk ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole) terlihat
pada gambar 1. Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium
primer, sedangkan fusi dari korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium
sekunder. Pada endokarditis reumatika, daun katup dan korda akan mengalami
sikatrik dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan
penarikan daun katup menjadi funnel shaped. Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia
lanjut dan biasanya lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki serta lebih sering
pada keadaan gagal ginjal kronik. Proses ini dapat menimbulkan gangguan fungsi
namun biasanya ringan. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis
(periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun).

Patofisiologi
Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2 . Bila orifisium
katup ini berkurang sampai 2 cm2 , maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa
peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi.

74
Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm2 .
Pada tahap ini, dibutuhkan tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk
mempertahankan curah jantung yang normal. Gradien transmitral merupakan tanda
stenosis mitral selain luasnya area katup mitral, walaupun Rahimtoola berpendapat
bahwa gradien dapat terjadi Gambar 1. Gambaran katup mitral8 Katup mitra menebal,
kaku dan terdapat nodular appearance dilihat dari atrium (A) dan ventrikel (B).
Kalsifikasi terjadi di ujung commissura, dan komisura menyatu menyebabkan katup
berbentuk seperti mulut ikan. Aparatur subvalvular tebal, menyatu, dan memendek
(B, C). Katup mitral normal (D). 13 akibat aliran besar melalui katup normal atau
aliran normal melalui katup sempit. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium kiri
akan diteruskan ke vena pulmonalis dan seterusnya mengakibatkan kongesti paru
serta keluhan sesak (exertional dyspnea). Derajat berat ringannya stenosis mitral,
selain berdasarkan gradien transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup
mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan
kejadian opening snap. derajat katup mitral bisa dilihat di tabel di bawah ini.

Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup mitral
menurun sampai seperdua normal (<2-2,5 cm2 ). Kalau kita lihat fungsi lama waktu
pengisian dan besarnya pengisian, simtom akan muncul bila waktu pengisian menjadi
pendek dan aliran transmitral besar, sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri
walaupun area belum terlalu sempit (> 1,5 cm2 ). Pada stenosis mitral ringan simtom
yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran
atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang akan
meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis pada beberapa keadaan seperti
latihan, stres dan emosi, infeksi, kehamilan, serta 14 fibrilasi atrium dengan respons
ventrikel cepat. Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri
akan meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral < 1 cm2

75
yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis mitral,
dengan patofisiologi yang kompleks. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi
pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian pula
terjadi perubahan pada vaskuler paru berupa vasokonstriksi akibat bahan
neurohumoral seperti endotelin, atau perubahan anatomik yaitu remodel akibat
hipertrofi tunika media dan penebalan intima (reactive hypertension). Kenaikan
resistensi arteriolar paru ini sebenarnya merupakan mekanisme adaptif untuk
melindungi paru dari kongesti. Dengan meningkatnya hipertensi pulmonal ini akan
menyebabkan kenaikan tekanan dan volume diastol, regurgitasi trikuspid dan
pulmonal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti
sistemik.

d. Manifestasi Klinis

Pemeriksaan fisik dapat dijumpai malar facial flush, gambaran pipi yang merah
keunguan akibat curah jantung yang rendah, tekanan vena jugularis yang meningkat
akibat gagal ventrikel kanan. Kasus yang lanjut dapat terjadi sianosis perifer. Denyut
apikal tidak bergeser ke lateral, dorongan kontraksi ventrikel kanan pada bagian
parasternal dapat dirasakan akibat dari adanya hipertensi arteri pulmonalis. Auskultasi
dapat dijumpai adanya S1 akan mengeras, hal ini hanya terjadi bila pergerakan katup
mitral masih dapat fleksibel. Bila sudah terdapat kalsifikasi dan atau penebalan pada
katup mitral, S1 akan melemah. S2 (P2) akan mengeras sebagai akibat adanya
hipertensi arteri pulmonalis. Opening snap terdengar sebagai akibat gerakan katup
mitral ke ventrikel kiri yang mendadak berhenti, opening snap terjadi setelah tekanan

76
ventrikel kiri jatuh di bawah tekanan atrium kiri pada diastolik awal. Jika tekanan
atrium kiri tinggi seperti pada stenosis mitral berat, opening snap terdengar lebih
awal. Opening snap tidak 12 terdengar pada kasus dengan kekakuan, fibrotik, atau
kalsifikasi daun katup. Bising diastolik bersifat low-pitched, rumbling dan
dekresendo, makin berat stenosis mitral makin lama bisingnya. Tanda auskultasi
stenosis mitral yang terpenting untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS
interval yang pendek dan lamanya rumble diastolik. Pemeriksaan penunjang dari
rontgen toraks pada pasien stenosis mitral didapatkan pembesaran segmen pulmonal,
pembesaran atrium kiri, karina bronkus yang melebar dan bisa didapatkan gambaran
hipertensi vena pulmonalis, serta efusi pleura.

e. Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk membantu
menegakan diagnosis stenosis mitral adalah dengan metode noninvasif
ekokardiografi. Ekokardiografi merupakan metoda yang sangat sensitif dan
spesifik untuk mendiagnosis stenosis mitral. Two dimensional color Doppler
flow echocardiographic imaging dan Doppler echocardiography memberikan
informasi yang kritis, mencakup perkiraan atau penilaian perbedaan
transvalvuler dan ukuran orifisium mitral, adanya regurgitasi mitral serta
tingkat keparahan yang menyertai stenosis mitral, luasnya restriksi daun-daun
katup, tebalnya daun katup dan derajat distorsi aparatus subvalvuler. 13
Ekokardiografi juga memberikan penilaian ukuran ruang-ruang jantung,
perkiraan tekanan arteri pulmonalis dan indikasi mengenai adanya regurgitasi
trikuspid dan pulmonal serta derajat keparahannya yang terkadang menyertai
kejadian stenosis mitral
2. Lab : Hb, Ht, Lekosit, MCH / MCHC /RDW, SGOT / SGPT, Gamma GT,Ur,
Cr, Asto, CRP, Albumin, globulin/protein 46 | Panduan Praktik Klinis &
Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
3. Lab : Hb, Ht, Lekosit, MCH / MCHC /RDW, SGOT / SGPT, Gamma GT,Ur,
Cr, Asto, CRP, Albumin, globulin/protein
4. Rontgenthorax.
5. Ekokardiografi Trans thorakal dan Trans Oesophageal
6. Angiografi Koroner (usia >40 tahun / dicurigai penyakit jantung koroner)

77
7. Penyadapan Jantung kanan (pada hipertensi pulmonal berat)

f. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis kelainan katup jantung dapat dimulai dengan mengevaluasi riwayat
penyakit pasien dan keluhan yang muncul, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik
terutama auskultasi untuk menilai tanda kelainan katup jantung seperti bunyi murmur.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan tambahan lain, misalnya echocardiography, untuk
mengidentifikasi kelainan katup dengan lebih pasti.

Ekokardiografi untuk menilai derajat MS:


- Normal 4-6 cm2
- Ringan > 1,5 cm2
- Sedang 1-1,5 cm2
- Berat < 1 cm2
Morfologi katup sesuai mitral rematik

Diagnosis Banding
1. Miksoma diatrium kiri
2. Kor triatriatum

g. Tatalaksana
1. Medis
- Diuretik untuk LHF / RHF
- Digitalis / Beta blocker / CCB: Kontrol kecepatan di A Fib
- Antikoagulasi: Dalam A Fib
- Profilaksis endokarditis
2. Valvuloplasti balon
Perbaikan jangka panjang yang efektif
3. Bedah
- Komisurotomi mitral
- Penggantian Katup Mitral
● Mekanis
● Bioprostetik

78
h. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Komplikasi
1. Disritmia atrium
2. Embolisasi sistemik (10-25%)
3. Risiko embolisasi berhubungan dengan usia, adanya fibrilasi atrium, kejadian
emboli sebelumnya
4. Gagal jantung kongestif
5. Infark paru (akibat CHF berat)
6. Hemoptisis
7. Masif: 20 sampai ruptur vena bronkial (pulm HTN)
8. Goresan / buih merah muda: edema paru, atau infeksi
9. Endokarditis
10. Infeksi paru

79
TRICUSPID REGURGITATION, TRICUSPID STENOSIS

1. Pengertian
Stenosis trikuspid (TS) adalah obstruksi katup tricuspid yang menyebabkan alirah
darah dari atrium kanan ke ventrikel kanan terganggu.
Regurgitasi trikuspid (TR) adalah insufisiensi katup trikuspid (tidak menutup
dengan sempurna) pada saat sistolik, sehingga menyebabkan aliran balik ke atrium
kanan. Keduanya disebabkan oleh proses rematik, TS dapat disertai TR.

2. Etiologi
primer : kelainan murni/ organik dari katup
sekunder : hipertensi pulmonal (PH)
terjadi akibat perubahan fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel
kanan maupun annulus trikuspid.
Epidemiologi :
TS menyumbang sekitar 2,4% dari semua kasus penyakit katup trikuspid organik dan
sebagian besar terlihat pada wanita muda.
Kriteria:
Lingkar katup trikuspid normal adalah 12 sampai 14 cm, dan kebanyakan ahli
patologi menganggap lingkar kurang dari 10 sampai 11 cm (yaitu, diameter kurang
dari 3 cm atau luas katup kurang dari 7 cm2 sebagai indikasi TS . Area normal dari
katup trikuspid adalah 4,0 cm2 dan area kurang dari 1,0 cm2 dianggap sebagai TS
berat.

3. Patofisiologi
Penyakit trikuspid rematik ditandai dengan penebalan fibrosa difus pada selebaran
dan perpaduan 2 atau 3 komisura. Penebalan daun biasanya terjadi tanpa adanya
endapan klasifikasi, dan komisura anteroseptal paling sering terkena. Selebaran yang
tidak berkembang sempurna, korda pendek atau cacat, anulus kecil, atau jumlah atau
ukuran otot papiler yang abnormal dapat menyebabkan TS.

Katup terdiri dari lapisan luar sel endotel katup (VEC) yang mengelilingi tiga lapisan
matriks ekstraseluler masing-masing dengan fungsi khusus dan diselingi dengan sel
katup interstisial (VIC). Penyebab genetik atau didapat / lingkungan yang

80
mengganggu organisasi normal dan komposisi matriks ekstraseluler dan komunikasi
antara VEC dan VIC mengubah mekanisme katup dan mengganggu fungsi daun
katup, yang berpuncak pada gagal jantung.

Hasil utama TS adalah peningkatan tekanan atrium kanan dan akibatnya kongesti sisi
kanan.

4. Manifestasi klinis
Gejala yang muncul umumnya terkait dengan penyakit katup sisi kanan seperti
penurunan kapasitas aktivitas, kelelahan, atau, sinkop aktivitas. Pasien dengan TS
berat pada akhirnya akan mengalami kongesti hati, edema tungkai, asites, dan
penurunan tes fungsi hati dan anasarca.
"Gelombang raksasa" yang secara klasik lebih tinggi dari yang biasanya dirasakan
pada denyut vena jugularis, terlihat pada TS. A "penurunan y lambat" karena
penundaan pengosongan atrium kanan ke ventrikel kanan juga dapat dilihat.
Paru-paru bersih pada pasien dengan TS terisolasi. Murmur mid-diastolik presistolik
frekuensi rendah terdengar di batas sternum kiri bawah di ruang interkostal keempat.
Intensitas murmur dan opening snap pada TS meningkat dengan manuver yang
meningkatkan aliran darah melintasi katup trikuspid, terutama dengan inspirasi dan
juga dengan mengangkat kaki, menghirup amil nitrat, squat, atau olahraga.
 Berdebar
 Bengkak pada tungkai
 Perut kanan terasa sakit
 Sesak napas saat aktivitas
 Cepat lelah
 Beberapa gejala yang tidak khas

5. Pemeriksaan penunjang
Auskultasi:
Pada TS
● Opening snap
● Bising diastolic akhir (end-diastolic murmur),
● Bising presistolik jelas di sela iga 3-4 parasternal kiri.

81
Pada TR
● o Bising pansistolik (high pitch) di batas mid sterna kiri atau area subxiphoid
dengan penjalaran hingga apex.
● o Murmur pada lesi katup tricuspid intensitasnya meningkat dengan inspirasi
(Rivero-Carvalosign).
Pada TS yang disertai TR, bisingnya tergantung mana yang dominan.
Tanda-tanda gagal jantung kanan: JVP meningkat, hepatosplenomegali, ascites,
edema perifer.
1. EKG
2. Rontgen
3. Lab.: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, SGOT, SGPT, Ur, Cr, Albumin/globulin,
protein, TT/INR (untuk pengguna warfarin), ASTO, CRP
4. Echocardiografi : trans-thoracal dan TEE (untuk pasien rencana operasi)
5. MSCT aorta (bila dicurigai ada kecurigaan aneurisma/ diseksi
6. Angiografi Koroner (usia >40 tahun, wanita menopause, kecurigaan PJK)
7. Penyadapan jantung bila dicurigai ada lesi penyerta yang belum terdiagnosis
oleh pemeriksaan non invasive.

6. Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemerisaan fisik
3. EKG
a. TS : : meandiastolic pressure gradient >5 mmHg pada katup trikuspid.
b. TR : derajat TR
Diagnosis Kerja :
➢ Stenosis Trikuspid Rematik
➢ Regurgitasi Trikuspid Rematik
Diagnosis banding
➢ stenosis mitral
➢ regurgitasi mitral

82
7. Tatalaksana komphrehensif
 Pengelolaan Medika mentosa
a. Penyekat kalsium: (hati-hati tensi terlalu turun) sebaiknya gunakan non
dihidropiridin : verapamil 3 x 40-80mg, diltiazem 3x 30-60mg
b. Vasodilator (bila gagal jantung)
- ACE-I: captopril 3 x6.25–50mg
- ARB : valsartan 1-2 x 20– 160 mg
c. Diuretik (pada kasus dengan gagal jantung)
- Furosemid : drip IV sampai 20 mg/jam atau sampai 3 x 2tab (oral)
- Kalium sparing diuretik; spironolakton sampai 1 x 100mg
d. Anti aritmia
- Amiodaron; dari 3 x400mg sampai 1 x 100 mg
- Digoksin oral : 1 x 0,125 -0.25mg tab e. Beta blocker
- Metoprolol sampai 2x100mg atau
- Bisoprolol sampai 1 x 1,25-10mg
f. Suplemen elektrolit
- Kalium Chloridaoral sampai 3 x 2 tablet
- KCl drip intravena (sesuai rumus koreksi– tidak boleh >20mEq/jam)
g. Antikoagulan/antitrombositoral
- Warfarin: 1 - 6 mg / hari (target kadar INR 2– 3)
- Aspirin: 1x80-160mg (AF sia <65 tahun tanpa riwayat hipertensi atau gagal
jantung)
h. Oksigen terapi
 Pencegahan
a. Pencegahan sekunder reaktivasi rematik diberikan seumur hidup bila penyebabnya
rematik. Obat dan dosis dibawah ini untuk BB >30kg.
- Penisilin Benzatin Ginjeksi 1,2 juta IUim setiap 4 minggu sekali/
- Penisilin V / Phenoxy Methyl Penicilineoral (Ospen) 2x 250mg setiap hari atau
- Sulfadiazine 1 gr (oral) sekali sehari
b. Pencegahan primer terhadap EI (lihat bab Endokarditis Infektif)
 Pengelolaan intervensi bedah / non bedah
a. Waktu Operasi Prinsip penentuan waktu operasi adalah tidak terlalu cepat dan tidak
terlambat, waktu operasi ditentukan oleh :

83
- Simtomatik
- Disfungsi RV (secara echocardiografi) : TAPSE

8. Indikator rujukan
● 80% pasien pulang rawat dengan perbaikan klas fungsional
● 80% pasien TS/TR/TS + TR rematik tanpa tindakan intervensi LOS.

9. Prognosis
● Ad vitam(hidup) : dubia ad bonam(tidak tentu cendurng baik)
● Ad sanationam(sembuh) : dubia admalam (tidak tentu cendrung jelek)
● Ad fungsionam (fungsi) : dubia ad bonam

84
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Isman dkk. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP)
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Edisi I. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.

Chin TK. Pediatric rheumatic fever. Medscape [Internet]. 2016 [cited 2018 Agust 10].
Available from: https://reference.medscape.com/article/1007946-overview

WHO. WHO expert consultation on rheumatic fever and rheumatic heart disease.
Switzerland. 2001.

Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011;3:67-84

Pastore S, Cunto AD, Benettoni A, Berton E, Taddio A, Lepore L, et al. The resurgence of
rheumatic fever in a developed country area: the role of echocardiography. Rheumatol
2011;50:396-400

Steer A, Gibofsky A. Acute rheumatic fever: Clinical manifestations and diagnosis.


UpToDate [Internet]. 2018 [cited 2018 Agust 10]. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/acute-rheumatic-fever-clinical-manifestations-and-
diagnosis.

Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY. Revision of the Jones criteria for the diagnosis of acute
rheumatic fever in the era of doppler echocardiography. A scientific statement from
theAmerican Heart Association. Circulation. 2015;131:1806–12

Szczygielska I, Hernik E, Kolodziejczyk B, Gazda A, Maslinska M, Gietka P. Rheumatic


fever – New diagnostic criteria. Reumatologia. 2018; 56, 1:37-41

Pereira BADF, Belo AR, Silva NAD. Rheumatic fever: Update on the Jones criteria
according to the American Heart Association review – 2015. Rev Bras Reumatol 2017;5
7(4):364–8

85
Chakravarty SD, Zabriskie JB,. Gibofsky A. Acute rheumatic fever and streptococci: The
quintessential pathogenic triggerof autoimmunity. Clin Rheumatol. 2014;33:893–901

Zühlke L, Beaton A, Engel M, Hugo-Hamman CT, Karthikeyan G, Kazenellenbagen JM, et


al. Group A Streptococcus, acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: epidemiology
and clinical considerations. Curr Treat Options Cardiovasc Med 2017; 19: 1-23

Heart Foundation of New Zealand. New Zealand guidelines for rheumatic fever: diagnosis,
management and secondary prevention of acute rheumatic heart disease: 2014 update
[Internet]. 2014 [cited 2018 Agust 18]. Available from: www.heartfoundation.org.nz

Lennon D, Stewart J, Anderson P. Primary prevention of rheumatic fever. Pediatr Infect Dis J
2016; 35(7): 820
Djer M, Madiyono B. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3,
Desember 2000 .p. 155 – 62

Kuch B, Orr R. Chapter 2: Triage and transport of infants and children with cardiac disease.
Critical care of children with heart disease: Basic medical and surgical concepts. London:
Springer – Verlag; 2010 .p. 13 – 21.

Zeng Z, Zhang H, Liu F, Zhang N. Current diagnosis and treatments for critical congenital
heart defects (Review). Exp Ther Med. 2016;11(5):1550–4.

Chamsi-Pasha MA, Chamsi-Pasha H. Critical congenital heart disease screening. Avicenna J


Med. 2016;6:65-8.

Park MK. Chapter 8: Fetal and prenatal circulation. Park’s pediatric cardiology for
practitioners. 6th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2014 .p. 287 - 8

86

Anda mungkin juga menyukai