Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 3

SESAK DAN BENGKAK PADA KAKI

Oleh :

KETUA : Eva Pusparini Br.Sitepu (19000091)

SEKRETARIS : Yessa Yonika Simatupang (19000028)

ANGGOTA :

Indra Anugrah Zebua (19000001)

Theresia Christin Agatha (19000006)

Selsa Arlini Simarmata (19000026)

Rizky Johanes Pratama S (19000029)

Elsa Liasti Harefa (19000035)

Angel Theresia S (19000039)

Irma Jayanti (19000060)

Ayu Arconola Aroyo Tumanggor (19000063)

Gideon Tarigan (19000103)

TUTOR : dr. Janry Lewis Sinaga

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial ini.Laporan ini disusun berdasarkan
pemicu “Sesak dan bengkak pada kaki”. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan
terima kasih kepada tutor dan semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan laporan
tutorial ini.

Kami menyadari laporan yang kami buat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kami mengharapkan laporan
tutorial ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 25 Juni 2020

Hormat Kami,

Kelompok 3
DATA PELAKSANAAN TUTORIAL

1. JUDUL BLOK

Cardiovascular System (CVS)

2. JUDUL TUTORIAL

Sesak dan bengkak pada kaki

3. NAMA TUTOR

dr. Janry Lewis Sinaga

4. DATA PELAKSANAAN TUTORIAL

 TUTORIAL I
1. HARI/TANGGAL : Selasa, 16 Juni 2020
2. WAKTU : 08.00 – 10.00 WIB
3. TEMPAT : Rumah Masing-Masing

 TUTORIAL II

1. HARI/TANGGAL : Sabtu, 20 Juni 2020

2. WAKTU : 08.00 – 10.00 WIB

3. TEMPAT : Rumah Masing-Masing


PEMICU

Andi, lk, 18 tahun datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RSUP. H.Adam Malik Medan atas
rujukan dari Puskesmas dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dialami os dalam bulan
terakhir dan bertambah berat dalam 3 hari terakhir sebelum datang ke RS, timbul jika os
beraktifitas ringan seperti mandi. Pada saat tidur os merasa lebih enak dengan posisi setengah
duduk, dengan ditopang 2-3 bantal dan kaki diselonjorkan. Dalam 2 minggu terakhir sesak
nafas disertai dengan bengkak pada kedua kaki serta batuk berdahak berwarna putih.
Pada usia 6 tahun os pernah dirawat selama 1 bulan dirumah sakit dengan keluhan sesak
nafas dan dinyatakan sakit jantung. Tiga bulan sebelumnya os mengalami infeksi amandel.
Setelah pulang dari rumah sakit ia diberi 3 macam obat yang harus dimakan setiap hari dan
dianjurkan untuk mendapat injeksi seali sebulan. Tetapi orang tua os hanya membawa os
kontrol selama 6 bulan dengan teratur, dan setelah itu tidak pernah kontrol ke Poliklinik.

 Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum lemah, kompos mentis, tampak pucat dan sakit berat, berkeringat,
sesak nafas, berbaring dengan posisi setengah duduk, batuk-batuk disertai riak
berwarna putih. Berat badan 45 kg tinggi bandan 156 cm, tekanan darah 100/60
mmHg
- Kepala: mata (anemia, ikterus tidak dijumpai), Telinga, hidung dan mulut tidak ada
kelainan
- Leher: Jugular venous pressure (JVP) meningkat 5+3 cm, Trakhea normal berada di
midline.
- Thorax: Inspeksi simetris pergerakan normal, teraba trill di apeks dan hipochondrica.
Pada auskultasi jantung terdengar bunyi jantung I keras, bunyi jantun II di pulmonal
area mengeras, opening snap di apeks dan bis ing pansistolik dan mid-diastolik derajat
4/6 di apeks menjalar aksila kiri. Juga terdengar bising pansistolik derajat 4/6 di linea
para sternal kiri sela iga 4-5 yang berubah intensitasnta dengan pernafasan. Paru
dijumpai adanya rhonchi basal basal
- Abdomen: tidak dijumpai adanya pembesaran, Hati, Limpa tidak teraba, Ginjal
ballotement (-), timphani dan peristaltik normal
- Ekstremitas: Akral dingin dan sianosis, ditemukan edema pada kedua tungkai bawah
di daerah dorsum pedis dan pretibial.
Dilakukan pemeriksaan rekaman EKG, foto toraks, pemeriksaan darah untuk laboratorium
rutin dan analisa gas darah. Hasil pemerikaan sbb.
- Hasil laboratorium: HB 10,4 gr%, Leukosit 4800/ml, Hematokrit 30gr, Ureum:
28gr%, Kreatinin 0,9 gr%, gula darah sewaktu 105 gr%, Foto Toraks, dijumpai
Cardiomegali dengan CT tatio > 50 %
EKG, Sinus takikardia, gelombang P mitral, PR interval normal, aksis ORS 110
derajat, ST segment isoelektris, gelombang normal, hipertrofi ventrikel kiri dan
kanan.
- ASTO normal. Pemeriksaan CRP negatif dan kultur usap tenggorokan ditemukan
streptococcus viridans.
1. UNFAMILIAR TERMS
 Opening snap

2. PROBLEM DEFINITION

 Sesak nafas dalam 1 bulan terakhir dan bertambah berat 3 hari terakhir timbul
jika kativitas ringan
 Dalam minggu terakhir sesak nafas disertai bengkak pada kedua kaki serta batuk
berdahak berwarna putih
 3 bulan sebelum sesak nafas Os mengalami infeksi amandel pada usia 6 tahun

3. BRAINSTORM

 Sesak nafas karena adanya edema di paru-paru


 Kaki bengka di sebab kan adanya penumpukan cairan akibat berkurangnya fungsi
pompa jantung
 Batuk berdahak di sebab kan adanya infeksi pada saluran pernafasan

4. ANALYZING THE PROBLEM

Pasien mengalami tonsilitis pada usia 6 tahun. Tonsilitis umumnya disebabkan


karena bakteri streptococus group A, bakteri ini bisa menyebabkan endocarditis dan
reumatik heart disease yang mempengaruhi katub jantung. Membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Karena pasien menghentikan pengobatan kerusakan katub jantung
semakin parah dan bisa menyebabkan komplikasi jantung gagal memompa (heart
failure). Karena di biarkan selama bertahun-tahun. Heart failure tersebut
menyebabkan jantung gagal memompa darah ke seluruh tubuh sehingga tubuh
kekurangan oksigen dan memicu sesak nafas (dispnea). Heart failure menyebabkan
darah mengalami hambatan ketika memasuki atrium darah ke bagian distal tubuh dan
ke paru-paru. Karena penumpukan cairan di paru-paru bisa memicu respon tubuh
untuk mengeluarkan cairan yang berlebih di paru-paru. Penumpukan caiiran di
saluran nafas atas dapat memicu terjadi nya batuk dan RBB.

5. HIPOTESA

Gagal jantung

6. LEARNING ISSUE
 Etiologi gagal jantung
 Patofisiologi Tanda dan gejala pada gagal jantung
 DD gagal jantung
 Pemerfiksaan fisik & penunjang
 Komplikasi gagal jantung
 Penatalaksanaan gagal jantung
 Faktor resiko gagal jantung
 Patogenesis demam rematik
 Penatalaksanaan penyakit jantung rematik
 Klasifikasi gagal jantung (sisi kiri,kanan, dan kongesif)

Pembahasan

1. Etiologi Gagal Jantung

Penyebab umum gagal jantung adalah rusaknya atau berkurangnya masa otot jantung karena
iskemi akut atau kronik, peningkatan resistensi vaskuler karena hipertensi, atau karena
takiaritmia (misalnya fibrilasi atrial).

Secara fungsional gagal jantung dapat disebabkan oleh:

1. Meningkatkan beban kerja jantung , contoh: Hipertensi sistemik mula-mula akan


menimbulkan gagal jantung kiri, dan hipertensi pulmonal akan menimbulkan gagal jantung
kanan.
2. Terjadi beban volume yang mengakibatkan defek/celah dari kiri ke kanan, contoh: VSD
(ventrikel septum defek), & ASD (atrium ventrikel defek).

3. Terganggunya pengisian ventrikel & ejeksi ventrikel (darah yang dipompakan keluar
ventrikel ), contohnya: Perikarditis konstriktif (radang pericardium yang sudah berlangsung
lama) & Temponade jantung.

4. Perubahan frekuensi denyut jantung, contoh: Takiaritmia (120-180 kali/menit) &


Bradiaritmia (<40 kali/menit).

5. Penekanan sirkulasi yang mendadak, contohnya emboli paru yang dimana terjadi
peningkatan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan yang memicu terjadinya gagal jantung
kanan.

6. Penyakit jantung reumatik yang pada umumnya terjadi diatas umur 5 tahun dan jarang
terjadi dibawah umur 2 tahun.

2. Patofisiologi Tanda dan Gejala pada Gagal Jantung

 Dyspnea

Mekanisme Fisiologis Dyspnea

Pemahaman kami tentang mekanisme fisiologis yang mendasari sensasi dispnea


berasal dari penelitian yang menggunakan berbagai kondisi eksperimental pada hewan,
subjek normal, subjek anestesi, dan pasien dengan penyakit kardiopulmoner dan neurologis.
Kesimpulan dari temuan ini, dan kontradiksi yang tampak di antara studi, harus dilihat
dengan penghargaan untuk fakta bahwa perbedaan spesies dan, pada manusia, perbedaan
negara, mungkin memiliki efek kuat pada fenomena pernapasan.

Perintah pernapasan motorik akibat wajar. Ada kesadaran sadar tentang perintah
motor pernapasan keluar ke otot-otot ventilasi. Perasaan output motor pernafasan ini berbeda
dari sensasi yang berhubungan langsung dengan perubahan panjang atau ketegangan otot dan
dikaitkan dengan pelepasan akibat wajar dari neuron pernapasan batang otak ke korteks
sensorik selama pernapasan refleks otomatis atau dari pusat motor kortikal ke korteks
sensorik selama pernapasan sukarela upaya. Bukti untuk pelepasan akibat wajar lebih
fungsional daripada struktural; reseptor dan jalur spesifik belum diidentifikasi. Namun,
proyeksi rostral dari neuron motorik pernafasan batang otak ke otak tengah dan thalamus
baru-baru ini telah dijelaskan pada kucing, dan ini dapat mewakili jalur pelepasan akibat
wajar. Pelepasan wajar ini dianggap penting dalam membentuk rasa upaya pernapasan. Sudah
diketahui bahwa faktor-faktor yang memerlukan perintah motorik yang lebih besar untuk
mencapai ketegangan yang diberikan pada otot, seperti penurunan panjang otot, kelelahan
otot, atau kelemahan otot pernapasan, menyebabkan meningkatnya upaya pernapasan. Rasa
upaya pernapasan meningkat dengan meningkatnya perintah motorik pernapasan pusat dan
sebanding dengan rasio tekanan yang dihasilkan oleh otot pernapasan dengan kapasitas
maksimum yang menghasilkan tekanan otot-otot tersebut. Reseptor dinding dada. Proyeksi ke
otak dari sinyal aferen darieptor mekanik di persendian, tendon, dan otot-otot dada semuanya
tampaknya berperan dalam membentuk sensasi pernapasan. Secara khusus, aferen dari otot
interkostal telah terbukti memproyeksikan ke korteks serebral dan berkontribusi terhadap
proprioception dan kinesthesia.

Studi-studi tentang pendeteksian perbedaan-perbedaan yang hanya terlihat pada


penambahan beban ventilasi eksternal telah menyarankan peran utama untuk spindle otot
dalam memediasi sensasi dispnea . Rasa otot-otot dinding dada selanjutnya didukung oleh
pengamatan bahwa getaran dinding dada untuk mengaktifkan spindel otot menghasilkan ilusi
pergerakan dada. Getaran otot inspirasi yang terletak di tulang rusuk atas dalam fase dengan
inspirasi menghasilkan sensasi ekspansi dada dan mengurangi intensitas dispnea pada pasien
dengan penyakit paru-paru kronis, baik saat istirahat dan selama latihan.

Ventilasi penahan secara sukarela (V˙e) di bawah tingkat pernapasan yang diadopsi
secara spontan menghasilkan sensasi intens dari rasa lapar udara, bahkan ketika gas darah dan
dorongan kimiawi untuk bernapas tidak diperbolehkan untuk berubah. Peningkatan intensitas
dispnea yang berhubungan dengan berkurangnya ventilasi pada PCO 2 konstan berkorelasi
erat dengan tingkat penurunan volume tidal. Efek ekspansi toraks yang terbatas ini pada
sensasi pernapasan dimodifikasi oleh getaran dinding dada; dengan getaran sangkar tulang
rusuk atas selama inspirasi, intensitas dispnea terkait dengan pernapasan terbatas berkurang,
menunjukkan peran utama untuk reseptor dinding dada.

Reseptor vagal paru. Informasi aferen dari proyek reseptor vagal paru ke otak, dan
input vagal penting dalam membentuk pola pernapasan. Ada beberapa bukti bahwa pengaruh
vagal, terlepas dari efek apa pun pada tingkat dan pola pernapasan, juga dapat berkontribusi
pada sensasi dispnea.

Pasien dengan transeksi medulla spinalis servikal yang tinggi, di mana umpan balik
dari reseptor dinding dada diblokir, mampu mendeteksi perubahan dalam volume tidal yang
dikirim oleh ventilator mekanik, dan mengalami sensasi kelaparan udara ketika volume
inspirasi mereka berkurang. Ini menunjukkan bahwa reseptor vagal dapat berkontribusi pada
sensasi tidak menyenangkan yang terjadi ketika ekspansi toraks terbatas dan pada dispnea
yang menyertai pernapasan. Selain itu, telah terbukti bahwa blokade vagal memperbaiki
dispnea selama latihan dan mengurangi sensasi yang tidak menyenangkan selama pernafasan.
Dispnea yang berhubungan dengan bronkokonstriksi setidaknya sebagian dimediasi oleh
aferen vagal. Hal ini disarankan oleh pengamatan bahwa sensasi kesulitan bernafas yang
meningkat akibat obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh inhalasi histamin berkurang
setelah inhalasi lidokain untuk memblokir reseptor jalan nafas. Studi lain menunjukkan
injeksi intravena lobeline untuk merangsang serabut C paru menghasilkan sensasi tersedak
dan tekanan di dada. Kemoreseptor. Dispnea yang berhubungan dengan hiperkapnia dan
hipoksia sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan aktivitas motorik yang diinduksi
secara kimiawi. Ada beberapa bukti bahwa sensasi dispnea juga dapat secara langsung
dipengaruhi oleh input dari kemoreseptor. Baik quadriplegics yang bergantung pada
ventilator dengan transeksi medulla spinalis servikalis yang tinggi dan subyek normal yang
lumpuh dengan agen penghambat neuromuskuler mengalami sensasi kelaparan udara ketika
Pco 2 meningkat. Juga, sensasi dispnea lebih intens pada tingkat ventilasi tertentu yang
dihasilkan oleh hiperkapnia dibandingkan dengan tingkat ventilasi yang sama yang dicapai
dengan olahraga atau hiperventilasi sukarela. Juga telah ditunjukkan bahwa pengurangan
hipoksemia yang disebabkan oleh olahraga dengan pemberian oksigen menghasilkan
pengurangan dispnea yang tidak proporsional dengan pengurangan ventilasi.

Patofisiologi dyspnea

Teori pemersatu yang menarik adalah bahwa dispnea dihasilkan dari disasosiasi atau
ketidaksesuaian antara aktivitas motorik sentral dengan informasi aferen yang masuk dari
reseptor di saluran udara, paru-paru, dan struktur dinding dada. Umpan balik aferen dari
reseptor sensorik perifer dapat memungkinkan otak untuk menilai efektivitas perintah
motorik yang dikeluarkan untuk otot-otot ventilasi, yaitu kesesuaian respon dalam hal aliran
dan volume untuk perintah. Ketika perubahan tekanan pernapasan, aliran udara, atau
pergerakan paru-paru dan dinding dada tidak sesuai untuk perintah motor keluar, intensitas
dispnea meningkat. Dengan kata lain, pemisahan antara perintah motorik dan respons
mekanis sistem pernapasan dapat menghasilkan sensasi ketidaknyamanan pernapasan.
Mekanisme ini pertama kali diperkenalkan oleh Campbell dan Howell pada 1960-an dengan
teori "panjang-ketegangan tidak tepat." Teori ini telah digeneralisasi untuk memasukkan tidak
hanya informasi yang timbul pada otot-otot ventilasi, tetapi informasi yang berasal dari
reseptor di seluruh sistem pernapasan dan telah disebut "neuro-mechanical" , atau "disosiasi
eferen-reafferen". Pasien dengan beban mekanis pada sistem pernapasan, baik resistif atau
elastis, atau kelainan otot pernapasan akan mengalami disosiasi antara informasi eferen dan
aferen selama bernafas. Ketidakcocokan aktivitas saraf dan akibat mekanis atau keluaran
ventilasi dapat berkontribusi pada intensitas dispnea dalam kondisi ini. Teori ini menjelaskan
dispnea yang berhubungan dengan penahan nafas, sensasi tidak enak dari kelaparan udara
yang dialami oleh pasien yang menerima ventilasi mekanis dengan volume tidal kecil dan
laju aliran inspirasi rendah, dan ketidaknyamanan subjek yang secara sukarela membatasi laju
dan kedalaman pernapasan mereka.

Permintaan ventilasi yang meningkat. Secara teratur diamati, baik pada individu
normal dan pada pasien dengan penyakit paru-paru, bahwa intensitas dispnea meningkat
secara progresif dengan tingkat ventilasi selama latihan. . Hal ini disebabkan oleh
peningkatan output motor pernapasan dan peningkatan yang sesuai dalam arti upaya. Namun,
ada pengaruh kontekstual yang penting pada interpretasi sensasi yang berhubungan dengan
pernapasan. Dengan demikian, gejala sesak napas lebih mungkin dilaporkan ketika hiperpnea
terjadi saat istirahat dan tidak dapat dihitung dengan peningkatan aktivitas atau aktivitas fisik.
Banyak kondisi menimbulkan ventilasi yang berlebihan untuk tingkat aktivitas fisik, dan
akibatnya menyebabkan gejala dyspnea.

Peningkatan ventilasi diperlukan untuk mengkompensasi ruang mati yang membesar


akibat penyakit parenkim paru dan vaskular paru. Hipoksemia pada ketinggian dan pada
pasien dengan penyakit pernapasan merangsang kemoreseptor arteri dan meningkatkan
aktivitas motorik pernapasan. Perintah motorik tinggi ini berkontribusi terhadap dispnea.
Pasien dengan penyakit kardiorespirasi sering didekondisi karena tidak aktif dalam waktu
lama. Keadaan pengkondisian fisik merupakan penentu penting dari kapasitas latihan.
Dekondisi dikaitkan dengan peningkatan dini dan peningkatan kadar laktat darah. Produksi
asam laktat awal oleh otot rangka selama latihan memaksakan stimulus pernapasan
tambahan, meningkatkan ventilasi pada tingkat latihan tertentu, dan meningkatkan dispnea.
Ini dan beban tambahan usia lanjut, malnutrisi, dan hipoksemia mengganggu fungsi otot
pernafasan dan perifer dan menyebabkan keterbatasan dalam kapasitas latihan sekunder
untuk ketidaknyamanan kaki dan dispnea. Siklus dispnea, aktivitas berkurang,
deconditioning, dan lebih banyak dispnea diakui sebagai kontributor utama penurunan
fungsional yang terkait dengan penuaan normal dan penyakit kardiorespirasi.

Sementara tingkat ventilasi sering berkorelasi baik dengan intensitas dispnea,


peningkatan aktivitas inspirasi sentral saja tidak mungkin menjelaskan ketidaknyamanan
pernapasan di semua pengaturan. Seperti disebutkan sebelumnya, untuk tingkat ventilasi
tertentu, rangsangan yang berbeda menghasilkan dispnea dengan intensitas yang berbeda-
beda (56), dan oksigen tambahan mengurangi dispnea yang berhubungan dengan olahraga
pada subjek hipoksik yang tidak sebanding dengan pengurangan ventilasi. Selain itu, jika
semua dispnea adalah konsekuensi dari permintaan ventilasi yang meningkat, orang mungkin
berharap kualitas ketidaknyamanan pernapasan akan serupa dalam semua situasi, sebuah
hipotesis yang tidak dapat menjelaskan temuan penelitian terbaru tentang bahasa dyspnea, di
mana pasien dengan kondisi patofisiologis yang berbeda mencirikan ketidaknyamanan
mereka menggunakan frasa yang berbeda secara kualitatif.

Kelainan otot pernapasan. Kelemahan atau ketidakefisienan mekanis otot-otot


pernapasan menyebabkan ketidakcocokan antara keluaran motor pernapasan pusat dan
ventilasi yang dicapai. Ketidakcocokan ini dapat menjelaskan dispnea yang dialami oleh
pasien dengan penyakit neuromuskuler yang mempengaruhi otot pernapasan dan pasien
dengan kelelahan otot pernapasan (69). Saat kapasitas penghasil tekanan dari otot-otot
pernapasan turun dan ketika rasio tekanan yang dihasilkan oleh otot-otot pernapasan terhadap
tekanan maksimum yang dapat dicapai meningkat, dispnea semakin memburuk.

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sering ditandai dengan inflasi berlebih pada
paru-paru dan ekspansi berlebih thoraks. Ini menghasilkan FRC yang diperbesar dan
foreshortening dari otot-otot inspirasi. Berdasarkan sifat panjang-ketegangan otot,
foreshortening otot-otot inspirasi dalam COPD dapat secara substansial mengurangi kapasitas
pembangkit kekuatan mereka. Gangguan pada keunggulan mekanis otot-otot inspirasi
berkontribusi penting pada gejala dyspnea.
Kelegaan dispnea setelah operasi pengurangan volume paru-paru dapat dijelaskan,
setidaknya sebagian, oleh perubahan yang dihasilkan dalam ukuran dan bentuk toraks dengan
peningkatan panjang otot inspirasi.

Keterbatasan aliran udara pada pasien dengan COPD menyebabkan hiperinflasi


dinamis, terutama selama latihan. Beberapa konsekuensi penting dari hiperinflasi dinamis
berfungsi untuk memperburuk dispnea. Peningkatan volume paru-paru menyebabkan
pernapasan terjadi pada bagian yang lebih kaku dari kurva tekanan-volume, menghasilkan
beban elastis yang ditambahkan. Rekaman elastis ke dalam sistem pernapasan pada akhir-
ekspirasi membebankan tambahan ambang batas inspirasi. Akhirnya, pemendekan otot
inspirasi dengan hiperinflasi mengurangi efisiensi mekanik otot. Meringankan dispnea
dengan bronkodilator inhalasi telah dikaitkan dengan penurunan dalam latihan hiperinflasi
dinamis.

Impedansi ventilasi abnormal. Penyakit pernapasan seperti asma dan PPOK yang
mempersempit saluran udara dan meningkatkan resistensi saluran napas, serta penyakit
parenkim paru-paru, termasuk pneumonitis interstitial dan fibrosis paru, yang meningkatkan
elastansi paru-paru, biasanya menyebabkan dispnea. Ketika impedansi ventilasi meningkat,
tingkat output motor pernapasan pusat yang dibutuhkan untuk mencapai ventilasi tertentu
meningkat. Ketika upaya pernapasan yang dikeluarkan dalam pernapasan tidak sebanding
dengan tingkat ventilasi yang dihasilkan, hasil dispnea.

Perubahan impedansi ventilasi yang dihasilkan oleh penyakit paru-paru dapat


disimulasikan pada subjek normal dengan pengenaan beban resistif dan elastis ventilasi
eksternal. Karena besarnya beban ventilasi eksternal yang diterapkan meningkat, ada
peningkatan progresif dalam intensitas dispnea. Intensitas dispnea selama pengisian ventilasi
eksternal berhubungan terutama dengan tekanan jalan napas puncak yang dikembangkan oleh
otot-otot pernapasan yang berkontraksi, durasi inspirasi, dan frekuensi pernapasan .

Pola pernapasan abnormal. Dispnea umum terjadi pada penyakit yang melibatkan
parenkim paru-paru. Ada kemungkinan bahwa pernapasan dangkal yang cepat sering dicatat
pada penyakit parenkim paru-paru adalah respons refleks terhadap stimulasi reseptor vagal
paru, tetapi ada sedikit bukti langsung bahwa reseptor vagal paru berkontribusi langsung pada
dispnea. Reseptor vagal paru telah diposisikan untuk memainkan peran dalam dispnea latihan
berat , kongesti paru dan edema paru , dan emboli paru berulang . Pernafasan bibir yang
terkelupas telah dikaitkan dengan berkurangnya intensitas dispnea pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif, efek yang mungkin disebabkan oleh frekuensi pernapasan yang
berkurang, perubahan pola rekrutmen otot ventilasi, waktu ekspirasi yang lebih lama, dan
volume tidal yang lebih besar.

Kelainan gas-darah. Kelainan gas-darah, sementara di antara konsekuensi paling


serius dari penyakit kardiorespirasi, berkorelasi buruk dengan dispnea pada masing-masing
pasien. Hipoksemia menyebabkan aktivitas motorik pernafasan meningkat melalui stimulasi
kemoreseptor . Hipoksia juga dapat memiliki efek dyspnogenik langsung. Ini disarankan oleh
pengamatan bahwa pemberian oksigen tambahan mengurangi dispnea pada beberapa pasien
dengan penyakit paru-paru, bahkan tanpa adanya perubahan ventilasi.

Demikian pula, dispnea yang diproduksi oleh hiperkapnia sebagian besar merupakan
konsekuensi dari peningkatan output motor pernapasan, tetapi tampaknya juga ada efek
langsung dari Pco 2 pada intensitas dispnea. Efek Pco 2 pada ventilasi tergantung terutama
pada perubahan konsentrasi ion hidrogen pada chemoreceptor meduler. Pada pasien dengan
hiperkapnia kronis, kompensasi metabolik meminimalkan perubahan konsentrasi ion
hidrogen dan akibatnya membatasi respons ventilasi dan perubahan sensasi pernapasan. Di
sisi lain, respons terhadap perubahan konsentrasi ion hidrogen dapat menjelaskan dispnea
ketoasidosis diabetik dan insufisiensi ginjal.

Patofisiologi Batuk

Batuk Karena Penyakit Jantung Lemah, darah yang terbendung di paru-paru


menjadikan paru-paru basah sehingga merangsang timbulnya batuk. Batuk merupakan suatu
refleks kompleks yang melibatkan banyak sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila
ada rangsangan pada reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke
pusat batuk tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan
ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik.Bila rangsangan pada reseptor batuk ini
berlangsung berulang maka akan timbul batuk berulang, sedangkan bila rangsangannya terus
menerus akan menyebabkan batuk kronik.

Edema
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari
jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi
pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di
dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium. Penimbunan
cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada jantung terjadinya edema yang
disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat
menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah
dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan
melepaskan cairan ke intestisial (Syarifuddin, 2001). Edema pada tungkai kaki terjadi karena
kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di
mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas tungkai
dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang
terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah sakral menjadi daerah yang dependen.
Bila terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan pitting edema.
Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan pada
ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg
dari berat badan normal selama mengalami edema (Brunner and Suddarth, 2002).
3. Diagnosis Banding Gagal Jantung

Penyakit Definisi Tanda dan Gejala Pemeriksaan Penunjang


CHF suatu keadaan  Paroxysmal  Elektrokardiogram
dimana jantung nocturnal dispnea (EKG) = dapat ditemukan
tidak dapat  jugularis Ronki Sinus takikardia, Atrial
memompa  Kardiomegali takikardia, Gelombang Q,
darah yang  Edema Hipertrofi ventrikel kiri.
mencukupi  Suara jantung S3  Fotothorax = dapat
untuk (gallop) hepatojugular ditemukan Kardiomegali,
kebutuhan positif Hipertrofi ventrikel, Edema
tubuh.
 Peningkatan JVP intersital, Infeksi paru
-Refluks hepatojugular  Pemeriksaan

 Apex jantung Laboratorium = Peningkatan


bergeser ke lateral kreatinin serum (> 150 µ

 Begkak di mol/L), Anemia (Hb < 13


pergelangan kaki gr/dL pada laki-laki, < 12 gr/dL
pada perempuan),
Hiperglikemia (> 200 mg/dL),
Hiperurisemia (> 500 µmol/L,
Kadar albumin tinggi (> 45
g/L), Kadar albumin rendah (<
30 g/L), CRP > 10mg/l,
lekositosis neutroflik
 Ekokardiografi beban
= Fraksi ejeksi ventrikel kiri
Menurun (< 40 %) , Fungsi
ventrikel kiri (Akinesis,
hipokinesis, diskinesis),
Ketebalan ventrikel kiri
(Hipertrofi (> 11-12 mm)),
Reumatik Heart Penyakit  Demam  ASTO (+)
Disease inflamasi  poliartralgia  Laboratorium=
sistemik non  Artritis peningkatanfase akut reaktan
superatif dengan  Karditis (laju sendimentasi eritrosit atau
proses “delayed jumlah leukosit )
 Chorea
autoimun” pada  Elektrokardiogram =
 Eritema
kelainan interval P-R berkepanjangan
marginatum
vaskuler
kolagen atau
kelainan
jaringan ikat.
Gagal Ginjal gangguan fungsi  Gangguan  Pemeriksaan darah
ginjal yang keseimbangan caira lengkap: ureum meningkat,
progresif (edema perifer, efusi kreatinin serum meningkat.
dimana tubuh pleura, hipertensi, asites)  Pemeriksaan elektrolit:
tidak mampu  Gangguan hyperkalemia, hipokalsemia,
memelihara elektrolit dan asam basa: hipermagnesemia
metabolisme tanda dan gejala  Pemeriksaan kadar
dan gagal hyperkalemia, asidosis glukosa darah, profil lipid:
memelihara metabolic (nafas hiperkolesterolemia,
keseimbangan Kussmaul), hipertrigliserida, LDL
cairan dan hiperfosfatemia meningkat
elektrolit yang  Gangguan  Analisis gas darah:
berakibat pada gastrointestinal dan asidosis metabolic (pH
peningkatan nutrisi: metallic taste, menurun, HCO3 menurun)
ureum mual, muntah, gastritis,
ulkus peptikum,
malnutrisi
Endokarditis Infeksi Mikroba  Demam  Kultur darah
pada permukaan  Mumur Jantung  Ekokardiografi
endothel  Pembesaran
Jantung. Infeksi limpa
biasa paling  Ptekie
banyak  Osler Nodus
mengenai katub
 Artralgia
jantung, namun
 Mialgia
dapat juga
 Emboli Sistemik
terjadi defek
septal, atau
korda tendinea
atau
endokardium
mural.
Penyakit Jantung Adanya aritmia  Palpitasi Laboratorium :
Tiroid atrium, gagal  Nyeri dada  Pemeriksaan kadar
jantung atipikal FT3, FT4, TSHs, Antibodi
kongestif, dan  Intoleransi Tiroid
pembesaran latihan  Scan Radio Isotop
jantung, pada  Sesak napas saat  USG Tiroid
hipertiroidisme beraktivitas  Foto Rontgen Thorax
 Hipertensi  EKG
sistolik
 Peningkatan
tekanan nadi
 Bising sistolik
 Edema perifer
 Sinus takikardi
 Hipertrofi
Jantung

4. Pemerfiksaan Fisik & Pemerikaan Penunjang

Pemeriksaan Fisik

• Keadaan umum

- Sensorium, tekanan darah, pulse rate, respiratory rate dan temperatur

- Dengan palpasi dilakukan penilaian pultasi arteri radialis: Tekanan pulpasi (lemah/cukup
kuat), ritme (reguler/irreguler)

• Kepala

- Inspeksi: Conjunctiva palperba inferior: anemis

• Bagian leher

a. Arteri Karotis

- Insfeksi: Perahitkan pulpasi arteri karotis pada kedua sisi leher yang merupakan pulpasi
tunggal sesuai dengan fase sistolik jantung

- Palpasi : Penilaian pulsasi arteri karotis: Thirll

- Auskultasi : Untuk mendengar bising arteri : Bruit

b. Tekanan vena jugularis

- Palpasi: Ukuran ketinggian pulpasi maksimum vena jugularis interna secara tegak lurus
dibandingkan dnegan angulus sternalis dengan menggunakan penggaris

• Thorax

- Inspeksi: Iktus cordis


- Palpasi : Dengan menggunakan palmar jari ke 2,3 dan 4 lakukan palpasi iktus cordis mulai
dari ICS 4-5 LLSB (Lower Left Sternal Border) sampai lateral MCL (Mid clavicular line)

- Perkusi: Batas kiri jantungn dan kanan jantung

- Auskultasi : Mendengarkan secara spesifik ada tidaknya bunyi jantung tambahan dan
murmur pada fase sistolik dan diastolik

• Abdomen

- Inspeksi : Ukuran dan bentuk abdomen

- Perkusi: Shifting dullness

- Auskultasi : Continous murmur

• Ektremitas

- Insfeksi : Edema Pretebial ,pitting edema

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboraratorium rutin
Darah tepi engkap, elektrolit,BUN, Kreatin, enzim hepar, serta urinalisis.
Pemeriksaan untuk diabetes mellitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga penting dilakukan

2. Elektrokardiografi
Pada gagal jantung , interprestasi EKG yang perlu dicari ialah ritme. Ada/ tidaknya hepertrop
ventrikel kiri. Serta ada/ tidaknya infark (riwayat atau sedang berlangsung). Meski tidak
spesifik, EKG yang normal dapat mengekslusi disfungsi sistolik

3. Rontgen Toraks
Dapat menilai ukuran dan bentuk jantung, serta vaskularisasi paru dan kelainan. Non-jantung
lainnya(hipertensi pulmonal, edema intersial, edema paru).

4. Pemeriksaan fungsi ventrikel kiri


Ekokardiogram 2-D/Doppler, untuk menilai ukuran dan fungsi ventrikel kiri, serta kondisi
katup dan gerakan dinding jantung indeks fungsi ventrikel yang paling berguna ialah fraksi
ejeksi ( stroke volume di bagi end-diastolik volume). Fraksi ejeksi normal bila > 50 %

5. Pemeriksaan Biomarka
Braiin natriuretic peptid (BNP) dan pro BNP sensitive untuk mendeteksi gagal jantung, bila
nilai BNP >100 PG/ml atau NT – proBNP >300 pg/ml, BNP bermanfaat untuk
meminimalisasi diagnosis negative palsu (untuk mengeklusi bila kadarnya lebih rendah) bila
tidak tersedia ekokardiografi.

5. Komplikasi Gagal Jantung

Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan beberapa komplikasi. KomplikasiKomplikasi


utama dari gagal jantung kongestif meliputi efusi pleura, aritmia,pembentukan trombus pada
ventrikel kiri, dan pembesaran hati (hepatomegaly).

1) Efusi Pleura

Efusi pleura merupakan hasil dari peningkatan tekanan padapembuluh kapiler pleura.
Peningkatan tekanan menyebabkan cairan transudatpada pembuluh kapiler pleura berpindah
ke dalam pleura. Efusi pleuramenyebabkan pengembangan paru-paru tidak optimal sehingga
oksigen yangdiperoleh tidak optimal.

2) Aritmia

Pasien dengan gagal jantung kongestif kronik memiliki kemungkinanbesar mengalami


aritmia. Hal tersebut dikarenakan adanya pembesaranruangan jantung (peregangan jaringan
atrium dan ventrikel) menyebabkangangguan kelistrikan jantung. Gangguan kelistrikan yang
sering terjadi adalahfibrilasi atrium. Pada keadaan tersebut, depolarisasi otor jantung
timbulsecara cepat dan tidak terorganisir sehingga jantung tidak mampuberkontraksi secara
normal. Hal tersebut menyebabkan penurunan cardiacoutput dan risiko pembentukan trombus
ataupun emboli. Jenis aritmia lainyang sering dialami oleh pasien gagal jantung kongestif
adalah ventriculartakiaritmia, yang dapat menyebabkan kematian mendadak pada penderita.

3) Pembentukan Trombus Pada Ventrikel Kiri


Penyumbatan trombus pada ventrikel kiri dapat terjadi pada pasiengagal jantung kongestif
akutmaupun kronik. Kondisi tersebut diakibatkanoleh adanya pembesaran ventrikel kiri dan
penurunan curah jantung. KombinasiKombinasi kedua kondisi tersebut meningkatkan
terjadinya pembentukantrombus di ventrikel kiri. Hal yang paling berbahaya adalah bila
terbentukemboli dari trombus tersebut karena besar kemungkinan dapat menyebabkanstroke.

4) Pembesaran Hati (Hepatomegaly)

Pembesaran hati dapat terjadi pada gagal jantung berat, terutamadengan kegagalan ventrikel
kanan. Lobulus hati akan mengalami kongestidari darah vena. Kongesti pada hati
menyebabkan kerusakan fungsi hati.Keadaan tersebut menyebabkan sel hati akan mati,
terjadi fibrosis dan sirosisdapat terjadi.

6. Penatalaksanaan Gagal Jantung

Farmakologi

1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)

Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan
seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya
menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga
menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.

2) Antagonis aldosteron

Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.

3) Obat inotropik

Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.

4) Glikosida digitalis

Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi.

5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)

Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena.
Non-Farmakologi

1) Istirahat
Kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar-benar dengan tirah baring
(bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak gejala-gejala
gagal jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Posisi untuk mengurangi sesak
nafas, bayi ditidurkan dengan posisi kepala lebih tinggi 20-30 derajat.
2) Diet
Umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan
kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Cairan diberikan sebanyak 80-100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1.500 ml/hari.
3) Pemberian Oksigen
Oksigen dapat menaikkan kadar oksigen darah arteri pada bayi dan anak dengan
dekompensasi berkisar antara 10-20%, bergantung pada macam kelainannya. Kadar tenda
oksigen atau incubator harus dijaga 40-50%, suhu dipertahankan 37°C, dicegah keadaan
panas dan dijaga pula kelembabannya. Aliran oksigen yang diperlukan adalah 4-5 liter/menit
pada inkubator atau 8-10 liter/menit pada tenda. Pada kor pulmonale, retensi CO 2 sudah
terjadi sehingga respirasi hanya dirangsang oleh hipoksia.

7. Faktor Resiko Gagal Jantung

1. Hipertensi

Hipertensi/tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras dari
yang biasanya sehingga dapat merusak sel otot jantung. Hipertensi telah dibuktikan
meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi
dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi
ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik
dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung

2. Coronary Artery Disease


CAD merupakan keadaan dimana arteri menyempit sehingga dapat menghambat suplai darah
yang kaya akan oksigen ke jantung yang menyebabkan otot jantung semakin melemah.

3. Myocard Infark

MCI merupakan salah satu jenis/bentuk dari Penyakit Jantung Koroner yang biasanya
terjadi/menyerang secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan kerusakan pada otot jantung.
Kerusakan di otot jantung berarti jantung tidak lagi dapat melakukan fungsinya dalam
memompa darah seperti biasanya.

4. Diabetes

Penderita diabetes memiliki resiko yang tinggi terkena hipertensi yang dapat memicu
Coronary Artery Disease.

5. Obat-obatan

Obat diabetes seperti rosiglitazone(Avandia) dan pioglitazone(Actos) diketahui dapat


meningkatkan resiko gagal jantung. Beberapa obat-obatan seperti NSAIDs, anastesi, obat
anti-aritmia, obat hipertensi juga dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung. Obat
kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat
menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

6. Sleep Apnea

Ketidakmampuan melakukan pernapasan yang normal pada saat beristirahat/tidur di malam


hari menyebabkan kadar oksigen rendah di dalam darah dan dapat meningkatkan resiko
terjadinya ritme jantung yang abnormal.

7. Congenital Heart Defects

Defek jantung structural juga dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung dengan
mengganngu fungsi jantung.

8. Alkohol

Meminum alcohol secara berlebihan dapat melemahkan sel otot jantung. Alkohol dapat
berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal
jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan
dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol
menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan
gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin.

9. Obesitas

Orang-orang yang obesitas cenderung mengalami aterosklerosis yang menyebabkan


menyempitnya pembuluh darah sehingga darah sulit mengalir ke jantung.

10. Denyut jantung yang irregular

Denyut jantung yang irregular, terutama jika terlalu cepat dapat melemahkan sel otot jantung
dan menyebabkan gagal jantung. Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan
gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi
ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali
timbul bersamaan.

8. Patogenesis Demam Rematik

Terdapat penelitian yang menyimpulkan bahwa demam rematik yang mengakibatkan


penyakit jantung rematik terjadi akibat sensitiasi dari antigen streptokoo sesudah 1-4 minggu
infeksi streptokok di faring. (proses delayed autoimmune) lebih kurang 95% pasien
menunjukka peninggian titer antistreptoksin O (ASTO) dan antideoxyribonuklease B (anti
DNA-ase B) yang keduanya merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi
kuman SGA1.

Organism factors

Berdasarkan bukti yang tersedia saat ini, arf (acute rheumatic fever) secara eksklusif
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan streptokokus grup A.
sekarang diperkirakan bahwa setiap strain streptokokus grup A berpotensi menyebabkan arf.
peran potensial infeksi kulit dan streptokokus kelompok C dan G saat ini sedang diselidiki.
telah dipostulatkan bahwa serangkaian infeksi streptokokus sebelumnya diperlukan untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh sebelum infeksi akhir yang secara langsung
menyebabkan penyakit.

Host factors

Sekitar 3-6% dari populasi mana pun mungkin rentan terhadap ARF, dan proporsi ini tidak
bervariasi secara dramatis antara populasi. temuan pengelompokan keluarga kasus dan
konkordansi pada kembar monozigot - khususnya untuk koreografi mengkonfirmasi bahwa
kerentanan terhadap arf adalah karakteristik yang diturunkan. alel HLA kelas II tertentu
tampaknya sangat terkait dengan kerentanan-asosiasi juga telah dijelaskan dengan tingkat
tinggi lektin pengikat mannose yang bersirkulasi dan polimorfisme mengubah faktor
pertumbuhan gen B1 dan gen imunoglobulin. ekspresi tingkat tinggi dari hadir alloantigen
tertentu pada sel B, D8-17, telah ditemukan pada pasien dengan riwayat arf di banyak
populasi dengan tingkat sedang tingkat ekspresi dalam anggota keluarga tingkat pertama,
menunjukkan bahwa ini mungkin merupakan penanda kerentanan yang diwariskan

The immune respon

Ketika inang yang rentan bertemu dengan streptokokus grup A, reaksi autoimun terjadi
dengan menyebabkan kerusakan pada jaringan manusia sebagai akibat dari reaktivitas silang
antara epitop pada organisme dan inang. epitop hadir di dinding sel, membran sel, dan daerah
pengulangan A, B dan C dari protein M streptococcal secara imunologis mirip dengan
molekul dalam myosin manusia, tropomyosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
acetylglucosamine. mimikri molekuler ini adalah dasar untuk respons autoimun yang
mengarah ke ARF. telah dihipotesiskan bahwa molekul manusia - epitop partikular dalam
miosin jantung - menghasilkan kepekaan sel T. sel-sel T ini kemudian ditarik kembali setelah
paparan berikutnya dengan streptokokus grup A yang memiliki epitop yang serupa secara
imunologis2.

9. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Rematik

Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan untuk
mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari
respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif.

A. Terapi Antibiotik
- Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk
mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup
A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya
diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.
-Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic heart
disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease
yang parah.

B. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap terapi
anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan
karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik
dengan aspirin dan terus mengalami perburukan. Penggunaan kortikosteroid dan aspirin
sebaiknya menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan.
C. Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring, restriksi
cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat,
terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus
melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa
ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.

D. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien
gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium
diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.Tirah baring sebagai terapi
rheumatic fever. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-
tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.

E. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan meskipun
telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi
untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan
nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami
gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.

10. Klasifikasi Gagal Jantung ( sisi kiri, kanan, dan kongesif )

 Berdasarkan Tingkat Keparahan Gagal Jantung

 Klasifikasi menurut ACC/AHA (American College of Cardiology/American Heart


Association)
Stadium A
Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan
struktural atau fungsional jantung.
Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal
jantung, tidak terdapat tanda dan gejala.
Stadium C
Gagal jantung yang simptomatis berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang
mendasari.
Stadium D
Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat
istirahat walaupun telah mendapat terapi.

 Klasifikasi menurut NYHA (New York Heart Association)


Kelas I
Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
biasa tidak menyebabkan kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea atau nyeri dada.
Kelas II
Pasien dengan penyakit jantung dengan sedikit pembatasan aktivitas fisik. Merasa nyaman
saat istirahat. Hasil aktivitas normal fisik kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Kelas III
Pasien dengan penyakit jantung yang terdapat pembatasan aktivitas fisik. Merasa nyaman
saat istirahat. Aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri
angina.
Kelas IV
Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan unutk melakukan
aktivitas fisik apapun tanpa ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung dapat muncul bahkan
pada saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.

 Berdasarkan Curah Jantung

1) Gagal jantung curah-tinggi


Pada pasien dengan gagal jantung curah-tinggi, curah jantung tidak melebihi batas atas
normal, tetapi mungkin lebih dekat dengan batas atas normal. Gagal jantung curah-tinggi
terlihat pada pasien hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula arteriovenosa, beri-beri, dan
penyakit Paget.

2 ) Gagal Jantung curah rendah


Pada gagal jantung curah-rendah, curah jantung berada dalam batas normal pada saat
istirahat, tetapi tidak mampu meningkat secara normal selama aktivitas fisik.

 Berdasarkan Gangguan Fungsi

1) Gagal jantung Sistolik


Gagal jantung sistolik yang utama berkaitan dengan curah jantung yang tidak adekuat dengan
kelemahan, kekelahan, berkurangnya toleransi terhadap exercise, dan gejala lain dari
hipoperfusi.

2) Gagal Jantung Diastolik


Gagal jantung diastolik berhubungan dengan peningkatan tekanan pengisian. Pada banyak
pasien yang mempunyai hipertrofi ventrikel dan dilatasi, abnormalitas kontraksi dan relaksasi
terjadi secara bersamaan.

 Berdasarkan Letak
1) Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan terjadi Jika abnormalitas yang mendasari mengenai ventrikel kanan
secara primer seperti stenosis katup paru atau hipertensi paru sekunder terhadap
tromboembolisme paru sehingga terjadi kongesti vena sistemik.
2) Gagal jantung kiri
Pada gagal jantung kiri, ventrikel kiri secara mekanis mengalami kelebihan beban atau
melemah, mengalami dispnea dan ortopnea akibat dari kongesti paru.

3) Gagal Jantung Kongestif (CHF)


Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal.
Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri
dan sisi kanan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdoerrachman MH, Alatas H, Sutarto H. BUKU KULIAH 2 ILMU KESEHATAN


ANAK. 2nd ed. Abdul H, Husein A, editors. jakarta: INFOMEDIKA JAKARTA; 1985.
777,778.
2. Dyspnea. Mechanisms, assessment, and management: a consensus statement. American
Thoracic Society. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159(1):321-340.
doi:10.1164/ajrccm.159.1.ats898
3. Goyena R, Fallis A. Batuk. J Chem Inf Model. 2019;53(9):1689–99.
4. Setyanto DB. Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tata laksana. Sari Pediatr.
2016;6(2):64.
5. USU. Gagal Jantung Kongestif. 2017;02:4–6.
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo W, Simadibrata K M, Setiyohadi B, Syam AF. Ilmu Penyakit
Dalam. 6 ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam; 2014.
7. Kapitaselekta kedokteran
8. Gleadle J. 2005. At aglance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : EGC. Hal: 62
9. Astuti DPT. Astuti, Dwi Puji Tiarah. GAGAL JANTUNG. 2017;
10. Indonesia SPIKAFKU. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak. : Rusepno Hassan HA, editor.
jakarta: Percetakan INFOMEDIKA JAKARTA; 1985. 781–784 p.
11. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7(Supplement J):J15-J20.
12. Leman S. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik. In: Setiati S, Alwi I,
Sudoyono WA, K SM, Setiyahadi B, Syam FA, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: InternalPublishing; 2014. p. 1162–70.
13. R J, Carapetis. Acute rheumatic fever. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald
E, Hauser SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison’s cardiovascular medicine. 17th ed. new
york: MCGraw-Hill; 2010. p. 290–1.
14. Indra Premana PM. PENYAKIT JANTUNG REMATIK. unud [Internet]. 2018;11.
Guyton AC HJ. Gagal Jantung. In: Rachman LY, Hartanto H, Novrianti A WN, ed. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC; 2006:271.

Anda mungkin juga menyukai