Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM SKENARIO 1

“NYERI SELURUH LAPANG PERUT”

Diajukan sebagai Pemenuhan Tugas Modul 7.1


Kegawatdaruratan Medik

Disusun oleh:
Kelompok BBDM 19

Qonita Qurotta-A’yun (22010117120019)


Desi Indah Sari (22010117130139)
Albert Juneson (22010117140110)
Desti Putri Setyorini (22010117120009)
Thania Lathifatunnisa P. A. (22010117120020)
Dominikus Evano Putra (22010117130159)
Timothy Jordan (22010117120070)
Erlangga Pradipta Harianto (22010117130140)

Dosen Pembimbing:
Dr. dr. K. Heri Nugroho Hario Seno, Sp.PD-KEMD

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM SKENARIO 1


“NYERI SELURUH LAPANG PERUT”

Disusun oleh:
Kelompok BBDM 19

Qonita Qurotta-A’yun (22010117120019)


Desi Indah Sari (22010117130139)
Albert Juneson (22010117140110)
Desti Putri Setyorini (22010117120009)
Thania Lathifatunnisa P. A. (22010117120020)
Dominikus Evano Putra (22010117130159)
Timothy Jordan (22010117120070)
Erlangga Pradipta Harianto (22010117130140)

Diajukan sebagai Pemenuhan Tugas Modul 7.1


Kegawatdaruratan Medik

Telah disahkan pada Rabu, 19 Agustus 2020


Dosen Pembimbing BBDM Skenario 1

Dr. dr. K. Heri Nugroho Hario Seno, Sp.PD-KEMD

2
BBDM MODUL 7.1
SKENARIO 1

NYERI SELURUH LAPANG PERUT

Nyonya S, 65 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri seluruh lapang perut sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, nyeri semakin bertambah. Perut semakin membesar seperti
kembung dan terasa panas sehingga mempengaruhi saat bernafas seperti sesak. BAB dan
BAK sedikit. Awal mulanya nyeri muncul di ulu hati sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit, nyeri tidak dipengaruhi oleh aktifitas, pasien mengaku jika makan maka nyeri
bertambah semakin seperti ditusuk-tusuk, ulu hati terasa sebah disertai mual, sehingga kadang
muncul keringat dingin hingga basah. Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengaku jatuh di kamar mandi, terasa nyeri dan tidak bisa berjalan karena kaki kiri bengkak.
Pasien meminum obat yang dibeli sendiri di warung untuk menghilangkan rasa sakit selama
satu minggu, namun tidak sembuh, kemudian berobat ke puskesmas diberi anti nyeri. Pasien
memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan kadar kolesterol tinggi, DM (+) namun minum
obat tak teratur. Keadaan saat datang gelisah, TD 100/50 mmHg, HR 120/menit irreguler, RR
35/menit tampak napas, T 37,9 °C aksiler dan 38,5 °C rektal. Kepala dalam batas normal.
Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-). Toraks statis dinamis simetris. Pemeriksa-
an jantung ictus cordis teraba di SIC VI linea aksilaris anterior, bunyi jantung I dan II abnor-
mal, murmur (+), gallop (-), friction rub (-). Pemeriksaan paru, wheezing kedua lapangan paru
ronkhi paru kanan tengah bawah. Pemeriksaan abdomen didapatkan defans muskular (+)
punctum maximum epigastrium. Extremitas bawah edema tungkai kiri.

I. TERMINOLOGI
1. Defans muskular
Refleks otot abdomen terhadap rangsang yang diberikan ke perut pasien. Ia merupa-
kan refleks motorik organ dalam pada daerah abdomen seperti peritoneum sehingga
dapat digunakan untuk menandakan peritonitis.
2. Ulu hati
Daerah epigastrium yang terletak di sisi superior regio umbilikalis pada abdomen.

3
3. Wheezing
Suara yang dihasilkan ketika udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit.
Penyempitan ini dapat disebabkan oleh sekresi mukus yang terkurung dalam saluran
napas atau penyempitan otot saluran napas akibat edema.
4. Friction rub
Suara gesekan perikardium yang terdengar pada fase diastolik dan sistolik. Ia me-
nandakan terjadinya peradangan perikardium (perikarditis).
5. Punctum maksimum
Punctum maximum diambil dari Bahasa Latin yang berarti “puncak tertinggi.” Ia
merupakan titik maksimum dimana suatu kontraksi dan denyut jantung paling terli-
hat dan teraba, pasa kasus ini di epigastrium.
6. Murmur
Suara jantung abnormal yang terdengar memanjang akibat turbulensi aliran darah di
dalam ruang jantung. Turbulensi ini dapat disebabkan oleh peningkatan laju aliran
darah atau gangguan katup jantung. Secara garis besar, murmur dibagi menjadi tiga:
murmur sistolik, diastolik, dan continuous. Jenis dan lokasi murmur yang terdengar
saat auskultasi jantung dapat digunakan untuk menentukan katup yang bermasalah.
7. Gallop
Salah satu bunyi jantung extradiastolic yang dibagi menjadi dua jenis berikut ini.
a. Ventricular gallop (S3) disebabkan oleh penegangan chordae tendineae selama
fase rapid filling dan ekspansi ventrikel jantung. S3 biasanya terdengar dalam
kasus heart failure with reserved ejection fraction (HFrEF) dan regurgitasi katup
mitral atau trikuspidalis. Namun, bunyi S3 pada anak-anak dan dewasa muda di-
anggap normal karena menandakan kemampuan ventrikel untuk meregang seca-
ra cepat pada fase diastolik awal.
b. Atrial gallop (S4) disebabkan karena atrium memompa darah ke ventrikel yang
kaku saat fase pengisian ventrikel. S4 dapat terdengar pada kasus hipertrofi ven-
trikel dan iskemia ventrikel.
8. Bunyi Jantung I/II
Bunyi jantung pertama (S1) disebabkan oleh penutupan katup atrioventrikular (mi-
tral dan trikuspidalis) dan kontraksi otot-otot jantung. Bunyi jantung kedua (S2)
disebabkan oleh menutupnya katup semilunaris (aorta dan pulmonal). S1 memiliki
frekuensi nada yang lebih rendah dan waktu yang sedikit lebih lama dibandingkan

4
dengan S2. S2 memiliki frekuensi nada yang lebih tinggi dengan intensitas maksi-
mum di daerah aorta. Sebenarnya, kedua komponen ini terpisah sekitar 0,01 detik,
hanya saja telinga manusia tidak dapat membedakannya. Impuls listrik bergerak me-
nuju sisi kiri jantung terlebih dahulu sebelum menyebar ke sisi kanan sehingga kon-
traksi ventrikel kiri terjadi lebih dulu dan katup mitral menutup lebih dulu diban-
dingkan katup trikuspidalis. Hal serupa juga terjadi pada S2, dimana katup aorta
menutup lebih dulu dibandingkan katup pulmonal akibat perbedaan gradien tekanan
antara aorta dengan ventrikel kiri yang lebih besar dibandingkan a. pulmonalis de-
ngan ventrikel kanan. Namun, telinga manusia dapat mendengar perbedaan ini, dan
jarak antara keduanya dipengaruhi oleh siklus inspirasi dan ekspirasi paru.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan fisik pasien?
2. Apakah hubungan riwayat tekanan darah tinggi, DM, dan kolesterol tinggi terhadap
keluhan pasien?
3. Mengapa terjadi nyeri pada perut pasien? Apa hubungannya dengan kejadian sebe-
lumnya?
4. Mengapa nyeri bertambah saat makan?
5. Mengapa perut pasien semakin membesar serta BAB dan BAK pasien sedikit?
6. Mengapa terdapat tanda-tanda kelainan sistem kardiorespirasi?

III. ANALISIS MASALAH


1. Hasil pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut.
- TD 100/50 mmHg  Hipotensi (diastol < 60)
- HR 120/menit irreguler  Takikardia (lansia N 60-70)
- RR 35/menit tampak napas  Takipnea (N 20, lansia 14-16)
- T 37,9 °C aksiler = subfebris (37 – 38 °C); T 38,5 °C rektal = febris (>38,1 °C)
 Ketidakseimbangan hemodinamik
- Ictus cordis jantung teraba di SIC VI linea aksilaris anterior  Kardiomegali (N
SIC V linea midklavikularis sinistra)
- Bunyi jantung 1 dan 2 abnormal
- Murmur  Adanya kelainan pada katup
- Wheezing kedua lapang paru  Penyempitan saluran napas distal

5
- Ronkhi paru kanan  Pemyumbatan jalan napas oleh cairan
- Defans muskular  Peritonitis
- Edema tungkai kiri  Kelainan pembuluh darah perifer

2. Riwayat hipertensi meningkatkan afterload ventrikel kiri jantung pasien sehingga


menyebabkan kardiomegali yang dapat dinilai dari pergeseran ictus cordis dalam
pemeriksaan fisik. Sebagai bagian dari sindroma metabolik, hiperkolesterolemia dan
DM juga berkaitan dengan patogenesis terjadinya hipertensi yang akhirnya menye-
babkan kardiomegali.

3. Nyeri yang dirasakan di seluruh lapang perut disertai defans muskuler mengindika-
sikan adanya peritonitis. Dalam kasus peritonitis, nyeri timbul akibat stimulasi saraf
somatik yang menginervasi peritoneum secara langsung. Pada kasus ini, peritonitis
mungkin disebabkan oleh perforasi gaster yang bermula dari riwayat nyeri espigas-
trik sejak 7 hari sebelumnya. Nyeri epigastrik itu sendiri mungkin berkaitan dengan
konsumsi anti nyeri oleh pasien. Golongan anti nyeri tertentu seperti non-steroidal
anti-inflammatory drugs (NSAIDs) merupakan etiologi ulkus peptikum (peptic
ulcer disease, PUD) terbanyak kedua setelah infeksi Helicobacter pylori. NSAID
meng-hambat pembentukan prostaglandin yang berfungsi untuk mempertahankan
integri-tas mukosa lambung dari asam lambung yang bersifat korosif. Pasien ini
sangatlah mungkin mengalami ulkus peptikum yang berlanjut menjadi perforasi dan
peritoni-tis sekunder pada akhirnya.

4. Konsumsi makanan merupakan salah satu stimulus sekresi asam lambung. Pening-
katan sekresi asam lambung dapat menyebabkan iritasi mukosa dan memperparah
rasa nyeri. Anamnesis awitan timbulnya nyeri sejak konsumsi makanan dapat digu-
nakan untuk memperkirakan lokasi ulkus. Oleh karena nyeri perut pasien bertambah
saat makan, lokasi ulkus yang paling memungkinkan adalah lambung (ulkus gaster).
Berbeda dengan ulkus gaster, ulkus duodenum menyebabkan nyeri yang berkurang
saat makan namun kembali muncul sektiar 30 menit kemudian.

5. BAK dapat berkurang dalam kasus peritonitis sebab pasien mengalami shock hypo-
volemic yang mengurangi perfusi darah ke ginjal. Peritonitis generalisata dapat me-
nyebabkan ileus paralitik, yaitu paralisis saluran pencernaan, akibat pelepasan medi-
ator antiperistaltik dalam kondisi inflamasi. Paralisis menghambat pengeluaran BAB

6
sehingga perut pasien mengalami distensi. Distensi perut juga bisa disebabkan oleh
pneumoperitoneum, yaitu masuknya udara ke rongga peritoneum, akibat perforasi
gaster. Umumnya, perforasi gaster menyebabkan massive pneumoperitoneum karena
ia merupakan salah satu organ holoviscus yang selalu terisi udara.

6. Salah satu manifestasi sistemik dari peritonitis generalisata adalah sepsis yang dapat
diduga dari pemenuhan setidaknya 2 dari 3 kriteria quick sequential organ failure
assessment (qSOFA) pada pasian ini: penurunan kesadaran, takipnea (laju pernapa-
san ≥22/menit), dan tekanan darah sistolik ≤100 mmHg. Usia tua pada pasien ini ju-
ga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sepsis. Pelepasan mediator proin-
flamasi menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler di selu-
ruh tubuh pasien, termasuk di paru. Akibatnya, cairan merembes dari kapiler menu-
ju jaringan paru dan menyebabkan edema. Kongesti paru tersebut menimbulkan bu-
nyi wheezing dan ronkhi yang terdengar saat auskultasi paru. HF yang dicurigai pa-
da pasien juga dapat menimbulkan edema paru dan efusi pleura akibat aliran darah
vena pulmonalis yang terbendung sebelum memasuki jantung.
Selain auskultasi paru, pasien juga menunjukkan kelainan jantung dengan dite-
mukannya murmur dan tanda gagal jantung (heart failure, HF) seperti kardiomegali.
Murmur dapat terjadi akibat lesi katup jantung, baik stenosis maupun regurgitasi.
Kasus ini tidak menyertakan keterangan lokasi murmur sehingga katup yang ber-
masalah tidak dapat ditentukan secara pasti. Berdasarkan usia pasien, stenosis aorta
(aortic stenosis, AS) adalah yang paling memungkinkan oleh karena fenomena skle-
rosis yang sering dijumpai pada lansia. Murmur diastolik pada SIC II linea paraster-
nalis dekstra dapat terdengar pada penderita AS. Selain AS, gagal jantung juga da-
pat menyebabkan murmur akibat penegangan chordae tendinae yang tertaut pada
ventrikel.

7
IV. PETA KONSEP

V. SASARAN BELAJAR
1. Mampu menjelaskan aspek anamnesis pada pasien dengan nyeri perut, sesak, dan
gangguan kesadaran pada usia lanjut.
2. Mampu menjelaskan dan menganalisis hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan.
3. Mampu mengusulkan pemeriksaan penunjang yang rasional untuk pasien tersebut
dan tujuan pemeriksaan serta interpretasinya (X-foto toraks, X-foto abdomen 3 po-
sisi, USG Doppler tungkai, EKG, laboratorium darah rutin, enzim jantung, gula
darah I/II, HbA1c, profil lipid, fungsi hati, studi koagulasi, BGA).
4. Mampu menegakkan diagnosis diferensial pada pasien tersebut.
5. Mampu menegakkan diagnosis sementara pada kasus tersebut.
6. Mampu merencanakan penatalaksaan awal kegawatan bedah dan medikamentosa.
7. Mampu melakukan edukasi.

VI. BELAJAR MANDIRI


1. Anamnesis pasien lansia dengan nyeri perut, sesak, dan gangguan kesadaran melipu-
ti beberapa aspek sacred 7 dan fundamental 4. Anamnesis hanya mengarahkan, na-
mun tentu tidaklah cukup untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemeriksaan fi-
sik dan penunjang yang akan dibahas pada sasaran belajar berikutnya guna menda-
patkan diagnosis yang paling akurat.

8
a. Lokasi
Lokasi nyeri perut pasien berhubungan dengan beberapa kelainan intraabdomen.
Pada kasus ini, peritonitis generalisata merupakan salah satu penyebab nyeri di-
fus yang dirasakan di seluruh lapang perut pasien. Riwayat nyeri ulu hati yang
terletak di regio epigastrium dapat mengindikasikan ulkus peptikum. Tentu ter-
dapat sejumlah besar diagnosis banding nyeri perut seperti ini. Pemeriksaan fisik
dan penunjang sangat bermanfaat untuk mengarahkan penegakan diagnosis.
b. Onset (Awitan)
Onset keluhan dapat bersifat akut atau kronis. Pasien mengalami nyeri di seluruh
lapang perut satu hari sebelumnya, menandakan bahwa keluhan bersifat akut.
c. Faktor yang Memperberat
Riwayat nyeri epigastrium pada pasien muncul segera setelah pasien makan. Hal
ini memperkuat diagnosis riwayat ulkus gaster dibandingkan dengan ulkus duo-
denum. Nyeri akibat ulkus duodenum muncul 1,5 – 3 jam setelah pasien meng-
onsumsi makanan.
d. Gejala Penyerta
Tidak jarang suatu penyakit dapat menampilkan berbagai gejala sekaligus. Kom-
binasi gejala ini dapat digunakan untuk mendasari penegakan diagnosis. Selain
nyeri seluruh lapang perut, pasien juga mengeluhkan rasa kembung dan distensi
perut yang meningkatkan kecurigaan pneumoperitoneum akibat perforasi gaster.
Riwayat nyeri ulu hati juga disertai dengan sensasi mual dan sebah. Temuan ini
sesuai dengan fakta bahwa 15 – 25% penderita PUD dapat mengalami dispepsia.
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, dan DM yang bersama-
sama menyusun sindroma metabolik dengan hubungan patofisiologis satu sama
lain. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya gagal jantung kiri yang didu-
ga dari temuan kardiomegali pada palpasi ictus cordis. Sindroma metabolik da-
pat berujung pada aterosklerosis dan sumbatan pembuluh darah pada kaki pasien
sehingga menyebabkan bengkak dan nyeri. Risiko aterosklerosis juga mening-
katkan kewaspadaan akan terjadinya sindroma koroner akut sebagai salah satu
diagnosis banding nyeri epigastrium.
f. Riwayat Pengobatan

9
Pasien mengonsumsi anti-nyeri yang merupakan salah satu faktor risiko terjadi-
nya PUD, khususnya NSAIDs yang non-selektif dalam menghambat COX-2.

2. Hasil pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut.
- TD 100/50 mmHg  Hipotensi (diastol < 60)
- HR 120/menit irreguler  Takikardia (lansia N 60-70)
- RR 35/menit tampak napas  Takipnea (N 20, lansia 14-16)
- T 37,9 °C aksiler = subfebris (37 – 38 °C); T 38,5 °C rektal = febris (>38,1 °C)
 Ketidakseimbangan hemodinamik
- Ictus cordis jantung teraba di SIC VI linea aksilaris anterior  Kardiomegali (N
SIC V linea midklavikularis sinistra)
- Bunyi jantung 1 dan 2 abnormal
- Murmur  Adanya kelainan katup jantung
- Wheezing kedua lapang paru  Penyempitan saluran napas distal
- Ronkhi paru kanan  Pemyumbatan jalan napas oleh cairan
- Defans muskular  Peritonitis
- Edema tungkai kiri  Kelainan pembuluh darah perifer

3. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasien adalah


sebagai berikut.
a. X-Foto Toraks
X-foto toraks digunakan untuk memastikan kecurigaan edema pulmo atau efusi
pleura yang dapat terjadi pada penderita sepsis atau gagal jantung kiri seperti pa-
da pasien ini. X-foto toraks juga menampilkan adanya kardiomegali dengan dite-
mukannya nilai cardiothoracic ratio (CTR) sebesar >0,5 pada proyeksi postero-
anterior (PA). X-foto toraks dapat menyingkirkan berbagai kelainan intratorakal
yang menjadi diagnosis banding nyeri ulu hati, misalnya ruptur esofagus menye-
babkan pneumomediastinum, yaitu masuknya udara ke mediastinum sehingga
menggeser organ-organ di sekitarnya ke arah lateral.
b. X-Foto Abdomen
Pneumoperitoneum yang timbul akibat perforasi gaster dapat dideteksi dengan
X-foto abdomen 3 posisi: AP, supine, dan left lateral decubitus (LLD). Terdapat
sejumlah tanda radiologis yang ditemukan dalam kasus pneumoperitoneum, se-

10
perti cupola sign, continuous diaphragm sign, decubitus abdomen sign, triangle
sign, Rigler sign, ligamentum falciforme sign, dan football sign (Gambar 1).

Gambar 1. A, cupola sign merupakan lusensi udara di sisi inferior jantung pada
proyeksi supine. B, Rigler sign (double-wall sign) muncul dalam kasus pneumo-
peritoneum masif (>1000 mL), dimana dinding usus terlihat akibat desakan uda-
ra intraluminal dan intraperitoneum.

A B

c. USG Doppler Tungkai


Alat ini digunakan untuk memastikan adanya deep vein thrombosis (DVT) yang
mungkin menyumbat aliran darah pada kaki pasien yang nyeri dan bengkak. De-
ngan compression USG Doppler, keberadaan trombus dapat diketahui melalui
pemberian kompresi pada pembuluh vena kaki yang dicurigai mengalami sum-
batan. Dalam kasus DVT, trombus mengisi lumen vena sehingga ia tidak terlihat
kolaps saat penekanan diberikan.
d. Elektrokardiografi (EKG)
EKG dapat digunakan untuk mengetahui ruang jantung yang mengalami perbes-
aran dengan memperhatikan lead yang sesuai. Selain itu, EKG juga berperan un-
tuk menyingkirkan diagnosis banding sindroma koroner akut (SKA) pada pasien
dengan riwayat nyeri ulu hati seperti pada skenario. Adanya elevasi segmen ST
menandakan ST-elevation myocardial infarction (STEMI) tahap awal, yang da-
pat diikuti dengan pembentukan gelombang Q jika terapi reperfusi tidak segera
diberikan (Gambar 2). Depresi segmen ST terlihat baik pada unstable angina

11
(UA) maupun non-STEMI (NSTEMI), dan mereka dibedakan berdasarkan bio-
marker serum seperti troponin dan creatine kinase-MB (CK-MB).

Gambar 2. Evolusi bentuk EKG pada kasus STEMI.

e. Laboratorium Darah Rutin


Pemeriksaan darah rutin meliputi hemoglobin (Hb), laju endap darah (LED), hi-
tung leukosit, dan hitung jenis leukosit. Peningkatan LED, jumlah leukosit (leu-
kositosis), neutrofilia, dan shift to the left dapat terlihat dalam keadaan inflamasi
sistemik, seperti peritonitis generalisata dan sepsis yang dicurigai pada skenario.
Pemeriksaan Hb dilakukan untuk memastikan adanya anemia akibat darah yang
hilang oleh ulkus gaster.
f. Enzim Jantung
Keberadaan enzim jantung dalam darah (e.g., CK-MB) dapat menandakan ada-
nya SKA yang menjadi diagnosis banding riwayat nyeri ulu hati pada skenario.
SKA yang disebabkan oleh STEMI dan NSTEMI melibatkan nekrosis miokar-
dium yang melepaskan CK-MB menuju aliran darah. Sementara itu, UA tidak
melibatkan nekrosis miokardium sehingga enzim jantung tidak akan ditemukan
dalam darah.
g. Gula Darah
Kadar glukosa darah merupakan dasar penegakan diagnosis DM dan prediabe-
tes. Sampel yang digunakan dapat berupa darah vena atau kapiler, namun mere-
ka memiliki ambang yang sedikit berbeda untuk menegakkan diagnosis DM. Pe-
meriksaan tersebut meliputi glukosa darah sewaktu (GDS), glukosa darah puasa
(GDP), dan glukosa darah 2 jam pasca-tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar
HbA1c juga dapat digunakan berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI) 2015. Diagnosis DM baru dapat ditegakkan jika pemerik-

12
saan kadar glukosa darah vena pasien memberikan setidaknya salah satu temuan
di bawah ini.
 Glukosa darah sewaktu (GDS) ≥200 mg/dL disertai gejala klasik: polifagia,
poliuria, polidipsi, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
 Glukosa darah puasa (GDP) ≥126 mg/dL
 Glukosa darah 2 jam pasca-tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL
 Kadar HbA1c ≥6,5%
h. Profil Lipid
Profil lipid darah digunakan untuk memastikan riwayat dislipidemia pasien. Pe-
meriksaan lipid meliputi kadar kolesterol total, low-density lipoprotein (LDL),
high-density lipoprotein (LDL), dan trigliserida (TG) dengan nilai ambang sep-
erti yang disajikan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 1. Nilai ambang pemeriksaan profil lipid darah.

Parameter Kadar dalam Darah (mg/dL)


Desirable Borderline Risiko Tinggi
Kolesterol LDL 60 – 130 130 – 159 160 – 189
Kolesterol HDL >60 35 – 45 <45
Trigliserida <150 150 – 199 >200
Kolesterol total <200 200 – 239 >240

i. Fungsi hati
Tes fungsi hati (liver function test, LFT) digunakan untuk memastikan kelainan
sistem hepatobilier dan apabila ada, menentukan jenisnya. Obstruksi dan distensi
ductus choledochus merupakan salah satu kelainan hepatobilier yang menimbul-
kan nyeri ulu hati. Berbagai komponen LFT beserta implikasi klinisnya disaji-
kan dalam Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Komponen LFT beserta implikasi klinisnya masing-masing.

13
Pemeriksaan Implikasi Klinis
Aspartate aminotransferase (AST) Kerusakan hepatoseluler
Alanine aminotransferase (ALT) Kerusakan hepatoseluler
Lactate dehydrogenase (LDH) Kerusakan hepatoseluler
Alkaline phosphatase (ALP) Kolestasis, penyakit infiltratif, atau obs-
truksi traktus biliaris
Bilirubin: unconjugated dan conju- Kolestasis, kelainan konjugasi, atau obs-
gated truksi traktus biliaris
Prothrombin time (PT) Kelainan sintesis
Albumin Kelainan sintesis
γ-glutamyl transferase (GGT) Kolestasis atau obstruksi traktus biliaris

j. Studi Koagulasi
Studi koagulasi digunakan untuk mengetahui kemampuan darah untuk membe-
ku. Beberapa komponen pemeriksaan ini mencakup hitung platelet, pemeriksaan
PT dan activated partial thromboplastin time (aPTT), serta kadar fibrinogen.
k. Blood Gas Analysis (BGA)

BGA dilakukan untuk mengetahui kemampuan paru dan ginjal dalam mengen-
dalikan tingkat oksigenasi dan keasaman darah. Pemeriksaan BGA meliputi tek-
anan parsial oksigen (PaO2) dan karbon dioksida (PaCO2) dalam arteri serta pH
darah. Peningkatan PaCO2 serta penurunan PaO2 dan pH darah dapat ditemukan
pada edema pulmo, efusi pleura, gagal jantung, syok, dan ketoasidosis diabetik-
um yang dapat dijumpai dalam skenario.

4. Diagnosis diferensial untuk pasien pada skenario ini dapat disusun berdasarkan per-
mintaan pemeriksaan penunjang yang telah dibahas pada sasaran belajar nomor 3.
a. Ulkus Gaster
Ulkus gaster pada pasien ini berkaitan dengan konsumsi obat anti-nyeri untuk
meredakan nyeri kakinya 2 minggu sebelum datang ke rumah sakit. Beberapa
anti-nyeri seperti NSAIDs, khususnya yang non-selektif dalam menghambat en-
zim cyclooxygenase (COX)-2, dapat menurunkan kadar prostaglandin mukosa
lambung sehingga meningkatkan risiko iritasi oleh asam lambung. Jika tidak se-
gera ditangani, ia dapat berlanjut menjadi PUD. Oleh karena pasien mengeluh-
kan nyeri di bagian ulu hati (epigastrium) yang semakin hebat saat makan, maka
diagnosis yang paling mungkin bukanlah ulkus duodenum, melainkan ulkus
gaster. PUD juga menyumbang 15 – 20% kasus dispepsia yang ditunjukkan
oleh keluhan sebah dan kembung pada pasien. Endoskopi merupakan gold stan-

14
dard diagnosis ulkus gaster. Diagnosis bandingnya meliputi gastritis, gastroeso-
phageal reflux disease (GERD), pankreatitis, MI, dan sebagainya.
b. Peritonitis Sekunder
Pasien mengeluhkan nyeri seluruh lapang perut setelah merasakan nyeri ulu hati
pada minggu sebelumnya. Nyeri perut yang disertai dengan defans muskuler dan
distensi perut meningkatkan kecurigaan peritonitis pada pasien ini. Peritonitis
sekunder dapat disebabkan oleh ulkus gaster yang tidak ditangani sehingga
mengalami perforasi. Getah lambung yang tumpah ke peritoneum menyebab-
kan peradangan dan pelepasan mediator nyeri, seperti bradikinin. Mediator ter-
sebut merangsang ujung saraf somatik sehingga menimbulkan nyeri tajam me-
nusuk tepat di atas peritoneum yang meradang. Defans muskuler merupakan
mekanisme refleks otot perut untuk menahan rasa nyeri tersebut. Distensi perut
terjadi akibat masuknya udara lambung ke rongga peritoneum (pneumoperito-
neum) yang dapat diperiksa dengan X-foto abdomen 3 posisi: anteroposterior
(AP), supine, dan left lateral decubitus (LLD). Diagnosis bandingnya mencakup
gastroenteritis, iskemia mesenterika, ileus, dan sebagainya.
c. Sepsis
Sepsis merupakan komplikasi peritonitis sekunder pada pasien ini. Sepsis dapat
dicurigai berdasarkan pemenuhan setidaknya 2 dari 3 kriteria qSOFA berikut ini.
 Penurunan kesadaran (GCS <15)
 Takipnea (laju pernapasan ≥22 kali/menit)
 Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg
Diagnosis sepsis baru dapat ditegakkan setelah pasien memperoleh skor
SOFA sebesar ≥2 berdasarkan sejumlah pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksa-
an neurologis, darah lengkap, pengukuran urine output, dan sebagainya. Apabila
pasien memenuhi syarat tersebut, manajemen sepsis perlu segera dilakukan.
d. Valvulopati
Murmur yang ditemukan pada auskultasi jantung pasien mencerminkan adanya
kelainan katup jantung. Namun, katup yang bermasalah tidak dapat ditentukan
sebab tidak terdapat keterangan mengenai lokasi terdengarnya murmur dan
waktu terjadinya relatif terhadap fase sistolik dan diastolik jantung pasien. Eko-
kardiografi, baik transesophageal maupun transthoracic, dapat menunjukkan
katup yang bermasalah.

15
e. Deep Venous Thrombosis (DVT)
DVT dapat dicurigai dari adanya edema unilateral yang nyeri pada kaki pasien.
Faktor risiko aterosklerosis pada pasien seperti dislipidemia dan DM juga ber-
kaitan dengan insidensi DVT. Diagnosis memerlukan pemeriksaan Wells score
(Tabel 3), D-dimer plasma, dan compression ultrasonografi (USG) Doppler. Di-
agnosis diferensial DVT meliputi selulitis, robekan otot, dan hematoma.

Tabel 3. Skor Wells digunakan untuk menilai risiko terjadinya DVT. Risiko ren-
dah jika skor ≤0; risiko sedang jika skor 1 – 2; risiko tinggi jika skor ≥3.

f. Gagal Jantung Kiri (Left-Sided Heart Failure, LHF)


Kardiomegali dapat diketahui dari palpasi jantung yang menunjukkan pergese-
ran ictus cordis menuju SIC VI linea aksilaris anterior. Kardiomegali berkaitan
dengan riwayat hipertensi pada pasien yang meningkatkan afterload ventrikel
kiri ketika berusaha memompa darah ke seluruh tubuh. Jika hipertensi berlang-
sung lama, ventrikel kiri dapat mengalami hipertrofi dan dilatasi. LHF juga me-
nyebabkan edema pulmo atau efusi pleura yang dapat diduga dari wheezing dan
ronkhi pada auskultasi paru. Gagal jantung kanan kurang memungkinkan untuk
terjadi sebab pasien hanya mengalami edema di salah satu ekstremitas saja. EKG
dapat digunakan untuk menentukan ruang jantung yang membesar (Tabel 4).
Pada X-foto toraks posisi PA, kardiomegali dapat diketahui dari perbesaran ba-
yangan jantung dengan nilai CTR >0,5.

Tabel 4. Interpretasi EKG pada kasus kardiomegali.

Perbesaran Jantung Temuan EKG

16
Atrium Kanan Gelombang P >2,5 mm di lead II
Kiri Defleksi negatif gelombang P terminal di lead V1
dengan lebar dan kedalaman >1 mm
Ventrikel Kanan Gelombang R > S di lead V1
Right axis deviation
Kiri Gelombang S di V1 dan R di V5 atau V6 ≥35 mm
Gelombang R di aVL >11 mm
Gelombang R di lead I >15 mm

g. Edema pulmo
Edema pulmo diduga dari temuan wheezing seluruh lapang paru dan ronkhi paru
kanan pada auskultasi. Edema pulmo dapat disebabkan oleh infeksi sistemik
yang memicu pelepasan sitokin proinflamasi sehingga menyebabkan vasodilatasi
dan meningkatan permeabilitas kapiler paru. Akibatnya, cairan merembes dan
mengisi jaringan paru. Selain itu, edema pulmo juga disebabkan oleh peningka-
tan end diastolic pressure ventrikel kiri yang diduga mengalami kardiomegali.
Hal ini membendung aliran darah di atrium kiri, vena pulmonalis, dan kapiler
paru. Darah yang terbendung akan meningkatkan tekanan hidrostatik intralumi-
nal dan memicu ultrafiltrasi plasma menuju jaringan paru sehingga menghasil-
kan edema. Selain edema pulmo, HF juga dapat menyebabkan efusi pleura. X-
foto toraks dapat digunakan untuk membedakan edema dengan efusi. Blood gas
analysis (BGA) digunakan untuk memastikan adanya hipoksemia.

Gambar 3. A, radiografi edema pulmo kardiogenik menunjukkan gambaran bat


wing appearance, yaitu infiltrat perihiler pada kedua paru. B, efusi pleura mem-
perlihatkan penumpulan sudut konstrofrenikus paru kanan.

17
A B

5. Peritonitis generalisata e.c perforasi gaster.

6. Tatalaksana kegawatan bedah untuk kasus ini adalah sebagai berikut.


 Memeriksa ABC: airway, breathing, circulation
 Terapi oksigen dan vasopresor (e.g., epinefrin, norepinefrin) diberikan kepa-
da pasien jika ia mengalami syok sepsis
 Tatalaksana bedah yang paling sering untuk perforasi ulkus gaster di daerah
antrum adalah antrektomi dengan anastomosis Billroth I (Gambar 4A)
 Jika ulkus berada dekat dengan esophagogastric junction (EGJ), pembedah-
an radikal dengan gastrektomi subtotal dan Roux-en-Y esophagogastrojeju-
nostomy (prosedur Csende, Gambar 4B) dapat dilakukan
 Apabila keadaan pasien lemah, teknik yang lebih ringan dapat dilakukan: an-
trektomi, biopsi ulkus, atau vagotomi. Namun, teknik tersebut berkaitan de-
ngan rekurensi ulkus sebesar 30%

Gambar 4. Gambaran skematis pembedahan perforasi ulkus gaster, mencakup (A)


antrektomi dengan anastomosis Billroth I jika ulkus terletak di antrum, dan (B) pro-
sedur Csende jika ulkus terletak di dekat EGJ.

18
A B

Pasien pada skenario memiliki kecurigaan sepsis, DVT, dan LHF dengan ed-
ema pulmo. Ia juga memiliki riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, dan DM. Tata-
laksana medikamentosa ditujukan untuk mengatasi seluruh kelainan tersebut.
a. Sepsis
Apabila pasien mendapatkan skor SOFA ≥2, ia perlu segera mendapat tatalaksa-
na medikamentosa dengan antibiotik empiris selagi menunggu hasil kultur da-
rah. Regimen terapi harus segera disesuaikan jika kultur berhasil menunjukkan
etiologi penyebab sepsis. Antibiotik empiris yang digunakan pada kasus perito-
nitis sekunder akibat perforasi saluran cerna harus efektif terhadap flora normal
saluran cerna, yaitu bakteri basil aerob Gram-negatif dan anaerob.
 Kombinasi penisilin broad-spectrum/inhibitor β-laktamase, misalnya tikarsi-
lin/klavulanat
 Sefoksitin
 Kombinasi fluorokuinolon (e.g., levoflosaksin), sefalosporin III (e.g., seftri-
akson), dan metronidazol
b. Diabetes Mellitus
Menurut Konsensus PERKENI 2015, terapi medikamentosa DM bergantung
pada status HbA1c pasien. Semua penderita DM Tipe 2 membutuhkan modifikasi
gaya hidup sehat tanpa memandang status HbA 1c. Secara umum, regimen peng-
obatannya adalah sebagai berikut.
 Obat hipoglikemik oral (OHO) diberikan mulai dari dosis kecil dan dinaik-
kan bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah
 Sulfonilurea 15 – 30 menit sebelum makan
 Metformin sebelum, pada saat, atau sesudah makan
 Penghambat glukosidase (Acarbose) bersama makan suapan pertama

19
Gambar 5. Algoritme pengelolaan DM Tipe 2 berdasarkan status HbA1c pasien me-
nurut Konsensus PERKENI 2015.

7. Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien adalah sebagai berikut.


 Menjelaskan penyakit yang sedang diderita oleh pasien
 Apabila anti-nyeri yang sebelumnya diberikan ke pasien b erpotensi
mengiri-tasi mukosa lambung, konsumsi obat tersebut perlu dihentikan dan
diganti dengan anti-nyeri yang lebih aman
 Mengurangi konsumsi makanan yang mampu mengiritasi mukosa lambung,
seperti makanan pedas dan minuman berkafein
 Mengembangkan gaya hidup sehat, seperti menjaga pola makan dan berolah-
raga secara teratur, untuk mengatasi sindroma metabolik pada pasien
 Meminta pasien untuk rutin mengonsumsi obat dan meminta bantuan keluar-
ga pasien untuk mengingatkannya
 Meminta pasien datang kembali ke fasilitas kesehatan untuk kontrol dan jika
terdapat keluhan yang berkaitan

20
DAFTAR PUSTAKA

Jameson, J. L., Kasper, D. L., Longo, D. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., & Loscalzo, J. (2018).
Harrison's Principle of Internal Medicine (20th ed.). McGraw Hill Education.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. (2015).
Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI).
Lilly, L. S. (2016). Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty (6th ed.). Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer
business.
Longo, D. L., & Fauci, A. S. (2013). Harrison's Gastroenterology and Hepatology (2nd ed.).
McGraw-Hill Education.
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer (1st ed.).
(2017). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Singer, M., Deutschman, C. S., Seymour, C., Shankar-Hari, M., Annane, D., Bauer, M., et al.
(2016, Februari 23). The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3). JAMA, 315(8), 801-810.

21

Anda mungkin juga menyukai