Anda di halaman 1dari 25

PORTOFOLIO

INSTALASI GAWAT DARURAT


INTERNSHIP RS SRI PAMELA MEDIKA NUSANTARA

Periode 2020 – 2021

Oleh

dr. Amyatena Leonie

Pendamping

dr. Resmanto
Topik : IMAEST (Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST)
Tanggal (Kasus) : 20 Februari 2020 Presenter : dr. Amyatena Leonie
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Resmanto

Tempat Presentasi : Rumah Sakit Sri Pamela Medika Nusantara


Objektif Presentasi :
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan : Mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat sesuai dengan penyakit
yang dialami pasien
Bahan Bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Membahas Diskusi Presentasidan diskusi Email Pos

Data Nama :An. NRD/50thn No. Reg :


Pasien Alamat : Kebun Gunung Para 57.85.06
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Status Perkawinan : -
Nama RS : RS Sri Pamela Medika Nusantara Telp : Terdaftar Sejak:
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Deskripsi :
Keluhan Utama : Nyeri dada
Hal ini dialami pasien sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan seperti
tertindih beban berat, menjalar ke bahu kiri. Nyeri dirasa seperti menembus ke belakang(-).
Durasi nyeri dirasakan lebih dari 30 menit. Nyeri tidak hilang dengan istirahat. Sesak
nafas(-), terbangun malam hari karena sesak nafas(-), batuk(-), mual(-), muntah(-), keringat
dingin(-). Demam(-), BAK dan BAB dalam batas normal.
3. Riwayat Kesehatan/penyakit : -
4. Riwayat Keluarga : -
5. Riwayat Pekerjaan : -
Hasil Pembelajaran
1. Anatomi dan Histologi Pembuluh Darah Koroner
1. Definisi IMAEST
2. Patofisiologi IMAEST
1. Subjektif :

Deskripsi : Nyeri dada


- Hal ini dialami pasien sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan
seperti tertindih beban berat, menjalar ke bahu kiri. Nyeri dirasa seperti menembus ke
belakang(-). Durasi nyeri dirasakan lebih dari 30 menit. Nyeri tidak hilang dengan
istirahat. Sesak nafas(-), terbangun malam hari karena sesak nafas(-), batuk(-),
mual(-), muntah(-), keringat dingin(-). Demam(-), BAK dan BAB dalam batas
normal.
- Riwayat penyakit terdahulu : -
- Riwayat Obat-obatan : -

2. Objektif :
Keadaan Umum : Compos mentis
Vital sign :
 TD = 100/80 mmHg
 HR = 58 x/i
 RR = 20x/i
 T = 36.6 ºC
A. Status Generalis.
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), palpebra edema (-/-) ptosis
(-/-), pupil isokor (+/+)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Wajah : Edema (-)
Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-),pembesaran kelenjar tyroid (-),
peningkatan JVP (-), deviasi trakea (-)
Thoraks
Inspeksi : Simetris kanan = kiri, gerakan dada tertinggal (-), iktus kordis (-),
retraksi (-), pelebaran sela iga (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan dada (-), tidak teraba massa
dan tidak teraba iktus kordis
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepar dalam batas normal,
batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Suara pernafasan bronkial, suara tambahan : ronki basah saat ekspirasi
(-), bunyi jantung I/II reguler, murmur(-), bising(-).

Abdomen
Inspeksi : Dinding perut tampak lebih tinggi dari dari dinding dada,, pergerakan
Dinding perut simetris
Palpasi : supel pada seluruh regio perut
Perkusi : Timpani, Nyeri ketok kuadran kanan bawah (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+), kesan normal, tidak ada bising aorta abdominalis
Genitalia : Perdarahan (-), Massa(-)
Ekstremitas : Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-), deformitas (-)
  Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), deformitas (-)
B. Pemeriksaan laboratorium:

Darah Rutin, 20 Februari 2020


Pemeriksaan Unit Hasil Normal
HB gr % 14.2 12.0 - 16.0
Trombosit ribu/mm3 220 150 - 450
Eritrosit juta/mm3 4.31 3.8 – 5.8
Leukosit 10º/mm3 8.60 4000-10.000
MCV Fl 90 80-97
MCH Pg 29.8 26.3-33.5
MCHC g/dL 33.2 31.5-35.0
KGD mg/dl 174 <200

EKG, 20 Februari 2020


Kesimpulan: Sinus rythm, rate:58x/i, normoaxis, ST elevasi pada sadapan II, III, dan aVF.
3. Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis
kasus ini adalah: Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMAEST) inferior
4. Penatalaksanaan
 Terapi
 Diet : MB
 Medikamentosa
 O2 2-5 lpm
 IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
 Loading clopidogrel 75mg 4tab
 Loading aspilet 80mg 2tab

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian yang paling utama di


dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2016, tercatat 17,9
juta kematian setiap tahun di seluruh dunia, disebabkan oleh penyakit jantung iskemik
dan stroke. Penyakit ini tetap menjadi penyebab utama kematian secara global dalam
15 tahun terakhir.1
Menurut data American Heart Association (AHA) tahun 2016, penyakit
kardiovaskuler merupakan penyakit yang mendasari penyebab kematian di Amerika
Serikat. Tercatat sebanyak 840.678 kematian atau setara dengan 1 dari 3 kematian di
Amerika Serikat.2
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular
sebagai manifestasi klinis dari sindrom koroner akut (SKA). Salah satu pembagian
sindrom koroner akut adalah Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST
(IMAEST), yang merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner .3
Infark miokard merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Berdasarkan diagnosis dokter pada
penduduk semua umur, sebesar 1,5% diperkirakan sekitar 1.017.290 orang atau 15
dari 1.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2018 menderita penyakit jantung
koroner. Sedangkan jika dilihat dari penyebab kematian tertinggi di Indonesia,
menurut Survei Sample Registration System tahun 2014 menunjukkan 12,9%
kematian akibat penyakit jantung koroner. Prevalensi penyakit jantung berdasarkan
terdiagnosis dokter tertinggi menurut provinsi yaitu Kalimantan Utara (2,2%) pada
urutan pertama, disusul
Gorontalo dan DI Yogyakarta sebesar 2,0 persen, lalu disusul Sulawesi Tengah dan
DKI Jakarta sebesar 1,9 persen. Prevalensi di Sumatera Utara sendiri sekitar 1,3%
dengan prevalensi tertinggi pada penderita usia di atas 75 tahun.
Berdasarkan data-data tersebut, pasien IMA membutuhkan perawatan yang lama
dan pengobatan yang terfokus. Upaya terus - menerus sedang dilakukan untuk
mengembangkan strategi pencegahan untuk penyakit IMA. Oleh sebab itu,
dilakukanlah stratifikasi risiko yang bertujuan untuk menentukan strategi penanganan
selanjutnya baik konservatif atau intervensi segera. Stratifikasi risiko juga berperan
penting dalam membantu prediksi luaran klinis atau sebagai prognosis pada pasien
sindrom koroner akut, seperti pada paparan skor risiko TIMI. Skor resiko TIMI
digunakan untuk menentukan resiko mortalitas pasien IMAEST.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PEMBULUH DARAH KORONER

2.1.1 Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi pembuluh darah koroner.5

Walaupun jantung memompa darah ke seluruh tubuh, jantung tidak menerima


nutrisi dari darah yang dipompanya. Nutrisi tidak dapat menyebar cukup cepat dari
darah yang ada dalam bilik jantung untuk memberi nutrisi semua lapisan sel yang
membentuk dinding jantung. Untuk alasan ini, miokardium memiliki jaringan
pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi koroner .5
Sirkulasi koroner memiliki dua cabang besar yaitu arteri koroner kanan dan arteri
koroner kiri. Pada gambar 2.1 dapat dilihat arteri koroner kanan berasal dari sinus
janterior aorta berjalan ke depan antara truncus pulmonalis dan auricula kanan,
kemudian bercabang menjadi right posterior descending artery dan acute marginal
artery, arteri - arteri ini mensuplai darah ke ventrikel kanan, atrium kanan jantung dan
sinoatrial node (sekelompok sel di dinding atrium kanan yang mengatur laju irama
jantung). Arteri koroner kiri, terbagi menjadi left anterior descending artery dan
circumflex artery, arteri - arteri ini mensuplai darah ke ventrikel kiri dan atrium kiri
jantung.
Adapun tambahan 2 cabang arteri koroner utama yang mensuplai darah ke otot
jantung, yaitu :
1. Circumflex Artery
Circumlex artery adalah cabang dari arteri koroner kiri dan mengelilingi
otot jantung.Arteri ini mensuplai darah ke bagian belakang jantung.
2. Left Anterior Descending Artery
Left anterior descending artery adalah cabang dari arteri koroner kiri dan
mensuplai darah ke bagian depan jantung.

2.1.2 Histologi

Struktur dan komposisi umum dari pembuluh darah hampir sama pada seluruh
sistem kardiovaskular. Komposisi dari dinding pembuluh darah adalah Extracellular
Matrix (ECM) yang mempunyai kandungan elastin, kolagen, dan
glycosaminoglycans. Dinding pembuluh darah terdiri atas tiga bagian yaitu tunika
intima, tunika media, dan tunika adventisia. Batas antara tunika intima dan tunika
media disebut lamina elastika interna, dan batas antara tunika media dan tunika
adventisia adalah lamina elastika externa. Pada arteri yang normal tunika intima
terdiri atas monolayer cells dan ECM yang dikelilingi oleh jaringan ikat, serat saraf,
dan pembuluh darah kecil dari adventisia. Tunika media mendapatkan nutrisi dan
oksigen dari lumen pembuluh darah.6

Pembuluh darah terdiri atas lapisan-lapisan sebagai berikut:

a. Tunika intima (Tunika interna)


Terdiri atas :
 Lapisan endotelium yang terdiri dari epitel pipih selapis yang
membatasi permukaan dalam pembuluh.
 Lapisan subendotelium, yang terletak di bawah endotelium, yang
terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung sel otot polos yang
berperan untuk kontraksi pembuluh darah.
b. Tunika media
Terdiri atas :
 Terdiri dari sel-sel otot polos yang tersusun melingkar (sirkuler).
 Pada arteri, tunika media dipisahkan dari tunika intima oleh suatu
membrana elastik interna. Membran ini terdiri atas elastin, berlubang-
lubang sehingga zat-zat dapat berdifusi melalui lubang-lubang yang
terdapat dalam membran dan memberi makan sel-sel yang terletak
jauh di dalam dinding pembuluh.
 Pada pembuluh besar, sering ditemukan membrana elastika externa
yang lebih tipis yang memisahkan tunika media dari tunika adventisia
yang terletak di luar.
c. Tunika adventisia
 Terdiri atas jaringan penyambung dengan serabut-serabut elastin.
 Pada pembuluh yang lebih besar, vasa vasorum (pembuluh dalam
pembuluh) bercabang-cabang luas dalam tunika adventisia.
d. Vasa vasorum
Memberikan metabolit-metabolit untuk tunika adventisia dan tunika media
pembuluh-pembuluh besar, karena lapisan-lapisannya terlalu tebal untuk
diberi makanan oleh difusi dari aliran darah.
2.1.3 Sirkulasi

Aliran darah koroner (Coronary blood flow) yang normal adalah rata-rata sekitar
225 mililiter/menit, dimana jumlah ini sekitar 4-5% dari jumlah curah jantung total.
Selama aktivitas berat, jantung orang dewasa muda meningkat curah jantungnya
menjadi 4-7 kali lipat dan memompa darah melawan tekanan arteri yang lebih tinggi
dari normalnya. Akibatnya, kerja jantung dalam kondisi yang berat meningkat 6-9
kali lipat. Pada waktu yang sama, aliran darah koroner meningkat 3-4 kali lipat untuk
menyuplai nutrisi yang dibutuhkan jantung lebih banyak, tetapi ini tidak sebanding
dengan kerja jantung yang meningkat dimana berarti rasio energi yang dikeluarkan
jantung dengan aliran darah koroner meningkat. Jadi, energi yang digunakan oleh
jantung meningkat dan tidak sebanding dengan suplai darah yang relatif kurang.5

Gambar 2.2 Diagram vaskularisasi jantung pada lapisan epikardial, intramuskular, dan
subendokardial.5

Nutrisi tidak dapat berdifusi cukup cepat dari darah di ruang jantung untuk
menyuplai seluruh lapisan sel yang menyusun dinding jantung. Alasan inilah yang
membuat miokardium mempunyai jaringan pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi
aliran darah koroner. Aliran darah koroner yang melewati ventrikel kiri menurun
sampai jumlah yang minimal ketika otot jantung berkontraksi karena pembuluh darah
kecil, terutama di daerah miokardium terkompresi oleh kontraksi otot
jantung. Aliran darah pada arteri koroner kiri selama fase sistol hanya 10-30 % dari
jumlah darah ketika fase diastol dimana otot jantung mengalami relaksasi dan banyak
aliran darah terjadi. Efek kompresi dari sistol pada aliran darah koroner sangat kecil
pada atrium kanan sebagai akibat dari tekanan ventrikel yang lebih rendah sehingga
kompresi pada arteri koronernya sangat sedikit. Perubahan aliran darah koroner
selama siklus jantung pada orang yang sehat tidak terlalu berdampak walaupun
sewaktu aktivitas berat.5

Berbeda dengan orang yang memiliki gangguan pada arteri koroner, sedikit
peningkatan denyut jantung yang mengurangi waktu diastol, akan mengganggu aliran
darah koroner. Otot jantung mendapat perfusi nutrisi dari permukaan epikardial (luar)
ke permukaan endokardial (dalam). Selama sistol, gaya kompresi lebih berefek pada
aliran darah koroner pada lapisan miokardium dimana gaya kompresi lebih tinggi dan
tekanan pembuluh darah jantung lebih rendah sehingga aliran darah koroner bagian
miokardium menurun. Tetapi pembuluh darah besar pada pleksus subendokardial
yang normal dapat mengompensasi hal tersebut.

Menurut Guyton & Hall, ada beberapa hal yang mempengaruhi aliran darah
koroner, yaitu :

1. Hasil metabolisme dari otot lokal


Aliran darah yang melalui sistem koroner diregulasi oleh vasodilatasi arteriol
lokal sebagai respon dari kebutuhan otot jantung akan nutrisi. Ketika
kebutuhan akan nutrisi meningkat, maka akan terjadi vasodilatasi arteri
koroner untuk mencukupi kebutuhan itu.
2. Kebutuhan akan oksigen
Aliran darah koroner diregulasi juga oleh proporsi kebutuhan oksigen.
Normalnya, sekitar 70% oksigen pada darah arteri koroner dipakai oleh otot
jantung ketika istirahat dan meningkat atau menurun seiring dengan aktivitas
yang dilakukan. Dengan meningkatnya aktivitas yang tidak diimbangi oleh
suplai oksigen, berbagai substansi, seperti adenosin, ATP, ion kalium, ion
hidrogen, karbon dioksida, bradikinin, prostaglandin, dan nitrit oksida,
terlepas dan menyebabkan vasodilatasi arteri koroner.
3. Kontrol sistem saraf otonom
Pengaktifan sistem saraf simpatis menyebabkan pelepasan norepnefrin dan
epinefrin dan merangsang reseptor α sehingga meningkatkan kontraksi dan
denyut jantung. Itu menyebabkan peningkatan hasil metabolisme otot jantung
dan mengaktifkan mekanisme regulasi oleh hasil metabolisme dan
menyebabkan vasodilatasi. Sebaliknya, pengaktifan sistem parasimpatis
menyebabkan pengeluarkan asetilkolin dan merangsang reseptor β sehingga
menurunkan kontraksi dan denyut jantung. Itu menyebabkan penurunan hasil
metabolisme otot jantung dan menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner.

2.2 INFARK MIOKARD AKUT ELEVASI SEGMEN ST (IMAEST)

2.2.1 Definisi

Sindroma yang didefinisikan oleh gejala karateristik dari iskemik miokard


dimana pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) menunjukkan elevasi segmen ST dan
keluarnya biomarker yang merupakan hasil dari nekrosis miokard.

IMAEST merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri


koroner. Keadaan ini membutuhkan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya, baik secara medikamentosa dengan
agen fibrinolitik
atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan primer.3

2.2.2 Patofisiologi

Gambar 2.3 'Coronary Heart Disease Pathophysiology7

IMAEST umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMAEST
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. IMAEST terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.7
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur
jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMAEST gambaran
patologik klasik terdiri dari trombus merah kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga IMAEST memberi respons terhadap terapi trombolitik.7
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, serotonin,
epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens
asam amino pada protein adesi yang larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di
mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang
berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi
thrombin, yang kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari
agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, IMAEST dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.7

2.2.3 Diagnosis

2.2.3.1 Anamnesis

Diagnosa IMAEST menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan ada penyakit aterosklerosis non koroner, diketahui mempunyai PJK
dan atas dasar pernah mengalami infark miokard / bedah pintas koroner / IKP,
mempunyai faktor risiko (umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, DM, riwayat PJK
dini dalam keluarga). Keluhan pasien dengan iskemik dapat berupa nyeri dada yang
tipikal seperti rasa terbakar, tertekan atau berat pada daerah retrosternal, dan menjalar
ke lengan kiri, leher, rahang, area inters kapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten atau persisten (lebih dari 20 menit). Keluhan sering
disertai mual atau muntah, nyeri abdominal, sesak napas, sinkop dan diaphoresis.
2.2.3.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan gejala yang sedang berlangsung biasanya berbaring diam di tempat
tidur dan pucat dan mengeluarkan keringat. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai :
a) Umum : kecemasan, sesak, keringat dingin, tekanan darah < 80 - 90 mmHg,
HR : takikardia, RR meningkat, suhu badan tinggi dalam 24 - 48 jam.
b) Leher : normal atau sedikit peningkatan TVJ.
c) Jantung : S1 lemah, S4 dan S3 gallop, keterlambatan pengisian kapiler.
d) Paru : mengi dan rongki bila terdapat gagal jantung.
e) Ekstremitas : normal atau dingin.

2.4.2.2 Elektrokardiografi

Diagnosis pada IMAEST ditegakkam berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi


segmen ST > 1 mm pada sadapan ekstremitas dan > 2 mm pada sadapan prekordial.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard
gelombang
Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan
banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut
biasanya mengalami angina pektoris tak stabil atau IMANEST. Gelombag yang
diukur EKG merupakan hasil dari pola kontraksi dan relaksasi dari berbagai bagian
jantung. Gelombang khusus yang terlihat dalam EKG dinamakan dengan huruf,
yaitu:8
a) Gelombang P, berhubungan dengan kontraksi atrium
b) Gelombang QRS, berhubungan dengan kontraksi ventrikel
c) Gelombang T dan U, gelombang yang mengikuti kontraksi ventrikel
d) Gelombang ST yang elevasi mencemirkan arteri di jantung tersumbat dan
mengalami ketebalan.
Gambar 2.4 Elevasi segmen ST pada infark miokard.8

2.2.3.3 Biomarker

Pertanda (biomarker) kerusakan jantung yang dianjurkan untuk diperiksa adalah


creatine kinase- muscle/brain (CK-MB) dan troponin I/T dan dilakukan secara serial.
Troponin T harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien IMAEST yang
disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CK-MB. Dijumpai adanya hubungan yang bermakna (p<0,05) antara
nilai troponin T

> 0,1 ng/mL dengan terjadinya kerusakan otot jantung pada penderita SKA.9
a) CK-MB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
b) Troponin T : enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan masih dapat dideteksi setelah 5-14
hari.
c) Pemeriksaan lainnya : mioglobin, creatinine kinase dan lactic
dehidrogenase.
Gambar 2.5 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung.10

2.2.4 Penatalaksanaan

2.2.4.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal

Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak
harus diberikan semua atau bersamaan.3
1. Tirah baring.
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
oksigen arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a) Ticagrelor dengan dosis awal yang dianjurkan adalah 180 mg,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari, kecuali pada
pasien IMAEST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik.
Atau
b) Clopidogrel dengan dosis awal adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP
yang dianjurkan adalah clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbide dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

2.2.4.2 Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat


disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien IMAEST
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran
terapi reperfusi pada pasien IMAEST adalah door-to-needle (atau medical contact-to-
needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau
door- to balloon (atau medical contact-to-balloon) time.11
Seleksi strategi reperfusi
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, antara
lain:12
1. Waktu onset gejala
Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark
dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus
sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama
(terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara
dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi
paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa
laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju
mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala.
2. Risiko IMAEST
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien IMAEST. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis
sangat tinggi, seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukkan
strategi PCI lebih baik.
3. Risiko perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia,
manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI
dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point
kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas PCI
terutama dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal berulang.
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi
pada IMAEST jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih
efektif daripada fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik.
Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau
3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya terbatas berdasarkan
tersedianya sarana, hanya di beberapa RS.
Fibrinolisis
Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.
Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan
cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan
nonspesifik fibrin seperti streptokinase.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 (menunjukkan perfusi
pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal), karena perfusi penuh pada
arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju
mortalitas jangka pendek dan panjang.
tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK lebih
efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner
TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
5. Obat fibrinolitik
Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin.
Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi sering ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakkkranial yang rendah.
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial menunjukkan
penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA disbanding
SK. Namun harganya lebih mahal dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit
lebih tinggi.
Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih
mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas
fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10 B
menunjukkan TNKase memiliki laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang
sama dibandingkan dengan tPA.

2.2.4.3 Terapi Farmakologis


1. Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan
tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada
IMAEST. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah
unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen
aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan memantapkan
dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan
adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam
(maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali. Antikoagulan alternatif pada pasien IMAEST adalah low-molecular-weight
heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis
penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS.
2. Penyekat beta (Beta-blocker)
Manfaat penyekat beta pada pasien IMAEST dapat dibagi menjadi: yang
terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang
jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat
beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia
ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca IMAEST bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat
menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca IMAEST dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian
SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat
maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global),
namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan
pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada IMAEST (pasien dengan tekanan
darah sistolik >100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark
berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca
infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien IMAEST.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti
klinis gagal jantung, pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif.
Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian
pada pasien IMAEST menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien
dengan fungsi ventrikel kiri menurun.

2.2.5 Komplikasi dan Prognosis


IMA dapat memberikan komplikasi seperti aritmia (takiaritmia, bradiaritmia),
disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis dan
lain-lain.
Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien infark
dengan ST elevasi, yakni:13

Faktor risiko (bobot) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)

Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3) 0(0,8) / 1(1,6)


DM/HT/angina (1) 2(2,2)
SBP<100 (3) 3(4,4)
HR >100 (2) 4(7,3)
Klasifikasi killip II-IV (2) 5(12,4)
Berat <67 kg (1) 6(16,1)
ST elevasi anterior atau LBBB (1) 7(23,4)
Waktu ke reperfusi >4jam (1) 8(26,8)
(skor maksimum 14 poin) >8(35,9)

Tabel 2.1 Skor resiko TIMI13


DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, 2016, ‘Cardiovascular Disease (CVDs)’, Available at :Xu,


R.Y. et al., 2013, ‘High-sensitive cardiac troponin T’, Journal of Geriatric Cardiology.
Accessed 12 May 2019. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3627711/

2. American Heart Association (AHA), 2015, ‘Heart and Stroke Statistics’, accessed 11 May
2019. Available at : https://www.heart.org/en/about-us/heart-and-stroke- association-statistics

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2018, 'Pedoman Tata Laksana


Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat', pp. 36–37.

4. Morrow DA, Antman EM, Parsons L, De Lemos JA, Cannon CP, Giugliano RP, et al.
'Application of the TIMI risk score for ST-elevation MI in the National Registry of
Myocardial Infarction 3'. J Am Med Assoc. 2001;286(11):1356-9.

5. Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012, ‘Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition’,
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

6. Robbins, et al., 2007, ‘Buku Ajar Patologi’, Vol. 2., Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7. Satoto, H. H. 2014, 'Coronary Heart Disease Pathophysiology', Jurnal Anestesiologi


Indonesia, vol. VI, no. 3, p. 209

8. Leonard, Lilly S., Jung, H., Lin, K.Y., Come, P.C., 2011, ‘Acute Coronary Syndrome’,
Pathophysiology of Heart Disease 5th Edition A Collaborative Project of Medical Students
and Faculty, pp. 44-73.

9. Hasan, H., Tarigan, E., 2005, ‘Hubungan Kadar Troponin T dengan Gambaran Klinis
Penderita Sindroma Koroner Akut’, Universitas Sumatera Utara

10. Bertrand, M.E., et al., 2002, ‘Management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation’, European Heart Journal, Vol.23, Issue
23, pp.1809–1840.

11. Alwi, I., 2014, ‘Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST’ Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, 6𝑡ℎ edn, eds. A.W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata & S. Setiati, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

12. Santoso M. & Setiawan T., 2005, ‘Penyakit Jantung Koroner’, Cermin Dunia Kedokteran,
Vol. 147, 5-9.

13. Alitu M., Jim E., Joseph V., 2018, 'Hubungan Framingham Risk Score dengan Derajat
TIMI Risk Score pada Pasien Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST di RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Periode Januari-September 2018', Jurnal e-Clinic, Vol.6, no.2, p.142-146.

Anda mungkin juga menyukai