Anda di halaman 1dari 35

CASE REPORT SESSION

EDEMA PARU AKUT

Oleh :
dr. Angeline Fenisenda
dr. Diah Paramita Sari
dr. ‘Izzaty A.H
dr. Malahayati Hasan
dr. M. Rachmat Budiman
dr. Siska Sarwana
dr. Sunny Cheryline

Pembimbing:
dr. Mangiring P.L.Toruan, Sp.JP

Pendamping:
dr. M. Rizki Desmadia
dr. Karina

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA PALEMBANG


KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kepda Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
ini dengan judul “Edema Paru Akut”. Laporan kasus ini merupakan bagian dari tugas
selama menyelesaikan masa Internship di RS Bhayangkara Palembang.

Terwujudnya laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, maka sebagai ucapan terima kasih saya kepada dr.
Mangiring P.L Toruan, Sp.JP selaku pembimbing dan dr. M. Rizki Desmadia dan dr.
Karina yang telah memberikan arahan sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan
bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Palembang, Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Edema paru akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paru-paru yang


terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edem paru non cardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia. Pada sebagian besar edem paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas tanpa adanya gangguan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun
demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari
kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. Edema paru akut adalah
suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi 1

Edema paru akut adalah manifestasi klinis kedua tersering dari sindrom gagal
jantung akut. Terlebih, gambaran profil klinis diantara penderita sindrom gagal
jantung cenderung overlapping atau saling tumpang tindih dan/atau tampilan yang
membingungkan dari penyakit-penyakit non kardiak menyebabkan ketidakakuratan
dalam menegakkan kasus edema paru. 2

Keadaan edema paru ini bisa menjadi manifestasi klinis dari gagal jantung
yang mengancam nyawa dan rata-rata kasus kematian terjadi sesaat setelah sampai di
RS. Dari uraian di atas, maka dari itu perlu kiranya pembahasan mengenai edema
paru akut serta penatalaksanannya.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama: Ny. F
Umur: 59 tahun
Jenis kelamin: Perempuan
Pekerjaan: IRT
Alamat: Jl. Danau Tanah Mas
Tanggal MRS: 10/10/2019

2.2 Anamnesis
 Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 minggu dan memberat 2 hari
SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang:

Os datang dengan keluhan sesak sejak 1 minggu SMRS memberat dalam 2


hari ini. Os merasa sesak bertambah berat terutama saat beraktivitas seperti
berjalan dan menghilang dengan istirahat sambil duduk. Sesak dipengaruhi
oleh posisi. Sesak saat istirahat (-) Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca/udara.
Keluhan juga disertai dengan bengkak pada kedua kaki. Os tidur selalu
menggunakan 2 bantal dan kadang terbangun tengah malam karena sesak.
Nyeri dada (-) berdebar-debar (+) demam (-). BAB dan BAK dbn

 Riwayat Penyakit Dahulu dan Faktor Resiko


Riwayat sakit dengan keluhan bengkak dan sesak sebelumnya (+)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat penyakit jantung (+) dengan pengobatan: Spironolakton 25 mg 1x1/2
tab, Bisoprolol 5 mg 1x1/2 tab, Ramipril 1x5 mg, ISDN (k/p), Aspilet 1x80
mg, Dorner 1x1
Riwayat DM (-)
Riwayat kolestrol (-)
Riwayat merokok (-)

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat DM: (-)
Riwayat penyakit jantung: (-)
Riwayat Hipertensi: (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum: tampak sakit sedang
 Kesadaran: compos mentis (GCS 15; E4V5M6)
 Tanda-tanda vital
Tekanan Darah: 150/100 mmHg
Nadi: 79x/menit
Nafas: 30x/menit
Suhu: 36.7°C
SpO2: 89%
Kulit
 Warna: kuning langsat
 Hiperpigmentasi: (-)
 Pertumbuhan rambut: distribusi merata
 Suhu: hangat
 Lembab kering: lembab
 Keringat: umum
 Turgor: baik
 Ikterus: (-)
 Lapisan lemak: sedang
 Edema: kedua tungkai

Kepala & Leher


 Wajah: simetris, edema(-); sianosis (-)
 Mata: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
edema palpebra (-/-), isokor (bulat, 3 mm), refleks cahaya (+/+)
 Mulut: Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), pembengkakan
gusi (-), mukosa buccal anemis (-), faring tidak hiperemis, tonsil
(T1/T1), karies (-)
 Leher: KGB tidak membesar, Kel. Tiroid tidak membesar, JVP 5+2
cmH20

Thorak : Bentuk dada dbn, ginekomastia (-/-)

Paru

 Inspeksi: Pengembangan dada simetris kiri dan kanan, gerak nafas


simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi (-/-)
 Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi: Sonor pada kedua paru
 Auskultasi: Vesikuler menurun di lap paru kiri, ronkhi (+/+), wheezing
(-/-)

Jantung

 Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat


 Palpasi: Ictus cordis teraba, kuat angkat cukup, pada ICS V linea
axillaris anterior sinistra
 Perkusi:
o Batas jantung kiri: ICS V Linea axillaris anterior sinistra
o Batas jantung kanan: ICS IV Linea parasternalis dextra
 Auskultasi: Bunyi jantung I-II regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

 Inspeksi: Tampak cembung, distensi (-)


 Auskultasi: Bising usus (+) normal, bunyi tambahan (-)
 Palpasi: Tegang, nyeri tekan (-); hepar tidak teraba, nyeri tekan (-);
lien tidak teraba; ballottement (-), undulasi (-)
 Perkusi: shifting dullness (-)

Ekstremitas

Superior: akral hangat; CRT < 2s; edema (-/-); sianosis (-/-); clubbing finger
(-/-)

Inferior: akral hangat; CRT < 2s; edema pretibial (+/+); sianosis (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (10/10/2019)
Darah Lengkap
 WBC: 5.6. /uL (5-10.)
 RBC: 3.3. 109/L (4.0-5.0)
 HB: 8.7 g/dl (12-14)
 HCT: 28 %
 PLT: 364.000 /uL (100-300)
Kesan: Anemia
BSS: 103 mg/dl

Kimia Darah (10/10/2019)


Faal Ginjal
 Ureum: 35 mg/dL (15-39)
 Kreatinin: 0.6 mg/dL (0.9-1.3)
Kesan: Fungsi ginjal normal

Pemeriksaan Elektrokardiografi

Interpretasi:
1. Frekuensi: 75x/menit
2. Irama: reguler
3. Sinus Rhytm
4. Gelombang P: Lead 2, 3 kotak kecil  0,12 detik
5. Interval PR: 3 kotak kecil (0,12 detik);
6. Komplek QRS: terdapat RBBB dan VES unifokal
a. Lebar: 2-3 kotak kecil
b. Tinggi: S V1+ R V5/V6= < 35mm
7. Axis: RAD
8. Segmen ST: normal
9. Gelombang T: normal

Pemeriksaan Radiologi

Ro Thorax (10/10/2019)

Hasil:

Jantung kesan membesar

Aorta elongasi. Mediastinum superior tidak melebar


Trakea relatif di tengah. Kedua hilus tidak menebal

Corakan bronkovaskular kedua paru kesan meningkar dengan penebalan


fissure minor dan infiltrate di perihiler kanan

Kedua hemidiafragma licin. Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri tumpul

Tulang-tulang dinding dada yang tervisualisasi optimal, kesan intak

Kesan:

Kardiomegali dengan edema paru

Efusi pleura kiri

Aorta elongasi

2.5 Diagnosis Kerja


Diagnosa primer: Edema paru akut ec CHF
Diagnosis sekunder: Anemia

2.6 Penatalaksanaan
Non Farmakologi
Edukasi:
 Istirahat, posisikan pasien duduk atau setengah duduk
 Hindari konsumsi garam berlebihan
 Batasi jumlah air yang diminum
 Tirah baring

Farmakologis:
 O2 NRM 10 L/menit
 IVFD RL 10 tpm
 Injeksi Furosemid 1x20 mg
 Inj Omeprazole 1x40 mg
 Obat rutin pasien teruskan, kecuali bisoprolol  stop

2.7 Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad malam
Quo ad functionam: dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam

2.8 Follow Up
Tgl Follow up

11 Oktober S Sesak (+), kaki bengkak (+)


2019

O Keadaan umum: Baik


TD: 130/90 mmHg; HR: 83 x/i; RR: 25 x/i; T: 36,5oc
Kepala dan Leher
 Mata: Konjungtiva anemis (+/+)
 Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
 Leher: JVP 5+2 cmH2O
Thorax: Bentuk dada dbn
Paru
 Inspeksi: pengembangan dada simetris kiri dan kanan, gerak
nafas simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi (-/-)
 Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi: vesikuler menurun pada lapangan paru kiri, ronkhi
(+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Bunyi jantung I/II Reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
 Inspeksi: Tampak cembung, distensi (-), parut (-)
 Auskultasi: Bising usus (+), bunyi tambahan (-)
 Perkusi: timpani (+)
 Palpasi: tegang, nyeri tekan (-); hepar tidak teraba lien tidak
teraba; ballottement (-)
Ekstremitas
Superior: Akral hangat; CRT < 2s; edema (-/-); sianosis (-/-)
Inferior: akral hangat; CRT <2s; edema (+/+); sianosis (-/-)

A
Edema paru akut ec CHF

IVFD RL 10 tpm
P
Injeksi Furosemid dan Injeksi Omeprazole  Stop

Diganti: Furosemide tablet 1x1/2 tab

Ramipril 1x5 mg

Spironolakton 1x1/2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perpindahan

1
cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada edema paru terdapat
penimbunan cairan serosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru.

2
Edema yang terjadi akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat.

Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan edema

paru non
-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus darah
maupun produk darah dan cairan lainnya, sedangkan edema paru non-kardiogenik
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca
transplantasi paru dan reekspansi edema paru, termasuk cedera iskemia- reperfusi-

1,3-5
dimediasi.

Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik berbeda,


namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa sehingga menyulitkan dalam

6
menegakkan diagnosisnya. Terapi yang tepat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien
1,3,4,7
dari kerusakan lanjut akibat gangguan keseimbangan cairan di paru.

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris terdapat sekitar 2,1 juta penderita
edema paru yang memerlukan pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di
Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru. Di Jerman
penderita edema paru sebanyak 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup besar
yang perlu mendapat perhatian dari medik di dalam merawat penderita edema paru
secara komprehensif.
Di Indonesia, edema paru pertama kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu
penyakit tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 sudah
mencakup seluruh propinsi di Indonesia. Jumlah kasus meningkat baik dalam jumlah
maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence
rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun
tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun- tahun berikutnya IR cenderung meningkat

2,8
yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun 2002), dan 23,87 % (tahun 2003). Edema
paru kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary edema/ACPE) sering terjadi, dan

9
berdampak merugikan dan mematikan dengan tingkat kematian 10- 20%.

2.2 Patofisiologi
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari cairan dan
protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah melalui

4,5,7
saluran limfe yang memenuhi hukum Starling Q = K (Pc-Pt) - d (c-t).

Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih
banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi cairan

4-7
sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor penentu yang
berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan
interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan molekul besar
seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari faktor-faktor

7
diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru.

Pada edema paru kardiogenik (


volume overload edema) terjadinya peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan intrapleural
maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila
permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan
sirkulasi memiliki kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik ka- piler
paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi
akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25
mmHg). Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan

1,3,7,10,11
osmotik koloid plasma 28 mmHg.

Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh
proses-proses sebagai berikut:

1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya pasokan


oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pul-
monal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui mekanisme
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.

+
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif ion Na

-
dan Cl melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe

+
I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na secara aktif ditranspor keluar ke ruang
insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II.
Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran
10
air pada sel tipe I.

Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal
jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana terjadinya
bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat melemahnya pompa

11
jantung. Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru menyebabkan transudasi cairan ke
dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari
tekanan osmotik koloid plasma. Pada tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan
perivaskular sudah terisi, maka peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi
cairan ke dalam ruang alveoli.

Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik

 Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru tetapi
terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
 Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga cairan dan
koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli, arteriol, dan
venula.
 Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveoli
pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus:

1. Ketidakseimbangan “Starling Force”


a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai
melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada
manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12
mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis
mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler
paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema
paru overperfusi)
b. Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan
tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia
akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan
konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah
diantara sistem kapiler dan limfatik.
c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan
yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan
pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut „edema
paru re-ekspansi‟. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari
gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus
yang menjadikan „edema paru re-ekspansi‟ ini berat dan membutuhkan tatalaksana
yang cepat dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan
nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).

2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress


Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan
alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan
dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan
„Starling Force‟.
 Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
 Terisap toksin (NO, asap)
 Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
 Aspirasi asam lambung
 Pneumonitis akut akibat radiasi
 Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
 Dissemiated Intravascular Coagulation
 Immunologi: pneumonitis hipersensitif
 Pankreatitis hemoragik akut
3. Insuffisiensi sistem limfe
 Pasca transplantasi paru
 Karsinomatosis, limfangitis
 Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
 Edema paru neurogenik
 Overdosis obat narkotik
 Emboli paru
 Eklamsia
 Pasca anastesi
 Post cardiopulmonary bypass

2.4 Etiologi
Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas

8
kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Pada keadaan normal terdapat keseimbangan tekanan onkotik (osmotik) dan


hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada
gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi
cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia
pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
terjadi edema paru. Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan
di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam
kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang
teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan
pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat,
kinin, dan histamin.
Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit

dengan hasil akhir kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler

alveolar.
Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak
mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.
Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak

8
adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).

13
Penyebab edema paru kardiogenik ialah:

1. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit katup aorta dan
mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan jantung bawaan (paten duktus
arteriosus, ventrikel septal defek)
2. Volume overload
3. Obstruksi mekanik aliran kiri
4. Insufisiensi limfatik, yang terjadi akibat lanjutan transplantasi paru, karsinomatosis
limfangi- ektasis, atau limfangitis fibrosis

2.5 Gambaran Klinis


Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak napas
yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan riwayat sakit
jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus
edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah
jambu.
Gejala-gejala umum lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat
merasa sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat
(takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia)
mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-
suara paru yang abnormal, seperti ronki atau crakles.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, yaitu:

1. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan
adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral denganpola butterfly,
gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di
interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa
pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai

1,3
dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.

2. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri, pembesaran

3
ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.

3. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari ventrikel

3,13
kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.

4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu menegakkan


diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic peptide (BNP) di dalam
darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml

13,15,16
dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.

5. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO 2 dan PCO2 pada

keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO 2 semakin menurun

sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan

1,3,13
asidosis respiratorik.

pw
6. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P (pulmonary capillary wedge pressure)
melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien edema paru

pw
kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada pasien ARDS P 0-18

3,13
mmHg.
7. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema
dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan cairan
edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada
edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding
plasma (rasio <0,6). Pada edema paru non- kardiogenik konsentrasi protein cairan edema

14
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular ber- kurang.

2.6 Diagnosis
Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik bisa
serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan dari kedua
jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.1 Tabel 1 memperlihatkan perbedaan edema
paru kardiogenik dan non-kardiogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
2.7 Penatalaksanaan
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu

3
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan utama
meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi
paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus

1,13
diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan.

Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi

1,13
cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pertimbangan awal ialah
dengan evaluasi klinis, EKG, foto toraks, dan AGDA.

 Suplementasi oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi

susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun

terjadinya syok.
Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi
yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan,
mengoptimalisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta mengurangi

13
overdistensi alveolar.

Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker

muka (face mask).


Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu

1,13
pada pasien edema paru kardiogenik. Penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan

17
akan intubasi dan angka mortalitas.
Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi non- invasif

dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolik meningkat lebih cepat daripada terapi

oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas jangka pendek.18


Ventilasi non-
invasif dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi endotrakeal dan kematian pada

19
pasien dengan edema paru akut kardiogenik.

P
enggunaan CPAP dan non-invasive positive pressure ventilation (NPPV) pada
edema paru akut kardiogenik. Kedua teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for
endotracheal intubation (NETI) dan kematian dibandingkan standard medical therapy (SMT),
serta tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP dianggap sebagai
intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik bahkan pada
pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih mudah untuk

20
diimplementasikan dalam praktek klinis. Intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik
dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang berat.

Obat-obatan yang menurunkan preload

Nitrogliserin (NTG) dapat menurun- kan preload secara efektif, cepat, dan efeknya
dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis rendah

1,13
(20μg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal 200μg/menit).

Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu:


diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari pada

1,13
keadaan yang ringan hingga 0,5-1 mg/kgBB/IV secara infus pada keadaan yang berat.

Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3 mg secara intra

1,13
vena dan dapat diberikan berulang.

Obat-obatan yang menurunkan afterload

Angiotensin-converting enzyme inhi- bitors (ACE inhibitors) menunurunkan after


load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian secara intra vena
(enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien.
Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka

1,13
mortalitas.

Obat-obatan golongan inotropik

Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik yang

1,13
mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 μg/kg/menit atau dopamin 3-20 μg/kg/menit.

Menurut Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Lanjut, Tatalaksana edema paru akut:22

Masalah pompa dapat timbul pada tekanan darah rendah atau tinggi. Tinggi rendahnya

tekanan darah sangat menentukan pilihan obat yang akan dipakai. Bila terlalu tinggi harus

diturunkan dan dinaikkan apabila terlalu rendah.

Ada tiga tindakan untuk mengatasi edema paru akut

Tindakan pertama:
I.

Posisikan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan


kapasitas vital paru, mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan

aliran darah vena balik ke jantung

Pasang sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 15 L/menit (target



SpO2>90%) berikan bersamaan dengan pemasangan akses IV dan monitor

EKG

Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun alat


pemantauan SpO2 ini kurang akurat apabila terk=jadi penurunan perfusi

perifer. Oleh karea itu dianjurkan melalukukan pemeriksaan analisis gas

darah untuk pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa

Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end-expiratory pressure) dapat


diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas

Berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung napas-sungkup muka untuk


menggantikan sungkup muka non-rebreathing bila terjadi hipoventilasi

Vontinuous positive airway pressure diberikan pada pasien bernapas spontan


dengan sungkup muka atau pipa endotrakea

Nitrogliserin/Nitrat SL paling efektif untuk mengurangi edema paru karena


obat ini bekerja dengan mengurangi preload. Berikan tablet atau spray

sublingual yang dapat diulangi setiap 5-10 menit bila TD tetap >90-100

mmHg

Furosemid 0,5-1 mg /KgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5 menit

di mana terjadi venodilatasi, sehingga aliran balik ke jantung dan paru


berkurang (mengurangi preload). Efek kedua adalah sebagai diuretic yang

mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Keefektifan furosemide tidak

harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin

diminum sebelumnya, maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit

belum didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal. Dosis

lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan/atau fungsi ginjal terganggu

Morfin sulfat dienerkan dengan NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila tekanan

darah sistolik >100 mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pilihan pada

edema paru. Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi

aliran darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian

ventrikel kiri (preload) dan mempunyai efek vasodilator ringan, sehingga

afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin dapat menurunkan laju napas

Tindakan kedua
II.

Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka tidak

diperlukan pemeriksaan tambahan, karena menurun tingkat kegawatannya,

khususnya bila normotensi. Dilanjutkan pemberian nirogliserin IV 10-

20µg/menit dengan tetap memantau tekanan darah. Nitropruside IV 0,5-

5µg/kgBB/menit diberikan bila edema paru disertai tekanan darah yang


tinggi

Dopamin 2-20µg/kgBB/menit IV bila TD 70-100 dengan syok


Dobutamin 2-20µg/kgBB.menit IV bila hipotensi tanpa syok


Tindakan ketiga
III.

Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil yang

memadai atau terdapat komplikasi spesifik

Perlu dilakukan monitor hemodinamik invasive dengan fasilitas spesialistik


Pertimbangkan IABP dilanjutkan PCI atau bedah pintas koroner


BAB IV
ANALISA KASUS
Sesak napas dapat dibagi menjadi dua menurut asalnya, yaitu paru dan ekstra
paru. Sesak yang berasal dari ekstra paru contohnya jantung, ginjal dan penyakit
metabolik. Sesak yang berasal dari paru biasanya timbul disertai batuk, cuaca, faktor
pencetus (allergen) dan riwayat keluarga sedangkan sesak yang berasal dari luar paru
tidak disertai batuk namun sesak timbul bergantung aktifitas, waktu dan posisi. Pada
pasien ini dilakukan anamnesis secara autoanamnesis, didapatkan pasien mengalami
sesak sejak 1 minggu memberat dalam 2 hari terakhr. Sesak nafas timbul terutama
bila pasien beraktifitas seperti berjalan atau naik tangga. Pasien juga mengeluhkan
sesak pada malam hari sehingga sering terbangun saat malam dan tidur menggunakan
2 bantal. Sesak dipengaruhi posisi, namun tidak dipengaruhi cuaca, tidak disertai
batuk, tidak ada riwayat alergi sebelumnya dan tidak terdengar mengi saat sesak
timbul.

Pada pemeriksaan fisik pasien ini, didapatkan tekanan darah 150/100, nadi
77x/menit, respirasi 30x/menit, peningkatan JVP 5+2cm H 2O. Pada pemeriksaan
jantung, ictus cordis teraba di ICS V linea axillaris anterior sinistra, aukultasi BJ I-II
regular. Pada pemeriksaan paru, tidak didapatkan retraksi, vesikuler menurun di paru
kiri bagian bawah, serta ronkhi di lapangan paru kanan dan kiri. Pada pemeriksaan
abdomen, tidak terdapat pembesaran organ di rongga abdomen, nyeri tekan, ascites.
Pada pemeriksaan ekstremitas, terdapat edema pretibial kedua kaki. Pasien juga
mengatakan adanya riwayat penyakit hipertensi lama dengan pengobatab
Spironolakton, Ramipril, ISDN, Aspilet, Bisoprolol dan Dorner. Pada EKG
ditemukan RAD dan adanya gambaran RBBB serta VES unifokal. Hasil rontgen
thorax menunjukkan adanya edema paru interstitial dan kardiomegali. Keluhan yang
disampaikan, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada
pasien mengarah pada tanda-tanda terjadinya suatu edema paru akut yang disebabkan
oleh gagal jantung.

Gagal jantung dapat ditentukan dengan mengetahui kriteria Framingham yang


terdiri dari kriteria mayor dan minor.2
Pada kasus ini tanda manifestasi mayor yang ditemukan adalah edema paru
akut, kardiomegali, ronkhi paru, PND dan peninggian vena jugularis. Sementara
tanda manifestasi minor pada pasien ini adalah edema ekstremitas, dispneu d’effort
dan efusi pleura. Penegakan kriteria diagnose gagal jantung menggunakan kriteria
Framingham terdiri atas minimal 2 kriteria mayor atau gabungan 1 kriteria mayor dan
2 kriteria minor. Pada pasien kriteria tersebut terpenuhi sehingga tegak diagnosis
edema paru akut ec gagal jantung kongestif.

Penatalaksanaan pada kasus ini meliputi posisikan pasien setengah


duduk/duduk, pemberian oksigen adekuat, restriksi cairan, mempertahankan fungsi
kardiovaskular dan paru. Penatalaksanaan yang telah dilakukan di ruang gawat
darurat terhadap pasien adalah posisikan pasien, pemberian oksigen dengan non
rebreathing mask sebanyak 10 L/menit sambil dipantau oksigen melalui saturasi
oksigen. Pasien datang dengan sesak, respirasi 30x/menit, SpO2: 89%, setelah
pemberian oksigen supplemental dengan NRM, saturasi oksigen perlahan naik
menjadi 96-97%. Setelah itu pasien diberikan Inj Furosemid 1x20 mg, berdasarkan
teori pada pasien edema paru akut dosis Furosemid yang diberikan yaitu 0,5-1
mg/kgBB. Berat badan os 60kg, jadi dosis yang diperlukan 30-60mg dapat diberikan
berkala. Namun di IGD diberikan hanya 1 kali. Kemudian pasien perlu dimonitor, di
IGD monitor hanya dengan alat SpO2, untuk monitor TD,HR,RR tidak ada. Terapi
edema paru akut juga diberikan ISDN SL, pada os diberikan ISDN SL 1x order.
Morfin sulfat juga seharusnya diberikan pada pasien, namun tidak tersedianya morfin
di IGD maka morfin tidak diberikan. Lalu obat-obatan rutin pasien seperti
spironolakton, ramipiril, aspilet, dorner dilanjutkan dan bisoprolol dihentikan.

Pada pasien ini diberikan obat ramipril 5 mg. Ramipril merupakan


penghambat ACE yang menghambat konversi angiotensin I ( Ang I) menjadi
Angiotensin II (Ang II). Penghambat ACE terbukti dapat mengurangi mortalitas dan
morbiditas pada semua pasien gagal jantung. Pada pasien dengan gagal jantung tanpa
retensi cairan, penghambat ACE harus diberikan sebagai terapi awal. Pada pasien
dengan retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretik. 22

Furosemid pada kasus ini digunakan sebagai diuretic. Diuretik merupakan


obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan
(overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer.
Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktifitas fisik. Pada pasien ini, diuretik mengurangi retensi air
dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena, dan tekanan
pengisian ventrikel (preload). Dengan demikian, edema perifer dan kongesti paru
akan berkurang / hilang, sedangkan curah jantung tidak berkurang ( pada fase plateau
kurva Frank-Starling). Pada mereka ini, diuretik diberikan sampai terjadi diuresis
yang cukup untuk mencapai euvolemia dan mempertahankannya. Oleh karena
penggunaan diuretik tidak mengurangi mortalitas pada gagal jantung (kecuali
spironolakton), maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan
penghambat ACE. 22
Penggunaan spironolakton terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah,
karena itu tidak efektif untuk mengurangi volume. Obat ini digunakan untuk
mengurangi pengeluaran K atau Mg oleh ginjal dan/atau memperkuat respons
diuresis terhadap obat lain. 22

Nitrat mempunnyai kegunaan untuk menurunkan kebutuhan dan


meningkatkan suplai oksigen dengan cara mempengaruhi tonus vaskular. Nitrat
menimbulkan vasodilatasi sehingga terjadi pengumoulan darah pada vena perifer dan
dalam splanknikus. Venous pooling ini menyebabkan berkurangnya aliran balik darah
ke dalam jantung, sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan (preload)
menurun. Dengan cara ini, maka kebutuhan oksigen miokard akan menurun. 22

Aspirin digunakan untuk mencegah trombus koroner dan trombus vena dalam
berdasarkan efek penghanbaran agregasi tombosit. Laporan menunjukkan bahwa
dosis aspirin kecil yang diminum tiap hari dapat mengurangi insiden infark miokard
akut, steoke dan kematian pada pasien angina tidak stabil. 22

Dorner merupakan beraprost sodium (BPS) yang termasuk analog


prostacyclin (PGI2) yang stabil. BPS bertindak dengan mengikat reseptor membrane
PGI2 dan menghambat pelepasan Ca2+ dari intraseluler. Efek ini menyebabkan
relaksasi sel otot polos dan vasodilatasi. BPS juga telah disarankan untuk
meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler melalui pengurangan deformabilitas sel darah
merah. BPS juga meringankan thrombosis vascular dengan menghambat agregasi
trombosit. Melalui efek vasodilator dan antiplatelet ini, BPS menjadi agen yang
efektif dalam perawatan pasien dengan hipertensi pulmonal, penyakit Buerger, dan
arteriosclerosis obliterans. 23

Beraprost sodium cocok untuk pemberian oral karena strukturnya yang stabil
(kerangka cyclo-pentabenzofuranyl). Waktu paruh adalah 45 menit dalam keadaan
puasa dan berlangsung 3–3,5 jam saat dikonsumsi setelah makan. Seperti analog
prostasiklin lainnya, beraprost menghasilkan vasodilatasi, penghambatan agregasi
platelet, dan penghambatan proliferasi sel otot polos. Pemberian beraprost akut pada
pasien dengan hipertensi pulmonal telah terbukti menyebabkan vasodilatasi paru
ketika digunakan sendiri atau kombinasi dengan nitrat oxide inhalasi. Dua studi
retrospektif terbaru menunjukkan bahwa pemberian beraprost oral menginduksi
perbaikan hemodinamik yang tahan lama bersama dengan penurunan angka kematian
dibandingkan dengan kelompok kontrol.24

DAFTAR PUSTAKA
1. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic pulmonary edema.
Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.
2. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009; p. 1651-3.
3. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005;353:2788- 96.
4. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non kardiogenik. Majalah
Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
5. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi L, et al. Respiratory
fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary edema. Eur Heart J. 2004;6: F74-80.
6. rendergast TJ, Ruoss SJ. Pulmonary disease. In: Mc Phee SJ, Lingappa VR, Ganong WF
editors. Pathophysiology of Disease, an Introduction to Clinical Medicine (Fourth
Edition). New York: Mc-Graw-Hill; 2003. p. 247-51.
7. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis.
2011;15(2):155-160.
8. Huldani H. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas
Kedokteran, Banjarmasin. 2014. Available from: eprints.unlam.ac.id/207/
9. Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive ventilation in acute
Critical Care. 2010;14(303):1-3.
10. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit
Dalam 2011. FK UNAIR- RSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.
11. Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary edema: froth and
bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2003.
12. Araújo MCM, Coelho JR. Acute pulmonary edema. [cited: 2003 Nov 6] Available from:
http:www.medstudents.com.br/terin/teri n7.htm.
13. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al.
Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart
failure. Eur Heart J. 2005;26:384-416.
14. Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati S, Alwi I, Gani RA,
Sumaryono, editors. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam
1998. Jakarta: Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101.
15. Rana R, Vlahakis NE, Daniels CE, Jaffe AS, Klee GG, Hubmayr RD, et al. B- type
natriuretic peptide in the assessment of acute lung injury and cardiogenic pulmonary
edema. [Abstract]. Crit Care Med. 2006;34(7):1941-6.
16. Rodeheffer RJ. Measuring plasma B-type natriuretic peptide in heart failure. J Am Coll
Cardiol. 2004;4:740-8.
17. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M, Exposito JA. Noninvasive
ventilation in cardiogenic pulmonary edema: systematic review and meta-analysis.
JAMA. 2005;294:3124-32.
18. Gray A, Goodacre S, Newby DE, Masson M, Sampson F, Nicholl J. Noninvasive
Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2008;359(2):142-51.
19. Agarwal R, Aggarwal AN, Gupta D. Is noninvasive pressure support ventilation as
effective and safe as continuous positive airway pressure in cardiogenic pulmonary
oedema? Singapore Med J. 2009;50(6):595-603.
20. Winck JC, Azevedo LF, Costa-Pereira A, Antonelli M, Wyatt JC. Efficacy and safety of
non-invasive ventilation in the treatment of acute cardiogenic pulmonary edema–a
systematic review and meta-analysis. Critical Care. 2006;10(2):1-18.
21. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut. ACLS Indonesia. 2019.

22. Ganiswara, S.G., 2000, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 800, Bagian
Farmakologi FKUI, Jakarta.

23. Ki Young Na, Dong Ki Kum, Sung Gyun Kim.Effect of beraprost sodium on
arterial stiffness in patients with type 2 diabetic nephropathy. BioMed Central
Journal. 2013. 14:275

24. C D Vizza, S Sciomer, S Morelli, C Lavalle . Long term treatment of pulmonary


arterial hypertension with beraprost, an oral prostacyclin analogue. Heart
2001;86:661–665

Anda mungkin juga menyukai