PRESENTASE ILMIAH
S : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Mitra Medika Amplas dengan keluhan sesak nafas
dan lemas sejak 4 hari SMRS. Sesak memberat saat beraktivitas. Os sering merasa sesak
ketika berjalan dan os merasa lebih nyaman apabila tidur menggunakan bantal kepala yang
tinggi. Mual dan muntah dijumpai sebanyak 5 kali sebelum masuk rumah sakit. Berisikan
makanan. Pasien juga mengeluhkan kaki kanan dan kirinya bengkak sejak 5tahun yang
lalu. Pasien mengeluh sulit berjalan karena kedua kakinya bengkak. BAK & BAB dalam
batas normal.
PEMERIKSAAN FISIK
Kondisi Umum :
O: Sensorium : Compos Mentis (E4V5M6)
VAS :7
HR : 110x /menit
RR : 28x /menit
Suhu : 36‘C
SpO2 : 90%
Kepala : Kepala dan leher simetris, TVJ normal, Trakea medial, pembesaran
Mata :
Isokor, ka=ki
Thorax :
Abdomen :
Inspeksi : Simetris.
Ekstremitas :
Superior : Hemiplegia sin (-) edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik
Inferior : Hemiplegia sin (+) edema (+/+), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik, Refleks KPR : (++/++), Refleks APR (++/++)
DIAGNOSIS KERJA
TATALAKSANA
P : IVFD NaCl 0,9% 500ml
Rencana Tindakan
BAB I
PENDAHULUAN
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah dapat meningkatkan
pemahaman dan kemampuan klinis peserta Program Internship Dokter mengenai
kasus eklampsia,perdarahan post partum dan anemia di fasilitas kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Congestive Heart Failure (CHF)
2.1.1 Defenisi
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks dan progresif yang
mucul dari kerusakan struktural dan fungsional jantung sehingga tidak mampu
memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kecukupan aliran darah dan
pengiriman oksigen ke seluruh tubuh. Penurunan curah jantung dan perfusi yang
tidak adekuat akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan, gangguan
pertukaran gas, ketidakseimbangan volume cairan, dan penurunan kemampuan
kapasitas fungsional. Identifikasi etiologi yang mendasari disfungsi jantung adalah
hal utama dalam diagnosis heart failure dan dapat menentukan pengobatan
selanjutnya.
2.1.1 Etiologi
Penyebab CHF dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) kelainan fungsi
kontraksi ventrikel, (2) peningkatan afterload, atau (3) gangguan relaksasi dan
pengisian ventrikel.
2.1.2 Faktor Resiko
a. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupungagal jantung
dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapisemakin tua seseorang
maka akan semakin besar kemungkinan menderitagagal jantung karena kekuatan
pembuluh darah tidak seelastis saat mudadan juga timbulnya penyakit jantung
yang lain pada usia lanjut yangmerupakan faktor resiko gagal jantung. Menurut
penelitian Siagian diRumah Sakit Haji Adam Malik (2009) proporsi penderita
gagal jantungsemakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia yaitu 9,6%
pada usia≤15tahun, 14,8% pada usia 16-40 tahun dan 75,6% pada usia > 40 tahun.
b. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantungdaripada
perempuan.Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyaihormon estrogen
yang berpengaruh terhadap bagaimana tubuhmenghadapi lemak dan kolesterol.
Menurut panelitian Wheltondkk di Amerika (2001) laki-laki memiliki resiko
relatif sebesar 1,24 kali(P=0,001) dibandingkan dengan perempuan untuk
terjadinya gagal jantung.
c. Hipertensi.
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah
yang tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus diatas 140/80, jantung akan
semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang lama,
risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat.Penurunan berat badan,
pembatasan konsumsi garam, dan penguranganalkohol dapat membantu
memperoleh tekanan darah yang menyehatkan.
2.1.4 Patofisiologi
Gagal jantung yang disebabkan karena kelainan pengosongan ventrikel, yang
dapat disebabkan oleh kelainan kontraksi atau afterload yang berlebihan, disebut
disfungsi sistolik.5 Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri
yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (RAA) serta kadar vasopressin dan natriuretic peptide yang bertujuan
untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung.Aktivasi simpatis
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan
nekrosis miokard fokal.Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosterone.Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi
sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat araf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosterone. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang
meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-
1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu
juga berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure,
perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai
obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular
dan miokardial akibat endotelin.
Sedangkan gagal jantung yang disebabkan karena kelainan relaksasi atau
pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik.3 Pada disfungsi diastolik terjadi
gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan
berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung coroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amyloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30-40% penderita gagal jantung memiliki kontraksi
ventrikel yang masih normal.
2.1.3 Manifestasi Klinis
2.1.5 Klasifikasi
Acutely Decompensated Heart Failure (ADHF) adalah yang paling umum terja
di dari AHF (Acute Heart Failure), terhitung 50-70%. Kejadian ini biasanya terjad
i dengan heart failure sebelumnya dan dapat termasuk disfungsi RV
b. Acute Pulmonary Oedema
Acute pulmonary oedema berhubungan dengan penyumbatan di paru. Kriteria
klinisi untuk acute pulmonary oedema termasuk dalam dispone dengan orthopnoe
a, repiratory failure (hypoxaemia-hypercapnia),tachypnoea,pernapasan >25x/I da
n peningkatan usaha untuk bernafas. Tiga terapi harus dimulai jika adanya indikasi
tersebut. Yang pertama oksigen, diberikan tekanan udara positif, tekanan ventilasi
non-invasive positif dan/atau aliran tinggi nasal kanul. Kedua deuretik harus diberi
kan. Dan ketiga vasodilator dapat diberikan jika tekanan darah (SBP) tinggi, untuk
menurunkan LV afterload.
d. Cardiogenic Shock
Cardiogenic shock adalah sindrom dikarenakan disfungsi jantung yang mengh
asilkan inadekuat cardiac output, terdiri dari keadaan yang mengancam nyawa yan
g disebabkan hipoperfusi ke jaringan yang dimana dapat terjadi kegagalan multior
gan dan kematian
2.1.7 Diagnosis
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung
yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
Kriteria Mayor :
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe
- Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari dalam respon pengobatan
- Distensi vena leher
- Ronki basah
- Edema paru akut
- Refluks hepatojugular
- Gallop S3
- Peninggian tekanan vena jugularis
- Kardiomegali
- Edema pulmonal atau kardiomegali pada otopsi
Kriteria Minor:
- Batuk malam hari
- Edema ekstremitas
- Hepatomegali
- Dispnea d’effort
- Efusi pleura
- Takikardia (> 120 x/menit)
- Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien gagal jantung kongestif dapat ditemui
beberapa hal, yaitu:
1. Karotid : normal atau penurunan volume
2. Tekanan vena jugular : normal atau meningkat
3.Refluks hepatojugular : + atau –
4. S3, S4 : + atau –
5. Ronkhi basah : + atau –
6. Edema : + atau –
7. Asites : + atau –
8. Hepatomegali : + atau – .
Acute kidney injury (AKI) yang sebelumnya diknal dengan ARF adalah
penurunan fungsi ginjal yang di tandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum
dibanding dengan kadar sebelumnya atau penurunan urine output, penurunan
cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversible, diiikuti kegagalann ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen dengan / tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
- Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.
- Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-
tanda
- peningkatan tekanan pada atrium kiri.
Pulmonary Fibrosis
Fibrosis paru adalah salah satu penyakit grup besar penyakit paru
interstisial. Penyakit ini, bias didefinisikan sebagai kondisi dimana jaringan paru
menjadi jaringan parut. Jaringan parut tersebut menumpuk sehingga membuat
paru-paru kaku dan disebut fibrosis. Sehingga pasien biasanya mengalami
kesulitan untuk bernapas. Fibrosis paru dapat menyebabkan penyakit lain seperti,
paru-paru kolaps, infeksi paru-paru dan kanker paru.
.Sindrom Nefrotik
Emboli paru (EP) merupakan kondisi akibat tersumbatnya arteri paru, yang
dapat menyebabkan kematian pada semua usia. Penyakit ini sering ditemukan dan
sering disebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah dari bagian tubuh lain dan
tersangkut di paru-paru, sering berasal dari vena dalam di ekstremitas bawah,
rongga perut, dan terkadang ekstremitas atas atau jantung kanan. Selain itu dapat
diartikan sebagai penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu
embolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli bias merupakan gumpalan
darah (thrombus), tetapi juga berupa lemak yang akan mengikuti aliran darah
sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.
2.1.9 Penatalaksanaan
Deuretik Loop (IV) direkomendasikan untuk mengurangi sesak nafas dan
kongesti. Gejala, urin, fungsi renal dan elektrolit harus diawasi secara berkala
semalam penggunaan deuretika IV
Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien dengan saturasi
perifer <90% atau Pa02 <60 mmHg, untuk memperbaiki hipoksemia
Profilaksis tromboemboli direkomdeasikan untuk pasien yang belum dapat
antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan, untuk
menurunkan risiko deep vein thrombosis dan emboli paru.
Pemberuan ventilasi non invasive (CPAP) harus dipertimbangkan bagi pasien
dengan edema paru dan pernafasan >20x/menit untuk mengurangi sesak nafas,
mengurangi hiperkapnia dan asidosis.Ventilasi non invasive dapat menurunkan
tekanan darah dan tidak dipergunakan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<85mmHg.
Pemberian Nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien edema/kongesti paru
dengan tekanan darah sistolik >110 mmHg, yang tidak memiliki stenisus katup
mitral atau aorta. Nitrat dapat menghilangkan dispone dan kongesti.
Obat Inotropic tidak direkomendasikan kecuali pasien mengalami hipotensi
(tekanan darah sistolik <85mmHg), hipoperfusi atau syok, dikarenakan faktor
keamanannya (bias menyebabkan aritmia atrial/ventricular, iskemia miokard dan
kematian.
2.1 Diabetes Melitus (DM)
2.2.1 Defenisi
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan diabetes melitus
(DM) sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduaduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berasosiasi dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.6World Health Organization (WHO)
merumuskan diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat definisi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.
2.2.1 Epidemiologi
Fungsi sel beta sudah sangat berkurang ketika diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.1
2. Liver
4. Sel Lemak
Peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = free fatty acid)
dalam plasma diakibatkan oleh sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis
dari insulin. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxicity.1
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon, yaitu GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependentinsulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP1 dan resistensi terhadap
GIP. Selain itu, incretin juga segera dipecah enzim DPP-4, sehingga incretin
hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan menyebabkan meningkatnya glukosa darah setelah makan.1
6. Sel Alpha Pankreas
Ketika keadaan puasa, sel Alpha akan meningkat kadarnya di dalam plasma dan
berfungsi dalam sintesis glukagon. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding orang normal.1
7. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per hari. Sembilan puluh persen dari
glukosa yang terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedangkan
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT- 2.1
8. Otak
Insulin berperan sebagai penekan nafsu makan yang kuat, akan tetapi pada
individu dengan DM asupan makanan justru meningkat karena adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak.1
2.2.4 Manifestasi Klinis
2.2.1 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan untuk diagnosis adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan berupa plasma darah vena. Glukosuria
tidak dapat menegakkan diagnosis. Jika individu mengalami keluhan yang baik
berupa keluhan utama maupun keluhan lain, kecurigaan terhadap DM perlu
dipikirkan.1
a. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai tidak ada intake
kalori dalam setidaknya 8 jam, atau
b. Glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL. Tes toleransi
glukosa dilakukan sesuai standar WHO dengan 75gram glukosa anhidrat yang
dilarutkan dalam air, atau
c. A1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan dilakukan pada laboratorium yang menggunakan
metode yang tersertifikasi NGSP dan terstandardisasi DCCT assay, atau
d. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dengan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
2.2.6 Penatalaksanaan
Modalitas terapi pada pasien DM terdiri dari edukasi, terapi nutrisi,
jasmani, dan terapi farmakologis.
1. Edukasi
Edukasi meliputi promosi hidup sehat dan dilakukan sebagai upaya pencegahan
dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara holistik.1
2. Terapi Nutrisi
Komposisi makanan dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65% terutama yang
berserat tinggi. Lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak melebihi
30% total asupan energi. Protein sebesar 10-20% total asupan energi. Asupan
natrium sama seperti orang sehat yaitu <2300 mg per hari. Konsumsi serat
dianjurkan 20-35 gram/hari.1
Kebutuhan kalori bagi penderita DM adalah 25 kal/kgBB ideal untuk wanita dan
30 kal/kgBB ideal untuk laki-laki. Jumlah kebutuhan kalori bisa ditambah atau
dikurangi atas dasar beberapa faktor, seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Stres metabolik juga memengaruhi jumlah kalori yang harus
diberi, penambahan 1030% tergantung dari beratnya stres metabolik (sepsis,
operasi, trauma).1
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan DM tipe 2 yang tidak
disertai nefropati. Kegiatan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali per
minggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu. Latihan
jasmani yang dilakukan adalah yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksmial). Contoh latihan jasmani tersebut meliputi jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.1
4. Terapi Farmakologis
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi obat hiperglikemik oral (OHO) dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Contoh: humulin R, actrapid.Awitan (onset) 30-60 menit, puncak efek 2-4 jam,
lama kerja 6-8 jam.
3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Contoh: glargine (lantus), detemir (levemir), lantus 300. Awitan (onset) 1-3 jam,
puncak efek hampir tanpa puncak, lama kerja 12-24 jam.
5) Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)
Contoh: degludec (tresiba). Awitan (onset) 30-60 menit, puncak efek hampir tanpa
puncak, lama kerja sampai 48 jam.
6) Insulin campuran tetap.
Terapi insulin dapat diberikan secara infus intravena kontinyu atau subkutan,
secara terprogram atau terjadwal. Kebutuhan insulin harian total (IHT) dapat
didasarkan pada dosis insulin sebelum perawatan atau dihitung sebagai 0,5-1
unit/kg BB/hari. Untuk lanjut usia atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
hendaknya diberikan dosis yanglebih rendah, misalnya 0,3 unit/kg BB/hari.12
Setelah kebutuhan insulin harian total (IHT) dihitung, misalnya pada pasien
dengan berat badan 100 kg maka kebutuhan IHT nya adalah 0,5 unit dikali 100 kg
= 50 unit per hari. Empat puluh persen dari 50 unit itu merupakan dosis insulin
basal (50 unit x 40% = 20 unit) yang diberikan sebelum tidur. Enam puluh persen
dari 50 unit itu adalah dosis insulin prandial (50 unit x 60% = 30 unit), dosis
sebesar 30 unit itu dibagi 3 dan dikonsumsi setiap setelah makan atau dengan kata
lain 10 unit setiap setelah makan.13
2.2.1 Komplikasi
Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dibagi menjadi komplikasi aku dan
komplikasi kronik.1
A. Komplikasi Akut
- Krisis Hiperglikemia
- Hipoglikemia
B. Komplikasi Kronik
- Makroangiopati
Makroangiopati bisa mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan
pembuluh darah otak. Apabila mengenai pembuluh darah tepi, gejala tipikal yang
biasa muncul pertama kali adalah nyeri ketika beraktivitas dan berkurang saat
istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus
iskemik pada kaki merupakan kelainan yang bisa dapat ditemukan pada
penderita.1
- Mikroangiopati
2.3 Stroke
2.3.1 Defenisi
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya
suplai darah ke bagian otak 2 . Definisi yang paling banyak diterima secara luas
adalah bahwa stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau
tanda klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain
selain penyebab vaskuler 3 .
Secara garis besar stroke dibagi menjadi dua golongan yaitu stroke
perdarahan dan stroke iskemik 4. Stroke iskemik terjadi sekitar 80% sampai 85 %
dari total insiden stroke yang diakibatkan obstruksi atau bekuan di satu atau lebih
arteri besar pada sirkulasi serebrum. Stroke iskemik adalah stroke yang
disebabkan adanya obtruksi dari pembuluh darah oleh plak aterosklerotik, bekuan
darah atau kombinasi keduanya sehingga menghambat aliran darah ke area otak 5.
Obstruksi ini dapat disebabkan karena adanya bekuan (trombus) yang terbentuk di
dalam pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal6.
2.3.2 Klasifikasi
a. Stroke Iskemik
Stroke Iskemik (non hemoragic) adalah penurunan aliran darah ke bagian
otak yang disebakan karena vasokontriksi akibat penyumbatan pada pembuluh
darah arteri sehingga suplai darah ke otak mengalami penurunan 3. Stroke iskemik
merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkain perubahan
dalam otak yang terserang, apabila tidak ditangani akan segera berakhir dengan
kematian di bagian otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak
aterosklerosis arteri otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang
tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan jenis stroke yang paling
sering menyerang seseorang sekitar 80% dari semua stroke10.
Berdasarkan manifestasi klinis menurut ESO excecutive committe dan ESO
writting committee (2008) dan Jauch dkk (2013)11 yaitu:
TIA (transient ischemic attack) atau serangan stroke sementara: gejala defisit
neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam. TIA menyebabkan penurunan
jangka pendek dalam aliran darah ke suatu bagian dari otak. TIA biasanya
berlangsung selama 10-30 menit.
RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit): gejala defisit neurologi yang
akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tetapi gejala akan
menghilang tidak lebih dari 7 hari.
Stroke evaluasi (Progressing Stroke): kelainan atau defisit neurologi yang
berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai yang berat sehingga makin
lama makin berat.
Stroke komplit (Completed Stroke): kelainan neurologis yang sudah menetap dan
tidak berkembang lagi.
b. Stroke Hemoragik
Stroke iskemik bisa disebabkan oleh berbagai macam problem yang bisa
dikelompokkan menjadi 3 bagian. Yaitu masalah-masalah pembuluh darah,
jantung dan substrat darah itu sendiri.
Stroke dapat terjadi pada semua orang dan pada semua usia, termasuk anak-anak.
Kejadian penderita stroke iskemik biasanya berusia lanjut (60 tahun keatas) dan
resiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia dikarenakan mengalaminya
degeneratif organ-organ dalam tubuh 13. Sedangkan menurut Pinzon dan Asanti
(2008) stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% stroke terjadi
pada usia di atas 65 tahun.12
- Jenis kelamin
Pria memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena stroke pada usia dewasa
awal dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2:1. Insiden stroke lebih
tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rata-rata 25%-30%
Walaupun para pria lebih rawan daripada wanita pada usia yang lebih muda, tetapi
para wanita akan menyusul setelah usia mereka mencapai menopause.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
- Stress
Pengaruh stres yang dapat ditimbulkan oleh faktor stres pada proses aterisklerosis
melalui peningkatan pengeluaran hormon seperti hormon kortisol, epinefrin,
adernaline dan ketokolamin. Dikeluarkanya hormon kartisol, hormon adernaline
atau hormon kewaspadaan lainya secara berlebihan akan berefek pada
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sehingga bila terlalu sering dapat
merusak dinding pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya plak. Jika sudah
terbentuk plak akan menghambat atau berhentinya peredaran darah ke bagian otak
sehingga menyebabkan suplai darah atau oksigen tidak adekuat.10
- Hipertensi
Secara alamiah tubuh kita lewat fungsi hati membentuk kolesterol sekitar 1000 mg
setiap hari dari lemak jenuh. Selain itu, tubuh banyak dipenuhi kolesterol jika
mengkonsumsi makanan berbasis hewani, kolesterol inilah yang menempel pada
permukaan dinding pembuluh darah yang semakin hari semakin menebal dan
dapat menyebabkan penyempitan dinding pembuluh darah yang disebut
aterosklerosis. Bila di daerah pembuluh darah menuju ke otot jantung terhalang
karena penumpukan kolesterol maka akan terjadi serangan jantung. Sementara bila
yang tersumbat adalah pembuluh darah pada bagian otak maka sering disebut
stroke.16
- Merokok
Merokok adalah salah satu faktor resiko terbentuknya lesi aterosklerosis yang
paling kuat. Nikotin akan menurunkan aliran darah ke eksterminitas dan
meningkatkan frekuensi jantung atau tekanan darah dengan menstimulasi sistem
saraf simpatis. Merokok dapat menurunkan elastisitas pembuluh darah yang
disebabkan oleh kandungan nikotin di rokok dan terganggunya konsentrasi
fibrinogen, kondisi ini mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh
darah dan peningkatan kekentalan darah.17
- Konsumsi Alkohol
Alkohol merupakan faktor resiko untuk stroke iskemik dan kemungkinan juga
terkena serangan stroke hemoragik. Minuman beralkohol dalam waktu 24 jam
sebelum serangan stroke merupakan faktor resiko untuk terjadinya perdarahan
subarakhnoid. Alkohol merupakan racun untuk otak dan apabila seseorang
mengkonsumsi alkohol akan mengakibatkan otak akan berhenti berfungsi.17
2.3.5. Epidemiologi
2.5.1 Defenisi
2.5.2 Epidemiologi
Kasus ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2,
berjenis kelamin laki-laki, dengan BMI yang lebih rendah, durasi diabetes yang
lebih lama dan juga pada pasien dengan riwayat merokok.Berdasarkan data yang
didapat dari RSUP Cipto Mangun Kusumo tahun 2003.angka kematian dan angka
amputasi masih tinggi yaitu masing-masing sebesar 16% dan 25%. Pasca amputasi
sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun dan sebanyak 37% akan
meninggal dalam 3 tahun.
2.5.3 Patofisiologi
Masalah kaki diabetes ini disebabkan oleh komplikasi dari penyakit
diabetes itu sendiri, dimana penyebab yang paling umum diketahui adalah akibat
neuropati dan juga gangguan vaskular perifer. Neuropati baik berupa neuropati
sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan
pada kulit dan otot, hal tersebut kemudian menyebabkan perubahan distribusi
tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus.
Adanya kerentanan terhadap infeksi juga menyebabkan infeksi mudah mernyebar
menjadi infeksi yang lebih luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih
lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.
2.5.4 Diagnosis
ADA pada tahun 2008 telah mengelurkan panduan untuk mendiagnosis
kaki diabetes, dimana pada anamnesis harus digali mengenai ulserasi atau
tindakan amputasi sebelumnya. Serta perlu diketahui juga riwayat pasien yang
menyokong ke tanda-tanda neuropati ataupun gangguan vaskuler. Selain itu,
pemeriksa juga perlu mencari tahu mengenai komplikasi diabetes lain yang
dialami oleh pasien seperti gangguan penglihatan dan adanya riwayat dialisis atau
transplantasi ginjal.
Pada pemeriksaan fisik, inspeksi harus dilakukan pada ruangan dengan
cahaya yang cukup. Perlu diperhatikan juga pemeriksaan alat kaki yang digunakan
pasien. Ulkus diabetes cenderung terjadi pada daerah yang menumpu beban
terbesar seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, serta ujung jari yang
menonjol (jari pertama dan kedua). Ulkus di malleolus terjadi karena sering
mendapat trauma. Kelainan lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
yaitu berupa callus hipertropik, kuku rapuh/pecah, kulit kering, hammer toe, dan
fissure.14Untuk mengetahui adanya neuropati sensoris, bisa dilakukan pemeriksaan
sensasi dengan menggunakan monofilamen berukuran 10G yang dilakukan pada
berbagai tempat di daerah kaki.
Pada palpasi yang perlu diperhatikan adalah suhu dari kaki, yang dapat
menandakan adanya kelainan vaskuler, juga pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan
posterior tibial. Tanda arterosklerosis yang dapat dilihat adalah kulit yang pucat,
bruit arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut kaki, sianosis jari
kaki, ulserasi dan nekrosis iskemik, serta capillary refill test > 2 detik juga dapat
ditemukan. Pemeriksaan ABI (arterial brachial index) merupakan pemeriksaan
yang dapat digunakan untuk menegakkan kelainan vaskuler. Pemeriksaan ABI
dilakukan dengan membedakan tekanan sistolik antara kaki (dorsalis pedis dan
posterior tibial) dengan tekanan sistolik pada lengan (arteri brakialis) dengan
menggunakan doppler. Nilai dibawah 0,9 menunjukan adanya peripheral arterial
disease.14,20Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner- Meggit adalah sebagai
berikut:
- Derajat 0 = tidak ada lesi terbuka, deformitas atau selulitis mungkin ditemukan
- Derajat 2 = ulkus ekstensi ke ligamen, tendon, kapsul sendi, atau deep fascia,
tanpa abses atau osteomielitis
- Derajat 3 = ulkus dalam dengan abses, osteomielitis, atau joint sepsis
2.5.5 Penatalaksanaan
Berbagai cara surgikal dapat digunakan untuk mengurangi tekanan pada luka,
yaitu dengan dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses dan prosedur koreksi
bedah seperti operasi hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon
lengthening, partial calcanectomy.
d. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes. Penyuluhan
yang baik membuat penderita DM dengan ulkus/gangren diabetik maupun
keluarganya mampu membantu dan mendukung berbagai tindakan yang
diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.
Pada kasus dengan gangren yang parah dan debridement tidak mampu
menolong, amputasi mungkin perlu dipertimbangkan. Amputasi bisa mencegah
gangren menyebar ke bagian tubuh yang lainnya, infeksi nekrotik dari jaringan
lunak ini dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas dan bisa digunakan untuk
menghilangkan bagian tubuh yang telah rusak parah.
2.6 Pneumonia
2.6.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus
respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pada
perkembangannya, berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP),
apabila infeksinya terjadi di masyarakat; dan pneumonia-RS atau pneumonia
nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah
sakit.
Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah
pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di
rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang
menggunakan ventilator. Pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator
(ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-
72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di pusat
perawatan kesehatan (healthcare-associated pneumonia) adalah pasien yang
dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam waktu
90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing home atau
longterm care facility), mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, atau
perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik
rumah sakit atau klinik hemodialisa.
2.6.2 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya:
1) Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di
sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and
resistant strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant
strains) and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri
tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk
melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-
paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.
Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas
bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H.
Influenza, emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella, Streptococcus grup A, S.
Pneumonia. Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia
dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat pada CAP
apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate, hipotensi,
demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.
2) Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS), pneumonia nosokomial (lebih
dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated
pneumonia) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48
jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal. Terjadinya
pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan
kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian
bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P.
Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.
ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul
selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah
lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia
nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia
nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga
mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia
nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri;
termasuk kultur semikuantitatif dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).
3) Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang
dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi
dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.
2.6.3 Etiologi Pneumonia
a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu
1. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa:
- Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri
patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak 20-
60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.
- Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan
obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi kuman ini
menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru.
Kuman ini memiliki daya taman paling kuat, apabila suatu organ telah terinfeksi
kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan
abses. Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar
dalam pemilihan antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa
antibiotik.
- Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang
merupakan flora normal usus.
Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada pasien
defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di rumah sakit,
di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan pemasangan
endotracheal tube.
Pseudomonas aeruginosa
- Aminoglikosid
- Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
- Tikarsilin, Piperasilin
- Karbapenem : Meropenem, Imipenem
- Siprofloksasin, Levofloksasin
Hemophilus influenzae
- TMP-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin gen. 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi
Legionella
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
- Doksisikin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
2.7.1 Defenisi
Durasi operasi kurang dari 30 menit, umur lebih dari 40 tahun, perbaikan dari fraktur
kecil.
b. Resiko sedang:
Umur lebih dari 60 tahun, atau umur 40 – 60 tahun dengan adanya faktor resiko
tambahan, immobilisasi lebih dari 4 hari.
d. Resiko sangat tinggi:
Operasi arthroplasty lutut dan panggul, operasi fraktur panggul, operasi open fracture
pada tungkai bawah, trauma pada spinal cord , berbagai resiko tambahan (umur
lebih dari 40 tahun, sebelumnya ada riwayat mengalami DVT, kanker,
danhypercoagulable state).
2.7.3 Patogenesis
DVT biasanya terbentuk pada daerah dengan aliran darah lambat atau
terganggu di sinus vena besar dan kantung ujung katup di vena dalam tungkai
bawah atau segmen vena yang terpapar oleh trauma langsung. Pembentukkan dan
perkembangan trombus vena menggambarkan keseimbangan antara efek
rangsangan trombogenik dan berbagai mekanisme protektif. Faktor yang
mempengaruhi keseimbangan dan berimplikasi pada patogenesis trombosis vena,
dikenal dengan Trias Virchow’s, yaitu: 1). Cedera Vaskuler (kerusakan
endothelial); 2). Stasis Vena; 3). Aktivasi koagulasi darah (hiperkoagulabilitas).
1.Cedera Vaskular
Kerusakan vaskular memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
trombosis vena melalui trauma langsung atau aktivasi sel endotel melaluisitokinin
(interleukin-1 dan ntumornecrosis factor ) yang dilepaskan dari hasilcedera
jaringan dan inflamasi. Koagulasi darah dapat diaktifkan melaluirangsangan
intravaskuler yang dilepaskan dari tempat jauh (misal kerusakan venafemoralis
saat operasi panggul) atau oleh sitokin yang terinduksi rangsangan endotel yang
utuh. Sitokinin ini merangsang sel endotel untuk mensintesis tissue factor dan
plasminogen activator inhibitor-1 dan mengakibatkan reduksi trombodulin,
sehingga membalikkan kemampuan protektif endotel yang normal. Trombodulin
(TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk trombin. Bila trombin terikat
pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen menurun. Sebaliknya
kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat. Protein C dengan
kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor prokoagulan, faktor Va
dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan fibrinolisis endotel vena
mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke plasmin kemudian
plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistemfibrinolisis akan
dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih berkurang dibanding
dengan ekstremitas atas.
2. Stasis Vena
Stasis vena sering pada usia tua, tirah baring lebih dari tiga hari dan
operasi yang memakan waktu lama. Stasis vena memberikan
predisposisitrombosis lokal. Stasis menggangu pembersihan faktor koagulasi aktif
danmembatasi aksesibilitas trombin di vena kemudian menempel ke
trombomodulin.Protein ini terdapat dalam densitas terbesar di pembuluh darah
kapiler.
Penelitian ultrastruktural menunjukkan bahwa setelah trauma ditempat
jauh, leukosit melekat diantara intercellular junction endotel pada daerah
stasisvena. Hal ini menjadi nidus untuk pembentukkan trombus. Bila nidus
trombusmulai terdapat di daerah stasis, maka substansi yang dapat meningkatkan
agregasitrombosit, yaitu faktor X teraktivasi, trombin, fibrin dan katekolamin tetap
dalamkonsentrasi tinggi di daerah tersebut. Stasis juga memberikan
kontribusitambahan, yaitu membentuk trombin dengan cara merusak katup vena
yangavaskuler. Sebaliknya katup tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi
dannutrisi, sedangkan aliran darah stasis. Mekanisme trombosis adalah
aktivitasfaktor koagulasi aktif melalui darah yang mengalir, inhibisi
trombomodulin padaaktivitas koagulan dari trombin, pengaruh trombomodulin
aktivitas antikoagulandari trombin melalui aktivasi protein C dan disolusi fibrin
oleh system fibrinolitik.
3. Hiperkoagulabilitas
Keadaan hirepkoagulabilitas adalah suatu perubahan keadaan darah
membantu pembentukan trombus vena. Perubahannya meliputi
peningkatankonsentrasi faktor koagulasi normal maupun teraktivasi, penurunan
kadar inhibitors dalam sirkulasi, gangguan fungsi sistem fibrinolitik, adanya
trombosithiperaktif, faktor hiperkoagulabilitas dan stasis bekerjasama membentuk
trombusvena. Dari ketiga faktor penyebab DVT yang terpenting adalah faktor
stasis dan hiperkoagulabilitas.
Faktor resiko penyakit DVT digolongkan faktor patogenesis pembentukan
DVT ( Trias Virchow’s) dan faktor umum yang mendukung, berhubungan dengan
pembentukan DVT atau kombinasi dari faktor trias Virchow’s.
2.7.3 Diagnosis
Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh nyeri,
bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak. Bengkak dan
nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat nyeri biasanya
terus menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan meningkatnya
aktivitas atau jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik manifestasi
DVT dapat berupa tungkai bengkak unilateral, gambaran eritrosianotik, dilatasi
vena superfisial, suhu kulit meningkat atau nyeri tekan pada paha atau betis.
Tanda klinis ini hanya ditemukan pada 23-50% pasien DVT. Tanda klinis yang
negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tungkai bawah yang
bengkak, lunak disertai dengan cord vena yang dapat dipalpasi mengarahkan pada
DVT popliteal. Perbedaan ukuran lingkaran tungkai yang bermakna mendukung
diagnosis DVT. Namun sebagian besar pasien tidak menunjukkan bengkak yang
jelas. Kepastian diagnosis DVT secara klinis hanya 50%, sehingga tes diagnosik
diharuskan bila ada kecurigaan DVT. Kematian dapat terjadi bila trombus vena
pecah dan membentuk emboli pulmoner yang akan mengobstruksi arteri pada
paru. 1,2,3
Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang
terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Tes laboratorium adalah
Simplie-red D-dimer. Konsentrasi plasma D-dimer merupakan hasil pencernaan
fibrin oleh plasmin. Kadarnya meningkat pada pasien trombosis vena atau emboli
pulmoner. Pengukuran dilakukan dengan cara pengambilan darah dari jari tangan
pasien diperiksa secara ELISA atau dengan Simple RED agent. Tes ini hasil
sensitifitas 97%. Tes D-dimer sering menghasilkan positif semu pada pasien pasca
bedah atau trauma. Pemeriksaan radiologis menggunakan Venous compression
duplex ultrasonography, merupakan teknik noninvasif yang memiliki sensitifitas
95% untuk mendiagnosis DVT . 2,3
Gambar 1.2. Manifestasi Klinis DVT
2.7.4 Penatalaksanaan
Tatalaksana DVT harus dilakukan secara komprehensif, meliputi
pencegahan terapi.
1. Pencegahan
Tujuan terapi untuk mencegah serta mengurangi risiko pembentukan trombus yang
lebih besar serta mencegah emboli paru. Beberapa obat yang dapat digunakan
antara lain golongan antikoagulan (warfarin atau heparin). Perlu diperhatikan pula
bahwa obat golongan antikoagulan dapat menyebabkan efek samping perdarahan.
a. Terapi antikoagulan
Heparin
Warfarin dosis sedang, efektif untuk mencegah DVT pada semua kategori resiko.
Dapat mulai diberikan 5 atau 10 mg malam sebelum operasi atau malam setelah
operasi, efek antikoagulan terukur baru dapat dicapai pada 3-4 hari pasca operasi,
namum bila terapi dimulai saat operasi atau sesaat setelah operasi maka warfarin
masih efektif bagi penderita resiko tinggi DVT, termasuk pasien fraktur tulang
panggul. Lama profilaksis menurut rekomendasi ACPP adalah minimal 7-10 hari.
Regimen ini kurang menyenangkan karena memerlukan monitoring
laboratorium.2,5
Low-dose Unfractionated Heparin (UFH)
Diberikan secara subkutan 3 kali 3500 U sehari, dimulai sejak dua hari sebelum
operasi. Lebih efektif dari heparin dosis rendah bila diberikan pada pasien operasi
panggul elektif. Bila dibanding LMWH efektifnya lebih rendah dalam mencegah
trombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Membutuhkan monitoring
laboratorium yang teliti.4,5
Low Molecular Weight heparin (LMWH)
LMWH lebih efektif dibanding yang lainnya, sediaan ini juga lebih efektif
mencegah trombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Mekanisme kerjanya
adalah meningkatkan aktivitas efek antitrombin III, anti faktor Xa dan anti faktor
IIa. Secara subkutan, LMWH/enoxaparin diberikan sehingga profilaksi dengan
dosis 40 mg satu kali sehari, pada pasien yang menjalani pembedahan beresiko
tinggi DVT . Dosis pertama diberikan 12 jam sebelum pebedahan dandilanjutkan
sehari sekali selama tujuh hari. Selain tidak memerlukan pemantauan komplikasi
perdarahan kecil terjadi. Pada operasi ortopedic mayor, terapi LMWH/enoxaparin
adalah injeksi 40 mg secara sub kutan 12 jam sebelum pembedahan dan
dilanjutkan sehari sekali selama 12-14 hari. Sebaliknya Turpie memberikan 30 mg
LMWH/enoxaparin sub kutan 12-14 jam sesudah pembedahan dandilanjutkan 30
mg dua kali sehari 10-15 hari.2,5
a. Terapi trombolitik9
Sistemik: kurang direkomendasikan karena tingginya kemungkinan komplikasi
perdarahan.
Catheter directed : lebih rendah angka komplikasi perdarahan dibandingkan
trombolitik sistemik dan terbukti lebih efektif.
2.7.5 Komplikasi
2.8.2 Epidemiologi
Penggunaan obat pelemah imun bagi orang yang baru transplantasi organ juga
mempermudah infeksi.
3. Diabetes melitus : Tidak hanya gula darah yang meningkat dalam darah namun
juga mengurangi sistem imun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes
mengurangi sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka
pada kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi.
4. Cacar dan ruam saraf : Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat
menjadi jalan masuk bakteri penginfeksi.
5. Pembengkakan : Pembengkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema).
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk bagi
bakteri penginfeksi.
6. Infeksi : Infeksi jamur kronis pada telapak atau jari kaki juga dapat membuka
celah kulit sehingga menambah resiko bakteri penginfeksi masuk.
7. Penggunaan steroid kronik, contohnya penggunaan corticosteroid.
8. Gigitan dan sengatan serangga, hewan, atau gigitan manusia.
9. Penyalahgunaan obat dan alkohol : mengurangi sistem imun sehingga
mempermudah bakteri penginfeksi berkembang.
10. Malnutrisi : lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran, mempermudah
timbulnya penyakit ini
2.8.5 Manifestasi Klinis
2.8.6 Klasifikasi
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang
tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat
lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang
terlibat.
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi
bakteri tersebut juga mengandung supurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan
spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan
tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal
tubuh dalam mengontrol infeksi.
3 . Selulitis difus akut
2.8.11 Komplikasi
1. Bakteremia : nanah/lokal abses, super infeksi oleh bakteri gram negatif,
lymphangitis, tromboflebitis
2. Facial Selulitis pada anak dapat menyebabkan meningitis
3. Dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangrene
4. Osteomielitis
5. Arthritis Septic
6. Glomerulonefritis
7. Fasciitis Necroticans.3
BAB III
LAPORAN KASUS
Anamnesis Pribadi
No. RM : 00035626
Usia : 61 tahun
Anamnesis Penyakit
PEMERIKSAAN FISIK
Kondisi Umum :
VAS :7
HR : 110x /menit
RR : 28x /menit
Suhu : 36‘C
SpO2 : 90%
Status Generalisata
Kepala : Kepala dan leher simetris, TVJ normal, Trakea medial, pembesaran
Mata :
Isokor, ka=ki
Thorax :
Inspeksi : Simetris fusiformis
Abdomen :
Inspeksi : Simetris.
Ekstremitas :
Superior : Hemiplegia sin (-) edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik
Inferior : Hemiplegia sin (+) edema (+/+), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik, Refleks KPR : (++/++), Refleks APR (++/++)
DIAGNOSIS KERJA
TATALAKSANA
Rencana Tindakan
Eosinofil 1 % 1-8
Basofil 0 % 0-2
Neutrofil 93* % 44-73
Limfosit 3* % 15-43
Monosit 3* % 6-14
Thoraks AP-SIT :
Kondisi foto cukup. Posisi tidak simetris. Inspirasi kurang.
Jantung kesan membesar ke kanan-kiri dengan apeks tertanam,
pinggang jantung tidak menonjol.
Aorta elongasi. Trakea di tengah. Mediastinum superior tidak melebar.
Hilus tidak menebal. Tampak fibroinfiltrat pada lapangan atas paru kanan dan infiltrate di
perihilar-parakardial kanan serta retrokardial kiri.
Sinus kotofrenikus dan diafragma baik.
Kesimpulan :
Suspek kardiomegali dengan LVH disertai aorta elongasi.
Echocardiography (25/10/2022 – 20:49:57)
Kesan :
- High risk VTE
- Tidak konsisten untuk suatu DVT (Namun resiko tinggi untuk VTE)
FOLLOW UP PASIEN
24/10/22 Hari ke-1
S Sesak nafas, lemas, sesak nafas ketika berjalan, Kaki bengkak kanan dan kiri,
pasien sulit berjalan karena kaki bengkak kanan dan kiri,
RPT : DM tipe 2, Jantung, Post Stroke
O Sens : CM
TD : 180/80 mmHg
HR : 110 x/i
RR : 28 x/i
Temp : 36.7 ’C
SpO2 : 98%
KGD : 221
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
CTR : Kardiomegali
Abdomen : Inspeksi : Simetris
Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
CTR : Kardioemgali
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
A HFmrEF ec HHD + PJK + DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + Susp DVT, DD : Sellulitis +
gangren diabetic sinistra
P dr. Dicky Yulianda, Sp. JP., FIHA
Threeway
Furosemide tab. 1x 20mg (pagi)
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)
PCT 3x 500mg
R/ USG Doppler vascular
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
Status Lokalisata
Kepala : Normocephal
Telinga : Normotia
BAB V
DISKUSI
Teori Anamnesa
Diagnosis
Kriteria Mayor :
• Ronki basah
• Refluks hepatojugular
• Gallop S3
• Kardiomegali
Kriteria Minor:
• Edema ekstremitas
• Hepatomegali
• Dispnea d’effort
• Efusi pleura
KESIMPULAN
Seorang Laki-laki , Usia 61 tahun datang ke IGD dengan keluhan Sesak nafas dan
Lemas , kaki bengkak Masuk Rumah sakit . Berdasarkan Anamnesis ,
Pemeriksaan Fisik , dan Pemeriksaan Penunjang , Pasien didiagnosis dengan CHF
ec CAD et HHD + Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia +
Selulitis DD : DVT + Gangren Diabetic Sinistra. Setelah di evaluasi selama 12
hari dirawat pasien mengalami Perbaikan dan sudah boleh pulang pada tgl 4
November 2022.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bozkurt, B., Coats, A. J., Tsutsui, H., Abdelhamid, M., Adamopoulos, S.,
Albert, N., Anker, S. D., Atherton, J., Böhm, M., Butler, J., Drazner, M.
H., Felker, G. M., Filippatos, G., Fonarow, G. C., Fiuzat, M., Gomez-
Mesa, J. E., Heidenreich, P., Imamura, T., Januzzi, J., & Zieroth, S. (2021).
Universal Definition and Classification of Heart Failure: A Report of the
Heart Failure Society of America, Heart Failure Association of the
European Society of Cardiology, Japanese Heart Failure Society and
Writing Committee of the Universal Definition o. Journal of Cardiac
Failure, 27(4), 387– 413. https://doi.org/10.1016/J.CARDFAIL.2021.01.022
2. McDonagh, T. A., Metra, M., Adamo, M., Gardner, R. S., Baumbach, A.,
Böhm, M., Burri, H., Butler, J., Čelutkienė, J., Chioncel, O., Cleland, J. G.
F., Coats, A. J. S., Crespo- Leiro, M. G., Farmakis, D., Gilard, M.,
Heymans, S., Hoes, A. W., Jaarsma, T., Jankowska, E. A., & Skibelund, A.
K. (2021). 2021 ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure Developed by the Task Force for the Diagnosis
and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure of the European Society
of Cardiology (ESC) with the Special Contribution. European Heart
Journal, 42(36), 3599–3726.
3. Lilly LS, ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Massachusetts:
Lippincolt Williams & Wilkins. 2011.
4. Mariyono HH, Santoso Anwar. Gagal Jantung. SMF Kardiologi FK Unud.
2007
5. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration
with the Heart. Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1–641 – e61. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
6. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart
J 2008;29:2388–442.
7. Chioncel O, Mebazaa A, Harjola VP, Coats AJ, Piepoli MF, Crespo-Leiro
MG, Laroche C, Seferovic PM, Anker SD, Ferrari R, Ruschitzka F, Lopez-
Fernandez S, Miani D, Filippatos G, Maggioni AP, ESC Heart Failure Lon
g-Term Registry Investigators. Clinical phenotypes and outcome of patient
s hospitalized for acute heart failure: the ESC Heart Failure Long-Term Re
gistry. Eur J Heart Fail 2017;19:12421254.
8. Masip J, Peacock WF, Price S, Cullen L, Martin-Sanchez FJ, Seferovic P,
Maisel AS, Miro O, Filippatos G, Vrints C, Christ M, Cowie M, Platz E,
McMurray J, DiSomma S, Zeymer U, Bueno H, Gale CP, Lettino M,
Tavares M, Ruschitzka F, Mebazaa A, Harjola VP, Mueller C, Acute Heart
Failure Study Group of the Acute Cardiovascular Care Association and the
Committee on Acute Heart Failure of the Heart Failure Association of the
European Society of Cardiology. Indications and practical approach to
non-invasive ventilation in acute heart fail- ure. Eur Heart J
2018;39:1725.
9. Harjola VP, Mebazaa A, Celutkiene J, Bettex D, Bueno H, Chioncel O,
Crespo- Leiro MG, Falk V, Filippatos G, Gibbs S, Leite-Moreira A, Lassus
J, Masip J, Mueller C, Mullens W, Naeije R, Nordegraaf AV, Parissis J,
Riley JP, Ristic A, Rosano G, Rudiger A, Ruschitzka F, Seferovic P,
Sztrymf B, Vieillard-Baron A, Yilmaz MB, Konstantinides S.
Contemporary management of acute right ventricular failure: a statement
from the Heart Failure Association and the Working Group on Pulmonary
Circulation and Right Ventricular Function of the European Society of
Cardiology. Eur J Heart Fail 2016;18:226241.
10. Menon V, Slater JN, White HD, Sleeper LA, Cocke T, Hochman JS. Acute
myocardial infarction complicated by systemic hypoperfusion without
hypotension: report of the SHOCK trial registry. Am J Med
2000;108:374380.
11. Dumitru I. Heart
Failure.Medscape.http://reference.medscape.com/article/163062-overview#a1
[Accessed 11 May 2016].
12. King M, Kingery J, Casey B. Diagnosis and Evalution of Heart Failure.
NCBI. http://ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/22962896/ [Accessed 11 May 2016]
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.