Anda di halaman 1dari 101

RESENTASI KASUS MITRA MEDIKA AMPLAS

PRESENTASE ILMIAH

CHF + DM Tipe 2 + Stroke + Pneumonia + Gangren Diabetic

S : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Mitra Medika Amplas dengan keluhan sesak nafas
dan lemas sejak 4 hari SMRS. Sesak memberat saat beraktivitas. Os sering merasa sesak
ketika berjalan dan os merasa lebih nyaman apabila tidur menggunakan bantal kepala yang
tinggi. Mual dan muntah dijumpai sebanyak 5 kali sebelum masuk rumah sakit. Berisikan
makanan. Pasien juga mengeluhkan kaki kanan dan kirinya bengkak sejak 5tahun yang
lalu. Pasien mengeluh sulit berjalan karena kedua kakinya bengkak. BAK & BAB dalam
batas normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Pasien pernah menderita DM Tipe 2,


Jantung, Riwy. Stroke 4 tahun yang lalu.

Riwayat Penggunaan Obat : Pasien jarang konsumsi obat DM &


Jantung.

Riwayat Kebiasaan : Kebiasaan merokok (+), Alkohol (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Kondisi Umum :
O: Sensorium : Compos Mentis (E4V5M6)

VAS :7

Tekanan darah : 180/80 mmHg

HR : 110x /menit

RR : 28x /menit

Suhu : 36‘C

SpO2 : 90%

KGD : 221 mg/dl


Status Generalisata

Kepala : Kepala dan leher simetris, TVJ normal, Trakea medial, pembesaran

KGB (-), Struma (-)

Mata :

 Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-)

 Sklera ikterik (-/-)

 Refleks pupil (+/+)

 Isokor, ka=ki

Thorax :

 Inspeksi : Simetris fusiformis

 Palpasi : SF kanan = kiri


 Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru kanan dan kiri
 Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler kanan dan kiri
 Suara tambahan : Ronki Halus (-/-), Wheezing (+/+)

Abdomen :

 Inspeksi : Simetris.

 Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar &


lien tidak teraba

 Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

 Auskultasi: Peristaltik (+)


Pinggang : Nyeri ketok sudut costo-vertebra (+)

Ekstremitas :
 Superior : Hemiplegia sin (-) edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik
 Inferior : Hemiplegia sin (+) edema (+/+), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik, Refleks KPR : (++/++), Refleks APR (++/++)

DIAGNOSIS KERJA

A : Susp. CHF ec. HHD + DM Tipe 2

TATALAKSANA
P : IVFD NaCl 0,9% 500ml

 NRM O2 5lpm, SpO2 90%  98%

 Inj. Furosemide 20mg

 Inj. Metamizole 1000mg

 Inj. Ondansentron 4mg

 Inj. Ranitidine 50mg

Rencana Tindakan

 Pemeriksaan DL, KGDS , Rapid Antigen Covid-19, EKG, Foto


Thoraks, Ur/Cr, Electrolite

 Pasang Urine Cateter

Konsultasi dr. Dicky Yulianda, Sp. JP., FIHA. :

 IVFD NaCl 0,9% 10gtt/i Macro

 Inj. Ranitidine 1amp /12jam

 Inj. Ondansentron 4mg /8jam

 Inj. Furosemide 2amp /8jam

 Spironolaktone 1x25mg (pagi)

 Candesartan 1x8mg (malam)

 NKR 2x2.5mg (pagi)

 CPG 1x75mg (pagi)


 Atorvastatin 1x20mg (malam)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurtut AHA (American Heart Association) (2017), batas normal


tekanan darah usia dewasa adalah < 120 mmHg sistolik dan < 80 mmHg diastolik.
Seseorang dapat dikatakan hipertensi apabila nilai tekanan darah sistolik ≥ 130
mmHg dan diastolik ≥ 80 mmHg yang didapat dari rata-rata ≥ 2 pengukuran pada
≥ 2 pertemuan (kunjungan pasien).

Infeksi saluran kemih (ISK) menurut World Health Organization adalah


penyakit infeksi kedua tersering pada tubuh setelah infeksi saluran pernafasan dan
sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan per tahun. Infeksi Saluran Kemih merupakan
infeksi akibat berkembangbiaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang
dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus atau
mikroorganisme lain. Saluran kemih manusia merupakan organ–organ yang
bekerja untuk mengumpul dan menyimpan urin serta organ yang mengeluarkan
urin dari tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra (Mantu et al.,
2015).
Data statistik menyebutkan 20-30% perempuan akan mengalami infeksi
saluran kemih berulang pada suatu waktu dalam hidup mereka, sedangkan pada
laki–laki hal tersebut sering terjadi setelah usia 50 tahun keatas. pada masa
neonatus, infeksi saluran kemih lebih banyak terdapat pada bayi laki – laki( 2,7%)
yang tidak menjalani sirkumsisi dari pada bayi perempuan (0,7%), sedangkan
pada masa anak anak hal tersebut terbalik dengan ditemukannya angka kejadian
sebesar 3% pada anak perempuan 1% pada anak laki laki. insiden infeksi saluran
kemih ini pada usia remaja anak perempuan meningkat 3,3% sampai 5,8%
(purnomo,2014).
Batu saluran kemih (BSK) merupakan penyakit yang sering di Indonesia.
BSK adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang
terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang
mempengaruhi daya larut substansi
PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh
terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli
paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis,
emfisema, atau gabungan keduanya.

Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama,


meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.
1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk memahami tentang CHF + DM + Stroke + AKI + Gangrene Diabetikum +
DVT + Selulitis
2. Untuk meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran

3. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Internship


Dokter di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Amplas Tahun 2022/2023
1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah dapat meningkatkan
pemahaman dan kemampuan klinis peserta Program Internship Dokter mengenai
kasus eklampsia,perdarahan post partum dan anemia di fasilitas kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Congestive Heart Failure (CHF)
2.1.1 Defenisi
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks dan progresif yang
mucul dari kerusakan struktural dan fungsional jantung sehingga tidak mampu
memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kecukupan aliran darah dan
pengiriman oksigen ke seluruh tubuh. Penurunan curah jantung dan perfusi yang
tidak adekuat akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan, gangguan
pertukaran gas, ketidakseimbangan volume cairan, dan penurunan kemampuan
kapasitas fungsional. Identifikasi etiologi yang mendasari disfungsi jantung adalah
hal utama dalam diagnosis heart failure dan dapat menentukan pengobatan
selanjutnya.
2.1.1 Etiologi
Penyebab CHF dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) kelainan fungsi
kontraksi ventrikel, (2) peningkatan afterload, atau (3) gangguan relaksasi dan
pengisian ventrikel.
2.1.2 Faktor Resiko
a. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupungagal jantung
dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapisemakin tua seseorang
maka akan semakin besar kemungkinan menderitagagal jantung karena kekuatan
pembuluh darah tidak seelastis saat mudadan juga timbulnya penyakit jantung
yang lain pada usia lanjut yangmerupakan faktor resiko gagal jantung. Menurut
penelitian Siagian diRumah Sakit Haji Adam Malik (2009) proporsi penderita
gagal jantungsemakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia yaitu 9,6%
pada usia≤15tahun, 14,8% pada usia 16-40 tahun dan 75,6% pada usia > 40 tahun.

b. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantungdaripada
perempuan.Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyaihormon estrogen
yang berpengaruh terhadap bagaimana tubuhmenghadapi lemak dan kolesterol.
Menurut panelitian Wheltondkk di Amerika (2001) laki-laki memiliki resiko
relatif sebesar 1,24 kali(P=0,001) dibandingkan dengan perempuan untuk
terjadinya gagal jantung.

c. Hipertensi.
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah
yang tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus diatas 140/80, jantung akan
semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang lama,
risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat.Penurunan berat badan,
pembatasan konsumsi garam, dan penguranganalkohol dapat membantu
memperoleh tekanan darah yang menyehatkan.

d. Penyakit katup jantung


Penyakit katup jantung sering disebabkan oleh penyakit jantung
rematik.Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral
danstenosis aorta. Regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta menyebabkankelebihan
beban volume (peningkatan  preload  ) sedangkan stenosis aortamenimbulkan
beban tekanan (peningkatanafterload ).
Menurut Whelton dkk di Amerika (2001) penyakit katup jantung memiliki
risiko relative sebesar 1,46 (P=0,001) untuk terjadinya gagal jantung.
e. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PBJ) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi
akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembanganstruktur jantung pada fase
awal perkembangan janin.
Penyakit jantung bawaan bisa terdiagnosis sebelum kelahiran atau sesaat
setelah lahir, selama masa anak-anak, atau setelah dewasa. Penyakit jantung
bawaan dengan adanya kelainan obat jantung akan mengarah pada gagal jantung.

f. Penyakit Jantung Rematik 


Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease(RHD)
adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantungyang bisa berupa
penyempitan, atau kebocoran, terutama katup mitral(stenosis katup mitral) sebagai
akibat adanya gejala sisa dari demam rematik.Demam rematik akut dapat
menyebabkan peradangan padasemua lapisan jantung.Peradangan endokardium
biasanya mengenaiendotel katup, dan erosi pinggir daun katup bila miokardium
terserangakan timbul nodular yang khas pada dinding jantung sehingga
dapatmenyebabkan pembasaran jantung yang berakhir pada gagal jantung.
g. Aritmia
Aritmia adalah berkurangnya efisiensi jantung yang terjadi bilakontraksi
atrium hilang (atrium fibrilasi,AF).Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan
gagal jantung dihubungkan dengan kelainanstruktural termasuk hipertofi ventrikel
kiri pada penderita hipertensi.
h. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang
bukandisebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit
jantungkongenital, ataupun penyakit katup jantung.Kardiomiopati ditandaidengan
kekakuan otot jantung dan tidak membesar sehingga terjadikelainan fungsi
diastolik (relaksasi) dan menghambat fungsi ventrikel.

i. Merokok dan Konsumsi Alkohol


  Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung.Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantungdalam membawa
dan mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C(kolesterol baik) di dalam
darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet,yaitu sel-sel penggumpalan
darah.Pengumpalan cenderung terjadi padaarteri jantung, terutama jika sudah ada
endapan kolesterol di dalam arteri.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal


jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (paling sering atrial fibrilasi).

Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkankardiomiopati


dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).Alkoholmenyebabkan gagal jantung
2– 3% dari kasus.Alkohol juga dapatmenyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin.
Obat-obatan jugadapat menyebabkan gagal jantung.Obat kemoterapi
sepertidoxorubicindan obat antivirus sepertizidofudin dan juga dapat
menyebabkan gagal jantungakibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

2.1.4 Patofisiologi
Gagal jantung yang disebabkan karena kelainan pengosongan ventrikel, yang
dapat disebabkan oleh kelainan kontraksi atau afterload yang berlebihan, disebut
disfungsi sistolik.5 Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri
yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (RAA) serta kadar vasopressin dan natriuretic peptide yang bertujuan
untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung.Aktivasi simpatis
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan
nekrosis miokard fokal.Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosterone.Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi
sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat araf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosterone. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang
meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-
1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu
juga berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure,
perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai
obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular
dan miokardial akibat endotelin.
Sedangkan gagal jantung yang disebabkan karena kelainan relaksasi atau
pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik.3 Pada disfungsi diastolik terjadi
gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan
berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung coroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amyloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30-40% penderita gagal jantung memiliki kontraksi
ventrikel yang masih normal.
2.1.3 Manifestasi Klinis
2.1.5 Klasifikasi

LV = left ventricular; LVEDP = left ventricular end-diastolic pressure; MCS =


mechanical circulatory support; PCWP = pulmonary capillary wedge pressure;
RV = right ventricular; RVEDP = right ventricular end-diastolic pressure; RRT =
renal replacement therapy; SBP = systolic blood pressure.
a. Acutely Decompensated Heart Failure

Acutely Decompensated Heart Failure (ADHF) adalah yang paling umum terja
di dari AHF (Acute Heart Failure), terhitung 50-70%. Kejadian ini biasanya terjad
i dengan heart failure sebelumnya dan dapat termasuk disfungsi RV
b. Acute Pulmonary Oedema
Acute pulmonary oedema berhubungan dengan penyumbatan di paru. Kriteria
klinisi untuk acute pulmonary oedema termasuk dalam dispone dengan orthopnoe
a, repiratory failure (hypoxaemia-hypercapnia),tachypnoea,pernapasan >25x/I da
n peningkatan usaha untuk bernafas. Tiga terapi harus dimulai jika adanya indikasi
tersebut. Yang pertama oksigen, diberikan tekanan udara positif, tekanan ventilasi
non-invasive positif dan/atau aliran tinggi nasal kanul. Kedua deuretik harus diberi
kan. Dan ketiga vasodilator dapat diberikan jika tekanan darah (SBP) tinggi, untuk
menurunkan LV afterload.

c. Isolated Right Ventricular Failure


Kegagalan RV berhubungan dengan peningkatan RV, tekanan atrial dan peny
umbatan sistemik. Kegagalan RV juga dapat merusak pengisian LV dan pada akhi
rnya menurunkan cardiac output. Deuretik juga dapat menjadi pilihan untuk terapi
penyumbatan venous. Pemberian noradrenaline di indikasi kan jika terjadi low car
diac output dan hemodinamik tidak stabil.

d. Cardiogenic Shock
Cardiogenic shock adalah sindrom dikarenakan disfungsi jantung yang mengh
asilkan inadekuat cardiac output, terdiri dari keadaan yang mengancam nyawa yan
g disebabkan hipoperfusi ke jaringan yang dimana dapat terjadi kegagalan multior
gan dan kematian
2.1.7 Diagnosis
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung
yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
 Kriteria Mayor :
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe
- Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari dalam respon pengobatan
- Distensi vena leher
- Ronki basah
- Edema paru akut
- Refluks hepatojugular
- Gallop S3
- Peninggian tekanan vena jugularis
- Kardiomegali
- Edema pulmonal atau kardiomegali pada otopsi
 Kriteria Minor:
- Batuk malam hari
- Edema ekstremitas
- Hepatomegali
- Dispnea d’effort
- Efusi pleura
- Takikardia (> 120 x/menit)
- Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal.

Pada pemeriksaan fisik pada pasien gagal jantung kongestif dapat ditemui
beberapa hal, yaitu:
1. Karotid : normal atau penurunan volume
2. Tekanan vena jugular : normal atau meningkat
3.Refluks hepatojugular : + atau –
4. S3, S4 : + atau –
5. Ronkhi basah : + atau –
6. Edema : + atau –
7. Asites : + atau –
8. Hepatomegali : + atau – .

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah:


a. Ekokardiogram
Untuk membedakan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dengan mengukur
ejection fraction, untuk menentukan penyakit katup jantung.
b. B-type Natriuretic Peptide (BNP)
Disekresi oleh ventrikel dalam jantung sebagai reaksi terhadap peregangan sel
otot-otot jantung. Membedakan penyebab sesak akibat kegagalan jantung dan
penyebab sesak yang lain.
c. Chest X-rays
Mampu menggambarkan pembesaran jantung (kardiomegali).
d. EKG
Menentukan aritmia, penyakit jantung iskemik, hipertrofi ventrikular kanan dan
kiri serta kejadian ‘conduction delay’ atau gejala yang abnormal
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan
lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit
yang bermakna jarang dijumpi pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang
yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hyperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi
menggunakan diuretic dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor),
ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone
2.1.8 Diagnosa Banding
 Acute Renal Failure

Acute kidney injury (AKI) yang sebelumnya diknal dengan ARF adalah
penurunan fungsi ginjal yang di tandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum
dibanding dengan kadar sebelumnya atau penurunan urine output, penurunan
cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversible, diiikuti kegagalann ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen dengan / tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi


kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi
cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga
distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Definisi ARDS mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu.
- Gagal napas dengan onset yang bersifat akut
- Rasio PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg

- Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.
- Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-
tanda
- peningkatan tekanan pada atrium kiri.

 Pulmonary Fibrosis

Fibrosis paru adalah salah satu penyakit grup besar penyakit paru
interstisial. Penyakit ini, bias didefinisikan sebagai kondisi dimana jaringan paru
menjadi jaringan parut. Jaringan parut tersebut menumpuk sehingga membuat
paru-paru kaku dan disebut fibrosis. Sehingga pasien biasanya mengalami
kesulitan untuk bernapas. Fibrosis paru dapat menyebabkan penyakit lain seperti,
paru-paru kolaps, infeksi paru-paru dan kanker paru.
 .Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai


dengan edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek
metabolik yang berdampak pada individu, beberapa episode sindrom nefrotik
adalah self-limited dan sebagian diantaranya respon dengan terapi spesifik,
sementara sebagiannya lagi merupakan kondisi kronis.
 Pulmonary Embolism

Emboli paru (EP) merupakan kondisi akibat tersumbatnya arteri paru, yang
dapat menyebabkan kematian pada semua usia. Penyakit ini sering ditemukan dan
sering disebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah dari bagian tubuh lain dan
tersangkut di paru-paru, sering berasal dari vena dalam di ekstremitas bawah,
rongga perut, dan terkadang ekstremitas atas atau jantung kanan. Selain itu dapat
diartikan sebagai penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu
embolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli bias merupakan gumpalan
darah (thrombus), tetapi juga berupa lemak yang akan mengikuti aliran darah
sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.

2.1.9 Penatalaksanaan
 Deuretik Loop (IV) direkomendasikan untuk mengurangi sesak nafas dan
kongesti. Gejala, urin, fungsi renal dan elektrolit harus diawasi secara berkala
semalam penggunaan deuretika IV
 Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien dengan saturasi
perifer <90% atau Pa02 <60 mmHg, untuk memperbaiki hipoksemia
 Profilaksis tromboemboli direkomdeasikan untuk pasien yang belum dapat
antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan, untuk
menurunkan risiko deep vein thrombosis dan emboli paru.
 Pemberuan ventilasi non invasive (CPAP) harus dipertimbangkan bagi pasien
dengan edema paru dan pernafasan >20x/menit untuk mengurangi sesak nafas,
mengurangi hiperkapnia dan asidosis.Ventilasi non invasive dapat menurunkan
tekanan darah dan tidak dipergunakan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<85mmHg.
 Pemberian Nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien edema/kongesti paru
dengan tekanan darah sistolik >110 mmHg, yang tidak memiliki stenisus katup
mitral atau aorta. Nitrat dapat menghilangkan dispone dan kongesti.
 Obat Inotropic tidak direkomendasikan kecuali pasien mengalami hipotensi
(tekanan darah sistolik <85mmHg), hipoperfusi atau syok, dikarenakan faktor
keamanannya (bias menyebabkan aritmia atrial/ventricular, iskemia miokard dan
kematian.
2.1 Diabetes Melitus (DM)
2.2.1 Defenisi
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan diabetes melitus
(DM) sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduaduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berasosiasi dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.6World Health Organization (WHO)
merumuskan diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat definisi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.
2.2.1 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2014,


sekitar 422 juta orang dengan usia lebih dri 18 tahun telah menderita DM, dimana
prevalensi tertingginya diduduki oleh negara bagian Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. International Diabetes Federation (IDF) mengestimasikan bahwa Indonesia
akan mengalami peningkatan dalam jumlah penyandang DM sebesar 9,1 juta pada
tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data RISKESDAS
tahun 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia untuk usia di atas 15 tahun
mencapai 5,7%. Hal ini membuat Indonesia menempati peringkat kelima dalam
jumlah penyandang DM terbanyak di dunia.
Berdasarkan tipenya, DM Tipe 2 memiliki prevalensi yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan DM Tipe 1 (>85%). Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 mendapatkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia
25-64 tahun di Jawa dan Bali sebesar 7,5%. World Health Organization (WHO)
memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak
23 kali lipat pada tahun 2035.
2.2.3 Patogenesis
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang
berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resitensi insulin, danfaktor
lingkungan seperti obesitas, over eating, kurang berolah raga, stres, dan juga
penuaan. Penyakit ini merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan
multipel gen dan faktor lingkungan dan biasanya terjadi pada usia 30 tahun ke
atas.

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan terganggunya sekresi insulin,


resistensi insulin, produksi hepatic glucose yang berlebihan, serta abnormalitas
metabolisme lemak. Pada fase awal penyakit ini, toleransi glukosa masih
mendekati normal meskipun ada resistensi insulin, hal tersebut karena sel beta
pankreas masih bisa mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin.
Seiring dengan berjalannya waktu, pancreatic islet tidak mampu mempertahankan
keadaan hiperinsulinemia. Setelah itu munculah suatu keadaan yang disebut
sebagai Impaired Glucose Tolerance (IGT) yang ditandai dengan peningkatan
kadar gula darah post prandial. Penurunan lebih lanjut pada sekresi insulin dan
meningkatnya produksi hepatic glucose menyebabkan terjadinya diabetes yang
nyata terlihat dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel beta terjadi
kemudian.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan selbeta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentraldari DM tipe 2. Namun kini
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti :
jaringan lemak, gastrointestinal, sel alpha pancreas, ginjal, dan otak, berperan
dalam terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Delapan organ
penting yang terlibat dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 ini dikenal
sebagai omnius octet.

Gambar 1. Ominous Octet, delapan organ yang dianggap berkaitan dengan


patogenesis hiperglikemia DM tipe 2.
1. Kegagalan sel beta pancreas

Fungsi sel beta sudah sangat berkurang ketika diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.1

2. Liver

Resistensi insulin yang berat pada DM Tipe 2 memicu glukoneogenesis sehingga


produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat atau dikenal dengan
sebutan hepatic glucose production (HGP).1
3. Otot

Gangguan kerja insulin yang multipel di intramioselular terjadi akibat gangguan


fosforilasi tirosin sehingga menimbulkan gangguan transport glukosa dalam sel
otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.1

4. Sel Lemak
Peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = free fatty acid)
dalam plasma diakibatkan oleh sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis
dari insulin. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxicity.1

5. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon, yaitu GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependentinsulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP1 dan resistensi terhadap
GIP. Selain itu, incretin juga segera dipecah enzim DPP-4, sehingga incretin
hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan menyebabkan meningkatnya glukosa darah setelah makan.1
6. Sel Alpha Pankreas

Ketika keadaan puasa, sel Alpha akan meningkat kadarnya di dalam plasma dan
berfungsi dalam sintesis glukagon. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding orang normal.1
7. Ginjal

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per hari. Sembilan puluh persen dari
glukosa yang terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedangkan
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT- 2.1
8. Otak

Insulin berperan sebagai penekan nafsu makan yang kuat, akan tetapi pada
individu dengan DM asupan makanan justru meningkat karena adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak.1
2.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada DM tipe 2 dapat berupa keluhan klasik dan


keluhan lain. Keluhan klasik terdiri dari poliuria, polifagia, polidipsia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan keluhan
lain terdiri dari badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi,
pruritus vulva.1
Polidipsia dan poliuria terjadi akibat tingginya kadar gula dalam aliran
darah sehingga menyebabkan cairan ditarik keluar dari jaringan, sehingga
menyebabkan penderita DM sering buang air kecil dan sering minum sebagai
kompensasinya. Polifagia disebabkan karena glukosa tidak bisa masuk ke sel dan
digunakan oleh sel, sehingga otot dan organ tubuh menjadi kekurangan energi.
Terganggunya penggunaan glukosa terjadi akibat terganggunya kinerja insulin.
Penurunan berat badan terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk
memetabolisme glukosa, sehingga tubuh menggunakan energi alternatif yang
diambil dari yang tersimpan di otot maupun lemak tubuh.11

2.2.1 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan untuk diagnosis adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan berupa plasma darah vena. Glukosuria
tidak dapat menegakkan diagnosis. Jika individu mengalami keluhan yang baik
berupa keluhan utama maupun keluhan lain, kecurigaan terhadap DM perlu
dipikirkan.1

Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut.2

a. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai tidak ada intake
kalori dalam setidaknya 8 jam, atau
b. Glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL. Tes toleransi
glukosa dilakukan sesuai standar WHO dengan 75gram glukosa anhidrat yang
dilarutkan dalam air, atau
c. A1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan dilakukan pada laboratorium yang menggunakan
metode yang tersertifikasi NGSP dan terstandardisasi DCCT assay, atau
d. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dengan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
2.2.6 Penatalaksanaan
Modalitas terapi pada pasien DM terdiri dari edukasi, terapi nutrisi,
jasmani, dan terapi farmakologis.

1. Edukasi
Edukasi meliputi promosi hidup sehat dan dilakukan sebagai upaya pencegahan
dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara holistik.1

2. Terapi Nutrisi
Komposisi makanan dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65% terutama yang
berserat tinggi. Lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak melebihi
30% total asupan energi. Protein sebesar 10-20% total asupan energi. Asupan
natrium sama seperti orang sehat yaitu <2300 mg per hari. Konsumsi serat
dianjurkan 20-35 gram/hari.1

Kebutuhan kalori bagi penderita DM adalah 25 kal/kgBB ideal untuk wanita dan
30 kal/kgBB ideal untuk laki-laki. Jumlah kebutuhan kalori bisa ditambah atau
dikurangi atas dasar beberapa faktor, seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Stres metabolik juga memengaruhi jumlah kalori yang harus
diberi, penambahan 1030% tergantung dari beratnya stres metabolik (sepsis,
operasi, trauma).1
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan DM tipe 2 yang tidak
disertai nefropati. Kegiatan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali per
minggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu. Latihan
jasmani yang dilakukan adalah yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksmial). Contoh latihan jasmani tersebut meliputi jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.1
4. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1

A. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi 5 golongan :


a) Pemacu Sekresi Insulin
• Sulfonilurea : mempunyai efek utama sebagai peningkat sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utamanya berupa hipoglikemia dan peningkatan
berat badan.
• Glinid : cara kerja sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.

b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

• Metformin : merupakan pilihan pertama bagi sebagian besar kasus DM tipe 2.


Efek utamanya mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
• Tiazolindindion :agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma
(PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat di sel otot, lemak, dan hati.

c) Penghambat Absorpsi Glukosa di Saluran Pencernaan


Penghambat glukosidase alfa : bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan.
d) Penghambat DPP-IV
Menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
e) Penghambat SGLT-2

Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengancara


menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
B. Obat Antihiperglikemia Suntik

a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat disertai ketosis

- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi obat hiperglikemik oral (OHO) dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis, yaitu :


1) Insulin kerja cepat (rapid-acting insulin)

Contoh: lispro (humalog), aspart (novorapid), glulisin (apidra).Awitan (onset) 5-


15 menit, puncak efek 1-2 jam, lama kerja 4-6 jam.
2) Insulin kerja pendek (short-acting insulin)

Contoh: humulin R, actrapid.Awitan (onset) 30-60 menit, puncak efek 2-4 jam,
lama kerja 6-8 jam.
3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

Contoh: humulin N, insulatard, insuman basal.Awitan (onset) 1,5-4 jam, puncak


efek 4-10 jam, lama kerja 8-12 jam.
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Contoh: glargine (lantus), detemir (levemir), lantus 300. Awitan (onset) 1-3 jam,
puncak efek hampir tanpa puncak, lama kerja 12-24 jam.
5) Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)

Contoh: degludec (tresiba). Awitan (onset) 30-60 menit, puncak efek hampir tanpa
puncak, lama kerja sampai 48 jam.
6) Insulin campuran tetap.

Terapi insulin dapat diberikan secara infus intravena kontinyu atau subkutan,
secara terprogram atau terjadwal. Kebutuhan insulin harian total (IHT) dapat
didasarkan pada dosis insulin sebelum perawatan atau dihitung sebagai 0,5-1
unit/kg BB/hari. Untuk lanjut usia atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
hendaknya diberikan dosis yanglebih rendah, misalnya 0,3 unit/kg BB/hari.12
Setelah kebutuhan insulin harian total (IHT) dihitung, misalnya pada pasien
dengan berat badan 100 kg maka kebutuhan IHT nya adalah 0,5 unit dikali 100 kg
= 50 unit per hari. Empat puluh persen dari 50 unit itu merupakan dosis insulin
basal (50 unit x 40% = 20 unit) yang diberikan sebelum tidur. Enam puluh persen
dari 50 unit itu adalah dosis insulin prandial (50 unit x 60% = 30 unit), dosis
sebesar 30 unit itu dibagi 3 dan dikonsumsi setiap setelah makan atau dengan kata
lain 10 unit setiap setelah makan.13

2.2.1 Komplikasi
Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dibagi menjadi komplikasi aku dan
komplikasi kronik.1

A. Komplikasi Akut

- Krisis Hiperglikemia

Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut yang ditandai dengan


peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat, osmolalitas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Status
Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) juga termasuk krisis hiperglikemia dengan
peningkatan glukosa darah hingga 600-1200 mg/dL tanpa disertai tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.1

- Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL. Hipoglikemia


ditandai dengan adanya whipple's triad, yaitu terdapat gejala-gejala hipoglikemia,
kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan pengobatan.1

B. Komplikasi Kronik

- Makroangiopati

Makroangiopati bisa mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan
pembuluh darah otak. Apabila mengenai pembuluh darah tepi, gejala tipikal yang
biasa muncul pertama kali adalah nyeri ketika beraktivitas dan berkurang saat
istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus
iskemik pada kaki merupakan kelainan yang bisa dapat ditemukan pada
penderita.1
- Mikroangiopati

Mikroangiopati dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati.


Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari gagal ginjal stadium
akhir. Sekitar 20-40% penderita diabetes akan mengalami nefropati diabetes.
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >30 mg
dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan,
tanpa penyebab albuminuria lainnya.1
Pada neuropati perifer, hilangnya sensai distal merupakan faktor penting yang
berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering terasa oleh penderita meliputi rasa terbakar pada kaki dan
bergetar sendiri, serta pada malam hari terasa lebih sakit. Pada polineuropati distal
perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk mengurangi risiko ulkus
pada kaki yang akhirnya bisa menjadi kaki diabetes.1

2.3 Stroke

2.3.1 Defenisi
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya
suplai darah ke bagian otak 2 . Definisi yang paling banyak diterima secara luas
adalah bahwa stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau
tanda klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain
selain penyebab vaskuler 3 .
Secara garis besar stroke dibagi menjadi dua golongan yaitu stroke
perdarahan dan stroke iskemik 4. Stroke iskemik terjadi sekitar 80% sampai 85 %
dari total insiden stroke yang diakibatkan obstruksi atau bekuan di satu atau lebih
arteri besar pada sirkulasi serebrum. Stroke iskemik adalah stroke yang
disebabkan adanya obtruksi dari pembuluh darah oleh plak aterosklerotik, bekuan
darah atau kombinasi keduanya sehingga menghambat aliran darah ke area otak 5.
Obstruksi ini dapat disebabkan karena adanya bekuan (trombus) yang terbentuk di
dalam pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal6.

2.3.2 Klasifikasi
a. Stroke Iskemik
Stroke Iskemik (non hemoragic) adalah penurunan aliran darah ke bagian
otak yang disebakan karena vasokontriksi akibat penyumbatan pada pembuluh
darah arteri sehingga suplai darah ke otak mengalami penurunan 3. Stroke iskemik
merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkain perubahan
dalam otak yang terserang, apabila tidak ditangani akan segera berakhir dengan
kematian di bagian otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak
aterosklerosis arteri otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang
tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan jenis stroke yang paling
sering menyerang seseorang sekitar 80% dari semua stroke10.
Berdasarkan manifestasi klinis menurut ESO excecutive committe dan ESO
writting committee (2008) dan Jauch dkk (2013)11 yaitu:
 TIA (transient ischemic attack) atau serangan stroke sementara: gejala defisit
neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam. TIA menyebabkan penurunan
jangka pendek dalam aliran darah ke suatu bagian dari otak. TIA biasanya
berlangsung selama 10-30 menit.
 RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit): gejala defisit neurologi yang
akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tetapi gejala akan
menghilang tidak lebih dari 7 hari.
 Stroke evaluasi (Progressing Stroke): kelainan atau defisit neurologi yang
berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai yang berat sehingga makin
lama makin berat.
 Stroke komplit (Completed Stroke): kelainan neurologis yang sudah menetap dan
tidak berkembang lagi.
b. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh karena adanya


perdarahan suatu arteri serebralis yang menyebabkan kerusakan otak dan
gangguan fungsi saraf. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk
kedalam jaringan otak sehingga terjadi hematoma10. Berdasarkan perjalanan
klinisnya stroke hemoragik di kelompokan sebagai berikut:
 (Perdarahan intraserebral)
Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah intraserebral
yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam
jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah otak sehingga
menyebabkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian sel
sehingga mengakibatkan defisit neurologi5. Perdarahan intraserebral (PIS) adalah
perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan
bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi
dan penyakit darah seperti hemofilia
 PSA (Pendarahan subarakhnoid)

Pendarahan subarakhnoid merupakan masuknya darah ke ruang subrakhnoid baik


dari tempat lain (pendarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan
berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri (pendarahan subarakhnoid)10.
Perdarahan subarakhnoidal (PSA) merupakan perdarahan yang terjadi masuknya
darah ke dalam ruangan subarachnoid.12
2.3.3 Etiologi

Stroke iskemik bisa disebabkan oleh berbagai macam problem yang bisa
dikelompokkan menjadi 3 bagian. Yaitu masalah-masalah pembuluh darah,
jantung dan substrat darah itu sendiri.

2.3.4 Faktor Resiko


Menurut Israr (2008) ada beberapa macam faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya stroke yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi merupakan faktor
yang dapat dicegah terjadinya suatu penyakit dengan cara memberikan
intervensi.13 Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak
dapat dirubah walaupun dilakukan intervensi karena termasuk karakteristik
seseorang mulai dari awal kehidupannya.
 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
- Usia

Stroke dapat terjadi pada semua orang dan pada semua usia, termasuk anak-anak.
Kejadian penderita stroke iskemik biasanya berusia lanjut (60 tahun keatas) dan
resiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia dikarenakan mengalaminya
degeneratif organ-organ dalam tubuh 13. Sedangkan menurut Pinzon dan Asanti
(2008) stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% stroke terjadi
pada usia di atas 65 tahun.12
- Jenis kelamin

Pria memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena stroke pada usia dewasa
awal dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2:1. Insiden stroke lebih
tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rata-rata 25%-30%
Walaupun para pria lebih rawan daripada wanita pada usia yang lebih muda, tetapi
para wanita akan menyusul setelah usia mereka mencapai menopause.
 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
- Stress

Pengaruh stres yang dapat ditimbulkan oleh faktor stres pada proses aterisklerosis
melalui peningkatan pengeluaran hormon seperti hormon kortisol, epinefrin,
adernaline dan ketokolamin. Dikeluarkanya hormon kartisol, hormon adernaline
atau hormon kewaspadaan lainya secara berlebihan akan berefek pada
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sehingga bila terlalu sering dapat
merusak dinding pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya plak. Jika sudah
terbentuk plak akan menghambat atau berhentinya peredaran darah ke bagian otak
sehingga menyebabkan suplai darah atau oksigen tidak adekuat.10
- Hipertensi

Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh


darah otak, sedangkan penyempitan pembuluh darah dapat mengurangi suplai
darah otak dan menyebabkan kematian sel-sel otak. Hipertensi mempercepat
pengerasan dinding pembuluh darah arteri dan mengakibatkan penghancuran
lemak pada sel otot polos sehingga mempercepat proses arterisklerosis, melalui
efek penekanan pada sel endotel atau lapisan dalam dinding arteri yang berakibat
pembentukan plak pada pembuluh darah semakin cepat.10
- Diabetes Melitus

Diabetes melitus mempercepat terjadinya arteriskelorosis baik pada pembuluh


darah kecil maupun pembuluh darah besar atau pembuluh darah otak dan jantung.
Kadar glukosa darah yang tinggi akan menghambat aliran darah dikarenakan pada
kadar gula darah tinggi terjadinya pengentalan darah sehingga menghamabat
aliran darah ke otak. Hiperglikemia dapat menurunkan sintesis prostasiklin yang
berfungsi melebarkan saluran arteri, meningkatkanya pembentukan trombosis dan
menyebabkan glikolisis protein pada dinding arteri.15
- Hiperkolestrolemia

Secara alamiah tubuh kita lewat fungsi hati membentuk kolesterol sekitar 1000 mg
setiap hari dari lemak jenuh. Selain itu, tubuh banyak dipenuhi kolesterol jika
mengkonsumsi makanan berbasis hewani, kolesterol inilah yang menempel pada
permukaan dinding pembuluh darah yang semakin hari semakin menebal dan
dapat menyebabkan penyempitan dinding pembuluh darah yang disebut
aterosklerosis. Bila di daerah pembuluh darah menuju ke otot jantung terhalang
karena penumpukan kolesterol maka akan terjadi serangan jantung. Sementara bila
yang tersumbat adalah pembuluh darah pada bagian otak maka sering disebut
stroke.16
- Merokok

Merokok adalah salah satu faktor resiko terbentuknya lesi aterosklerosis yang
paling kuat. Nikotin akan menurunkan aliran darah ke eksterminitas dan
meningkatkan frekuensi jantung atau tekanan darah dengan menstimulasi sistem
saraf simpatis. Merokok dapat menurunkan elastisitas pembuluh darah yang
disebabkan oleh kandungan nikotin di rokok dan terganggunya konsentrasi
fibrinogen, kondisi ini mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh
darah dan peningkatan kekentalan darah.17
- Konsumsi Alkohol

Alkohol merupakan faktor resiko untuk stroke iskemik dan kemungkinan juga
terkena serangan stroke hemoragik. Minuman beralkohol dalam waktu 24 jam
sebelum serangan stroke merupakan faktor resiko untuk terjadinya perdarahan
subarakhnoid. Alkohol merupakan racun untuk otak dan apabila seseorang
mengkonsumsi alkohol akan mengakibatkan otak akan berhenti berfungsi.17
2.3.5. Epidemiologi

Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab


kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di negara berkembang.
Pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke iskemik dan 20%
mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia.4
Resiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia dikarenakan mengalaminya
degeneratif organ-organ dalam tubuh.14 Sedangkan menurut Pinzon dan Asanti
(2008) stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% stroke terjadi
pada usia di atas 65 tahun.12 Riset Kesehatan Dasar Daerah Istemewa Yogyakarta
(2014) mengemukan berdasarkan diagnosa dokter dan tenaga kesehatan atau
gejala pengelompokan stroke menurut usia, pada usia >15-24 tahun sebanyak
1,7%. Usia 25-34 tahun sebanyak 3,3% sedangkan, usia 35-44 tahun sebanyak
8,1% pada usia seseorang 45-54 tahun sebanyak 16,4%. Usia sekitar 55-64 tahun
sebanyak 37,4%, untuk usia 65-74 tahun sebanyak 59,5% sedangkan pada usia
>75 tahun sebanyak 70,3%. Berdasarkan klasifikasi usia bahwa pada usia 20-40
tahun memasuki usia dewasa awal, pada usia 41-60 tahun memasuki usia dewasa
tengah dan ketika pada usia >60 tahun memasuki kategori usia lanjut.
2.3.6 Patofisiologi
Iskemik serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan
oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus dan kemudian dapat
terlepas sebagai emboli .19 Trombus, emboli yang terjadi mengakibatkan
terjadinya iskemik, sel otak kehilangan kemampuan menghasilkan energi terutama
adenosin trifosfat (ATP), pompa Natrium Kalium ATPase gagal sehingga terjadi
depolarisasi (Natrium berada dalam sel dan Kalium diluar sel) dan permukaan sel
menjadi lebih negatif, kanal Kalsium terbuka dan influk Kalsium kedalam sel.
keadaan depolarisasi ini merangsang pelepasan neurotransmiter eksitatorik yaitu
glutamat yang juga menyebabkan influk kalsium kedalam sel, Sehingga terjadi
peningkatan Kalsium dalam sel. Glutamat yang dibebaskan akan merangsang
aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekatkan ke suatu molekul
di neuron lain, reseptor N-metil D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini
memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS) yang menyebabkan
terbentuknya molekul gas, Nitrat Oksida (NO).
Pembentukan NO yang terjadi dengan cepat dan dalam jumlah besar
melemahkan asam deoksiribonukleat (DNA) neuron, dan mengaktifkan enzim,
Poli (adenozin difosfat-[ADP] ribosa) polimerase (PARP). Enzim ini
menyebabkan dan mempercepat eksitotoksitas setelah iskhemik serebrum
sehingga terjadi deplesi energi sel yang hebat dan kematian sel. Peningkatan
Kalsium intra sel mengaktifkan protease (enzim yang mencerna protein sel),
Lipase (enzim yang mencerna membran sel) dan radikal bebas yang terbentuk
akibat jenjang sistemik. Sel-sel otak mengalami infark, jaringan otak mengalami
odema, sehingga perfusi jaringan cerebral terganggu. Sawar otak mengalami
kerusakan akibat terpajan terhadap zat-zat toksik, kehilangan autoregulasi otak
sehingga Cerebral Blood Flow (CBF) menjadi tidak responsif terhadap perbedaan
tekanan dan kebutuhan metabolik. Kehilangan autoregulasi adalah penyulit stroke
yang berbahaya dan dapat memicu lingkaran setan berupa peningkatan odema
otak dan peningkatan tekanan intrakranial dan semakin luas kerusakan neuron.
Odema otak juga akan menekan struktur-struktur saraf didalam otak sehingga
timbul gejala sesuai dengan lokasi lesi.8
Infark otak timbul karena iskemia otak yang lama dan parah dengan
perubahan fungsi dan struktur otak yang ireversibel. Gangguan aliran darah otak
akan timbul perbedaan daerah jaringan otak: a. pada daerah yang mengalami
hipoksia akan timbul edema sel otak dan bila berlangsung lebih lama,
kemungkinan besar akan terjadi infark, b. Daerah sekitar infark timbul daerah
penumbra iskemik dimana sel masih hidup tetapi tidak berfungsi, c. Daerah diluar
penumbra akan timbul edema local atau daerah hiperemisis berarti sel masih hidup
dan berfungsi.19

2.3.7 Manifestasi Klinis


Kelumpuhan/disabilitas adalah salah satu gejala umum yang dialami pasien
stroke, kelumpuhan terjadi pada salah satu sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi
otak yang mengalami kerusakan akibat stroke, kelumpuhan dapat berupa
hemiparesis atau hemiplegia. Keadaan ini dapat mempengaruhi wajah, lengan dan
kaki atau seluruh sisi tubuh sehingga pasien mengalami kesulitan dalam
melakukan kegiatan sehari hari seperti berjalan atau memegang benda.20
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak akibat
stroke iskemik disebut sindrom neurovaskular, diantaranya :8
a. Arteri Karotis Interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral)
cabang arteria karotis interna adalah arteria oftalmika, arteria komunikantes
posterior, arteria koroidalis anterior, arteria serebri anterior, arteria serebri media.
Dapat timbul berbagai sindrom diantaranya kebutaan satu mata, gejala sensorik
dan motorik di ektermitas kontra lateral karena insufisiensi arteria serebri media.
Bila lesi terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria
serebri media, gejalanya mula mula pada ekstremitas atas (misalnya, tangan
lemah, baal).
b. Arteria Serebri Media (tersering)
Gejalanya adalah hemiparesis atau monoparesis kontralateral (biasanya
mengenai lengan), kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia
global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang berkaitan
dengan bicara dan komunikasi dan disfasia.

c. Arteri Serebri Anterior


Gejalanya adalah kebingungan, kelumpuhan kontralateral yang lebih besar
di tungkai, lengan proksimal juga mungkin terkena, gerakan volunteer tungkai
yang bersangkutan terganggu, deficit sensorik kontralateral, Demensia, gerakan
menggengam, reflex patologik (disfungsi lobus frontalis).
d. Sistem Vertebrobasilar (sirkulasi posterior)
Manifestasi biasanya bilateral) Gejalanya adalah kelumpuhan disatu sampai
ke empat ekstremitas, meningkatnya reflek tendon, ataksia, tanda babinski
bilateral, tremor, vertigo, disfagia, disartria, sinkop, stupor, koma, pusing,
gangguan daya ingat, disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus,
ptosis) tinitus, gangguan pendengaran, rasa baal di wajah, mulut atau lidah.
e. Arteri Serebri Posterior (di lobus otak tengah atau thalamus)
Gejalanya adalah koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual atau
aleksia.Gejala neurologik yang timbul akibat stroke di otak bergantung pada berat
ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Gejala utama stroke iskemik
akibat thrombosis serebri ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak /sub
akut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi
dan kesadaran biasanya tidak menurun.19
Kematian jaringan otak pada pasien stroke dapat menyebabkan hilangnya
fungsi yang dikendalikan oleh jaringan tersebut, salah satu gejala yang
ditimbulkan adalah kelemahan otot pada anggota gerak tubuh.21 Gangguan fisik
Stroke seperti kelemahan otot, nyeri, dan spastisitas dapat menyebabkan
penurunan kemampuan untuk menggunakan ekstremitas atas yang terkena stroke
dalam aktivitas sehari-hari, keadaan ini membuat seseorang menghindari
menggunakan lengan dan tangan yang terkena stroke, tidak menggunakan lengan
yang terkena stroke dapat menyebabkan kelemahan atau kehilangan kekuatan otot,
penurunan rentang gerak dan keterampilan motorik halus.22
2.3.8 Komplikasi Stroke

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien stroke yaitu:10


 Dekubitus merupakan tidur yang terlalu lama karena kelumpuh dapat
mengakibatkan luka/lecet pada bagian yang menjadi tumpuan saat berbaring,
seperti pinggul, sendi kaki, pantat dan tumit. Luka dekubitus jika dibiarkan akan
menyebabkan infeksi.
 Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada kaki yang
lumpuh dan penumpukan cairan.
 Kekuatan otot melemah merupakan terbaring lama akan menimbulkan kekauan
pada otot atau sendi. Penekanan saraf peroneus dapat menyebabkan drop foot.
Selain itu dapat terjadi kompresi saraf ulnar dan kompresi saraf femoral.
 Osteopenia dan osteoporosis, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya densitas
mineral pada tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh imobilisasi dan
kurangnya paparan terhadap sinar matahari.
 Depresi dan efek psikologis dikarenakan kepribadian penderita atau karena umur
sudah tua. 25% menderita depresi mayor pada fase akut dan 31% menderita
depresi pada 3 bulan paska stroke s dan keadaan ini lebih sering pada hemiparesis
kiri.
 Inkontinensia dan konstipasi pada umumnya penyebab adalah imobilitas,
kekurangan cairan dan intake makanan serta pemberian obat.
 Spastisitas dan kontraktur pada umumnya sesuai pola hemiplegi dan nyeri bahu
pada bagian di sisi yang lemah. Kontraktur dan nyeri bahu (shoulder hand
syndrome) terjadi pada 27% pasien stroke.
2.3.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya terutama CT Scan dan MRI.
(4)
Untuk membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan dilakukan
pemeriksaan radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik akan terlihat
adanya gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya
gambaran hipodens.
2.3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan stroke menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (2011:39) adalah :23
 Pengobatan terhadap hipertensi, hipoglikemia/hiperglikemia, pemberian terapi
trombolisis, pemberian antikoagulan, pemberian antiplatelet dal lain-lain
tergantung kondisi klinis pasien.
 Pemberian cairan, pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral
maupun enteral), cairan parenteral yang diberikan adalah yang isotonis seperti
0,9% salin.
 Pemberian Nutrisi, Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48
jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah tes fungsi menelan baik. Bila
terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun nutrisi diberikan melalui pipa
nasogastrik.
 Pencegahan dan penanganan komplikasi, mobilisasi dan penilaian dini untuk
mencegah komplikasi (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam,
emboli paru, kontraktur) perlu dilakukan.
 Rehabilitasi, direkomendasikan untuk melakukan rehabilitasi dini setelah kondisi
medis stabil, dan durasi serta intensitas rehabilitasi ditingkatkan sesuaikan dengan
kondisi klinis pasien. Setelah keluar dari rumah sakit direkomendasikan untuk
melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke.
 Penatalaksanaan medis lain, pemantauan kadar glukosa, jika gelisah lakukan
terapi psikologi, analgesik, terapi muntah dan pemberian H2 antagonis sesuai
indikasi, mobilisasi bertahap bila keadaan pasien stabil, kontrol buang air besar
dan kecil, pemeriksaan penunjang lain, edukasi keluarga dan discharge planning.
2.3.11 Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut
terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek
tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus
dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam
setelah serangan stroke.21Prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup
baik karena tingkat ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 %
pada bulan pertama dan meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Sekitar
30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa
aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi
neurologik dan fungsi aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu
cukup bervariasi. Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat
pada minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca
stroke.13
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang
terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur
diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of
life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang setelah TIA
dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi oleh usia,
diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang
menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini
sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.12

2.1 Gangrene Diabetikum

2.5.1 Defenisi

Kaki diabetes adalah suatu komplikasi kronik DM yang proses terjadinya


diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi. Penderita DM yang menderita kaki
diabetes biasanya adalah penderita DM yang sudah lebih dari 10 tahun, laki-laki,
kontrol gula darah buruk, memiliki komplikasi kardiovaskular, retina, dan ginjal.

2.5.2 Epidemiologi

Prevalensi DM semakin meningkat setiap tahunnya, DM yang tidak


terkendali dapat menyebabkan komplikasi metabolik ataupun komplikasi vaskular
jangka panjang, yaitu mikroangiopati dan makroangiopati. Penderita DM juga
rentan mengalami infeksi pada kaki yang kemudian bisa berkembang menjadi
gangren dan meningkatkan kasus amputasi. Kaki diabetes masih menempati
peringkat kelima dalam komplikasi DM terbanyak menurut Riskesdas tahun 2013.

Kasus ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2,
berjenis kelamin laki-laki, dengan BMI yang lebih rendah, durasi diabetes yang
lebih lama dan juga pada pasien dengan riwayat merokok.Berdasarkan data yang
didapat dari RSUP Cipto Mangun Kusumo tahun 2003.angka kematian dan angka
amputasi masih tinggi yaitu masing-masing sebesar 16% dan 25%. Pasca amputasi
sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun dan sebanyak 37% akan
meninggal dalam 3 tahun.

2.5.3 Patofisiologi
Masalah kaki diabetes ini disebabkan oleh komplikasi dari penyakit
diabetes itu sendiri, dimana penyebab yang paling umum diketahui adalah akibat
neuropati dan juga gangguan vaskular perifer. Neuropati baik berupa neuropati
sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan
pada kulit dan otot, hal tersebut kemudian menyebabkan perubahan distribusi
tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus.
Adanya kerentanan terhadap infeksi juga menyebabkan infeksi mudah mernyebar
menjadi infeksi yang lebih luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih
lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.

Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi


proteksi yang berakibat meningkatnya kerentanan terhadap trauma fisik dan
termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu
sensasi posisikaki juga hilang.Neuropati motorik mempengaruhi semuaotot,
mengakibatkan penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki
berubah,deformitas khas seperti hammer toe,claw toe, hallux rigidus. Deformitas
kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan tekanan
plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.3Claw toe biasanya berupa dorsifleksi dari
sendi metatarsophalangeal (MTP) disertai fleksi bersamaan dari sendi proximal
interphalangeal (PIP) dan sendi distal interphalangeal (DIP), sedangkan hammer
toe fleksi terjadi pada sendi interphalangeal (PIP).15Neuropati autonom ditandai
dengan kulit kering, serta tidak berkeringat Hal ini mencetuskan timbulnya fisura,
kerak kulit, sehingga kakirentan terhadap trauma minimal. Hal tersebutjuga dapat
terjadi karena penimbunan sorbitoldan fruktosa yang mengakibatkan
aksonmenghilang, kecepatan induksi menurun,parestesia, serta menurunnya
refleks otot dan atrofi otot.
Kelainan vaskuler berupa iskemi juga dialami oleh penderita DM Hal ini
disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang
ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalispedis, arteri
tibialis, dan arteri poplitea. Hal tersebut menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin,
dankuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus
yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.Kelainan neurovaskular pada
penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis. Menebalnya arteri di kaki
dapat mempengaruhi otot-ototkaki dan menyebabkan berkurangnya suplai
darah,kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalamjangka lama dapat mengakibatkan
kematianjaringan yang akan berkembang menjadi ulkuskaki diabetes.DM yang
tidak terkendali akan menyebabkanpenebalan tunika intima pembuluh darahbesar
dan kapiler, sehingga aliran darahke kaki terganggu dan terjadi nekrosisyang
mengakibatkan ulkus diabetikum.

Peningkatan HbA1C menyebabkandeformabilitas eritrosit dan


mengganggu pelepasan oksigen oleh eritrosit, sehingga terjadipenyumbatan
sirkulasi dan kekuranganoksigendan mengakibatkan kematian jaringanyang
selanjutnya menjadi ulkus.Infeksi seringmerupakan komplikasi akibat
berkurangnyaaliran darah atau neuropati. Ulkus diabetik bisamenjadi gangren kaki
diabetik.

2.5.4 Diagnosis
ADA pada tahun 2008 telah mengelurkan panduan untuk mendiagnosis
kaki diabetes, dimana pada anamnesis harus digali mengenai ulserasi atau
tindakan amputasi sebelumnya. Serta perlu diketahui juga riwayat pasien yang
menyokong ke tanda-tanda neuropati ataupun gangguan vaskuler. Selain itu,
pemeriksa juga perlu mencari tahu mengenai komplikasi diabetes lain yang
dialami oleh pasien seperti gangguan penglihatan dan adanya riwayat dialisis atau
transplantasi ginjal.
Pada pemeriksaan fisik, inspeksi harus dilakukan pada ruangan dengan
cahaya yang cukup. Perlu diperhatikan juga pemeriksaan alat kaki yang digunakan
pasien. Ulkus diabetes cenderung terjadi pada daerah yang menumpu beban
terbesar seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, serta ujung jari yang
menonjol (jari pertama dan kedua). Ulkus di malleolus terjadi karena sering
mendapat trauma. Kelainan lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
yaitu berupa callus hipertropik, kuku rapuh/pecah, kulit kering, hammer toe, dan
fissure.14Untuk mengetahui adanya neuropati sensoris, bisa dilakukan pemeriksaan
sensasi dengan menggunakan monofilamen berukuran 10G yang dilakukan pada
berbagai tempat di daerah kaki.
Pada palpasi yang perlu diperhatikan adalah suhu dari kaki, yang dapat
menandakan adanya kelainan vaskuler, juga pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan
posterior tibial. Tanda arterosklerosis yang dapat dilihat adalah kulit yang pucat,
bruit arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut kaki, sianosis jari
kaki, ulserasi dan nekrosis iskemik, serta capillary refill test > 2 detik juga dapat
ditemukan. Pemeriksaan ABI (arterial brachial index) merupakan pemeriksaan
yang dapat digunakan untuk menegakkan kelainan vaskuler. Pemeriksaan ABI
dilakukan dengan membedakan tekanan sistolik antara kaki (dorsalis pedis dan
posterior tibial) dengan tekanan sistolik pada lengan (arteri brakialis) dengan
menggunakan doppler. Nilai dibawah 0,9 menunjukan adanya peripheral arterial
disease.14,20Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner- Meggit adalah sebagai
berikut:

- Derajat 0 = tidak ada lesi terbuka, deformitas atau selulitis mungkin ditemukan

- Derajat 1 = ulkus superfisial (partial atau full thickness)

- Derajat 2 = ulkus ekstensi ke ligamen, tendon, kapsul sendi, atau deep fascia,
tanpa abses atau osteomielitis
- Derajat 3 = ulkus dalam dengan abses, osteomielitis, atau joint sepsis

- Derajat 4 = gangren terlokalisasi pada forefoot atau heel

- Derajat 5 = gangren seluruh kaki

2.5.5 Penatalaksanaan

Pengelolaan kaki diabetes terdiri dari 2 kelompok, yaitu pencegahan kaki


diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan kulit) dan
pencegahan kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan
ulkus atau gangren diabetik). Pengelolaan ulkus atau gangren diabetik meliputi
wound control, microbiological control-infection control, mechanical
controlpressure control, educational control.
a. Wound Control
Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah debridement adekuat. Proses
penyembuhan luka dapat terhalangi oleh jaringan nekrotik, selain itu jaringan
nekrotik juga menyediakan tempat untuk bakteri, sehingga diperlukan tindakan
debridement.Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu
mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dari ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa
metode seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis. Cara yang
paling efektif adalah dengan metode autolisis.
b. Microbiological control-infection control

Data pola kuman perlu diperbaiki secaraberkala, umumnya didapatkan infeksi


bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik yang diberikan harusselalu sesuai
dengan hasil biakan kuman danresistensinya. Lini pertama antibiotik
spektrumluas, mencakup kuman gram negatif danpositif (misalnya sefalosporin),
dikombinasi dengan obat untuk kuman anaerob (misalnya metronidazole).

c. Mechanical control-pressure control

Berbagai cara surgikal dapat digunakan untuk mengurangi tekanan pada luka,
yaitu dengan dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses dan prosedur koreksi
bedah seperti operasi hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon
lengthening, partial calcanectomy.
d. Educational control

Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes. Penyuluhan
yang baik membuat penderita DM dengan ulkus/gangren diabetik maupun
keluarganya mampu membantu dan mendukung berbagai tindakan yang
diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.

Pada kasus dengan gangren yang parah dan debridement tidak mampu
menolong, amputasi mungkin perlu dipertimbangkan. Amputasi bisa mencegah
gangren menyebar ke bagian tubuh yang lainnya, infeksi nekrotik dari jaringan
lunak ini dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas dan bisa digunakan untuk
menghilangkan bagian tubuh yang telah rusak parah.
2.6 Pneumonia
2.6.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus
respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pada
perkembangannya, berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP),
apabila infeksinya terjadi di masyarakat; dan pneumonia-RS atau pneumonia
nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah
sakit.
Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah
pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di
rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang
menggunakan ventilator. Pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator
(ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-
72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di pusat
perawatan kesehatan (healthcare-associated pneumonia) adalah pasien yang
dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam waktu
90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing home atau
longterm care facility), mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, atau
perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik
rumah sakit atau klinik hemodialisa.
2.6.2 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya:
1) Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di
sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and
resistant strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant
strains) and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri
tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk
melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-
paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.
Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas
bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H.
Influenza, emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella, Streptococcus grup A, S.
Pneumonia. Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia
dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat pada CAP
apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate, hipotensi,
demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.
2) Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS), pneumonia nosokomial (lebih
dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated
pneumonia) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48
jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal. Terjadinya
pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan
kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian
bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P.
Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.
ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul
selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah
lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia
nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia
nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga
mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia
nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri;
termasuk kultur semikuantitatif dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).
3) Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang
dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi
dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.
2.6.3 Etiologi Pneumonia
a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu
1. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa:
- Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri
patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak 20-
60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.
- Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan
obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi kuman ini
menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru.
Kuman ini memiliki daya taman paling kuat, apabila suatu organ telah terinfeksi
kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan
abses. Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar
dalam pemilihan antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa
antibiotik.
- Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang
merupakan flora normal usus.
Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada pasien
defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di rumah sakit,
di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan pemasangan
endotracheal tube.

Contoh bakteri gram negatif dibawah adalah :


- Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki bau
yang sangat khas.
- Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak berkapsul.
Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini.
- Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul atau
tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggi yaitu encapsulated
type B (HiB).
2. Atipikal organisme
a. Bakteri
Bakteri yang termasuk atipikal adalah Mycoplasma sp. , chlamedia sp. ,
Legionella sp.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya
menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya
adalah cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella zooster virus.
c. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
oportunistik, dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara.
Organisme yang menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus
neoformans. 10
2.6.4 Patofisiologi Pneumonia
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1) Inokulasi langsung
2) Penyebaran melalui darah
3) Inhalasi bahan aerosol
4) Kolonosiasi di permukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat
mencapai bronkus terminalis atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-
10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
2.6.5 Manifestasi Klinis Pneumonia
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian
bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi
redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura,
ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.
2.6.6 Diagnosis Pneumonia
1. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis
pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi
dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran
kavitas.
2. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit
polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED
meningkat.
3. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah
untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen
polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut menunjukkan
asidosis respiratorik.
2.6.7 Penatalaksanaan Pneumonia
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. maka pada penderita pneumonia
dapat diberikan terapi secara empiris.
Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat
dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
- Golongan Penisilin
- TMP-SMZ
- Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)


- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
- Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
- Marolid baru dosis tinggi
-  Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa 
- Aminoglikosid
- Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
- Tikarsilin, Piperasilin
- Karbapenem : Meropenem, Imipenem
- Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)


- Vankomisin
- Teikoplanin
- Linezolid

Hemophilus influenzae
- TMP-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin gen. 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi

Legionella
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae
- Doksisikin
- Makrolid
- Fluorokuinolon

Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan


pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil
mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu
membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan
berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting, karena
akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan kepada pasien.
Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa
(SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis
mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat
diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran
untuk mengurangi dahak.
2.6.8 Diagnosis Banding
1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang
produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala
sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan
dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang
tidak mengandung udara dan kolaps.
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan
menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis
kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. COPD
juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang
dirurunkan.
4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru).
Penyakit bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh
sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya
penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut, bronchitis bisa
bersifat serius.
5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran
pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan
bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan paru
dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti semakin
buruk kondisi asma.
2.6.9 Komplikasi Pneumonia
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko
tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia (sepsis),
abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. Bakteremia dapat terjadi pada
pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan
menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan
organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat
komplikasi ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, dan empiema. Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan
pada rongga pleura atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada
pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura
yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan
sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung
mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah disebut empiema.
Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage menggunakan chest
tube atau dengan pembedahan

2.7 Deep Vein Thrombosis (DVT)

2.7.1 Defenisi

Deep vein trombosis ( DVT ) merupakan suatu kondisi dimana thrombus


terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT terjadi terutama di tungkai
bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah dari tungkai
bawahkembali ke jantung. Trombus adalah bekuan abnormal didalam pembuluh
darahyang terbentuk walaupun tidak ada kebocoran, proses pembentukan
trombusdinamakan trombosis. Trombus vena merupakan deposit intravaskuler
yang tersusun dari fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen
trombosit dan leukosit.

2.7.2 Faktor Resiko


Berdasarkan konferensi ketujuh American College of Chest
Physicians(ACCP), pasien yang melakukan operasi diklasifikasikan menjadi 4
tingkat menjadi resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Klasifikasi dibuat
berdasarkan umur, jenis operasi, durasi operasi, durasi immobilisasi dan factor
resiko lainnya
a. Resiko rendah:

Durasi operasi kurang dari 30 menit, umur lebih dari 40 tahun, perbaikan dari fraktur
kecil.
b. Resiko sedang:

Umur 40 – 60 tahun, arthroscopy atau perbaikan fraktur tungkai bagian bawah,


penggunaan plaster cast post-operasi.
c. Resiko tinggi:

Umur lebih dari 60 tahun, atau umur 40 – 60 tahun dengan adanya faktor resiko
tambahan, immobilisasi lebih dari 4 hari.
d. Resiko sangat tinggi:

Operasi arthroplasty lutut dan panggul, operasi fraktur panggul, operasi open fracture
pada tungkai bawah, trauma pada spinal cord , berbagai resiko tambahan (umur
lebih dari 40 tahun, sebelumnya ada riwayat mengalami DVT, kanker,
danhypercoagulable state).
2.7.3 Patogenesis
DVT biasanya terbentuk pada daerah dengan aliran darah lambat atau
terganggu di sinus vena besar dan kantung ujung katup di vena dalam tungkai
bawah atau segmen vena yang terpapar oleh trauma langsung. Pembentukkan dan
perkembangan trombus vena menggambarkan keseimbangan antara efek
rangsangan trombogenik dan berbagai mekanisme protektif. Faktor yang
mempengaruhi keseimbangan dan berimplikasi pada patogenesis trombosis vena,
dikenal dengan Trias Virchow’s, yaitu: 1). Cedera Vaskuler (kerusakan
endothelial); 2). Stasis Vena; 3). Aktivasi koagulasi darah (hiperkoagulabilitas).
1.Cedera Vaskular
Kerusakan vaskular memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
trombosis vena melalui trauma langsung atau aktivasi sel endotel melaluisitokinin
(interleukin-1 dan ntumornecrosis factor ) yang dilepaskan dari hasilcedera
jaringan dan inflamasi. Koagulasi darah dapat diaktifkan melaluirangsangan
intravaskuler yang dilepaskan dari tempat jauh (misal kerusakan venafemoralis
saat operasi panggul) atau oleh sitokin yang terinduksi rangsangan endotel yang
utuh. Sitokinin ini merangsang sel endotel untuk mensintesis tissue factor dan
plasminogen activator inhibitor-1 dan mengakibatkan reduksi trombodulin,
sehingga membalikkan kemampuan protektif endotel yang normal. Trombodulin
(TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk trombin. Bila trombin terikat
pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen menurun. Sebaliknya
kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat. Protein C dengan
kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor prokoagulan, faktor Va
dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan fibrinolisis endotel vena
mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke plasmin kemudian
plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistemfibrinolisis akan
dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih berkurang dibanding
dengan ekstremitas atas.
2. Stasis Vena
Stasis vena sering pada usia tua, tirah baring lebih dari tiga hari dan
operasi yang memakan waktu lama. Stasis vena memberikan
predisposisitrombosis lokal. Stasis menggangu pembersihan faktor koagulasi aktif
danmembatasi aksesibilitas trombin di vena kemudian menempel ke
trombomodulin.Protein ini terdapat dalam densitas terbesar di pembuluh darah
kapiler.
Penelitian ultrastruktural menunjukkan bahwa setelah trauma ditempat
jauh, leukosit melekat diantara intercellular junction endotel pada daerah
stasisvena. Hal ini menjadi nidus untuk pembentukkan trombus. Bila nidus
trombusmulai terdapat di daerah stasis, maka substansi yang dapat meningkatkan
agregasitrombosit, yaitu faktor X teraktivasi, trombin, fibrin dan katekolamin tetap
dalamkonsentrasi tinggi di daerah tersebut. Stasis juga memberikan
kontribusitambahan, yaitu membentuk trombin dengan cara merusak katup vena
yangavaskuler. Sebaliknya katup tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi
dannutrisi, sedangkan aliran darah stasis. Mekanisme trombosis adalah
aktivitasfaktor koagulasi aktif melalui darah yang mengalir, inhibisi
trombomodulin padaaktivitas koagulan dari trombin, pengaruh trombomodulin
aktivitas antikoagulandari trombin melalui aktivasi protein C dan disolusi fibrin
oleh system fibrinolitik.
3. Hiperkoagulabilitas
Keadaan hirepkoagulabilitas adalah suatu perubahan keadaan darah
membantu pembentukan trombus vena. Perubahannya meliputi
peningkatankonsentrasi faktor koagulasi normal maupun teraktivasi, penurunan
kadar inhibitors dalam sirkulasi, gangguan fungsi sistem fibrinolitik, adanya
trombosithiperaktif, faktor hiperkoagulabilitas dan stasis bekerjasama membentuk
trombusvena. Dari ketiga faktor penyebab DVT yang terpenting adalah faktor
stasis dan hiperkoagulabilitas.
Faktor resiko penyakit DVT digolongkan faktor patogenesis pembentukan
DVT ( Trias Virchow’s) dan faktor umum yang mendukung, berhubungan dengan
pembentukan DVT atau kombinasi dari faktor trias Virchow’s.

2.7.3 Diagnosis
Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh nyeri,
bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak. Bengkak dan
nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat nyeri biasanya
terus menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan meningkatnya
aktivitas atau jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik manifestasi
DVT dapat berupa tungkai bengkak unilateral, gambaran eritrosianotik, dilatasi
vena superfisial, suhu kulit meningkat atau nyeri tekan pada paha atau betis.
Tanda klinis ini hanya ditemukan pada 23-50% pasien DVT. Tanda klinis yang
negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tungkai bawah yang
bengkak, lunak disertai dengan cord vena yang dapat dipalpasi mengarahkan pada
DVT popliteal. Perbedaan ukuran lingkaran tungkai yang bermakna mendukung
diagnosis DVT. Namun sebagian besar pasien tidak menunjukkan bengkak yang
jelas. Kepastian diagnosis DVT secara klinis hanya 50%, sehingga tes diagnosik
diharuskan bila ada kecurigaan DVT. Kematian dapat terjadi bila trombus vena
pecah dan membentuk emboli pulmoner yang akan mengobstruksi arteri pada
paru. 1,2,3
Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang
terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Tes laboratorium adalah
Simplie-red D-dimer. Konsentrasi plasma D-dimer merupakan hasil pencernaan
fibrin oleh plasmin. Kadarnya meningkat pada pasien trombosis vena atau emboli
pulmoner. Pengukuran dilakukan dengan cara pengambilan darah dari jari tangan
pasien diperiksa secara ELISA atau dengan Simple RED agent. Tes ini hasil
sensitifitas 97%. Tes D-dimer sering menghasilkan positif semu pada pasien pasca
bedah atau trauma. Pemeriksaan radiologis menggunakan Venous compression
duplex ultrasonography, merupakan teknik noninvasif yang memiliki sensitifitas
95% untuk mendiagnosis DVT . 2,3
Gambar 1.2. Manifestasi Klinis DVT
2.7.4 Penatalaksanaan
Tatalaksana DVT harus dilakukan secara komprehensif, meliputi
pencegahan terapi.
1. Pencegahan

Bentuk profilaksi mekanis adalah mobilisasi dini, machine continous passive


motion, pressure vascular stocking, dan alat kompresi pneumatik bergradasi secara
elevasi tungkai 15-22 cm. Stasis vena, proses patologi yang mendasari terjadinya
trombosis, dicegah dengan kontraksi ataukompresi otot betis yang dapat
menghindari penumpukan darah vena diekstremitas bawah. Stoking elastis dapat
digunakan untuk tujuan di atas.Pemakaian stoking elastis meningkatkan aliran
dara vena hingga 1,5 kalialiran basalnya sehingga memacu sirkulasi darah,
mencegah stasis darah pada aneurisma (pelebaran vena dan dilatasi sakuler) yang
sering pada usia lanjut dan penderita DVT. Tekanan pada mata kaki 18mmHg,
14mmHg pada betis, 10 mmHg pada lutut dan 8mmHg pertengahan paha.
Penggunaannya merupakan pilihan pertama untuk mencegah DVT pada pasien
yang dirawat. Alat kompresi pneumatik merangsang pengosonganvena ekstremitas
bawah dengan cara menurunkan stasis dan menstimulisistem fibrinolik.
2. Terapi Medikamentosa.

Tujuan terapi untuk mencegah serta mengurangi risiko pembentukan trombus yang
lebih besar serta mencegah emboli paru. Beberapa obat yang dapat digunakan
antara lain golongan antikoagulan (warfarin atau heparin). Perlu diperhatikan pula
bahwa obat golongan antikoagulan dapat menyebabkan efek samping perdarahan.
a. Terapi antikoagulan
 Heparin

Heparin adalah antikoagulan yang diberikan secara parental, mekanisme kerjanya


adalah meningkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan trombin dan
protease serum lainnya. Heparin dosis rendah di berikan subkutan dengan dosis
5000U. diberikan sebelum operasi dan setelah operasi (setiap 8-12 jam). Cara ini
merupakan pilihan bagi pasien sedang terhadap DVT. Dapat menurunkan resiko
DVT 50 - 70%. Cara ini tidak memerlukan pemantauan dengan laboratorium,
sederhana, tidak mahal, aman. Cara ini kurang efektif bagi penderitayang
memerlukan bedah orthopedic mayor. Heparin menginduksi terjadinya
trombositopenia karena ikatan antara Heparin dengan factor IV trombosit dapat
menyebabkan terbentuknya antibodi IgG yang nantinya menginduksi terjadinya
trombositopenia.2,4,5
 Warfarin

Warfarin dosis sedang, efektif untuk mencegah DVT pada semua kategori resiko.
Dapat mulai diberikan 5 atau 10 mg malam sebelum operasi atau malam setelah
operasi, efek antikoagulan terukur baru dapat dicapai pada 3-4 hari pasca operasi,
namum bila terapi dimulai saat operasi atau sesaat setelah operasi maka warfarin
masih efektif bagi penderita resiko tinggi DVT, termasuk pasien fraktur tulang
panggul. Lama profilaksis menurut rekomendasi ACPP adalah minimal 7-10 hari.
Regimen ini kurang menyenangkan karena memerlukan monitoring
laboratorium.2,5
 Low-dose Unfractionated Heparin (UFH)

Diberikan secara subkutan 3 kali 3500 U sehari, dimulai sejak dua hari sebelum
operasi. Lebih efektif dari heparin dosis rendah bila diberikan pada pasien operasi
panggul elektif. Bila dibanding LMWH efektifnya lebih rendah dalam mencegah
trombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Membutuhkan monitoring
laboratorium yang teliti.4,5
 Low Molecular Weight heparin (LMWH)

LMWH lebih efektif dibanding yang lainnya, sediaan ini juga lebih efektif
mencegah trombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Mekanisme kerjanya
adalah meningkatkan aktivitas efek antitrombin III, anti faktor Xa dan anti faktor
IIa. Secara subkutan, LMWH/enoxaparin diberikan sehingga profilaksi dengan
dosis 40 mg satu kali sehari, pada pasien yang menjalani pembedahan beresiko
tinggi DVT . Dosis pertama diberikan 12 jam sebelum pebedahan dandilanjutkan
sehari sekali selama tujuh hari. Selain tidak memerlukan pemantauan komplikasi
perdarahan kecil terjadi. Pada operasi ortopedic mayor, terapi LMWH/enoxaparin
adalah injeksi 40 mg secara sub kutan 12 jam sebelum pembedahan dan
dilanjutkan sehari sekali selama 12-14 hari. Sebaliknya Turpie memberikan 30 mg
LMWH/enoxaparin sub kutan 12-14 jam sesudah pembedahan dandilanjutkan 30
mg dua kali sehari 10-15 hari.2,5
a. Terapi trombolitik9
 Sistemik: kurang direkomendasikan karena tingginya kemungkinan komplikasi
perdarahan.
 Catheter directed : lebih rendah angka komplikasi perdarahan dibandingkan
trombolitik sistemik dan terbukti lebih efektif.

2.7.5 Komplikasi

Komplikasi utama dari DVT adalah Pulmonary Embolism (PE). PE


muncul ditandai dengan dispnea, nyeri dada pleuritik, batuk, takikardi, takipnea,
ronki, sinkop dan hipoksia. PE merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa
pasien. Post-phlebitic syndrome dapat terjadi setelah deep vein thrombosis. Kaki
yang terpengaruh dapat menjadi bengkak dan nyeri secara kronis dengan
perubahan-perubahan warna kulit dan pembentukan borok-borok (ulkus) di
sekitarkaki dan pergelangan kaki .Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya
emboli paru diagnosis dan penatalaksanaan profilasis yang tepat sangat
diperlukan.
2.8 Selulitis
2.8.1 Defenisi
Selulitis merupakan inflamasi jaringan subkutan dimana proses inflamasi
yang umumnya dianggap sebagai penyebab adalah bakteri S.aureus atau
Streptococcus. Selulitis biasa terjadi apabila sebelumnya terdapat gangguan yang
menyebabkan kulit terbuka, seperti luka, terbakar, gigitan serangga atau luka
operasi. Selulitis dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, namun bagian tersering
yang terkena selulitis adalah kulit di wajah dan kaki. Selulitis bisa hanya
menyerang kulit bagian atas, tapi bila tidak diobati dan infeksi semakin berat,
dapat menyebar ke pembuluh darah dan kelenjar getah bening.

2.8.2 Epidemiologi

Penyakit selulitis (cellulitis), secara epidemiologi 88% terjadi ditungkai


bawah. Selulitis merupakan penyakit dengan tingkat insidensi yang
tinggi,mencapai 24.6/1000 orang per tahun. Selulitis merupakan infeksi kulit dan
jaringan lunak dengan tingkat isidensi yang tinggi dengan jumlah yang
semakinmeningkat dari tahun ke tahun (Amalia Rositawati, 2016).
Di Amerka Utara, 10% rawat inap di rumah sakit diakibatkan oleh infeksi
jaringan lunak. Pada tahun 2011, 21 pasien/10.000 pasien merupakan pasien
selulitis yang dirawat. Sebuah studi di Blanda juga menunjukkan peningkatan
jumlah pasien sebanyak 5 kali lipat pada pasie berusia 54 tahun ke 85 tahun atau
lebih tua. Pada penelitian tersebutjuga ditemukan bahwa insidensi selilitis >100
pasien per 100.000 masyarakat (Wolff et al., 2017).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia, penyakit kulit dan jaringan
subkutan merupakan penyakit kedua terbanyak pada pasien rawat jalan di
rumah sakit, yaitu sebesar 501.280 atau sebesar 3,16% dari total pasien rawat
jalan. Informasi mengenai epidemiologi selulitis sendiri di Indonesia masih sangat
terbatas. Terdapat 29 kasus rawat inap dengan diagnosis selulitis di rumah sakit
umum Dr. SUtomo selama rentan 3 tahun, yaitu tahun 2012-2014.
2.8.3 Etiologi
Etiologi dari penyakit Selulitis antara lain:

1. Infeksi bakteri dan jamur :


a) Disebabkan oleh Streptococcus grup A dan Staphylococcus aureus
b) Pada bayi yang terkena penyakit ini dibabkan oleh Streptococcus grup B
c) Infeksi dari jamur, tapi infeksi yang diakibatkan jamur termasuk jarang, biasanya
disebabkan dari jamur Aeromonas Hydrophila.
d) S. Pneumoniae (Pneumococcus)
2. Penyebab lain :
a) Gigitan binatang, serangga, atau bahkan gigitan manusia.
b) Kulit kering
c) Kulit yang terbakar atau melepuh
d) Diabetes Mellitus
e) Pembekakan yang kronis pada kaki
f) Cacar air.
2.8.4 Faktor Resiko
1. Usia : Semakin tua usia keefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit berpotensi mengalami
infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulas darahnya sangat sedikit.
2. Melemahnya sistem imun (Immunodeficiency) : Dengan sistem imun yang
melemah maka semakin mempermudah terjadinya infeksi. Contoh pada penderita
leukemia limfotik kronis dan infeksi HIV.

Penggunaan obat pelemah imun bagi orang yang baru transplantasi organ juga
mempermudah infeksi.
3. Diabetes melitus : Tidak hanya gula darah yang meningkat dalam darah namun
juga mengurangi sistem imun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes
mengurangi sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka
pada kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi.
4. Cacar dan ruam saraf : Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat
menjadi jalan masuk bakteri penginfeksi.
5. Pembengkakan : Pembengkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema).
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk bagi
bakteri penginfeksi.
6. Infeksi : Infeksi jamur kronis pada telapak atau jari kaki juga dapat membuka
celah kulit sehingga menambah resiko bakteri penginfeksi masuk.
7. Penggunaan steroid kronik, contohnya penggunaan corticosteroid.
8. Gigitan dan sengatan serangga, hewan, atau gigitan manusia.
9. Penyalahgunaan obat dan alkohol : mengurangi sistem imun sehingga
mempermudah bakteri penginfeksi berkembang.
10. Malnutrisi : lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran, mempermudah
timbulnya penyakit ini
2.8.5 Manifestasi Klinis

1. Selulitis menyebabkan kemerahan atau peradangan yang terlokalisasi.


2. Kulit tampak merah, bengkak, licin disertai nyeri tekan dan teraba hangat.
3. Ruam kulit muncul secara tiba-tiba dan memiliki batas yang tegas.
4. Bisa disertai memar dan lepuhan-lepuhan kecil.
5. Gejala lainnya adalah:
a) Demam
b) Infeksi jamur di sela-sela jari kaki
c) Nyeri otot.

2.8.6 Klasifikasi

Selulitis dapat digolongkan menjadi :

1. Selulitis sirkumskripta serous akut

Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang
tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat
lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang
terlibat.

2. Selulitis sirkumskripta supuratif akut

Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi
bakteri tersebut juga mengandung supurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan
spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan
tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal
tubuh dalam mengontrol infeksi.
3 . Selulitis difus akut

Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:

a) Ludwig’s Angina : merupakan selulitis difus yang potensial mengancam nyawa


yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan menyebabkan
obstruksi progresif dari jalan nafas. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit
infeksi odontogen.
b) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid
c) Selulitis Senator’s Difus Paripharingeal : disifatkan oleh serangan ganas secara
tiba-tiba dengan disfagia teruk, hiperemia meresap, edema dan penyusupan
keradangan semua dinding pharynx.
d) Selulitis Fasialis Difus : merupakan infeksi bakteri pada wajah yang dapat cepat
meluas dengan komplikasi serius, penyebabnya adalah infeksi ondotogenik yang
berasal dari pulpa periodontal.
e) Fasciitis Necrotizing dan gambaran atipikal lainnya : adalah infeksi langka
jaringan lunak yang mengancam jiwa. Necrotizing fasciitis umumnya dikenal
sebagai penyakit pemakan daging atau sindrom bakteri pemakan daging. Infeksi
ini sangat langka pada lapisan lebih dalam dari kulit dan jaringan subkutan yang
dengan mudah menyebar di fasia dalam jaringan subkutan.
f) Selulitis Kronis : adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada
pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat atau tanpa drainase.
4. Selulitis difus yang sering dijumpai

Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone/Angina Ludwig’s.


Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai
mengenai spasia pharyngeal. Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali
bilateral, tetapi bila hanya mengenai satu sisi/ unilateral disebut Pseudo phlegmon.
2.8.7 Patofisiologi

2.8.8 Pemeriksaan Penunjang


1. CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah leukosit dan rata-
rata sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan adanya infeksi bakteri.
2. Tes kultur darah : Pemeriksaan ini dilakukan dengan mendeteksi adanya
mikroorganisme yang ada di dalam darah, seperti bakteri, jamur, atau parasit. Ada
atau tidaknya infeksi akan ditentukan dari sampel cairan luka pada pengidap.
3. Rontgen : Pemeriksaan ini dilakukan dengan bantuan sinar radiasi untuk
memperoleh gambaran pada bagian tubuh tertentu. Pada pengidap selulitis,
rontgen dibutuhkan untuk melihat adanya infeksi pada jaringan di bawah kulit.
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging) : sangat membantu pada diagnosis infeksi
selulitis akut dan parah, untuk mengidentifikasi keparahan, mengidentifikasi
pyomyositis, necrotizing fasciitis, dan infeksi selulitis dengan atau tanpa
pembentukan abses pada subkutan.
2.8.9 Penatalaksanaan
1. Selulitis pasca trauma, khususnya setelah gigitan hewan, berikan antibiotik untuk
mengatasi basil gram negatif dan gram positif. Jika perlu berikan analgesik dan
NSAID untuk mengontrol nyeri dan demam.
2. Insisi dan drainase pada keadaan terbentuk abses. Insisi drainase merupakan salah
satu tindakan dalam ilmu bedah yang bertujuan untuk mengeluarkan abses atau
pus dari jaringan lunak akibat proses infeksi. Tindakan ini dilakukan pertama
dengan melakukan tindakan anestesi lokal, aspirasi pus pada daerah
pembengkakan kemudian dilakukan tindakan insisi drainase dan pemasangan
drain.
3. Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat inap
a) Beberapa pasien membutuhkan terapi antibiotik intravena. Diberikan penicillin
atau obat sejenis penicillin, misalnya cloxacillin.
b) Jika infeksinya ringan, diberikan sediaan per-oral
c) Biasanya sebelum diberikan sediaan per-oral, terlebih dahulu diberikan suntikan
antibiotik jika penderita berusia lanjut, selulitis menyebar dengan segera ke bagian
tubuh lainnya, dan dapat menyebabkan demam tinggi.
d) Jika selulitis menyerang tungkai, sebaiknya tungkai dibiarkan dalam posisi
terangkat dan dikompres dingin untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
e) Pelepasan antibiotik parenteral pada pasien rawat jalan menunjukan bahwa dia
telah sembuh dari infeksi.
f) Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat jalan : perlindungan penyakit selulitis
bagi pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan cara memberikan erythromycin
atau oral penicillin dua kali sehari atau intramuscular benzathine penicillin.
2.8.10 Prognosis
Penentuan prognosis pada infeksi jaringan lunak seperti selulitis yaitu
berdasarkan status imun serta kesehatan pasien. Pengenalan lebih awal dari agen
penyebab dapat memberikan kepastian terhadap antibiotik yang paling baik
dipakai. Maka dari itu, evaluasi dan terapi yang sesuai dapat meningkatkan
prognosis. Beberapa pasien selulitis yang memiliki komplikasi ataupun yang
belum terjadi komplikasi tetapi termasuk selulitis berat, harus dirawat di rumah
sakit.
Terapi rawat inap disarankan jika ada kecurigaan infeksi yang lebih dalam
atau disertai necrotizing fasciitis, pada pasien dengan tingkat kepatuhan yang
buruk terhadap pengobatan, pasien imunokompromais, atau pada kegagalan terapi
rawat jalan Terapi rawat jalan hanya direkomendasikan pada pasien dengan
klasifikasi Eron 1 (tidak ada toksisitas sistemik dan komorbiditas). Pastikan pasien
tidak mengalami SIRS (systemic inflammatory response syndrome), perubahan
status mental, atau instabilitas hemodinamik sebelum memilih terapi rawat jalan
untuk pasien

2.8.11 Komplikasi
1. Bakteremia : nanah/lokal abses, super infeksi oleh bakteri gram negatif,
lymphangitis, tromboflebitis
2. Facial Selulitis pada anak dapat menyebabkan meningitis
3. Dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangrene
4. Osteomielitis
5. Arthritis Septic
6. Glomerulonefritis
7. Fasciitis Necroticans.3
BAB III
LAPORAN KASUS

Anamnesis Pribadi

No. RM : 00035626

Nama : Tn. SMS

Usia : 61 tahun

Tanggal Masuk : 24 Oktober 2022

Alamat : Jalan Tuar No. 39

Anamnesis Penyakit

Keluhan Utama : Sesak nafas dan lemas

Telaah : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Mitra Medika Amplas


dengan keluhan sesak nafas dan lemas sejak 4 hari SMRS.
Sesak memberat saat beraktivitas. Os sering merasa sesak
ketika berjalan dan os merasa lebih nyaman apabila tidur
menggunakan bantal kepala yang tinggi. Mual dan muntah
dijumpai sebanyak 5 kali sebelum masuk rumah sakit.
Berisikan makanan. Pasien juga mengeluhkan kaki kanan
dan kirinya bengkak sejak 5tahun yang lalu. Pasien
mengeluh sulit berjalan karena kedua kakinya bengkak.
BAK & BAB dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Pasien pernah menderita DM Tipe 2,
Jantung, Riwy. Stroke 4 tahun yang lalu.

Riwayat Penggunaan Obat : Pasien jarang konsumsi obat DM &


Jantung.

Riwayat Kebiasaan : Kebiasaan merokok (+), Alkohol (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Kondisi Umum :

Sensorium : Compos Mentis (E4V5M6)

VAS :7

Tekanan darah : 180/80 mmHg

HR : 110x /menit

RR : 28x /menit

Suhu : 36‘C

SpO2 : 90%

KGD : 221 mg/dl

Status Generalisata

Kepala : Kepala dan leher simetris, TVJ normal, Trakea medial, pembesaran

KGB (-), Struma (-)

Mata :

 Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-)

 Sklera ikterik (-/-)

 Refleks pupil (+/+)

 Isokor, ka=ki

Thorax :
 Inspeksi : Simetris fusiformis

 Palpasi : SF kanan = kiri


 Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru kanan dan kiri
 Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler kanan dan kiri
 Suara tambahan : Ronki Halus (-/-), Wheezing (+/+)

Abdomen :

 Inspeksi : Simetris.

 Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar &


lien tidak teraba

 Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

 Auskultasi: Peristaltik (+)


Pinggang : Nyeri ketok sudut costo-vertebra (+)

Ekstremitas :
 Superior : Hemiplegia sin (-) edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik
 Inferior : Hemiplegia sin (+) edema (+/+), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT <2 detik, Refleks KPR : (++/++), Refleks APR (++/++)

DIAGNOSIS KERJA

Susp. CHF ec. HHD + DM Tipe 2

TATALAKSANA

 IVFD NaCl 0,9% 500ml

 NRM O2 5lpm, SpO2 90%  98%

 Inj. Furosemide 20mg

 Inj. Metamizole 1000mg


 Inj. Ondansentron 4mg

 Inj. Ranitidine 50mg

Rencana Tindakan

 Pemeriksaan DL, KGDS , Rapid Antigen Covid-19, EKG, Foto


Thoraks, Ur/Cr, Electrolite

 Pasang Urine Cateter

Konsultasi dr. Dicky Yulianda, Sp. JP., FIHA. :

 IVFD NaCl 0,9% 10gtt/i Macro

 Inj. Ranitidine 1amp /12jam

 Inj. Ondansentron 4mg /8jam

 Inj. Furosemide 2amp /8jam

 Spironolaktone 1x25mg (pagi)

 Candesartan 1x8mg (malam)

 NKR 2x2.5mg (pagi)

 CPG 1x75mg (pagi)

 Atorvastatin 1x20mg (malam)


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (24/10/2022 – 15:16:02)


Test Result Unit References
Hemoglobin 14.2 g/dl 13-16
Leukosit 18.190* /mm3 3600-10200
Trombosit 152.200 /µL 150000-450000
Hematokrit 42.2 % 40-52
Eritrosit 4.62 10 6/mm3 4-6
MCV 91.4 fl 80-100
MCH 30.8 pg 26-34
MCHC 33.7 g/dl 32-36
RDW 12.8 % 12-16
MPV 8.8 fl 7-11

Eosinofil 1 % 1-8
Basofil 0 % 0-2
Neutrofil 93* % 44-73
Limfosit 3* % 15-43
Monosit 3* % 6-14

Glukosa Ad Random 221* mg/dl 80-180


Rapid Antigen SARV COV-2 Negatif
Ureum 38 mg/dl 13-45
Kreatinin 1.3* mg/dl 1-1
Natrium 133.9 mmol/L 129-155
Kalium 3.76 mmol/L 4-4
Klorida 101.9 mmol/L 93-117
EKG (24/10/2022 – 12:29:13)
Foto Thoraks 24/10/2022

Thoraks AP-SIT :
Kondisi foto cukup. Posisi tidak simetris. Inspirasi kurang.
Jantung kesan membesar ke kanan-kiri dengan apeks tertanam,
pinggang jantung tidak menonjol.
Aorta elongasi. Trakea di tengah. Mediastinum superior tidak melebar.
Hilus tidak menebal. Tampak fibroinfiltrat pada lapangan atas paru kanan dan infiltrate di
perihilar-parakardial kanan serta retrokardial kiri.
Sinus kotofrenikus dan diafragma baik.
Kesimpulan :
Suspek kardiomegali dengan LVH disertai aorta elongasi.
Echocardiography (25/10/2022 – 20:49:57)

Aorta Root diam 20-37 mm Ventrikel Kiri EDD 35-52 mm


Atrium Kiri Dimension 15-40 mm (Left ESD 26-36 mm
LA/Ao Ratio <1.33 Ventricle) IVS Diastole 7-11 mm
Ventrikel Dimension <30 mm IVS Systole
Kanan M.V.A >3 cm EF
TAPSE >16 mm PW Diastole 7-11 mm
E/A PW Systole
EPSS <10 mm
FS >25%
Kesimpulan :
Fungsi sistolik LV menurun EF 49%
Fungsi diastolik LV terganggu (E/A >2, disfungsi diastolic Grade III)
Wall motion LV : Global Normokinetik
Katup-katup : MR Mild
Dimensi ruang jantung : LVH Eksentrik, LA Remodelling
Kontraktilitas RV baik (TAPSE 20mm) IVC cukup
“Sesuai gambaran HFmrEF ec. HHD”
USG Vascular (01/11/2022 – 14:05:50)
Vena Femoralis Ukuran normal Vena Femoralis Ukuran normal
Dextra Flow baik Sinistra Flow baik
Cus (+) Cus (+)
Vena kolaps dengan
penekanan
Vena Paplitea Ukuran normal Vena Paplitea Ukuran Normal
Dextra Flow baik Sinistra SEC (+)
Tidak dijumpai
troumbus yang
menyumbat lumen
Cus (+)

Kesan :
- High risk VTE
- Tidak konsisten untuk suatu DVT (Namun resiko tinggi untuk VTE)

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (27/10/2022 – 11:41:23)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 680* mg/dl 80-180

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (28/10/2022 – 00:30:04)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 481* mg/dl 80-180

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (29/10/2022 – 00:36:23)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 339* mg/dl 80-180

Pemeriksaan Laboratorium (31/10/2022 – 00:45:39)


Test Result Unit References
Hemoglobin 13.8 g/dl 13-16
Leukosit 10.040 /mm3 3600-10200
Trombosit 163.000 /µL 150000-450000
Hematokrit 42.0 % 40-52
Eritrosit 4.48 10 6/mm3 4-6
MCV 93.6 fl 80-100
MCH 30.9 pg 26-34
MCHC 33.0 g/dl 32-36
RDW 13.2 % 12-16
MPV 11.3 fl 7-11
Eosinofil 1 % 1-8
Basofil 0 % 0-2
Neutrofil 89* % 44-73
Limfosit 6* % 15-43
Monosit 4* % 6-14
Glukosa Ad Random 290* mg/dl 80-180
Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (31/10/2022 – 00:45:39)
Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 213* mg/dl 80-180

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (01/11/2022 – 00:36:17)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 169 mg/dl 80-180

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (02/11/2022 – 00:49:11)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 287* mg/dl 80-180

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (03/11/2022 – 03:03:59)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 321* mg/dl 80-180

Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (04/11/2022 – 01:18:06)


Test Result Unit References
Glukosa Ad Random 177 mg/dl 80-180
BAB IV

FOLLOW UP PASIEN
24/10/22 Hari ke-1
S Sesak nafas, lemas, sesak nafas ketika berjalan, Kaki bengkak kanan dan kiri,
pasien sulit berjalan karena kaki bengkak kanan dan kiri,
RPT : DM tipe 2, Jantung, Post Stroke
O Sens : CM
TD : 180/80 mmHg
HR : 110 x/i
RR : 28 x/i
Temp : 36.7 ’C
SpO2 : 98%
KGD : 221

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor

Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler

Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular , EKG : SR+Poor r anteroseptal

CTR : Kardiomegali
Abdomen : Inspeksi : Simetris
Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+)

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A Heart Failure Mid Range Ejection Fraction ec CADHHD + DM Tipe 2 + Post
Stroke + Susp. Pneumonia
P dr. Dicky Yulianda, Sp. JP., FIHA
O2 5Lpm via NRM
IVFD NaCl 0.9% 10gtt/i macro
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg malam
R/ Konsul SpPD

25/10/22 Hari ke-2


S Sesak nafas ,batuk, RPT : DM, Jantung, Post Stroke
O Sens : CM
TD : 170/75 mmHg
HR : 110 x/i
RR : 28 x/i
Temp : 36.7’C
SpO2 : 98%

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler

Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular , EKG : SR+Poor r anteroseptal

CTR : Kardioemgali

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA (+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) ,


Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter

A HFmrEF ec CADHHD + DM Tipe 2 + Post Stroke + Susp. Pneumonia dd: COPD


P dr. Sari Andriyani, Sp. PD.
Codein 2x 20mg
Sucralfat Syrp. 3x C1
Ryzodeq 8-0-8 IU (sewaktu makan)
Anjuran cek KGD /hari

Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P. (K), FCCP


Nebul Ventolin 1resp /8jam
Nebul Pulmicort 1resp /8jam
Inj. Meropenem 1gr /8jam
Inj. Methylprednisolon 62,5mg /12jam
Ambroxol Syr. 3x 30mg
Acetylsistein 2x 200mg
Codein 2x 20mg

dr. Dicky Yulianda, Sp. JP., FIHA


IVFD NaCl 0.9% 10gtt/i
Inj. Ranitidin 1amp /12jam
Inj. Ondansentron 4mg /8jam
Inj. Furosemide, turun dosis jadi 1amp /12jam
Inj. Ceftriaxone 1gr /12jam --> AFF
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)

26/10/22 Hari ke-3


S Sesak nafas berkurang, batuk (+)
O TD : 159/78
HR : 98
RR : 22
Temp: 36’C

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)
Jantung : BJ I&II normal, regular , EKG : SR+Poor r anteroseptal
CTR : Kardioemgali

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+)

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A HFmrEF ec HHD + PJK + DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia dd COPD
P dr. Ahmad Handayani, Mked. (Cardio), Sp. JP.
IVFD NaCl 0.9% 10gtt/i
Inj. Ranitidin 1amp /12jam
Inj. Ondansentron 4mg /8jam
Inj. Furosemide 1amp /12jam --> aff. ganti tablet 1x 20 mg
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Codein 2x 20mg
Sucralfat Syrp. 3x C1
Ryzodeq 8-0-8 IU (sewaktu makan)

27/10/22 Hari ke-4


S Batuk (+), sesak nafas (-), Sulit BAB , Cegukan
O TD : 155/75 mmHg
HR : 92 x/i
RR : 22 x/i
TEMP :37’C
SpO2 : 99%
KGD :680 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)
Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) ,

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A HFmrEF ec CADHHD ec CADHHD + DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia
P Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp.P. (K), FCCP
Nebul Ventolin 1resp /8jam
Nebul Pulmicort 1resp /8jam
Inj. Meropenem 1gr /8jam
Inj. Methylprednisolon 62,5mg /12 jam = aff
Ambroxol Syr. 3x 30mg
Acetylsistein 2x 200mg
+ Salbutamol 3x 2mg

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Ryzodeq 18-0- 18 IU (sewaktu makan)
Dulcolax Supp. 1x 10mg (extra)
CPZ 1x 1/4tab

dr. Ahmad Handayani, Mked. (Cardio), Sp. JP.


IVFD NaCl 0.9% 10gtt/i
Inj. Ranitidin 1amp /12jam
Inj. Ondansentron 4mg /8jam --> aff
Furosemide tab. 1x 20mg
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
CPZ 1x 1/4tab
Atorvastatin 1x 20mg (malam)

28/10/22 Hari ke-5


S Sesak nafas berkurang, batuk, sulit BAB, kaki kiri bengkak + nyeri
O Sens : CM
TD : 145/70 mmHg
HR : 110 x/i
RR : 24 x/i
Temp : 36.7’C
SpO2 : 98%
KGD : 481 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+)

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A HFmrEF ec CADHHD + Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke +
Pneumonia + Susp. PAD, DD :DVT
P dr. Ahmad Handayani, Mked. (Cardio), Sp.JP
IVFD NaCl 0.9% 10gtt/i macro --> aff ganti threeway
Inj. Ranitidin 1amp /12jam --> aff
Furosemide tab. 1x 20mg
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)
terapi diteruskan
lepas rawat kardiologi

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Ryzodeq 24-0-24 IU (sewaktu makan)
Dulcolax Supp. 1x 10mg (extra)

Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp.P. (K), FCCP


Nebul Ventolin 1resp /8jam
Nebul Pulmicort 1resp /8jam
Inj. Meropenem 1gr /8jam
Ambroxol Syr. 3x 30mg
Acetylsistein 2x 200mg
Salbutamol 3x 2mg

29/10/22 Hari ke-6


S Batuk, sesak napas berkurang, mual, kaki kiri bengkak dan nyeri (+)
O TD : 140/70 mmhg
HR : 82x/i
RR : 21x/i
Temp. :36
SpO2 : 99%
KGD : 339 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA (+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + Susp PAD dd DVT
P Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P. (K), FCCP
Nebul Ventolin 1resp /8jam
Nebul Pulmicort 1resp /8jam
Inj. Meropenem 1gr /8jam
Ambroxol Syr. 3x 30mg
Acetylsistein 2x 200mg
Sabutamol 3x 2mg
+ Inoxin 1x 400mg

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Inj. Ketorolac 1amp /8jam
Inj. Ondansentron 8mg /8jam
Coclhicn 1x 1tab
Sucralfat Syr. 4x C1
Ryzodeq 22-0-22

30/10/22 Hari ke-7


S Sesak nafas, batuk, kaki kiri bengkak nyeri, cegukan, ulkus bula dikaki kiri
RPT : DM & Jantung & Post Stroke
O Sens : CM
TD : 138/70 mmHg
HR : 110 x/i
RR : 28 x/i
Temp : 36.7 C
SpO2 : 99%.

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA (+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.


Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter
A Hiperglikemia ec DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + Susp. PAD, DD : DVT + gangren
diabetic sinistra
P dr. Sari Andriyani, Sp. PD .
Inj. Ondansentron 8mg /8jam aff
Inj. Sotatic 1amp /8jam
CPZ 1x 1/4tab (malam)
Lansoprazole 1x 30mg (malam)
Curcuma 1x 1tab
Ryzodeq 22-0-22
Konsul Sp. JP
Konsul Sp. B

Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P (K), FCCP


Nebul Ventolin 1resp /8jam
Nebul Pulmicort 1resp /8jam
Inj. Meropenem 1 gr /8 jam = AFF
Ambroxol sirup 3x 30mg = AFF
Acetylsistein 2x 200mg = AFF
Salbutamol 3x 2mg
Inoxin 1x 400mg
+ Codein 3x 10mg
+ Cetirizin 1x 10mg
+ Retaphyl 2x 150mg

31/10/22 Hari ke-8


S Sesak nafas berkurang, batuk, kaki kiri bengkak nyeri, ulcus bula, demam
RPT : DM, Jantung, Post Stroke
O TD : 130/70 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
Temp. : 38’C
SpO2 : 99%
KGD : 290 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia
Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor

Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler

Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter

A HFmrEF ec HHD + PJK + DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + Susp DVT, DD : Sellulitis +
gangren diabetic sinistra
P dr. Dicky Yulianda, Sp. JP., FIHA
Threeway
Furosemide tab. 1x 20mg (pagi)
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)
PCT 3x 500mg
R/ USG Doppler vascular

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Inj. Norages 1amp /8jam
Ryzodeq 22-0-22

01/11/22 Hari ke-9


S Sesak nafas berkurang, batuk, kaki kiri bengkak nyeri, ulcus bula, demam
O TD : 130/70mmhg
HR : 80x/i
RR : 20 x/i
Temp. : 38’C
SpO2 : 99%
KGD : 169 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.

USG vaskular --> tidak dijumpai trombus di vena popl sin,

namun dijumpai SEQ

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A High Risk VTE + HFmrEF ec HHD + PJK + DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + susp PAD dd
DVT + gangren diabetic sinistra
P dr. Bambang Prayugo, Sp. B., FICS
Dopler tungkai bawah
Terapi diteruskan

dr. Ahmad Handayani, Mked. (Cardio), Sp. JP.


Threeway
Furosemide tab. 1x 20mg (pagi)
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi) --> stop 3 hari bila rencana mau operasi
Atorvastatin 1x 20mg (malam)
PCT 3x 500mg (k/p)
Anjuran :
- Acc. Operasi (debriedement)
Toleransi :
- Moderate risk

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Inj. Norages 1amp /8jam
Ryzodeq 22-0-22

Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P. (K), FCCP


Nebul Ventolin 1resp/ 8jam
Nebul Pulmicort 1resp/ 8jam
Salbutamol 3x 2mg
Inoxin 1x 400mg
Codein 3x 10mg
Cetirizin 1x 10mg
Retaphyl 2x 150mg

02/11/22 Hari ke-10


S Sesak nafas berkurang, bengkak kaki berkurang, luka membaik
O TD : 135/75 mmhg
HR : 80x/i
RR : 20 x/i
Temp. : 37’C
SpO2 : 99%
KGD : 287 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler

Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani
Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter

A HFmrEF ec. CADHHD + Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia


+ Selulitis, DD : DVT + gangren diabetic sinistra
P dr. Ahmad Handayani, Mked. (Cardio), Sp. JP.
Threeway
Furosemide tab. 1x 20mg (pagi)
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)
PCT 3x 500mg (k/p)

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Dulcolax Supp. 1x 10mg
Metronidazole Drip /8jam
Ryzodeq 22-0-22

Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P. (K), FCCP


Nebul Ventolin 1resp/ 8jam
Nebul Pulmicort 1resp/ 8jam
Salbutamol 3x 2mg
Inoxin 1x 400mg
Codein 3x 10mg
Cetirizin 1x 10mg
Retaphyl 2x 150mg

03/11/22 Hari ke-11


S Sesak nafas, batuk,kaki kiri bengkak berkurang ,nyeri berkurang, ulcus bula
membaik, cegukan, demam
O TD : 134/70 mmhg
HR : 86x/i
RR : 22 x/i
Temp. : 38c
SpO2 : 99%
KGD : 321 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1

Leher : Tidak ada pembesaran KGB


Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi: SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A HFmrEF ec CADHHD + Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + Selulitis DD :
DVT + gangren diabetic sinistra
P Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P. (K), FCCP
Perawatan luka GV

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Dulcolax Supp. 1x 10mg =AFF
Metronidazole Drip /8jam
Ryzodeq 22-0-22

dr. Ahmad Handayani, Mked. (Cardio), Sp. JP.


ACC PBJ (lepas rawat)
Alih DPJP kepada SpPD
Terapi PBJ
Furosemide tab. 1x 20mg (pagi)
Spironolaktone 1x 25mg (pagi)
Candesartan 1x 8mg (malam)
NKR 2x 2.5mg
CPG 1x 75mg (pagi)
Atorvastatin 1x 20mg (malam)
PCT 3x 500mg (k/p)

04/11/22 Hari ke-12


S Sesak nafas (-), Bengkak di kaki kiri sudah berkurang , BAB dbn
O TD : 130/80 mmhg
HR : 86x/i
RR : 22 x/i
Temp. : 36c
SpO2 : 99%
KGD : 177 mg/dl

Status Lokalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)

Telinga : Normotia

Hidung : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Mulut : Mukosa mulut merah muda, Tonsil T1-T1


Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis, Ictus Kordis (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronki (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung : BJ I&II normal, regular

Abdomen : Inspeksi : Simetris


Auskultasi : Suara peristaltik usus (-)
Palpasi : Nyeri tekan CVA(+)
Perkusi : Timpani

Extremitas : Akral hangat, CRT<2detik, Edema (+) Inferior Sinistra.

Genitalia : Dalam batas normal, terpasang kateter


A HFmrEF ec. CADHHD + Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia + Selulitis,
DD : DVT + Gangren diabetic sinistra
P Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp. P. (K), FCCP
Nebul Ventolin 1resp /8jam
Nebul Pulmicort 1resp /8jam = AFF
Sabutamol 3x 2mg
Inoxin 1x 400mg
Codein 3x 10mg
Cetirizin 1x 10mg = AFF
Retaphyl 2x 150mg

dr. Sari Andriyani, Sp. PD.


Ryzodeq 24-0-24 (sewaktu makan)
Clindamycin 3x 300mg
Sucralfat Syr. 3x C1
Metoclopramid 3x 10mg (sebelum makan)
Curcuma 1x 1tab
CPZ 1x 1/4tab =AFF
Metronidazole gerus pro gv
Nacl pro gv
PBJ

BAB V

DISKUSI
Teori Anamnesa

Definisi Telaah : Os datang ke rumah sakit


Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks dan progresif yang mucul dari dengan keluhan sesak nafas dan
lemas, dijumpai kaki kanan dan
kerusakan struktural dan fungsional jantung sehingga tidak mampu kiri pasien bengkak, mual dan
memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kecukupan aliran darah dan muntah sudah 5 kali sebelum
masuk rumah sakit, pasien sulit
pengiriman oksigen ke seluruh tubuh. berjalan karena kaki kiri dan
kanan bengkak dan pasien
Etiologi mengeluhkan sesak nafas ketika
Penyebab CHF dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: berjalan.BAB dalam batas
(1) kelainan fungsi kontraksi ventrikel normal. BAK dalam batas normal.

(2) peningkatan afterload Dari gambaran klinis, pasien memiliki


sesak nafas dan lemas, dijumpai
(3) gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel. kaki kanan dan kiri pasien
bengkak, BAK dan BAB dalam
Manifestasi Klinis batas normal. Flatus (+)
Pemeriksaan fisik dijumpai perut soepel.
Dari gambaran laboratoris, terjadi
peningkatan leukosit (18.190).
Dari pemeriksaan radiologi
berupa USG Vascular kesan
gambaran High risk VTE. Tidak
konsisten untuk suatu DVT
(Namun resiko tinggi untuk
VTE). Dari pemeriksaan Foto
Thorax kesimpulan Suspek
kardiomegali dengan LVH
disertai aorta elongasi. Proses
spesifik (TB Paru) lama aktif
dupleks.

Diagnosis

Kriteria Mayor :

• Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe

• Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari dalam respon pengobatan

• Distensi vena leher

• Ronki basah

• Edema paru akut

• Refluks hepatojugular

• Gallop S3

• Peninggian tekanan vena jugularis

• Kardiomegali

• Edema pulmonal atau kardiomegali pada otopsi

Kriteria Minor:

• Batuk malam hari

• Edema ekstremitas

• Hepatomegali

• Dispnea d’effort
• Efusi pleura

• Takikardia (> 120 x/menit)

• Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal.


BAB VI

KESIMPULAN

Seorang Laki-laki , Usia 61 tahun datang ke IGD dengan keluhan Sesak nafas dan
Lemas , kaki bengkak Masuk Rumah sakit . Berdasarkan Anamnesis ,
Pemeriksaan Fisik , dan Pemeriksaan Penunjang , Pasien didiagnosis dengan CHF
ec CAD et HHD + Hiperglikemia ec. DM Tipe 2 + Post Stroke + Pneumonia +
Selulitis DD : DVT + Gangren Diabetic Sinistra. Setelah di evaluasi selama 12
hari dirawat pasien mengalami Perbaikan dan sudah boleh pulang pada tgl 4
November 2022.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bozkurt, B., Coats, A. J., Tsutsui, H., Abdelhamid, M., Adamopoulos, S.,
Albert, N., Anker, S. D., Atherton, J., Böhm, M., Butler, J., Drazner, M.
H., Felker, G. M., Filippatos, G., Fonarow, G. C., Fiuzat, M., Gomez-
Mesa, J. E., Heidenreich, P., Imamura, T., Januzzi, J., & Zieroth, S. (2021).
Universal Definition and Classification of Heart Failure: A Report of the
Heart Failure Society of America, Heart Failure Association of the
European Society of Cardiology, Japanese Heart Failure Society and
Writing Committee of the Universal Definition o. Journal of Cardiac
Failure, 27(4), 387– 413. https://doi.org/10.1016/J.CARDFAIL.2021.01.022
2. McDonagh, T. A., Metra, M., Adamo, M., Gardner, R. S., Baumbach, A.,
Böhm, M., Burri, H., Butler, J., Čelutkienė, J., Chioncel, O., Cleland, J. G.
F., Coats, A. J. S., Crespo- Leiro, M. G., Farmakis, D., Gilard, M.,
Heymans, S., Hoes, A. W., Jaarsma, T., Jankowska, E. A., & Skibelund, A.
K. (2021). 2021 ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure Developed by the Task Force for the Diagnosis
and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure of the European Society
of Cardiology (ESC) with the Special Contribution. European Heart
Journal, 42(36), 3599–3726.
3. Lilly LS, ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Massachusetts:
Lippincolt Williams & Wilkins. 2011.
4. Mariyono HH, Santoso Anwar. Gagal Jantung. SMF Kardiologi FK Unud.
2007
5. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration
with the Heart. Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1–641 – e61. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
6. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart
J 2008;29:2388–442.
7. Chioncel O, Mebazaa A, Harjola VP, Coats AJ, Piepoli MF, Crespo-Leiro
MG, Laroche C, Seferovic PM, Anker SD, Ferrari R, Ruschitzka F, Lopez-
Fernandez S, Miani D, Filippatos G, Maggioni AP, ESC Heart Failure Lon
g-Term Registry Investigators. Clinical phenotypes and outcome of patient
s hospitalized for acute heart failure: the ESC Heart Failure Long-Term Re
gistry. Eur J Heart Fail 2017;19:1242􏰂1254.
8. Masip J, Peacock WF, Price S, Cullen L, Martin-Sanchez FJ, Seferovic P,
Maisel AS, Miro O, Filippatos G, Vrints C, Christ M, Cowie M, Platz E,
McMurray J, DiSomma S, Zeymer U, Bueno H, Gale CP, Lettino M,
Tavares M, Ruschitzka F, Mebazaa A, Harjola VP, Mueller C, Acute Heart
Failure Study Group of the Acute Cardiovascular Care Association and the
Committee on Acute Heart Failure of the Heart Failure Association of the
European Society of Cardiology. Indications and practical approach to
non-invasive ventilation in acute heart fail- ure. Eur Heart J
2018;39:17􏰂25.
9. Harjola VP, Mebazaa A, Celutkiene J, Bettex D, Bueno H, Chioncel O,
Crespo- Leiro MG, Falk V, Filippatos G, Gibbs S, Leite-Moreira A, Lassus
J, Masip J, Mueller C, Mullens W, Naeije R, Nordegraaf AV, Parissis J,
Riley JP, Ristic A, Rosano G, Rudiger A, Ruschitzka F, Seferovic P,
Sztrymf B, Vieillard-Baron A, Yilmaz MB, Konstantinides S.
Contemporary management of acute right ventricular failure: a statement
from the Heart Failure Association and the Working Group on Pulmonary
Circulation and Right Ventricular Function of the European Society of
Cardiology. Eur J Heart Fail 2016;18:226􏰂241.
10. Menon V, Slater JN, White HD, Sleeper LA, Cocke T, Hochman JS. Acute
myocardial infarction complicated by systemic hypoperfusion without
hypotension: report of the SHOCK trial registry. Am J Med
2000;108:374􏰂380.
11. Dumitru I. Heart
Failure.Medscape.http://reference.medscape.com/article/163062-overview#a1
[Accessed 11 May 2016].
12. King M, Kingery J, Casey B. Diagnosis and Evalution of Heart Failure.
NCBI. http://ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/22962896/ [Accessed 11 May 2016]
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.

14. Bambang B Siswanto., Nani Hersunarti., Erwinanto., Rossana barrack., Ra


rsari Soerarso P., Siti Elkana., Anggia C Lubis (2015) “Pedoman Tatalaksa
na Gagal Jantung”PERKI.
15. Muzumdar D, Jhawar S, Goel A. Brain abscess: an overview. Int J Surg.
2011;9(2):136–44.
16. Brouwer MC, van de Beek D. Epidemiology, diagnosis, and treatment of
brain abscesses. Curr Opin Infect Dis. 2017;30(1):129–34.
17. Sidharta, Marjono. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2004.
18. Dewanto, Suwono, Riyanto. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana
Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2009.
19. (Smeltzer & Bare. 2008. Konsep Komunikasi Kesehatan. Jakarta: EGC).
20. B Linton, AD, Matteson M.A, Maebius N.K.2007.introductory nursing
care of adults. Second editioj.philadelphia: W,B Sauners company
2007:467)
21. Irfan, Muhammad. 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Edisi Pertama.
Yogyakarta : Graha Ilmu. p.69
22. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni. 2015.
23. ADA. Standards of Medical Care in Diabetes 2017. American Diabetes
Association. 2017; vol.40(Supplement 1).
24. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
2009.
25. Kemenkes RI. Infodatin Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2014.
26. Cheng D. Prevalence, predisposition and prevention of type II diabetes.
Nutr Metab (Lond). 2005;2:29.
27. ADA. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care.
2014;37(Supplement 1): S81-S90.
28. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of
diabetes for 2010 and 2030. Diabetic Reserach and clincal practice.
2010;87:4-14.
29. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. 2015.
30. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba, CB. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. J.
Physiol. Pathophysiol. 2013;4(4):46-57. 10. Jameson JL. Harrison's
Endocrinology 3rd Edition. McGrawHill. 2013.
31. Mayo Clinic. Type 2 Diabetes. 2016. Tersedia dalam :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/type-2-
diabetes/symptomscauses/dxc-20169861 (diakses 5 Maret 2017).
32. Perkeni. Konsensus Penggunaan Insulin. Jakarta : PB Perkeni. 2015.
33. Canada Diabetes Association. Insulin Prescription. 2014.
34. Kartika RW. Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. CDK-248. 2017;44(1).
35. DeOrio JK. Claw Toe. 2016. Tersedia dalam :
http://emedicine.medscape.com/article/1232559-overview (diakses 5
Maret 2017).
36. Rykberg RG. Diabetic Foot Ulcers:Pathogenesis and Management.
American Family Physician. 2002;66(9):1655-62.
37. NHS. Gangrene Treatment. 2015. Tersedia dalam :
http://www.nhs.uk/Conditions/Gangrene/Pages/new_Treatment.aspx
(diakses 5 Maret 2017).
38. Aggelidakis J, Lasithiotakis K, Topalidou A, Koutroumpas J, Kouvidis G,
Katonis P. Limb salvage after gas gangrene: a case report and review of
the literature. World Journal of Emergency Surgery. 2011;6:28.
39. Zhang P., Lu J., Jing Y., Tang S. Global epidemiology of diabetic foot
ulceration: a systematic review and meta-analysis. Journal Annals of
Medicine.
40. Warren C., Elasy. Review of the Patophysiology, Classification, and
Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Journal of Clinical
Diabetes;27

Anda mungkin juga menyukai