Disusun Oleh :
Grace Marselina Datu Tasik
11/317318/KU/14555
No RM
Ruang
Tanggal Masuk
Tanggal Kasus
Alamat
Agama
Diagnosis Medis
Katholik
591110
IMC 331
07 Oktober 2014
08 Oktober 2014
Panjen, Wedomartani
PAPO Antebrachialis Sinistra
AFRVR
Mempersiapkan
makanan
Riwayat/ pola makan
Pembahasan Anamnesis
Seorang pasien perempuan berinisial Ny.M berusia 73 tahun didiagnosis medis PAPO
(Penyakit Arteri Perifer Oklusif) Antebrachialis Sinistra AFRVR, dimana terjadi penyumbatan
pembuluh darah arteri perifer pada bagian anterior brachialis sinistra yang pada akhirnya
mempengaruhi irama detak jantung dan frekuensi laju jantung per menit. Pada kasus ini,
berdasarkan hasil EKG, pasien termasuk AFRVR (Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response).
dimana laju jantung lebih dari 100 kali/menit.
Beberapa jam sebelum dirujuk ke rumah sakit, pasien merasakan ujung jari tangan kiri
sianosis sejak sore dan saturasi kelima jari tidak normal. Adapun keluhan yang dirasakan
pasien saat di rumah sakit adalah kepala terasa pusing dan berputar serta badan terasa lemas.
Menurut data pada rekam medis pasien memiliki riwayat stroke dan hipertensi.
Sementara itu, menurut keterangan keluarga, pasien memiliki nafsu makan yang baik. Keluarga
pasien memaparkan bahwa pasien memiiki pola makan yang teratur dan gemar mengkonsumsi
lauk nabati yaitu tempe. Pada setiap menu di pagi, siang dan sore hari, selalu terdapat lauk
tempe. Selain itu, setiap pagi pasien juga suka mengkonsumsi oatmeal sebagai sarapan
Penyakit Arteri Perifer Oklusif atau yang dikenal dengan istilah PAPO merupakan suatu
kondisi adanya penyumbatan pembuluh darah arteri perifer yang menyebabkan penyempitan
aliran darah yang menyuplai darah menuju kepala, tangan, perut, dan kaki. Pembuluh darah
arteri yang paling sering terkena adalah arteri di kaki (arteri femoral bagian distal). Sumbatan
tersebut paling sering disebabkan oleh proses aterosklerosis, meskipun dapat disebabkan oleh
penyebab lainnya, seperti tromboemboli dan vaskulitis (Lilly, 2011).
Secara klinis PAPO ditandai dengan penyempitan dan pembuntuan pembuluh arteri di
ekstrimitas karena proses proses radang, tromboangitis obliterans atau penyakit kologen.
Penyakit ini merupakan masalah utama bagi pederitanya, karena menyebabkan morbiditas
bersifat terus menerus, baik berupa luka yang lama sembuh, gangguan trofik ada jari kaki
maupun tangan, rasa nyeri waktu berjalan maupun istirahat, sembab kaki dan tungkai. Bahkan
banyak kasus dari penyakit ini berakhir dengan dilakukannya amputasi sebagian jari kaki,
tungkai bawah maupun tungkai atas (Arifin, 2000)
Penyakit arteri oklusif merupakan komplikasi ateroseklerosis yang sering dijumpai.
Mekanisme oklusifnya bisa bersifat endogenus yang disebabkan oleh pembentukan emboli
atau trombus, atau eksogenus, yang disebabkan oleh trauma atau fraktur. Faktor predisposisi
bagi penyakit arteri oklusif meliputi kebiasaan merokok, pertambahan usia, keadaan seperti
hipertensi, hiperlipidemia serta diabetes dan riwayat gangguan vaskuler, infark miokard atau
stroke dalam keluarga (Matthies, 2003).
.Pada kasus ini, pasien yang sudah berusia sangat lanjut ini, memiliki riwayat stroke dan
hipertensi. Faktor predisposi terjadinya PAPO terkait kasus yang dialami pasien antara lain
pertambahan usia, terutama setelah mencapai usia 60 tahun ke atas untuk wanita, dan riwayat
penyakit jantung atau stroke serta hipertensi (Anonim, 2011; Husin et al., 2006). Mendukung hal
tersebut, Rubenstein, et al. (2007) mengemukakan fibrilasi atrium (Atrial Fibrilation/AF) pada
umumnya merupakan penyakit pada manula, mengenai 0,2% pria berusia 47-56 tahun dan 3%
pria berusia 77-86 tahun (Penelitian Farmingham, 1949) .
B. Antropometri
BB
TB
50 kg
158 cm
Kesimpulan =
IMT
= 50 / (158)2
= 20 kg/m2
Berdasarkan hasil perhitungan IMT, diperoleh status gizi pasien menurut klasifikasi untuk
orang Asia adalah normal. Menurut IOTF, WHO 2000 risiko comorbiditas untuk orang asia
dengan status gizi normal adalah rata-rata.
C. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan
urin/ Darah
Satuan/ Nilai
Normal
Tanggal
07/10/14
KET
Tanggal
08/10/14
KET
SGPT
SGOT
Amilase
Lipase
Globulin
Na
32 u/l
31 u/l
28-100 u/l
13-60 u/l
3,2-3,9 g/dl
136-145 mmol/L
148
Tinggi
21,5
16,8
-
Normal
Normal
-
K
Cl
Mg
Ca total
Glukosa darah
3,5-5,1 mmol/L
98-107 mg/dl
1,9-2,5 mg/dl
8,2-9,6 mg/dl
70-110 mg/dl
2,9
112
2,23
9,3
-
Rendah
Tinggi
Normal
Normal
-
Hb
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
MCH
MCH
MCHC
W-CV
12 15,5 g/dl
4-11x103 uL
3,8-5,8x106 uL
37-47 %
150-450 x103 uL
1-6 %
1-2 %
40-80 %
20-40 %
2-10 %
80-96 fl
27-31 pg
32-36 g/dL
11,6-14,8 %
14,6
-
Normal
-
12,6
5,07
43,0
193
0,1
0,2
78,3
16,3
4,9
84,8
28,8
34
14,2
Tinggi
Normal
Normal
Normal
Rendah
Rendah
Normal
Rendah
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Kesimpulan :
Hasil pemeriksaan biokimia pada awal masuk RS menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan natrium dan klorida serta rendahnya kadar kalium dalam darah pasien. Pada
pemeriksaan keesokan hari, diukur kadar komponen darah lainnya. Maka hasil menunjukkan
bahwa kadar leukosit cukup tinggi dari batas normal. Didukung pula dengan rendahnya kadar
eusinofil, basofil dan limfosit.
D.
: 456
3. Keadaan
: Pasien tampak bingung dan gelisah, turgor kulit baik, sianosis perifer
4. Vital Sign
Ekstremitas
: Atas
Bawah
Anemis
: (-)
Sklera
: (-)
: Kontraktur (+)
: Kontraktur (+)
- Respirasi
: 18x/menit
Pulmo
: Bising (-)
Kesimpulan :
Berdasarkan pemeriksaan vital diperoleh hasil bahwa tekanan darah pasien yaitu 149/94.
Menurut JNC (Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and the
Treatment of High Blood Pressure) nilai tersebut termasuk dalam kategori hipertensi stage I.
Adapun hasil pemeriksaan nadi pasien berada jauh diatas normal yakni 197x/menit. Menurut
Pearce (2009) nadi normal untuk usia >14 tahun adalah 60-100x/menit. Depkes (2007) juga
menetapkan nadi normal untuk usia lanjut adalah 60-70x/menit sehingga lebih dari kisaran
tersebut termasuk dalam kategori takikardi. Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia)
tidak hanya terbatas pada denyut jantung yang tidak teratur, tetapi juga termasuk kecepatan
denyut jantung yang abnormal dan gangguan konduksi. Sinus takikardi adalah sinus yang
kecepatannya lebih dari 100 kali per menit (Trisnohadi, 2009).
Sementara itu, hasil pengukuran respirasi dan palpasi pasien masih dalam batas normal
yaitu 18 kali/menit dan 142 kali/menit. Menurut Effendi (2014), dalam beberapa kasus takikardi
tidak menimbulkan komplikasi. Nilai normal pada respirasi pasien ini dimungkinkan
menunjukkan bahwa kondisi pernapasan pasien maish cukup baik. Effendi (2014)
mengemukakan nafas pendek,batuk,perubahan kecepatan / kedalaman pernafasan; bunyi
nafas tambahan (krekels,ronki,mengi) dimungkinkan menunjukan komplikasi pernafasan
seperti pada gagal jantung kiri ( edema paru ) atau fenomena tromboembolitik pulmonal.
Pasien juga mengalami sianosis perifer namun dengan saturasi oksigen normal yaitu
98%. Menurut Fox (2002) kisaran normal saturasi O2 adalah >95%. Penyebab sianosis perifer
paling sering yaitu vasokonstriksi normal akibat udara atau air dingin. Vasokonstriksi terjadi
sebagai kompensasi dari penurunan curah jantung sehingga darah lebih dialirkan ke organorgan vital daripada ke kulit. Hal terseut menyebabkan adanya sianosis pada ekstremitas
walaupun saturasi oksigennya baik (Cox dalam Friedman, 2001).
Sianosis perifer disebabkan oleh menurunnya kecepatan aliran darah dan ekstrasi
oksigen yang berlebih dari darah ke arteri. Hal tersebut diakibatkan oleh vasokonstriksi kapiler
yang dapat dipengaruhi oleh penurunan curah jantung,
vaskuler perifer dan obstruksi arteri atau vena. Adanya obstruksi atau konstriksi arteri pada
ekstremitas menyebabkan kulit pucat, dingin, dan sianosis (Fauci, 2008).
Pasien juga mengalami kebingungan dan kekakuan pada ekstremitas atas dan bawah.
Menurut Cox dalam Friedman (2001) hal tersebut merupakan tanda dan gejala dari sianosis
perifer. Selain itu tanda dan gejala dari sianosis perifer adalah takikardi, ekstremitas dingin,
penurunan output urin, dan tanda-tanda shock. Terkait kodisi takikardi yang dialami pasien,
menurut Muttaqin (2009) manifestasi klinis dari takikardi adalah kebingungan, gelisah, dan
kontraktur pada ekstremitas. Hal ini dipengaruhi oleh detak jantung yang terlalu cepat
menyebabkan kerja jantung tidak efektif memompa darah ke seluruh tubuh sehingga
mengurangi asupan oksigen ke organ dan jaringan.
Pasien juga merasa badan terasa lemas. Hal ini merupakan tanda khas insufiensi arteri
perifer dimana terjadi klaudikasi intermitten. Nyeri ini datang mendadak dan dapat dirasakan
ebagai ngilu, kram, kelelahan atau kelemahan (Cox dalam Friedman, 2001).
: 8 Oktober 2014
Diet RS
Implementasi
Asupan oral
Asupan Enteral
Parranteral
Kebutuhan
% Asupan
Kesimpulan :
Energi (kal)
1096,75
1459,4
75,2 %
Protein (gr)
45
40
112,5 %
Lemak (gr)
23,27
40,5
57,45 %
KH (gr)
177
233
75,96%
Berdasarkan hasil recall diketahui bahwa asupan energi, lemak dan karbohidrat pasien
masih kurang yaitu 75,2%, 57,4% dan 75,96%. Namun, asupan protein sudah memenuhi
standar asupan yaitu 112 %. Menurut McGuire dan Beerman (2012) negative energy balance
merupakan hasil dari kurangnya asupan energi, kelebihan energi ekspenditur, atau keduanya.
Pemeriksaan Penunjang
EKG ; Radiologi ; BNO/IVP ; USG ; CT scan dan lain-lain
Tanggal
08 Oktober
2014
Pemeriksaan
AFRVR
EKG
08 Oktober
2014
Ro Thorax
Hasil
F. Terapi Medis
Jenis Obat/
Tindakan
Dosis
& Cara
Pemberian
Fungsi
Solusi
Cordarone
Secara
intravenus
melalui kateter
vena sentral,
5 mg/kg dalam
250ml dextrose
5 % selama 20
-120 menit
dengan EKG di
monitor
Heparin
Amlodipin
Diovan
Pada pasien
usia lanjut,
dosis yang
dianjurkan pada
awal terapi 2,5
mg satu kali
sehari
80 mg satu kali
sehari dan
dapat
ditingkatkan
sampai 160
mg/hari atau
dapat ditambah
diuretik jika
tekanan darah
belum dapat
terkontrol
Amiodarone dapat
dikonsumsi sebelum
atau sesudah maka
atau bersamaan
dengan makanan.
Grapefruit bisa
meningkatkan kadar
amiodarone dalam
tubuh dan
menyebabkan efek
samping yang
berbahaya. Hal ini
dapat mempengaruhi
irama jantung Anda
Hindari
mengkonsum
si grapefruits
(sejenis jeruk
bali) dan jus
jeruk saat
mengkonsum
si
amiodarone.
Penggunaan heparin
merupakan
kontraindikasi pada
pasien dengan
perdarahan aktif tak
terkendali.
Perdarahan dapat
terjadi pada hampir
semua situs pada
pasien yang
menerima heparin.
Heparin juga
bertentangan pada
kondisi hiperkalemia.
Tidak
mengkonsum
si makanan
tinggi kalium
dalam jumlah
banyak
sesaat
sesudah
konsumsi/inje
ksi heparin
Amlodipine tidak
menimbulkan
perubahan kadar
lemak plasma dan
dapat digunakan pada
pasien asma,
diabetes serta gout
Konsumsi kalium
pada pasien yang
sedang dalam
pengobatan diovan
dapat memicu
hiperkalemia
Menghindari
asupan
sedang
maupun
tinggi kalium.
Pasien perlu
menerima
konsultasi
diet dan
disarankan
untuk tidak
mengkonsum
si garam
kalium
Ketorolac
Injeksi bolus
intravena
diberikan dalam
waktu minimal
15 detik.
Pemberian
intramuskular
dilakukan dalam
dan perlahan.
Pengobatan
intramuskular
jangka pendek,
diberikan dosis
30-60 mg, dan
kemudian
dengan dosis
15-30 mg/6 jam,
jika diperlukan
Alkohol dapat
meningkatkan risiko
perdarahan lambung
yang disebabkan oleh
ketorolac
Tidak
mengkonsum
si alkohol
ketika
sedang
mengkonsum
si ketorolac.
Konsultasi
dengan
dokter
bilamana
tetap ingin
mengkonsum
si alkohol
(www.drugs.com)
NI.-5.4
Penurunan kebutuhan nutrisi spesifik yaitu kolesterol berkaitan dengan adanya PAPO
(Penyakit Arteri Perifer Oklusif) dan gangguan elastisitas pembuluh darah dibuktikan oleh
nilai tekanan darah 149/94 mmHg, nadi 197x/menit (takikardi), hasil EKG AFRVR, dan
riwayat penyakit stroke serta hipertensi
NI-2.1
Asupan oral inadekuat berkaitan dengan keadaan fisiologis pasien terkait Penyakit Arteri
Perifer Oklusif (PAPO) dibuktikan oleh pasien bingung, gelisah, penurunan nafu makan
dan hasil recall untuk asupan energi, karbohidrat dan lemak < 80%
c.
d.
Lemak cukup yaitu 25 % dari total kalori dengan mengutamakan lemak tidak jenuh
MUFA maupun PUFA dan menghindari SFA
e.
f.
Menghindari makanan tinggi kandungan SFA dan kolesterol seperti daging babi, daging
sapi muda, daging ham, es krim, keju, susu whole cream
g.
h.
i.
Menghindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya seperti makanan kaleng,
burger, nugget, sosis, keju, dll.
= 0,8 g x 50 kg
= 40 gram
d. Kebutuhan Karbohidrat
Kebutuhan KH
= 60 % x 1459,4 kkal
= 934,55 kkal = 233 gram
= Saring
c. Cara Pemberian
= Oral
Dalam rangka memenuhi kebutuhan lemak, pasien dapat meningkatkan asupan PUFA
maupun MUFA. Tuminah (2009) mengemukakan bahan makanan tinggi MUFA dapat
diperoleh dari minyak tumbuh-tumbuhan seperti minyak zaitun, minyak kacang tanah, dan
kacang tanah. Sedangkan bahan makanan tinggi PUFA dapat diperoleh dari minyak ikan,
minyak safflower, dan minyak kacang kedelai. Beberapa penelitian menunjukkan,
mengutamakan konsumsi PUFA dan MUFA dalam memenuhi kebutuhan lemak dalam tubuh
dapat mengurangi kadar kolesterol secara signifikan. Selain itu, konsumsi MCT (Medium
Chain Triglyceride) juga penting untuk diberikan, agar kalori yang cukup dapat diberikan
tanpa memberoskan banyak energi untuk menyerap unsur-unsur tersebut.
Selain itu, pembatasan natrium juga dilakukan terkait tekanan darah pasien yang
berada di atas normal. Menurut Almatsier (2006), batas konsumsi natrium untuk pasien
dengan hipertensi ringan (stadium 1) adalah 1000-1200 mg/hari. Dimana pada pengolahan
makanan, jumlah garam yang dapat ditambahkan sekitar 4 gram yaitu 1 sendok teh.
5. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Anamnesis
Yang Diukur
Antropometri
Biokimia
Klinis
Dietary
BB
Na, K, Cl, Mg, Ca
total
- Keluhan
Asupan makan
Pengukuran
(Jangka Waktu)
Bila pasien dapat
ditimbang
Menyesuaikan
dokter/medis
Setiap hari, selama
3 hari
Setiap hari, selama
3 hari
Evaluasi/ Target
Tetap
Normal
- Keluhan berkurang
80 %
b.
c.
Edukasi kepada keluarga pasien mengenai makanan yang dianjurkan dan tidak
dianjurkan serta pengolahan masakan yang baik untuk pasien hipertensi (rendah
garam) dan pemilihan makanan kaya lemak PUFA dan MUFA serta MCT
B. IMPLEMENTASI
1. Kajian Terapi Diet Rumah Sakit
Terapi Diet
- Jenis Diet/ Bentuk Makanan/ Cara Pemberian : DJ II RG III/Saring/Oral
- Peranteral Gizi : D5% 155 ml
Standar diet RS
Kebutuhan
(planning)
% standar/
kebutuhan
Energi (kal)
1268,6
Protein (gr)
51,4
Lemak (gr)
27,7
KH (gr)
206
1459,4
40
40,5
206
86,92 %
128,5 %
68,4 %
88,4 %
= DJ II RG III
= DJ II RG III
= Saring
STANDAR DIET RS
REKOMENDASI STANDAR
DIET
Teh manis
Teh manis
Saring 500 g
Saring 500 g
AKH 200 cc
AKH 200 cc
Makan Pagi
- Nasi
- Lauk hewani
- Lauk nabati
- Sayur
- Susu/teh
Selingan pagi 10.00
Makan siang
- Nasi
- Lauk hewani
- Lauk nabati
- Sayur
- Susu/teh
Selingan sore 16.00
Saring
Buah
500 g
100 g
Susu skim
100 g
Saring
550 g
Buah
100 g
Saring
500 g
Buah
100 g
Puding/Agar-agar 100 g
Nasi
Lauk hewani
Lauk nabati
Sayur
Susu/teh
Saring
500 g
Buah
100 g
P = 40 g
L = 40,5 g
KH = 233 g
: DJ II, RG III
Tanggal
: 8 Oktober 2014
Diet yang dipesan adalah Diet Jantung II yang dimodifikasi bentuknya berupa
makanan saring dan diberikan secara oral. Diet ini memperhatikan kadar garam dalam
masakan yaitu rendah garam III, sehingga pada sayuran dan lauk nabati serta hewani
tidak diberikan garam. Selingan yang diberikan adalah susu skim. Namun, praktikan
menganjurkan dalam rekomendasi diet untuk digantikan dengan agar-agar. Hal ini juga
menyesuaikan dengan daya terima pasien dimana hasil recall menunjukkan puding
yang diberikan habis dimakan dibanding bubur saring.
b)
a.
b.
c.
d.
e.
Penerapan Konseling
Sasaran : Pasien dan anggota keluarga
Waktu
: Saat di bangsal
Tempat : Bangsal
Media
: Lisan
Metode
:Konsultai gizi (Konseling) dilakukan saat recall, tidak dilakukan
f.
a.
b. Pengaturan diet yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien terkait PAPO
(Penyakit Arteri Perifer Oklusif) dan hipertensi stage I serta riwayat stroke
Materi konseling gizi :
a. Edukasi kepada keluarga pasien mengenai pengaturan dan komposisi diet rendah
kolesterol dan rendah natrium
b. Edukasi dan motivasi terhadap keluarga pasien mengenai pentingnya bagi pasien
untuk meningkatkan asupan oral mengingat asupan oral pasien yang semakin
menurun drastis dibanding pada hari pertama recall
c. Edukasi kepada keluarga pasien mengenai makanan yang dianjurkan dan tidak
dianjurkan serta pengolahan masakan yang baik untuk pasien hipertensi (rendah
garam) pemilihan makanan kaya lemak PUFA dan MUFA serta MCT
BAGIAN 4.
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit arteri perifer oklusif (PAPO) merupakan suatu kondisi adanya penyumbatan
pembuluh darah arteri perifer yang menyebabkan penyempitan aliran darah yang menyuplai
darah menuju kepala, tangan, perut, dan kaki. Pembuluh darah arteri yang paling sering
terkena adalah arteri di kaki (arteri femoral bagian distal). Sumbatan tersebut paling sering
disebabkan oleh proses aterosklerosis, meskipun dapat disebabkan oleh penyebab lainnya,
seperti tromboemboli dan vaskulitis (Lilly, 2011).
Penyakit arteri perifer mengenai 4% orang usia 40 hingga 70 tahun dan 15 hingga 20%
pada orang usia lebih dari 70 tahun. Proses perjalanan penyakit PAPO akibat aterosklerosis ini
sama seperti penyakit arteri koroner yang melibatkan proses penebalan lapisan intima dan
pembentukan plak. Faktor risiko penyakit arteri koroner juga menjadi faktor risiko PAPO, seperti
tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan merokok. Oleh karena itu, terdapat sekitar 40%
penderita PAPO yang juga mempunyai penyakit arteri koroner (Wibowo & Zulmiyusrini, 2014).
Penderita PAPO memiliki risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular dua hingga lima
kali lipat lebih tinggi dibandingkan denganorang yang tidak menderita PAPO (Hirsch, 2005).
Menurut Lilly (2011) penyumbatan pada PAPO dapat terjadi melalui proses penyempitan
secara bertahap maupun penyumbatan secara tiba-tiba. Penyempitan secara bertahap
biasanya paling sering disebabkan oleh aterosklerosis. Hallett (2008) menambahkan penyebab
lainnya yang lebih jarang adalah fibromuskular displasian, vaskulitis, kista, atau sebab lainnya.
Sementara itu, penyumbatan tiba-tiba terjadi saat terbentuknya trombus pada arteri yang sudah
mengalami penyempitan sebelumnya atau saat gumpalan trombus lepas menjadi menjadi
emboli (tromboemboli)
Mekanisme terjadinya PAPO melibatkan proses terbentuknya aterosklerosis. Terjadinya
aterosklerosis diawali dengan terjadinya gangguan fungsi sel endotel (sel pelapis pembuluh
darah) yang disertai dengan pembentukan plak pada dinding pembuluh darah. Gangguan
fungsi pada endotel juga mengakibatkan berkurangnya
inflamasi vaskuler, fungsi platelet, pembentukan pembuluh darah baru, dan respirasi selular
(Maiorana, 2003 & Allen, 2012)
Selain gangguan fungsi sel endotel, penyakit arteri perifer juga disebabkan oleh
terakumulasinya metabolit yang beracun di dalam tubuh dan terjadinya stres oksidatif yang
diperantarai oleh NOX2, enzim yang menghasilkan spesies oksigen reaktif dan memiliki efek
sebagai vasokonstriktor. Spesies oksigen reaktif akan mengganggu pelebaran (vasodilatasi)
pembuluh darah yang diperantarai aliran darah. Dalam sebuah penelitian, kadar NOX2
ditemukan meningkat pada orang dengan penyakit arteri perifer dan berkontribusi dalam
menurunkan vasodilatasi pembuluh darah yang diperantarai aliran darah (Loffredo, 2011).
Pada orang sehat dalam kondisi istirahat, kecepatan aliran darah ke otot ekstremitas
adalah sekitar 300400 mm/min. Saat tubuh melakukan aktivitas atau latihan, curah jantung
meningkat dan terjadi vasodilatasi di jaringan sehingga alirah darah meningkat sekitar 10 kali.
Vasodilatasi pembuluh darah terjadi karena terdapat beberapa senyawa, termasuk NO, yang
dikeluarkan oleh pembuluh darah sebagai respon tubuh terhadap aktivitas atau latihan
(Maiorana, 2003 & Rowe, 2014).
Namun, pada penderita PAPO, pembuluh arteri perifer mengalami ateroskleoris sehingga
mengalami penyempitan lumen. Penyempitan lumen pembuluh darah mengakibatkan
perubahan tekanan pada distal pembuluh darah dan perubahan aliran darah menuju jaringan.
Oleh karena itu, meskipun pada kondisi istirahat aliran darah yang menuju jaringan relatif stabil,
pada kondisi beraktivitas atau latihan aliran darah tidak bisa meningkat secara maksimal
karena adanya penyempitan pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah karena
aterosklerosis diperparah dengan kurangnya kadar NO sebagai vasodilator dan meningkatnya
stres oksidatif yang diperantarai NOX2 sebagai vasokonstriktor (Allen, 2012).
Loffredo (2013) menjelaskan akibatnya terjadi ketidakseimbangan antara meningkatnya
kebutuhan oksigen di jaringan karena meningkatnya aktivitas (seperti saat jalan kaki jauh atau
olahraga)
dan
menurunnya
suplai
oksigen
karena
penyempitan
pembuluh
darah.
(paha), popliteal (lutut), tibial dan peroneal (betis). Pembuluh arteri di tangan bagian bahu dan
lengan juga dapat terkena PAPO, meskipun kejadiannya lebih jarang. Penyumbatan juga harus
terjadi sekitar 70% untuk dapat memunculkan gejala. Penyumbatan yang terjadi secara
bertahap biasanya memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan penyumbatan yang terjadi
secara tiba-tiba (Hallet, 2008).Jika sumbatan terjadi dalam jangka waktu yang lama dan parah,
bisa terjadi pengecilan otot, munculnya warna kebiruan, kerontokan rambut, hingga gangren
pada jari-jari (Boggs, 2006).
Pemeriksaan yang diperlukan untuk check up pada penderita PAPO antara lain
pengukuran rasio tekanan darah kaki dan tangan atau sering disebut dengan Ankle-Brachial
Index (ABI) dan pemeriksaan Dopler untuk mendeteksi adanya aliran darah. USG Duplex
merupakan salah satu metode noninvasif yang bisa digunakan untuk melihat dan menilai
besarnya sumbatan dan aliran darah. Pemeriksaan yang lebih canggih lagi seperi MRI
angiography, CT angiography atau intraarterial contrast angiography biasanya dilakukan jika
akan dilakukan tindakan untuk melebarkan kembali pembuluh darah yang tersumbat tersebut
(Wibowo & Zulmiyusrini, 2014).
Perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor risiko merupakan hal terpenting dalam
pengobatan PAPO, selain pengobatan dengan obat-obatan pencegah jendalan darah. Obatobatan pencegah jendalan darah memang belum terbukti dapat mengurangi gejala nyeri akibat
PAPO, namun obat-obatan tersebut dapat mengurangi risiko kematian akibat penyakit
kardiovaskular. Program latihan juga penting untuk meningkatkan efisiensi metabolisme pada
otot sehingga bisa menggunakan oksigen lebih efektif. Beberapa obat yang berfungsi untuk
melebarkan pembuluh darah dapat meningkatkan kapasitas latihan pada penderita PAPO,
namun belum terbukti efektif dalam mengurangi nyeri klaudikasio (Wibowo & Zulmiyusrini,
2014).
Pasien juga didiagnosis mengalami AFRVR. Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi
adalah irama umumnya tidak teratur dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bias
normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali permenit disebut atrial fibrilasi slow
ventricular respons (AFSVR), jika laju jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi normo
ventricular respon (AFNVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit disebut
atrial fibrilasi rapid ventricular respon (AFRVR). Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat
dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil
sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan (Chuchum, 2010).
Banyak faktor risiko yang menyebabkan berkembangnya kejadian atrial fibrilasi terutama
dengan semakin meningkatnya usia semakin meningkat pula risiko kejadian atrial fibrilasi
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Faktor risiko lainnya dapat
dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non jantung. Selain faktor usia, faktor risiko
yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit diabetes, penipisan elektrolit, kelainan tiroid, dan
emboli pulmonal. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari jantung sendiri adalah atrial septal
defect, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung iskemik,
dll (Berry and Padgett, 2012).
Diagnosis
PAPO
Antebrachialis
Sinistra
AFRVR
Antropo
metri
-
Biokimia
Klinis
SGOT : 21,5
T: 130/80
SGPT : 16,8
N: 82x /menit
Leukosit:
R: -
12,6 ()
S: 36,5C
Eusinofil: 0,1
Tampak lebih
()
Dietary
Asupan oral :
E : 404,4 kcal
pertama
(27,7%)
P : 13,85 g
tenang,
(34,6%)
Basofil: 0,2
rileks, akral
L : 7,1 g
()
hangat (+)
(17,5%)
KH : 71,1 g
(30,5%)
Tidak
terdapat data
biokimia
kasus
profil lipid
pasien
pengambilan
kasus.
Keluarga
pasien
mengemukakan
dan
gangguan
elastisitas
pembuluh
darah
(pre
MONEV II
10Oktober2014
Diagnosis
tambahan :
ISK
Na : 144
mg/dl
(normal)
K : 2,5
mmol/L ()
Cl : 115
mmol/L ()
Ca total : 8
mg/dl ()
Mg : 3,2
mg/dl ()
Asupan oral :
T: 138/75
Assesmen Gizi :
A: Data antropometri tidak dapat diukur pada monev kedua
N: 88x /menit
E : 254 kcal
S: 36C
(17,4%)
Akral hangat
P : 2,4 g (6%) kalium dan Ca total rendah serta kadar klorida meningkat.
(+)
L:-
Rileks,
KH : 71,85 g
tenang
(30,8%)
Sebaliknya,
kadar
magnesium
yang
pada
Tekanan
darah
pasien
tergolong
pre
hipertensi.
Assesmen Gizi :
A: Data antropometri tidak dapat diukur pada monev ketiga
B: Tidak ada pengukuran biokimia pada monev ketiga
C: Tekanan darah pasien tergolong pre hipertensi. Adapun
KU : CM
Asupan oral :
T: 130/80
N: 88x /menit
S: 37C
-
Akral hangat
(+)
MONEV III
11Oktober2014
Tampak
sakit, lemas,
rileks
E : 547,35
kcal (37,5%)
P : 18,5 g
(46,3%)
L : 11,53
(28,5%)
KH : 95,1 g
(40,8%)
A.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan assesmen antropometri pasien memiliki status gizi normal; hasil
assesmen biokimia menunjukkan terdapat ketidakseimbangan kadar natrium,
klorida dan kalium; hasil assesmen fisik klinis menunjukkan manifestasi klinis dari
Penyakit Arteri Perifer Oklusif (PAPO); dan hasil assesmen dietary asupan
makan menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi lemak, karbohdrat dan
energi masih dibawah standar minimal 80%
2. Berdasarkan diagnosis medis pasien mengalami peripheral arterial disease atau
Penyakit Arteri Perifer Oklusif (PAPO)
3. Hasil assesmen menunjukkan diagnosis gizi pasien yaitu NI-5.4 Penurunan
Kebutuhan Lemak dan Natrium
4. Intervensi gizi yang diberikan adalah Diet Jantung II, bentuk makanan saring dan
cara pemberian oral
B.
SARAN
1. Untuk pasien
Pasien perlu menerapkan pola makan yang baik dan menghindari beberapa
makanan yang sesuai dengan pengaturan diet yang telah dianjurkan. Selain itu,
diperlukan kemauan dari pasien untuk meningkatkan asupan makan
2. Untuk keluarga pasien
Sebaiknya
keluarga
pasien
terus
mendukung,
memperhatikan
dan
memotivasi pasien untuk menerapkan pola diet yang sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi pasien saat ini
3. Diperlukan kolaborasi medis terkait penanganan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
Allen JD, Giordano T, Kevil CG. Nitrite and nitric oxide metabolism in peripheral artery
disease. Nitric Oxide. 2012;26(4):217-22.
Almatsier Sunita. 2006. Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia
Anonim. 2011. Penyakit Arteri Perifer. Tersedia dalam: http://www.astellas.co.id [Diakses
pada 31 Oktober 2014]
Arifin, M. 2000. Peranan Obat Vasoaktif terhadap Peningkatan Efek Hemodinamik pada
Peripheral Occlusive Arterial Disease (POAD)
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Astuti, Tina. 2013. Cara Pintar Diet Panduan Lengkap Secara Alami dan Medis. Oryza :
Jakarta Selatan
Berry. A and Padgett, H. (2012). Management of patients with atrial fibrillation: Diagnosis and
Treatment. Nursing Standard/RCN Publishing. 26 (22), 47.
Bina Gizi Masyarakat
Boggs WM. 2006. Chronic Peripheral Arterial Occlusive Disease Peripheral Arterial
Disease.
Tersedia
dalam:
http://www.medicineonline.com/topics/c/2/ChronicPeripheral-Arterial-Occlusive-Disease/Peripheral-Arterial-Disease.html.
[Diakses
pada 10 Oktober 2014]
Chuchum S. (2010). Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Jakarta: Surya
Gemilang
Cox P.M., Schwarz. Cyanosis. Dalam: Friedman H.H., Editor. Problem Oriented Medical
Diagnosis. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott; 2001;h:146-148
Depkes RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat
edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont.
Effendi, Zogie. 2014. Sinus Takikardi. Tersedia dalam: <http:// zhoghyearhye.blogspot.com>
[Diakses pada 31 Oktober 2014]
Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L.,Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson,J.L., et al.
Harrison's Principle Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia: McGraw-Hill; 2008
Hallett
Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, Bakal CW, Creager MA, Halperin JL, et al. ACC/AHA
2005 Practice Guidelines for the management of patients with peripheral arterial
disease (lower extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic): a collaborative
report from the American Association for Vascular Surgery/Society for Vascular
Surgery, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the
ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop
Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease):
endorsed by the American Association of Cardiovascular and Pulmonary
Rehabilitation; National Heart, Lung, and Blood Institute; Society for Vascular
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation.
Circulation. 2006;113(11):e463-654.
Husin, W., Hudaja, O., Kristianto W. 2006. Oklusi Arteri Perifer pada Ekstremitas Inferior.
JKM. Vol 6 No.1
Klabunde RE. Cardiovascular Physiology Concepts. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2011.
Lilly L. Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students and
Faculty. 5th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
Loffredo L, Carnevale R, Cangemi R, Angelico F, Augelletti T, Di Santo S, et al. NOX2 upregulation is associated with artery dysfunction in patients with peripheral artery
disease [Abstract]. Int J Cardiol. 2013;165(1):184-92.
Loffredo L, Carnevale R, Perri L, Catasca E, Augelletti T, Cangemi R, et al. NOX2-mediated
arterial dysfunction in smokers: acute effect of dark chocolate. Heart.
2011;97(21):1776-81.
Loffredo L, Perri L, Catasca E, Pignatelli P, Brancorsini M, Nocella C, et al. Dark chocolate
acutely improves walking autonomy in patients with peripheral artery disease. J Am
Heart Assoc. 2014;3(4).
Maiorana A, ODriscoll G, Taylor R, Green D. Exercise and the nitric oxide vasodilator
system [Abstract]. Sports Med. 2003;33(14):1013-35.
Matthies, R. Who and How to Make the Dignosis of Peripheral Arterial Disease. J Cardiol
2003;10:142-5
McGuire, M & Beerman, K.A. (2011) Nutritional sciences: From fundamentals to food, 2nd
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler
dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
National Collaborating Center for Chronic Condition. (2006). Atrial fibrillation. London.
National Clinical Guidline for Management in Primary and Secondary Care. Royal
College of Physicians. Tersedia dalam : www.escardio.org [Diakses pada 16 Oktober
2014]
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Rowe VL. 2008. Peripheral Arterial Occlusive Disease: Pathophysiology. Tersedia dalam:
http://emedicine.medscape.com/article/460178-overview#aw2aab6b2b2.
[Diakses
pada 10 Oktober 2014]
Trisnohadi, H.B. 2009, Angina Pektoris tidak Stabil, dalam Sudoyo, A.W.,Setyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M. dan Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V,
Jakarta, InternaPublishing, hal. 1728-1731
Tuminah, S. Efek Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh "Trans" Terhadap
Kesehatan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Volume XIX Tahun
2009, Suplemen II, hal 813-820
Wibowo, R.A., Zulmiyusrini, P. 2014. Cokelat Hitam Membantu Mengurangi Nyeri
Klaudikasio pada Penderita enyakit Arteri Perifer Oklusif. Tersedia dalam:
<http://kardiopdrscm.com> [Diakses pada 10 Oktober 2014]
LAMPIRAN
: 07/10/2014 - 08/10/2014
Waktu
: 13.30 WIB
Waktu
06.00 WIB
Pagi
08/10/2014
08.00 WIB
Selingan
10.00 WIB
Siang
08/10/2014
13.00 WIB
Selingan
16.00 WIB
Sore
07/10/2014
Selingan
Energi
(kkal)
30,45
253,05
60,8
337,4
40
75
253,05
47
1096,75
1268,6
86,5 %
1459,4
75,2 %
Asupan Parenteral
Lemak
(g)
-
11,1
6,92
37,35
15
14,8
-
9,23
-
49,8
10,8
10
Protein (g)
11,1
6,92
1
0,2
45
23,27
51,4
27,7
87,5 %
84 %
40
40,5
112 %
57,4 %
Infus NaCl 20 tpm
D5% 155 ml
31
KH (g)
7,5
37,35
9,2
177
206
85,9 %
233
75,96 %
7,75
Monev 1 Recall ke 2
Terapi diet/cara pemberian : DJ II/Saring/Oral
Tanggal
: 08/10/2014 - 09/10/2014
Pukul
: 13:20 WIB
Waktu
06.00 WIB
Pagi
09/10/2014
Energi
(kkal)
20,3
84,35
Protein (g)
Lemak (g)
KH (g)
3,7
2,3
5
12,45
08.00 WIB
Selingan
10.00 WIB
45,6
Siang
09/10/2014
13.00 WIB
84,35
40
18,75
Selingan
16.00 WIB
Sore
08/10/2014
84,35
47
404,4
1268,6
31,8 %
1459,4
27,7%
11,25
3,7
-
2,3
-
12,45
10,8
1,75
2,5
3,7
2,3
1
0,2
13,85
7,1
51,4
27,7
26,9 %
25,6 %
40
40,5
34,6 %
17,5 %
Infus NaCl 20 tpm
12,45
9,2
71,1
206
34,8 %
233
30,5 %
Monev 2 Recall ke 3
Terapi diet/cara pemberian : DJ II/Saring/Oral
Tanggal
: 09/10/2014 - 10/10/2014
Pukul
: 13:50 WIB
Waktu
Menu
06.00 WIB
Energi
(kkal)
30,45
22,5
-
Selingan
10.00 WIB
45,6
Siang
10/10/2014
13.00 WIB
22,5
40
Selingan
16.00 WIB
Sore
09/10/2014
Pagi
10/10/2014
08.00 WIB
Protein (g)
Lemak (g)
KH (g)
0,8
-
7,5
8
-
11,25
0,8
-
8
10,8
30,45
7,5
22,5
40
0,8
-
8
10,8
Total Asupan
Standar Rumah sakit (Tim DJ III)
% Asupan/Standar
Hasil Perhitungan Kebutuhan Pasien
% Asupan/Kebutuhan
Asupan cairan
254
1533
16,5 %
1459,4
17,4 %
2,4
63,2
35,1
3,79 %
0%
40
40,5
6%
0%
Infus NaCl 20 tpm
71,85
245,6
29,3 %
233
30,8 %
Monev 3 Recall ke 4
Terapi diet/cara pemberian : DJ II/Saring/Oral
Tanggal
: 10/10/2014 - 11/10/2014
Pukul
: 13:20 WIB
Waktu
Energi
(kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
KH (g)
Siang
11/10/2014
84,35
40
3,7
-
2,3
-
12,45
10,8
Selingan
Pagi
11/10/2014
Selingan
06.00
45,6
11,25
PUASA
PUASA
Sore
10/10/2014
337,4
40
14,8
-
9,23
-
49,8
10,8
Selingan
Total Asupan
Standar Rumah sakit (Makanan Biasa)
% Asupan/Standar
Hasil Perhitungan Kebutuhan Pasien
% Asupan/Kebutuhan
Asupan cairan
547,35
1268,6
43,1 %
1459,4
37,5 %
18,5
11,53
51,4
27,7
36 %
41,6 %
40
40,5
46,3 %
28,5 %
Infus NaCl 20 tpm
95,1
206
46,2 %
233
40,8 %
TUGAS TAMBAHAN
1.
d.
2.
rumah sakit. Namun, sebaiknya menghindari konsumsi pisang karena tinggi kadar
kalium yang terkandung.