Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

ST- Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


Anteroseptal

DOKTER PEMBIMBI NG : dr. Hilfan Ade Putra Lubis, Sp.JP

PENYUSUN
Nama : ERIC
NIM : 113307024

KEPANITERAAN KLINIK RS ROYAL PRIMA


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PRIMA
INDONESIA
MEDAN
2016

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “ST- Elevation Myocardial Infarction Anteroseptal”.
Sepanjang penyusunan laporan kasus ini, banyak pihak-pihak yang
memberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, tenaga, dan dukungan
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada
yang dapat saya sampaikan kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua
pihak yang telah membantu, khususnya kepada dokter pembimbing saya yaitu,
dr.Hilfan Ade Putra Lubis, Sp.JP.
Saya menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, saya sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporan kasus selanjutnya. Terima kasih.

Medan, 30 Juni 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................3
BAB 2 LAPORAN KASUS………………………………….. 4
BAB 3 DISKUSI KASUS.............................................................15
BAB 4 KESIMPULAN.................................................................24
BAB 5 DAFTAR PUSTAKA............................................ 25

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk
kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi
akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah
unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI),
dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) (PERKI, 2014).
Infark miokard adalah kematian sel miosit jantung yang disebabkan proses
iskemia akibat dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-
otot jantung. Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti
oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark
bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Thygesen et al., 2009).
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari
3 kriteria, yaitu riwayat nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi
(EKG), dan peningkatan marka jantung. Nyeri dada terjadi lebih dari 20 menit dan
tidak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu
elevasi segmen ST, gelombang Q yang besar, dan inversi gelombang T (Rhee et
al., 2011).
STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area
infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG (Guyton dan Hall, 2007). Keadaan
ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya (PERKI, 2014).

3
BAB 2
STATUS PASIEN

Kepaniteraan Klinik Senior


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran UNPRI / RS Royal Prima Medan

Rekam Medik
No : 02.95.45 Tanggal : 11 Juni 2016
Nama pasien : Edward Simanungkalit Umur : 56 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. M.Siregar No.63

Keluhan utama: Nyeri dada kiri


Anamnesa:
Hal ini dialami pasien sejak pukul 03.00 WIB pagi (Sabtu, 11 Juni 2016). Nyeri
dada dirasakan seperti ditekan dan tertimpa beban berat saat pasien beristirahat
dengan durasi >30 menit. Penjalaran (+) ke punggung, tengkuk, dan lengan kiri.
Nyeri dada disertai keringat dingin (+), mual (+) dan muntah (-), sesak nafas (-),
jantung berdebar (-), pingsan (-). Riwayat nyeri dada sebelumnya (+) dialami 4x
yang sama dalam seminggu ini. Riwayat mudah lelah (-), sesak napas (-),
terbangun malam hari karena sesak (-), batuk di malam hari (-), kaki bengkak (+).
Riwayat hipertensi (+), Riwayat Diabetes Melitus (+). Riwayat kolesterol tinggi
disangkal. Riwayat merokok dijumpai selama ± 40 tahun dengan 1-2
bungkus/hari. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner tidak dijumpai.
BAB (+) N, BAK (+) N dengan volume ± 1000cc/hari.

Faktor Risiko PJK : laki- laki > 55 tahun, perokok, hipertensi


Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi dan Diabetes Melitus
Riwayat pemakaian obat : ISDN, Aspilet, Clopidogrel

STATUS PRESENS:
KU : Sedang Kesadaran : Compos Mentis
TD : 167/87 mmHg HR : 84x/i regular
RR : 24 x/i Suhu : 36,70C

4
Berat Badan : 63,1 Kg
Ortopnoe : (-) Dispnoe : (-) Ikterus : (-) Edema : (-) Pucat : (-) Sianosis : (-)
Pemeriksaan Fisik :
Kepala : mata : anemia (-/-), ikterik (-/-)
Leher : TVJ : R + 2 cmH2O
Dinding toraks : I: Simertis fusiformis
P: SF ki =ka
P: Sonor pada kedua lapangan paru
A: SP : vesikuler pada lap. paru kanan & kiri
ST : ronki basah basal (-/-), wheezing (-)
Batas Jantung :
- Atas : ICS III sinistra
- Kiri : LMCS
- Kanan : Linea sternalis dexta

Jantung : S1 (+) S2 (+) S3 (-) S4 (-) reguler


Murmur (-) Tipe : - Grade : -
Punctum Excavatum : - Radiasi : -

Abdomen : Palpasi hepar/ lien/ renal : Tidak teraba


Asites : (-)
Perkusi : tympani
Peristaltik Usus : (+) Normal
Ekstremitas : Superior : Sianosis (-) Clubbing : (-)
Inferior : Edema pretibial (-/-) Pulsasi arteri : (+)
Akral : Hangat

ELEKTROKARDIOGRAFI :

5
6
Interpretasi rekaman EKG :
Sinus Ritme, QRS rate 80 x/i, QRS axis normoaxis, P wave (+) N, PR interval
0,16”, QRS duration 0,08”, ST elevasi di V1-V4, T inversi di V1-V4, QS di V1-
V2, LVH (-), VES (-).
Kesan EKG :
Sinus Ritme + STEMI anteroseptal + OMI septal

FOTO TORAKS :
Interpretasi foto toraks ( AP ) :

7
CTR 51,3%, segmen aorta dilatasi (+), segmen pulmonal (+) N, pinggang jantung
normal, apeks downward, kongesti (-), infiltrat (-).

Kesan : Kardiomegali

Hasil Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DARAH RUTIN
Hemoglobin 12,80 g% 13,5 – 15,5 g%
Eritrosit 4,87 x 106/mm3 4,50 – 6,50 x 106/mm3
Leukosit 9.680/mm3 5.000-11.000/mm3
Hematokrit 37,4% 30.5 – 45.0 %
Trombosit 231.000/mm3 150.000-450.000/mm3
ENZIM JANTUNG
Troponin T Negative 0.0 µg/L < 0.8 µg/L
CK-MB 5 U/L < 5 U/L
METABOLISME
KARBOHIDRAT 479 mg/dL < 200 mg/Dl
Glukosa Darah Sewaktu
FUNGSI GINJAL
Ureum 40 mg/dL 10-38 mg/dL
Kreatinin 1,9 mg/dl 0,55-1.30 mg/dL
HST
Waktu Protrombin 12,2 detik
INR 0,87
APTT 30,0 detik
Waktu thrombin 12,2 detik
ELEKTROLIT
Natrium 131.6 mEq / L 135 - 145 mEq / L
Kalium 3,67 mEq / L 3,5 - 5,5 mEq / L
Klorida 112.1 mEq / L 94 - 111 mEq / L

Diagnosa kerja : STEMI anteroseptal + DM tipe II


1. Fungsional : STEMI anteroseptal
2. Anatomi : Arteri koroner
3. Etiologi : Aterosklerosis

8
Diferensial diagnosa :
Miokarditis
Perikarditis

Pengobatan :
 Bed rest semifowler
 O2 2-4L/i
 IVFD RL 8 gtt/i mikro
 Inj. Ranitidine 1amp/12 jam
 Concor 2,5mg 1 x ½ tab
 ISDN 3 x 5 mg
 Inj Lovenox 0,6cc/12jam
 Micardis 1x80mg
 Aprazolam 1x0,5mg
 Actorvastatin 1x20mg

Rencana pemeriksaan lanjutan :


1. Laboratorium : Darah lengkap, KGD, elektrolit, ureum, kreatinin, CK-MB,
Troponin-T.
2. EKG
3. Foto thorax

Prognosis :
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Klasifikasi Killip
Kelas Definisi Proporsi Mortalitas

9
pasien (%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6
II + S3 dan/atau ronki basah di basal paru 30-40% 17
III Edema paru akut 10-15% 30-40
IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

TIMI Risk Score untuk Infark Miokard dengan elevasi ST


Faktor risiko (bobot) Mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0,8
Usia > 75 tahun (3 poin) 1,6
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) 2,2
TDS <100mmHg (3 poin) 4,4
Frekuensi jantung > 100x/i (2 poin) 7,3
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 12,4
Berat < 67 kg (1 poin) 16,1
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 23.4
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) 26,8
Skor risiko = total poin (0-14) 4/14

10
FOLLOW UP PASIEN DIVISI KARDIOLOGI
Nama : Porkas M. Pane
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Tanggal S O A P
11-06- Nyeri Kesadaran: STEMI  Bed rest
2016 dada Compos Mentis anteroseptal  O2 2-4 L/i
sesekali TD:100/70mmH onset 3 hari  IVFD NaCl
g HR:72x/m KILLIP I 0,9% 10gtt/i
RR:18x/m TIMI RISK (mikro)
0
Suhu: 36,2 C 4/14  Inj. Ranitidine
Sianosis:(-) 1 amp/12jam
Thorax: S1S2 N,  Aprazolam
murmur (-), 1x0,5g
gallop (-) 1x80 mg
Pulmo: SP
 Concord 1x1/2
vesikuler,
2,5g
Abdomen:
3 x 6,25 mg
simetris, soepel,
 ISDN 3x5mg
H/L ttb, BU (+)N
 Micardis 1x80g
Extremitas :
edema (-/-),
akral hangat

12-06- Nyeri Kesadaran: STEMI  Bed rest


2016 dada Compos Mentis anteroseptal  O2 2-4 L/i
sesekali TD:120/80mmH onset 3 hari  IVFD NaCl
g HR:70x/m KILLIP I 0,9% 10gtt/i
RR:20x/m TIMI RISK (mikro)
0
Suhu: 36,2 C 4/14  Inj. Ranitidine
Sianosis:(-) 1 amp/12jam

11
Thorax: S1S2 N,  Aprazolam
murmur (-), 1x0,5g
gallop (-) 1x80 mg
Pulmo: SP  Concord 1x1/2
vesikuler, 2,5g
Abdomen: 3 x 6,25 mg
simetris, supel,  ISDN 3x5mg
H/L ttb, BU (+)N  Micardis 1x80g
Extremitas :
edema (-/-),
akral hangat
13-06- Nyeri Kesadaran: STEMI  Bed rest
2016 dada Compos Mentis anteroseptal  O2 2-4 L/i
sesekali TD:130/80mmHg KILLIP I  IVFD NaCl
HR:68x/m TIMI RISK 0,9% 10gtt/i
RR:20x/m 4/14 (mikro)
0
Suhu: 36,2 C  Inj. Ranitidine
Sianosis:(-) 1 amp/12jam
Thorax: S1S2 N,  Aprazolam
murmur (-), 1x0,5g
gallop (-) 1x80 mg
Pulmo: SP
 Concord 1x1/2
vesikuler,
2,5g
Abdomen:
3 x 6,25 mg
simetris, supel,
 ISDN 3x5mg
H/L ttb, BU(+)N
 Micardis 1x80g
Extremitas :
edema (-/-),
akral hangat

14-06- Nyeri Kesadaran: STEMI  Bed rest

12
2016 dada Compos Mentis anteroseptal  O2 2-4 L/i
sesekali TD:120/80mmH KILLIP I  IVFD NaCl
g HR:80x/m TIMI RISK 0,9% 10gtt/i
RR:20x/m 4/14 (mikro)
0
Suhu: 36,2 C  Inj. Ranitidine
Sianosis:(-) 1 amp/12jam
Thorax: S1S2 N,  Aprazolam
murmur (-), 1x0,5g
gallop (-) 1x80 mg
Pulmo: SP  Concord 1x1/2
vesikuler, 2,5g
Abdomen: 3 x 6,25 mg
simetris, supel,
 ISDN 3x5mg
H/L ttb, BU(+)N
 Micardis 1x80g
Extremitas :
edema (-/-),
akral hangat

15-06- Nyeri Kesadaran: STEMI  Bed rest


2016 dada Compos Mentis anteroseptal  O2 2-4 L/i
sesekali TD:120/80mmH KILLIP I  IVFD NaCl
g HR:70x/m TIMI RISK 0,9% 10gtt/i
RR:20x/m 4/14 (mikro)
0
Suhu: 36,2 C  Inj. Ranitidine
Sianosis:(-) 1 amp/12jam
Thorax: S1S2 N,  Aprazolam
murmur (-), 1x0,5g
gallop (-) 1x80 mg
Pulmo: SP
 Concord 1x1/2
vesikuler,
2,5g
Abdomen:
3 x 6,25 mg

13
simetris, supel,  ISDN 3x5mg
H/L ttb, BU(+)N  Micardis 1x80g
Extremitas :
edema (-/-),
akral hangat
PBJ

BAB 3
DISKUSI KASUS

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan


indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen

14
fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer (PERKI,
2014).
Diagnosa kerja dapat ditegakkan dengan ditemukannya riwayat nyeri dada
yang bertahan lebih dari 20 menit, penyebaran nyeri ke leher, rahang ataupun
lengan kiri, riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Pada beberapa kasus
dapat ditemukan gejala seperti diaphoresis, mual, muntah, sesak nafas, jantung
berdebar bahkan pingsan. Diperkirakan 30% dari kasus menunjukkan gejala yang
atipikal (Steg et al., 2012).
Pada anamnesis pasien ini ditemukan nyeri dada substernal, durasi nyeri
>20 menit, sifat nyeri dada seperti ditimpa beban berat, penjalaran nyeri ke
punggung, tengkuk, serta lengan kiri dan disertai keringat dingin.
Tidak ada pemeriksaan fisik yang khas pada STEMI namun dapat
dijumpai cemas, gelisah, pucat, diaphoresis, ektremitas dingin, takikardia,
hipotensi, dan dapat terdengar suara jantung S3 atau S4 (Kumar et al., 2009)
Pada pasien ini ditemukan cemas, gelisah, dan keringat dingin pada saat
nyeri dada. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.

EKG
Selama fase awal, oklusi total arteri koroner menunjukkan gambaran EKG
elevasi segmen ST. Dalam beberapa jam kemudian diikuti gelombang T terbalik
dan dalam beberapa hari kemudian muncul gelombang Q patologis (Rhee et al.,
2011).

15
Gambar : Evolusi EKG pada STEMI (Rhee et al., 2011).

Tabel 3.1. Lokasi Infark Miokard


Anatomi Lead dengan EKG abnormal Arteri koroner yg terlibat
Inferior II, III, Avf RCA
Anteroseptal V1, V2 LAD
Anteroapical V3, V4 LAD (distal)
Anterolateral V5, V6, I, Avl LCX
Posterior V1, V2 (gel. R tinggi, bukan Q) RCA
Sumber: Rhee et al., 2011.

Pada gambaran EKG :


Sinus Ritme, QRS rate 82 x/i, QRS axis normoaxis, P wave (+) N, PR interval
0,16”, QRS duration 0,08”, ST elevasi di V1-V4, T inversi di V1-V4, QS di V1-
V2, LVH (-), VES (-).

Hasil pemeriksaan EKG terdapat elevasi dari segmen ST di lead V1-V4


yang menunjukkan bahwa miokard yang mengalami infark adalah yang terletak di
bagian anteroseptal jantung. Bagian anteroseptal jantung diperdarahi oleh arteri
koroner left anterior descending (LAD).

Laboratorium
Pemeriksaan enzim jantung CK-MB atau Troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CKMB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat karena kelainan kardiak non koroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal nafas, penyakit neurologik akut,

16
emboli paru, hipertensi pulmonal, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal (PERKI,
2014).
Pada kasus infark miokard, serum troponin I/T mulai meningkat 3-4 jam
setelah onset dan mencapai puncaknya pada 18-36 jam. Kemudian menurun
secara perlahan dan dapat dideteksi selama 10-14 hari. Serum CKMB mulai
meningkat 3-8 jam setelah onset dan mencapai puncaknya setelah 24 jam.
Kemudian kadar CKMB kembali normal setelah 48-72 jam (Rhee et al., 2011).
Pada pasien dijumpai hasil pemeriksaan Troponin dan CKMB yang
normal. Troponin T pada pasien Negative 0,0 ug/L (< 0,8ug / L) dan CKMB 5
U/L ( < 5 U/L ).

Angiografi Koroner
Angiografi koroner merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung
dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak
sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang
dinamakan angioplasti dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri
tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam
arteri (Rhee et al., 2011).

Pada pasien ini dilakukan angiografi koroner dan dijumpai adanya stenosis
total pada arteri koroner LAD sesudah cabang diagonal 1 (D1), maka dianjurkan
untuk dilakukan tindakan angioplasti pada pasien ini.

Penatalaksanaan
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada jam

17
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
 Penanganan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
 Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
 Trasnportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/
ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
 Melakukan terapi reperfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat (Fuster et al, 2011).

Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama (Fuster et al, 2011).

Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin
intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru (Fuster
et al, 2011).

Morfin

18
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit dengan dosis total 20 mg.
Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan
beban jantung (Fuster et al, 2011).

Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg (Fuster et al, 2011).

Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5
mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60
menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama
48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (Fuster et al, 2011).

ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di atas
100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti
captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg (Fuster et al, 2011).

Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara rutin.
Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita

19
dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta (Fuster et al, 2011).

Antitrombotik
Menurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated
heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberika 5000
unit bolus dilanjutkan dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan
sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal) (Fuster et al, 2011).

Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa


Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant fibrinolitik.
Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka harapan hidup
(Fuster et al, 2011).

Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa : pemberian antiplatelet berupa


aspilet ditambah dengan clopidogrel, beta blocker berupa bisoprolol, nitrat ISDN,
ACE-inhibitor captopril, statin berupa simvastatin, dan anti koagulan arixtra.

Terapi Reperfusi

20
Gambar 1. Pendekatan Manajemen STEMI (Steg et al, 2008)

Pemberian terapi fibrinolitik tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan


enzim jantung, karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi
miokardium yang seharusnya dapat terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai
dengan IMA dan kadar enzim jantung yang meningkat, namun tidak terdapat ST
elevasi pada EKG, maka diagnosisnya adalah infark non ST elevasi (NSTEMI).
Pasien harus mendapat terapi heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina. Terapi
fibrinolitik tidak boleh diberikan pada infark non ST-elevasi.
Pemberian fibrinolitik harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin
cepat diberikan semakin banyak miokardium yang terselamatkan. Sebaiknya
dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit (Fuster et al, 2011).
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien

21
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Indikasi terapi fibrinolitik adalah sebagai berikut (Fuster et al, 2011):
Gejala yang sesuai dengan IMA.
 Perubahan EKG berupa ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang
berdekatan, gambaran bundle branch block baru.
 Onset nyeri dada:
< 6 jam : sangat bermanfaat
6-12 jam : bermanfaat
>12 jam : tidak bermanfaat, kecuali dengan penderita dengan iskemia lanjut,
yang terbukti berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG.

Jenis obat fibrinolitik


1. Streptokinase
Regimen 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9% atau dekstrose 5% diberikan dalam 1
jam (Fuster et al, 2011).
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang telah
mendapatkan streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap streptokinase,
hipotensi (TDS < 90 mmHg).

Kontraindikasi fibrinolitik
Keberhasilan resusitasi tidak dikontraindikasikan dengan terapi fibrinolitik. Akan
tetapi, pada keadaan yang tidak efektif dimana dapat terjadi peningkatan
perdarahan yang merugikan, pemberian fibrinolitik tidak diindikasikan.

22
Gambar 3.2 : Kontraindikasi fibrinolitik (Steg et al, 2012)

Kegagalan fibrinolitik
Ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya ST elevasi. Komplikasi
berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak terjadi, untuk itu rescue PTCA harus
dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, sebaiknya fibrinolitik diulangi
dengan dosis yang sama (Fuster et al, 2011).

Primary PTCA
Primary PTCA terbukti memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dibandingkan fibrinolitik. Namun
tindakan ini masih terbatas pada beberapa rumah sakit. Primary PTCA
dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan reperfusi, tindakan ini tidak
dianjurkan jika pemberian fibrinolitik melebihi 60-90 menit.
 pasien yang memiliki kontraindikasi absolut untuk tindakan fibrinolitik,
 pasien dengan syok kardiogenik.

23
BAB 3
KESIMPULAN

Dilaporkan laki-laki, P, 60 tahun, dengan diagnosa STEMI anteroseptal


dengan onset 3 hari KILLIP I TIMI risk 4/14, selama perawatan kondisi stabil.
Pasien ini dilakukan tindakan angiografi koroner dan ditemukan stenosis total
pada LAD setelah cabang diagonal 1, sehingga pasien dilakukan pemasangan
stent pada arteri koroner tersebut. Lalu pasien boleh pulang tetapi dianjurkan
untuk rawat jalan ke poli kardiologi serta mengontrol faktor risiko.

24
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

Fuster, et all., 2011.The Heart Disease. Edisi ketiga belas. Mc Graw Hill
Publisher.
Guyton, A.C. dan Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
kesembilan. EGC. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi ketiga. Centra Communications.
Kumar, A. dan Cannon, C.P., 2009. Acute Coronary Syndrome: Diagnosis
and Management. Mayo Clinic 84(10): 917-938.
Rhee J.W., Sabatine S.M., Lily S.L., 2011. Acute Coronary Syndromes.
Dalam: Pathophysiology of Heart Diseases. Edisi kelima. Lippincott Williams &
Wilkins, Wolters Kluwer. Philadelphia: 161-189.
Steg, G., et all., 2012. ESC Guidelines for The Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segmen Elevation.
European Heart Journal 33:2569-2619.
Thygesen, K., et all., 2007. Universal Definition of Myocardial infarction.
Circulation 116:2634-2653.

25

Anda mungkin juga menyukai