Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI EMERGENSI DENGAN TOD IMPENDING ALO


HHD-HF FC IV
EFUSI PLEURA BILATERAL

Disusun oleh:
Dara Agusti Maulidya
I4061162051

Pembimbing:
dr. Arinta Setyasari, Sp. JP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNTAN
RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA
CIMAHI
2018

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah di setujui laporan kasus dengan judul:


HIPERTENSI EMERGENSI TOD IMPENDING ALO
HHD-HF FC IV
EFUSI PLEURA BILATERAL
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Desember 2018

Pembimbing Penulis

dr. Arinta Setyasari, Sp. JP, FIHA Dara Agusti Maulidya

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. A S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 70 tahun
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA
Alamat : KP. Galangagang No 41 RT 2/IV, Batu Jajar
Tanggal masuk RS : 28 November 2018 via Poli Jantung

2. Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli jantung RS Dustira Cimahi dengan keluhan sesak sejak 1
minggu yang lalu. Sesak dirasakan hilang timbul, dapat muncul kapan saja bahkan
saat beristirahat, memberat dengan beraktivitas dan berkurang dengan istirahat.
Keluhan sesak tidak disertai dengan bunyi mengi dan tidak dipengaruhi oleh debu
ataupun cuaca. Pasien biasanya tidur malam dengan 2 bantal. Pasien tidak pernah
terbangun karena sesak saat tidur. Pasien sering merasa kelelahan jika beraktivitas
ringan seperti berjalan ke toilet dan mandi.
Keluhan disertai dengan nyeri dada yang dirasakan seperti tertimpa benda berat
dan terasa menembus ke belakang. Lokasi nyeri dominan di dada sebelah kiri namun
tidak bisa ditunjukkan secara spesifik menggunakan 1 jari. Nyeri dapat muncul tiba-
tiba tanpa dipengaruhi oleh aktivitas. Dalam 1 minggu terakhir nyeri dada dirasakan
sebanyak kurang lebih 3 kali. Nyeri berlangsung sekitar 10 menit dan dapat hilang
sendiri tanpa pemberian obat.
Keluhan kaki bengkak disangkal. Nyeri kepala (-). Pandangan kabur (-). Demam
(-). Batuk malam (-). Nyeri ulu hati (-). Mual (-). Muntah (-). Penurunan nafsu
makan (-). BAB dan BAK tak ada keluhan.
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+) sejak 12 tahun yang lalu, pasien rutin kontrol ke poli jantung
RS Dustira
Riwayat penyakit jantung (+)
Riwayat penyakit lambung (+)
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat kolestrol tinggi disangkal
Riwayat penyakit tiroid disangkal
Riwayat alergi disangkal
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit paru dan trauma dada sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung ataupun mati
mendadak di usia muda
Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan tidak ada anggota keluarga di rumah
yang merokok. Pasien sudah mengalami menopause sekitar 15 tahun lalu. Pasien
tidak mengonsumsi alkohol, diet sehari-hari cukup lemak, karbohidrat dan protein.
Pasien melakukan aktivitas fisik ringan seperti jalan kaki setiap hari.

3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Berat Badan : 80 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Status Gizi : Obesitas kelas I (IMT: 35,5 kg/m2)
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Denyut Nadi : 80 x/m, reguler, kuat angkat
Frekuensi Napas : 26 x/m
Temperatur : 36,5 ᵒC
Saturasi O2 : 96% tanpa suplementasi O2
4
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung
(+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular reflex (+), distensi vena
leher (+), JVP 5+4 cmH2O
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil paru kanan dan kiri normal, massa (-), nyeri tekan
(-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler (+/+), rhonki basah halus di basal
(+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis ICS VI linea aksilaris anterior sinistra, trhill (-)
Perkusi : Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis
sinistra, batas jantung kanan pada ICS III linea parasternalis
dextra, batas jantung kiri pada ICS VI linea axilaris anterior
Auskultasi : S1/S2 reguler, murmur (-), S3 gallop (-), S4 (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 10 kali per menit
Palpasi : Soepel, massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat, piting edema peritibial (-/-), CRT <2 detik

5
4. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin (28/11/2018) MCHC : 33,3 g/dl
Hemoglobin : 12,6 g/dl RDW : 14,5 %
Eritrosit : 4,5 x 106/µl Ba/Eo/Sg/Li/M :
Leukosit : 9.600/µl 0,0/4,9/68,4/20,6/6,1 %
Hematokrit : 37,8% Kimia Klinik (28/11/2018)
Trombosit : 341.000/µl GDS : 103 mg/dl
MCV : 83,4 fl Ureum : 44 mg/dL
MCH : 27,8 pg Creatinin : 0,8 mg/dl

Rontgen

Interpretasi
Cor membesar ke lateral kiri, CTR > 60%. Kranialisasi (+), sudut costofrenikus
tumpul, diafragma dalam batas normal.
Pulmo : Peningkatan corakan bronkovaskuler, tidak tampak infiltrat pada lapang
paru.
Kesan : Kardiomegali dengan curiga bendungan paru, efusi pleura bilateral.

6
Electrocardiography

Interpretasi
Irama : Sinus
Frekuensi : 74 bpm
Axis : Normo axis
Gelombang P : 0.10 s
Interval P-R : 0.17 s
Gelombang Q : Normal
Gelombang QRS : 0.07 s
Gelombang T : Normal
Segmen ST : Isoelektrik
Kesimpulan : Irama sinus dengan frekuensi jantung 74x/m

5. Resume Medis
Pasien datang ke poli jantung RS Dustira Cimahi dengan keluhan sesak sejak 1
minggu yang lalu. Sesak dirasakan hilang timbul bahkan saat beristirahat, memberat
dengan beraktivitas. Pasien biasanya tidur malam dengan 2 bantal. Pasien sering
merasa kelelahan jika beraktivitas ringan seperti berjalan ke toilet dan mandi.
Keluhan disertai dengan nyeri dada yang dirasakan seperti tertimpa benda berat dan

7
terasa menembus ke belakang. Lokasi nyeri dominan di dada sebelah kiri namun
tidak bisa ditunjukkan secara spesifik menggunakan 1 jari. Nyeri dapat muncul tiba-
tiba tanpa dipengaruhi oleh aktivitas. Dalam 1 minggu terakhir nyeri dirasakan
sebanyak 3 kali, berlangsung sekitar 10 menit dan dapat hilang sendiri tanpa
pemberian obat.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 12 tahun lalu dan rutin kontrol. Pasien
juga memiliki riwayat penyakit jantung dan lambung. Tidak ada keluarga yang
memiliki keluhan serupa seperti pasien. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan
tidak ada anggota keluarga di rumah yang merokok. Pasien sudah mengalami
menopause sekitar 15 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien obesitas kelas I, dengan tekanan
darah 180/100 mmHg dan frekuensi napas 26 x/menit. Didapatkan adanya
hepatojugular reflex, distensi vena leher dan peningkatan JVP 5+4 cmH2O.
Auskultasi paru didapatkan rhonki basah halus di basal paru kanan dan kiri. Pada
pemeriksaan fisik jantung didapatkan adanya kardiomegali. Pemeriksaan foto thorax
AP menunjukkan kardiomegali dengan curiga bendungan paru dan efusi pleura
bilateral.

6. Diagnosis
Hipertensi emergensi dengan TOD impending ALO
HHD-HF fc IV
Efusi pleura bilateral

7. Penatalaksanaan
- Terapi Farmakologi
- Inj. Furosemide bolus 40 mg IV, dilanjutkan 40 mg / 8 jam IV
- Drip nitrogliserin mulai dari 50 mcg/menit, titrasi 5 mcg setiap 5 menit
sampai tercapai target tekanan darah sistolik < 140 mmHg, bila sudah
tercapai dipertahankan
- Valsartan 160 mg / 24 jam
- Amlodipine 10 mg / 24 jam
- Spironolakton 25 mg / 24 jam

8
- Terapi Nonfarmakologi
- Rawat ICCU
- Oksigen 2-4 lpm via nasal kanul (jika SaO2 < 90%)
- Bed rest, posisi kepala 30ᵒ
- Restriksi cairan 1680 cc – 2240 cc per hari
- Target balans cairan 960 cc – 1920 cc dalam 24 jam
- Diet rendah garam

8. Prognosis
Quo ad vitam : malam
Quo ad sanactionam : malam
Quo ad functionam : malam

9. Saran Pemeriksaan Penunjang


Echocardiografi

9
BAB II
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan pendekatan klinis kedokteran yaitu


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan data
bahwa pasien datang ke poli Jantung RS Dustira dengan keluhan utama sesak sejak 1 minggu
yang lalu. Sesak dirasakan hilang timbul, dapat muncul kapan saja bahkan saat beristirahat dan
memberat dengan beraktivitas. Pasien sering merasa kelelahan jika beraktivitas ringan seperti
berjalan ke toilet dan mandi. Pasien biasanya tidur malam dengan 2 bantal. Keluhan disertai
dengan nyeri dada yang dirasakan seperti tertimpa benda berat dan terasa menembus ke
belakang. Lokasi nyeri dominan di dada sebelah kiri namun tidak bisa ditunjukkan secara
spesifik menggunakan 1 jari. Nyeri dapat muncul tiba-tiba tanpa dipengaruhi oleh aktivitas.
Dalam 1 minggu terakhir nyeri dada dirasakan sebanyak kurang lebih 3 kali. Nyeri berlangsung
sekitar 10 menit dan dapat hilang sendiri tanpa pemberian obat. Pasien memiliki riwayat
hipertensi sejak 12 tahun yang lalu dan mengatakan rutin kontrol ke poli jantung RS Dustira.
Pasien memiliki riwayat gagal jantung (+), dispepsia (+) dan pernah menderita serangan jantung
(ACS UAP) pada tahun 2017. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan tidak ada anggota
keluarga di rumah yang merokok. Pasien sudah mengalami menopause sekitar 15 tahun lalu.
Pasien tidak mengonsumsi alkohol, diet sehari-hari cukup lemak, karbohidrat dan protein.
Pasien melakukan aktivitas fisik ringan seperti jalan kaki setiap hari.
Pada kasus ini, keluhan yang dominan dirasakan pasien adalah sesak napas. Dalam kasus
sesak napas, kecurigaan dapat mengarah kepada sesak kardiogenik ataupun non-kardiogenik.
Dari data-data yang telah didapatkan melalui anamnesis, dijumpai faktor risiko kardiak yang
membantu mengarahkan kepada kelainan kardiogenik, dan kondisi-kondisi yang dapat menjadi
penyebab sesak non-kardiogenik seperti penyakit paru ataupun trauma dada telah disangkal oleh
pasien.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, didapatkan bahwa
pasien mengalami obesitas kelas I dengan IMT 35,5 kg/m2. Pada tanda-tanda vital, didapatkan
peningkatan frekuensi napas menjadi 26 x/m yang menunjukkan bahwa pasien sedang dalam
kondisi sesak dan adanya peningkatan tekanan darah yaitu 180/100 mmHg. Pemeriksaan status
generalis didapatkan adanya hepatojugular reflex, distensi vena leher, peningkatan JVP 5+4
cmH2O, didapatkan rhonki basah halus pada basal paru bilateral, dan kesan pelebaran jantung ke
arah lateral kiri berdasarkan palpasi dan perkusi jantung. Pemeriksaan foto thorax AP
menunjukkan kardiomegali dengan curiga bendungan paru dan efusi pleura bilateral.
10
Peningkatan tekanan darah sistolik di atas 180 mmHg dan atau tekanan darah diastolik di
atas 120 mmHg diklasifikasikan sebagai krisis hipertensi. Apabila krisis hipertensi disertai
dengan adanya kerusakan akut organ target maka disebut sebagai hipertensi emergensi, namun
jika tidak ada keterlibatan organ target maka disebut sebagai hipertensi urgensi.1-6
Berbagai gejala dan profil klinis telah dilaporkan dalam studi yang membandingkan
keadaan hipertensi emergensi dan urgensi. Lebih khusus, usia dan tekanan darah diastolik lebih
tinggi dalam keadaan hipertensi emergensi daripada hipertensi urgensi. Tanda dan gejala yang
paling sering pada hipertensi urgensi adalah sakit kepala (22%) dan nyeri dada (27%) diikuti
oleh dyspnea (22%) pada hipertensi emergensi. Kerusakan organ target pada hipertensi
emergensi lebih sering dikaitkan dengan infark serebri (24%), edema pulmonal akut (23%), dan
ensefalopati hipertensi (16%).7 Demikian pula, dalam penelitian terbaru dari 73.063 pasien
hipertensi yang datang ke ruang gawat darurat dari tahun 2005 hingga 2010, pasien dengan
krisis hipertensi lebih sering mengalami nyeri kepala dan nyeri dada.8
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan sesak dan nyeri dada sehingga
mengindikasikan kecurigaan ke arah edema pulmonal akut, dimana hal ini merupakan suatu
tanda adanya keterlibatan organ target sehingga pasien didiagnosis mengalami hipertensi
emergensi dengan target organ berupa impending acute lung oedema.
Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun, dua mekanisme
yang berbeda tetapi saling terkait dapat memainkan peran sentral dalam patofisiologi krisis
hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan dalam mekanisme autoregulasi vaskular. Sistem
autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis hipertensi.
Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk
mempertahankan aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi. Jika tekanan
perfusi turun, aliran darah yang sesuai menurun sementara, tetapi kembali ke nilai normal
setelah beberapa menit berikutnya. Dalam kasus kerusakan autoregulasi, jika tekanan perfusi
turun, ini menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi vaskular. Pada krisis
hipertensi, terdapat autoregulasi vaskular dan aliran darah yang tidak memadai sehingga
peningkatan mendadak tekanan darah dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering
menyebabkan stres mekanik dan cedera endotel. Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-
angiotensin, yang menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan
lingkaran setan berupa cedera terus-menerus dan kemudian iskemia. Selain mekanisme ini,
keadaan prothrombotic dapat memainkan peran kunci dalam krisis hipertensi.

11
Gambar 1. Patofisiologi Krisis Hipertensi7
Pasien dengan hipertensi emergensi memerlukan obat-obatan yang bekerja secara cepat dan
efektif yang diberikan secara intravena untuk menurunkan tekanan darah secara aman,
melindungi fungsi organ target, memperbaiki gejala, mengurangi komplikasi, dan meningkatkan
outcome klinis.1-6 Adapun pertimbangan utama dalam menentukan strategi pengobatan pada
pasien dengan hipertensi emergensi adalah:9
(1) Menetapkan organ target yang terpengaruh, apakah diperlukan intervensi khusus selain
menurunkan tekanan darah, dan apakah ada penyebab pencetus yang dapat meningkatkan
tekanan darah secara akut yang mungkin dapat mempengaruhi rencana perawatan (misalnya
kehamilan);
(2) Rentang waktu yang disarankan dan besarnya penurunan tekanan darah yang diperlukan
untuk mendapatkan pengurangan tekanan darah secara aman;
(3) Jenis obat-obatan penurun tekanan darah yang diperlukan. Dalam keadaan hipertensi
emergensi, pengobatan secara intravena dengan obat yang memiliki waktu paruh yang
singkat sangat ideal untuk memungkinkan titrasi yang hati-hati dari respon tekanan darah
terhadap pengobatan di area klinis dengan fasilitas untuk pemantauan hemodinamik
berkelanjutan.
Meskipun pemberian obat-obatan intravena dianjurkan untuk sebagian besar keadaan
hipertensi emergensi, terapi oral dengan ACE-inhibitor, ARB, atau beta-blocker kadang-kadang

12
sangat efektif dalam hipertensi maligna karena sistem renin diaktifkan oleh iskemia ginjal.
Namun, dosis awal yang rendah harus digunakan karena pasien ini bisa sangat sensitif terhadap
agen ini dan perawatan harus dilakukan di rumah sakit.9

Tabel 1. Penurunan tekanan darah dan obat-obatan intravena yang digunakan pada hipertensi
emergensi

Berdasarkan rekomendasi ESC, hipertensi emergensi yang disertai dengan acute


cardiogenic pulmonary oedema sebaiknya diterapi dengan nitroprusside atau nitroglycerine
(dengan loop diuretic) dengan tujuan menurunkan tekanan darah sistolik hingga kurang dari 140
mmHg secepat mungkin. Dalam jurnal lain disebutkan bahwa obat pilihan dalam mengobati
hipertensi emergensi dengan edema paru akut adalah nitrogliserin intravena, clevidipine, atau
nitroprusside.1,2,5 Beta blocker dikontraindikasikan pada edema paru akut. Kecuali untuk diseksi
aorta akut, tekanan darah pada pasien dengan hipertensi emergensi harus diturunkan dalam
hitungan menit sampai 1 jam sekitar 20% hingga 25% dan kemudian secara bertahap menjadi
160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam berikutnya, dan kemudian secara hati-hati diturunkan
hingga tekanan darah normal pada 24 hingga 48 jam berikutnya.1 Dosis inisial nitrogliserin
intravena adalah 5 mcg/menit, dengan dosis maksimum hingga 20 mcg/menit. Pada kasus ini
pasien mendapatkan terapi berupa drip nitrogliserin 50 mcg/min dengan titrasi naik 5 mcg per 5
menit hingga tercapai target tekanan darah sistolik < 140 mmHg.

13
Tabel 2. Karakteristik obat-obatan hipertensi emergensi

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung. Penggunaan
obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan yang sangat besar dalam
pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan usia lanjut. Hal ini telah banyak diteliti
pada penggunaan diuretik, betablocker, ACEi dan ARB, dimana penggunaan CCB paling sedikit
memberikan keuntungan dalam pencegahan gagal jantung. Walaupun riwayat hipertensi
merupakan hal yang sangat sering terjadi pada gagal jantung, namun tekanan darah yang tinggi

14
sering tidak ditemukan lagi pada saat sudah terjadi disfungsi ventrikrel kiri. Pada pasien dengan
kondisi seperti ini, telah banyak terdapat bukti dari berbagai penelitian yang mendukung
pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid receptor antagonist), dimana
pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk memperbaiki stimulasi simpatis dan sistem renin
angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada penurunan tekanan darah. Hipertensi
lebih banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi fraksi ejeksi yang masih baik
daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri.10
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat
melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema
pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat.11

Tabel 3. Tanda dan Gejala Gagal Jantung

Tabel 4. Manifestasi Klinis Gagal Jantung


15
Berdasarkan anamensis dan pemeriksaan fisik pada pasien, diperoleh kecurigaan adanya
penyakit gagal jantung kongestif. Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan kriteria
Framingham yang terdiri atas kriteria mayor dan minor. Kriteria Mayor terdiri dari paroxysmal
nocturnal dyspneu (sesak malam hari), bendungan vena sentral, peningkatan tekanan vena
jugularis, ronkhi paru, bunyi jantung S3 Gallop, refluks hepatojugular, edema paru,
kardiomegali, penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan. Kriteria Minor terdiri
batuk malam hari, dyspneu d'effort (sesak saat aktivitas), edema ekstremitas (bengkak pada kaki
atau tangan), takikardi (nadi >120x/menit), hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital
1/3 dari normal. Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ditemukan minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor, ataupun 2 kriteria mayor.12
Pada anamnesis dilakukan penilaian dengan kriteria Framingham dan didapatkan adanya
gejala dari kriteria mayor berupa bendungan vena sentral, peningkatan tekanan vena jugularis,
ronkhi paru, refluks hepatojugular, edema paru dan kardiomegali. Adapun kriteria minor yang
memenuhi adalah sesak saat beraktivitas dan efusi pleura yang ditegakkan berdasarkan foto
rontgen thoraks AP. Berdasarkan kriteria NYHA mengenai kapasitas fungsional jantung saat
beraktifitas, pasien ini termasuk dalam kelas IV yaitu munculnya keluhan saat istrahat. Adapun
klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA sebagai berikut.2

Tabel 5. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan NYHA

Gagal jantung/Heart Failure (HF) dapat disebabkan oleh kelainan jantung struktural
dan/atau fungsional, yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan/atau peningkatan
tekanan intrakardiak saat istirahat atau selama stres.3 Gagal jantung sering juga

16
diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik /fraksi ejeksi
(Heart Failure with Reduced Ejection Fraction / HfrEF) atau dengan gangguan fungsi
diastolik (fungsi sistolik atau fraksi ejeksi normal), yang selanjutnya akan disebut sebagai
Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFpEF). Selain itu, myocardial remodeling
juga akan berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.2
Klasifikasi yang digunakan untuk menggambarkan HF didasarkan pada pengukuran Left
Ventrikel Ejection Fraction (LVEF). LVEF normal biasanya ≥50%. HFrEF mempunyai LVEF <
40%; Pasien dengan LVEF dalam kisaran 40-49% mewakili 'area abu-abu', yang didefinisikan
sebagai Heart Failure with Mid-Range Ejection Fraction (HFmrEF). Pasien dengan HFmrEF
kemungkinan besar memiliki disfungsi sistolik ringan. Sedangkan jika nilai LVEF masih
normal, pasien diklasifikasikan sebagai HfpEF. Perbedaan HF berdasarkan LVEF penting
karena perbedaan etiologi yang mendasari, demografi, komorbiditas dan respon terhadap terapi.
Sebagian besar uji klinis yang diterbitkan setelah 1990 memilih pasien berdasarkan LVEF,
biasanya diukur menggunakan ekokardiografi, teknik radionuklida atau resonansi magnetik
jantung. Terapi pada pasien HFrEF telah terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas.3

Tabel 3. Definisi Gagal Jantung dengan HFpEF, HFmrEF, dan HFrEF3

Pasien dengan HFpEF umumnya tidak disertai dilatasi ventrikel kiri, tetapi sering
memiliki peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri (LV) dan/atau peningkatan ukuran atrium
kiri (LA) sebagai tanda peningkatan tekanan pengisian. Sebagian besar memiliki pengosongan
atau kapasitas hisap atrium kiri yang terganggu, juga diklasifikasikan sebagai disfungsi
diastolik, yang diduga menjadi penyebab gagal jantung pada pasien (HF diastolik). Namun,
sebagian besar pasien dengan HFrEF (sebelumnya disebut sebagai 'sistolik HF') juga memiliki
disfungsi diastolik, dan kelainan fungsi sistolik telah ditunjukkan pada pasien dengan HFpEF.3
Organ target utama untuk komplikasi destruktif hipertensi kronis adalah jantung, sistem
serebrovaskular, aorta dan sistem pembuluh darah perifer, ginjal, dan retina. Jika tidak
ditangani, sekitar 50% pasien hipertensi meninggal karena penyakit arteri koroner atau gagal

17
jantung kongestif, sekitar 33% mengarah pada stroke, dan 10% hingga 15% meninggal karena
komplikasi gagal ginjal.12

Gambar 1. Patogenesis dari hipertensi arterial12

Patogenesis terjadinya hipertensi dipengaruhi oleh afterload. Tekanan arterial yang


tinggi (afterload yang tinggi) meningkatkan tegangan dinding ventrikel kiri, yang dikompensasi
dengan hipertrofi. Hipertrofi konsentrik (tanpa dilatasi) adalah pola kompensasi normal,
meskipun kondisi yang meningkatkan tekanan darah berdasarkan peningkatan volume sirkulasi
(misalnya aldosteron primer) dapat menyebabkan hipertropi eksentrik dengan dilatasi ruang.
Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) menghasilkan peningkatan kekakuan ventrikel kiri dengan
disfungsi diastolik, yang dimanifestasikan oleh peningkatan tekanan pengisian LV yang dapat
menyebabkan kongesti paru. LVH adalah salah satu prediktor terkuat morbiditas jantung pada
pasien hipertensi. Tingkat hipertrofi berkorelasi dengan perkembangan gagal jantung kongestif,
angina, aritmia, infark miokard, dan kematian jantung mendadak.12
Gagal jantung akut yang disebabkan karena terjadinya hipertensi emergensi, dimana
terjadi peningkatan tekanan darah arteri yang cepat dan berlebihan biasanya bermanifestasi
sebagai edema paru akut. Penurunan tekanan darah yang cepat harus dianggap sebagai target
terapi utama dan dimulai sesegera mungkin. Dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah yang
agresif (dalam kisaran 25% selama beberapa jam pertama dan penurunan perlahan setelahnya)
dengan vasodilator intravena dikombinasikan dengan loop diuretik.13

Adapun tatalaksana yang diberikan kepada pasien sebagai berikut:


- Inj. Furosemide bolus 40 mg IV, dilanjutkan 40 mg / 8 jam IV

18
- Drip nitrogliserin mulai dari 50 mcg/m naik 5 mcg setiap 5 menit sampai tercapai target
TDS < 140 mmHg, bila sudah tercapai dipertahankan
- Valsartan 160 mg / 24 jam
- Amlodipine 10 mg / 24 jam
- Spironolakton 25 mg / 24 jam

Mekanisme kerja obat-obatan yang diberikan pada pasien dijelaskan sebagai berikut.
Diuretik11
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu
harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena efisiensi
diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat
diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten.

 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa retensi
cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah
mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretik
sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari
retensi cairan.

19
Angiotensin Receptor Blockers (ARB)11
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI
Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal lihat Tabel

20
Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikkan dosis
jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal
yang dapat ditoleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target
atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
 Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB: Sama sepertiACEI,
kecuali ARB tidak menyebabkan batuk.

Calcium Channel Blocker (CCB)11


CCB secara luas digunakan untuk pengobatan hipertensi dan memiliki keefektifan yang
sama seperti kelas obat utama lainnya pada tekanan darah, kejadian kardiovaskular, dan hasil
mortalitas. CCB memiliki efek yang lebih besar terhadap pengurangan stroke daripada yang
diharapkan untuk penurunan tekanan darah, tetapi mungkin juga kurang efektif dalam mencegah
HFrEF. Namun, dalam uji coba pengobatan antihipertensi, gagal jantung yang muncul adalah
kejadian yang dipertimbangkan. Meskipun secara klinis merupakan peristiwa yang sangat
relevan, ini merupakan titik akhir yang sulit untuk mengukur secara tepat, baik karena gejala dan
tanda-tanda relatif tidak spesifik atau karena edema karena CCB dapat menyebabkan salah
diagnosis. Perbandingan dengan diuretik juga mungkin sulit dinilai karena kehilangan cairan
dapat menutupi tanda dan gejala gagal jantung. CCB juga telah dibandingkan dengan agen
antihipertensi lainnya dalam uji coba berbasis HMOD, dan dilaporkan lebih efektif daripada
beta blockers dalam memperlambat perkembangan aterosklerosis karotis, dan dalam mengurangi
LVH dan proteinuria.
CCB adalah kelas agen yang heterogen. Kebanyakan RCT menunjukkan manfaat CCB
pada hasil yang telah menggunakan dihidropiridin (terutama amlodipine). Sejumlah kecil RCT
telah membandingkan non-dihydropyridines (verapamil dan diltiazem) dengan obat lain, dan
meta-analisis yang mengevaluasi dua subclass (vs obat lain) belum menunjukkan perbedaan
substansial dalam efektivitas.

21
Antagonis Aldosteron11
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi
ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung
 Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah menaikan
dosis
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi.
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara

Pada kasus ini, pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang berupa
ekokardiografi. Pemeriksaan ekokardiografi dapat memberikan informasi mengenai volume
ruang, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan dinding, fungsi katup dan hipertensi

22
pulmonal. Informasi ini sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan dalam menentukan
pengobatan yang tepat.
Prognosis gagal jantung adalah buruk karena tidak adanya penyebab yang dapat diperbaiki.
Angka kematian 5 tahun setelah diagnosis berkisar antara 45% dan 60%, dengan laki-laki
memiliki hasil yang lebih buruk daripada perempuan. Pasien dengan gejala berat (yaitu, NYHA
kelas III atau IV) memiliki tingkat kelangsungan hidup 1 tahun hanya 40%. Kematian terbesar
adalah karena gagal jantung refraktori, tetapi banyak pasien meninggal mendadak, mungkin
karena aritmia ventrikel.

23
BAB III
KESIMPULAN

Pasien perempuan, 70 tahun, datang ke poli jantung RS Dustira Cimahi dengan keluhan sesak
sejak 1 minggu yang lalu. Sesak dirasakan hilang timbul bahkan saat beristirahat, memberat
dengan beraktivitas. Pasien biasanya tidur malam dengan 2 bantal. Pasien sering merasa
kelelahan jika beraktivitas ringan seperti berjalan ke toilet dan mandi. Keluhan disertai dengan
nyeri dada yang dirasakan seperti tertimpa benda berat dan terasa menembus ke belakang.
Lokasi nyeri dominan di dada sebelah kiri namun tidak bisa ditunjukkan secara spesifik
menggunakan 1 jari. Nyeri dapat muncul tiba-tiba tanpa dipengaruhi oleh aktivitas. Dalam 1
minggu terakhir nyeri dirasakan sebanyak 3 kali, berlangsung sekitar 10 menit dan dapat hilang
sendiri tanpa pemberian obat.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 12 tahun lalu dan rutin kontrol. Pasien juga memiliki
riwayat penyakit jantung dan lambung. Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa
seperti pasien. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan tidak ada anggota keluarga di rumah
yang merokok. Pasien sudah mengalami menopause sekitar 15 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien obesitas kelas I, dengan tekanan darah
180/100 mmHg dan frekuensi napas 26 x/menit. Didapatkan adanya hepatojugular reflex,
distensi vena leher dan peningkatan JVP 5+4 cmH2O. Auskultasi paru didapatkan rhonki basah
halus di basal paru kanan dan kiri. Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan adanya
kardiomegali. Pemeriksaan foto thorax AP menunjukkan kardiomegali dengan curiga
bendungan paru dan efusi pleura bilateral.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis dengan
hipertensi emergensi TOD impending ALO, HHD-HF fc IV dan efusi pleura bilateral. Pasien
mendapatkan terapi berupa:
- Inj. Furosemide bolus 40 mg IV, dilanjutkan 40 mg / 8 jam IV
- Drip nitrogliserin mulai dari 50 mcg/menit, titrasi 5 mcg setiap 5 menit sampai tercapai
target tekanan darah sistolik < 140 mmHg, bila sudah tercapai dipertahankan
- Valsartan 160 mg / 24 jam
- Amlodipine 10 mg / 24 jam
- Spironolakton 25 mg / 24 jam

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Papadopoulos DP, Sanidas EA, Viniou NA, et al. Cardiovascular hypertensive emergencies.
Curr Hypertens Rep 2015;17:5. 10.1007/s11906-014-0515-z
2. Peacock F, Amin A, Granger CB, et al. Hypertensive heart failure: patient characteristics,
treatment, and outcomes. Am J Emerg Med 2011;29:855-62. 10.1016/j.ajem.2010.03.022
3. Manning L, Robinson TG, Anderson CS. Control of blood pressure in hypertensive
neurological emergencies. Curr Hypertens Rep 2014;16:436. 10.1007/s11906-014-0436-x
4. Perez MI, Musini VM. Pharmacological interventions for hypertensive emergencies: a
Cochrane systematic review. J Hum Hypertens 2008;22:596-607. 10.1038/jhh.2008.25
5. Rhoney D, Peacock WF. Intravenous therapy for hypertensive emergencies, part 1. Health Syst
Pharm 2009;66:1687.
6. Rhoney D, Peacock WF. Intravenous therapy for hypertensive emergencies, part 2. Am J
Health Syst Pharm 2009;66:1448-57. 10.2146/ajhp080348.p2
7. Varounis C, Katsi V, Nihoyannopoulos P, Lekakis J and Tousoulis D (2017) Cardiovascular
Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature. Front. Cardiovasc. Med.
3:51. doi: 10.3389/fcvm.2016.00051
8. Almas A, Ghouse A, Iftikhar AR, Khursheed M. Hypertensive crisis, burden, management, and
outcome at a tertiary care center in Karachi. Int J Chronic Dis (2014) 2014: 413071.
doi:10.1155/2014/413071
9. ESC Guidelines For The Management of Arterial Hypertension. European Heart Journal. 2018.
10. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi Pertama. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015.
11. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi Pertama.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015.
12. Lilly LS. Acute Coronary Syndrome. Rhe JW, Sabatine MS and Lilly LS editor in:
Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project Of Medical Students And Faculty.
5th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2011
13. ESC Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of Acute And Chronic Heart Failure.
European Heart Journal. 2016.

25

Anda mungkin juga menyukai