Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE


WITH ATRIAL FIBRILATION RESIDUAL

Disusun Oleh:
Sarah Ersha Mutiari I1011141035

Pembimbing:
dr. Arinta Setyasari, Sp. JP

SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG


RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

Acute Decompensated Heart Failure


dengan Atrial Fibrilation Residual

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Juli 2019

Pembimbing Penulis

dr. Arinta Setyasari, Sp. JP Sarah Ersha Mutiari

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn.AB

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 56 Tahun

Agama : Islam

Suku : Dayak

Pekerjaan : Pemda

Pendidikan : SMA

Alamat : Cihampelas Cililin RT 007/003

Masuk RS : Via IGD pada tanggal 17 Juli 2019

1.2. Anamnesis
Keluhan Utama: Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RS. Dustira dengan keluhan sesak nafas sejak ± 6 hari SMRS
dan semakin memberat sejak ± 2 hari SMRS. Sesak nafas disertai batuk berdahak
berwarna putih berbuih sedikit kuning kental sejak ± 6 hari SMRS, dan produksi dahak
semakin meningkat. Sesak nafas dirasakan terus menerus dan menyebabkan pasien sulit
untuk beraktivitas. Pasien mengaku mudah lelah saat melakukan aktivitas, misalnya
seperti berjalan 20 meter sudah membuat pasien sesak nafas. Pasien mengatakan bahwa
pasien tidur dengan 2 bantal dan sering terbangun dikarenakan sesak serta batuk pada
malam hari. Keluhan nyeri dada (-), pingsan (-), mual (-), muntah (+). Pasien memiliki
riwayat penyakit gagal jantung kongestif sejak tahun 2014, riwayat asam urat serta
kolesterol. Namun, pasien tidak rutin kontrol ke Rumah Sakit.

3
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mempunyai riwayat penyakit gagal jantung kongestif, sejak 5 tahun yang
lalu, mempunyai riwayat asam urat, serta kolesterol. Pasien tidak rutin kontrol ke Rumah
Sakit. Pasien terdata sudah 4 kali rawat inap di Rumah Sakit Dustira. Pasien mempunyai
riwayat keluhan yang sama dan pernah dirawat di Rumah Sakit Advent sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.

Riwayat Sosial:
Pasien merokok, mengonsumsi alkohol, mengaku sudah berhenti sejak 10 tahun
yang lalu dan memiliki pola makan yang sehat, namun tidak memakan sayuran.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Status Gizi : Underweight (BMI: 18,4)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Heart Rate : 149x/menit, Ireguler
Denyut Nadi : 122x/menit, Ireguler, Pulsus Defisit
Frekuensi Napas : 28x/menit
Temperatur : 36,7’C
Saturasi O2 : 94%

4
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3
mm/3 mm, reflex cahaya langsung dan tak langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-),mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T2/T2hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular reflex (-), JVP 5+2 cmH2O
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis, Barrel Chest(+)
Palpasi : Fremitus taktil paru kanan dan kiri sama, massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Hipersonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Letak iktus kordis ICS V linea axilaris anterior, Thrill (-)
Perkusi : Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra, batas
jantung kanan pada ICS III linea parasternalis dextra, batas jantung kiri
pada ICS VI linea Axillaris Anterior, kesan melebar ke lateral
Auskultasi : SI/SII Iregular, murmur (-), S3 gallop (-), ekstrasistol (+)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 8 kali per menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat, edema piting peritibial -/-, CRT <2 detik

5
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin (17/07/2019)
Hemoglobin : 16,5 g/dl MCV : 75,6 fl
Eritrosit : 6,4 x 106/µl MCH : 26,0 pg
Leukosit : 12200/µl MCHC : 34,4 g/dl
Hematokrit : 48% RDW : 15,5 %
Trombosit : 277.000/µl
Ba/Eo/Sg/Li/M: 0,4/1,0/68,5/20,4/9,7
Kesimpulan : Hasil Laboratorium darah masih dalam batas normal

Kimia Klinik (17/07/2019)


Fungsi Hati
SGOT : 16 u/l
SGPT : 11 u/l
Fungsi Ginjal
Ureum : 50 mg/dl
Creatinin : 1,2 mg/dl

Kimia Klinik (17/07/2019)


Diabetes
Gula Darah Sewaktu:101 mg/dl

6
Electrocardiography
17/07/2019 19:09

Interpretasi
Irama : Bukan Sinus (Takikardi)

Frekuensi : 160 bpm Irregular

Axis : LAD

Gelombang P : Tidak didapatkan gelombang P

Gelombang QRS : Normal (0,12 detik)

Interval RR : Irregular

Kesimpulan : Takikardi , dengan frekuensi 160 bpm iregullar, LAD axis dengan
multiple CVD ekstrasistole Atrial Fibrilasi

7
Rontgen Thorax AP
19/07/2019 18:40

Interpretasi

Proyeksi AP

Tulang dan jaringan lunak intak, sudut costofrenikus dextra tumpul dan sinistra sulit
dinilai. Tidak terdapat deviasi trakea, cor tampak membesar, infiltrat dikedua lapang
paru, corakan perihiller dextra dan sinistra tampak kasar. Kardiomegali, sela iga
melebar.

8
1.5. Resume Medis
Pasien datang ke IGD RS. Dustira dengan keluhan Pasien datang ke IGD RS. Dustira
dengan keluhan sesak nafas sejak ± 6 hari SMRS dan semakin memberat sejak ± 2 hari
SMRS. Sesak nafas disertai batuk berdahak berwarna putih berbuih sedikit kuning kental
sejak ± 6 hari SMRS, dan produksi dahak semakin meningkat. Sesak nafas dirasakan
terus menerus dan menyebabkan pasien sulit untuk beraktivitas. Pasien mengaku mudah
lelah saat melakukan aktivitas, misalnya seperti berjalan 20 meter sudah membuat pasien
sesak nafas. Pasien mengatakan bahwa pasien tidur dengan 2 bantal dan sering terbangun
dikarenakan sesak serta batuk pada malam hari. Keluhan nyeri dada (-), pingsan (-), mual
(-), muntah (+). Pasien memiliki riwayat jantung sejak tahun 2014, riwayat asam urat
serta kolesterol. Namun, pasien tidak rutin kontrol ke Rumah Sakit.

Pasien mempunyai riwayat penyakit jantung sejak 5 tahun yang lalu, mempunyai
riwayat asam urat, serta kolesterol. Pasien tidak rutin kontrol ke poli penyakit dalam.
Pasien terdata sudah 4 kali rawat inap di Rumah Sakit Dustira. Pasien punya riwayat
keluhan yang sama dan dirawat di Rumah Sakit sebelumnya. Tidak ada keluarga yang
mengalami keluhan seperti pasien. Pasien merokok, mengonsumsi alkohol, mengaku
sudah berhenti sejak 10 tahun yang lalu

Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan Takikardi dengan irama irregular


dan adanya pulsus defisit. Kemudian pada EKG pasien didapatkan irama takikardi
dengan frekuensi 122 bpm Irregular, hilangnya gelombang p, interval R-R irreguler
dan adanya atrial fibrilasi pada pasien.

9
1.6. Diagnosa

Diagnosis klinis : ADHF Prec. Factor Takiaritmia (AF RVR)

Diagnosis etiologi : DCM

Diagnosis tambahan : PPOK Eksaserbasi Akut

1.7. Penatalaksanaan
Non medikamentosa:
a. Bed rest, posisi kepala elevasi 30’
b. EKG serial pada pasien

Medikamentosa:

Terapi awal di IGD:

a. IVFD RL 500 cc/24 jam

b. Inj. Lasix 40 mg iv

c. Inj. Digoxin 0,5 mg iv selanjutnya evaluasi EKG 4 jam kemudian.

d. PO Tanapress tab 1x5 mg

e. PO Spironolakton tab 1x25 mg

f. PO Amlodipin 1x10 mg

g. PO Nitrokaf tab 2x2,5 mg

10
1.8. FOLLOW-UP
18/07/2019 (Observasi)

S : Sesak dirasakan berkurang,


O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 130/70 mmHg, HR: 110x/menit irregular,
SpO2: 96%, RR: 24x/menit, Pulsus defisit (+), S1S2 iregullar, Murmur (-), Gallop
(-), Rhonki +/+, Wheezing -/-, Akral Hangat, CRT<2detik.
ECG : AF HR : 120 bpm

A : ADHF Pre factor aritmia


AF NVR C3
HF st c fc iii disetai HHD
Pneumonia Cap

11
P: - Evaluasi ulang apabila palpitasi

- IVFD RL 500 cc

- Inj. Lasix 1 x 40mg

- Digoxin 1x 0,25 mg

- Tanapress 1 x 5 mg

- Spironolakton 1 x 25 mg

- Amlodipin 1 x 10 mg

- Nitrokaf 2 x 2,5 mg

19/07/2019
S : Batuk(+), sesak berkurang
O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 110/70 mmHg, HR: 110x/mnt Irregular,
RR:22x/menit SpO2: 97%, S1S2 iregullar, Murmur (-), Gallop(-), Rhonki -/-,
Wheezing-/-, Akral Hangat, CRT<2detik.

EKG : Atrial Fibrilasi, frekuensi 110 bpm

12
A : ADHF Pre factor aritmia
AF NVR C3
HF st c fc iii disetai HHD
Pneumonia Cap

P : - Evaluasi ulang apabila palpasi

- IVFD RL 500 cc

- Inj. Lasix 1 x 40mg

- Digoxin 1x 0,25 mg

- Tanapress 1 x 5 mg

- Spironolakton 1 x 25 mg

- Amlodipin 1 x 10 mg

- Nitrokaf 2 x 2,5 mg

13
20/07/2019
S : Batuk (-), sesak (-)
O: Kesadaran : Compos Mentis, TD: 110/80 mmHg, HR: 100x/mnt Irregular,
RR:20x/menit SpO2: 98%, S1S2 iregullar, Murmur (-), Gallop(-), Rhonki +/+,
Wheezing-/-, Akral Hangat, CRT<2detik.

EKG : Atrial Fibrilasi, frekuensi 110 bpm

A : ADHF Pre factor aritmia


Af nVR C3
HF st c fc iii disetai HHD
CHF
Gout Arthritis

14
P :- Furosemide 1 x 40 mg

- Digoxin 1x 0,25 mg

- Tanapress 1 x 5 mg

- Spironolakton 1 x 25 mg

- Amlodipin 1 x 10 mg

- Nitrokaf 2 x 2,5 mg

- Notisil 1 x 2 mg

- Oxprenol 1 x 80 mg

- Glutrop 1 x 1 mg

- Allopurinol 1 x 300 mg

- Rawat jalan

1.9. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam

15
BAB II
PEMBAHASAN

Gagal jantung adalah kumpulan gejala klinis tipikal seperti (nafas pendek, edema
pergelangan kaki dan kelelahan) yang dapat disertai dengan tanda (peningkatan JVP, ronki
paru dan edema perifer) yang diakibatkan oleh gangguan struktur dan atau fungsi jantung
yang berakibatkan pada berkurangnya cardiac output dan atau meningkatnya tekanan jantung
saat istirahat ataupun stres. Terdapat beberapa terminologi yang dapat digunakan dalam
mendefinisikan gagal jantung yaitu Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFpEF),
Heart Failure Mid-Range Ejection Fraction (HFmrEF) dan Heart Failure Reduced Ejection
Fraction (HFrEF). Dalam menentukan terminologi yang dapat digunakan didasari oleh
perhitungan dari ejeksi fraksi pada ventrikel kiri. Pada individu normal ejeksi fraksinya
adalah ≥50% sedangkan pada HFpEF <40%, HFmrEF memiliki ejeksi fraksi 40-49% dan
pada HFrEF ejeksi fraksinya <40%.
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pasien laki-laki berusia 56 tahun datang dengan keluhan
sesak nafas sejak ± 6 hari SMRS dan semakin memberat sejak ± 2 hari SMRS. Sesak
nafas disertai batuk berdahak berwarna putih berbuih sedikit kuning kental sejak ± 6
hari SMRS, dan produksi dahak semakin meningkat. Sesak nafas dirasakan terus
menerus dan menyebabkan pasien sulit untuk beraktivitas. Pasien mengaku mudah lelah
saat melakukan aktivitas, misalnya seperti berjalan 20 meter sudah membuat pasien
sesak nafas. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung berupa Atrial Fibrilasi (AF) sejak
tahun 2014, riwayat asam urat serta kolesterol. Namun, pasien tidak rutin kontrol ke
Rumah Sakit.
Keluhan yang dialami pasien merupakan suatu onset cepat atau memburuknya
gejala dan / atau tanda-tanda gagal jantung /Heart Failure yang bersifat akut. Acute
Heart Failure (AHF) adalah kondisi medis yang membutuhkan evaluasi dan perawatan
segera, dan mengarah ke perawatan darurat di rumah sakit. AHF dapat muncul sebagai
kejadian pertama (de novo) atau, lebih sering sebagai konsekuensi dari dekompensasi
gagal jantung kronis, dan dapat disebabkan oleh disfungsi jantung primer atau dipicu
oleh faktor ekstrinsik. Disfungsi miokard akut (iskemik, inflamasi atau toksik),
insufisiensi katup akut, atau tamponade perikard adalah salah satu penyebab utama
AHF. Abnormalitas hemodinamik dan neurohormonal yang buruk sebagai akibat dari

16
jejas pada miokard dan atau ginjal. Abnormalitas tersebut dapat disebabkan karena
iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya (seperti
insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan. Dekompensasi gagal jantung
dapat terjadi tanpa diketahui faktor-faktor pencetusnya, tetapi lebih sering dengan satu
atau lebih faktor, seperti infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, gangguan ritme, atau
ketidakpatuhan terhadap obat / diet.
Dikatakan irama jantung normal adalah bila heart rate 60-100x/m, impuls listrik
berasal dari SA nodal dan impuls berjalan dalam jalur konduksi normal dengan
kecepatan yang normal. Irama jantung yang lambat abnormal dikatakan sebagai
bradikardia atau bradiaritmia. Sementara irama cepat dikatakan takikardia atau
takiaritmia. Takikardia dikatakan sebagai supraventricular takikardia bila mencakup
atrium dan AV nodal. Gangguan irama jantung dapat dihasilkan dari perubahan
pembentukan impuls, konduksi impuls, ataupun keduanya. Perubahan pembentukan
impuls dapat terjadi akibat peningkatan automatisasi dan triggered activity sehingga
dapat terjadi atrial fibrilasi.
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik
sehari-hari. Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Fibrilasi atrium juga
berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal jantung,
penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung
bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas
fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30%
pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal
jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri.
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi
atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang
digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan
durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel
yang juga ireguler, dan seringkali cepat.
Spektrum presentasi klinis AF sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga
syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode AF tidak
menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin
17
dikeluhkan pasien antara lain:
1. Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang,
gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
2. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
3. Presinkop atau sinkop
4. Kelemahan umum, pusing
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi
dan durasinya, yaitu, FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau
berat ringannya gejala yang muncul. FA paroksismal adalah FA yang mengalami
terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari. FA persisten
adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA yang memerlukan
kardioversi dengan obat atau listrik. FA persisten lama (long standing persistent) adalah
FA yang bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan
pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi
kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri
dari pasien FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung
seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun. FA non-valvular: FA yang
tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung protese atau operasi
perbaikan katup mitral. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang
menjadi pemicu FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.
AF juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang
diinduksi oleh takikardia, tromboembolisme sistemik dan resiko stroke. Secara umum
risiko stroke pada AF adalah 15% per tahun yaitu berkisar 1,5% pada kelompok usia 50
sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80 sampai 89 tahun.
Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah 5% (berkisar 3-4%).
Oleh karena itu, penting sekali mengidentifikasi pasien AF yang memiliki risiko tinggi
stroke dan tromboemboli.
18
Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien FA harus bersikap
lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum sehingga akan
mencakup seluruh spektrum pasien FA. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor
risiko umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari. CHA2DS2-VASc
masing-masing hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu Gagal Jantung
Kongestif skor 1, Hipertensi skor 1, Usia 65-74 tahun skor 1, usia ≥ 75 tahun skor 2 ,
Diabetes mellitus skor 1, Riwayat Stroke skor 2, penyakit vaskular skor 1, jenis kelamin
yaitu perempuan skor 1.
Tabel 2.1 Penilaian faktor risiko terjadinya stroke pada AF (Skor CHA2DS2-VASc)
HURUF KONDISI SCORE
C Gagal Jantung Kongestif (1) 1
H Hipertensi (1) 1
A Usia 65-74(1) 0
A Usia ≥ 75 (2) 0
D Diabetes mellitus (1) 0
S Adanya Stroke atau TIA (2) 0
VA Penyakit vaskular (1) 0
Sc Jenis Kelamin :Perempuan (1) 0
TOTAL 2

Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko


perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal
atau menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari
Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding,
Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol telah divalidasi pada
banyak studi kohor berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko
perdarahan pada setiap pasien FA harus dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka
perlu perhatian khusus, pengawasan berkala dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor
risiko yang dapat diubah. Pada kasus, pasien memperoleh skor 2 dengan rekomendasi
pemberian antikoagulasi oral.

19
Tabel 2.2. Skor HAS-BLED

HURUF KARAKTERISTIK KLINIS SKOR

H Hipertensi (systolic > 160 mmHg) 1

A Abnormal fungsi renal 1

A Abnormal fungsi Liver 0

S Riwayat Stroke 0

B Perdarahan 0

L INR yang tidak stabil 0

E Usia tua > 65 tahun 0

D Obat obatan yang dapat 0


menyebabkan perdarahan

D Konsumsi alcohol 0

Pasien dengan atrial fibrilasi dapat mengakibatkan terjadinya tromboemboli


sehingga pada pasien rutin diberikan antikoagulasi yaitu warfarin. Target dari
pemberian antikoagulan mempertimbangkan keseimbangan dari pencegahan stroke
iskemia dan menghindari komplikasi perdarahan. Sangat penting untuk memberikan
antikoagulan dengan target adekuasi terendah untuk meminimalisasi risiko perdarahan,
terutama pada pasien usia tua pada AF. Proteksi maksimum untuk stroke iskemia pada
AF dapat dicapai pada international normalized ratio (INR) 2 sampai 3.. Bisoprolol
diberikan atas indikasi aritmia pada jantung dan pada pasien ditemukan hemodinamik
stabil sehingga bisoprolol dapat diberikan.

20
Adapun keluhan pasien ini lebih mengarah kepada keluhan sesak dan palpitasi,
Sesak nafas dirasakan terus menerus dan menyebabkan pasien sulit untuk beraktivitas.
Pasien mengaku mudah lelah saat melakukan aktivitas, seperti jalan sekitar 20 m sudah
membuat pasien sesak. Pasien mengatakan bahwa pasien tidur dengan 2 bantal dan
sering terbangun dikarenakan sesak dan batuk pada malam hari. Pasien juga
mengeluhkan dada pasien dirasakan berdebar debar seperti telah melakukan aktivitas berat.

Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang


harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Spektrum presentasi
klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok kardiogenik atau
kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode FA tidak menyebabkan gejala.
Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang, gemuruh
guntur, atau kecipak ikan di dalam dada. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap
aktivitas fisik. Presinkop atau sinkop. Kelemahan umum, pusing Selain itu, FA juga
dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang diinduksi oleh
takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang
baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.

Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang
dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaan yang relevan, seperti Penilaian
klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi gejala. Penilaian
faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran kafein sebagai faktor
pemicu masih kontradiktif. Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).

Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya. Penilaian


adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya. Riwayat prosedur ablasi FA
secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan (dengan kateter). Evaluasi penyakit-
penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap inisiasi FA
(misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit
jantung valvular, dan PPOK).

Kardiomiopati merupakan gangguan jantung dengan kelainan struktur utamanya


pada miokardium. Kondisi-kondisi ini sering mengakibatkan gejala gagal jantung, dan
penyebab yang mendasari disfungsi miokard yang dapat diidentifikasi, sedangkan
etiologinya seringkali tetap tidak diketahui. Berdasarkan dari klasifikasi kelompok
penyakit ini yaitu kerusakan otot jantung yang dihasilkan dari kondisi kardio vaskular
lain, seperti hipertensi, kelainan katup, atau penyakit arteri koroner. Kardiomiopati
21
dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan penampilan anatomi dan fisiologi
abnormal ventrikel kiri (LV), antara lain: Kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati
hipertrofik dan kardiomiopati restriktif.

Kardiomiopati dilatasi ditandai oleh pembesaran bilik ventrikel dengan gangguan


fungsi kontraktil sistolik Sebagai volume stroke ventrikel dan penurunan curah jantung
karena gangguan kontraktilitas miosit, dua efek kompensasi diaktifkan: (1) mekanisme
Frank-Starling, di mana peningkatan volume diastolik ventrikel meningkatkan
peregangan serat otot, sehingga meningkatkan volume stroke berikutnya, sehingga
meningkatkan volume stroke berikutnya. ; dan (2) aktivasi neurohormonal. Awalnya
dimediasi oleh saraf simpatik sistem, dan berakhir pada kontribusi peningkatan denyut
jantung dan kontraktilitas, yang membantu untuk menahan penurunan curah jantung.
Kompensasi ini dapat membuat pasien tidak menunjukkan gejala selama tahap awal
disfungsi ventrikel, namun sebagai degenerasi dan volume miosit progresif.;
kardiomiopati hipertrofik, oleh dinding ventrikel menebal yang abnormal dengan
relaksasi diastolik abnormal tetapi biasanya fungsi sistolik utuh; dan kardiomiopati
restriktif, oleh miokardium yang kaku secara abnormal (karena fibrosis atau proses
infiltratif) yang menyebabkan gangguan relaksasi diastolik, tetapi fungsi kontraktil
sistolik normal atau mendekati normal.
Kardiomiopati dilasi (DCM) adalah dilatasi ventrikel dengan penurunan fungsi
kontraktil. Kejadian DCM, paling sering terjadi pada kedua ventrikel yang terganggu,
tetapi sering terjadi disfungsi terbatas pada ventrikel kiri dan bahkan lebih jarang pada
ventrikel kanan.
Kelebihan beban kerja jantung terjadi, gejala klinis gagal jantung berkembang.
Dengan penurunan curah jantung yang terus-menerus, penurunan aliran darah ginjal
mendorong ginjal untuk mengeluarkan jumlah renin yang meningkat. Aktivasi sumbu
renin-angiotensinaldosteron ini meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer
(dimediasi melalui angiotensin II) dan volume intravaskular (karena peningkatan
aldosteron). Seperti dijelaskan dalam Bab 9, efek-efek ini pada awalnya juga membantu
dalam menahan penurunan curah jantung. Namun, pada akhirnya, efek "kompensasi"
dari aktivasi neurohormonal terbukti merugikan. Vasokonstriksi arteriolar dan
peningkatan resistensi sistemik membuatnya lebih sulit bagi LV untuk mengeluarkan
darah ke arah depan, dan peningkatan volume intravaskular semakin membebani
ventrikel, sehingga menyebabkan kongesti paru dan sistemik. Selain itu, peningkatan
kadar angiotensin II dan aldosteron secara kronis berkontribusi langsung terhadap
22
remodeling dan serat miokard patologis. Karena proses kardiomiopati menyebabkan
ventrikel membesar dari waktu ke waktu, katup mitral dan trikuspid mungkin gagal
untuk bekerja dengan benar dalam sistol, dan regurgitasi katup terjadi. Regurgitasi ini
memiliki tiga konsekuensi yang merugikan: (1) volume dan tekanan yang berlebihan
ditempatkan pada atrium, menyebabkannya membesar, seringkali mengarah pada
fibrilasi atrium; (2) regurgitasi darah ke atrium kiri selanjutnya menurunkan volume
stroke ke depan ke aorta dan sirkulasi sistemik; dan (3) ketika volume regurgitasi
kembali ke LV selama setiap diastole, beban volume yang lebih besar disajikan pada
LV yang dilatasi.

Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya


mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas,
digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang
ireguler. Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain, laju jantung
umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Dapat
ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus interval R-R
panjang-pendek (fenomena Ashman) , Preeksitasi, Hipertrofi ventrikel kiri, Blok berkas
cabang, Tanda infark akut/lama

Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari


pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.

Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium
non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan
fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih
cepat untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal
jantung atau adanya hipotensi. Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih adalah
antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang
menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi karena
dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100.

Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier,
untuk sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral.
Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian
23
antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta
(propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg).8183 Dalam hal ini
penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal jantung.
Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat antiaritmia intravena di
layanan kesehatan sekunder/tersier.

Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik
dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin
pasien masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu
jantung sementara.

Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan


hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil akibat
FA harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus.84
Pasien yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi
kendali laju telah optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat
antiaritmia intravena atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia
intravena pasien harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat,
disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat
intravena untuk kardioversi farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron.
Kardioversi dengan amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.

24
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis berupa sesak dan rasa berdebar (palpitasi), disertai
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis Acute
Decompensate Heart Failure dengan Atrial Fibrilasi Residual dengan diagnosis etiologi
berupa Kardiomiopati Dilatasi (DCM) dan diagnosis tambahan yaitu PPOK Eksaserbasi
Akut.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. ESC. ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure. European Heart Journal. 2016.
2. Teerlink JR, Alburikan K, Metra M, Rodgers JE. Acute decompensated heart
failure update. Current Cardiology Reviews. 2015;11:53-62.
3. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Edisi Pertama. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2014
4. David K, PhD; Pathophysiology of Heart Disease. DOI:
10.1161/CIRCULATIONAHA.106.678326. 2011.
5. AHA Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation.
American Heart Association. 2011.
6. Leonald Lily S. The Cardiomyopathies disease and Department of
Cardiology, Royal Infirmary, Edinburgh, UK. 2019.
7. Thaler MS. The only EKG book you’ll ever need. Seventh edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2012.

26
27

Anda mungkin juga menyukai